Buku-buku
yang terhampar di depannya tidak bisa membuat Jodha konsentrasi. Berulangkali
dia berusaha untuk memusatkan semua perhatiannya kepada tugas-tugas kuliahnya
namun baru sebentar fokus kembali lagi pikirannya melayang menjauh dari
kegiatan belajarnya.
Kali ini
Jodha membiarkan saja pikirannya melayang. Kepada siapa lagi selain kepada tuan
mudanya itu. Seharian ini sikapnya membuat Jodha bingung. Apa iya sih tuan
mudanya itu memang menyukai dirinya? Bukankah selama ini mereka berdua selalu
saja bertengkar, jarang bisa akur dengan masalah pendapat.
Flashback.
“Kamu ini pintar tapi bodoh Jo. Orang biasa
juga tahu kalau dia itu naksir kamu. Nggak lihat pandangannya nggak pernah
lepas dari kamu sejak tadi.” Jodha terdiam mendengar ucapan Nadia.
“Masa sih? Tapi katanya dia punya calon
pacar, makanya aku cuek saja.”
“Dasar kamu ini, jadi perempuan emang nggak
peka. Emang dia bilang siapa calon pacarnya?” Jodha menggeleng, “dasar bodoh,
bisa saja itu kamu Jo. Aku berani jamin.”
Flashback end.
Masih
terngiang kata-kata Nadia tadi siang. “Apa memang segitu tidak pekanya ya aku
ini? Emang pandangan orang jatuh cinta itu gimana sih? Apa dia bengong terus
menatapku dan dari sudut bibirnya ngiler kayak pengen banget sama sesuatu atau
gimana? Hahahaha....” Jodha tertawa sendiri jadinya dan menepuk dahinya, “ya
ampun, kenapa pikiranku jadi aneh begini? Ck.” Jodha menggeleng kepala sambil
mengerjap-ngerjapkan matanya, “kalau diperhatikan benar-benar sih, Tuan muda
itu emang ganteng seperti yang Nadia bilang. Lagian kenapa baru sekarang aku
nyadar kalau dia ganteng ya? Apa karena sikapnya akhir-akhir ini manis? Dan
dulu tidak kelihatan ganteng karena tertutup oleh kelakuannya yang menyebalkan
itu. Haah...” Jodha menghela nafas, “Tuan, Tuan. Emang benar ya Tuan suka sama saya?
Atau saya saja yang terlalu kegeeran? tapi kalau memang Tuan suka sama saya,
apa membuat Tuan suka? Hayoo... saya aja bingung kalau Tuan benar-benar suka
sama saya. Yang dilihat apanya ya? Sayakan nggak cantik, pake bedak aja kalau
ingat apalagi pake make up yang lain untung nggak lupa pake deodorant, nggak seksi juga, rasanya
badanku tulang semua deh, nggak ada daging berlebih yang bisa memikat mata
laki-laki. Nggak kaya juga, ya iyalah kalau kaya kan aku nggak kerja disini dan
nggak ketemu sama Tuan, saya juga orangnya nggak bisa berbicara manis apalagi
romantis, dan saya juga preman yang nggak ada lembut-lembutnya. Emang Tuan mau
sama saya?” ucap Jodha berbicara sendiri di hadapan tembok meja belajarnya.
Jodha
berusaha mencari sikap tuan mudanya yang menurutnya bisa membuatnya dirinya
yakin kalau tuan mudanya itu memang menyukai dirinya. Dengan menopang kepalanya
dengan sebelah tangannya Jodha dan sebelahnya lagi memegang pensil yang di
ketuk-ketukkan di meja berulang-ulang. Matanya menatap dinding kosong di
depannya itu.
Ucapan Nadia
begitu melekat dalam benaknya. Majikannya itu menyukai dirinya? Tapi kenapa dia
tidak menyadarinya? Selama ini tuan mudanya itu tidak pernah berbuat dan
bertingkah yang aneh-aneh, kecuali saat dia mabuk itu dan juga hari ini. Ah,
Jodha pusing sendiri jadinya.
Tetapi
ketika membayangkan tuan mudanya itu, tanpa sadar pipinya bersemu merah. Jodha
akui memang tuan mudanya itu walaupun agak manja namun pesonanya mampu
meruntuhkan iman perempuan mana saja. Termasuk dirinya. Jodha tersenyum
membayangkannya, namun sesaat kemudian dia menggeleng. Tidak! Jangan
mengharapkan sesuatu yang diluar kemampuanmu Jodha. Biarlah kalau memang apa
yang Nadia katakan itu benar, nanti juga akan ketahuan. Jodha hanya tidak ingin
membuang waktunya memikirkan sesuatu yang tidak perlu.
Akhirnya
karena merasa tidak bisa konsentrasi lagi untuk belajar, Jodha pun segera
membereskan mejanya dan menyusun semua buku-bukunya. Setelah selesai dia segera
melangkah menuju tempat tidur dan membaringkan tubuhnya, salah satu tangannya
di letakkan di atas dahinya. Matanya masih menatap langit-langit kamar, terekam
semua diatas sana senyuman jahil dari tuan mudanya itu, ketawanya, wajah
marahnya. Semua nampak jelas terlihat.
“Heh, kenapa
juga sudah pindah kesini masih terbayang wajahnya sih? Udah mau tidur juga.”
Jodha menangkupkan kedua tangannya di depan dada dan matanya menatap ke plafon
kamarnya, “Tuan, please deh. Ini udah
malem. Tolong pergi dulu ya. Saya mau tidur. Besok lagi kalau mau ngganggu,
jangan sekarang. Saya capek mau istirahat dulu. Okey?” ucap Jodha yang kalau di
pikir-pikir seperti orang stress berbicara sendiri, tetapi dia juga tidak tahu
harus bagaimana untuk mengusir bayangan itu. Dan sepertinya ucapannya lumayan
mujarab, atau memang sugestinya saja yang akhirnya bayangan tuan mudanya
hilang. Dia pun tersenyum, sambil kembali menutup matanya. Tidur.
Sementara
itu dikamarnya Jalal juga resahnya dengan Jodha. Berulangkali dia membalikkan
tubuhnya, namun tidak bisa tenang dia sama penasarannya dengan Jodha.
Membayangkan begitu banyak laki-laki disekitar Inemnya membuat Jalal semakin
dilanda resah. Apalagi sekarang Inemnya masih belum mengerti tanda-tanda yang
dia berikan. Ingin mengutarakan langsung perasaannya dia tidak berani. Takut
Inemnya terang-terangan menolak dan menjauhinya. Lebih parah lagi kalau
seandainya Inemnya berhenti bekerja dirumahnya. Oh, tidak! Jalal tidak sanggup
membayangkan semua itu.
Haaahh...
Jalal menghembuskan nafas panjang. Dia harus mencari cara agar tahu apa yang
dilakukan Inemnya setiap hari minggu itu. Dan live perform yang Nadia katakan itu apa maksudnya? Bagaimana ini?
Kalau di tanya langsung dengan Inemnya apa iya dia akan menjawabnya? Jalal
menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
“Inem
sayang, kenapa susah sekali sih membuatmu jatuh cinta sama aku? Apa memang
segitu tidak menariknya diriku sampai-sampai kamu nggak peka dengan perasaanku?
Setidaknya berilah aku kesempatan agar aku bisa membuatmu mencintaiku.” ucap
Jalal dengan sedih. Baru kali ini dia merasa kehabisan akal bagaimana cara
menarik perhatian gadis itu. Apa dia langsung saja mengutarakan rasa cintanya
itu. Siapa tahu seperti yang terjadi di mimpinya, Inemnya menerima cintanya
dengan sukarela.
Tiba-tiba
terlintas di pikiran Jalal suatu ide. Hah...bagaimana kalau dia ikutin saja tuh
Inem diam-diam, jadikan dia bisa mengetahui apa yang dilakukan gadis itu tanpa
diketahui. Rasa penasarannya membuat Jalal semakin terobsesi untuk segera
mengetahui semua rahasia tentang Inemnya. Dia mendecak, bukankah itu ide bagus.
Jalal menyeringai, merasa mendapatkan jalan untuk mengobati rasa penasarannya.
====0000====
Sejak peristiwa
di mall itu, Jalal bersikap cuek. Tidak juga nyinyir seperti biasa. Bukan
karena dia tidak ingin tahu, tetapi dia memilih bersabar sampai datangnya hari
itu, dimana dia akan mengetahui tentang semua kegiatan Inemnya.
Sedangkan
Jodha juga masih seperti biasa, namun kali ini dia berusaha lebih memperhatikan
lagi sikap tuan mudanya. Hanya saja sepertinya majikan mudanya itu terlihat
agak pendiam dan sedikit menghindar. Jodha sedikit merasa kehilangan, ada yang
berubah dari tuannya. Namun, untuk bertanya dia merasa sungkan. Takut dianggap
selalu ingin tahu urusan majikannya.
Jalal bukan
tidak tahu kalau Jodha merasa sikapnya berubah. Tidak. Dia tidak berubah, hanya
saja dia menunggu sampai dia tahu semuanya. Karena kalau dia masih bersikap
seperti biasa Jalal tidak yakin akan bisa menahan hatinya untuk bertanya lebih
jauh. Bahkan saat Jodha duduk di gazebo pun Jalal hanya melihatnya dari dalam kamarnya
saja, padahal biasanya baru saja gadis itu duduk dia sudah menghampiri. Begitu
juga sebaliknya.
Hari minggu
yang ditunggu pun tiba. Jalal sudah bangun pagi-pagi. Kali ini dia memang
berniat sekali bangun pagi sekali. Jam 6 tepat dia melihat sebuah mobil jeep
berhenti di depan gerbang rumahnya. Jalal mengerutkan keningnya melihat siapa
yang ada di dalam mobil tersebut. Sepertinya dia mengenali dua orang yang
berada di dalam jeep itu. Salah satunya seorang perempuan, yang kalau tidak
salah dia adalah Nadia. Gadis yang mereka temui di mall tempo hari. Sedangkan
yang satunya lagi seorang laki-laki. Jalal menyipitkan matanya ketika berusaha
mengenali laki-laki itu.
Jalal
sedikit tersentak ketika mengingat siapa laki-laki yang dibelakang kemudi itu.
Ya, dia adalah orang yang mengantar Inemnya waktu itu dan dengan beraninya
memeluk dan mencium kening Inemnya. Tak sadar tangan Jalal mengepal. Apa itu
yang dikatakan Nadia laki-laki yang bernama Bayu? Kalau dilihat dari
pakaiannya, sepertinya dia seorang TNI. Tapi, Jalal tidak perduli. Biarpun yang
menyukai Inemnya itu anak presiden atau bahkan presidennya sekalipun dia akan
memperjuangkan cintanya.
Tidak lama
kemudian, Jodha muncul dari dalam rumah dan membuka pintu gerbang. Setelah itu
dia segera menghampiri jeep dimana kedua saudara angkatnya itu sudah
menunggunya. Tidak lama kemudian mereka pun segera meninggalkan tempat itu,
meninggalkan Jalal yang masih berusaha meredam emosinya melihat laki-laki tadi.
Bergegas
Jalal turun dari kamarnya berpamitan dengan kedua orang tuanya. Dia tidak
langsung mengikuti jejak Jodha tetapi memilih menjemput Man dari apartemennya.
Hari ini dia akan di temani oleh Mansingh saja, karena Surya pulang kerumah
orang tuanya. Dan Mansingh sudah diberitahu oleh Jalal akan rencananya itu,
jadi ketika Jalal menjemputnya dia sudah siap menunggu di depan apartemennya
meski sambil menggerutu karena masih merasa mengantuk. Terpaksalah demi
sahabat. Hehehe....
“Kok pagi
sekali sih bos berangkatnya? Masih ngantuk nih.” Kata Mansing sambil menguap
beberapa kali. Jalal menoleh sekilas sambil mendecak.
“Kamu ini.
Ngantuk, ngantuk. Ini sudah siang. Biasakan bangun pagi-pagi biar sehat.” Mansingh
mencibir.
“Iya, yang
lagi semangat-semangatnya untuk mengejar pujaan hatinya. Lah, aku mau mengejar
siapa? Apa untungnya bagiku?” ucap Mansingh pura-pura kesal. Jalal hanya
terkekeh sambil fokus mengemudikan jeepnya.
“Tau aja
kamu Man, kalau aku lagi bersemangat.” Mansingh mendengus, “lagian sejak kapan
kamu sudah memikirkan keuntungan?” tanya Jalal sambil tersenyum.
“Sejak
tadi.” Jawab Mansingh singkat. Kembali Jalal tertawa sambil menggelengkan
kepala.
“Kamu mau
aku kenalin sama perempuan?” Mansingh dengan cepat menoleh kearah Jalal.
“Cakep nggak
bos?”
“Kamu ini
kalau sudah masalah itu aja langsung semangat.” Gerutu Jalal, Mansingh terkekeh
sambil menggaruk kepalanya, “menurutku sih cantik juga. Dia temannya Inem.”
Wajah Mansingh langsung bersinar cerah, secerah matahari pagi itu.
“Oke.
Baiklah. Anggap saja kali ini kita berdua sedang mengejar cinta kita, walaupun
aku belum tahu siapa gadis yang bos maksud, tapi tak apalah. Biar saja agar aku
bersemangat kali ini.” Ucap Mansingh tertawa, Jalal hanya tersenyum senang
karena sekarang Mansingh sudah tidak mengantuk lagi.
“Oh ya Bos,
kita mau ngikutin Jodha kemana? Emang bos tahu tempatnya?” tanya Mansingh
kemudian. Jalal menggeleng, “hah, kok nggak tau sih bos? Terus kita mau kemana
ini? Muter-muter aja?” membuat Jalal kembali berdecak kesal.
“Kamu ini
kayak anak kecil belum di kasih jajan aja Man, banyak tanya.” Mansingh mencibir
lagi.
“Anak kecil
katanya. Bukannya situ yang anak kecil? Jatuh cinta kayak orang gila,
senyum-senyum nggak jelas, marah juga nggak jelas. Siapa coba yang kayak anak kecil?”
gantian Mansingh yang mengomel. Akhirnya Jalal hanya bisa terkekeh.
“Iya deh,
terserah kamu ajalah.” Mansingh masih cemberut.
“Terus kita
mau nyari kemana Bos?”
“Kamu tuh
ya, percuma jadi anak kuliahan kalau teknologi nggak dipake.” Mansingh menatap
Jalal dengan heran.
“Maksudnya?”
Jalal berdecak.
“Pake GPS
Man. Aku sudah periksa kalau GPS ponsel Inem aktif. Jadi kita tinggal mencari
aja lagi. Lagian sepertinya tempatnya masih di dalam kota kok.” Barulah Mansingh
mengerti maksudnya. Dia menggaruk-garuk kepalanya sambil meringis.
“Hehehe...iya
Bos, maaf. Loadingnya lambat banget. Maklum masih pagi.”
“Alesan aja.”
Mansingh hanya bisa terkekeh.
Setelah
menelusuri tempat sesuai yang di tunjukkan GPS ponsel Jodha, mereka pun sampai
di depan kantor kodim. Dari luar terlihat banyak orang yang sedang berkerumun.
Seperti sedang menonton sesuatu. Karena saking banyaknya orang sehingga apa
yang sedang telah terjadi di dalam tidak kelihatan dari luar.
“Yakin
disini tempatnya Bos?” tanya Mansingh masih terlihat tidak percaya. Jalal
mengangkat bahunya.
“Aku juga
nggak tahu Man. Tapi sepertinya GPS ponsel Inem menunjukkan disini kok. Lagian
sepertinya tadi pagi yang menjemputnya berpakaian TNI gitu.” Mulut Mansingh
membulat.
“Benarkah?
Jodha temannya TNI gitu? Aku harus bilang wow nih.” Seru Mansingh dengan kagum.
Namun Jalal sepertinya sedang memikirkan sesuatu.
“Tapi,
sepertinya laki-laki yang aku lihat sedang memeluk Inem waktu itu ya yang
menjemputnya tadi pagi?” kembali mulut Mansingh membulat.
“Gitu ya?” Jalal
mengangguk, “berita bagus nih.” Jalal mendecak.
“Bagus
kepalamu. Kalau benar laki-laki itu suka kepadanya itu bukan berita bagus
tahu.” Mansingh terkekeh.
“Eit...
belum apa-apa sudah cemburu Bos. Kan kita belum tahu kebenarannya, main cemburu
aja sih.” Jalal terdiam. Ucapan Man memang benar. Tetapi, rasanya susah sekali
untuk menyingkirkan semua perasaan itu.
“Aku harus
bagaimana Man, begitu banyak laki-laki disekelilingnya. Dan aku yakin pasti salah
satu diantara mereka yang punya perasaan suka sama dia.” ucap Jalal dengan nada
frustasi. Mansingh menoleh ke arah Jalal.
“Yang
pentingkan Jodhanya tidak membalas perasaan mereka kan Bos? Lagian kan mereka
sudah berteman dengannya sejak dulu, lah... bos baru aja bertemu dengannya.
Jadi jangan marah kalau dia punya teman laki-laki yang begitu banyak. Cemburu
hanya akan membuatnya menjauhimu saja.” Jalal manggut-manggut.
“Sudahlah
Bos, nggak usah dipikirkan. Untuk saat ini kayaknya Bos harus tahu dulu perasaan
Jodha bagaimana kepadamu.” Jalal mengangguk.
“Kamu benar
Man, aku memang harus belajar menahan diri.” Ucap Jalal mendesah pelan. Kembali
Mansingh terkekeh.
“Good. Itu
baru Jalal sahabatku.” Ucap Mansingh menepuk bahu Jalal, sedangkan yang ditepuk
hanya nyengir, “ayo kita turun, kita lihat dulu apa benar dia ada disana.” Ajak
Mansingh. Jalal mengangguk. Mereka berdua memakai jaket kulit warna hitam, topi
hitam, dan kacamata rayban untuk menyamarkan keberadaan mereka.
“Kita seperti Sherlock Holmes ya
Bos?” tanya Mansingh memperhatikan keadaan mereka. “Boleh. Tapi kamu yang pake
cerutunya ya?”
“Ogah. Bisa mabuk aku kalau
memakai cerutunya Bang Holmes.” Jalal terkekeh mendengarnya.
Mereka
berdua turun dari mobil setelah memarkirkannya di tempat yang disediakan buat
para pengunjung, dan mereka berbaur dengan para pengunjung lainnya. Jalal dan
Mansingh merengsek maju melewati orang-orang namun tidak sampai depan. Hanya
agar bisa sedikit leluasa melihat apa yang terjadi di depan itu.
Dan mereka
berdua hanya bisa melongo melihat di depan mereka. Jodha dan beberapa orang
lagi termasuk Bayu dan Nadia berpakaian serba putih seragam khas para karateka
nampak sedang melatih anak-anak usia sekolah dasar sedang berlatih karate.
Jumlah mereka lumayan banyak, dan Jodha sepertinya sangat menikmati sekali
perannya sebagai pengajar. Sesekali dia memperbaiki gerakan anak-anak itu yang
salah.
Karena hari
masih pagi, dan sinar matahari masih terasa hangat membuat semua yang berlatih
sangat bersemangat. Mansingh menyikut lengan Jalal membuat pemuda itu menoleh.
“Apa?”
“Tutup tuh
mulutnya, ntar kemasukan lalat.” Ledek Mansingh. Jalal mendengus.
“Pagi-pagi
mana ada lalat.” Protesnya. Mansingh terkekeh.
“Ada tuh
lagi nyari posisi yang enak buat masuk ke mulutmu kalau kebuka lagi. Segitu
terpesonanya melihat bidadari lagi action.”
Kembali Mansingh meledek, namun Jalal tetap fokus kepada Inemnya yang sedang
asyik mengajar, “eh Bos, katanya tadi Jodha di jemput siapa? Dan yang mana
orangnya?” tanya Mansingh penasaran.
“Bayu. Itu
orangnya.” Kata Jalal singkat dan menunjuk laki-laki yang sedang memimpin
pelatihan anak-anak itu. Mansingh sempat tersenyum geli melihat reaksi
sahabatnya itu sebelum akhirnya dia melihat ke arah seseorang yang ditunjuk
oleh Jalal.
“Wah, emang
ganteng dan gagah ya. Mana dia TNI lagi. Klop deh, pantes Jodha nggak tertarik
sama kamu Bos.” Ucap Mansingh dengan muka tanpa dosa, membuat Jalal mengeplak
kepalanya. Dia hanya meringis namun juga geli melihat sahabatnya dongkol dengan
ucapannya.
“Ngomong
sekali lagi, aku jamin besok kabar kamu akan terdengar dari rumah sakit dengan
kaki dan tangan patah.” Ucap Jalal dengan geram. Mansingh terkekeh, senang
sekali dia menggoda sahabatnya itu.
“Galak amat
Bos. Tega bener sama sahabat sendiri.”
“Salahnya
ngomong nggak pake dipikir dulu. Asal nyeplos aja.”
“Maaf Bos,
lagi males mikir. Hehehe...” sahut Mansingh dengan cengiran lebar. Jalal hanya
bisa mendesah pasrah. Matanya masih fokus dengan Inemnya yang sedang mengajar.
Sesekali
Jodha tertawa bersama dengan Nadia dan beberapa orang lainnya.
“Aku kangen tawamu Nem, jujur aku iri sama
mereka yang bisa mendapatkan tawamu. Dan kamu seakan membuat jarak antara kita.
Aku ingin kamu nggak menganggapku sebagai majikan, tetapi aku ingin kamu
menganggap aku sebagai seseorang yang spesial dihatimu.” Bisik hati Jalal.
Jalal bahkan
tidak sadar kalau Mansingh merekam semua kegiatan Jodha hari ini. Mansingh tahu
jiwa sahabatnyà itu tidak sedang berada di tempat. Tetapi melayang disamping
wanita perkasa di depan sana. Itu terlihat dari tatapannya yang tidak pernah
lepas dari gadis itu.
Satu jam
telah berlalu sejak mereka berdua berdiri disitu, dan para penonton yang
kebanyakan orang tua dari anak-anak yang berlatih disitu tidak ada yang
beranjak dari tempatnya. Mereka terlihat antusias sekali tidak jauh berbeda
dengan anak-anak mereka.
Latihan yang
dilakukan itu pun berakhir sudah, keringat bercucuran terlihat di wajah
anak-anak itu. Namun, wajah mereka terlihat gembira. Begitupun dengan para
pengajarnya. Jalal melihat senyuman Inemnya begitu lepas.
Satu per
satu anak-anak tersebut berpamitan dengan para pengajar dan pulang bersama
orang tua mereka yang sejak tadi menunggu kegiatan latihan. Jalal dan Mansingh
kembali ke mobil mereka ketika dirasa hanya tinggal mereka berdua yang berada disitu,
takut nanti mereka malah dicurigai.
Jodha dan
teman-temannya yang telah berganti pakaian segera meninggalkan tempat itu dan
menuju jeep Bayu bersama Nadia juga tentunya. Jalal menyenggol tangan Mansingh
dan menunjuk dengan isyarat dagunya ke arah Jodha dan teman-temannya. Mansing
mengerutkan keningnya tidak mengerti.
“Apa Bos?”
“Itu
perempuan yang aku maksud temannya Inem?” kata Jalal menunjuk ke arah Nadia
yang duduk di belakang. Bola mata Mansingh membesar penuh harapan melihat orang
yang di tunjuk oleh Jalal.
“Hah. Dia
bos?” gantian Mansingh menunjuk Nadia yang nampak tertawa bersama Jodha sebelum
akhirnya mereka meninggalkan tempat itu.
“Kenapa?”
tanya Jalal heran.
“Cantik
juga.” Jawab Mansingh nyengir. “tapi terlihat tomboy gitu.” Jalal mengangguk.
“Sepertinya
begitu. Dan aku pernah berbicara dengannya.”
“Oh ya?” Mansingh
menoleh ke arah Jalal, “orangnya bagaimana Bos?” Jalal terkekeh.
“Menurutku
sih orangnya cuek dan ngomong sekehendak kepalanya saja.” Mansingh tertawa
geli, “waktu itu aku terlanjur jengkel sih sama dia?”
“Oh ya?”
“Iya. Masa
dia bilang aku Pak Bos? Aku kan bukan bapak-bapak. Eh, dianya malah tertawa
cekikikan mendengar aku omelanku.” Mansingh kembali tertawa.
“Oh ya?”
Jalal
menoleh ke arah Mansingh, dan cemberut.
“Emang nggak
ada kata-kata lain buat nyahut selain “Oh ya”?” Mansingh tertawa
terbahak-bahak.
“Maaf Bos,
nggak sengaja. Aku pikir Bos belum kenal dengan gadis itu. Aku jadi penasaran
nih.” Jalal mencibir, “ya sudah, ayo kita susul Bos.” Ajak Mansingh. Akhirnya
Jalal menuruti keinginan sahabatnya itu. Mereka berdua kembali melaju menuju
tanda yang diberikan GPS Jodha.
Tidak perlu
waktu lama untuk mereka mendapatkan kembali dimana tempat Jodha berada. Kini
mereka berada di depan sebuah gedung besar dengan papan nama sebuah dojo
(tempat latihan karate) dan juga fitness
center. Mereka berdua kembali diam dan saling berpandangan.
“Bener
mereka kesini Bos?” tanya Mansingh sedikit bingung. Jalal mengangkat bahu.
“Sepertinya
begitu Man, ayo kita coba masuk.”
“Emang tidak
apa-apa ya? Sepertinya masih sepi gitu. Kayak belum buka?” tanya Mansingh
ragu-ragu.
“Kita coba
dulu. Itu ada penjaganya disana.” Kata Jalal menunjuk pos penjaga di samping
pintu gerbang. Karena memang gedung itu di kelilingi oleh pagar tembok,
sehingga mau tidak mau mereka harus masuk lewat pintu gerbang itu. Mansingh pun
mengangguk pasrah.
Jalal
memajukan mobilnya sampai di depan pintu gerbang, mematikan mesin mobilnya dan
bertanya kepada penjaganya.
“Maaf Mas, biasanya
gedung fitness centernya dibuka jam berapa?” tanya Jalal sambil melepaskan
kacamatanya.
“Oh,
biasanya buka jam 10 pagi Mas.” Jalal mengangguk, “Masnya kepagian tuh.”
“Ehm, tadi
teman saya Bayu menyuruh saya kesini pagi tadi Mas. Saya pikir ini dia sudah
datang, makanya saya bertanya sama Mas karena memang saya belum pernah kesini
sebelumnya.” Ucap Jalal sedikit berbohong, dan sepertinya penjaga itu percaya
saja dengan ucapan Jalal.
“O, gitu?
Mas Bayu sudah datang dari tadi Mas, silakan saja masuk saja.” Kata penjaga
itu.
“Oke.
Makasih ya Mas.” Ucap Jalal sambil tersenyum dan akan segera menghidupkan mesin
mobilnya namun kemudian dia seperti teringat akan sesuatu. Dia kembali menoleh
ke arah penjaga tersebut, “oh ya Mas, biasanya Bayu kalau pagi seperti ini
sedang diruangan mana ya?”
“Biasanya
kalau hari minggu mereka latihan di dojo Mas sampai siang. Karena dojo dibuka
untuk umum pukul 02.00 siang sampai malam.” Terang penjaga. Jalal mengangguk.
“Hm..begitu
ya.”
“Iya Mas.”
“Ya sudah
kalau begitu makasih ya, saya masuk dulu.”
“Iya Mas.
Jalal
akhirnya menstarter kembali mobilnya dan masuk pintu gerbang tanpa halangan. Ternyata
di parkiran sudah terparkir beberapa mobil termasuk jeep milik Bayu. Setelah memarkirkan
jeepnya mereka berdua pun masuk. Suasana sepi memudahkan mereka untuk
memperhatikan suasana sekeliling.
Begitu
melewati pintu masuk, mereka di hadapkan disebuah ruangan panjang yang sepertinya
berfungsi sebagai ruang tunggu. Karena terdapat banyak kursi tunggu. Dan di
hadapan mereka terdapat dua buah pintu. Di atas
pintu pertama terdapat tulisan dojo, dan di atas pintu kedua terdapat
tulisan fitness center.
“Sepertinya
kita masuk lewat pintu itu Bos.” Tunjuk Mansingh ke arah pintu yang ada tulisan
dojo. Jalal mengangguk.
“Sepertinya
begitu Man.” Ucap Jalal.
Mereka
berdua pun perlahan membuka pintu dan masuk ke dalam. Begitu pintu terbuka, nampaklah
ruangan yang luas khas untuk berlatih bela diri lengkap dengan peralatannya. Matras
lebar pun menghiasi lantai tersebut dan ruangan tersebut di dominasi dengan
warna merah. Di bagian depan terdapat dinding dari cermin besar. Sehingga
setiap yang berlatih di tempat itu akan melihat sendiri gerakannya.
Namun,
sepertinya masih terdapat beberapa ruangan lagi yang berada disitu. terdengar
suara seperti orang memberi perintah. Karena ruangan tersebut di buat kedap
suara maka dari luar tadi mereka tidak mendengar suara apa-apa.
Mereka pun
menuju pintu yang terdengar suara. Perlahan Jalal membuka pintu tersebut,
dan... mereka berdua kembali takjub dengan keadaan disana. Jodha dan Nadia
sedang berlatih menggunakan punching pad
(mirip sansak tetapi dipakai menggunakan tangan, bentuknya ada yang kotak,
persegi panjang, dan juga oval). Satu punching
pad dipegang oleh Bayu dan dipukul oleh Jodha, sedangkan punching pad yang dipukul oleh Nadia di
pegang oleh salah seorang laki-laki yang Jalal tidak kenal.
Di beberapa
tempat lain di ruangan itu juga terdapat beberapa orang yang sedang latihan
serupa dengan apa yang dilakukan oleh Jodha dan Nadia. Pakaian mereka pun bukan
pakaian karate, rata-rata mereka menggunakan celana army dengan kantong banyak
dan menggunakan kaos berwarna hijau khas TNI, sedangkan Jodha dan Nadia
menggunakan celana serupa namun bagian atas menggunakan tank top dengan tali
lebar yang menutupi bahu.
Keringat
nampak membasahi wajah Jodha yang rambutnya di ikat kuda, begitu juga dengan
Nadia. Tanpa sadar Jalal dan Mansingh menelan ludah melihat kedua perempuan
itu. Terlihat lemah diluar namun begitu kuat dalam tindakan. Mereka berdua
masih belum bergerak dari tempat mereka berdiri dekat pintu masuk. Untungnya di
tempat itu terdapat banyak sansak besar yang tergantung dan juga peralatan lain
yang memudahkan mereka untuk bersembunyi dan mengintip.
“Bos,
ternyata Jodha begitu seksi dan luar biasa ya.” Kata Mansingh dengan
pandangannya tidak lepas dari kedua perempuan itu. Jalal mengangguk.
“Iya Man.
Gila, nggak nyangka aku dia sehebat itu. Aku aja sebagai laki-laki merasa lemah
berhadapan dengannya.”
“Bener tuh
Bos. Sama seperti temannya itu. Siapa namanya Bos?”
“Nadia.”
Jawab Jalal singkat.
“Hm...iya.
Nadia. Bagus juga namanya. Sesuai dengan orangnya” kata Mansingh dengan
semangat, “ih, jadi nggak sabar ingin kenalan nih.”
“Hati-hati
Man, jangan macam-macam sama tuh anak. Bisa-bisa tulangmu patah nanti di
jadikan sansak sama dia.” Ucap Jalal sambil tergelak. Mansingh cemberut.
“Ya nggak
mungkinlah aku macam-macam Bos. Tapi, asyik juga sih punya pacar jago karate
gitu.” Gumam Mansingh. Jalal tidak menjawab, dia terus memperhatikan Jodha yang
masih berlatih dengan Bayu. Sesekali dia menggeram kesal karena beberapa kali
juga dia melihat Bayu memegang bahu dan tangan Jodha, meskipun itu untuk memperbaiki
gerakannya yang salah.
Entah kenapa
melihat laki-laki lain menyentuh Inemnya, rasanya Jalal seperti tidak rela.
Padahal bisa saja orang tersebut tidak mempunyai maksud apa-apa, hanya saja
bagi Jalal itu menyakitkan. ck.
Selesai
latihan menggunakan punching pad Jodha
kembali berlatih bersama bayu menggunakan gerakan tangan kosong. Jodha begitu
bersemangat sekali berlatih, beberapa kali Bayu memberikan pujian untuknya dan
dibalas dengan senyuman oleh gadis itu.
“Bagus Jo, latihan
kamu sudah mengalami peningkatan. Gerakan kamu juga sudah tidak kaku lagi, dan
Abang harap kamu selalu berlatih seperti ini ya.” Kata Bayu merengkuh bahu
Jodha. Gadis itu tersenyum dan mengangguk.
“Iya Bang.
Makasih ya, Abang sudah banyak membantuku.”
“Hush. Nggak
boleh ngomong begitu. Kamu itu adiknya Abang. Sama seperti Nadia juga. Abang
sayang sama kamu.” Kata Bayu membawa Jodha duduk di lantai untuk beristirahat.
Mereka berdua meminum air mineral yang sudah tersedia ditempat itu. Sedangkan
Nadia masih bersemangat latihan, tidak peduli keringat sudah membanjiri
pakaiannya. Jodha hanya tersenyum melihat sahabatnya itu seperti tidak mengenal
lelah untuk berlatih.
“Nad,
istirahat dulu.” Kata Bayu kepada adiknya. Nadia menoleh.
“Iya Bang.
Sebentar.” Sahutnya dengan terus melanjutkan latihannya. Namun, tidak lama
kemudian dia pun berhenti, menyeka keringat dengan handuk dan duduk di samping
Jodha dan Abangnya. Melepaskan hand wrap
wrist wrap (kain panjang yang digunakan untuk membungkus tangan, umumnya
mulai dari pergelangan tangan sampai ke pangkal jari. Ada yang panjang dan ada
yang pendek. Biasanya yang pendek hanya membungkus pangkal-pangkal jari
dan pergelangan tangan, sedangkan yang
panjang bisa membungkus mulai dari pergelangan tangan, punggung tangan,
pangkal-pangkal jari dan digulung ke atas pergelangan tangan untuk bahan
penambah bantalan benturan ketika memukul. Tujuan menggunakan hand wrap ini
adalah agar melindungi tangan kita ketika bermain-main dengan sansak.), kemudian
mengambil air mineral dan meminumnya.
“Jadi perform hari ini ya Jo?” Jodha terdiam,
“di cari Abang Todar tuh. Katanya kita lama nggak tampil. Dicariin sama
langgananmu.” Jodha tertawa mendengar ucapan Nadia.
“Abang
sendiri gimana? Bisa nggak? Kalau cuma kita aja ya mending nggak usah deh.”
Nadia menoleh kearah Abangnya.
“Gimana
Bang? Bisa nggak? Bisa aja ya?” ucap Nadia setengah memaksa. Bayu tertawa.
“Kamu ini
Nad, itu ngajak apa maksa?” Nadia nyengir.
“Terserah
Abang aja sih. Ngajak apa maksa yang penting Abang harus ikut. Kalau
personilnya kurang ya nggak asyik dong Bang.”
“Iya. Abang
ikut. Tapi, ke tempat papi sama mami Abang nggak ikut ya. Abang ada kerjaan tuh
di kantor.” Kata Bayu mengalah. Nadia bersorak.
“Yeayy,
akhirnya Abang ikut juga. Makasih ya Bang.” Nadia memeluk lengan Abangnya dan
Bayu pun tersenyum sambil mengusap rambut adiknya dengan sayang. Mereka tidak
sadar kalau mereka di intip oleh Jalal dan Mansingh yang masih sangat betah
berada di tempat persembunyiannya. Pemandangan tersebut terlalu asyik untuk dilewatkan.
Setelah di
rasa istirahat cukup, mereka kembali latihan. Kali ini Jodha dan Nadia
masing-masing bertanding dengan salah satu teman mereka yang laki-laki. Pertama
Nadia bertanding, dia membungkukkan tubuhnya untuk memberi hormat dan kemudian
bersiaga memasang kuda-kuda, begitu juga dengan lawannya. Mansingh nampak
tegang dan menahan nafas melihatnya. Setelah mendapat aba-aba mereka berdua pun
maju berbarengan, dan tidak perlu waktu lama untuk Nadia melumpuhkan lawannya. Semua
bertepuk tangan dan Nadia membungkukkan tubuhnya untuk memberi hormat. Mansingh
sampai mengucapkan kata “wow” beberapa kali. Dia sungguh terpesona dengan gadis
itu.
Giliran yang
kedua adalah Jodha. Sama halnya seperti Nadia, dia tidak mengalami kesulitan
dalam melumpuhkan lawannya. Gerakannya pun begitu lentur dan tidak kaku.
Terbersit rasa kagum di hati Jalal melihat gadis pujaannya itu berhasil
menaklukkan lawannya. Inemnya begitu mempesona luar biasa.
Setelah Jodha,
giliran teman-teman mereka yang lain. Kalau dihitung jumlah mereka sekitar 10
orang, dan hanya Jodha dan Nadia yang perempuan disitu.
Pertandingan
yang kedua. Kali ini Jodha maju yang pertama kali, dia bertanding melawan 4
orang teman mereka. Jodha bersiaga di tengah, tangannya mengepal matanya
menatap tajam kebawah namun telinga penuh kewaspadaan terhadap gerakan sekecil
apapun dari lawannya. Jalal sampai menahan nafas dan badannya terasa panas
dingin saking tegangnya. Bagaimana nanti kalau Inemnya kena tendangan dan
kenapa-kenapa? Dia tidak bisa membayangkan hal itu.
Jodha yang
sudah bersiap ketika terdengar aba-aba dari Bayu selaku wasit pertandingan itu.
Laki-laki yang berada di depan dan belakang Jodha mulai bergerak menyerang.
Namun, gerakannya terhenti ketika mendengar suara.
“Jangaaann!”
Semua
terkejut. Mansingh dan Jalal pun ikut terkejut. Jalal bahkan lebih terkejut
karena mendengar suaranya sendiri tanpa sadar sudah berteriak menyuruh mereka
yang bermaksud menyerang Jodha untuk berhenti.
Jodha
terbelalak kaget ketika menoleh kearah suara tadi. Dia melihat tuan mudanya dan
juga Mansingh berdiri di dekat pintu dan menatapnya.
“Tuan...?”
“Bang Bos?”
Ucap Jodha
dan Nadia secara bersamaan. Sementara Bayu dan teman-teman Jodha yang lain
hanya bengong keheranan. Tidak pernah ada sebelumnya ada orang yang secara
sembunyi-sembunyi melihat kegiatan mereka.
“Kalian
kenal dengan mereka?” Tanya Bayu kepada kedua perempuan itu. Keduanya serempak
mengangguk. Jodha berjalan menghampiri Jalal dan Mansingh yang masih tersenyum
kikuk. Sementara Nadia dan yang lainnya hanya memandang mereka dari kejauhan
saja. Seperti teringat sesuatu Nadia berbisik kepada Abangnya, dan yang
dibisikin tersenyum geli sambil mengangguk.
“Oke Bang?”
tanya Nadia mengedipkan sebelah matanya.
“Siip.”
Jawab Bayu mengacungkan jempolnya. Mereka berdua tersenyum bersama.
Jalal yang
didatangi oleh Jodha hanya bisa berdiri tidak bisa beranjak kemana pun.
Padahal, Jodha tidak melakukan apa-apa. Namun, rasa malu karena ketahuan
membuat Jalal bingung harus berbuat apa?
“Tuan...”
“Inem...”
kata Jalal tersenyum meringis. Sementara Mansingh yang berdiri disampingnya
hanya memutar bola mata dengan malas. Setelah sadar dari keterkejutannya,
Mansingh pun tidak bisa menghindar dari pandangan orang-orang itu. Dia hanya
berdiri pasrah di samping Jalal.
“Kok Tuan
ada disini sih?”
“Ng...ng...itu...aku...”
Jalal tergagap sambil mengusap tengkuknya. Jodha melebarkan matanya.
“Apa? Tuan
ngomong apa sih? Tuan ngikuti saya ya?” Jalal semakin serba salah.
“Ng...nggak
kok.” Jodha mendekatkan wajahnya ke wajah Jalal, dan menatapnya dengan tersenyum.
“Terus?”
Jodha memainkan kedua alisnya. Mansingh tanpa sadar berdecak melihat sahabatnya
itu salah tingkah, “ngaku nggak kalau Tuan emang ngikutin saya?” Jalal akhirnya
menghembuskan nafas panjang.
“Iya.
Memangnya kenapa?” sahut Jalal menjadi jutek.
“Ck. Udah
ketahuan salah malah marah. Dasar labil.” Gerutu Jodha, Mansingh menggelengkan
kepalanya melihat Jalal seperti itu, “ya sudah, ayo ikut bergabung disana aja.”
Ajak Jodha. Namun, Jalal masih diam. Dengan terpaksa Jodha menarik tangan tuan
mudanya untuk bergabung dengan teman-temannya.
Dengan wajah
datar Jalal menyembunyikan rasa malunya, dia mengikuti Jodha dan di belakangnya
Mansingh juga mengikutinya.
“Bang,
kenalin ini majikanku.” Kata Jodha memperkenalkan Jalal kepada Bayu, “dan Tuan,
ini Abang Bayu pelatih disini.”
Jalal
menegakkan kepalanya dan menaikkan sedikit dagunya memandang ke arah Bayu, dia
mengulurkan tangannya untuk bersalaman. Sementara Bayu tersenyum dalam hati
melihat Jalal yang mencoba untuk mengintimidasinya. Mungkin Nadia benar pikirnya,
laki-laki ini memang menyukai Jodha dan dia cemburu padaku. Bisik hati Bayu.
Dia pun menyambut uluran tangan Jalal.
“Jalal...
majikan Jodha.” Katanya sambil tersenyum miring.
“Bayu...
calon tunangan Jodha.” Jawab Bayu dengan enteng.
Namun, yang mendengar
tidaklah seenteng itu. Jodha yang mendengar langsung mendongak dan menatap Bayu
dengan tatapan tanda tanya, dan yang dipandangi hanya mengeluarkan smirknya. Nadia pun diam. Padahal di
hatinya bersorak melihat wajah Jalal yang berubah pias. Dengan cepat Jalal
melepaskan tangannya dari Bayu.
“Oh...”
hanya itu kata yang keluar dari mulutnya, namun dihati terasa ada yang
mencabik. Tidak kelihatan namun rasanya sakit sekali. Jalal menoleh ke arah
Jodha yang juga menatapnya dengan pandangan seolah berkata apakah Tuan baik-baik saja?, dan dia menarik ke atas kedua sudut
bibirnya sehingga membentuk senyuman. Namun, terlihat sekali kalau itu senyum
di paksakan, “maaf ya Nem, aku sudah mengikutimu. Harusnya aku nggak lakukan
itu. Sekali lagi maaf.” Jalal kembali menoleh ke arah Bayu yang masih
menatapnya dengan serius, “ maaf juga aku sudah mengganggu latihannya. Aku
janji nggak akan lagi.” Jawab Jalal dengan lemas, “ayo Man, kita pulang.” Ajak
Jalal sambil membalikkan badannya berniat untuk meninggalkan tempat itu.
Hatinya
sakit sekali. Oh, tidak! Ini bahkan sangat sakit. Mungkin sewaktu laki-laki
yang mengaku sebagai calon suami Inemnya, hatinya tidak sesakit ini karena
terang-terangan gadis itu menolak. Namun sekarang, walaupun Jodha mengatakan
dia tidak pernah jatuh cinta tetapi nyatanya dengan perilaku dan perhatiannya
kepada laki-laki itu bisa sajakan apa yang dikatakan Bayu itu benar. Lagipula,
apa kurangnya Bayu untuk Inemnya? Tidak ada. Semua sudah sangat sempurna. Semua
yang di idamkan oleh semua wanita ada padanya.
Sambil
melangkah Jalal memejamkan matanya. Kali ini apa yang sudah di duganya dulu
memang menjadi kenyataan. Mansingh menatap iba melihat sahabatnya begitu sedih.
Yah, siapapun yang tidak sedih ketika mendengar orang yang dicintai ternyata
akan memiliki tunangan. Mansingh menepuk bahu sahabatnya berulang kali, Jalal
hanya tersenyum.
Sementara
Jodha yang masih terpaku melihat tuan mudanya melangkah pergi keluar kembali menatap
Bayu yang tersenyum dan mengangkat bahunya, sedangkan Nadia hanya terkikik geli
melihat Jodha.
“Abang, apa
maksudnya ini? Kenapa Abang bilang kalau kita akan tunangan?” Bayu terkekeh.
“Tidak ada
maksud apa-apa Jo, hanya saja Nadia ingin melihat apa benar majikanmu itu cinta
sama kamu?” Jodha melongo.
“Hah?”
“Ck. Kamu
nggak lihat reaksi majikanmu itu tadi ketika Abang bilang calon tunanganmu?”
tanya Nadia, Jodha menggeleng, “emang dasar nggak peka kamu ini.” Jodha masih
diam, “ketika Abang bilang dia calon tunanganmu dia seperti orang kehilangan
semangatnya, sepertinya dia sakit hati tuh. Hehehe....” sambung Nadia yang
membuat Jodha melotot.
“Jadi...jadi...tadi
itu sengaja ya?” Nadia dan Abangnya kompak mengangkat bahu, dan bertos ria,
“Nadia, awas kamu ya.” Ancam Jodha sembari meninggalkan mereka berdua yang
masih tertawa terkekeh, untuk menyusul tuan mudanya. Jodha tidak mau majikannya
itu salah paham kepadanya. Apalagi seminggu ini laki-laki itu bersikap cuek
kepadanya.
Jodha
berlari menuju pintu dan melihat tuan mudanya sudah duduk di atas jeepnya.
“Tuan...”
panggilnya dengan keras. Jalal yang bermaksud menghidupkan mesin mobilnya
menoleh ke arah Jodha yang melambaikan tangan ke arahnya. Namun, Jalal hanya
diam saja menatap gadis itu yang kemudian berjalan setengah berlari menuju
jeepnya.
“Ada apa?”
tanya Jalal dengan wajah datar. Matanya menatap lurus kedepan, malas untuk
melihat ke arah Jodha yang masih tersengal-sengal nafas karena berlari.
“Tuan,...
itu semua salah paham. Please turun
dulu deh. Biar saya jelasin.” Namun, Jalal masih diam saja tidak mau turun dari
jeepnya.
“Salah paham
apa? Ingin bilang kalau kamu memang mau tunangan sama dia?” sahut Jalal dengan
ketus. Jodha dan Mansingh hanya menggeleng.
“Bukan itu
Tuan.” Jalal akhirnya menoleh ke arah Jodha.
“Terus?”
“Udah. Ayo
turun. Nanti saya jelaskan.” Ucap Jodha membuka pintu mobil dan menarik tangan
Jalal keluar. Dengan terpaksa akhirnya Jalal pun menurut, dia keluar dari
jeepnya berdiri dekat mobilnya dan bersidekap dia menatap Jodha dengan tajam.
“Sekarang
apa yang ingin kamu jelasin sama aku, Nem?” tanya Jalal tidak sabar. Jodha
tersenyum.
“Tuan
sebenarnya salah paham...”
“Salah paham
apa?” potongnya dengan cepat.
“Dengar dulu
Tuan. Saya dengan Abang Bayu itu bukan mau tunangan.”
“Terus?”
“Dia itu
hanya ingin menguji Tuan saja.”
“Maksudmu?”
“Iya. Abang
sama Nadia itu hanya ingin menjahili dan menggoda Tuan saja.” Jalal mengangkat
sebelah alisnya, “mana mungkinlah saya tunangan sama Abang, Tuan. Dia itu sudah
punya anak dan istri kok. Saya adik angkatnya dia. Ini kerjaan Nadia yang usil
sama Tuan.” Jalal menggeram jengkel. Namun, dibalik hatinya terselip rasa lega
karena memang semua itu hanyalah kebohongan yang dilakukan Nadia.
“Kamu
serius?” tanya Jalal pura-pura masih jutek. Jodha tersenyum dan mengangguk.
“Iya Tuan.
Lagian, ngapain saya bohong. Kan biasanya juga saya ngomong apa adanya.” Wajah
Jalal semakin berseri mendengarnya.
“Aku tanya
sekali lagi, kamu nggak tunangan sama dia atau orang lain kan Nem?” tanya Jalal
sambil memegang kedua tangan Jodha. Jodha mengangguk, pipinya sedikit memerah.
“Iya Tuan.
Memangnya kenapa?”
Jalal tidak
dapat menyembunyikan kebahagiaannya, tanpa sadar dia memeluk Jodha dengan erat.
Jodha yang dipeluk terkejut dengan reaksi tuan mudanya itu. Namun, kemudian dia
hanya membiarkannya saja dan tersenyum ikut merasakan kebahagiaan tuan mudanya.
Mansingh yang melihat mereka berdua hanya kembali menggeleng. Jalal kemudian
melepas pelukannya dan tersipu malu karena tanpa sadar sudah memeluk Inemnya.
“Makasih ya
Nem.”
“Makasih
untuk apa Tuan?” tanya Jodha dengan heran namun hatinya terada berdebar.
“Karena kamu
bukan milik siapa-siapa saat ini.”
“Maksud
Tuan?” Jalal mengusap tengkuknya. Wajahnya memerah.
“Hm...nggak
usah dipikirlah itu. Nanti juga tahu.” Kata Jalal agak gugup. Mansingh yang
mendengar hanya bisa mencibir saja.
“Ck. Dasar
lamban.”
Jodha
mengangguk. Walaupun hatinya penuh tanda tanya namun dia tidak bertanya lagi.”
“Ya sudah,
kalau begitu ayo kita masuk lagi.” Ajak Jodha. Tapi, sepertinya Jalal masih ragu,
“kenapa Tuan?”
“Ehm...,
emangnya nggak apa-apa kalau kami masuk lagi kesana? Kan kami bukan ingin ikut
latihan.” Jodha tersenyum.
“Nggak
apa-apa kali Tuan. Tenang aja. Abang Bayu baik kok. Ayo, nggak usah takut. Lagian
singa betinanya juga udah jinak kok kalau ada abangnya.” Ujar Jodha sambil
terkikik geli.
“Singa
betina? Siapa?”
“Siapa lagi?
Nadialah.”
“Oh. Iya
deh. Sekalian tuh Mansingh ingin kenalan dengan Nadia katanya.” Ucapan Jalal
membuat Mansingh menoleh dengan cepat kearahnya dan mendelik. Namun, Jalal
hanya terkekeh. Begitu juga dengan Jodha.
“Nggak usah
malu-malu Man, santai aja. Ayo Masuk.” Ajak Jodha lagi. Akhirnya mereka berdua
pun mengikuti langkah Jodha masuk ke dalam gedung itu.
Ketika masuk
ke dalam ruangan tadi nampak Nadia tersenyum geli melihat Jalal yang masuk lagi
bersama Jodha. Sementara Bayu sedang berbincang dengan teman-temannya yang
lain.
“Eh, Bang
Bos nggak jadi ngambek nih? Nggak jadi pulang?” ejek Nadia membuat Jalal merasa
geram. Tangannya mengepal. Ingin rasanya dia mencubit mulut Nadia sampai dia
berteriak minta ampun.
“Udah Nad. Nggak
usah diperpanjang lagi.” Kata Jodha menengahi. Nadia hanya cekikikan saja.
“Kan kalau
cinta nggak bisa marah lama-lama ya Bang Bos?” lagi-lagi ucapan Nadia membuat
wajah Jalal memerah karena malu.
Mansingh
yang sejak tadi hanya diam, rupanya asyik memperhatikan Nadia. Gadis itu nampak
manis, lucu dan menggemaskan. Tidak sesuai dengan kekuatannya. Tanpa sadar
Nadia melirik ke arahnya. Wajahnya yang tadi selalu tersenyum sekarang menjadi
judes.
“Apa
lihat-lihat? Nggak pernah liat gadis cantik lagi ketawa?” Tanya Nadia dengan
ketus membuat Mansingh melongo. Padahal tadi dia nampak menggemaskan, kenapa
sekarang jadi jutek gitu? Mana cuma sama dia aja. Sama Jalal malah tertawa
mengejek.
“Ih, nih
anak labil banget.” Gumam Mansingh.
“Apa kamu
bilang?” tanya Nadia mengacungkan tinjunya kearah Mansingh. Rupanya Nadia
mendengar gumamannya tadi. Mansingh mengangkat kedua tangannya tanda menyerah.
Jalal dan Jodha tertawa melihat mereka berdua.
“Nggak.
Nggak. Kamu salah dengar aja. Aku nggak ngomong apa-apa kok. Suer.” Nadia
menatapnya dengan tajam.
“Awas kalau
berani macam-macam ya, aku bikin kamu tidak bisa berdiri lagi.” Membuat
Mansingh meringis.
“Sudah Nad,
kasihan anak orang tuh ketakutan begitu.” Tegur Jodha. Nadia hanya mencebikkan
bibirnya mendengar teguran Jodha.
“Abang,
sini.” Panggil Jodha. Bayu mendekat.
“Ada apa
Jo?”
“Abang minta
maaf tuh, sudah bohong sama majikanku.” Pinta Jodha membuat Bayu terkekeh.
“Iya deh.
Maaf ya Jalal, Abang tadi cuma becanda. Itu semua kerjaannya Nadia. Adik Abang
yang usil ini.” Kata Bayu merengkuh bahu Nadia dan mengacak rambutnya, membuat
gadis itu tertawa.
“Nggak
apa-apa Bang, lagian aku juga baru tau kalau ada gadis manis kayak dia bisa
usil juga ternyata.” Sindir Jalal.
“Makasih.”
Ucap Nadia tersenyum tanpa merasa tersinggung. Jalal hanya bisa menahan dongkol
dalam hati.
“Ya sudah,
karena hari sudah siang. Kita sudahi saja latihan hari ini.” Ajak Bayu, mereka
pun mengangguk setuju.
“Oke Bang.
Abang jadikan ikut ke tempat Abang Todar. Abang sudah janji lo?” tagih Nadia.
“Iya, iya
sayang. Abang ikut. Kan Abang sudah janji.”
“Asyik. Iya
deh kalo gitu.” Ucap Nadia berlari membereskan peralatannya dan mengganti
pakaian.
“Tuan mau
ikut lagi atau mau pulang sendiri?” tanya Jodha kepada Jalal yang sedang asyik
memperhatikan mereka yang sedang berberes-beres.
“Emang kamu
mau kemana lagi Nem?” Jodha tersenyum.
“Rahasia.”
Jalal cemberut.
“Emang boleh
kalau kami ikut?”
“Ya
bolehlah. Nggak ada yang melarang kok.”
“Oke.
Baiklah. Dengan senang hati aku akan mengikutimu seharian ini.” Jodha hanya
terkekeh, kemudian menyusul Nadia untuk berganti pakaian.
===TBC===
Tidak ada komentar:
Posting Komentar