Menu

Jumat, 12 Februari 2016

BIARKAN AKU JATUH CINTA. PART. 10 (SAKITNYA MENCINTAIMU)


Hai datang lagi nih. Part kali ini adalah part galau buat tuan muda, namun part menyenangkan buat authornya dan part membingungkan buat Inem. Hehehe.... bingung ya Nem? Kalau bingung berpegangan aja Nem, berpegang pada hati tuan muda aja maksudnya.  Ciee...ahahaha.....

Intermezzo :
 Jalal    : “Nem, dulu waktu kecil kamu cita-citanya mau jadi apa?”
 Jodha : “Hm...ingin jadi guru Tuan.”
 Jalal   : (mengangguk), “kenapa nggak cita-cita jadi astronot aja Nem?”
 Jodha:  “Emang kenapa tuan?” (bingung)
 Jalal  :  “Biar kamu bisa melihat besar dan luasnya lautan cintaku padamu dari atas sana.” Ahayy.....
 Jodha : (merona), “sayangnya dulu belum ketemu Tuan sih jadi saya nggak kepikiran bercita-cita jadi astronot. Kenapa nggak  Tuan aja yang kuliah di jurusan Arsitektur sekarang.”
 Jalal  : (heran) “Kenapa aku harus kuliah jurusan arsitektur Nem? Yang ada aja kuliahku belum kelar.”
 Jodha : (malu-malu) “Biar Tuan nanti bisa membangun istana yang besar dan megah agar bisa  menampung limpahan kasih sayang dan besarnya cinta saya di hati Tuan.”
 Jalal : (jingkrak-jingkrak sampai masuk got) “Katanya dengar kata-kata gombal kamu pengen muntah Nem, kenapa sekarang malah bisa menggombal?”
 Jodha : (Nyengir) “Saya kasihan sama Tuan, dipart ini dibikin galau sama authornya, makanya saya membalas gombalan Tuan, biar Tuan  bisa sedikit bahagia.”
 Jalal : (gigit sendal kuat-kuat).

================000===============


Jalal masih terduduk di balkon rumahnya. Dipandanginya Inemnya yang berjalan memasuki gerbang rumahnya. Senyum manis gadis itu terukir lebar di bibirnya yang mungil. Sesaat Jalal menjambak rambutnya pelan. Pikirannya masih terbayang laki-laki yang memeluk Inemnya. Tetapi, semakin dipikir membuatnya semakin pusing. Akhinya dia memutuskan untuk jalan keluar.

Dengan segera dia menyambar kunci mobil jeepnya dan turun dari kamar. Di ruang tamu Jalal berpapasan dengan Jodha. Ingin hatinya menegur Inemnya seperti biasa, tetapi bayangan lelaki  yang memeluknya membuat Jalal mengeraskan hatinya untuk tidak menegur. Melihat wajah ceria gadis itu membuat hatinya sakit.

“Tuan mau kemana?” tegur Jodha dengan ramah seperti biasa.

Jalal menatap Jodha dengan wajah tanpa ekspresi beberapa lama sebelum akhirnya dia berlalu melewati gadis itu tanpa menjawab, membuat Jodha hanya terbengong melihatnya. Ada apa dengan tuan mudanya begitu? Kenapa hari ini dia begitu diam? apa ada yang salah dengannya?

Jodha menoleh kearah Jalal yang masih berjalan ke arah garasi untuk mengeluarkan mobilnya. Tanpa pikir panjang dia berlari mengejar tuan mudanya yang hampir sampai garasi.

“Tuan...” Jalal menghentikan langkahnya, namun dia diam saja tanpa menoleh, “Tu...tuan kenapa? Tuan marah sama ya?” tanya Jodha dengan heran, “bilang aja Tuan kalau saya memang salah, saya nggak akan marah kok.”

“Tidak ada.”

Hanya itu jawaban dari Jalal,  itupun dia keluarkan dengan susah payah, tidak tega melihat wajah memelas dari Inemnya yang sesungguhnya sangat perhatian kepadanya. Namun, apa daya ego kemarahan hatinya lebih besar ketimbang rasa kasihan atas ucapan gadis itu.

“Tapi,.... tidak biasanya Tuan seperti ini?” Jalal tersenyum terpaksa.

“Tidak apa-apa Nem. Tidak usah kamu pikirkan. Aku pergi dulu.” Ucap Jalal dengan suara pelan. Bergegas dia membuka pintu mobilnya dan naik dengan cepat. Tanpa menoleh ke arah Jodha dia menjalankan jeepnya keluar dari garasi dan melaju di jalanan dengan kecepatan tinggi. Seakan semua emosi dan kemarahannya tersalurkan lewat kakinya yang menginjak pedal gas begitu dalam.

Sementara Jodha yang ditinggalkan hanya berdiri mematung. Entah kenapa hatinya sedih melihat tuan mudanya begitu dingin dan cuek kepadanya. Padahal biasanya dia selalu usil dan terus menggodanya. Kenapa hari ini Jodha merasa kehilangan sesuatu yang biasanya selalu membuatnya kesal namun juga senang. Ada apa dengan tuan mudanya ini?

Dengan langkah gontai Jodha masuk lagi ke rumah menuju dapur. Mengambil gelas dari tempatnya dan menuangkan air dingin dari kulkas. Jodha meminum air tersebut dengan pelan sambil bersandar di pintu kulkas.

“Kamu kenapa Jo? kelihatannya resah begitu?” tanya Bi Ijah melihat Jodha diam saja, tidak nampak ceria seperti biasa. Jodha menghela nafas panjang.

“Kenapa ya Bi, hari ini Tuan Muda begitu dingin sikapnya kepadaku. Dia berubah Bi. Apa salahku?” ucap Jodha dengan pelan, pandangannya menerawang kedepan. Bi Ijah mendekati Jodha dan menyentuh pundaknya. Jodha menoleh.

“Maksud kamu berubah bagaimana?”

“Entahlah Bi. Tadi aku bertemu dengannya di ruang tamu. Aku sapa dia seperti biasa, tapi........” kembali Jodha menghela nafas, “tapi, dia hanya diam saja. Bahkan ketika aku memanggilnya dia tidak menoleh.” Bi Ijah mengerutkan keningnya.

“Apa kamu merasa berbuat salah Jo?” Jodha menggeleng.

“Aku tidak tahu Bi. Rasanya aku tidak berbuat salah apa-apa. Bahkan tadi pagi masih seperti biasa. Tapi, tadi setelah aku pulang sikapnya berubah.” Jodha menoleh kembali ke arah Bi Ijah, “ apa karena beberapa hari minggu ini aku tidak menemaninya ya Bi?” Bi Ijah mengangkat bahu tanda tidak tahu.

“Bibi juga nggak tau Jo. Tapi, minggu lalu kan biasa-biasa aja?” Jodha mengangguk, “ah, sudahlah nanti juga baik sendiri. Kalau Tuan datang kamu tanyakan saja. Tidak enak ada kesalahpahaman apalagi dengan majikan.” Jodha mengangguk.

“Iya Bi. Nanti aku tanyakan, aku hanya merasa heran aja Bi. Setelah berbulan-bulan aku kerja disini baru kali ini Tuan Muda bersikap begitu, biasanya kan dia selalu menggodaku.” Bi Ijah tersenyum.

“Apa Tuan Muda sedang cemburu Jo?” Jodha menoleh ke arah Bi Ijah dan mengerutkan keningnya.

“Cemburu? Sama siapa?” tanya Jodha heran.

“Mana Bibi tahu Jo. Hanya mengira-ngira saja.” Jawab Bi Ijah sambil terkekeh. Dia kembali melanjutkan pekerjaannya.

“Mana mungkin cemburu Bi, ngomong cinta saja tidak pernah. Mau cemburu darimana?” ucap Jodha sambil tertawa kecil.

“Ya, siapa tahu Tuan punya perasaan khusus untuk kamu dengan diam-diam. Kita mana tahukan?” Jodha meletakkan gelasnya di meja dan berjalan mendekati Bi Ijah yang sedang memasak dan bersandar pada kitchen set sambil bersidekap.

“Tuan memang pernah mengaku sedang jatuh cinta Bi. Tetapi dia tidak mengatakan siapa orangnya. Hanya saja sikapnya memang menggambarkan seperti orang yang sedang jatuh cinta, dia selalu tersenyum hangat, bahkan tidak pernah rewel lagi dengan masalah makanan seperti biasa. Yah, walaupun kalau ketemu makanan musuhnya itu tetap tidak dimakannya sih.” Ucap Jodha setengah melamun. Bi Ijah melirik sekilas ke arahnya dengan tersenyum.

“Mungkin itu kali Jo penyebabnya.” Jawab Bi Ijah singkat membuat Jodha menoleh dengan cepat.

“Tuan jatuh cinta Bi?” Bi Ijah mengangguk, “tapi apa masalahnya denganku?” Bi Ijah hanya mengendikkan bahunya membuat Jodha tertunduk lesu.

“Sudahlah Jo, jangan terlalu dipikir. Tenangkan saja dulu pikiran kamu dari rasa bersalah. Bisa sajakan Tuan marahnya dengan orang lain tetapi dilampiaskan sama kamu?” hibur Bi Ijah. Jodha menghela nafas lagi.

“Iya deh Bi, mungkin Bibi benar. Siapa tahu memang Tuan sedang kesal dengan seseorang, terus kebetulan saja ketemu aku jadinya dia marahnya ke aku.” ucap Jodha menegakkan badannya dan mengusap tengkuknya. Bi Ijah terkekeh.

“Ya sudah. Mandi sana biar berkurang pusingnya.” Jodha mengangguk.

“Iya Bi.”

Akhirnya Jodha melangkah ke kamarnya untuk mandi dan membersihkan diri menyambut malam seperti biasa, meski di kepalanya masih memikirkan kelakuan majikan mudanya itu.

========000=======


Sementara itu Jalal yang membawa jeepnya dengan kencang bingung harus kemana. Dia hanya membawa jeepnya berputar-putar menyusuri jalanan kota. Hari sudah beranjak sore dan dia masih berada di atas jeepnya. Tiba-tiba saja dia tersadar ketika dia berhenti di sebuah apartemen.

Tanpa sadar rupanya dia menjalankan mobil jeepnya menuju apartemen Mansingh dan Surya. Mereka berdua memang tinggal di apartemen dengan ruangan berdampingan. Disinilah mereka bertiga sering bertemu. Padahal orang tua mereka berada di kota yang sama, namun mereka memilih untuk tinggal di apartemen.

Jalal memencet bel. Tidak lama kemudian Man keluar dan menatap heran sahabatnya yang terlihat kusut. Tanpa disuruh Jalal masuk dan menghempaskan pantatnya disofa ruang tamu.

“Kenapa Bos? Mukanya kusut banget kayak permen kapas yang diacak-acak?” tanya Mansingh masih berdiri di depan pintu. Jalal mendengus.

“Aku lagi kesal Man.” Jawab Jalal merebahkan tubuhnya di sofa dan menaruh tangannya di dahi. Matanya terpejam.

Man menutup pintu dan duduk di lantai dekat meja tamu sambil memandang sahabatnya yang sepertinya memiliki masalah. Setelah beberapa bulan Jalal terlihat begitu bahagia.  Sekarang, hari ini dia seperti orang yang kehilangan semangat.

“Kesal sama siapa Bos?”

“Entah.” Jawab Jalal asal. Man mengerutkan keningnya, heran.

“Kok bisa? Memangnya ada apa?”

Jalal membuka matanya, beberapa saat kemudian dia bangkit dan duduk menyandarkan tubuhnya disofa, kepalanya di dongakkan ke atas.

“Entahlah, aku juga tidak tahu kenapa aku tiba-tiba saja menjadi kesal.”

“Bos lagi bertengkar dengan orang tua Bos ya?” Jalal menggeleng, “atau sedang bertengkar dengan Jodha?” Jalal kembali menggeleng, “terus?” Jalal mengusap wajahnya dengan kedua tangannya.

“Aku melihatnya berpelukan dengan laki-laki lain Man.” Mansingh membulatkan matanya mendengar ucapan Jalal.

“Siapa? Jodha?”

“Siapa lagi?” Mansingh tertawa terbahak-bahak, sampai Jalal melemparkan bantal sofa kepadanya karena kesal, namun Man hanya terkekeh. Tidak lama kemudian terdengar suara bell, Man bangkit dan membuka pintu. Nampaklah Surya masuk dengan penampilan segar.

“Ada apa nih? Sepertinya lagi seru?” tanya Surya mengambil tempat duduk di samping Jalal. Sedangkan Man kembali duduk di tempatnya semula.

“Bos kita lagi galau nih Sur. Lagi cemburu berat kayaknya.” Ucap Man yang mendapat delikan tajam dari Jalal.

“Aku tidak cemburu.” Sahut Jalal dengan ketus. Kedua sahabatnya hanya memutar bola mata dengan malas.

“Jawaban yang tidak mewakili perasaan.” Ejek Mansingh membuat Jalal cemberut dan Surya terkekeh.

“Akuilah Bos kalau memang Bos cemburu. Nggak usah malu. Apalagi dengan kami ini, bukankah kita selalu berbagi.”

“Entahlah Man.” Jawab Jalal mengambil gitar yang tergeletak di atas meja. Dia memetik gitar dengan asal.

“Apa Bos benar-benar mencintainya?” tanya Surya. Jalal berhenti memetik gitar dan menoleh kearah Surya.

“Mungkin iya aku mencintainya. Tapi aku tidak tahu bagaimana dengannya.”

“Apa Bos sudah mengungkapkan perasaan Bos kepadanya?” Jalal menggeleng. Mansingh dan Surya mendengus kesal, “apa Bos tahu laki-laki itu siapa?” Jalal kembali menggeleng.

“Jangan berprasangka buruk dulu lah Bos. Siapa tahu itu hanya saudaranya saja, atau temannya mungkin.” Kata Mansingh menghibur sahabatnya itu.

“Dia cerita kepadaku kalau dia adalah anak tunggal sama sepertiku, dia tidak punya saudara lagi disini.” Sejenak kedua sahabatnya itu terdiam.

“Kenapa sampai sekarang Bos belum mengungkapkan perasaan Bos kepadanya?” Jalal mendesah.

“Aku belum siap Man, aku belum percaya diri dengan diriku sendiri. Aku belum mempunyai sesuatu yang bisa aku banggakan kepadanya. Sedangkan kalian tahu sendiri bagaimana mandirinya dia. Dan bahkan dia tidak tertarik sama sekali dengan kekayaan. Lalu dengan cara apa aku membuatnya tertarik padaku?”

“Yah, meskipun begitu setidaknya dia tahu kalau Bos mencintainya. Masalah di terima atau di tolak itu masalah nanti, yang penting dia tahu perasaan Bos kepadanya. Belum tentu apa yang dihatinya itu seperti pikiran Bos selama ini. Bisa sajakan dia sebenarnya juga menyukai Bos, hanya saja dia segan karena status kalian.” Ucap Surya mendadak bijak. Mansingh mengangguk.

“Iya Bos, katakan saja kepada Jodha perasaanmu yang sebenarnya.” Mansingh ikut memberikan semangat.

“Tapi aku malu Man.”

“Malu sama siapa Bos? Sama kami? atau sama Jodha?” kejar Mansingh lagi. Jalal tidak menjawab tetapi malah  kembali memetik gitarnya dan menyanyi asal-asalan.

Malu aku malu pada semut merah
Yang berbaris di dinding menatap ku curiga
Seakan mereka berkata.....

Jalal terdiam sebentar, kemudian mengulangi lagi lirik lagu itu dan berhenti seperti tadi membuat Man dengan iseng bertanya setelah Jalal mengulangi lagunya sampai ketiga kalinya.

“Mereka berkata apa bos?”

Seakan mereka berkata.....KASIHAN DEH LU!!

“Sakit hati Abang Dek.” Ucap Jalal sambil memegang dadanya.

Sontak Man dan Surya tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan Jalal seperti orang frustasi itu. Mereka berdua hanya menggelengkan kepala melihatnya.

“Ya ampun Bos, kemana sahabatku yang selama ini tidak pernah kalah dengan wanita? Kenapa sekali ketemu wanita seperti Jodha malah membuatmu seperti orang yang tidak beruntung sama sekali di dunia ini?” ucap Mansingh lagi. Jalal terdiam memeluk gitarnya.

“Dia berbeda Man. Sangat berbeda. Berdekatan dengannya saja sudah membuatku bahagia. Dan satu lagi, dia polos apa adanya. Kalau dia marah, dia senang, dia sedih ataupun dia bahagia selalu terlihat nyata tanpa mengada-ada. Bahkan dia banyak mengajarkanku arti ketulusan, bagaimana memaafkan orang yang sudah menyakitinya, tanpa dia menyadari kalau semua itu berbekas dalam ingatanku. Yang  paling aku suka darinya, adalah kejujuran.” Kedua sahabatnya memandangnya dengan penuh perhatian melihat Jalal yang begitu bahagia mengucapkan pujiannya terhadap Jodha, “walaupun dia bukan orang yang sempurna, dia bisa judes, bisa cerewet seperti knalpot bajaj rombeng,” Mansingh dan Surya tertawa mendengar perumpamaan dari Jalal, “tetapi dia sangat perhatian. Rasanya duniaku lebih berwarna ketika bersamanya, tidak seperti wanita yang pernah aku kencani, mereka hanya ingin terlihat baik di depanku saja agar aku bersimpati namun tidak dengan Inem, dia adalah wanita langka yang perlu dilestarikan.” Ucap Jalal sambil melamun. Kembali kedua sahabatnya tertawa dan merasa geli karena Jalal berkata tetapi tidak merasa kalau perkataannya itu terdengar lucu.

“Ya sudah kalau begitu ungkapkan saja perasanmu padanya Bos.” Jalal menghela nafas.

“Bagaimana kalau dia sudah memiliki pacar?” tanya Jalal tidak yakin.

“Emangnya Jodha pernah cerita kalau dia sudah punya pacar?” Mansingh balik nanya. Jalal menggeleng.

“Belum sih. Dia bahkan mengatakan kalau dia belum pernah jatuh cinta.”

“Naaaahhh....” seru Mansingh menepuk tangannya sekali tanpa sadar mengagetkan kedua sahabatnya.

“Apaan sih Man? Ngagetin aja.” Gerutu Surya. Mansingh terkekeh.

“Hehehe....maaf, aku nggak bermaksud mengagetkan kok. Maksudku, diakan sudah bilang kalau dia tidak pernah jatuh cinta ya kan?” Jalal mengangguk, “terus kenapa Bos berani menyimpulkan kalau dia sudah punya kekasih?” Jalal menggaruk kepalanya, “menurutku nih Bos, tanya baik-baik siapa laki-laki tadi.”

“Lantas?”

“Bos harus mendengar penjelasannya dulu. Siapkan saja dua kemungkinan, yang satu kalau benar Jodha punya pacar dan yang kedua kalau dia belum punya pacar dan laki-laki itu bukan siapa-siapanya dia?” jelas Mansingh.

“Lantas?”

“Lantas. Lantas. Nabrak noh.” Ucap Mansingh, Jalal hanya nyengir, “Kalau jawabannya dia belum punya pacar mending bos langsung ungkapkan saja perasaan Bos sama dia, dan kalau dia sudah punya pacar, ungkapkan juga perasaan Bos sama dia. Terserah tanggapannya bagaimana yang penting hati Bos lega.” Jalal cemberut.

“Memang enak sih kamu ngomong begitu.” Gerutu Jalal.

“Emang.” Jawab Mansingh asal membuatnya kembali dilempari bantal sofa oleh Jalal, dia hanya terkekeh.

“Yah, intinya begitulah Bos. Aku setuju kok apa kata Man tadi. Berusahalah bersikap gentleman. Tidak ada salahnya mencoba. Semua ada resikonya. Diterima atau di tolak itu adalah resikonya. Dan kalau Bos tidak mencobanya bagaimana Bos tahu kalau di tolak atau diterima.” Kata Surya menambahkan. Jalal manggut-manggut. Dia seperti mendapatkan semangat lagi dari kedua sahabatnya itu.

“Apapun keadaan Bos nanti setelah mendengar jawaban dari Jodha, kami siap menemani. Kalau diterima kami siap mendapat PJ (Pajak Jadian) untuk makan-makan di restoran mana aja, dan kalau ditolak kami juga siap menerima PT (Pajak diTolak), nanti kita tinggal menentukan club mana yang akan kita datangi.” Kata Mansingh dengan antusias membuat Jalal mendengus kesal.

“Sialan kamu Man. Pikiranmu cuma ada pajak aja.” Gerutu Jalal. Man dan Surya tertawa lebar melihat Jalal.

“Ya sudah, aku mau pulang dulu. Makasih ya sudah mau mendengarkan masalahku dan mau berbagi solusi. Semoga saran kalian berguna.” Ucap Jalal sambil berdiri bangkit dari duduknya.

“Oke Bos. Tenang saja. Kami akan menunggu kabar baiknya ya.” Kata  Surya menepuk pundak sahabatnya itu. Jalal tersenyum.

Dengan menarik nafas panjang Jalal pun keluar dari apartemen Mansingh diikutin pandangan geli dari kedua sahabatnya. Pemandangan yang belum pernah mereka lihat semenjak mereka mengenal Jalal dan setelah sahabatnya itu mengenal wanita yang bernama Jodha.

Hari sudah malam, Jalal kembali melajukan jeepnya menuju rumah dengan bersemangat. Pokoknya dia harus mengutarakan segala perasaannya selama ini kepada Inemnya, terserah nanti diterima atau tidak oleh gadis itu. Dia pun menghembuskan nafas berkali-kali. Berusaha mengatur debaran dalam hatinya ketika mengingat Inemnya.

Namun, ditengah perjalanan semangat yang menggebu itu kembali surut bila mengingat laki-laki yang sudah memeluk Inemnya itu, dan seandainya perasaannya ditolak bagaimana? Apa dia sanggup menahan malu karena di tolak? Bagaimana nanti hubungan mereka bila Inemnya tidak mencintainya?

Rasanya beribu pertanyaan terus menggelayut di benaknya. Jalal bahkan menghentikan jeepnya di pinggir jalan karena tidak fokus untuk menyetir. Disandarkannya tubuhnya dan dipejamkannya matanya memikirkan rencananya. Tetapi, akhirnya dia melajukan jeepnya ke club ditempat dia biasa nongkrong bersama kedua sahabatnya. Dia ingin menghabiskan malam ini dengan menenggak minuman seperti dulu lagi agar terbebas dari segala pikiran yang menyiksanya.

“Hai Bos, sudah lama tidak kesini? Kemana aja?” tanya bartender club tersebut. Jalal hanya tersenyum.

“Minta v***a, Al.” Pinta Jalal kepada bartender tersebut yang bernama Aldo. Dengan segera Aldo memenuhi keinginan Jalal.

Jalal meneguk v***a tersebut dengan cepat dan kembali meminta lagi. Tidak peduli kalau akhirnya dia akan mabuk lagi. Tidak dia pedulikan juga beberapa wanita berpakaian kurang bahan menghampirinya. Dia tetap cuek, sampai akhirnya mereka bosan sendiri dan menjauh. Jalal berharap malam ini dia lupa dengan gadis yang ada dirumahnya itu.

Dia tidak tahu kalau Jodha sudah menunggunya sejak sore dengan gelisah. Berkali-kali gadis itu melihat ke arah jam di ruang tamu. Malam sudah menunjukkan pukul 12 malam. Ingin rasanya Jodha membiarkan saja tuan mudanya itu tanpa menunggunya. Namun, hatinya berkata ada yang salah dengan diri tuan mudanya. Bukankah mereka sekarang sudah menjadi teman, dan kewajiban Jodha untuk peduli selain sebagai majikan.

Berkali-kali Jodha menelpon ponsel tuan mudanya namun tidak pernah diangkat. Kemana dia? Jodha takut majikannya itu akan kembali mabuk-mabukan seperti dulu lagi. Dia juga merasa heran, kenapa sih orang setiap ada masalah larinya ke minuman? Itu bukannya menyelesaikan masalah malah akan menambah masalah.

Sejam sudah berlalu dari pukul 12, Jodha pun memutuskan untuk masuk ke kamarnya dan tidur. Masalah tuan mudanya itu terserah nanti saja. Lagipula dia juga sudah dewasa dan juga laki-laki, bisa saja dia menjaga dirinya sendiri pikirnya.

Baru saja dia akan masuk kamarnya, ponsel yang di genggamnya berbunyi. Tertera nomor ponsel tuan mudanya. Dengan cepat Jodha mengangkatnya. Namun, dahinya mengkerut ketika mendengar suara berisik dan suara yang menelponnya itu seperti bukan suara tuan mudanya.

Setelah menerima telepon dari orang yang memakai ponsel tuan mudanya, Jodha segera membangunkan Bi Ijah dan Mang Diman untuk mengatakan kalau dia akan menjemput tuan mudanya. Bi Ijah dan Mang Diman tercengang mendengar ucapan Jodha, bukankah beberapa bulan ini majikannya sudah menjadi anak yang manis. Tidak pernah keluar malam dengan tujuan yang tidak jelas, selalu tersenyum dan kelihatannya baik-baik saja. Kenapa sekarang tuan muda mereka bisa menjadi seperti itu?

Jodha meminta Mang Diman untuk menemaninya menjemput majikannya. Mang Diman menyetujui, begitu juga dengan Bi Ijah. Sebelum Jodha bekerja di rumah itu, mereka seolah tidak pernah peduli apakah majikannya itu pulang atau tidak, yang penting pekerjaan mereka selesai. Tetapi sejak Jodha bekerja dirumah itu, mereka mengikuti sifat gadis itu yang selalu peduli dengan orang lain termasuk kepada majikannya meski tanpa diminta.

Jodha keluar dari kamar dengan penampilan seperti biasa, celana jeans, jaket army, sepatu casual, topi untuk menutupi  rambutnya yang dimasukkan kedalam. Tidak perlu menunggu lama, akhirnya Jodha dan Mang Diman segera meluncur ke tempat yang ditunjukkan oleh penelpon tadi.

“Kenapa Tuan Muda ya Neng?” tanya Mang Diman heran.

“Saya juga tidak tahu, Mang. Rasanya tidak ada yang aneh sebelumnya. Hanya saja sore tadi dia terlihat begitu dingin. Tidak mau bicara kepadaku seperti biasa.” Jawab Jodha. Mang Diman menggeleng.

“Padahal Mamang sudah senang Tuan Muda sudah tidak mabuk-mabukan lagi. Tuan Besar dan Nyonya juga sudah amat sangat senang melihatnya. Tetapi kenapa sekarang kembali lagi? Ada masalah apa?” gumam Mang Diman, matanya sambil fokus ke depan karena dia yang menyupiri mobil tersebut.

“Iya Mang, saya juga senang. Walaupun dulu dia terlihat begitu kejam dan kata-katanya sering menyakitkan tetapi akhir-akhir ini aku merasa Tuan Muda sudah berubah.”

“Mamang juga tidak tahu Neng. Ternyata masalah orang kaya begitu ya. Apa-apa lari ke minuman. Mamang malah takut jadi orang kaya.” Jodha tertawa mendengar ucapan polos dari Mang Diman.

Tidak lama kemudian, mereka sampai di tempat yang ditunjukkan. Setelah berbicara dengan penjaga pintu Jodha melangkah masuk ditemani oleh penjaga tadi dan Mang Diman. Mereka melewati orang-orang yang sedang melakukan aktivitasnya sendiri-sendiri. Bau alkohol dan juga asap rokok bertebaran dimana-mana dengan diterangi lampu kelap-kelip khas club malam.

Jodha merasa seram memasuki tempat itu. Selain memang merasa aneh melihat tingkah orang-orang yang berada disitu juga aroma tembakau yang membuatnya mual. Jodha dan Mang Diman terus mengikuti langkah penjaga club tersebut tanpa memperdulikan pandangan aneh orang-orang yang dilewatinya melihat dirinya.

Dari kejauhan terlihat tuan mudanya itu sedang membelakangi kedatangan mereka wajah tertelungkup diatas meja bar sendirian. Tangannya masih memegang gelas berisi minuman keras yang belum habis di teguknya.

Melihat itu Jodha segera menghampiri tuan mudanya itu, di goyangnya dengan pelan bahu Jalal, membuat pemuda itu bangun dan menoleh ke arah Jodha. Dia menyipitkan matanya. Kemudian dia terkekeh.

“Eh, ada Inem. Nyari siapa Nem? Nyari aku ya? Hehehe....” Namun Jodha hanya menatapnya dengan pandangan kasihan, begitu juga dengan Mang Diman.

“Ayo, Tuan kita pulang. Tuan sudah mabuk banget.” Kata Jodha memegang tangan Jalal. begitu juga dengan Mang Diman memegang tangan yang satunya. Namun, Jalal menggeleng.

“Nggak. Aku belum mabuk kok. Aku masih sadar. Noh, aku masih bisa gerak kan? Masih belum pingsan.” Ucap Jalal terus meracau. Dia memberontak tidak mau dipegangi.

“Ayolah Tuan, ini sudah malam. Nanti Tuan Besar sama Nyonya tahu gimana? Kasihankan mereka?” kata Mang Diman berusaha meyakinkan tuan mudanya itu. Jalal menoleh ke arah sopirnya itu.

“Tahu apa kamu dengan mereka? Mereka tidak pernah melarangku mabuk, kenapa kamu yang ribut?” bentak Jalal sambil terkekeh kembali. Mang Diman hanya menghela nafas panjang. Jodha hanya bisa menatapnya prihatin.

“Ayo Tuan, ikut pulang ya. Tuan sudah teler banget.” Bujuk Jodha. Dia memberi isyarat kepada Mang Diman untuk memaksa majikannya meninggalkan tempat itu.  Jalal terus menggeleng, namun tidak menolak lagi untuk di ajak pulang. Mulutnya terus meracau tak jelas. Jodha segera mengambil kartu kredit dari dompet Tuannya dan membayarkan tagihan minuman tersebut. Bukan bermaksud lancang, tetapi bagaimana lagi. Harga minuman tersebut tidak cukup di kantong Jodha, jadi terpaksalah dia mengambil sendiri.

Setelah membayar tagihan minuman tuan mudanya, mereka berdua memapah Jalal yang mabuk menuju jeepnya. Setelah menaikkan tuan mudanya di kursi penumpang, Jodha segera naik ke belakang kemudi, sedangkan Mang Diman membawa mobil yang satunya.

Jodha menatap tuan mudanya yang terdiam dengan mata terpejam namun tidak tidur. Ada rasa yang lebih dari sekedar kasihan di hatinya melihat tuan mudanya seperti itu. Namun, dia tidak tahu apa itu. Dadanya terasa sesak melihat tuannya seperti itu. Emosinya kembali mengalir lewat butiran kristal yang menetes satu persatu lewat ujung matanya. Mata Jalal yang terpejam mendadak terbuka melihat ke arah Jodha.

“Kamu kenapa nangis Nem? Aku aja nggak nangis nih. Aku kuat kan?” kekeh Jalal. Tangannya bergerak menghapus air mata Jodha. Jodha tersenyum tipis, “anak mama tidak boleh nangis, anak mamakan sudah besar. Hehehe...” ucap Jalal tertawa namun sorot matanya menyiratkan kesedihan.

“Tuan...”

“Hm...”

“Tuan kenapa? Tuan ada masalah ya jadi begini?” tanya Jodha pelan. Kembali Jalal tertawa.

“Kamu mau tau aja apa mau tau banget? Hayoo...” ucap Jalal sambil menunjuk Jodha.

Mungkin kalau seperti pertama kali Jodha melihat tuan mudanya mabuk, dia akan tertawa kencang. Namun ini situasinya berbeda. Dia sudah sedikit banyak mengenal tuan mudanya membuatnya semakin sedih.

“Katanya kita teman Tuan, tapi kok Tuan tidak mau cerita sih sama saya? Saya jadi sedih nih.” Keluh Jodha.

“Eh, Inem ikutan sedih. Jangan sedih dong Nem. Cukup aku saja yang sedih, kamu jangan. Kamu harus bahagia.”

“Bagaimana saya bahagia melihat Tuan sedih begini.” Kembali Jalal terkekeh.

“Oh, so sweet ya Nem. Andaikan itu beneran. Aku pasti senang. Tapi nyatanya sekarang aku lagi patah hati Nem, hehehe....” Jodha membulatkan matanya menatap tuan mudanya yang terkekeh kembali.

“Tuan patah hati?” Jalal tersenyum miris, “wow!”

“Kerenkan Nem? Katanya playboy tapi tetap aja bisa patah hati. Hehehe....” Jodha menatap tuan mudanya dengan prihatin.

“Yang sabar ya Tuan, kita pulang sekarang ya.” Jalal mengangguk.

Akhirnya Jodha membawa jeep tersebut keluar dari area parkiran club dan pulang. Sepanjang jalan Jalal hanya terdiam menatap kosong kedepan. Begitu juga dengan Jodha, hanya diam namun sesekali dia melirik tuan mudanya yang sedang melamun.

Sesampai di rumah ternyata Mang Diman sudah menunggu untuk membukakan pintu gerbang dan membantu Jodha memapah tuan mudanya masuk ke kamar. Setelah membaringkan tuan mudanya di tempat tidur, Mang Diman pamit keluar kepada Jodha dan meninggalkan mereka berdua.

Jodha duduk di pinggir ranjang dan menatap tuan mudanya yang tertidur pulas. Dilepaskannya jaket yang dipakai Jalal, pasangkannya selimut untuk tuan mudanya, di hidupkannya pendingin udara. Sebelum akhirnya dia keluar dari kamar tersebut.

Sesampai dikamarnya Jodha segera membersihkan diri dan berganti pakaian karena waktu sudah menunjukkan dini hari, sebentar lagi waktu subuh menjelang. Jodha membaringkan tubuhnya dan berusaha untuk tidur karena pagi-pagi dia sudah harus bangun lagi untuk memulai aktivitasnya.

==========0000========

Pagi harinya Jodha sudah bangun, dia bercermin dan melihat wajahnya agak pucat karena kurang tidur dan juga kepalanya pusing, namun dia memaksakan untuk bangun. Jodha melangkah menuju dapur seperti biasa kalau bangun pagi kurang tidur, dia harus minum kopi meskipun hanya kopi instant biasa untuk membuang rasa pusing karena kantuknya. Setelah itu barulah dia memulai segala aktivas paginya.

Selesai melakukan pekerjaannya Jodha mengetuk pintu kamar tuan mudanya dengan membawakan sebutir aspirin dan segelas air putih karena dia tahu kalau sehabis mabuk orang pasti merasa sangat pusing. Karena itulah Jodha dengan sukarela mengantarkannya ke kamar tuan mudanya.

Karena tidak ada jawaban, Jodha membuka pintu kamar tuan mudanya. Ternyata tuan mudanya masih terlelap dalam tidurnya. Jodha meletakkan nampannya di atas nakas, setelah itu dia seperti yang pernah dia lakukan, kembali mematikan AC, membuka gorden dan juga jendela karena sinar matahari pagi sudah lumayan terik.

Ketika dia berbalik ternyata tuan mudanya sudah bangun dan duduk dipinggir tempat tidur. Dia memijit pelipisnya karena pusing yang mendera. Jodha tersenyum melihatnya.

“Tuan sudah bangun, ini saya bawakan obat biar pusingnya hilang.” Kata Jodha melangkah mendekati majikannya. Jalal berhenti memijat pelipisnya dan menatap Jodha yang sudah berdiri di dekatnya.

“Siapa yang menyuruhmu masuk? Keluar dari kamarku!!” Bentak Jalal. Jodha tersentak kaget.

“Tuan?”

“Aku bilang keluar!!”

Sekali lagi Jalal membentak. Jodha hanya terdiam. Namun, kemudian dia berbalik meninggalkan majikannya dengan kesal dan kecewa dengan diikuti pandangan sedih dari tuan mudanya. Masih terlihat jelas oleh Jalal, Inemnya mengusap air mata dengan kasar sebelum menutup pintu kamar dengan kasar.

Jalal memejamkan matanya, “maafkan aku Nem, sudah membentakmu. Aku tahu kamu pasti khawatir dengan keadaanku tetapi aku masih belum bisa mengendalikan perasaan cemburu ini. perasaan marah ini. Maafkan aku sudah membuatmu kecewa dengan sikapku. Aku belum siap Nem. Aku memang pengecut.” Jalal membuka matanya dan menatap obat aspirin dan air minum di gelas yang disediakan Jodha tadi dan meminumnya. Setelah itu dia membaringkan tubuhnya kembali menunggu obatnya bereaksi.

Sementara itu Jodha yang keluar dari kamar tuan mudanya, terus menerus menyusutkan air matanya namun air mata itu tidak kunjung berhenti keluar. Dia tidak marah dengan majikannya karena dia tahu bagaimana keadaan laki-laki itu. Jodha  hanya kecewa, karena tuan mudanya tidak mau berbagi dengannya dan selalu saja disaat rasa kesal dan kecewa itu datang selalu saja air matanya juga ikut mengalir.

Bergegas dia bersiap-siap untuk berangkat ke kampusnya. Dia ingin melupakan sejenak tuan mudanya itu. Berhubung Bu Hamidah tidak ada dirumah, jadinya Jodha berangkat menggunakan angkutan umum saja. Satu harapannya agar kuliahnya segera selesai tepat waktu sesuai dengan yang sudah di targetkannya. Dia harus bisa membuat kedua orang tuanya dan juga keluarga angkatnya bangga. Setidaknya itu yang bisa dia persembahkan terlebih dahulu.

Sementara Jalal hanya menghabiskan waktu dengan mengurung diri di kamar saja. Sejak dibentaknya tadi pagi sampai siang Inemnya belum juga muncul. Sebenarnya Jalal ingin sekali menanyakan rasa penasarannya siapa laki-laki yang sudah memeluknya itu, tetapi rasanya dia masih belum siap. Masih belum siap sakit hati dan kecewa lagi. Namun, rasa rindunya juga tidak terbendung lagi. Padahal hari masih siang, rumah seakan tidak ada penghuninya. Untuk makan saja rasanya Jalal malas.

Menjelang sore setelah mandi dan membersihkan diri Jalal keluar dari kamarnya, keadaan rumah sangat sepi. Hanya ada Bi Ijah sedang bersih-bersih dan juga Mang Diman sibuk dengan kerjaannya seperti biasa. Sedangkan Inem? Entahlah,...mungkin juga gadis itu sedang berada dikampusnya, atau mungkin dia menghindar tidak ingin bertemu dengannya.

Jalal melangkahkan kakinya menuju gazebo belakang rumah yang akhir-akhir ini menjadi tempat favoritnya bersama Jodha. Disana mereka berdua seringkali ngobrol apa saja bahkan bertengkar juga disana. Menatap gazebo itu membuat Jalal seperti melihat Inemnya sedang tersenyum dan tertawa. Bayangan ingatan itu seperti terlihat jelas. Sebuah senyum terbit di bibirnya sekilas. Hal yang biasa membuat kesal tetapi bila diingat akan menjadi sesuatu yang lucu.

Sesampai di gazebo, Jalal memasang earphone yang terhubung dengan ponselnya, memutar lagu yang menurutnya sedikit bisa menghibur gundah hatinya. Dia bersandar di tiang seperti biasa, sesekali dia memejamkan matanya menikmati setiap lirik lagu, seakan seperti itulah perasaannya saat ini. Ternyata cinta memang bisa membuat orang menjadi lemah, cinta bisa membuat orang menjadi hampa.

Entah berapa lagu yang sudah dia putar, tiba-tiba dia merasa lengannya di sentuh. Jalal membuka matanya dan melihat Jodha tersenyum manis memandangnya. Dan di hadapannya terdapat dua gelas coklat panas dengan sepiring kue camilan.

Sesaat Jalal terpana melihat senyuman di bibir Jodha. Senyuman yang seharian ini dia rindukan. Tetapi kemudian sikapnya berubah dingin lagi.

“Untuk apa kamu kesini?” Jodha tersenyum menanggapinya. Dengan cueknya dia duduk di hadapan tuan mudanya itu.

“Saya tidak tahu salah saya apa sampai Tuan bersikap dingin begini kepada saya. Tetapi saya juga tahu, pasti seharian ini Tuan tidak makankan?” Jalal melengos, membuang pandangan ke arah lain, “ ini saya bawakan coklat panas. Menurut yang pernah saya baca coklat itu bisa menenangkan pikiran dan mengurangi stress. Jadi saya pikir apa salahnya saya bikinkan untuk Tuan. Agar Tuan tidak terlalu stres dengan masalah Tuan dan untuk saya agar saya tidak terlalu stres karena Tuan marah sama saya.” Jawab Jodha sambil terkekeh.

Jalal kembali menatap Jodha yang masih tertawa kecil. Tidak ada raut marah di wajahnya. Padahal tadi pagi dia sudah membentaknya sampai menangis.

“Kamu nggak marah sama aku Nem karena sudah membentakmu?” Jodha tersenyum dan menggeleng.

“Cuma agak kesal aja Tuan. Tapi setelah itu nggak lagi kok, tadi habis dari kampus hilang deh kesalnya.”  Ucap Jodha membulatkan mata dengan jenaka ke arah tuan mudanya. Berharap majikannya bisa sedikit tersenyum.

“Nem...”             

“Ya Tuan...”      

“Kenapa kamu selalu peduli sama aku.” Jodha mengerutkan keningnya.

“Apa untuk peduli dengan seseorang itu harus ada alasannya ya Tuan?” Jalal mengangkat bahunya, “saya tanya sama Tuan, Bu Hamidah menyayangi Tuan kenapa?” Jalal berpikir sejenak.

“Karena aku adalah anaknya.” Jodha mengangguk.

“Selain itu?”

“Mungkin karena kewajibannya sebagai orang tua?”

“Selain itu?”

“Selain itu, selain itu. Aku nih lagi pusing ditanya selain itu, selain itu.” Omel Jalal. Jodha malah terkekeh mendengar omelan tuan mudanya.

“Nah, Tuan nggak bisa jawab kan?” Jalal diam, matanya masih menatap Jodha yang terus berceloteh, “selain memang Tuan sebagai anaknya, juga sebagai kewajiban Mamanya Tuan, juga karena dia menyayangi Tuan. Menyayangi tanpa pamrih. Melihat orang yang dia sayang itu bahagia, terawat, terjamin masa depannya sudah membuat cukup buat Bu Hamidah. Begitu juga dengan saya, saya peduli kepada Tuan tidak harus ada alasannya. Melihat Tuan tertawa, tersenyum seperti biasa sudah membuat saya bahagia. Terkadang melihat orang bahagia karena kita itu bisa membuat kita jauh lebih bahagia lagi. Dan saya suka seperti itu.” ucap Jodha dengan tersenyum. Tangannya menyodorkan gelas berisi coklat yang masih panas kepada tuan mudanya, dan Jalal pun akhirnya menerima gelas itu serta menyesap sedikit. Begitu pun dengan Jodha.

“Jadi, tidak ada alasan lain ya?” gumam Jalal dengan lirih. Jodha menghela nafas panjang. Di kemudian meluruskan kaki dan menepuk pahanya.

“Sini Tuan, ayo berbaring disini.” Jalal menatapnya dengan heran.

“Kenapa?” Jodha tersenyum.

“Tidak ada apa-apa. Dulu waktu saya menangis, Tuan menawarkan saya dada Tuan sebagai tempat saya bersandar. Dan sekarang ketika Tuan ada masalah, saya menawarkan pangkuan saya sebagai pelepas lelah. Bukankah sebagai teman kita harus berbagi. Bukan Cuma berbagi kebahagiaan saja tetapi juga berbagi masalah.” Jalal berpikir sejenak melihat senyum tulus dari Inemnya.

“Baiklah.”

Jalal menuruti permintaan Jodha untuk berbaring di pahanya. Dengan lembut Jodha mengelus rambut Jalal membuat pemuda itu memejamkan matanya menikmati setiap sentuhan dari Inemnya.

“Tuan..”

“Hm...”

“Apa benar Tuan sedang patah hati?” tanya Jodha dengan hati-hati. Namun, tetap saja membuat Jalal membuka matanya.

“Kenapa kamu bertanya seperti itu Nem?”

“Tadi malam ketika saya menjemput Tuan dari club, Tuan bilang sedang patah hati.”

“Jadi kamu yang menjemput aku dari club tadi malam?” Jodha mengangguk.

“Iya. Bersama Mang Diman juga.” Jalal terdiam. “Apa itu yang membuat Tuan berubah sikap kepada saya?” Jalal memiringkan posisi badan dan kepalanya membelakangi tubuh Jodha.

“Entahlah. Mungkin.”

“Kenapa bisa seperti itu Tuan? Padahal rasanya baru kemarin Tuan bilang sedang jatuh cinta, dan saya juga belum pernah melihat gadis yang Tuan incar itu. Kok, tiba-tiba saja patah hati. Emang Tuan pacarannya kapan?” tanya Jodha  dengan heran. Tangannya masih membelai rambut Jalal.

“Aku belum pernah pacaran sama dia Nem. Tetapi, setiap kali aku bersamanya aku merasa sedang pacaran sama dia. Entah kalau dengannya, apa dia merasa sepertiku atau tidak. Aku pernah menyatakan perasaanku kepadanya meski aku bilang itu hanya pura-pura tetapi sebenarnya itu perasaanku yang sesungguhnya. Tetapi dia malah menertawakanku yang akhirnya aku belum berani untuk mengutarakan perasaanku kepadanya.”

“Terus, apa yang membuat Tuan patah hati?” tanya Jodha dengan penasaran. Kembali Jalal menghela nafas panjang.

“Aku melihatnya dipeluk oleh laki-laki lain. Aku merasa kecewa, sedih dan cemburu. Karena aku merasa dia lebih memilih laki-laki itu daripada aku.”

“Apa dia sudah mengatakan seperti itu kepada Tuan?” Jalal menggeleng, “terus, kenapa tuan jadi seyakin itu kalau dia benar-benar telah memilih laki-laki lain?”

“Entahlah Nem. Melihatnya saja sudah membuatku cemburu tetapi juga minder.” Jodha terkekeh.

“Eh, anak mama bisa cembulu juga nih? Anak mama lagi patah hati nih anak mamaaa... asian..asian...anak mama lagi sedih. Nanti kita cari yang lain lagi ya nak, senyum dong anak mamaa.....” Goda Jodha. Kalau biasanya Jalal marah bila di goda seperti itu, namun kali ini dia hanya tersenyum tipis saja.

“Tuan, boleh nggak saya kasih saran?”

“Apa?”

“Menurut saya, boleh saja kita bersedih karena kehilangan cinta. Tetapi jangan sampai kita kehilangan semangat hidup. Bisa saja orang yang Tuan cinta itu memang tidak ditakdirkan untuk Tuan. Bisa saja ditempat lain dan di lain waktu Tuan akan bertemu dengan orang lain yang lebih baik darinya. Kita tidak akan pernah tahukan?” Jalal cemberut.

“Kamu enak saja ngomong seperti itu Nem, karena kamu tidak pernah merasakan sakit karena cinta.” Jodha terkekeh.

“Iya, saya tahu saya memang tidak pernah merasakan patah hati karena cinta. Tetapi saya sudah pernah merasakan sakitnya kehilangan seseorang yang jelas-jelas mencintai saya dan rela berkorban untuk saya dari saya belum lahir kedunia sampai saya besar. Menurut saya, kehilangan Ibu lebih menyakitkan daripada kehilangan seorang kekasih yang jelas-jelas baru kita kenal. Tetapi saya bisa bangkit, karena saya percaya kalau saya akan bisa membalas kebaikan Ibu dengan kebaikan yang sudah beliau ajarkan itu dengan berbuat baik  kepada orang lain.” Jalal membalikkan badannya dengan posisi telentang lagi, dia menatap wajah Jodha dengan serius.

“Nem,..”

“Ya,..”

“Apa pendapatmu tentang diriku?” Jodha tertawa pelan.

“Menurutku Tuan baik.” Jalal tersenyum, “kadang-kadang sih.” Jalal mendengus. Jodha tertawa lagi, “menurutku sih Tuan baik, walaupun terkadang menyebalkan dan manja, tuan juga bisa lembut juga perhatian. Saya rasa  itu nilai lebih untuk Tuan dimata saya.” Senyum Jalal mengembang lebar.

“Nem...”

“Hm...”

“Aku boleh minta sesuatu sama kamu nggak?” Jodha menatap tuan mudanya dengan heran, sedangkan Jalal hanya tersenyum.

“Kan kemarin saya yang menang kenapa jadi Tuan yang minta?” kembali dahinya disentil Jalal, membuatnya meringis namun juga tersenyum.

“Bukan itu Inem, ini bukan masalah taruhan. Ini masalah lain?” Ujar Jalal sambil cemberut.  Jodha terkekeh, dia tahu maksud tuan mudanya itu tapi dia ingin menggodanya saja. Setelah, sehari semalam orangnya nampak kusut.

“Terus? Apa dong?” Jalal menghela nafas dan menatap bola mata Jodha dalam-dalam.

“Aku minta, jangan pernah menganggapku playboy lagi ya. Please.”

“Emangnya kenapa Tuan? Kan emang begitu adanya.”

“Aku merasa sudah tidak seperti itu lagi Nem. Sejak aku bertemu dengan gadis itu, rasanya gadis lain sudah tidak menarik lagi.” Jodha tertawa tertahan.

“Aje gilee....Tuan sudah jadi playboy insyaf nih? Nggak cuma preman aja yang insyaf.”

“Terserah apa kata kamu sajalah, yang penting pemikiran kamu sama aku berubah ya.” Jodha berpikir sebentar, jari telunjuknya mengetuk-ngetuk dagunya.

“Hm....bisa nggak ya?”

“Ayolah Nem, please. Kamu cantik deh.” Rayu Jalal. Jodha mengangkat sebelah alisnya dan tersenyum miring.

“Ahay...majikanku sudah mulai merayu. Ingat-ingat sama gebetan Tuan, ntar dia malah cemburu lagi sama saya.” Jalal tersenyum.

“Aku yakin dia tidak akan cemburu kok Nem kalau dia tahu itu kamu.”

“Benarkah?” Jalal mengangguk.                 

“Saya jadi penasaran ya, siapa gadis itu?” Jalal tersenyum usil, “saya boleh tahu dong Tuan siapa dia. Siapa yang begitu hebatnya sampai bikin majikanku yang playboy jadi insyaf. Gimana cantiknya ya?”  Jalal menggerak-gerakkan jari telunjuknya di depan wajahnya sambil menggeleng.

“No..No..tidak sekarang Nem. Nanti juga kamu tahu. Pokoknya dia itu hebat, cantik, pintar, polos, tapi juga pandai menjerat hatiku.” Ucap Jalal sambil tersenyum.

“Acieee....tadi katanya sedih karena patah hati, sekarang kok malah kembali seperti kemarin-kemarin. Seperti orang jatuh cinta lagi. Ah, sikap Tuan yang mana sebenarnya.” Tanya Jodha sambil terkekeh.

“Biarin. Yang penting sekarang aku lagi senang.” Jodha hanya menggeleng mendengar jawaban tuan mudanya.

“Nem, boleh aku bertanya lagi?”

“Bolehlah, bertanyalah sepuas hati Tuan. Selama saya bisa jawab, saya akan jawab.”

“Apa benar kamu belum punya seorang kekasih.” Mendadak Jodha tertawa sambil menutup mulutnya dengan telapak tangannya agar tidak terdengar kencang.

“Ya ampun, Tuan penasaran ya?” Jalal mengangguk. Jodha menggelengkan kepalanya, “sampai sekarang, sampai detik ini saya belum pernah pacaran Tuan. Dan bagaimana rasanya pacaran juga saya belum tahu.”

Jalal tanpa sadar menarik nafas lega disela-sela senyumnya. Ya, mungkin saja kemarin itu dia cuma salah paham saja. Atau mungkin saja laki-laki hanya sekedar teman tetapi bukan sebagai kekasihnya. Ah, nanti saja dia tanyakan lagi. Sekarang Jalal hanya ingin menikmati kebersamaannya dengan Inemnya dan dengan elusan tangan lembut gadis itu di kepalanya serta berharap waktu tidak akan cepat berlalu.


=====TBC===

Tidak ada komentar:

Posting Komentar