Hai datang lagi nih. Part kali
ini adalah part galau buat tuan muda, namun part menyenangkan buat authornya
dan part membingungkan buat Inem. Hehehe.... bingung ya Nem? Kalau bingung
berpegangan aja Nem, berpegang pada hati tuan muda aja maksudnya. Ciee...ahahaha.....
Intermezzo :
Jalal
: “Nem, dulu waktu kecil kamu cita-citanya mau jadi apa?”
Jodha : “Hm...ingin jadi guru Tuan.”
Jalal
: (mengangguk), “kenapa nggak cita-cita jadi astronot aja Nem?”
Jodha: “Emang kenapa tuan?” (bingung)
Jalal
: “Biar kamu bisa melihat besar
dan luasnya lautan cintaku padamu dari atas sana.” Ahayy.....
Jodha : (merona), “sayangnya dulu belum
ketemu Tuan sih jadi saya nggak kepikiran bercita-cita jadi astronot. Kenapa nggak
Tuan aja yang kuliah di jurusan Arsitektur
sekarang.”
Jalal
: (heran) “Kenapa aku harus kuliah jurusan arsitektur Nem? Yang ada aja
kuliahku belum kelar.”
Jodha : (malu-malu) “Biar Tuan nanti bisa
membangun istana yang besar dan megah agar bisa menampung limpahan kasih sayang dan besarnya cinta
saya di hati Tuan.”
Jalal : (jingkrak-jingkrak sampai masuk got)
“Katanya dengar kata-kata gombal kamu pengen muntah Nem, kenapa sekarang malah
bisa menggombal?”
Jodha : (Nyengir) “Saya kasihan sama Tuan,
dipart ini dibikin galau sama authornya, makanya saya membalas gombalan Tuan,
biar Tuan bisa sedikit bahagia.”
Jalal : (gigit sendal kuat-kuat).
================000===============
Jalal masih
terduduk di balkon rumahnya. Dipandanginya Inemnya yang berjalan memasuki
gerbang rumahnya. Senyum manis gadis itu terukir lebar di bibirnya yang mungil.
Sesaat Jalal menjambak rambutnya pelan. Pikirannya masih terbayang laki-laki
yang memeluk Inemnya. Tetapi, semakin dipikir membuatnya semakin pusing.
Akhinya dia memutuskan untuk jalan keluar.
Dengan
segera dia menyambar kunci mobil jeepnya dan turun dari kamar. Di ruang tamu
Jalal berpapasan dengan Jodha. Ingin hatinya menegur Inemnya seperti biasa,
tetapi bayangan lelaki yang memeluknya
membuat Jalal mengeraskan hatinya untuk tidak menegur. Melihat wajah ceria
gadis itu membuat hatinya sakit.
“Tuan mau
kemana?” tegur Jodha dengan ramah seperti biasa.
Jalal
menatap Jodha dengan wajah tanpa ekspresi beberapa lama sebelum akhirnya dia
berlalu melewati gadis itu tanpa menjawab, membuat Jodha hanya terbengong
melihatnya. Ada apa dengan tuan mudanya begitu? Kenapa hari ini dia begitu
diam? apa ada yang salah dengannya?
Jodha
menoleh kearah Jalal yang masih berjalan ke arah garasi untuk mengeluarkan
mobilnya. Tanpa pikir panjang dia berlari mengejar tuan mudanya yang hampir
sampai garasi.
“Tuan...”
Jalal menghentikan langkahnya, namun dia diam saja tanpa menoleh, “Tu...tuan
kenapa? Tuan marah sama ya?” tanya Jodha dengan heran, “bilang aja Tuan kalau
saya memang salah, saya nggak akan marah kok.”
“Tidak ada.”
Hanya itu
jawaban dari Jalal, itupun dia keluarkan
dengan susah payah, tidak tega melihat wajah memelas dari Inemnya yang
sesungguhnya sangat perhatian kepadanya. Namun, apa daya ego kemarahan hatinya
lebih besar ketimbang rasa kasihan atas ucapan gadis itu.
“Tapi,....
tidak biasanya Tuan seperti ini?” Jalal tersenyum terpaksa.
“Tidak
apa-apa Nem. Tidak usah kamu pikirkan. Aku pergi dulu.” Ucap Jalal dengan suara
pelan. Bergegas dia membuka pintu mobilnya dan naik dengan cepat. Tanpa menoleh
ke arah Jodha dia menjalankan jeepnya keluar dari garasi dan melaju di jalanan
dengan kecepatan tinggi. Seakan semua emosi dan kemarahannya tersalurkan lewat
kakinya yang menginjak pedal gas begitu dalam.
Sementara
Jodha yang ditinggalkan hanya berdiri mematung. Entah kenapa hatinya sedih
melihat tuan mudanya begitu dingin dan cuek kepadanya. Padahal biasanya dia
selalu usil dan terus menggodanya. Kenapa hari ini Jodha merasa kehilangan sesuatu
yang biasanya selalu membuatnya kesal namun juga senang. Ada apa dengan tuan
mudanya ini?
Dengan
langkah gontai Jodha masuk lagi ke rumah menuju dapur. Mengambil gelas dari
tempatnya dan menuangkan air dingin dari kulkas. Jodha meminum air tersebut
dengan pelan sambil bersandar di pintu kulkas.
“Kamu kenapa
Jo? kelihatannya resah begitu?” tanya Bi Ijah melihat Jodha diam saja, tidak
nampak ceria seperti biasa. Jodha menghela nafas panjang.
“Kenapa ya
Bi, hari ini Tuan Muda begitu dingin sikapnya kepadaku. Dia berubah Bi. Apa
salahku?” ucap Jodha dengan pelan, pandangannya menerawang kedepan. Bi Ijah
mendekati Jodha dan menyentuh pundaknya. Jodha menoleh.
“Maksud kamu
berubah bagaimana?”
“Entahlah
Bi. Tadi aku bertemu dengannya di ruang tamu. Aku sapa dia seperti biasa,
tapi........” kembali Jodha menghela nafas, “tapi, dia hanya diam saja. Bahkan
ketika aku memanggilnya dia tidak menoleh.” Bi Ijah mengerutkan keningnya.
“Apa kamu
merasa berbuat salah Jo?” Jodha menggeleng.
“Aku tidak
tahu Bi. Rasanya aku tidak berbuat salah apa-apa. Bahkan tadi pagi masih
seperti biasa. Tapi, tadi setelah aku pulang sikapnya berubah.” Jodha menoleh
kembali ke arah Bi Ijah, “ apa karena beberapa hari minggu ini aku tidak
menemaninya ya Bi?” Bi Ijah mengangkat bahu tanda tidak tahu.
“Bibi juga
nggak tau Jo. Tapi, minggu lalu kan biasa-biasa aja?” Jodha mengangguk, “ah,
sudahlah nanti juga baik sendiri. Kalau Tuan datang kamu tanyakan saja. Tidak
enak ada kesalahpahaman apalagi dengan majikan.” Jodha mengangguk.
“Iya Bi.
Nanti aku tanyakan, aku hanya merasa heran aja Bi. Setelah berbulan-bulan aku
kerja disini baru kali ini Tuan Muda bersikap begitu, biasanya kan dia selalu
menggodaku.” Bi Ijah tersenyum.
“Apa Tuan
Muda sedang cemburu Jo?” Jodha menoleh ke arah Bi Ijah dan mengerutkan
keningnya.
“Cemburu?
Sama siapa?” tanya Jodha heran.
“Mana Bibi
tahu Jo. Hanya mengira-ngira saja.” Jawab Bi Ijah sambil terkekeh. Dia kembali
melanjutkan pekerjaannya.
“Mana
mungkin cemburu Bi, ngomong cinta saja tidak pernah. Mau cemburu darimana?” ucap
Jodha sambil tertawa kecil.
“Ya, siapa
tahu Tuan punya perasaan khusus untuk kamu dengan diam-diam. Kita mana
tahukan?” Jodha meletakkan gelasnya di meja dan berjalan mendekati Bi Ijah yang
sedang memasak dan bersandar pada kitchen
set sambil bersidekap.
“Tuan memang
pernah mengaku sedang jatuh cinta Bi. Tetapi dia tidak mengatakan siapa
orangnya. Hanya saja sikapnya memang menggambarkan seperti orang yang sedang
jatuh cinta, dia selalu tersenyum hangat, bahkan tidak pernah rewel lagi dengan
masalah makanan seperti biasa. Yah, walaupun kalau ketemu makanan musuhnya itu
tetap tidak dimakannya sih.” Ucap Jodha setengah melamun. Bi Ijah melirik
sekilas ke arahnya dengan tersenyum.
“Mungkin itu
kali Jo penyebabnya.” Jawab Bi Ijah singkat membuat Jodha menoleh dengan cepat.
“Tuan jatuh
cinta Bi?” Bi Ijah mengangguk, “tapi apa masalahnya denganku?” Bi Ijah hanya
mengendikkan bahunya membuat Jodha tertunduk lesu.
“Sudahlah
Jo, jangan terlalu dipikir. Tenangkan saja dulu pikiran kamu dari rasa
bersalah. Bisa sajakan Tuan marahnya dengan orang lain tetapi dilampiaskan sama
kamu?” hibur Bi Ijah. Jodha menghela nafas lagi.
“Iya deh Bi,
mungkin Bibi benar. Siapa tahu memang Tuan sedang kesal dengan seseorang, terus
kebetulan saja ketemu aku jadinya dia marahnya ke aku.” ucap Jodha menegakkan
badannya dan mengusap tengkuknya. Bi Ijah terkekeh.
“Ya sudah.
Mandi sana biar berkurang pusingnya.” Jodha mengangguk.
“Iya Bi.”
Akhirnya
Jodha melangkah ke kamarnya untuk mandi dan membersihkan diri menyambut malam
seperti biasa, meski di kepalanya masih memikirkan kelakuan majikan mudanya
itu.
========000=======
Sementara
itu Jalal yang membawa jeepnya dengan kencang bingung harus kemana. Dia hanya
membawa jeepnya berputar-putar menyusuri jalanan kota. Hari sudah beranjak sore
dan dia masih berada di atas jeepnya. Tiba-tiba saja dia tersadar ketika dia
berhenti di sebuah apartemen.
Tanpa sadar
rupanya dia menjalankan mobil jeepnya menuju apartemen Mansingh dan Surya.
Mereka berdua memang tinggal di apartemen dengan ruangan berdampingan.
Disinilah mereka bertiga sering bertemu. Padahal orang tua mereka berada di
kota yang sama, namun mereka memilih untuk tinggal di apartemen.
Jalal
memencet bel. Tidak lama kemudian Man keluar dan menatap heran sahabatnya yang
terlihat kusut. Tanpa disuruh Jalal masuk dan menghempaskan pantatnya disofa
ruang tamu.
“Kenapa Bos?
Mukanya kusut banget kayak permen kapas yang diacak-acak?” tanya Mansingh masih
berdiri di depan pintu. Jalal mendengus.
“Aku lagi
kesal Man.” Jawab Jalal merebahkan tubuhnya di sofa dan menaruh tangannya di
dahi. Matanya terpejam.
Man menutup
pintu dan duduk di lantai dekat meja tamu sambil memandang sahabatnya yang
sepertinya memiliki masalah. Setelah beberapa bulan Jalal terlihat begitu
bahagia. Sekarang, hari ini dia seperti
orang yang kehilangan semangat.
“Kesal sama
siapa Bos?”
“Entah.”
Jawab Jalal asal. Man mengerutkan keningnya, heran.
“Kok bisa?
Memangnya ada apa?”
Jalal
membuka matanya, beberapa saat kemudian dia bangkit dan duduk menyandarkan
tubuhnya disofa, kepalanya di dongakkan ke atas.
“Entahlah,
aku juga tidak tahu kenapa aku tiba-tiba saja menjadi kesal.”
“Bos lagi
bertengkar dengan orang tua Bos ya?” Jalal menggeleng, “atau sedang bertengkar
dengan Jodha?” Jalal kembali menggeleng, “terus?” Jalal mengusap wajahnya
dengan kedua tangannya.
“Aku
melihatnya berpelukan dengan laki-laki lain Man.” Mansingh membulatkan matanya
mendengar ucapan Jalal.
“Siapa?
Jodha?”
“Siapa
lagi?” Mansingh tertawa terbahak-bahak, sampai Jalal melemparkan bantal sofa
kepadanya karena kesal, namun Man hanya terkekeh. Tidak lama kemudian terdengar
suara bell, Man bangkit dan membuka pintu. Nampaklah Surya masuk dengan
penampilan segar.
“Ada apa
nih? Sepertinya lagi seru?” tanya Surya mengambil tempat duduk di samping
Jalal. Sedangkan Man kembali duduk di tempatnya semula.
“Bos kita
lagi galau nih Sur. Lagi cemburu berat kayaknya.” Ucap Man yang mendapat
delikan tajam dari Jalal.
“Aku tidak
cemburu.” Sahut Jalal dengan ketus. Kedua sahabatnya hanya memutar bola mata
dengan malas.
“Jawaban
yang tidak mewakili perasaan.” Ejek Mansingh membuat Jalal cemberut dan Surya
terkekeh.
“Akuilah Bos
kalau memang Bos cemburu. Nggak usah malu. Apalagi dengan kami ini, bukankah
kita selalu berbagi.”
“Entahlah
Man.” Jawab Jalal mengambil gitar yang tergeletak di atas meja. Dia memetik
gitar dengan asal.
“Apa Bos
benar-benar mencintainya?” tanya Surya. Jalal berhenti memetik gitar dan
menoleh kearah Surya.
“Mungkin iya
aku mencintainya. Tapi aku tidak tahu bagaimana dengannya.”
“Apa Bos
sudah mengungkapkan perasaan Bos kepadanya?” Jalal menggeleng. Mansingh dan
Surya mendengus kesal, “apa Bos tahu laki-laki itu siapa?” Jalal kembali
menggeleng.
“Jangan
berprasangka buruk dulu lah Bos. Siapa tahu itu hanya saudaranya saja, atau
temannya mungkin.” Kata Mansingh menghibur sahabatnya itu.
“Dia cerita
kepadaku kalau dia adalah anak tunggal sama sepertiku, dia tidak punya saudara
lagi disini.” Sejenak kedua sahabatnya itu terdiam.
“Kenapa
sampai sekarang Bos belum mengungkapkan perasaan Bos kepadanya?” Jalal
mendesah.
“Aku belum
siap Man, aku belum percaya diri dengan diriku sendiri. Aku belum mempunyai
sesuatu yang bisa aku banggakan kepadanya. Sedangkan kalian tahu sendiri
bagaimana mandirinya dia. Dan bahkan dia tidak tertarik sama sekali dengan kekayaan.
Lalu dengan cara apa aku membuatnya tertarik padaku?”
“Yah,
meskipun begitu setidaknya dia tahu kalau Bos mencintainya. Masalah di terima
atau di tolak itu masalah nanti, yang penting dia tahu perasaan Bos kepadanya.
Belum tentu apa yang dihatinya itu seperti pikiran Bos selama ini. Bisa sajakan
dia sebenarnya juga menyukai Bos, hanya saja dia segan karena status kalian.”
Ucap Surya mendadak bijak. Mansingh mengangguk.
“Iya Bos,
katakan saja kepada Jodha perasaanmu yang sebenarnya.” Mansingh ikut memberikan
semangat.
“Tapi aku
malu Man.”
“Malu sama
siapa Bos? Sama kami? atau sama Jodha?” kejar Mansingh lagi. Jalal tidak
menjawab tetapi malah kembali memetik
gitarnya dan menyanyi asal-asalan.
Malu aku malu pada semut merah
Yang berbaris di dinding menatap ku curiga
Seakan mereka berkata.....
Jalal
terdiam sebentar, kemudian mengulangi lagi lirik lagu itu dan berhenti seperti
tadi membuat Man dengan iseng bertanya setelah Jalal mengulangi lagunya sampai
ketiga kalinya.
“Mereka
berkata apa bos?”
Seakan mereka berkata.....KASIHAN DEH LU!!
“Sakit hati Abang Dek.” Ucap Jalal sambil memegang dadanya.
Sontak Man
dan Surya tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan Jalal seperti orang frustasi
itu. Mereka berdua hanya menggelengkan kepala melihatnya.
“Ya ampun
Bos, kemana sahabatku yang selama ini tidak pernah kalah dengan wanita? Kenapa
sekali ketemu wanita seperti Jodha malah membuatmu seperti orang yang tidak
beruntung sama sekali di dunia ini?” ucap Mansingh lagi. Jalal terdiam memeluk
gitarnya.
“Dia berbeda
Man. Sangat berbeda. Berdekatan dengannya saja sudah membuatku bahagia. Dan
satu lagi, dia polos apa adanya. Kalau dia marah, dia senang, dia sedih ataupun
dia bahagia selalu terlihat nyata tanpa mengada-ada. Bahkan dia banyak
mengajarkanku arti ketulusan, bagaimana memaafkan orang yang sudah
menyakitinya, tanpa dia menyadari kalau semua itu berbekas dalam ingatanku. Yang
paling aku suka darinya, adalah
kejujuran.” Kedua sahabatnya memandangnya dengan penuh perhatian melihat Jalal
yang begitu bahagia mengucapkan pujiannya terhadap Jodha, “walaupun dia bukan
orang yang sempurna, dia bisa judes, bisa cerewet seperti knalpot bajaj
rombeng,” Mansingh dan Surya tertawa mendengar perumpamaan dari Jalal, “tetapi
dia sangat perhatian. Rasanya duniaku lebih berwarna ketika bersamanya, tidak
seperti wanita yang pernah aku kencani, mereka hanya ingin terlihat baik di
depanku saja agar aku bersimpati namun tidak dengan Inem, dia adalah wanita
langka yang perlu dilestarikan.” Ucap Jalal sambil melamun. Kembali kedua
sahabatnya tertawa dan merasa geli karena Jalal berkata tetapi tidak merasa
kalau perkataannya itu terdengar lucu.
“Ya sudah
kalau begitu ungkapkan saja perasanmu padanya Bos.” Jalal menghela nafas.
“Bagaimana
kalau dia sudah memiliki pacar?” tanya Jalal tidak yakin.
“Emangnya
Jodha pernah cerita kalau dia sudah punya pacar?” Mansingh balik nanya. Jalal
menggeleng.
“Belum sih.
Dia bahkan mengatakan kalau dia belum pernah jatuh cinta.”
“Naaaahhh....”
seru Mansingh menepuk tangannya sekali tanpa sadar mengagetkan kedua sahabatnya.
“Apaan sih
Man? Ngagetin aja.” Gerutu Surya. Mansingh terkekeh.
“Hehehe....maaf,
aku nggak bermaksud mengagetkan kok. Maksudku, diakan sudah bilang kalau dia
tidak pernah jatuh cinta ya kan?” Jalal mengangguk, “terus kenapa Bos berani
menyimpulkan kalau dia sudah punya kekasih?” Jalal menggaruk kepalanya,
“menurutku nih Bos, tanya baik-baik siapa laki-laki tadi.”
“Lantas?”
“Bos harus
mendengar penjelasannya dulu. Siapkan saja dua kemungkinan, yang satu kalau
benar Jodha punya pacar dan yang kedua kalau dia belum punya pacar dan
laki-laki itu bukan siapa-siapanya dia?” jelas Mansingh.
“Lantas?”
“Lantas.
Lantas. Nabrak noh.” Ucap Mansingh, Jalal hanya nyengir, “Kalau jawabannya dia
belum punya pacar mending bos langsung ungkapkan saja perasaan Bos sama dia,
dan kalau dia sudah punya pacar, ungkapkan juga perasaan Bos sama dia. Terserah
tanggapannya bagaimana yang penting hati Bos lega.” Jalal cemberut.
“Memang enak
sih kamu ngomong begitu.” Gerutu Jalal.
“Emang.”
Jawab Mansingh asal membuatnya kembali dilempari bantal sofa oleh Jalal, dia
hanya terkekeh.
“Yah,
intinya begitulah Bos. Aku setuju kok apa kata Man tadi. Berusahalah bersikap gentleman. Tidak ada salahnya mencoba.
Semua ada resikonya. Diterima atau di tolak itu adalah resikonya. Dan kalau Bos
tidak mencobanya bagaimana Bos tahu kalau di tolak atau diterima.” Kata Surya
menambahkan. Jalal manggut-manggut. Dia seperti mendapatkan semangat lagi dari
kedua sahabatnya itu.
“Apapun
keadaan Bos nanti setelah mendengar jawaban dari Jodha, kami siap menemani.
Kalau diterima kami siap mendapat PJ (Pajak Jadian) untuk makan-makan di
restoran mana aja, dan kalau ditolak kami juga siap menerima PT (Pajak diTolak),
nanti kita tinggal menentukan club mana yang akan kita datangi.” Kata Mansingh
dengan antusias membuat Jalal mendengus kesal.
“Sialan kamu
Man. Pikiranmu cuma ada pajak aja.” Gerutu Jalal. Man dan Surya tertawa lebar
melihat Jalal.
“Ya sudah,
aku mau pulang dulu. Makasih ya sudah mau mendengarkan masalahku dan mau
berbagi solusi. Semoga saran kalian berguna.” Ucap Jalal sambil berdiri bangkit
dari duduknya.
“Oke Bos.
Tenang saja. Kami akan menunggu kabar baiknya ya.” Kata Surya menepuk pundak sahabatnya itu. Jalal
tersenyum.
Dengan
menarik nafas panjang Jalal pun keluar dari apartemen Mansingh diikutin
pandangan geli dari kedua sahabatnya. Pemandangan yang belum pernah mereka
lihat semenjak mereka mengenal Jalal dan setelah sahabatnya itu mengenal wanita
yang bernama Jodha.
Hari sudah
malam, Jalal kembali melajukan jeepnya menuju rumah dengan bersemangat.
Pokoknya dia harus mengutarakan segala perasaannya selama ini kepada Inemnya,
terserah nanti diterima atau tidak oleh gadis itu. Dia pun menghembuskan nafas
berkali-kali. Berusaha mengatur debaran dalam hatinya ketika mengingat Inemnya.
Namun,
ditengah perjalanan semangat yang menggebu itu kembali surut bila mengingat
laki-laki yang sudah memeluk Inemnya itu, dan seandainya perasaannya ditolak
bagaimana? Apa dia sanggup menahan malu karena di tolak? Bagaimana nanti
hubungan mereka bila Inemnya tidak mencintainya?
Rasanya
beribu pertanyaan terus menggelayut di benaknya. Jalal bahkan menghentikan jeepnya
di pinggir jalan karena tidak fokus untuk menyetir. Disandarkannya tubuhnya dan
dipejamkannya matanya memikirkan rencananya. Tetapi, akhirnya dia melajukan
jeepnya ke club ditempat dia biasa nongkrong bersama kedua sahabatnya. Dia
ingin menghabiskan malam ini dengan menenggak minuman seperti dulu lagi agar
terbebas dari segala pikiran yang menyiksanya.
“Hai Bos,
sudah lama tidak kesini? Kemana aja?” tanya bartender club tersebut. Jalal hanya
tersenyum.
“Minta
v***a, Al.” Pinta Jalal kepada bartender tersebut yang bernama Aldo. Dengan
segera Aldo memenuhi keinginan Jalal.
Jalal meneguk
v***a tersebut dengan cepat dan kembali meminta lagi. Tidak peduli kalau
akhirnya dia akan mabuk lagi. Tidak dia pedulikan juga beberapa wanita
berpakaian kurang bahan menghampirinya. Dia tetap cuek, sampai akhirnya mereka
bosan sendiri dan menjauh. Jalal berharap malam ini dia lupa dengan gadis yang
ada dirumahnya itu.
Dia tidak
tahu kalau Jodha sudah menunggunya sejak sore dengan gelisah. Berkali-kali gadis
itu melihat ke arah jam di ruang tamu. Malam sudah menunjukkan pukul 12 malam.
Ingin rasanya Jodha membiarkan saja tuan mudanya itu tanpa menunggunya. Namun,
hatinya berkata ada yang salah dengan diri tuan mudanya. Bukankah mereka
sekarang sudah menjadi teman, dan kewajiban Jodha untuk peduli selain sebagai
majikan.
Berkali-kali
Jodha menelpon ponsel tuan mudanya namun tidak pernah diangkat. Kemana dia?
Jodha takut majikannya itu akan kembali mabuk-mabukan seperti dulu lagi. Dia
juga merasa heran, kenapa sih orang setiap ada masalah larinya ke minuman? Itu
bukannya menyelesaikan masalah malah akan menambah masalah.
Sejam sudah
berlalu dari pukul 12, Jodha pun memutuskan untuk masuk ke kamarnya dan tidur.
Masalah tuan mudanya itu terserah nanti saja. Lagipula dia juga sudah dewasa
dan juga laki-laki, bisa saja dia menjaga dirinya sendiri pikirnya.
Baru saja
dia akan masuk kamarnya, ponsel yang di genggamnya berbunyi. Tertera nomor
ponsel tuan mudanya. Dengan cepat Jodha mengangkatnya. Namun, dahinya mengkerut
ketika mendengar suara berisik dan suara yang menelponnya itu seperti bukan
suara tuan mudanya.
Setelah
menerima telepon dari orang yang memakai ponsel tuan mudanya, Jodha segera
membangunkan Bi Ijah dan Mang Diman untuk mengatakan kalau dia akan menjemput
tuan mudanya. Bi Ijah dan Mang Diman tercengang mendengar ucapan Jodha,
bukankah beberapa bulan ini majikannya sudah menjadi anak yang manis. Tidak
pernah keluar malam dengan tujuan yang tidak jelas, selalu tersenyum dan
kelihatannya baik-baik saja. Kenapa sekarang tuan muda mereka bisa menjadi
seperti itu?
Jodha meminta
Mang Diman untuk menemaninya menjemput majikannya. Mang Diman menyetujui,
begitu juga dengan Bi Ijah. Sebelum Jodha bekerja di rumah itu, mereka seolah
tidak pernah peduli apakah majikannya itu pulang atau tidak, yang penting
pekerjaan mereka selesai. Tetapi sejak Jodha bekerja dirumah itu, mereka
mengikuti sifat gadis itu yang selalu peduli dengan orang lain termasuk kepada
majikannya meski tanpa diminta.
Jodha keluar
dari kamar dengan penampilan seperti biasa, celana jeans, jaket army, sepatu
casual, topi untuk menutupi rambutnya
yang dimasukkan kedalam. Tidak perlu menunggu lama, akhirnya Jodha dan Mang
Diman segera meluncur ke tempat yang ditunjukkan oleh penelpon tadi.
“Kenapa Tuan
Muda ya Neng?” tanya Mang Diman heran.
“Saya juga
tidak tahu, Mang. Rasanya tidak ada yang aneh sebelumnya. Hanya saja sore tadi
dia terlihat begitu dingin. Tidak mau bicara kepadaku seperti biasa.” Jawab
Jodha. Mang Diman menggeleng.
“Padahal
Mamang sudah senang Tuan Muda sudah tidak mabuk-mabukan lagi. Tuan Besar dan
Nyonya juga sudah amat sangat senang melihatnya. Tetapi kenapa sekarang kembali
lagi? Ada masalah apa?” gumam Mang Diman, matanya sambil fokus ke depan karena
dia yang menyupiri mobil tersebut.
“Iya Mang,
saya juga senang. Walaupun dulu dia terlihat begitu kejam dan kata-katanya
sering menyakitkan tetapi akhir-akhir ini aku merasa Tuan Muda sudah berubah.”
“Mamang juga
tidak tahu Neng. Ternyata masalah orang kaya begitu ya. Apa-apa lari ke
minuman. Mamang malah takut jadi orang kaya.” Jodha tertawa mendengar ucapan
polos dari Mang Diman.
Tidak lama
kemudian, mereka sampai di tempat yang ditunjukkan. Setelah berbicara dengan
penjaga pintu Jodha melangkah masuk ditemani oleh penjaga tadi dan Mang Diman. Mereka
melewati orang-orang yang sedang melakukan aktivitasnya sendiri-sendiri. Bau
alkohol dan juga asap rokok bertebaran dimana-mana dengan diterangi lampu
kelap-kelip khas club malam.
Jodha merasa
seram memasuki tempat itu. Selain memang merasa aneh melihat tingkah
orang-orang yang berada disitu juga aroma tembakau yang membuatnya mual. Jodha
dan Mang Diman terus mengikuti langkah penjaga club tersebut tanpa
memperdulikan pandangan aneh orang-orang yang dilewatinya melihat dirinya.
Dari
kejauhan terlihat tuan mudanya itu sedang membelakangi kedatangan mereka wajah tertelungkup
diatas meja bar sendirian. Tangannya masih memegang gelas berisi minuman keras
yang belum habis di teguknya.
Melihat itu Jodha
segera menghampiri tuan mudanya itu, di goyangnya dengan pelan bahu Jalal,
membuat pemuda itu bangun dan menoleh ke arah Jodha. Dia menyipitkan matanya.
Kemudian dia terkekeh.
“Eh, ada
Inem. Nyari siapa Nem? Nyari aku ya? Hehehe....” Namun Jodha hanya menatapnya
dengan pandangan kasihan, begitu juga dengan Mang Diman.
“Ayo, Tuan
kita pulang. Tuan sudah mabuk banget.” Kata Jodha memegang tangan Jalal. begitu
juga dengan Mang Diman memegang tangan yang satunya. Namun, Jalal menggeleng.
“Nggak. Aku
belum mabuk kok. Aku masih sadar. Noh, aku masih bisa gerak kan? Masih belum
pingsan.” Ucap Jalal terus meracau. Dia memberontak tidak mau dipegangi.
“Ayolah Tuan,
ini sudah malam. Nanti Tuan Besar sama Nyonya tahu gimana? Kasihankan mereka?”
kata Mang Diman berusaha meyakinkan tuan mudanya itu. Jalal menoleh ke arah
sopirnya itu.
“Tahu apa
kamu dengan mereka? Mereka tidak pernah melarangku mabuk, kenapa kamu yang
ribut?” bentak Jalal sambil terkekeh kembali. Mang Diman hanya menghela nafas
panjang. Jodha hanya bisa menatapnya prihatin.
“Ayo Tuan,
ikut pulang ya. Tuan sudah teler banget.” Bujuk Jodha. Dia memberi isyarat
kepada Mang Diman untuk memaksa majikannya meninggalkan tempat itu. Jalal terus menggeleng, namun tidak menolak
lagi untuk di ajak pulang. Mulutnya terus meracau tak jelas. Jodha segera
mengambil kartu kredit dari dompet Tuannya dan membayarkan tagihan minuman
tersebut. Bukan bermaksud lancang, tetapi bagaimana lagi. Harga minuman
tersebut tidak cukup di kantong Jodha, jadi terpaksalah dia mengambil sendiri.
Setelah
membayar tagihan minuman tuan mudanya, mereka berdua memapah Jalal yang mabuk
menuju jeepnya. Setelah menaikkan tuan mudanya di kursi penumpang, Jodha segera
naik ke belakang kemudi, sedangkan Mang Diman membawa mobil yang satunya.
Jodha
menatap tuan mudanya yang terdiam dengan mata terpejam namun tidak tidur. Ada
rasa yang lebih dari sekedar kasihan di hatinya melihat tuan mudanya seperti
itu. Namun, dia tidak tahu apa itu. Dadanya terasa sesak melihat tuannya
seperti itu. Emosinya kembali mengalir lewat butiran kristal yang menetes satu
persatu lewat ujung matanya. Mata Jalal yang terpejam mendadak terbuka melihat
ke arah Jodha.
“Kamu kenapa
nangis Nem? Aku aja nggak nangis nih. Aku kuat kan?” kekeh Jalal. Tangannya
bergerak menghapus air mata Jodha. Jodha tersenyum tipis, “anak mama tidak
boleh nangis, anak mamakan sudah besar. Hehehe...” ucap Jalal tertawa namun
sorot matanya menyiratkan kesedihan.
“Tuan...”
“Hm...”
“Tuan
kenapa? Tuan ada masalah ya jadi begini?” tanya Jodha pelan. Kembali Jalal
tertawa.
“Kamu mau
tau aja apa mau tau banget? Hayoo...” ucap Jalal sambil menunjuk Jodha.
Mungkin
kalau seperti pertama kali Jodha melihat tuan mudanya mabuk, dia akan tertawa
kencang. Namun ini situasinya berbeda. Dia sudah sedikit banyak mengenal tuan
mudanya membuatnya semakin sedih.
“Katanya
kita teman Tuan, tapi kok Tuan tidak mau cerita sih sama saya? Saya jadi sedih
nih.” Keluh Jodha.
“Eh, Inem
ikutan sedih. Jangan sedih dong Nem. Cukup aku saja yang sedih, kamu jangan.
Kamu harus bahagia.”
“Bagaimana
saya bahagia melihat Tuan sedih begini.” Kembali Jalal terkekeh.
“Oh, so
sweet ya Nem. Andaikan itu beneran. Aku pasti senang. Tapi nyatanya sekarang
aku lagi patah hati Nem, hehehe....” Jodha membulatkan matanya menatap tuan
mudanya yang terkekeh kembali.
“Tuan patah
hati?” Jalal tersenyum miris, “wow!”
“Kerenkan
Nem? Katanya playboy tapi tetap aja bisa patah hati. Hehehe....” Jodha menatap
tuan mudanya dengan prihatin.
“Yang sabar
ya Tuan, kita pulang sekarang ya.” Jalal mengangguk.
Akhirnya
Jodha membawa jeep tersebut keluar dari area parkiran club dan pulang.
Sepanjang jalan Jalal hanya terdiam menatap kosong kedepan. Begitu juga dengan
Jodha, hanya diam namun sesekali dia melirik tuan mudanya yang sedang melamun.
Sesampai di
rumah ternyata Mang Diman sudah menunggu untuk membukakan pintu gerbang dan
membantu Jodha memapah tuan mudanya masuk ke kamar. Setelah membaringkan tuan
mudanya di tempat tidur, Mang Diman pamit keluar kepada Jodha dan meninggalkan
mereka berdua.
Jodha duduk
di pinggir ranjang dan menatap tuan mudanya yang tertidur pulas. Dilepaskannya
jaket yang dipakai Jalal, pasangkannya selimut untuk tuan mudanya, di
hidupkannya pendingin udara. Sebelum akhirnya dia keluar dari kamar tersebut.
Sesampai
dikamarnya Jodha segera membersihkan diri dan berganti pakaian karena waktu
sudah menunjukkan dini hari, sebentar lagi waktu subuh menjelang. Jodha
membaringkan tubuhnya dan berusaha untuk tidur karena pagi-pagi dia sudah harus
bangun lagi untuk memulai aktivitasnya.
==========0000========
Pagi harinya
Jodha sudah bangun, dia bercermin dan melihat wajahnya agak pucat karena kurang
tidur dan juga kepalanya pusing, namun dia memaksakan untuk bangun. Jodha
melangkah menuju dapur seperti biasa kalau bangun pagi kurang tidur, dia harus
minum kopi meskipun hanya kopi instant biasa untuk membuang rasa pusing karena
kantuknya. Setelah itu barulah dia memulai segala aktivas paginya.
Selesai
melakukan pekerjaannya Jodha mengetuk pintu kamar tuan mudanya dengan
membawakan sebutir aspirin dan segelas air putih karena dia tahu kalau sehabis
mabuk orang pasti merasa sangat pusing. Karena itulah Jodha dengan sukarela
mengantarkannya ke kamar tuan mudanya.
Karena tidak
ada jawaban, Jodha membuka pintu kamar tuan mudanya. Ternyata tuan mudanya
masih terlelap dalam tidurnya. Jodha meletakkan nampannya di atas nakas,
setelah itu dia seperti yang pernah dia lakukan, kembali mematikan AC, membuka
gorden dan juga jendela karena sinar matahari pagi sudah lumayan terik.
Ketika dia
berbalik ternyata tuan mudanya sudah bangun dan duduk dipinggir tempat tidur. Dia
memijit pelipisnya karena pusing yang mendera. Jodha tersenyum melihatnya.
“Tuan sudah
bangun, ini saya bawakan obat biar pusingnya hilang.” Kata Jodha melangkah
mendekati majikannya. Jalal berhenti memijat pelipisnya dan menatap Jodha yang sudah
berdiri di dekatnya.
“Siapa yang
menyuruhmu masuk? Keluar dari kamarku!!” Bentak Jalal. Jodha tersentak kaget.
“Tuan?”
“Aku bilang
keluar!!”
Sekali lagi
Jalal membentak. Jodha hanya terdiam. Namun, kemudian dia berbalik meninggalkan
majikannya dengan kesal dan kecewa dengan diikuti pandangan sedih dari tuan
mudanya. Masih terlihat jelas oleh Jalal, Inemnya mengusap air mata dengan
kasar sebelum menutup pintu kamar dengan kasar.
Jalal
memejamkan matanya, “maafkan aku Nem,
sudah membentakmu. Aku tahu kamu pasti khawatir dengan keadaanku tetapi aku
masih belum bisa mengendalikan perasaan cemburu ini. perasaan marah ini.
Maafkan aku sudah membuatmu kecewa dengan sikapku. Aku belum siap Nem. Aku
memang pengecut.” Jalal membuka matanya dan menatap obat aspirin dan air
minum di gelas yang disediakan Jodha tadi dan meminumnya. Setelah itu dia
membaringkan tubuhnya kembali menunggu obatnya bereaksi.
Sementara
itu Jodha yang keluar dari kamar tuan mudanya, terus menerus menyusutkan air matanya
namun air mata itu tidak kunjung berhenti keluar. Dia tidak marah dengan
majikannya karena dia tahu bagaimana keadaan laki-laki itu. Jodha hanya kecewa, karena tuan mudanya tidak mau
berbagi dengannya dan selalu saja disaat rasa kesal dan kecewa itu datang
selalu saja air matanya juga ikut mengalir.
Bergegas dia
bersiap-siap untuk berangkat ke kampusnya. Dia ingin melupakan sejenak tuan
mudanya itu. Berhubung Bu Hamidah tidak ada dirumah, jadinya Jodha berangkat
menggunakan angkutan umum saja. Satu harapannya agar kuliahnya segera selesai
tepat waktu sesuai dengan yang sudah di targetkannya. Dia harus bisa membuat
kedua orang tuanya dan juga keluarga angkatnya bangga. Setidaknya itu yang bisa
dia persembahkan terlebih dahulu.
Sementara
Jalal hanya menghabiskan waktu dengan mengurung diri di kamar saja. Sejak
dibentaknya tadi pagi sampai siang Inemnya belum juga muncul. Sebenarnya Jalal
ingin sekali menanyakan rasa penasarannya siapa laki-laki yang sudah memeluknya
itu, tetapi rasanya dia masih belum siap. Masih belum siap sakit hati dan
kecewa lagi. Namun, rasa rindunya juga tidak terbendung lagi. Padahal hari
masih siang, rumah seakan tidak ada penghuninya. Untuk makan saja rasanya Jalal
malas.
Menjelang
sore setelah mandi dan membersihkan diri Jalal keluar dari kamarnya, keadaan
rumah sangat sepi. Hanya ada Bi Ijah sedang bersih-bersih dan juga Mang Diman
sibuk dengan kerjaannya seperti biasa. Sedangkan Inem? Entahlah,...mungkin juga
gadis itu sedang berada dikampusnya, atau mungkin dia menghindar tidak ingin
bertemu dengannya.
Jalal
melangkahkan kakinya menuju gazebo belakang rumah yang akhir-akhir ini menjadi
tempat favoritnya bersama Jodha. Disana mereka berdua seringkali ngobrol apa
saja bahkan bertengkar juga disana. Menatap gazebo itu membuat Jalal seperti
melihat Inemnya sedang tersenyum dan tertawa. Bayangan ingatan itu seperti
terlihat jelas. Sebuah senyum terbit di bibirnya sekilas. Hal yang biasa
membuat kesal tetapi bila diingat akan menjadi sesuatu yang lucu.
Sesampai di
gazebo, Jalal memasang earphone yang
terhubung dengan ponselnya, memutar lagu yang menurutnya sedikit bisa menghibur
gundah hatinya. Dia bersandar di tiang seperti biasa, sesekali dia memejamkan
matanya menikmati setiap lirik lagu, seakan seperti itulah perasaannya saat
ini. Ternyata cinta memang bisa membuat orang menjadi lemah, cinta bisa membuat
orang menjadi hampa.
Entah berapa
lagu yang sudah dia putar, tiba-tiba dia merasa lengannya di sentuh. Jalal
membuka matanya dan melihat Jodha tersenyum manis memandangnya. Dan di
hadapannya terdapat dua gelas coklat panas dengan sepiring kue camilan.
Sesaat Jalal
terpana melihat senyuman di bibir Jodha. Senyuman yang seharian ini dia
rindukan. Tetapi kemudian sikapnya berubah dingin lagi.
“Untuk apa
kamu kesini?” Jodha tersenyum menanggapinya. Dengan cueknya dia duduk di
hadapan tuan mudanya itu.
“Saya tidak
tahu salah saya apa sampai Tuan bersikap dingin begini kepada saya. Tetapi saya
juga tahu, pasti seharian ini Tuan tidak makankan?” Jalal melengos, membuang
pandangan ke arah lain, “ ini saya bawakan coklat panas. Menurut yang pernah
saya baca coklat itu bisa menenangkan pikiran dan mengurangi stress. Jadi saya
pikir apa salahnya saya bikinkan untuk Tuan. Agar Tuan tidak terlalu stres
dengan masalah Tuan dan untuk saya agar saya tidak terlalu stres karena Tuan
marah sama saya.” Jawab Jodha sambil terkekeh.
Jalal
kembali menatap Jodha yang masih tertawa kecil. Tidak ada raut marah di
wajahnya. Padahal tadi pagi dia sudah membentaknya sampai menangis.
“Kamu nggak marah
sama aku Nem karena sudah membentakmu?” Jodha tersenyum dan menggeleng.
“Cuma agak
kesal aja Tuan. Tapi setelah itu nggak lagi kok, tadi habis dari kampus hilang
deh kesalnya.” Ucap Jodha membulatkan
mata dengan jenaka ke arah tuan mudanya. Berharap majikannya bisa sedikit
tersenyum.
“Nem...”
“Ya Tuan...”
“Kenapa kamu
selalu peduli sama aku.” Jodha mengerutkan keningnya.
“Apa untuk
peduli dengan seseorang itu harus ada alasannya ya Tuan?” Jalal mengangkat
bahunya, “saya tanya sama Tuan, Bu Hamidah menyayangi Tuan kenapa?” Jalal
berpikir sejenak.
“Karena aku
adalah anaknya.” Jodha mengangguk.
“Selain
itu?”
“Mungkin
karena kewajibannya sebagai orang tua?”
“Selain
itu?”
“Selain itu,
selain itu. Aku nih lagi pusing ditanya selain itu, selain itu.” Omel Jalal.
Jodha malah terkekeh mendengar omelan tuan mudanya.
“Nah, Tuan
nggak bisa jawab kan?” Jalal diam, matanya masih menatap Jodha yang terus
berceloteh, “selain memang Tuan sebagai anaknya, juga sebagai kewajiban Mamanya
Tuan, juga karena dia menyayangi Tuan. Menyayangi tanpa pamrih. Melihat orang
yang dia sayang itu bahagia, terawat, terjamin masa depannya sudah membuat
cukup buat Bu Hamidah. Begitu juga dengan saya, saya peduli kepada Tuan tidak
harus ada alasannya. Melihat Tuan tertawa, tersenyum seperti biasa sudah
membuat saya bahagia. Terkadang melihat orang bahagia karena kita itu bisa
membuat kita jauh lebih bahagia lagi. Dan saya suka seperti itu.” ucap Jodha
dengan tersenyum. Tangannya menyodorkan gelas berisi coklat yang masih panas
kepada tuan mudanya, dan Jalal pun akhirnya menerima gelas itu serta menyesap
sedikit. Begitu pun dengan Jodha.
“Jadi, tidak
ada alasan lain ya?” gumam Jalal dengan lirih. Jodha menghela nafas panjang. Di
kemudian meluruskan kaki dan menepuk pahanya.
“Sini Tuan, ayo
berbaring disini.” Jalal menatapnya dengan heran.
“Kenapa?”
Jodha tersenyum.
“Tidak ada
apa-apa. Dulu waktu saya menangis, Tuan menawarkan saya dada Tuan sebagai
tempat saya bersandar. Dan sekarang ketika Tuan ada masalah, saya menawarkan
pangkuan saya sebagai pelepas lelah. Bukankah sebagai teman kita harus berbagi.
Bukan Cuma berbagi kebahagiaan saja tetapi juga berbagi masalah.” Jalal
berpikir sejenak melihat senyum tulus dari Inemnya.
“Baiklah.”
Jalal
menuruti permintaan Jodha untuk berbaring di pahanya. Dengan lembut Jodha
mengelus rambut Jalal membuat pemuda itu memejamkan matanya menikmati setiap
sentuhan dari Inemnya.
“Tuan..”
“Hm...”
“Apa benar
Tuan sedang patah hati?” tanya Jodha dengan hati-hati. Namun, tetap saja
membuat Jalal membuka matanya.
“Kenapa kamu
bertanya seperti itu Nem?”
“Tadi malam
ketika saya menjemput Tuan dari club, Tuan bilang sedang patah hati.”
“Jadi kamu
yang menjemput aku dari club tadi malam?” Jodha mengangguk.
“Iya.
Bersama Mang Diman juga.” Jalal terdiam. “Apa itu yang membuat Tuan berubah
sikap kepada saya?” Jalal memiringkan posisi badan dan kepalanya membelakangi
tubuh Jodha.
“Entahlah.
Mungkin.”
“Kenapa bisa
seperti itu Tuan? Padahal rasanya baru kemarin Tuan bilang sedang jatuh cinta,
dan saya juga belum pernah melihat gadis yang Tuan incar itu. Kok, tiba-tiba
saja patah hati. Emang Tuan pacarannya kapan?” tanya Jodha dengan heran. Tangannya masih membelai rambut
Jalal.
“Aku belum
pernah pacaran sama dia Nem. Tetapi, setiap kali aku bersamanya aku merasa
sedang pacaran sama dia. Entah kalau dengannya, apa dia merasa sepertiku atau tidak.
Aku pernah menyatakan perasaanku kepadanya meski aku bilang itu hanya pura-pura
tetapi sebenarnya itu perasaanku yang sesungguhnya. Tetapi dia malah
menertawakanku yang akhirnya aku belum berani untuk mengutarakan perasaanku
kepadanya.”
“Terus, apa
yang membuat Tuan patah hati?” tanya Jodha dengan penasaran. Kembali Jalal
menghela nafas panjang.
“Aku
melihatnya dipeluk oleh laki-laki lain. Aku merasa kecewa, sedih dan cemburu.
Karena aku merasa dia lebih memilih laki-laki itu daripada aku.”
“Apa dia
sudah mengatakan seperti itu kepada Tuan?” Jalal menggeleng, “terus, kenapa
tuan jadi seyakin itu kalau dia benar-benar telah memilih laki-laki lain?”
“Entahlah
Nem. Melihatnya saja sudah membuatku cemburu tetapi juga minder.” Jodha
terkekeh.
“Eh, anak
mama bisa cembulu juga nih? Anak mama lagi patah hati nih anak mamaaa...
asian..asian...anak mama lagi sedih. Nanti kita cari yang lain lagi ya nak,
senyum dong anak mamaa.....” Goda Jodha. Kalau biasanya Jalal marah bila di
goda seperti itu, namun kali ini dia hanya tersenyum tipis saja.
“Tuan, boleh
nggak saya kasih saran?”
“Apa?”
“Menurut
saya, boleh saja kita bersedih karena kehilangan cinta. Tetapi jangan sampai
kita kehilangan semangat hidup. Bisa saja orang yang Tuan cinta itu memang
tidak ditakdirkan untuk Tuan. Bisa saja ditempat lain dan di lain waktu Tuan
akan bertemu dengan orang lain yang lebih baik darinya. Kita tidak akan pernah
tahukan?” Jalal cemberut.
“Kamu enak
saja ngomong seperti itu Nem, karena kamu tidak pernah merasakan sakit karena
cinta.” Jodha terkekeh.
“Iya, saya
tahu saya memang tidak pernah merasakan patah hati karena cinta. Tetapi saya
sudah pernah merasakan sakitnya kehilangan seseorang yang jelas-jelas mencintai
saya dan rela berkorban untuk saya dari saya belum lahir kedunia sampai saya
besar. Menurut saya, kehilangan Ibu lebih menyakitkan daripada kehilangan
seorang kekasih yang jelas-jelas baru kita kenal. Tetapi saya bisa bangkit,
karena saya percaya kalau saya akan bisa membalas kebaikan Ibu dengan kebaikan
yang sudah beliau ajarkan itu dengan berbuat baik kepada orang lain.” Jalal membalikkan badannya
dengan posisi telentang lagi, dia menatap wajah Jodha dengan serius.
“Nem,..”
“Ya,..”
“Apa
pendapatmu tentang diriku?” Jodha tertawa pelan.
“Menurutku
Tuan baik.” Jalal tersenyum, “kadang-kadang sih.” Jalal mendengus. Jodha
tertawa lagi, “menurutku sih Tuan baik, walaupun terkadang menyebalkan dan
manja, tuan juga bisa lembut juga perhatian. Saya rasa itu nilai lebih untuk Tuan dimata saya.”
Senyum Jalal mengembang lebar.
“Nem...”
“Hm...”
“Aku boleh
minta sesuatu sama kamu nggak?” Jodha menatap tuan mudanya dengan heran,
sedangkan Jalal hanya tersenyum.
“Kan kemarin
saya yang menang kenapa jadi Tuan yang minta?” kembali dahinya disentil Jalal,
membuatnya meringis namun juga tersenyum.
“Bukan itu
Inem, ini bukan masalah taruhan. Ini masalah lain?” Ujar Jalal sambil cemberut.
Jodha terkekeh, dia tahu maksud tuan
mudanya itu tapi dia ingin menggodanya saja. Setelah, sehari semalam orangnya
nampak kusut.
“Terus? Apa
dong?” Jalal menghela nafas dan menatap bola mata Jodha dalam-dalam.
“Aku minta,
jangan pernah menganggapku playboy lagi ya. Please.”
“Emangnya
kenapa Tuan? Kan emang begitu adanya.”
“Aku merasa
sudah tidak seperti itu lagi Nem. Sejak aku bertemu dengan gadis itu, rasanya
gadis lain sudah tidak menarik lagi.” Jodha tertawa tertahan.
“Aje
gilee....Tuan sudah jadi playboy insyaf nih? Nggak cuma preman aja yang
insyaf.”
“Terserah
apa kata kamu sajalah, yang penting pemikiran kamu sama aku berubah ya.” Jodha
berpikir sebentar, jari telunjuknya mengetuk-ngetuk dagunya.
“Hm....bisa
nggak ya?”
“Ayolah Nem,
please. Kamu cantik deh.” Rayu Jalal.
Jodha mengangkat sebelah alisnya dan tersenyum miring.
“Ahay...majikanku
sudah mulai merayu. Ingat-ingat sama gebetan Tuan, ntar dia malah cemburu lagi
sama saya.” Jalal tersenyum.
“Aku yakin
dia tidak akan cemburu kok Nem kalau dia tahu itu kamu.”
“Benarkah?” Jalal mengangguk.
“Saya jadi
penasaran ya, siapa gadis itu?” Jalal tersenyum usil, “saya boleh tahu dong
Tuan siapa dia. Siapa yang begitu hebatnya sampai bikin majikanku yang playboy
jadi insyaf. Gimana cantiknya ya?” Jalal
menggerak-gerakkan jari telunjuknya di depan wajahnya sambil menggeleng.
“No..No..tidak
sekarang Nem. Nanti juga kamu tahu. Pokoknya dia itu hebat, cantik, pintar,
polos, tapi juga pandai menjerat hatiku.” Ucap Jalal sambil tersenyum.
“Acieee....tadi
katanya sedih karena patah hati, sekarang kok malah kembali seperti
kemarin-kemarin. Seperti orang jatuh cinta lagi. Ah, sikap Tuan yang mana
sebenarnya.” Tanya Jodha sambil terkekeh.
“Biarin.
Yang penting sekarang aku lagi senang.” Jodha hanya menggeleng mendengar
jawaban tuan mudanya.
“Nem, boleh
aku bertanya lagi?”
“Bolehlah,
bertanyalah sepuas hati Tuan. Selama saya bisa jawab, saya akan jawab.”
“Apa benar
kamu belum punya seorang kekasih.” Mendadak Jodha tertawa sambil menutup mulutnya
dengan telapak tangannya agar tidak terdengar kencang.
“Ya ampun,
Tuan penasaran ya?” Jalal mengangguk. Jodha menggelengkan kepalanya, “sampai
sekarang, sampai detik ini saya belum pernah pacaran Tuan. Dan bagaimana
rasanya pacaran juga saya belum tahu.”
Jalal tanpa
sadar menarik nafas lega disela-sela senyumnya. Ya, mungkin saja kemarin itu
dia cuma salah paham saja. Atau mungkin saja laki-laki hanya sekedar teman
tetapi bukan sebagai kekasihnya. Ah, nanti saja dia tanyakan lagi. Sekarang
Jalal hanya ingin menikmati kebersamaannya dengan Inemnya dan dengan elusan
tangan lembut gadis itu di kepalanya serta berharap waktu tidak akan cepat
berlalu.
=====TBC===
Tidak ada komentar:
Posting Komentar