Jalal dan Jodha masuk kerumah
untuk membereskan barang-barang yang dibawa oleh orang tua mereka yang ada
dikamar. Jalal terbelalak ketika melihat barang yang dibawa oleh ibunya Jodha.
“Ya ampun Jo, kamu ini mau nginap
apa mau pindahan?” tanya Jalal sambil menunjuk koper-koper yang menumpuk di
dalam kamar. Sementara Jodha hanya cengengesan sambil mengangkat bahu.
“Emangnya kenapa? apa ada yang
salah?”
“Ya gak salah sih, cuma inikan
terlalu berlebihan. Kita ini tinggal di desa, lagian waktunya hanya 4 bulan
saja. Kecuali kalau kamu mau tinggal selamanya disini." Kata Jalal sambil
menggelengkan.
“Aku kan bisa memakai baju yang
berbeda setiap hari. Masa pakaianku itu-itu saja." Jawab Jodha dengan wajah
cemberut.
“Kalau semuanya kamu pakai,
memangnya kamu sanggup mencucinya sebanyak itu." Tanya Jalal dengan tersenyum
geli.
“Akukan bisa ngupahin orang untuk
mencucikan pakaianku." Kata Jodha tak mau kalah. Jalal tertawa.
“Ini desa
Jo, siapa yang mau kau upah untuk mencuci pakaianmu? Yang ada kamu sendiri yang
harus mencuci pakaianmu. Kamu harus mandiri. Jangan bergantung kepada orang
lain. Cobalah, kamu pasti bisa mengerjakannya sendiri."
“Tapi, aku tidak
pernah melakukan semua itu. Bagaimana aku bisa." Cetus Jodha dengan mulut
manyun. Jalal melihatnya menjadi gemas. Perlahan Jalal berjalan mendekati Jodha
yang masih berdiri melihat koper-kopernya. Kedua tangannya memegang kedua
tangan Jodha. Entah kenapa perasaan gemas tadi berganti dengan detak jantungnya
bertambah kencang ketika kulit mereka bersentuhan. Jodha hanya terpaku menatap
Jalal yang menggenggam kedua tangannya.
“A...aapa
yang kau lakukan Jalal?” Tanya Jodha dengan suara sedikit bergetar. Ada aliran
hangat mengalir sampai kewajahnya, membuat wajahnya terasa panas. Cepat-cepat
dia menundukkan wajahnya karena malu.
“A-aku...”
tiba-tiba saja Jalal menjadi kehilangan kata-kata namun tangannya masih
menggenggam tangan Jodha. Keduanya menjadi sangat gugup. Hal itu bisa
dimengerti karena mereka tidak pernah mengalami hal itu.
“Jodha?”
panggil Jalal berusaha mengatasi rasa gugupnya.
“Hm...ya?”
Jawab Jodha masih menunduk. Dia belum memiliki keberanian untuk menatap Jalal.
Jalal meraih dagu Jodha dan menaikkan wajahnya sehingga mereka saling menatap. Hanya
mata yang berbicara mengekspresikan suasana hati mereka saat itu.
Naluri alam
membuat Jalal perlahan mendekatkan wajahnya kepada Jodha yang masih diam
terpaku menatapnya. Perlahan Jalal
memberanikan diri untuk mengecup bibir Jodha. Jodha merasakan hembusan nafas
hangat Jalal perlahan masuk kedalam mulutnya yang sedikit terbuka. Tanpa
disadarinya matanya terpejam, tangannya meremas kuat tangan Jalal.
Tiba-tiba, Tok...tok.. "Nak
Jodha, apa kamu ada didalam?” Seru Bu Javeda mengagetkan mereka berdua.
Serentak mereka berdua kaget dan melepaskan pegangannya. Keduanya kembali salah
tingkah. Kembali ketukan itu terdengar lagi karena tidak ada jawaban dari
dalam.
“I-iya bu,
sebentar ya.” sahut Jodha sembari memegang dadanya untuk menenangkan
perasaannya. Sementara Jalal masih diam mematung berusaha menghentikan debaran
dadanya yang masih terasa kencang. Jodha membuka pintu kamar dimana Bu Javeda
masih berdiri di depan pintu.
“I-iya Bu,
ada apa?” Tanya Jodha.
“Nak Jodha kenapa wajahmu merah begitu? Nak Jodha sakit
ya?” Tanya Bu Javeda panik sambil memegang dahi Jodha khawatir kalau sampai
Jodha sakit.
“Saya tidak apa-apa Bu, hanya...hanya...tadi mungkin terkena
cahaya matahari jadi agak merah sedikit wajah saya." Jawab Jodha berusaha menutupi
kegugupannya.
“Oh
syukurlah. Ya sudah kalau begitu, kamu mau bantu ibu masak di dapur? katanya kan
kalian disini untuk belajar." Jodha mengangguk.
“Iya Bu."
“Oh ya, Nak Jalal dimana sekarang ? Ibu kok
tidak melihatnya dari tadi?” tanya Bu Javeda celingukan mencari Jalal.
“Jalal ada
dikamar Bu, sebentar saya panggilkan." Kata Jodha seraya masuk ke kamar untuk
memanggilkan Jalal. Tak lama kemudian Jodha keluar bersama Jalal.
“Ada apa Bu?” Tanya Jalal.
“Kamu tidak
sibuk kan Nak Jalal?”
“Tidak Bu,
hanya sedikit membereskan barang-barang yang dibawa oleh Papa saya kemarin.
Tapi kalau Ibu perlu tidak apa-apa, apa yang bisa saya bantu? nanti juga bisa
saya lanjutin beres-beresnya."
“Baiklah
kalau begitu, tolong bantu Ibu nimba air ya biar Jodha bantu ibu masak."
“Baik Bu.”
Jawab Jalal. Akhirnya mereka berdua melangkah mengikuti Bu Javeda untuk
membantunya memasak dan menimba air.
Dapur Bu
Javeda agak luas, berlantai tanah yang keras. Dia memasak menggunakan tungku
yang bahan bakarnya dari kayu bakar. Dipojokan dapur terdapat meja besar (amben)
yang dipakai untuk berbagai keperluan termasuk untuk makan bersama, ataupun
meracik bahan makanan yang akan dimasak.
Bu Javeda
mulai meminta Jalal menimba air yang akan digunakan untuk memasak. Sedangkan
Jodha membantu mengiris bahan-bahan yang akan dimasak.
“Kita mau
memasak apa Bu?” Tanya Jodha ketika melihat bahan-bahan yang ada di amben.
“Hari ini
kita masak oseng kacang panjang, ikan asin sama sekalian kita buatkan sambal
ya. Bapak biasanya sangat senang makan kalau ada sambalnya." Jawab Bu Javeda.
“Trus, apa
yang harus saya bantu Bu?” Jodha bingung melihat semuanya. Karena memang dia
tidak pernah memasak apalagi melihat bahan begitu banyak menambah ruwet
pikirnya. Yang dia tahu hanya makan saja, lagian kenapa juga harus susah-susah
memasak diluar sana banyak yang menjual makanan yang sudah matang. Ngapain
repot. Hanya saja yang menjadi masalah itu adalah saat ini mereka ada di desa.
Dan tentu tidak ada yang menjual makanan siap saji. Jadi mau tidak mau mereka
harus memasak sendiri.
“Tugas kamu
mengupas bawang untuk bumbu, setelah itu bawangnya diiris tipis.” petunjuk Bu
Javeda, “Ibu mau memasak nasi dulu ya." Bu Javeda beranjak meninggalkan Jodha
yang masih bingung.
Perlahan-lahan
Jodha memegang pisau dan bawang, walaupun masih kaku dan canggung akhirnya dia mencoba
untuk mengupas kulit bawang. Baru sebentar mengupas bawang matanya terasa
perih. Semakin ditahan semakin perih, Jodha memejamkan matanya malah membuat
air matanya mengalir deras membuat Jodha mengangkat lengan kanannya untuk
mengusap air matanya yang jatuh.
Berkali-kali
Jodha mengusap air matanya sampai akhirnya pekerjaan mengupas bawang itupun
selesai, dilanjutkan dengan mengiris-ngiris tipis bawang tersebut. Karena tidak
konsentrasi mengiris dan karena matanya menjadi berair membuat salah satu
jarinya terluka terkena pisau.
“Aww...”
teriak Jodha melihat jarinya meneteskan darah segar. Jalal yang baru selesai
menimba air kaget begitu juga dengan Bu Javeda mereka berlari melihat keadaan
Jodha.
“Kamu kenapa
Jodha?” Tanya Jalal cemas.
“Jariku luka
terkena pisau, Jalal." Sahut Jodha sembari meringis menahan perih.
“Kesinikan
tanganmu.” Kata Jalal mengambil tangan Jodha dan memasukkan jarinya yang luka ke
dalam mulutnya dan mengisapnya perlahan.
“A..aapa
yang kau lakukan, Jalal?”
“Sudah, kamu
tenang saja,” Jalal masih mengisap jari Jodha sampai akhirnya jari itu tidak
mengeluarkan darah lagi. Bu Javeda keluar menuju belakang rumah, tidak lama
kemudian muncul dengan membawa sedikit tumbukan pucuk daun pisang muda yang
masih bergulung untuk ditempelkan di luka Jodha. Kemudian luka itu dibalut
dengan kain tipis supaya ramuan itu
tidak jatuh.
“Naaahh,
sekarang sudah diobati jadi kamu tidak perlu khawatir lagi jarimu akan
berdarah." Kata Bu Javeda dengan tersenyum.
“Iya Bu,
terima kasih. Maaf saya jadi merepotkan Ibu."
“Tidak apa-apa
Nak Jodha, Ibu maklum karena kamu tidak terbiasa dengan pekerjaan ini.
Pelan-pelan saja, nanti kamu juga akan terbiasa." Bu Javeda melanjutkan kembali
pekerjaannya yang tertunda tadi.
“Iya Bu." Jodha tersenyum, sementara Jalal akhirnya senang melihat Jodha tersenyum.
“Sini biar
aku yang bantu Ibu masak." Kata Jalal. Dia segera mengambil alih tugas Jodha
yang terbengkalai akibat jarinya terluka. Jodha memperhatikan Jalal yang
lumayan terampil memotong dan mengiris bahan-bahan yang akan dimasak itu. Jodha
nampak takjub.
“Jalal, ternyata
kamu pintar masak yaa.” Tanya Jodha. Jalal tersenyum.
“Yaa...sedikit-sedikit
sih aku bisa saja. Kami sering masak-masak di kost bareng teman-teman walaupun dengan
bahan seadanya dan rasanya juga seadanya."
“Aku pikir
kamu tidak pernah tahu soal masak memasak, Jalal."
“Jangan
salah Jodha, begini-begini aku jago loh bikin nasi goreng. Kapan-kapan aku
bikinkan ya buat kamu. Kamu mau tidak?” Mata Jodha langsung berbinar.
“Nasi goreng, Jalal? aku suka sekali."
“Benarkah? kok bisa sama. Aku juga sangat senang banget sama nasi goreng. Ternyata
kita sehobi.” Kata Jalal geli.
“Iya, Jalal.
Tapi sayangnya aku cuma senang makannya saja tapi tidak bisa masaknya”."Ucap
Jodha tersenyum malu.
“Tidak
apa-apa, nanti kita belajar bareng ya." Tangan Jalal mengelus rambut Jodha
dengan lembut. Jodha mengangguk senang. Jalal kembali melanjutkan pekerjaannya
membantu Bu Javeda.
Akhirnya
kegiatan masak memasak itupun selesai. Jalal
tidak canggung ketika membantu Bu Javeda memasak. Tidak kelihatan kalau
dia berasal dari keluarga yang mampu, yang mempunyai banyak asisten rumah
tangga di rumahnya membuat Jodha semakin mengaguminya. Berbeda dengan Jodha,
dia sama sekali tidak mengenal hal-hal yang berbau masak memasak walaupun
hobinya makan. Memikirkan hal itu membuat Jodha menjadi malu sendiri.
“Nah,
masakan kita sudah selesai. Kalau kalian sudah lapar silakan makan duluan. Ibu
makannya nanti saja bareng Bapak." Kata Bu Javeda ketika makanannya sudah
selesai dihidangkan.
“Iya, Bu." Sahut Jalal.
“Kalau
begitu Ibu tinggal dulu, makan saja yang banyak, jangan sungkan." Bu Javeda pun
berlalu meninggalkan Jalal dan Jodha yang masih duduk di amben.
“Ayo, Jo
kita makan. Aku lapar nih." Kata Jalal memegang perutnya.
“Ehm...kamu
saja yang makan Jalal, aku belum lapar." Jodha menolak secara halus. Sebenarnya
bukan karena tidak lapar tetapi memang menunya membuat Jodha tidak berselera
makan.
“Baiklah
kalau begitu, aku makan dulu ya." Jalal mengambil sepiring nasi beserta lauk
pauknya dan mulai makan dengan lahapnya. Jodha hanya memperhatikan saja. Dia
heran Jalal bisa makan sedemikian lahapnya padahal menunya cuma oseng kacang,
ikan asin, sama sambal.
Jalal yang
sedang makan merasa diperhatikan menghentikan makannya dan menoleh kepada
Jodha.
“Benar nih
Jo, kamu tidak lapar?” Tanya Jalal sekali lagi.
“Ehmm...yaa aku belum lapar Jalal." Jodha masih menolak, walaupun perutnya mulai terasa
perih tetapi ditahannya saja.
Tiba-tiba. ”Kruuuk...kruukk....” Terdengar bunyi dari perut Jodha. Sedetik kemudian....
“Aha..ha..ha...” Jalal
tanpa sadar tertawa terbahak-bahak. Sementara Jodha nampak malu, mukanya merah padam
menahan malu.
“Jodha...Jodha...mulutmu
boleh ngomong tidak lapar tapi perutmu sudah nagih minta diisi tuh. Kamu tidak
kasihan sama perutmu? Ha..ha..ha..” Jodha cemberut. Jalal berusaha
menghentikan ketawanya, “maaf Jo,
bukan aku ingin menertawaimu tetapi kamu memang lucu. Bilang tidak lapar tetapi
perutmu berbunyi. Aku tahu kamu sebenarnya lapar tetapi kurang suka sama
menunya kan?” Jodha akhirnya mengangguk mengakui.
Jalal
tersenyum bijak “Jo, mulai sekarang kamu harus membiasakan diri dengan makan
makanan yang seadanya. Disini bukan dikota yang apa yang kita inginkan semua
bisa kita dapatkan. Kita harus belajar bersyukur dengan apa yang kita dapatkan
sekarang." Jodha masih diam. “Bagaimana kalau kamu aku suapin?” Bujuk Jalal.
Tangannya mengambil nasi dan menyuapkannya ke mulut Jodha.
Jodha nampak
enggan, namun Jalal terus memaksanya hingga akhirnya Jodha memaksakan membuka
mulutnya. Makanan pun masuk kemulut Jodha, sesaat dia memejamkan matanya dan mulutnya
mengunyah perlahan-lahan.
“Bagaimana,
Jo? enak tidak?” Tanya Jalal tidak sabar.
“Aku...mungkin
belum terbiasa Jalal dengan makanan seperti ini." Ucap Jodha sambil menunduk.
Hatinya mengakui bahwa dia masih belum bisa menerima semuanya. Perlahan butiran
bening keluar dari sudut matanya yang indah. Jalal tertegun sejenak, kemudian cepat-cepat
dibersihkannya tangannya. Direngkuhnya tubuh Jodha kedalam pelukannya.
“Maafkan aku
Jo, telah memaksa kamu. Aku tahu kamu butuh waktu untuk menyesuaikan diri.
Maafkan aku!” Jalal mendekap kepala Jodha di dadanya. Jodha terisak.
“Tidak
Jalal, kamu tidak salah. Hanya saja aku yang masih belum bisa menerima. Kamu
benar aku butuh waktu untuk menyesuaikan diri untuk menerima keadaan." Kata
Jodha disela-sela tangisnya. Jalal melonggarkan pelukannya dan menyeka air mata
Jodha. Dipegangnya wajah Jodha dengan kedua tangannya.
“Jo, sekarang
kamu adalah isteriku. Kamu adalah tanggungjawabku. Ayahmu sudah menyerahkan
segala tanggungjawab terhadap dirimu kepadaku. Aku tidak ingin terjadi sesuatu
apapun kepadamu. Aku tidak ingin kamu sakit. Aku juga tidak ingin kamu sedih,
aku akan berusaha membuatmu selalu bahagia walaupun aku tidak tahu apa aku bisa
melakukan itu."
Jodha
merasakan ketulusan dalam ucapan dan tatapan Jalal, tak tahan lagi dia
menghambur kembali kepelukan Jalal dan memeluknya dengan erat.
“Iya Jalal, aku
janji aku akan belajar menerima keadaan ini. Maafkan aku juga yang terlalu
manja dan cengeng. Kamu tidak marahkan?” jalal menggeleng dan mengecup kening
Jodha sambil tersenyum bahagia.
“Tidak Jo,
untuk apa aku marah padamu. Tidak terbersit sedikitpun untuk aku marah. Dan
tidak ada alasan untuk itu. Sejujurnya aku sayang sama kamu Jo, aku ingin
selamanya kamu ada disisiku." Tanpa sadar Jalal telah berterus terang dengan
perasaannya. Mendengar perkataan Jalal, Jodha mendongakkan kepalanya. Menatap
wajah Jalal yang masih tersenyum.
“Benarkah
itu, Jalal? kamu sungguh menyayangi aku?” Jalal mengangguk. “Apa kau
mencintaiku?” Kejar Jodha.
“Entahlah,
Jo aku tidak tahu apa itu cinta. Karena aku tidak pernah mengalaminya. Hanya satu yang aku tahu rasanya sekarang aku merasa
tidak bisa jauh darimu. Aku ingin selalu kamu ada depan mataku, melihatmu
membuat aku bahagia. Apa itu yang namanya cinta?” Gumam Jalal namun terdengar
dengan jelas oleh Jodha.
“Bagaimana
denganmu Jo, apakah kamu juga seperti aku? Mencintaiku?” Tanya Jalal dengan penasaran.
Jodha menyembunyikan kepalanya di dada Jalal. Pertanyaan itu membuatnya merasa
malu, terasa wajahnya panas membuat rona merah di wajahnya. Jalal melepaskan
pelukannya. Dipegangnya bahu Jodha yang masih menunduk.
“Jawab aku
Jo.” ucap Jalal menatap Jodha. Jodha mengangguk perlahan. “Tolong ucapkan Jo,
aku ingin dengar." Pinta Jalal.
“Iya, Jalal
aku mencintaimu. Aahhh....Jalal aku merasa sangat malu." Jodha kembali
menyembunyikan kembali wajahnya yang merona di dada Jalal. Jalal tersenyum
bahagia.
“Terima
kasih Jo, Engkau telah mencintaiku. Aku sangat bahagia."
“Aku juga,
Jalal. Aku bahagia. Jangan jauh-jauh dariku.”
“Tidak akan,
Jo. Kita akan selalu bersama. Aku janji."
“Terima
kasih Jalal." mereka pun berbagi kebahagiaan. Pelukan itu terasa hangat dan
menenangkan.
tbc
Tidak ada komentar:
Posting Komentar