Menu

Jumat, 12 Februari 2016

MIRACLE OF LOVE, PART. 8

Jalal dan Jodha masuk kerumah untuk membereskan barang-barang yang dibawa oleh orang tua mereka yang ada dikamar. Jalal terbelalak ketika melihat barang yang dibawa oleh ibunya Jodha.
“Ya ampun Jo, kamu ini mau nginap apa mau pindahan?” tanya Jalal sambil menunjuk koper-koper yang menumpuk di dalam kamar. Sementara Jodha hanya cengengesan sambil mengangkat bahu.
“Emangnya kenapa? apa ada yang salah?”
“Ya gak salah sih, cuma inikan terlalu berlebihan. Kita ini tinggal di desa, lagian waktunya hanya 4 bulan saja. Kecuali kalau kamu mau tinggal selamanya disini." Kata Jalal sambil menggelengkan.
“Aku kan bisa memakai baju yang berbeda setiap hari. Masa pakaianku itu-itu saja." Jawab Jodha dengan wajah cemberut.
“Kalau semuanya kamu pakai, memangnya kamu sanggup mencucinya sebanyak itu." Tanya Jalal dengan tersenyum geli.
“Akukan bisa ngupahin orang untuk mencucikan pakaianku." Kata Jodha tak mau kalah. Jalal tertawa.
“Ini desa Jo, siapa yang mau kau upah untuk mencuci pakaianmu? Yang ada kamu sendiri yang harus mencuci pakaianmu. Kamu harus mandiri. Jangan bergantung kepada orang lain. Cobalah, kamu pasti bisa mengerjakannya sendiri."
“Tapi, aku tidak pernah melakukan semua itu. Bagaimana aku bisa." Cetus Jodha dengan mulut manyun. Jalal melihatnya menjadi gemas. Perlahan Jalal berjalan mendekati Jodha yang masih berdiri melihat koper-kopernya. Kedua tangannya memegang kedua tangan Jodha. Entah kenapa perasaan gemas tadi berganti dengan detak jantungnya bertambah kencang ketika kulit mereka bersentuhan. Jodha hanya terpaku menatap Jalal yang menggenggam kedua tangannya.
“A...aapa yang kau lakukan Jalal?” Tanya Jodha dengan suara sedikit bergetar. Ada aliran hangat mengalir sampai kewajahnya, membuat wajahnya terasa panas. Cepat-cepat dia menundukkan wajahnya karena malu.
“A-aku...” tiba-tiba saja Jalal menjadi kehilangan kata-kata namun tangannya masih menggenggam tangan Jodha. Keduanya menjadi sangat gugup. Hal itu bisa dimengerti karena mereka tidak pernah mengalami hal itu.
“Jodha?” panggil Jalal berusaha mengatasi rasa gugupnya.
“Hm...ya?” Jawab Jodha masih menunduk. Dia belum memiliki keberanian untuk menatap Jalal. Jalal meraih dagu Jodha dan menaikkan wajahnya sehingga mereka saling menatap. Hanya mata yang berbicara mengekspresikan suasana hati mereka saat itu.
Naluri alam membuat Jalal perlahan mendekatkan wajahnya kepada Jodha yang masih diam terpaku menatapnya.  Perlahan Jalal memberanikan diri untuk mengecup bibir Jodha. Jodha merasakan hembusan nafas hangat Jalal perlahan masuk kedalam mulutnya yang sedikit terbuka. Tanpa disadarinya matanya terpejam, tangannya meremas kuat tangan Jalal.
Tiba-tiba, Tok...tok.. "Nak Jodha, apa kamu ada didalam?” Seru Bu Javeda mengagetkan mereka berdua. Serentak mereka berdua kaget dan melepaskan pegangannya. Keduanya kembali salah tingkah. Kembali ketukan itu terdengar lagi karena tidak ada jawaban dari dalam.
“I-iya bu, sebentar ya.” sahut Jodha sembari memegang dadanya untuk menenangkan perasaannya. Sementara Jalal masih diam mematung berusaha menghentikan debaran dadanya yang masih terasa kencang. Jodha membuka pintu kamar dimana Bu Javeda masih berdiri di depan pintu.
“I-iya Bu, ada apa?” Tanya Jodha. 
“Nak Jodha kenapa wajahmu merah begitu? Nak Jodha sakit ya?” Tanya Bu Javeda panik sambil memegang dahi Jodha khawatir kalau sampai Jodha sakit. 
“Saya tidak apa-apa Bu, hanya...hanya...tadi mungkin terkena cahaya matahari jadi agak merah sedikit wajah saya." Jawab Jodha berusaha menutupi kegugupannya.
“Oh syukurlah. Ya sudah kalau begitu, kamu mau bantu ibu masak di dapur? katanya kan kalian disini untuk belajar." Jodha mengangguk.
“Iya Bu."
 “Oh ya, Nak Jalal dimana sekarang ? Ibu kok tidak melihatnya dari tadi?” tanya Bu Javeda celingukan mencari Jalal.
“Jalal ada dikamar Bu, sebentar saya panggilkan." Kata Jodha seraya masuk ke kamar untuk memanggilkan Jalal. Tak lama kemudian Jodha keluar bersama Jalal.
“Ada apa Bu?” Tanya Jalal.
“Kamu tidak sibuk kan Nak Jalal?”
“Tidak Bu, hanya sedikit membereskan barang-barang yang dibawa oleh Papa saya kemarin. Tapi kalau Ibu perlu tidak apa-apa, apa yang bisa saya bantu? nanti juga bisa saya lanjutin beres-beresnya."
“Baiklah kalau begitu, tolong bantu Ibu nimba air ya biar Jodha bantu ibu masak."
“Baik Bu.” Jawab Jalal. Akhirnya mereka berdua melangkah mengikuti Bu Javeda untuk membantunya memasak dan menimba air.
Dapur Bu Javeda agak luas, berlantai tanah yang keras. Dia memasak menggunakan tungku yang bahan bakarnya dari kayu bakar. Dipojokan dapur terdapat meja besar (amben) yang dipakai untuk berbagai keperluan termasuk untuk makan bersama, ataupun meracik bahan makanan yang akan dimasak.
Bu Javeda mulai meminta Jalal menimba air yang akan digunakan untuk memasak. Sedangkan Jodha membantu mengiris bahan-bahan yang akan dimasak.
“Kita mau memasak apa Bu?” Tanya Jodha ketika melihat bahan-bahan yang ada di amben.
“Hari ini kita masak oseng kacang panjang, ikan asin sama sekalian kita buatkan sambal ya. Bapak biasanya sangat senang makan kalau ada sambalnya." Jawab Bu Javeda.
“Trus, apa yang harus saya bantu Bu?” Jodha bingung melihat semuanya. Karena memang dia tidak pernah memasak apalagi melihat bahan begitu banyak menambah ruwet pikirnya. Yang dia tahu hanya makan saja, lagian kenapa juga harus susah-susah memasak diluar sana banyak yang menjual makanan yang sudah matang. Ngapain repot. Hanya saja yang menjadi masalah itu adalah saat ini mereka ada di desa. Dan tentu tidak ada yang menjual makanan siap saji. Jadi mau tidak mau mereka harus memasak sendiri.
“Tugas kamu mengupas bawang untuk bumbu, setelah itu bawangnya diiris tipis.” petunjuk Bu Javeda, “Ibu mau memasak nasi dulu ya." Bu Javeda beranjak meninggalkan Jodha yang masih bingung.
Perlahan-lahan Jodha memegang pisau dan bawang, walaupun masih kaku dan canggung akhirnya dia mencoba untuk mengupas kulit bawang. Baru sebentar mengupas bawang matanya terasa perih. Semakin ditahan semakin perih, Jodha memejamkan matanya malah membuat air matanya mengalir deras membuat Jodha mengangkat lengan kanannya untuk mengusap air matanya yang jatuh.
Berkali-kali Jodha mengusap air matanya sampai akhirnya pekerjaan mengupas bawang itupun selesai, dilanjutkan dengan mengiris-ngiris tipis bawang tersebut. Karena tidak konsentrasi mengiris dan karena matanya menjadi berair membuat salah satu jarinya terluka terkena pisau.
“Aww...” teriak Jodha melihat jarinya meneteskan darah segar. Jalal yang baru selesai menimba air kaget begitu juga dengan Bu Javeda mereka berlari melihat keadaan Jodha.
“Kamu kenapa Jodha?” Tanya Jalal cemas.
“Jariku luka terkena pisau, Jalal." Sahut Jodha sembari meringis menahan perih.
“Kesinikan tanganmu.” Kata Jalal mengambil tangan Jodha dan memasukkan jarinya yang luka ke dalam mulutnya dan mengisapnya perlahan.
“A..aapa yang kau lakukan, Jalal?”
“Sudah, kamu tenang saja,” Jalal masih mengisap jari Jodha sampai akhirnya jari itu tidak mengeluarkan darah lagi. Bu Javeda keluar menuju belakang rumah, tidak lama kemudian muncul dengan membawa sedikit tumbukan pucuk daun pisang muda yang masih bergulung untuk ditempelkan di luka Jodha. Kemudian luka itu dibalut dengan kain tipis supaya  ramuan itu tidak jatuh.
“Naaahh, sekarang sudah diobati jadi kamu tidak perlu khawatir lagi jarimu akan berdarah." Kata Bu Javeda dengan tersenyum.
“Iya Bu, terima kasih. Maaf saya jadi merepotkan Ibu."
“Tidak apa-apa Nak Jodha, Ibu maklum karena kamu tidak terbiasa dengan pekerjaan ini. Pelan-pelan saja, nanti kamu juga akan terbiasa." Bu Javeda melanjutkan kembali pekerjaannya yang tertunda tadi.
“Iya Bu." Jodha tersenyum, sementara Jalal akhirnya senang melihat Jodha tersenyum.
“Sini biar aku yang bantu Ibu masak." Kata Jalal. Dia segera mengambil alih tugas Jodha yang terbengkalai akibat jarinya terluka. Jodha memperhatikan Jalal yang lumayan terampil memotong dan mengiris bahan-bahan yang akan dimasak itu. Jodha nampak takjub.
“Jalal, ternyata kamu pintar masak yaa.” Tanya Jodha. Jalal tersenyum.
“Yaa...sedikit-sedikit sih aku bisa saja. Kami sering masak-masak di kost bareng teman-teman walaupun dengan bahan seadanya dan rasanya juga seadanya."
“Aku pikir kamu tidak pernah tahu soal masak memasak, Jalal."
“Jangan salah Jodha, begini-begini aku jago loh bikin nasi goreng. Kapan-kapan aku bikinkan ya buat kamu. Kamu mau tidak?” Mata Jodha langsung berbinar.
“Nasi goreng, Jalal? aku suka sekali."
“Benarkah? kok bisa sama. Aku juga sangat senang banget sama nasi goreng. Ternyata kita sehobi.” Kata Jalal geli.
“Iya, Jalal. Tapi sayangnya aku cuma senang makannya saja tapi tidak bisa masaknya”."Ucap Jodha tersenyum malu.
“Tidak apa-apa, nanti kita belajar bareng ya." Tangan Jalal mengelus rambut Jodha dengan lembut. Jodha mengangguk senang. Jalal kembali melanjutkan pekerjaannya membantu Bu Javeda.
Akhirnya kegiatan masak memasak itupun selesai. Jalal  tidak canggung ketika membantu Bu Javeda memasak. Tidak kelihatan kalau dia berasal dari keluarga yang mampu, yang mempunyai banyak asisten rumah tangga di rumahnya membuat Jodha semakin mengaguminya. Berbeda dengan Jodha, dia sama sekali tidak mengenal hal-hal yang berbau masak memasak walaupun hobinya makan. Memikirkan hal itu membuat Jodha menjadi malu sendiri.
“Nah, masakan kita sudah selesai. Kalau kalian sudah lapar silakan makan duluan. Ibu makannya nanti saja bareng Bapak." Kata Bu Javeda ketika makanannya sudah selesai dihidangkan.
“Iya, Bu." Sahut Jalal.
“Kalau begitu Ibu tinggal dulu, makan saja yang banyak, jangan sungkan." Bu Javeda pun berlalu meninggalkan Jalal dan Jodha yang masih duduk di amben.
“Ayo, Jo kita makan. Aku lapar nih." Kata Jalal memegang perutnya.
“Ehm...kamu saja yang makan Jalal, aku belum lapar." Jodha menolak secara halus. Sebenarnya bukan karena tidak lapar tetapi memang menunya membuat Jodha tidak berselera makan.
“Baiklah kalau begitu, aku makan dulu ya." Jalal mengambil sepiring nasi beserta lauk pauknya dan mulai makan dengan lahapnya. Jodha hanya memperhatikan saja. Dia heran Jalal bisa makan sedemikian lahapnya padahal menunya cuma oseng kacang, ikan asin, sama sambal.
Jalal yang sedang makan merasa diperhatikan menghentikan makannya dan menoleh kepada Jodha.
“Benar nih Jo, kamu tidak lapar?” Tanya Jalal sekali lagi.
“Ehmm...yaa aku belum lapar Jalal." Jodha masih menolak, walaupun perutnya mulai terasa perih tetapi ditahannya saja.
Tiba-tiba. ”Kruuuk...kruukk....” Terdengar bunyi dari perut Jodha. Sedetik kemudian....
 “Aha..ha..ha...” Jalal tanpa sadar tertawa terbahak-bahak. Sementara Jodha nampak malu, mukanya merah padam menahan malu.
“Jodha...Jodha...mulutmu boleh ngomong tidak lapar tapi perutmu sudah nagih minta diisi tuh. Kamu tidak kasihan sama perutmu? Ha..ha..ha..” Jodha cemberut. Jalal berusaha menghentikan ketawanya,  “maaf Jo, bukan aku ingin menertawaimu tetapi kamu memang lucu. Bilang tidak lapar tetapi perutmu berbunyi. Aku tahu kamu sebenarnya lapar tetapi kurang suka sama menunya kan?” Jodha akhirnya mengangguk mengakui.
Jalal tersenyum bijak “Jo, mulai sekarang kamu harus membiasakan diri dengan makan makanan yang seadanya. Disini bukan dikota yang apa yang kita inginkan semua bisa kita dapatkan. Kita harus belajar bersyukur dengan apa yang kita dapatkan sekarang." Jodha masih diam. “Bagaimana kalau kamu aku suapin?” Bujuk Jalal. Tangannya mengambil nasi dan menyuapkannya ke mulut Jodha.
Jodha nampak enggan, namun Jalal terus memaksanya hingga akhirnya Jodha memaksakan membuka mulutnya. Makanan pun masuk kemulut Jodha, sesaat dia memejamkan matanya dan mulutnya mengunyah perlahan-lahan.
“Bagaimana, Jo? enak tidak?” Tanya Jalal tidak sabar.
“Aku...mungkin belum terbiasa Jalal dengan makanan seperti ini." Ucap Jodha sambil menunduk. Hatinya mengakui bahwa dia masih belum bisa menerima semuanya. Perlahan butiran bening keluar dari sudut matanya yang indah. Jalal tertegun sejenak, kemudian cepat-cepat dibersihkannya tangannya. Direngkuhnya tubuh Jodha kedalam pelukannya.
“Maafkan aku Jo, telah memaksa kamu. Aku tahu kamu butuh waktu untuk menyesuaikan diri. Maafkan aku!” Jalal mendekap kepala Jodha di dadanya. Jodha terisak.
“Tidak Jalal, kamu tidak salah. Hanya saja aku yang masih belum bisa menerima. Kamu benar aku butuh waktu untuk menyesuaikan diri untuk menerima keadaan." Kata Jodha disela-sela tangisnya. Jalal melonggarkan pelukannya dan menyeka air mata Jodha. Dipegangnya wajah Jodha dengan kedua tangannya.
“Jo, sekarang kamu adalah isteriku. Kamu adalah tanggungjawabku. Ayahmu sudah menyerahkan segala tanggungjawab terhadap dirimu kepadaku. Aku tidak ingin terjadi sesuatu apapun kepadamu. Aku tidak ingin kamu sakit. Aku juga tidak ingin kamu sedih, aku akan berusaha membuatmu selalu bahagia walaupun aku tidak tahu apa aku bisa melakukan itu."
Jodha merasakan ketulusan dalam ucapan dan tatapan Jalal, tak tahan lagi dia menghambur kembali kepelukan Jalal dan memeluknya dengan erat. 
“Iya Jalal, aku janji aku akan belajar menerima keadaan ini. Maafkan aku juga yang terlalu manja dan cengeng. Kamu tidak marahkan?” jalal menggeleng dan mengecup kening Jodha sambil tersenyum bahagia.
“Tidak Jo, untuk apa aku marah padamu. Tidak terbersit sedikitpun untuk aku marah. Dan tidak ada alasan untuk itu. Sejujurnya aku sayang sama kamu Jo, aku ingin selamanya kamu ada disisiku." Tanpa sadar Jalal telah berterus terang dengan perasaannya. Mendengar perkataan Jalal, Jodha mendongakkan kepalanya. Menatap wajah Jalal yang masih tersenyum.
“Benarkah itu, Jalal? kamu sungguh menyayangi aku?” Jalal mengangguk. “Apa kau mencintaiku?” Kejar Jodha.
“Entahlah, Jo aku tidak tahu apa itu cinta. Karena aku tidak pernah mengalaminya. Hanya  satu yang aku tahu rasanya sekarang aku merasa tidak bisa jauh darimu. Aku ingin selalu kamu ada depan mataku, melihatmu membuat aku bahagia. Apa itu yang namanya cinta?” Gumam Jalal namun terdengar dengan jelas oleh Jodha.
“Bagaimana denganmu Jo, apakah kamu juga seperti aku? Mencintaiku?” Tanya Jalal dengan penasaran. Jodha menyembunyikan kepalanya di dada Jalal. Pertanyaan itu membuatnya merasa malu, terasa wajahnya panas membuat rona merah di wajahnya. Jalal melepaskan pelukannya. Dipegangnya bahu Jodha yang masih menunduk.
“Jawab aku Jo.” ucap Jalal menatap Jodha. Jodha mengangguk perlahan. “Tolong ucapkan Jo, aku ingin dengar." Pinta Jalal.
“Iya, Jalal aku mencintaimu. Aahhh....Jalal aku merasa sangat malu." Jodha kembali menyembunyikan kembali wajahnya yang merona di dada Jalal. Jalal tersenyum bahagia.
“Terima kasih Jo, Engkau telah mencintaiku. Aku sangat bahagia."
“Aku juga, Jalal. Aku bahagia. Jangan jauh-jauh dariku.”
“Tidak akan, Jo. Kita akan selalu bersama. Aku janji."
“Terima kasih Jalal." mereka pun berbagi kebahagiaan. Pelukan itu terasa hangat dan menenangkan.


tbc

Tidak ada komentar:

Posting Komentar