Menu

Jumat, 12 Februari 2016

MIRACLE OF LOVE, PART. 7

Jalal bingung apa yang harus dilakukan. Lama dia hanya terdiam dan mereka hanya saling menatap tanpa berkata apapun. Jalal memberanikan diri untuk melangkah dan duduk dipinggiran dipan dengan posisi membelakangi Jodha yang masih tiduran. Namun belum berani untuk berbicara apapun. Akhirnya Jodha pun bangkit dan duduk disamping Jalal dengan pandangan menunduk.
“Jalal...” Panggil Jodha lirih
“Ya?” Jawab Jalal sambil menoleh. Sementara Jodha masih menunduk.
“Aku takut....bisakah kita melewati semua ini? terasa semua masih bagaikan mimpi." Kata Jodha sambil memilin-milin jemarinya sendiri. Jalal menghela nafas panjang.
“Entahlah Jo, akupun juga masih menganggap ini tidak nyata. Tetapi inilah yang terjadi.” Jalal memberanikan diri untuk memegang tangan Jodha dan menggenggamnya. Jodha hanya diam dan membiarkan tangannya digenggam oleh Jalal.
“Pandang aku, Jo.” Jalal dengan tangannya memegang dagu Jodha serta memalingkan kepadanya. Jalal terkejut ketika melihat bulir-bulir bening mengalir turun dari kedua mata Jodha walaupun tanpa suara, “kamu nangis, Jo?” Kata Jalal mengusap air mata itu perlahan. Hatinya terasa sakit melihat air mata itu. Semakin membuatnya dilanda rasa bersalah.
Jodha menggeleng dan tersenyum tipis. “Aku tidak apa-apa, Jalal. Maafkan bila aku tidak bisa menahan air mata ini. Setidaknya air mata ini bisa memberikan aku sedikit kekuatan dan melepas segala beban."
“Kau tahu Jo, melihatmu menangis membuat hatiku terasa sakit. Andai ada yang bisa aku lakukan untuk menebus semua ini pasti akan aku lakukan. Aku tidak ingin melihatmu sedih dan menangis." Jalal merangkul bahu Jodha dan merengkuhnya kedalam pelukannya. Jodha merasakan kedamaian dan kehangatan diperlakukan seperti itu. Membuatnya semakin merasa membutuhkan suaminya itu.
Terkadang berbagi masalah dan menghadapinya bersama membuat rasa cinta yang awalnya kecil akan menjadi semakin membesar. Semakin banyak waktu bersama akan membuat cinta semakin subur. Kita tidak dapat memilih kepada siapa cinta akan berlabuh, tetapi bila hati sudah merasakan kedamaian maka teruslah untuk selalu menjaganya. Karena untuk apa mempertahankan cinta tetapi sakit, lebih baik damai dan nyaman maka lambat laun akan lahirlah cinta. Cinta yang menguatkan, cinta yang tidak menuntut, cinta yang mampu memberikan kekuatan.
“Baiklah Jo, sekarang kita istirahat dulu ya. Untuk besok biarlah bagaimana besok saja. Asalkan kita selalu bersama aku yakin kita pasti bisa menghadapinya. Aku ingin kita bisa saling menguatkan dalam keadaan apapun." Ucap Jalal sembari melepaskan pelukannya. Jodha mengangguk. Kemudian membaringkan tubuhnya dan tidur dengan posisi miring membelakangi Jalal.
Sementara Jalal sesaat masih terpaku memandangi Jodha dan menghela nafas panjang sebelum akhirnya membaringkan tubuhnya di sisi Jodha dengan posisi telentang dan menaruh tangannya didahi. Keduanya masih belum bisa untuk memejamkan mata namun mereka tidak berani bergerak, sampai akhirnya matapun terasa lelah dan kantuk pun menyerang dan membawa mereka larut ke alam mimpi.

~~~~00000~~~~

Kicau burung dan kokok ayam khas pedesaan membangunkan Jalal. Sejenak setelah membuka mata dia masih diam untuk mengembalikan kesadarannya kembali setelah terbangun. Kemudian dia bangkit dan mematikan pelita. Dibukanya jendela kamar, dirasakannya hawa sejuk menerpa wajah dan tubuhnya. Dan dia menyukainya, terasa lega dan lapang rasanya dengan suasana yang demikian. Beberapa saat dia masih berdiri sambil memejamkan matanya menikmati udara pagi. Setelah puas, dia segera membangunkan Jodha.
“Jo, Jo, bangun, sudah pagi nih." Jalal menepuk-nepuk bahu Jodha. Jodha menggeliat sebentar, kemudian tertidur lagi. Jalal hanya menggelengkan kepalanya melihat Jodha yang kembali tertidur. Namun dia tidak menyerah, kembali digoyang-goyangnya bahu Jodha.
“Jo, Jo, ayo bangun. Tidurnya dilanjutkan nanti saja. Ini sudah pagi. Coba lihat Jo, indah sekali pagi ini." Sejenak Jodha membuka matanya yang masih terasa berat.
“Jalaaalll...., aku masih ngantuk nih. Tidak bisakah nanti saja ya bangunnya, hmm...” Jawab Jodha kembali memejamkan matanya.
“Hm...rupanya dia lupa berada dimana." Pikir Jalal sambil tersenyum geli. “Baiklah, terserah kau saja, Jo. Aku mau keluar dulu." Kata Jalal. Namun tidak ada jawaban dari Jodha. Rupanya dia tertidur lagi.
Jalal akhirnya keluar dari kamar, melihat sekeliling. Terlihat di depan rumah  Bu Javeda sedang menyapu halaman dari dedaunan yang jatuh dari pohon mangga yang tumbuh di depan rumahnya.
“Selamat pagi, Bu." Sapa Jalal, “pagi-pagi Ibu sudah sibuk." Bu Javeda menoleh tersenyum.
“Selamat pagi juga, Nak Jalal. Ah, biasa saja. Ini daun-daun ini kalau tidak setiap hari disapu akan bertambah banyak mengotori halaman rumah."
“Oh, iya Bu. Bapak kemana ya Bu? Kok saya tidak melihatnya pagi ini." Tanya Jalal.
“Bapak pagi-pagi sekali sudah berangkat. Katanya ada urusan yang harus diselesaikan." Jelas Bu Javeda. “ Oh ya, Ibu bikinkan minum dulu ya. Tunggu saja disini."
“Iya Bu, tapi sebelumnya saya ingin mencuci muka dulu sekalian ingin ke kamar mandi juga." Kata Jalal.
“Silakan, Nak Jalal." Sahut Bu Javeda ramah.
Jalal dan Bu Javeda sama-sama masuk namun tujuan berbeda. Bu Javeda ke dapur untuk membuatkan minuman untuk Jalal. Sedangkan Jalal ke kamar mandi belakang untuk membersihkan diri.
Tak lama kemudian Jalal keluar menuju teras depan dimana Bu Javeda sudah menunggu duduk di amben (semacam meja lebar yang terbuat dari kayu atau bambu yang dipergunakan untuk duduk langsung diatasnya, biasanya ditaruh diteras rumah) dengan 2 gelas teh manis serta sepiring singkong rebus. Wajah Jalal terlihat segar, rambut gondrongnya diikat kebelakang biar terlihat rapi.
“Wah, Nak Jalal terlihat segar." Puji Bu Javeda. Jalal tersenyum dan duduk bersila dihadapan Bu Javeda.
“Iya, Bu airnya segar sekali. Ternyata disini suasananya menyenangkan sekali ya, Bu." Bu Javeda tersenyum. “Ini apa Bu?” Tanya Jalal melihat ke piring yang berisi singkong rebus.
“Oh iya, Nak Jalal silakan dinikmati. Ini minum teh dulu, dan ini namanya singkong rebus. Pasti Nak Jalal tidak biasa ya makan makanan orang desa seperti ini." Jalal menyeruput teh manisnya dan mengambil sepotong singkong dan memakannya.
“Hm...enak juga, Bu. Pas sekali dimakan ditemani teh hangat." Kata Jalal sambil terus mengunyah singkong rebusnya.
“Oh ya, Nak Jalal, Nak Jodha kok belum kelihatan. Belum bangun ya?” Tanya Bu Javeda.
“Tadi sudah saya bangunkan Bu, tetapi sepertinya dia masih betah tidur. Mungkin dia masih lupa sedang berada dimana." Jawab Jalal sambil tersenyum geli bila ingat Jodha tadi.
“Biarkan saja Nak Jalal, kasihan dia pasti syok dengan peristiwa kemarin. Saya juga sebenarnya gak tega. Tetapi bagaimana lagi." Kata Bu Javeda terlihat sedih.
“Sudahlah Bu, tidak apa-apa. Mungkin ini memang kesalahan kami. Dan kamipun harus belajar bertanggungjawab. Dan saya pribadi tidak menyalahkan Bapak dan Ibu, juga warga desa. Mungkin Tuhan menuntun kami untuk datang ketempat ini untuk memperbaiki diri kami sendiri." Ujar Jalal menghibur Bu Javeda.
“Iya, Nak Jalal. Semoga Nak Jalal berdua betah disini ya. Anggap saja Ibu dan Bapak  sebagai orang tua kalian sendiri. Bapak sama Ibu sangat senang kalian disini."
“Oh ya, Bu. Apa Ibu dan Bapak saja ya tinggal dirumah ini? Apakah Ibu mempunyai anak?” Tanya Jalal karena dia tidak melihat ada orang lain selain mereka berdua yang ada dirumah itu. “Maaf ya, Bu kalau pertanyaan saya kurang sopan."
“Tidak apa-apa, Nak Jalal. Bapak dan Ibu sebenarnya mempunyai 2 orang anak. Yang pertama laki-laki tetapi sudah berumah tangga dan mempunyai 2 orang anak. Sekarang dia ada di Jakarta bekerja disana. Sementara yang perempuan sekarang juga kerja di Jakarta juga dekat dengan kakaknya. Mereka jarang pulang, terkadang  sebulan sekali, bahkan setahun sekali  pas lebaran saja."  Raut muka Bu Javeda terlihat sedih. Mungkin dia merindukan anak-anaknya yang jauh. Jalal menjadi iba melihatnya.
“Maaf Bu, kalau pertanyaan saya membuat Ibu menjadi sedih." Kata Jalal terlihat menyesal.
“Ah tidak apa-apa, Nak Jalal. Setiap orang punya kesibukan sendiri-sendiri begitu pun anak-anak ibu. Mereka juga mempunyai kegiatan sendiri. Bapak sama Ibu senang mereka bisa mandiri. Sekarang ada Nak Jalal dan Nak Jodha membuat rumah ini tidak terlihat sunyi lagi." Bu Javeda terlihat tersenyum senang. Jalal menjadi lega melihatnya.
“Terima kasih Bu, sudah menganggap kami berdua sebagai anak Ibu dan Bapak. Jangan segan-segan membimbing kami ya Bu."
“Iya, Nak Jalal sama-sama. Oh iya, Nak ibu mau kebelakang dulu ya. Jangan malu-malu anggap saja rumah sendiri." Pamit Bu Javeda.
“Iya, Bu terima kasih." Ucap Jalal. Bu Javeda pun berlalu masuk ke rumah meninggalkan Jalal yang masih duduk di amben. Tiba-tiba dia teringat Jodha yang belum bangun. Diapun bangkit menuju kamar untuk membangunkan Jodha.
Dilihatnya Jodha masih meringkuk seperti bayi yang masih polos. Jalal menggelengkan kepala melihat Jodha yang masih tertidur. Dihampirinya dan kembali di goyang-goyangkan bahu Jodha.
“Jo, ayo bangun. Sudah siang nih. Kamu tidak malu sama Bu Javeda yang sedari tadi sudah bangun." Jodha menggeliat, membuka matanya yg terlihat masih berat untuk dibuka. Jalal sudah tidak sabar lagi, dimasukkannya tangannya diantara leher Jodha dan bantal kemudian mengangkat keatas untuk memaksa Jodha bangun. Mau tidak mau akhirnya Jodha terduduk juga walaupun matanya masih setengah terpejam.
“Aduh, Jalal kenapa ribut sekali. Ini masih pagi, masih enak untuk melanjutkan tidur lagi." Kata Jodha sembari mau kembali membaringkan tubuhnya lagi. Namun, Jalal menahannya. Sehingga Jodha tidak bisa membaringkan tubuhnya kembali.
“E...e...eh malah mau tidur lagi. Tidak boleh! hm... baiklah kalau begitu. Aku yang akan memaksamu untuk bangun." Jodha merasakan tangan Jalal menyentuh punggung dan bawah pahanya. Sedetik kemudian dirasakannya tubuhnya sudah tidak menyentuh tempat tidur lagi. Dia membuka matanya, tahu-tahu dia sudah berada di gendongan Jalal. Jodha nampak kaget. Reflek dia turun dari gendongan Jalal.
“Jalal, apa yang kau lakukan? Kenapa kau menggendongku? Memangnya kau mau membawa aku kemana?” Tanya Jodha dengan raut muka masih kaget. Kantuknya tiba-tiba saja menghilang entah kemana. Jalal yang diberondong pertanyaan oleh Jodha hanya senyum-senyum geli.
“Aku tidak melakukan apa-apa. Hanya ingin membawamu ke kamar mandi saja. Untuk membersihkan wajahmu biar tidak mengantuk lagi. Tuh lihat itu rambutmu acak-acakan seperti itu." Jodha menjadi tersipu malu. “Ayo cepat sana, atau perlu aku gendong lagi?” goda Jalal  sambil mengedipkan matanya.
“Tidak, tidak, biar aku sendiri saja. Kau tunggulah disini." Kata Jodha sambil setengah berlari menuju kamar mandi. Sedangkan Jalal hanya terkekeh melihat kelakuan Jodha sambil melangkah menuju amben sambil menunggu Jodha selesai mandi dan membersihkan diri. Dia melanjutkan menikmati teh dan singkong rebusnya.
Tidak lama kemudian Jodha muncul dan menghampirinya. Jalal terpana melihatnya. Jodha sudah berganti pakaian dengan baju dress selutut yang sederhana berwarna pink pucat berlengan pendek dengan rambut dikepang dua kiri kanan. Jodha nampak begitu cantik alami, polos, dan manis walau tanpa makeup wajahnya terlihat segar. Jodha duduk di hadapan Jalal dan menyeruput teh.
“Apa ini Jalal? kok aku belum pernah melihatnya?” tanya Jodha sambil mengambil singkong rebus dan menggigitnya sedikit. “Jalal, hei Jalal.” kata Jodha melambaikan tangan di depan wajah Jalal yang masih terpana.
“I-iya Jodha, ada apa?” tanya Jalal tergagap.
“Kamu itu ditanya malah balik nanya. Kamu kenapa? seperti baru melihatku saja." Ucap Jodha sambil kembali menggigit singkong rebusnya.
“Jo, kamu manis sekali dengan pakaian dan dandanan seperti itu."  Tanpa sadar Jalal memuji Jodha. Gadis itu berhenti mengunyah singkongnya, tampak wajahnya memerah mendengar pujian Jalal. Terasa hatinya berbunga-bunga.
“Jalal, jangan terlalu memujiku. Ini biasa saja. Tadi Bu Javeda meminjamkan baju ini. Katanya ini milik anaknya yang sekarang seusia denganku. Setelah ku coba ternyata pas, lumayankan?" Kata Jodha sambil tersenyum malu.
“Iya Jo, benar. Aku tidak memujimu tetapi memang aku suka melihatmu seperti ini. Lebih alami dan terlihat polos." Ucap Jalal masih dengan kekagumannya.
“Iya, iya baiklah kalau kau senang. Sekarang berhentilah menatapku seperti itu. Aku merasa tidak nyaman." Jalal tersenyum.
“Baiklah, seperti yang kau mau." Kata Jalal sembil memalingkan wajahnya melihat kearah lain. Jodha ikut tersenyum melihatnya.

~~~~00000~~~~
Hari beranjak siang, tetapi Pak Syarif belum kembali juga. Sedangkan Bu Javeda sudah berangkat kesawah melihat orang-orang yang mengerjakan sawahnya. Jodha dan Jalal yang menghabiskan waktu dirumah saja menjadi bosan. Jalal mengajak Jodha untuk jalan-jalan berkeliling desa. Jodha menyetujui dan mereka pun berangkat.
Terlihat pemandangan yang indah, desa yang di kelilingi gunung tinggi menjulang. Sawah-sawah menghijau. Membuat mata menjadi betah untuk melihatnya. Begitupun halnya Jalal dan Jodha yang ikut tersihir dengan pemandangan alam yang luar biasa indahnya. Mereka nampak menikmatinya. Sesekali mereka kejar-kejaran. 
Setelah puas mereka pun kembali kerumah Pak Syarif dan haripun  sudah menjelang senja ketika mereka kembali. Dari kejauhan sepasang mata menatap mereka dengan tajam, Jodha dan Jalal tidak menyadarinya. Mereka tampak senang dan berjalan dengan bergandeng tangan.
“Jodha!” 
Keduanya kaget. Serentak mereka menoleh kearah suara tersebut. Jodha tersenyum senang. Sementara Jalal hanya diam saja.
“Ibu.” ternyata Ibunya Jodha yang bernama Menawati sudah menunggu mereka berdua diluar dengan tidak sabar. Maka ketika Jodha dan Jalal datang, Menawati langsung mendatangi mereka. Menawati menatap Jalal dengan wajah yang terlihat marah. Jalal hanya menunduk, tidak berani menatap orang yang didepannya itu. Jodha menjadi tidak enak dengan Jalal. “Ibu, kapan datang?” Tanya Jodha berusaha untuk mencairkan keadaan dan menenangkan ibunya. Namun Menawati tidak menggubris pertanyaan Jodha.
“Apa yang sudah kau lakukan kepada anakku? tidak puaskah apa yang sudah pernah kau lakukan, hah?” Tanya Menawati kepada Jalal dengan berapi-api. Jalal bingung tidak tahu harus berkata apa.
“Ibu, Ibu hanya salah paham Bu. Ini bukan kesalahan Jalal." Jodha masih berusaha menyabarkan amarah ibunya.
“Diam kamu Jodha! aku tidak bertanya kepadamu, aku bertanya kepada pemuda brengsek ini." Kata Menawati sembari menunjuk Jalal. Dikatakan pemuda brengsek membuat hati Jalal terasa pedih. Begitupun Jodha yang merasa tidak terima akan perkataan ibunya.
“Saya....saya...minta maaf Bu.” ucap Jalal dengan terbata-bata.
“APA? maaf? enak saja, setelah apa yang telah kau lakukan terhadap putriku. Tidak bisa! aku tidak akan pernah memaafkanmu." Balas Menawati dengan sengit.
Jodha dan Jalal tidak tahu harus berkata apa untuk meredakan kemarahan Menawati. Untunglah dari dalam rumah keluar tiga orang yang sudah mereka kenal. Mereka adalah pak Syarif, Ayahnya Jodha yang bernama Bharmal, dan Ayahnya Jalal yang bernama Humayun. Bharmal segera menghampiri mereka bertiga dan menenangkan isterinya dan mengajak mereka masuk kerumah. Menawati yang masih diselimuti amarah masih menatap tajam ke arah Jalal. Sedangkan Jalal dan Jodha bersyukur karena mereka akhirnya bisa masuk kerumah dengan tenang.
Setelah semuanya duduk dengan tenang, Pak Syarif menjelaskan kepada Jalal dan Jodha tentang kedatangan orang tua mereka. Rupanya Pak Syarif pagi-pagi sekali pergi ternyata untuk menghubungi orang tua Jalal dan Jodha. Setelah bertemu Pak Syarif menjelaskan kepada mereka akan permasalahan yang dihadapi oleh Jalal dan Jodha.
Awalnya orang tua mereka keberatan, apalagi Menawati yang sangat jelas-jelas menentang. Dia sangat tidak setuju, apalagi ketika mengetahui kalau orang itu adalah Jalal. Namun dia tidak bisa berbuat apa-apa ketika suaminya dan juga ayahnya Jalal menyetujui permintaan Pak Syarif dengan syarat pernikahan itu harus diadakan ulang. Karena Pak Bharmal merasa dia sebagai ayahnya Jodha berhak sebagai wali. Pak Syarif pun menyetujuinya.
Akhirnya malam itu diselenggarakan upacara pernikahan yang sederhana. Kali ini Jodha menangis haru ketika meminta restu dari ayah dan ibunya. Begitupun Jalal, walaupun hanya ayahnya saja yang datang tetapi bagi Jalal itu sudah cukup. Malam itu Jodha tidur dengan ibunya, sedangkan Jalal bersama ayah dan mertuanya tidur diruang tamu.
Keesokan harinya ayah dan ibunya Jodha serta Ayahnya Jalal pun pulang.
“Jalal, Ayah titip Jodha ya. Jaga dia baik-baik. Sekarang tanggungjawabku sudah aku berikan kepadamu." Nasihat Pak Bharmal kepada Jalal sembari menepuk-nepuk bahu Jalal.
“Iya Ayah, aku akan berusaha. Do’akan kami ya." Sahut Jalal sembari mencium tangan pak Bharmal. Sementara ibu Menawati hanya diam saja ketika Jalal mencium tangannya. Masih terlihat diwajahnya raut ketidaksenangan. Hatinya masih tidak bisa menerima.
“Jalal, sekarang kamu sudah punya tanggungjawab Nak. Belajar dan berusahalah. Papa titip kalian kepada Pak Syarif." Kata Pak Humayun kepada Jalal.
“Iya Pa, aku akan berusaha. Maafkan aku ya, Pa." Kata Jalal sambil mencium tangan papanya. Papanya tersenyum bijak. Mereka berpelukan. Begitupun Jodha dengan kedua orangtuanya. Ibunya nampak berat melepaskan Jodha. Tetapi mereka memang harus berpisah. Jodha dan Jalal hanya melepaskan kepergian mereka hanya sampai depan rumah saja. Karena Pak Syarif kembali pergi untuk mengantar mereka kembali.
Jodha dan Jalal saling berpandangan dan tersenyum, terlihat beban mereka berkurang. Sekarang tinggal menghadapi tugas yang diberikan kepada mereka sambil menunggu hari dimana mereka akan kembali kerumah mereka sendiri.


tbc

Tidak ada komentar:

Posting Komentar