Jalal
bingung apa yang harus dilakukan. Lama dia hanya terdiam dan mereka hanya
saling menatap tanpa berkata apapun. Jalal memberanikan diri untuk melangkah
dan duduk dipinggiran dipan dengan posisi membelakangi Jodha yang masih
tiduran. Namun belum berani untuk berbicara apapun. Akhirnya Jodha pun bangkit
dan duduk disamping Jalal dengan pandangan menunduk.
“Jalal...” Panggil Jodha lirih
“Ya?” Jawab
Jalal sambil menoleh. Sementara Jodha masih menunduk.
“Aku
takut....bisakah kita melewati semua ini? terasa semua masih bagaikan mimpi." Kata Jodha sambil memilin-milin jemarinya sendiri. Jalal menghela nafas
panjang.
“Entahlah
Jo, akupun juga masih menganggap ini tidak nyata. Tetapi inilah yang
terjadi.” Jalal memberanikan diri untuk memegang tangan Jodha dan
menggenggamnya. Jodha hanya diam dan membiarkan tangannya digenggam oleh Jalal.
“Pandang
aku, Jo.” Jalal dengan tangannya memegang dagu Jodha serta memalingkan
kepadanya. Jalal terkejut ketika melihat bulir-bulir bening mengalir turun dari
kedua mata Jodha walaupun tanpa suara, “kamu nangis, Jo?” Kata Jalal mengusap
air mata itu perlahan. Hatinya terasa sakit melihat air mata itu. Semakin
membuatnya dilanda rasa bersalah.
Jodha
menggeleng dan tersenyum tipis. “Aku tidak apa-apa, Jalal. Maafkan bila
aku tidak bisa menahan air mata ini. Setidaknya air mata ini bisa memberikan
aku sedikit kekuatan dan melepas segala beban."
“Kau tahu Jo,
melihatmu menangis membuat hatiku terasa sakit. Andai ada yang bisa aku lakukan
untuk menebus semua ini pasti akan aku lakukan. Aku tidak ingin melihatmu sedih
dan menangis." Jalal merangkul bahu Jodha dan merengkuhnya kedalam pelukannya.
Jodha merasakan kedamaian dan kehangatan diperlakukan seperti itu. Membuatnya
semakin merasa membutuhkan suaminya itu.
Terkadang
berbagi masalah dan menghadapinya bersama membuat rasa cinta yang awalnya kecil
akan menjadi semakin membesar. Semakin banyak waktu bersama akan membuat cinta
semakin subur. Kita tidak dapat memilih kepada siapa cinta akan berlabuh,
tetapi bila hati sudah merasakan kedamaian maka teruslah untuk selalu
menjaganya. Karena untuk apa mempertahankan cinta tetapi sakit, lebih baik damai
dan nyaman maka lambat laun akan lahirlah cinta. Cinta yang menguatkan, cinta
yang tidak menuntut, cinta yang mampu memberikan kekuatan.
“Baiklah Jo,
sekarang kita istirahat dulu ya. Untuk besok biarlah bagaimana besok saja.
Asalkan kita selalu bersama aku yakin kita pasti bisa menghadapinya. Aku ingin
kita bisa saling menguatkan dalam keadaan apapun." Ucap Jalal sembari
melepaskan pelukannya. Jodha mengangguk. Kemudian membaringkan tubuhnya dan
tidur dengan posisi miring membelakangi Jalal.
Sementara
Jalal sesaat masih terpaku memandangi Jodha dan menghela nafas panjang sebelum
akhirnya membaringkan tubuhnya di sisi Jodha dengan posisi telentang dan
menaruh tangannya didahi. Keduanya masih belum bisa untuk memejamkan mata namun
mereka tidak berani bergerak, sampai akhirnya matapun terasa lelah dan kantuk
pun menyerang dan membawa mereka larut ke alam mimpi.
~~~~00000~~~~
Kicau burung
dan kokok ayam khas pedesaan membangunkan Jalal. Sejenak setelah membuka mata
dia masih diam untuk mengembalikan kesadarannya kembali setelah terbangun.
Kemudian dia bangkit dan mematikan pelita. Dibukanya jendela kamar,
dirasakannya hawa sejuk menerpa wajah dan tubuhnya. Dan dia menyukainya, terasa
lega dan lapang rasanya dengan suasana yang demikian. Beberapa saat dia masih
berdiri sambil memejamkan matanya menikmati udara pagi. Setelah puas, dia
segera membangunkan Jodha.
“Jo,
Jo, bangun, sudah pagi nih." Jalal menepuk-nepuk bahu Jodha. Jodha
menggeliat sebentar, kemudian tertidur lagi. Jalal hanya menggelengkan
kepalanya melihat Jodha yang kembali tertidur. Namun dia tidak menyerah,
kembali digoyang-goyangnya bahu Jodha.
“Jo,
Jo, ayo bangun. Tidurnya dilanjutkan nanti saja. Ini sudah pagi. Coba lihat
Jo, indah sekali pagi ini." Sejenak Jodha membuka matanya yang masih terasa berat.
“Jalaaalll....,
aku masih ngantuk nih. Tidak bisakah nanti saja ya bangunnya, hmm...” Jawab
Jodha kembali memejamkan matanya.
“Hm...rupanya
dia lupa berada dimana." Pikir Jalal sambil tersenyum geli. “Baiklah, terserah
kau saja, Jo. Aku mau keluar dulu." Kata Jalal. Namun tidak ada jawaban dari
Jodha. Rupanya dia tertidur lagi.
Jalal
akhirnya keluar dari kamar, melihat sekeliling. Terlihat di depan rumah Bu Javeda sedang menyapu halaman dari
dedaunan yang jatuh dari pohon mangga yang tumbuh di depan rumahnya.
“Selamat
pagi, Bu." Sapa Jalal, “pagi-pagi Ibu sudah sibuk." Bu Javeda menoleh tersenyum.
“Selamat pagi juga, Nak Jalal. Ah, biasa saja. Ini daun-daun ini kalau tidak setiap hari
disapu akan bertambah banyak mengotori halaman rumah."
“Oh, iya Bu.
Bapak kemana ya Bu? Kok saya tidak melihatnya pagi ini." Tanya Jalal.
“Bapak
pagi-pagi sekali sudah berangkat. Katanya ada urusan yang harus diselesaikan." Jelas Bu Javeda. “ Oh ya, Ibu bikinkan minum dulu ya. Tunggu saja disini."
“Iya Bu,
tapi sebelumnya saya ingin mencuci muka dulu sekalian ingin ke kamar mandi
juga." Kata Jalal.
“Silakan,
Nak Jalal." Sahut Bu Javeda ramah.
Jalal dan Bu
Javeda sama-sama masuk namun tujuan berbeda. Bu Javeda ke dapur untuk
membuatkan minuman untuk Jalal. Sedangkan Jalal ke kamar mandi belakang untuk
membersihkan diri.
Tak lama
kemudian Jalal keluar menuju teras depan dimana Bu Javeda sudah menunggu duduk
di amben (semacam meja lebar yang terbuat dari kayu atau bambu yang
dipergunakan untuk duduk langsung diatasnya, biasanya ditaruh diteras rumah) dengan
2 gelas teh manis serta sepiring singkong rebus. Wajah Jalal terlihat segar,
rambut gondrongnya diikat kebelakang biar terlihat rapi.
“Wah, Nak
Jalal terlihat segar." Puji Bu Javeda. Jalal tersenyum dan duduk bersila dihadapan
Bu Javeda.
“Iya, Bu
airnya segar sekali. Ternyata disini suasananya menyenangkan sekali ya, Bu." Bu
Javeda tersenyum. “Ini apa Bu?” Tanya Jalal melihat ke piring yang berisi
singkong rebus.
“Oh iya, Nak
Jalal silakan dinikmati. Ini minum teh dulu, dan ini namanya singkong rebus.
Pasti Nak Jalal tidak biasa ya makan makanan orang desa seperti ini." Jalal
menyeruput teh manisnya dan mengambil sepotong singkong dan memakannya.
“Hm...enak
juga, Bu. Pas sekali dimakan ditemani teh hangat." Kata Jalal sambil terus
mengunyah singkong rebusnya.
“Oh ya, Nak
Jalal, Nak Jodha kok belum kelihatan. Belum bangun ya?” Tanya Bu Javeda.
“Tadi sudah
saya bangunkan Bu, tetapi sepertinya dia masih betah tidur. Mungkin dia masih
lupa sedang berada dimana." Jawab Jalal sambil tersenyum geli bila ingat Jodha
tadi.
“Biarkan
saja Nak Jalal, kasihan dia pasti syok dengan peristiwa kemarin. Saya juga
sebenarnya gak tega. Tetapi bagaimana lagi." Kata Bu Javeda terlihat sedih.
“Sudahlah
Bu, tidak apa-apa. Mungkin ini memang kesalahan kami. Dan kamipun harus belajar
bertanggungjawab. Dan saya pribadi tidak menyalahkan Bapak dan Ibu, juga warga
desa. Mungkin Tuhan menuntun kami untuk datang ketempat ini untuk memperbaiki
diri kami sendiri." Ujar Jalal menghibur Bu Javeda.
“Iya, Nak
Jalal. Semoga Nak Jalal berdua betah disini ya. Anggap saja Ibu dan Bapak sebagai orang tua kalian sendiri. Bapak sama
Ibu sangat senang kalian disini."
“Oh ya, Bu.
Apa Ibu dan Bapak saja ya tinggal dirumah ini? Apakah Ibu mempunyai anak?”
Tanya Jalal karena dia tidak melihat ada orang lain selain mereka berdua yang
ada dirumah itu. “Maaf ya, Bu kalau pertanyaan saya kurang sopan."
“Tidak
apa-apa, Nak Jalal. Bapak dan Ibu sebenarnya mempunyai 2 orang anak. Yang
pertama laki-laki tetapi sudah berumah tangga dan mempunyai 2 orang anak.
Sekarang dia ada di Jakarta bekerja disana. Sementara yang perempuan sekarang
juga kerja di Jakarta juga dekat dengan kakaknya. Mereka jarang pulang,
terkadang sebulan sekali, bahkan setahun
sekali pas lebaran saja." Raut muka Bu
Javeda terlihat sedih. Mungkin dia merindukan anak-anaknya yang jauh. Jalal
menjadi iba melihatnya.
“Maaf Bu,
kalau pertanyaan saya membuat Ibu menjadi sedih." Kata Jalal terlihat menyesal.
“Ah tidak
apa-apa, Nak Jalal. Setiap orang punya kesibukan sendiri-sendiri begitu pun
anak-anak ibu. Mereka juga mempunyai kegiatan sendiri. Bapak sama Ibu senang
mereka bisa mandiri. Sekarang ada Nak Jalal dan Nak Jodha membuat rumah ini
tidak terlihat sunyi lagi." Bu Javeda terlihat tersenyum senang. Jalal menjadi
lega melihatnya.
“Terima
kasih Bu, sudah menganggap kami berdua sebagai anak Ibu dan Bapak. Jangan
segan-segan membimbing kami ya Bu."
“Iya, Nak
Jalal sama-sama. Oh iya, Nak ibu mau kebelakang dulu ya. Jangan malu-malu
anggap saja rumah sendiri." Pamit Bu Javeda.
“Iya, Bu
terima kasih." Ucap Jalal. Bu Javeda pun berlalu masuk ke rumah meninggalkan
Jalal yang masih duduk di amben. Tiba-tiba dia teringat Jodha yang belum
bangun. Diapun bangkit menuju kamar untuk membangunkan Jodha.
Dilihatnya
Jodha masih meringkuk seperti bayi yang masih polos. Jalal menggelengkan kepala
melihat Jodha yang masih tertidur. Dihampirinya dan kembali di goyang-goyangkan
bahu Jodha.
“Jo, ayo
bangun. Sudah siang nih. Kamu tidak malu sama Bu Javeda yang sedari tadi sudah
bangun." Jodha menggeliat, membuka matanya yg terlihat masih berat untuk
dibuka. Jalal sudah tidak sabar lagi, dimasukkannya tangannya diantara leher
Jodha dan bantal kemudian mengangkat keatas untuk memaksa Jodha bangun. Mau
tidak mau akhirnya Jodha terduduk juga walaupun matanya masih setengah
terpejam.
“Aduh, Jalal
kenapa ribut sekali. Ini masih pagi, masih enak untuk melanjutkan tidur lagi." Kata Jodha sembari mau kembali membaringkan tubuhnya lagi. Namun, Jalal
menahannya. Sehingga Jodha tidak bisa membaringkan tubuhnya kembali.
“E...e...eh
malah mau tidur lagi. Tidak boleh! hm... baiklah kalau begitu. Aku yang
akan memaksamu untuk bangun." Jodha merasakan tangan Jalal menyentuh punggung
dan bawah pahanya. Sedetik kemudian dirasakannya tubuhnya sudah tidak menyentuh
tempat tidur lagi. Dia membuka matanya, tahu-tahu dia sudah berada di gendongan
Jalal. Jodha nampak kaget. Reflek dia turun dari gendongan Jalal.
“Jalal, apa
yang kau lakukan? Kenapa kau menggendongku? Memangnya kau mau membawa aku
kemana?” Tanya Jodha dengan raut muka masih kaget. Kantuknya tiba-tiba saja
menghilang entah kemana. Jalal yang diberondong pertanyaan oleh Jodha hanya senyum-senyum
geli.
“Aku tidak melakukan
apa-apa. Hanya ingin membawamu ke kamar mandi saja. Untuk membersihkan wajahmu
biar tidak mengantuk lagi. Tuh lihat itu rambutmu acak-acakan seperti itu." Jodha
menjadi tersipu malu. “Ayo cepat sana, atau perlu aku gendong lagi?” goda
Jalal sambil mengedipkan matanya.
“Tidak, tidak, biar
aku sendiri saja. Kau tunggulah disini." Kata Jodha sambil setengah berlari
menuju kamar mandi. Sedangkan Jalal hanya terkekeh melihat
kelakuan Jodha sambil melangkah menuju amben sambil menunggu Jodha selesai
mandi dan membersihkan diri. Dia melanjutkan menikmati teh dan singkong
rebusnya.
Tidak lama
kemudian Jodha muncul dan menghampirinya. Jalal terpana melihatnya. Jodha sudah
berganti pakaian dengan baju dress selutut yang sederhana berwarna pink pucat berlengan
pendek dengan rambut dikepang dua kiri kanan. Jodha nampak begitu cantik alami,
polos, dan manis walau tanpa makeup wajahnya terlihat segar. Jodha duduk di
hadapan Jalal dan menyeruput teh.
“Apa ini
Jalal? kok aku belum pernah melihatnya?” tanya Jodha sambil mengambil
singkong rebus dan menggigitnya sedikit. “Jalal, hei Jalal.” kata Jodha
melambaikan tangan di depan wajah Jalal yang masih terpana.
“I-iya
Jodha, ada apa?” tanya Jalal tergagap.
“Kamu itu
ditanya malah balik nanya. Kamu kenapa? seperti baru melihatku saja." Ucap
Jodha sambil kembali menggigit singkong rebusnya.
“Jo, kamu
manis sekali dengan pakaian dan dandanan seperti itu." Tanpa sadar Jalal memuji
Jodha. Gadis itu berhenti mengunyah singkongnya, tampak wajahnya memerah mendengar pujian
Jalal. Terasa hatinya berbunga-bunga.
“Jalal,
jangan terlalu memujiku. Ini biasa saja. Tadi Bu Javeda meminjamkan baju ini.
Katanya ini milik anaknya yang sekarang seusia denganku. Setelah ku coba
ternyata pas, lumayankan?" Kata Jodha sambil tersenyum malu.
“Iya Jo,
benar. Aku tidak memujimu tetapi memang aku suka melihatmu seperti ini. Lebih
alami dan terlihat polos." Ucap Jalal masih dengan kekagumannya.
“Iya, iya baiklah
kalau kau senang. Sekarang berhentilah menatapku seperti itu. Aku merasa tidak
nyaman." Jalal tersenyum.
“Baiklah,
seperti yang kau mau." Kata Jalal sembil memalingkan wajahnya melihat kearah
lain. Jodha ikut tersenyum melihatnya.
~~~~00000~~~~
Hari
beranjak siang, tetapi Pak Syarif belum kembali juga. Sedangkan Bu Javeda sudah
berangkat kesawah melihat orang-orang yang mengerjakan sawahnya. Jodha dan
Jalal yang menghabiskan waktu dirumah saja menjadi bosan. Jalal mengajak Jodha
untuk jalan-jalan berkeliling desa. Jodha menyetujui dan mereka pun berangkat.
Terlihat
pemandangan yang indah, desa yang di kelilingi gunung tinggi menjulang.
Sawah-sawah menghijau. Membuat mata menjadi betah untuk melihatnya. Begitupun
halnya Jalal dan Jodha yang ikut tersihir dengan pemandangan alam yang luar
biasa indahnya. Mereka nampak menikmatinya. Sesekali mereka kejar-kejaran.
Setelah puas
mereka pun kembali kerumah Pak Syarif dan haripun sudah menjelang senja ketika mereka kembali. Dari
kejauhan sepasang mata menatap mereka dengan tajam, Jodha dan Jalal tidak
menyadarinya. Mereka tampak senang dan berjalan dengan bergandeng tangan.
“Jodha!”
Keduanya kaget. Serentak mereka menoleh kearah suara tersebut. Jodha
tersenyum senang. Sementara Jalal hanya diam saja.
“Ibu.”
ternyata Ibunya Jodha yang bernama Menawati sudah menunggu mereka berdua diluar
dengan tidak sabar. Maka ketika Jodha dan Jalal datang, Menawati langsung
mendatangi mereka. Menawati menatap Jalal dengan wajah yang terlihat marah.
Jalal hanya menunduk, tidak berani menatap orang yang didepannya itu. Jodha
menjadi tidak enak dengan Jalal. “Ibu, kapan datang?” Tanya Jodha berusaha
untuk mencairkan keadaan dan menenangkan ibunya. Namun Menawati tidak
menggubris pertanyaan Jodha.
“Apa yang
sudah kau lakukan kepada anakku? tidak puaskah apa yang sudah pernah kau
lakukan, hah?” Tanya Menawati kepada Jalal dengan berapi-api. Jalal bingung
tidak tahu harus berkata apa.
“Ibu, Ibu
hanya salah paham Bu. Ini bukan kesalahan Jalal." Jodha masih berusaha menyabarkan
amarah ibunya.
“Diam kamu
Jodha! aku tidak bertanya kepadamu, aku bertanya kepada pemuda brengsek
ini." Kata Menawati sembari menunjuk Jalal. Dikatakan pemuda brengsek membuat
hati Jalal terasa pedih. Begitupun Jodha yang merasa tidak terima akan
perkataan ibunya.
“Saya....saya...minta
maaf Bu.” ucap Jalal dengan terbata-bata.
“APA? maaf? enak saja, setelah apa yang telah kau lakukan terhadap putriku. Tidak
bisa! aku tidak akan pernah memaafkanmu." Balas Menawati dengan sengit.
Jodha dan
Jalal tidak tahu harus berkata apa untuk meredakan kemarahan Menawati.
Untunglah dari dalam rumah keluar tiga orang yang sudah mereka kenal. Mereka
adalah pak Syarif, Ayahnya Jodha yang bernama Bharmal, dan Ayahnya Jalal yang
bernama Humayun. Bharmal segera menghampiri mereka bertiga dan menenangkan
isterinya dan mengajak mereka masuk kerumah. Menawati yang masih diselimuti
amarah masih menatap tajam ke arah Jalal. Sedangkan Jalal dan Jodha bersyukur karena
mereka akhirnya bisa masuk kerumah dengan tenang.
Setelah
semuanya duduk dengan tenang, Pak Syarif menjelaskan kepada Jalal dan Jodha
tentang kedatangan orang tua mereka. Rupanya Pak Syarif pagi-pagi sekali pergi
ternyata untuk menghubungi orang tua Jalal dan Jodha. Setelah bertemu Pak
Syarif menjelaskan kepada mereka akan permasalahan yang dihadapi oleh Jalal dan
Jodha.
Awalnya
orang tua mereka keberatan, apalagi Menawati yang sangat jelas-jelas menentang.
Dia sangat tidak setuju, apalagi ketika mengetahui kalau orang itu adalah
Jalal. Namun dia tidak bisa berbuat apa-apa ketika suaminya dan juga ayahnya
Jalal menyetujui permintaan Pak Syarif dengan syarat pernikahan itu harus
diadakan ulang. Karena Pak Bharmal merasa dia sebagai ayahnya Jodha berhak
sebagai wali. Pak Syarif pun menyetujuinya.
Akhirnya malam
itu diselenggarakan upacara pernikahan yang sederhana. Kali ini Jodha menangis haru
ketika meminta restu dari ayah dan ibunya. Begitupun Jalal, walaupun hanya
ayahnya saja yang datang tetapi bagi Jalal itu sudah cukup. Malam itu Jodha
tidur dengan ibunya, sedangkan Jalal bersama ayah dan mertuanya tidur diruang
tamu.
Keesokan harinya
ayah dan ibunya Jodha serta Ayahnya Jalal pun pulang.
“Jalal, Ayah titip Jodha ya. Jaga dia baik-baik. Sekarang tanggungjawabku sudah aku berikan
kepadamu." Nasihat Pak Bharmal kepada Jalal sembari menepuk-nepuk bahu Jalal.
“Iya Ayah, aku akan berusaha. Do’akan kami ya." Sahut Jalal sembari mencium tangan pak
Bharmal. Sementara ibu Menawati hanya diam saja ketika Jalal mencium tangannya.
Masih terlihat diwajahnya raut ketidaksenangan. Hatinya masih tidak bisa
menerima.
“Jalal,
sekarang kamu sudah punya tanggungjawab Nak. Belajar dan berusahalah. Papa
titip kalian kepada Pak Syarif." Kata Pak Humayun kepada Jalal.
“Iya Pa, aku
akan berusaha. Maafkan aku ya, Pa." Kata Jalal sambil mencium tangan papanya.
Papanya tersenyum bijak. Mereka berpelukan. Begitupun Jodha dengan kedua
orangtuanya. Ibunya nampak berat melepaskan Jodha. Tetapi mereka memang harus
berpisah. Jodha dan Jalal hanya melepaskan kepergian mereka hanya sampai depan
rumah saja. Karena Pak Syarif kembali pergi untuk mengantar mereka kembali.
Jodha dan
Jalal saling berpandangan dan tersenyum, terlihat beban mereka berkurang.
Sekarang tinggal menghadapi tugas yang diberikan kepada mereka sambil menunggu
hari dimana mereka akan kembali kerumah mereka sendiri.
tbc
Tidak ada komentar:
Posting Komentar