Hai, Inem datang lagi nih. Maaf, sudah menunggu lama. Hehehe... so, happy reading aja
ya.
====000====
“Apa?? 600
juta?”
Keempat orang
itu saling pandang, sedangkan Adam terkekeh. Dia menyulutkan sebatang rokok dan
menghisapnya pelan kemudian menghembuskan asapnya perlahan sambil melihat reaksi mereka berempat.
“Maaf, apa
tidak salah Anda mengatakan itu?” tanya Bayu sekali lagi. Mereka bertiga juga
ikut memandang ke arah Adam yang tertawa sinis.
“Terserah
kalian percaya atau tidak. Aku tidak memaksa. Begitulah kenyataannya, dan
sialnya lagi laki-laki tua itu malah menghilang.” Ucap Adam dengan geram,
senyum sinisnya menghilang berganti dengan wajah kerasnya yang terlihat
menakutkan.
“Bukankah
kau sudah menyita rumahnya, apa itu belum cukup?” tanya Jalal tidak tahan lagi
untuk tidak menanyakan hal itu. Dia tidak perlu bersopan santun dengan
laki-laki itu.
“Ya, itu
memang benar. Aku memang menyita rumah beserta isinya miliki laki-laki tua itu,
tetapi semua belum cukup. Bahkan untuk membayar bunganya saja tidak cukup.”
Keempatnya tercengang mendengar ucapan Adam.
“Jadi
maksudmu, 600 juta itu diluar rumah yang sudah Anda sita itu?” tanya Bayu
kembali.
“Begitulah.”
Jawab Adam, dia mengangkat kedua kakinya di atas meja dan kenumpukan kaki
kanannya di atas kaki kirinya. Badannya disandarkannya di sandaran kursi dengan
santainya, dan jarinya masih menjepit batang rokok yang belum habis.
“Kurang ajar
Kau!” bentak Jalal tiba-tiba berdiri. Ketiga orang disampingnya terkejut
melihat Jalal yang tiba-tiba berdiri. Adam hanya menaikkan sebelah alisnya saja
melihat keberanian pemuda dihadapannya itu, “kau pasti sengaja melipatgandakan
hutang Pak Bharmal, agar kau bisa mengambil anaknya sebagai penebus semua
hutangnya.” Tunjuk Jalal dengan emosi yang meluap. Bayu memegang tangan Jalal
dan menyuruhnya duduk dengan isyarat matanya, dengan terpaksa Jalal menurut.
Sementara Adam tertawa mendengar tuduhan Jalal.
“Hm, aku
jadi curiga siapa kalian sebenarnya?” ucap Adam menurunkan kakinya dan menatap
keempatnya dengan tajam.
“Bukan
urusanmu!” kembali Jalal tidak dapat menahan diri untuk menjawab. Bayu dan
Todarmal hanya bisa mendesah pasrah.
“Tentu saja
itu urusanku, karena dia adalah calon istriku. Dan aku berhak tahu dimana calon
istriku itu berada. Katakan dimana dia? Biar aku yang jemput?” tanya Adam
dengan suara yang sedikit keras.
“Tidak akan
pernah aku beritahukan keberadaannya kepadamu, karena kau tidak berhak mengakui
dia sebagai milikmu.” Jawab Jalal dengan sengit.
“Baik. Artinya
kamu yang akan membayar semua hutang orang tua itu.”
“Oke. Aku
akan membayar semua hutang-hutang Pak Bharmal lunas beserta bunga-bunganya.”
Jawab Jalal tanpa pikir panjang lagi. Bayu, Todarmal, dan Mansingh saling
pandang. Adam bertepuk tangan mendengar ucapan Jalal.
“Wow, boleh
juga nyalimu anak muda. Aku yakin ini bukan hanya sekedar membantu saja. Gadis
itu pasti sudah istimewa sekali sampai kau mau berkorban membayarkan semua
hutang ayahnya.” Sindir Adam.
“Sudah ku
bilang itu bukan urusanmu. Apapun hubungannya denganku, tidak ada
sangkutpautnya denganmu.” Adam menyeringai.
“Baiklah,
akan kutunggu pembayaran semua hutang-hutang Pak Tua itu. Akan aku berikan
waktu 3 × 24 jam dari sekarang, dan kalau terlambat satu hari saja maka
bunganya akan kembali naik.” Ucap Adam dengan tenang, membuat kedua tangan
Jalal mengepal. Ingin rasanya dia menghajar wajah laki-laki yang tidak
berperasaan itu.
“Apa kau berjanji
tidak akan mengganggu Jodha dan ayahnya lagi, kalau semua hutangnya lunas?”
tanya Jalal menyakinkan jawaban Adam. Lelaki itu tersenyum meremehkan.
“Baik. Aku
janji tidak akan mengganggu mereka lagi kalau semua hutangnya dilunaskan.
Bagaimana? Sudah puas?”
“Baiklah.
Aku pegang janjimu, dan aku harap kau tidak akan melanggar janjimu.”
“Oke. Aku
kira sudah tidak ada lagj yang kita bicarakan. Jadi, silakan keluar.” Ucap Adam
tanpa basa-basi lagi.
“Baiklah,
terima kasih sudah menerima kedatangan kami.” Kata Bayu sopan, begitu juga dengan
Todarmal dan Mansingh. Hanya Jalal yang bersikap tidak hersahabat. Namun Adam
hanya tersenyum miring melihatnya.
“Hm.”
Mereka
berempat pun keluar dari ruangan Adam, dan langsung menuju lift yang ada di
depan ruangan itu. Setelah pintu lift tertutup, dari ruangan sebelahnya keluar
seorang gadis cantik yang berpakaian seksi memasuki ruangan Adam tanpa mengetuk
pintu lagi. Tetapi rupanya Adam tidak terkejut dan marah dengan kedatangannya.
“Apa yang
mereka lakukan disini, Kak?” tanya gadis itu, dia duduk di pegangan kursi
dimana Adam sedang duduk. Adam tersenyum menyeringai. Tangannya membelai kepala
gadis itu.
“Mereka
menanyakan hutang Pak Tua sialan itu, adikku sayang.”
“Aku
mengenal salah satu laki-laki itu Kak.” Usapan tangan Adam di kepala gadis itu berhenti.
“Maksudmu
apa?” gadis itu tersenyum.
“Laki-laki
yang berjaket coklat tadi, itu adalah
orang yang aku sukai sejak lama. Aku pernah dekat dengannya. Namun hanya
sebatas teman kencan sehari saja. Dia bahkan tidak pernah melirikku dan menaruh
harapan kepadaku. Dia menganggapku sama seperti perempuan lain yang biasa dia
kencani.” Adam menatap serius ke arah gadis itu.
“Jadi pemuda
itu playboy juga.” Gumam Adam.
“Iya Kak.”
Kata gadis itu duduk di pangkuan kakaknya dan bersandar di dada Adam yang bidang,
“padahal aku sangat mencintainya, tapi ternyata cintaku tidak pernah terlihat
olehnya, bahkan dia bilang kalau dia menyukai seorang gadis yang hanya sebagai
supir pribadi ibunya. Aku kurang cantik apa Kak?, kurang seksi apa? sampai dia
tidak mau melirikku sedikitpun.” rengeknya. Adam tersenyum. Dia mencubit hidung
adiknya itu.
“Kamu itu
cantik adikku
sayang. Laki-laki itu saja yang buta
tidak bisa melihat kecantikanmu. Apa
yang bisa Kakak lakukan untukmu?” senyum gadis itu merekah.
“Aku ingin
Jalal membenci gadis itu dan berpaling padaku Kak. Please bantu ya Kak.” Pintanya dengan senyum memelas, jari-jarinya
memainkan kancing baju Adam.
“Baiklah,
Adikku sayang. Akan Kakak bantu. Tapi, terlebih dahulu biarkan dia membayarkan
semua hutang-hutang Pak Tua itu. Kakak ingin tahu sampai sejauh mana dia bisa
mengusahakannya.”
“Tentu saja
dia bisa mengusahakannya Kak, orang tuanya sangat kaya. Jadi uang segitu mudah
saja baginya.” Adam tersenyum miring.
“Baguslah
kalau begitu, artinya sebentar lagi aku akan mendapatkan uangku.” Ucap Adam
tertawa senang, “dan semua belum berakhir, aku akan mendapatkan uang lagi
dan..., gadis itu.”
“Iya Kak,
jangan lupa janji Kakak agar Jalal berpaling kepadaku. Buat dia membenci
kekasihnya. Aku tidak perduli. Kalau bisa
jangan sampai mereka bertemu kembali. Benci aku melihat mereka berdua
bermesraan di depanku.” Ucap gadis itu dengan geram.
“Kau memang
jahat, sayang.” Ucap Adam tertawa pelan. Adiknya mencibir.
“Bukannya
kita berdua sama saja Kak? Kan Kau Kakakku. Darah kita sama. Lagian menjadi
orang baik itu tidak enak, selalu saja di sakiti orang lain tanpa bisa
membalasnya.”
“Ya, kau
benar Sayang. Kita harus merebut apa yang seharusnya menjadi milik kita. Kita
tunggu saja saat itu tiba.” Ucap Adam memeluk adiknya dengan erat. Mereka
berdua sama-sama tersenyum.
***
Sementara
itu, Jalal dan ketiga orang lainnya sudah berada di mobil mereka sendiri.
“Sekarang
apa yang akan kita katakan kepada Jodha?” tanya Bayu kepada mereka bertiga.
Yang ditanya hanya saling pandang.
“Bang,
jangan katakan kepada Jodha tentang hutang ayahnya ya.” Pinta Jalal. Bayu
menatapnya dengan serius.
“Kenapa?”
Jalal menghela nafas panjang.
“Aku hanya
tidak ingin melihatnya bersedih Bang. Iya dia bisa menyembunyikan kesedihannya
lewat sifat cerianya, tapi matanya tidak bisa berbohong kalau dia sedih. Aku
tidak tega, Bang.” Bayu terpekur mendengar ucapan Jalal. Iya benar, mungkin
kali ini Jodha tidak akan bisa menyembunyikan kesedihannya kalau mendengar
seberapa besar tanggungan yang harus dibayar oleh ayahnya.
“Lalu
sekarang apa yang akan kamu lakukan Jalal?” lama Jalal terdiam.
“Aku akan
berusaha bicara sama Papa. Semoga Papa mengerti dan mau membantuku.”
“Apa kamu
yakin Papa kamu mau membantu?” Tanya Todarmal.
“Iya Bos,
itu bukan jumlah yang sedikit loh.” Sambung Mansingh.
“Setidaknya
aku akan berusaha bicara dulu sama Papa.”
“Kalau tidak
berhasil?” Jalal mengusap tengkuknya.
“Pokoknya
harus berhasil. Apapun akan kulakukan asalkan bisa membantunya.” Bayu menepuk bahu Jalal pelan.
“Abang salut
sama kamu Jalal. Kamu mau berusaha membantu Jodha. Abang harap kamu berhasil
meyakinkan Papa kamu. Kalau Papamu tetap tidak mau, biar nanti Abang yang akan
usahakan mencari jalan keluarnya.” Jalal menggeleng.
“Nggak Bang,
biar aku saja. Aku yakin akan bisa mendapatkan uang itu, bagaimana pun
caranya.” Jawab Jalal dengan yakin. Bayu tersenyum.
“Oke. Abang
yakin kamu pasti bisa.”
“Iya Bang.”
Akhirnya
mereka berempat kembali ke rumah sakit tempat Jodha dan Nadia berada. Dimana keduanya
menunggu dengan harap-harap cemas. Takut terjadi sesuatu yang tidak diinginkan,
keadaan disana tidak ada seorang pun yang tahu.
Barulah
setelah mereka datang, kedua gadis itu menarik nafas lega. Lega, karena tidak
terjadi apa-apa dengan orang yang mereka sayangi itu. Nadia memeluk abangnya
dan Todarmal dengan lega. Begitu juga dengan Jodha. Dia sudah bisa duduk, namun
belum boleh bergerak banyak. Jalal duduk di dekatnya, di pinggir ranjang.
Jodha
menatap tuan mudanya dengan senyuman bahagia. Dia bahagia tuan mudanya telah
kembali dengan selamat. Jalal mengerti arti tatapan gadis itu, meski tidak
terucapkan.
“Ya ampun
Bang, aku sama Jodha tidak bisa tenang. Takut terjadi apa-apa. Kami cemas
sekali tau nggak sih?” ujar Nadia mulai berceloteh. Dia bergayut manja di
lengan abangnya yang masih berdiri bersama Mansingh dan Todarmal.
“Oh ya?”
Nadia mengangguk dengan wajah polos, Bayu tertawa, “emang takut mikirin siapa?
Abang atau Man?” ledek Bayu. Wajah Nadia memerah mendengar ledekan abangnya.
Dia melirik ke arah Mansing yang terkekeh melihatnya.
“Ih Abang.
Kok gitu sih?” jawab Nadia dengan manja, “Ya Abanglah, dan,...semuanya.”
sambung Nadia nada suaranya melemah diujung perkataannya. Dia tersipu malu dan
menyembunyikan wajahnya di belakang abangnya.
“Ciee, Nadia
malu ketahuan mikirin Man. Itu muka nggak usah pake blush on juga udah merah
tuh.” Ledek Jalal. Dia membalas ledekan Nadia kepadanya sewaktu ada papa sama
mamanya kemarin.
“Ish, Bang
Bos kok gitu sih? Udah deh, tuh layani aja Jodha. Kasihan dari tadi cemas mulu
mikirin Bang Bos.” Jodha mendelik ke arah Nadia yang terkekeh melihat ekspresi
Jodha, “maaf Jo, aku terpaksa mengatakannya daripada aku diledekin terus sama
Bang Bos. Hehehe...” ucap Nadia tanpa rasa bersalah. Jalal menoleh ke arah
Jodha yang sudah membuang muka ke arah lain menghindari tatapan tuan mudanya.
Namun, pemuda itu tersenyum dan kembali melihat Nadia.
“Gitu ya
Nad? Makasih ya sudah ngasih tau. Lega rasanya ada yang mencemaskan aku.
Rasanya menyenangkan mendengarnya Nad.” Ucap Jalal tersenyum miring ke arah
Jodha yang menyembunyikan wajahnya yang terasa hangat.
“Sama-sama
Bang Bos, sekarang kita temenan ya.” Sahut Nadia memainkan kedua alisnya. Jalal
tertawa.
“Oke deh,
terserah kamu aja Nad.” Bayu menggelengkan kepala melihat keduanya, kadang bisa
akur kadang bertengkar itu.
“Ya sudah,
Abang sama Todar pulang dulu ya. Jalal, ingat tadi yang kita bicarakan. Kalau
belum berhasil bilang sama Abang ya.” Jalal mengangguk.
“Iya Bang.
Siap. Nanti aku kabari Abang, dan aku pastikan itu kabar baik dariku.” Jodha
dan Nadia hanya menatap Jalal dan Bayu bergantian dengan pandangan tidak
mengerti. Bayu tertawa.
“Baiklah.
Abang tunggu kabar baik darimu.” Kembali Jalal mengangguk, “Jo, Nad, Man, Abang
pulang dulu ya.”
“Iya Bang.”
Jawab Mansingh.
“Eh, tunggu
Bang.” Cegah Nadia, “itu ceritanya bagaimana? Ketemu nggak sama yang namanya
Adam?” Bayu tertawa.
“Nanti
tanyakan kepada mereka berdua saja ya. Abang sudah ngantuk.” Jawab Bayu sekenanya. Nadia melebarkan matanya.
“Abang
ngantuk? Tumben? Bukannya Abang biasa begadang?” tanya Nadia dengan nada tidak
percaya.
“Sudahlah
Beb, ntar Abang Man saja yang ceritakan ya. Biar Abang Bayu dan Bang Todar
pulang dulu. Kasihan besok mereka harus kerja lagi.” Kata Mansingh memegang
lengan Nadia. Gadis itu menghela nafas.
“Iya deh. Ya
sudah, Abang pulang sana. Hati-hati di jalan ya.” Bayu dan Todarmal tertawa.
Lihatlah sekarang, begitu mudahnya Nadia luluh dengan sikap Mansingh yang
begitu pandai membuat gadis itu nyaman bersamanya.
Akhirnya
Bayu dan Todarmal pulang. Tinggallah mereka berempat yang ada diruangan itu.
“Beb, kita
keluar yuk. Abang pengen nyari kopi nih.” Ajak Mansingh kepada Nadia yang
merupakan kode kepada Nadia. Dia ingin menceritakan semua kejadian tadi tanpa
ditutupi, karenanya dia mengajak Nadia keluar dari ruangan itu.
“Oke deh
Bang. Bang Bos, Jo, kami keluar dulu ya.” Keduanya mengangguk.
“Iya. Yang
lama ya Nad. Kalau perlu nyari kopinya di pinggir kota sana biar jauh.” Sahut
Jalal sambil tergelak. Nadia mengerucutkan bibirnya.
“Enak aja.
Nggak bisa. Kalau kejauhan ntar Bang Bos bisa khilaf. Dan aku tidak mau itu
terjadi sama Jodha. Awas aja kalau Bang Bos macam-macam. Siap-siap tuh muka
gantengmu akan hilang dari peredaran.” Ucap Nadia mengacungkan tinjunya.
“Ugh,
takuut. Enak saja nonjok muka gantengku. Ini aset berharga tau, buat Inem
sayang.” Sahut Jalal menoleh ke arah Jodha dan memainkan kedua alisnya. Jodha
hanya tersenyum dan menggeleng kepala melihat tingkah tuan mudanya.
“Huh, dasar
playboy kacangan. Gitu aja bangga.” Gerutu Nadia, namun Jalal tidak
memperdulikannya. Dia hanya terkekeh. Akhirnya Nadia menarik tangan Mansingh
untuk keluar dari kamar itu.
Suasana
hening. Mereka berdua sama-sama terdiam. Jalal masih bingung harus memulai
berbicara apa kepada Jodha yang masih duduk bersandar diranjangnya dengan kedua
kaki bersila. Sedangkan Jalal duduk di sampingnya, hanya saja dia tidak
bersandar.
“Tuan...”
Panggil Jodha memecah keheningan, Jalal menoleh dan menatapnya. Jodha menggigit
bibir bawahnya karena agak gugup, “ta-tadi bagaimana disana?” Jalal menghela
nafas panjang. Dia berpindah tempat duduk ke tengah ranjang, diikuti dengan
pandangan Jodha.
Tiba-tiba
saja Jalal merebahkan tubuhnya di ranjang, dengan kepalanya berada di pangkuan
Jodha yang sedang duduk bersila dengan posisi telentang. Jodha sebenarnya agak
kaget juga, namun dia diam saja. Tangan kanannya refleks mengelus rambut Jalal,
membuat pemuda itu memejamkan matanya menikmati semua sentuhan di kepalanya.
“Kami sudah
bertemu dengan lelaki brengsek itu Nem.” Gerakan tangan Jodha berhenti, namun
dia diam saja, “aku sempat bertengkar mulut dengannya.” Jalal tertawa kecil.
“Lalu apa
yang terjadi Tuan?” tanya Jodha dengan tidak sabar.
Masih dengan
mata terpejam Jalal tersenyum, “sebelum aku jawab pertanyaanmu, apa benar kamu
mencemaskan aku Nem?” Jodha tersipu, tanpa sadar jari tangannya yang berada di
kepala Jalal memutir pelan helaian rambut tuan mudanya.
“Sa-saya...”
Jodha menjadi gugup. Gara-gara Nadia nih pikirnya. Jalal terkekeh.
“Bilang aja
Nem, nggak usah malu dan jaim kalau kamu juga cinta sama aku kan? Dan nggak mau
kehilangan aku?” mulut Jodha mengerucut.
“Pede.”
Gumamnya. Jalal terbahak mendengarnya.
“Yah,
baiklah. Aku nggak akan memaksamu, walaupun aku tau bagaimana sebenarnya
hatimu. Mungkin kamu memang belum bisa memahami semua perasaanmu kepadaku.”
Rasanya jantung Jodha semakin berdetak dengan kencang mendengar ucapan tuan
mudanya. Iya, dia memang belum bisa mengerti dan mengartikan dengan perasaannya
yang sesungguhnya. Tetapi ketika tadi tuan mudanya berangkat menemui Adam, rasa
ada perasaan tidak rela dalam hatinya melihat kepergian pemuda itu. Ada rasa
nyeri disudut hatinya ketika membayangkan hal yang tidak-tidak tadi.
“Maafkan
saya Tuan.” Ucap Jodha tertunduk, Jalal tersenyum. Dia membuka matanya dan bangkit
duduk menyamping, namun kepalanya menoleh ke arah Jodha.
“Nggak
apa-apa Nem. Aku ngerti kok. Aku hanya minta, belajarlah terus untuk
mencintaiku. Aku akan menunggu sampai hatimu benar-benar terbuka untukku. Aku
janji, aku akan sabar menanti.” Ucap Jalal menggenggam tangan kanan Jodha.
Gadis itu kembali tersipu. Dia mengangguk. Jalal menyambutnya dengan tersenyum.
“Sekarang
ceritakan bagaimana tadi waktu ketemu sama Adam.” Pinta Jodha lagi. Jalal pun
menceritakan semua tentang pertemuan mereka dengan Adam. Minus total yang
disebutkan. Jalal tidak mau nanti Jodha merasa berhutang budi kepadanya, dan
dengan terpaksa menerima cintanya. Dia hanya ingin gadis itu mencintainya tulus
karena cinta, bukan karena alasan yang lain. Apalagi dengan alasan balas budi.
“Jadi?” tanya
Jodha, Jalal mengendikkan bahunya.
“Maaf ya
Nem, rumahmu tidak bisa kami selamatkan dari tangan Adam.” Ucap Jalal dengan
sedih. Jodha tersenyum. Dia menggeleng.
“Tidak
apa-apa Tuan, saya ikhlas kok jika itu bisa membayar semua hutang ayah saya
tanpa merepotkan orang lain.” Sahut Jodha dengan gembira. Jalal melihatnya
hanya tersenyum kecut.
“Andai kau tahu Nem, urusannya tidak semurah
itu. Aku yakin sekarang kamu pasti akan sedih mendengarnya. Apalagi ketika tau
Adam akan memaksamu untuk tinggal bersamanya.” Bisik hati Jalal.
“Ya,
sekarang kamu legakan? Laki-laki itu tidak akan mengganggumu dan ayahmu lagi.”
Jodha mengangguk. Senyumnya mengembang. Dia mencium punggung tangan Jalal yang
masih menggenggam tangannya sebagai tanda terima kasihnya.
“Makasih ya
Tuan. Saya, saya tidak tahu harus berterima kasih dengan cara apa untuk
membalas kebaikan Tuan.” Jalal terkekeh.
“Aku kok
merasa sudah jadi suami kamu ya Nem. Pake cium tangan segala. Sini aku cium
keningmu biar pas.” Kembali mulut Jodha mengerucut.
“Ish, Tuan
mah gitu. Saya kan lagi serius nih, malah di ajak becanda.” Gerutu Jodha. Jalal
masih terkekeh mendengarnya.
“Iya. Iya.
Becanda kok. Beneran juga Alhamdulillah. Hahaha... Sudah. Nggak usah dipikirkan
lagi. Sudah seharusnya aku melakukan itu. Jadi kamu bisa tenang sekarang. Oke
Inem sayang.” Ucap Jalal sambil tangannya memencet hidung Jodha. Jodha
tersenyum. Dia mengusap-usap hidungnya yang memerah akibat di pencet oleh tuan
mudanya.
“Iya Tuan.
Makasih ya, sudah mau repot-repot membantu saya.”
“Simpan aja
terima kasihmu Nem, ntar keluarkan kalau aku lagi laper aja ya. Kalau sekarang
aku masih kenyang, jadi belum butuh terima kasih. Hahahaha...” ucap Jalal
kembali tergelak. Ah, senangnya malam ini Jodha bisa melihat tuan mudanya
tertawa lagi. Ternyata kekhawatirannya tidak terbukti. Dia lega sekarang. Apa
ini artinya kalau hatinya sudah mulai bisa menerima kehadiran laki-laki
dihadapannya ini? Melihat dia tertawa, melihat dia tersenyum, dan melihat dia
begitu perhatian kepadanya, rasanya Jodha hampir tidak percaya kalau tuan
mudanya itu menyukai dirinya. Apa dia beruntung? Ataukah kebetulan saja?
“Heh,
melamun aja.” Jodha tersentak ketika
dahinya dipukul pelan oleh Jalal.
“Eh, i-iya
Tuan. Eh, enggak.” Jawab Jodha tergagap. Bibir Jalal berkedut-kedut ingin
kembali tertawa.
“Kamu kenapa
Nem, eh iya eh enggak?” Duh, Jodha jadi malu ketahuan melamun. Dia menggeleng.
“Ng-nggak
apa-apa Tuan. I-iya benar nggak apa-apa. Oh iya Tuan, kata dokter besok sore
sudah boleh pulang.” Kata Jodha dengan gembira.
“Kamu kok
kayaknya senang banget disuruh pulang Nem?”
“Ya iyalah,
nggak enak tinggal disini Tuan biarpun fasilitasnya mewah tapi nggak bisa
gerak. Enak dirumah, bisa nyapu, bisa masak, bisa...” ucapan Jodha terhenti
ketika mendapat pelototan tajam dari Jalal. Dia hanya tersenyum meringis.
“Kalau besok
pulang kamu langsung kerja yang berat mending disini aja sampai sembuh.” Ancam
Jalal membuat Jodha cemberut.
“Yaah, kok
gitu sih Tuan? Lagiankan lukanya juga kecil aja, nggak terlalu sakit juga kok.
Boleh ya?” pinta Jodha dengan wajah memelas.
“Sekali
TIDAK tetap TIDAK. Ngerti?”
“Tuan mah
gitu. Badan saya malah sakit dan pegal Tuan kalau tidak bergerak kayak gini.”
Ucap Jodha mencoba memberikan pengertian untuk tuan mudanya.
“Aku tidak
perduli. Berjanji dulu untuk tidak bekerja yang berat seperti biasa. Kalau
nggak, kamu nggak akan aku bolehkan pulang biarpun dokter yang menyuruh.” Jodha
menghela nafas pasrah. Ini nih, kembali lagi tuan mudanya yang sangar. Padahal
baru saja hatinya senang melihat tuan mudanya tertawa, sekarang keluar lagi deh
sifat otoriternya.
“Iya deh,
saya janji.” Jalal akhirnya tersenyum.
“Gitu dong,
nurut sama calon suami.” Jodha terkekeh melihat tuan mudanya yang sudah super
pede itu, “sekarang tidur dulu ya. Biar cepat sembuh.” Jodha mengangguk, “sini
cium kening dulu biar tidurnya nyenyak.” Kembali Jodha tertawa, namun dia
membiarkan tuan mudanya mencium keningnya. Dan kali ini dia memejamkan matanya
meresapi semua sentuhan dari laki-laki itu di keningnya. (maaf, authornya jadi ikut kebawa perasaan nih. Hahahaha....).
Jodha
membaringkan tubuhnya dan memejamkan matanya, sementara Jalal memperbaiki
selimutnya. Setelah itu dia beranjak menuju sofa dan membaringkan tubuhnya
disana. Tidur.
Sementara
itu, Mansingh dan Nadia berada di kantin menikmati segelas kopi hitam dan
coklat panas untuk mereka berdua. Kantin itu terlihat lengang, karena hari
sudah menjelang tengah malam. Namun, kedua orang itu masih saja asyik
berbincang.
“Ceritakan
Bang, gimana tadi itu?” pinta Nadia dengan tidak sabar. Mereka berdua yang asalnya
duduk berdampingan, kini Nadia merubah posisi duduknya menjadi menghadap Man,
masih di bangku yang sama.
Mansingh
menceritakan semua kejadian yang mereka alami tanpa ada yang di tutupin
sedikitpun. Nadia sampai menganga mendengar cerita laki-laki itu.
“Hah. O. Em.
Ji. Yang bener Bang?” Mansingh mengangguk, “waduh Bang, kok tiba-tiba telingaku
berdenging ya mendengar totalnya.” Ucap Nadia mengepalkan tangan kanannya dan
meniupnya pelan, kemudian ditempelkan di telinganya berulangkali. Mansingh
terkekeh melihat tingkah gadis itu.
“Apa
hubungannya Beb, telinga berdenging dengan uang 600 juta?”
“Entahlah
Bang, rasanya telingaku agak sensitif kalau mendengar uang banyak. Tapi aku
bukan matre loh Bang. Cuma suka aja.” Kembali Mansingh terkekeh. Disentilnya
dahi Nadia dengan pelan.
“Itu sama
aja Beb. Beda di istilah doang.” Nadia nyengir.
“Gitu ya?”
ucap Nadia berlagak tidak mengerti, “tapi aku salut sama Bang Bos, dia mau
menanggung semua hutang ayahnya Jodha demi cintanya.” Mansingh mengangguk.
“Makanya
jangan bilang dia playboy lagi ya.” Nadia terkekeh, “Dia sekarang sudah tobat.
Dia benar-benar jatuh cinta sama Jodha, bahkan sampai rela melakukan apa saja
kalau seandainya Papanya tidak mau membantunya.” Mulut dan mata Nadia membulat
mendengarnya.
“Contohnya
apa tuh Bang?” Mansingh mengangkat bahunya.
“Entahlah.
Abang juga tidak tahu.”
“Menggadaikan
diri kali dia, kalau seandainya nggak diberi uang sama Papanya.” Sahut Nadia
sambil terkekeh.
“Ngawur aja.
Tapi, apa iya kalau digadaikan harga Bos bisa sampai 600 juta ya?” ucap
Mansingh sambil mengelus dagunya. Ketawa Nadia semakin keras.
“Bisa aja
kali Bang. Tapi yang mau adalah tante-tante penyuka brondong tuh. Jangankan 600
juta, satu M-ber pun mereka mau kalau sudah cinta buta sama Bang Bos.” Keduanya
kembali tertawa bersama menertawai ucapan mereka sendiri.
“Tapi, aku
salut deh sama Bang Bos. Ya ampun Jo, kamu kok beruntung banget ya dapat
laki-laki yang mau berkorban untukmu. Aku bisa kayak kamu nggak ya Jo?” kata Nadia
setengah menghayal, matanya melihat pemilik kantin yang mondar-mandir
membersihkan bekas pembeli. Mansingh cemberut mendengarnya.
“Oh, jadi
kamu nggak lihat ketulusanku ya Beb? Kamu nggak pernah menganggap cintaku
karena tidak pernah berkorban untukmu?” ucap Mansingh memalingkan wajahnya ke
arah lain. Nadia tertawa cekikikan melihat Mansingh merajuk. Perlahan dia
mengeluarkan ponselnya dan “cekrek” dia mengambil foto Mansingh yang sedang
menoleh ke arah lain dengan wajah cemberut.
Mansingh
terkejut ketika mendapatkan kilatan blitz kamera ponsel Nadia kearahnya. Dia
menoleh ke arah Nadia yang cengengesan melihat hasil fotonya tadi.
“Apa yang
kamu lakukan Beb?” Nadia mengendikkan bahunya, masih dengan cengiran yang tidak
hilang dari bibirnya.
“Nggak ada.
Cuma pengen mengabadikan seseorang yang sedang merajuk karena dibandingin sama
orang lain aja. Padahal nggak ada niat mau ngebandingin. Dianya aja yang
terlalu sensitif.” Sahut Nadia tanpa menoleh ke arah Mansingh. Tangannya masih
mengotak-atik ponselnya. Mansingh tersenyum. Dia sebenarnya pura-pura saja
merajuk, walaupun ada sedikit rasa cemburu dihatinya ketika mendengar ucapan
Nadia. Namun dia tidak bisa marah.
Dirangkulnya
bahu gadis itu tanpa ada perlawanan dari Nadia. Mansingh juga tahu kalau gadis itu
juga tidak marah.
“Maaf ya
Beb, Abang nggak merajuk kok. Yah, Abang akui kalau Abang sedikit cemburu
ketika kamu ngomong seperti itu. Abang memang nggak se-kaya dan tidak se-tampan
Bos, tapikan Abang punya cinta dan ketulusan buat kamu.”
“Kayaknya
aku ketularan Jodha nih.” Ucap Nadia memijat pelipisnya.
“Kamu kenapa
Beb? pusing?” Nadia mengangguk.
“Iya Bang,
mendadak pusing nih pas dengar gombalan barusan. Abang dengar nggak itu suara
siapa?” kata Nadia terkekeh, Mansingh mendecak.
“Kamu ini
ya, Abang sudah serius kirain beneran. Ternyata cuma becanda saja.” Kata
Mansingh mencolek hidung Nadia. Gadis itu tertawa kencang.
“Habisnya
nggak Bang Bos, nggak Abang, semua omongannya nggak pernah ketinggalan yang
namanya kata gombal.” Mansingh terkekeh.
“Sudah jadi
ciri khasnya spesies kami kali Beb, suka nggak suka, mau nggak mau, ya memang
begitu adanya. Padahal itu tadi hanya kata hatiku yang sesungguhnya kok Beb.”
Nadia tertawa kecil. “Bukannya perempuan itu suka yang namanya di gombalin?”
Nadia menggeleng keras, jari telunjuknya
di goyangkan berulangkali didepan wajahnya.
“No, no,
Bang. Aku dan Jodha pengecualian ya. Jangan pernah samakan kami dengan yang
lain.” Mansingh tersenyum.
“Iya Bebeb
sayang. Abang nggak akan pernah menyamakan kamu dengan lain. Kamu gadis kecil
Abang yang usil, selalu bikin Abang nggak bisa jauh dari yang namanya kangen.
Tau nggak?” Nadia mengerucutkan bibirnya dan menggembungkan pipinya sebentar.
Membuat Mansingh mencubit kedua pipinya dengan gemas. Nadia terkekeh lagi.
“Iya tau Bang,
sudah deh. Kita balik ke kamar aja ya. Aku ngantuk.”
“Oke Beb.
Ayo.”
Mereka
berdua beranjak dari duduknya dan membayar minuman, setelah itu kembali ke
kamar dimana Jodha menginap. Tangan Mansingh merangkul bahu Nadia. Kali ini dia
tidak lagi menolak, dia hanya tersenyum dan terus melangkah.
***
Pagi-pagi
sekali, sebelum Jodha dan Nadia bangun. Jalal pulang kerumahnya. Dia berpesan
kepada Mansingh kalau dia akan pulang sebentar kerumahnya dan ingin berbicara
kepada Papanya seperti rencananya tadi malam.
Bi Ijah
terkejut ketika membukakan pintu untuk majikan mudanya itu.
“Tuan kok
datang pagi-pagi sekali?” Jalal tertawa.
“Iya Bi. Ada
urusan penting. Papa sama Mama ada nggak Bi?”
“Oh, ada
Tuan. Tapi, masih di kamar sepertinya.”
“Gitu ya?
Iya deh, kalau gitu saya mau kekamar dulu. Mau mandi sama ganti pakaian.”
“Iya Tuan.
Apa perlu Bibi bikinkan sarapan?” tanya Bi Ijah lagi. Jalal yang baru saja akan
melangkah ke kamarnya mengurungkan niatnya. Dia berpikir sejenak.
“Hm,
bikinkan kopi saja Bi. Seperti biasa ya.” Bi Ijah mengangguk.
“Oh ya Tuan,
bagaimana kabar Jodha? Apa sudah sehat?” Jalal
tersenyum.
“Sudah
baikan Bi, nanti sore juga sudah boleh pulang.” Bi Ijah terlihat gembira.
“Syukurlah
Tuan. Bibi senang mendengarnya.”
“Iya Bi.
Tapi tolong nanti dia jangan diberikan kerjaan yang berat dulu ya, biar sembuh
dulu lukanya.” Bi Ijah kembali mengangguk.
“Iya Tuan.”
“Ya sudah,
aku mau kekamar dulu ya Bi. Bilang sama Papa dan Mama kalau aku datang.”
“Iya Tuan.”
Jalal pun
berlalu dari hadapan Bi Ijah menuju kamarnya. Sudah beberapa malam ini dia
tidak tidur dikamarnya. Namun dia tidak menyesal karena biarpun dia tidur
dirumah sakit dan tidak bebas, tetapi dia bisa tidur bareng Inemnya. Sesuatu
hal yang tidak di duganya. Kapan lagi bisa tidur bareng, meskipun ada Mansingh
dan Nadia.
Setelah
mandi dan berpakaian rapi, Jalal turun dari kamarnya menuju meja makan. Disana
sudah menunggu kedua orang tuanya yang akan sarapan. Bu Hamidah terlihat
sedikit terkejut melihat anaknya sudah berada di rumah pagi-pagi.
Jalal
mencium kedua tangan orang tuanya dan duduk di kursi yang ada dihadapan mereka
seperti biasa, hanya kurang satu orang yang biasanya selalu menemani mereka
sarapan. Dan sekarang masih berada di rumah sakit.
“Tumben kamu
datang pagi-pagi sayang?” tanya Bu Hamidah, Jalal tersenyum dan menyesap
kopinya perlahan, “ bagaimana keadaan Jodha sekarang?”
“Sudah
membaik Ma, dan kata dokter sore ini sudah bisa pulang.”
“Syukurlah
kalau begitu. Mama ikut senang mendengarnya. Sepi rumah nggak ada dia.”
“Iya Ma.”
“Bagaimana
Jalal, apa ada kabar dari Bayu tentang pelaku penembakan itu?” tanya Pak
Humayun. Jalal menggeleng.
“Kalau itu
belum ada Pa, tapi...” ucapan Jalal terputus, kata-kata yang ingin dia
keluarkan itu sepertinya tertahan di tenggorokannya. Papa dan Mamanya
menatapnya dengan tanda tanya.
“Tapi apa
sayang?” tanya Mamanya. Jalal menghela nafas panjang, dia berusaha mengumpulkan
semua keberaniannya untuk mengatakan maksudnya kepada kedua orang tuanya. Dia
harus bisa, dan dia harus berani.
“Pa, Ma, aku
mau mengatakan sesuatu,...” ucap Jalal dengan sedikit gugup.
“Kamu mau
ngomong apa sayang? Bilang saja, nggak usah takut. Ada apa?” kata Bu Hamidah
dengan lembut.
“Sebenarnya
Ma, Pa, tadi malam aku, Bang Bayu, Bang Todar, dan Man, mendatangi tempat
dimana ayahnya Jodha terlibat hutang. Karena kami curiga kalau merekalah pelaku
penembakan itu...,” ujar Jalal menahan nafas.
“Lalu?”
Jalal
menceritakan semua kejadian di tempat Adam dan semua pembicaraan mereka. Kedua
orang tuanya saling pandang, tetapi mereka hanya diam saja menunggu Jalal
selesai bercerita.
“Selanjutnya
apa yang akan kamu lakukan Jalal?” tanya Papanya. Jalal menelan ludah dengan
susah payah.
“Aku ingin
membantunya Pa,...”
“Dengan
membayarkan semua hutang ayahnya itu?” Jalal mengangguk.
“Iya Pa.”
Jawabnya sambil menunduk. Ternyata berat juga memperjuangkan tujuannya, bahkan
bicara dengan orang tuanya saja membuatnya ketar-ketir tidak karuan, apalagi
dengan orang lain.
“Apa kamu
yakin apa yang kamu lakukan itu?” Jalal terdiam, “Kamu tahu, itu bukan jumlah
yang sedikit Jalal. Untuk orang biasa, itu jumlah yang sangat fantastis sekali.
Orang bisa beli rumah mewah, bisa jalan-jalan keluar negeri sekalipun, bahkan
bisa untuk hidup beberapa tahun tanpa bekerja. Papa bukannya tidak mau
membantu, tetapi uang itu bukan untuk sumbangan bantuan sosial, ataupun yayasan
amal lainnya yang pasti bermanfaat dan dinikmati oleh orang banyak. Tetapi ini
untuk membayarkan hutang orang yang hanya bisa menghabiskan uang di meja judi
dan bermabuk-mabukan. Apa yang membuatmu ingin membantu Jodha membayarkan
hutang ayahnya yang begitu besar?” tanya Pak Humayun menatap Jalal dengan sorot
mata yang lembut namun tegas. Jalal mengangkat wajahnya dan menatap papanya.
“Iya Pa, aku
tahu kalau itu jumlah yang sangat besar. Sangat besar mungkin untuk ukuran
keluarganya Jodha, dan juga untukku. Tapi, aku nggak tega Pa melihat Jodha
begitu terpuruk jika mendengar semua ini, ditambah lagi jika ayahnya tidak bisa
membayar semua hutang itu, maka Jodhalah yang akan jadi pengganti semua hutang
ayahnya.” Kembali kedua orang tuanya saling pandang.
“Terus, apa
hubungannya denganmu jika Jodha menjadi pengganti hutang ayahnya?” tanya Pak
Humayun dengan tenang. Namun tidak dengan Jalal, wajahnya mengeras. Rasa
amarahnya ingin keluar ketika disinggung Jodha sebagai pengganti hutang
ayahnya. Tetapi dia berusaha untuk menahan semua emosinya, dia harus bersikap
tenang dan berpikir jernih. Siapa tahu papanya hanya ingin mengujinya saja.
“Pa, Ma,
sejujurnya aku mencintai Jodha. Dia gadis baik, polos, tidak pernah bertingkah
macam-macam, bahkan dia bukan tipe orang yang suka dengan kemewahan sebagaimana
umumnya perempuan yang sering aku kencani dulu. Karena itu aku tidak rela kalau
dia harus menanggung semua beban yang tidak bisa dia pikul sendiri. Aku akan
merasa sangat jahat sekali Pa, Ma, jika membiarkan semua itu terjadi.” Jawab
Jalal dengan berani. Entah kenapa kali ini, rasanya ucapan itu keluar dengan
mudahnya dari mulutnya. Mungkin emosi dan rasa takut kehilangan gadis yang
dicintainya itu, membuatnya begitu berani bicara dengan kedua orang tuanya,
“aku mohon Pa, kali ini saja. Aku akan melakukan apapun yang Papa inginkan,
asalkan Papa mau membantu Jodha.”
Kedua orang
tuanya kembali saling pandang. Kali ini agak lama. Jalal menunggu jawaban
keduanya dan menatap kedua orang tuanya dengan sabar. Pak Humayun menghela
nafas panjang, sebelum akhirnya dia bicara.
“Baiklah,
kali ini Papa akan membantu Jodha.” Wajah Jalal berseri mendengar ucapan
Papanya, “tetapi ada syaratnya.”
“Iya Pa.
Apapun syaratnya akan aku lakukan. Asalkan Jodha tidak terjatuh dalam
cengkraman laki-laki brengsek itu.” Sahut Jalal dengan gembira.
“Jangan
senang dulu, kamu bahkan belum tahu apa syarat dari Papa.” Jalal memasang wajah
serius kali ini, “sedalam apa kamu mencintai gadis itu? Sampai kamu rela
melakukan apapun untuk membantunya. Apa kamu kali ini tidak berniat main-main
saja?” tanya papanya lagi. Jalal menggeleng yakin.
“Aku tidak
tahu sedalam apa aku mencintainya Pa, yang aku tahu dia bisa memahamiku dan
mampu mengubah sikapku yang selama ini selalu bersikap kekanakan tanpa dia
bermaksud menggurui. Aku bahkan merasa nyaman dengannya, dia tidak pernah
terpesona kepadaku hanya karena wajah dan harta saja, dia juga gadis yang
pertama kali menolakku ketika aku mengatakan cinta kepadanya.” Sahut Jalal
dengan wajah sedikit memerah karena malu. Kedua orang tuanya tersenyum
melihatnya.
“Baiklah.
Jika memang tekadmu sudah bulat. Tetapi asal kamu tahu, akan selalu ada harga
yang harus kamu bayar dengan semua ini. Semua bantuan Papa tidak gratis. Karena
kamu yang meminta Papa untuk membantu Jodha, maka kamu juga yang harus
melaksanakan semua syarat dari Papa. Bagaimana? Kamu siap menerima syaratnya?”
tanya Pak Humayun meyakinkan. Jalal mengangguk.
“Iya Pa. Aku
siap. Apapun itu syaratnya. Asalkan Papa tidak memintaku untuk melupakan Jodha
saja.”
“Baik.
Syaratnya adalah kamu akan Papa kirim ke Magelang untuk mengikuti pelatihan dan
pembinaan di akademi militer disana selama enam bulan, tanpa boleh pulang
sekalipun. Tidak boleh membawa semua peralatan komunikasi dan elektronik yang
kamu punya selama mengikuti pelatihan. Karena kamu akan di karantina selama
disana. Bagaimana? Sanggup?”
Jalal
terhenyak mendengar semua syarat dari papanya. Tidak kepikiran sama sekali
kalau itu syarat yang akan dia jalani. Sungguh berat. Apalagi dia tidak boleh
pulang sekalipun, bahkan untuk berkomunikasi saja tidak boleh. Bagaimana ini?
Berkali-kali Jalal menghembuskan nafas, memikirkan dia harus berpisah dengan
Inemnya dengan rentang waktu yang lama. Sanggupkah
dia bertahan?
Tetapi
bagaimana pun juga, itu ada syarat mutlak dari papanya. Papanya benar, semua
tidak gratis. Akan ada harga disetiap keputusan, dan akan ada konsekuensi dan
resiko dalam setiap tindakan. Semua butuh pengorbanan. Dan dia, siap tidak
siap, mau tidak mau harus menerima semua syarat itu. Dengan mantap dia
mengangguk dan menyanggupi semua persyaratan dari papanya.
“Iya Pa. Aku
siap.” Papanya tersenyum, hanya mamanya saja yang terlihat sedikit sedih,
karena akan berpisah cukup lama dengan anak kesayangannya itu.
“Bagus. Itu
yang jawaban Papa tunggu darimu.”
“Kapan aku
berangkat Pa?”
“Secepatnya.
Nanti biar Bayu yang akan mengantarmu kesana. Kamu bisa mengajak kedua temanmu
ikut kesana juga. Biar kalian bisa menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Dan
Papa harap kamu tidak merasa terpaksa melakukan semua ini, karena untuk
kebaikan kamu sendiri. Jangan sepenuhnya berniat
karena cintamu kepada Jodha saja, yang membuatmu bersemangat untuk mengikuti
syarat dari Papa, tetapi lebih kepada dirimu sendiri Jalal. Karena bila niatmu
hanya karena cinta, jika suatu saat kamu
kehilangan cintamu, kamu akan kembali menjadi pribadi yang dulu lagi.
Tetapi jika niatmu ingin berubah karena dirimu sendiri, maka kamu akan menjadi
seseorang yang kuat, tegas, dan tidak gampang menyerah. Papa berharap banyak
kepadamu kali ini. Jadi, jangan sia-siakan syarat yang Papa berikan kepadamu.” Jalal mengangguk.
“Iya Pa. Aku
mengerti.” Jalal menghembuskan nafas. Inilah yang harus dia jalani. Mungkin
inilah jalan terbaik yang harus dia dan Inem hadapi.
===TBC===
Tidak ada komentar:
Posting Komentar