Menu

Jumat, 12 Februari 2016

BIARKAN AKU JATUH CINTA. PART. 18 (PENGORBANAN)


Hai, Inem datang lagi nih. Maaf, sudah menunggu lama. Hehehe... so, happy reading aja ya.

====000====

“Apa?? 600 juta?”
Keempat orang itu saling pandang, sedangkan Adam terkekeh. Dia menyulutkan sebatang rokok dan menghisapnya pelan kemudian menghembuskan asapnya perlahan sambil melihat reaksi mereka berempat.
“Maaf, apa tidak salah Anda mengatakan itu?” tanya Bayu sekali lagi. Mereka bertiga juga ikut memandang ke arah Adam yang tertawa sinis.
“Terserah kalian percaya atau tidak. Aku tidak memaksa. Begitulah kenyataannya, dan sialnya lagi laki-laki tua itu malah menghilang.” Ucap Adam dengan geram, senyum sinisnya menghilang berganti dengan wajah kerasnya yang terlihat menakutkan.
“Bukankah kau sudah menyita rumahnya, apa itu belum cukup?” tanya Jalal tidak tahan lagi untuk tidak menanyakan hal itu. Dia tidak perlu bersopan santun dengan laki-laki itu.
“Ya, itu memang benar. Aku memang menyita rumah beserta isinya miliki laki-laki tua itu, tetapi semua belum cukup. Bahkan untuk membayar bunganya saja tidak cukup.” Keempatnya tercengang mendengar ucapan Adam.
“Jadi maksudmu, 600 juta itu diluar rumah yang sudah Anda sita itu?” tanya Bayu kembali.
“Begitulah.” Jawab Adam, dia mengangkat kedua kakinya di atas meja dan kenumpukan kaki kanannya di atas kaki kirinya. Badannya disandarkannya di sandaran kursi dengan santainya, dan jarinya masih menjepit batang rokok yang belum habis.
“Kurang ajar Kau!” bentak Jalal tiba-tiba berdiri. Ketiga orang disampingnya terkejut melihat Jalal yang tiba-tiba berdiri. Adam hanya menaikkan sebelah alisnya saja melihat keberanian pemuda dihadapannya itu, “kau pasti sengaja melipatgandakan hutang Pak Bharmal, agar kau bisa mengambil anaknya sebagai penebus semua hutangnya.” Tunjuk Jalal dengan emosi yang meluap. Bayu memegang tangan Jalal dan menyuruhnya duduk dengan isyarat matanya, dengan terpaksa Jalal menurut. Sementara Adam tertawa mendengar tuduhan Jalal.
“Hm, aku jadi curiga siapa kalian sebenarnya?” ucap Adam menurunkan kakinya dan menatap keempatnya dengan tajam.
“Bukan urusanmu!” kembali Jalal tidak dapat menahan diri untuk menjawab. Bayu dan Todarmal hanya bisa mendesah pasrah.
“Tentu saja itu urusanku, karena dia adalah calon istriku. Dan aku berhak tahu dimana calon istriku itu berada. Katakan dimana dia? Biar aku yang jemput?” tanya Adam dengan suara yang sedikit keras.
“Tidak akan pernah aku beritahukan keberadaannya kepadamu, karena kau tidak berhak mengakui dia sebagai milikmu.” Jawab Jalal dengan sengit.
“Baik. Artinya kamu yang akan membayar semua hutang orang tua itu.”
“Oke. Aku akan membayar semua hutang-hutang Pak Bharmal lunas beserta bunga-bunganya.” Jawab Jalal tanpa pikir panjang lagi. Bayu, Todarmal, dan Mansingh saling pandang. Adam bertepuk tangan mendengar ucapan Jalal.
“Wow, boleh juga nyalimu anak muda. Aku yakin ini bukan hanya sekedar membantu saja. Gadis itu pasti sudah istimewa sekali sampai kau mau berkorban membayarkan semua hutang ayahnya.” Sindir Adam.
“Sudah ku bilang itu bukan urusanmu. Apapun hubungannya denganku, tidak ada sangkutpautnya denganmu.” Adam menyeringai.
“Baiklah, akan kutunggu pembayaran semua hutang-hutang Pak Tua itu. Akan aku berikan waktu 3 × 24 jam dari sekarang, dan kalau terlambat satu hari saja maka bunganya akan kembali naik.” Ucap Adam dengan tenang, membuat kedua tangan Jalal mengepal. Ingin rasanya dia menghajar wajah laki-laki yang tidak berperasaan itu.
“Apa kau berjanji tidak akan mengganggu Jodha dan ayahnya lagi, kalau semua hutangnya lunas?” tanya Jalal menyakinkan jawaban Adam. Lelaki itu tersenyum meremehkan.
“Baik. Aku janji tidak akan mengganggu mereka lagi kalau semua hutangnya dilunaskan. Bagaimana? Sudah puas?”
“Baiklah. Aku pegang janjimu, dan aku harap kau tidak akan melanggar janjimu.”
“Oke. Aku kira sudah tidak ada lagj yang kita bicarakan. Jadi, silakan keluar.” Ucap Adam tanpa basa-basi lagi.
“Baiklah, terima kasih sudah menerima kedatangan kami.” Kata Bayu sopan, begitu juga dengan Todarmal dan Mansingh. Hanya Jalal yang bersikap tidak hersahabat. Namun Adam hanya tersenyum miring melihatnya.
“Hm.”
Mereka berempat pun keluar dari ruangan Adam, dan langsung menuju lift yang ada di depan ruangan itu. Setelah pintu lift tertutup, dari ruangan sebelahnya keluar seorang gadis cantik yang berpakaian seksi memasuki ruangan Adam tanpa mengetuk pintu lagi. Tetapi rupanya Adam tidak terkejut dan marah dengan kedatangannya.
“Apa yang mereka lakukan disini, Kak?” tanya gadis itu, dia duduk di pegangan kursi dimana Adam sedang duduk. Adam tersenyum menyeringai. Tangannya membelai kepala gadis itu.
“Mereka menanyakan hutang Pak Tua sialan itu, adikku sayang.”
“Aku mengenal salah satu laki-laki itu Kak.” Usapan tangan Adam di kepala gadis itu berhenti.
“Maksudmu apa?” gadis itu tersenyum.
“Laki-laki yang  berjaket coklat tadi, itu adalah orang yang aku sukai sejak lama. Aku pernah dekat dengannya. Namun hanya sebatas teman kencan sehari saja. Dia bahkan tidak pernah melirikku dan menaruh harapan kepadaku. Dia menganggapku sama seperti perempuan lain yang biasa dia kencani.” Adam menatap serius ke arah gadis itu.
“Jadi pemuda itu playboy juga.” Gumam Adam.
“Iya Kak.” Kata gadis itu duduk di pangkuan kakaknya dan bersandar di dada Adam yang bidang, “padahal aku sangat mencintainya, tapi ternyata cintaku tidak pernah terlihat olehnya, bahkan dia bilang kalau dia menyukai seorang gadis yang hanya sebagai supir pribadi ibunya. Aku kurang cantik apa Kak?, kurang seksi apa? sampai dia tidak mau melirikku sedikitpun.” rengeknya. Adam tersenyum. Dia mencubit hidung adiknya itu.
“Kamu itu cantik adikku sayang. Laki-laki itu saja yang buta tidak bisa melihat kecantikanmu.  Apa yang bisa Kakak lakukan untukmu?” senyum gadis itu merekah.
“Aku ingin Jalal membenci gadis itu dan berpaling padaku Kak. Please bantu ya Kak.” Pintanya dengan senyum memelas, jari-jarinya memainkan kancing baju Adam.
“Baiklah, Adikku sayang. Akan Kakak bantu. Tapi, terlebih dahulu biarkan dia membayarkan semua hutang-hutang Pak Tua itu. Kakak ingin tahu sampai sejauh mana dia bisa mengusahakannya.”
“Tentu saja dia bisa mengusahakannya Kak, orang tuanya sangat kaya. Jadi uang segitu mudah saja baginya.” Adam tersenyum miring.
“Baguslah kalau begitu, artinya sebentar lagi aku akan mendapatkan uangku.” Ucap Adam tertawa senang, “dan semua belum berakhir, aku akan mendapatkan uang lagi dan..., gadis itu.”
“Iya Kak, jangan lupa janji Kakak agar Jalal berpaling kepadaku. Buat dia membenci kekasihnya. Aku tidak perduli. Kalau bisa jangan sampai mereka bertemu kembali. Benci aku melihat mereka berdua bermesraan di depanku.” Ucap gadis itu dengan geram.
“Kau memang jahat, sayang.” Ucap Adam tertawa pelan. Adiknya mencibir.
“Bukannya kita berdua sama saja Kak? Kan Kau Kakakku. Darah kita sama. Lagian menjadi orang baik itu tidak enak, selalu saja di sakiti orang lain tanpa bisa membalasnya.”
“Ya, kau benar Sayang. Kita harus merebut apa yang seharusnya menjadi milik kita. Kita tunggu saja saat itu tiba.” Ucap Adam memeluk adiknya dengan erat. Mereka berdua sama-sama tersenyum.
***
Sementara itu, Jalal dan ketiga orang lainnya sudah berada di mobil mereka sendiri.
“Sekarang apa yang akan kita katakan kepada Jodha?” tanya Bayu kepada mereka bertiga. Yang ditanya hanya saling pandang.
“Bang, jangan katakan kepada Jodha tentang hutang ayahnya ya.” Pinta Jalal. Bayu menatapnya dengan serius.
“Kenapa?” Jalal menghela nafas panjang.
“Aku hanya tidak ingin melihatnya bersedih Bang. Iya dia bisa menyembunyikan kesedihannya lewat sifat cerianya, tapi matanya tidak bisa berbohong kalau dia sedih. Aku tidak tega, Bang.” Bayu terpekur mendengar ucapan Jalal. Iya benar, mungkin kali ini Jodha tidak akan bisa menyembunyikan kesedihannya kalau mendengar seberapa besar tanggungan yang harus dibayar oleh ayahnya.
“Lalu sekarang apa yang akan kamu lakukan Jalal?” lama Jalal terdiam.
“Aku akan berusaha bicara sama Papa. Semoga Papa mengerti dan mau membantuku.”
“Apa kamu yakin Papa kamu mau membantu?” Tanya Todarmal.
“Iya Bos, itu bukan jumlah yang sedikit loh.” Sambung Mansingh.
“Setidaknya aku akan berusaha bicara dulu sama Papa.”
“Kalau tidak berhasil?” Jalal mengusap tengkuknya.
“Pokoknya harus berhasil. Apapun akan kulakukan asalkan bisa membantunya.”  Bayu menepuk bahu Jalal pelan.
“Abang salut sama kamu Jalal. Kamu mau berusaha membantu Jodha. Abang harap kamu berhasil meyakinkan Papa kamu. Kalau Papamu tetap tidak mau, biar nanti Abang yang akan usahakan mencari jalan keluarnya.” Jalal menggeleng.
“Nggak Bang, biar aku saja. Aku yakin akan bisa mendapatkan uang itu, bagaimana pun caranya.” Jawab Jalal dengan yakin. Bayu tersenyum.
“Oke. Abang yakin kamu pasti bisa.”
“Iya Bang.”
Akhirnya mereka berempat kembali ke rumah sakit tempat Jodha dan Nadia berada. Dimana keduanya menunggu dengan harap-harap cemas. Takut terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, keadaan disana tidak ada seorang pun yang tahu.
Barulah setelah mereka datang, kedua gadis itu menarik nafas lega. Lega, karena tidak terjadi apa-apa dengan orang yang mereka sayangi itu. Nadia memeluk abangnya dan Todarmal dengan lega. Begitu juga dengan Jodha. Dia sudah bisa duduk, namun belum boleh bergerak banyak. Jalal duduk di dekatnya, di pinggir ranjang.
Jodha menatap tuan mudanya dengan senyuman bahagia. Dia bahagia tuan mudanya telah kembali dengan selamat. Jalal mengerti arti tatapan gadis itu, meski tidak terucapkan.
“Ya ampun Bang, aku sama Jodha tidak bisa tenang. Takut terjadi apa-apa. Kami cemas sekali tau nggak sih?” ujar Nadia mulai berceloteh. Dia bergayut manja di lengan abangnya yang masih berdiri bersama Mansingh dan Todarmal.
“Oh ya?” Nadia mengangguk dengan wajah polos, Bayu tertawa, “emang takut mikirin siapa? Abang atau Man?” ledek Bayu. Wajah Nadia memerah mendengar ledekan abangnya. Dia melirik ke arah Mansing yang terkekeh melihatnya.
“Ih Abang. Kok gitu sih?” jawab Nadia dengan manja, “Ya Abanglah, dan,...semuanya.” sambung Nadia nada suaranya melemah diujung perkataannya. Dia tersipu malu dan menyembunyikan wajahnya di belakang abangnya.
“Ciee, Nadia malu ketahuan mikirin Man. Itu muka nggak usah pake blush on juga udah merah tuh.” Ledek Jalal. Dia membalas ledekan Nadia kepadanya sewaktu ada papa sama mamanya kemarin.
“Ish, Bang Bos kok gitu sih? Udah deh, tuh layani aja Jodha. Kasihan dari tadi cemas mulu mikirin Bang Bos.” Jodha mendelik ke arah Nadia yang terkekeh melihat ekspresi Jodha, “maaf Jo, aku terpaksa mengatakannya daripada aku diledekin terus sama Bang Bos. Hehehe...” ucap Nadia tanpa rasa bersalah. Jalal menoleh ke arah Jodha yang sudah membuang muka ke arah lain menghindari tatapan tuan mudanya. Namun, pemuda itu tersenyum dan kembali melihat Nadia.
“Gitu ya Nad? Makasih ya sudah ngasih tau. Lega rasanya ada yang mencemaskan aku. Rasanya menyenangkan mendengarnya Nad.” Ucap Jalal tersenyum miring ke arah Jodha yang menyembunyikan wajahnya yang terasa hangat.
“Sama-sama Bang Bos, sekarang kita temenan ya.” Sahut Nadia memainkan kedua alisnya. Jalal tertawa.
“Oke deh, terserah kamu aja Nad.” Bayu menggelengkan kepala melihat keduanya, kadang bisa akur kadang bertengkar itu.
“Ya sudah, Abang sama Todar pulang dulu ya. Jalal, ingat tadi yang kita bicarakan. Kalau belum berhasil bilang sama Abang ya.” Jalal mengangguk.
“Iya Bang. Siap. Nanti aku kabari Abang, dan aku pastikan itu kabar baik dariku.” Jodha dan Nadia hanya menatap Jalal dan Bayu bergantian dengan pandangan tidak mengerti. Bayu tertawa.
“Baiklah. Abang tunggu kabar baik darimu.” Kembali Jalal mengangguk, “Jo, Nad, Man, Abang pulang dulu ya.”
“Iya Bang.” Jawab Mansingh.
“Eh, tunggu Bang.” Cegah Nadia, “itu ceritanya bagaimana? Ketemu nggak sama yang namanya Adam?” Bayu tertawa.
“Nanti tanyakan kepada mereka berdua saja ya. Abang sudah ngantuk.” Jawab  Bayu sekenanya. Nadia melebarkan matanya.
“Abang ngantuk? Tumben? Bukannya Abang biasa begadang?” tanya Nadia dengan nada tidak percaya.
“Sudahlah Beb, ntar Abang Man saja yang ceritakan ya. Biar Abang Bayu dan Bang Todar pulang dulu. Kasihan besok mereka harus kerja lagi.” Kata Mansingh memegang lengan Nadia. Gadis itu menghela nafas.
“Iya deh. Ya sudah, Abang pulang sana. Hati-hati di jalan ya.” Bayu dan Todarmal tertawa. Lihatlah sekarang, begitu mudahnya Nadia luluh dengan sikap Mansingh yang begitu pandai membuat gadis itu nyaman bersamanya.
Akhirnya Bayu dan Todarmal pulang. Tinggallah mereka berempat yang ada diruangan itu.
“Beb, kita keluar yuk. Abang pengen nyari kopi nih.” Ajak Mansingh kepada Nadia yang merupakan kode kepada Nadia. Dia ingin menceritakan semua kejadian tadi tanpa ditutupi, karenanya dia mengajak Nadia keluar dari ruangan itu.
“Oke deh Bang. Bang Bos, Jo, kami keluar dulu ya.” Keduanya mengangguk.
“Iya. Yang lama ya Nad. Kalau perlu nyari kopinya di pinggir kota sana biar jauh.” Sahut Jalal sambil tergelak. Nadia mengerucutkan bibirnya.
“Enak aja. Nggak bisa. Kalau kejauhan ntar Bang Bos bisa khilaf. Dan aku tidak mau itu terjadi sama Jodha. Awas aja kalau Bang Bos macam-macam. Siap-siap tuh muka gantengmu akan hilang dari peredaran.” Ucap Nadia mengacungkan tinjunya.
“Ugh, takuut. Enak saja nonjok muka gantengku. Ini aset berharga tau, buat Inem sayang.” Sahut Jalal menoleh ke arah Jodha dan memainkan kedua alisnya. Jodha hanya tersenyum dan menggeleng kepala melihat tingkah tuan mudanya.
“Huh, dasar playboy kacangan. Gitu aja bangga.” Gerutu Nadia, namun Jalal tidak memperdulikannya. Dia hanya terkekeh. Akhirnya Nadia menarik tangan Mansingh untuk keluar dari kamar itu.
Suasana hening. Mereka berdua sama-sama terdiam. Jalal masih bingung harus memulai berbicara apa kepada Jodha yang masih duduk bersandar diranjangnya dengan kedua kaki bersila. Sedangkan Jalal duduk di sampingnya, hanya saja dia tidak bersandar.
“Tuan...” Panggil Jodha memecah keheningan, Jalal menoleh dan menatapnya. Jodha menggigit bibir bawahnya karena agak gugup, “ta-tadi bagaimana disana?” Jalal menghela nafas panjang. Dia berpindah tempat duduk ke tengah ranjang, diikuti dengan pandangan Jodha.
Tiba-tiba saja Jalal merebahkan tubuhnya di ranjang, dengan kepalanya berada di pangkuan Jodha yang sedang duduk bersila dengan posisi telentang. Jodha sebenarnya agak kaget juga, namun dia diam saja. Tangan kanannya refleks mengelus rambut Jalal, membuat pemuda itu memejamkan matanya menikmati semua sentuhan di kepalanya.
“Kami sudah bertemu dengan lelaki brengsek itu Nem.” Gerakan tangan Jodha berhenti, namun dia diam saja, “aku sempat bertengkar mulut dengannya.” Jalal tertawa kecil.
“Lalu apa yang terjadi Tuan?” tanya Jodha dengan tidak sabar.
Masih dengan mata terpejam Jalal tersenyum, “sebelum aku jawab pertanyaanmu, apa benar kamu mencemaskan aku Nem?” Jodha tersipu, tanpa sadar jari tangannya yang berada di kepala Jalal memutir pelan helaian rambut tuan mudanya.
“Sa-saya...” Jodha menjadi gugup. Gara-gara Nadia nih pikirnya. Jalal terkekeh.
“Bilang aja Nem, nggak usah malu dan jaim kalau kamu juga cinta sama aku kan? Dan nggak mau kehilangan aku?” mulut Jodha mengerucut.
“Pede.” Gumamnya. Jalal terbahak mendengarnya.
“Yah, baiklah. Aku nggak akan memaksamu, walaupun aku tau bagaimana sebenarnya hatimu. Mungkin kamu memang belum bisa memahami semua perasaanmu kepadaku.” Rasanya jantung Jodha semakin berdetak dengan kencang mendengar ucapan tuan mudanya. Iya, dia memang belum bisa mengerti dan mengartikan dengan perasaannya yang sesungguhnya. Tetapi ketika tadi tuan mudanya berangkat menemui Adam, rasa ada perasaan tidak rela dalam hatinya melihat kepergian pemuda itu. Ada rasa nyeri disudut hatinya ketika membayangkan hal yang tidak-tidak tadi.
“Maafkan saya Tuan.” Ucap Jodha tertunduk, Jalal tersenyum. Dia membuka matanya dan bangkit duduk menyamping, namun kepalanya menoleh ke arah Jodha.
“Nggak apa-apa Nem. Aku ngerti kok. Aku hanya minta, belajarlah terus untuk mencintaiku. Aku akan menunggu sampai hatimu benar-benar terbuka untukku. Aku janji, aku akan sabar menanti.” Ucap Jalal menggenggam tangan kanan Jodha. Gadis itu kembali tersipu. Dia mengangguk. Jalal menyambutnya dengan tersenyum.
“Sekarang ceritakan bagaimana tadi waktu ketemu sama Adam.” Pinta Jodha lagi. Jalal pun menceritakan semua tentang pertemuan mereka dengan Adam. Minus total yang disebutkan. Jalal tidak mau nanti Jodha merasa berhutang budi kepadanya, dan dengan terpaksa menerima cintanya. Dia hanya ingin gadis itu mencintainya tulus karena cinta, bukan karena alasan yang lain. Apalagi dengan alasan balas budi.
“Jadi?” tanya Jodha, Jalal mengendikkan bahunya.
“Maaf ya Nem, rumahmu tidak bisa kami selamatkan dari tangan Adam.” Ucap Jalal dengan sedih. Jodha tersenyum. Dia menggeleng.
“Tidak apa-apa Tuan, saya ikhlas kok jika itu bisa membayar semua hutang ayah saya tanpa merepotkan orang lain.” Sahut Jodha dengan gembira. Jalal melihatnya hanya tersenyum kecut.
Andai kau tahu Nem, urusannya tidak semurah itu. Aku yakin sekarang kamu pasti akan sedih mendengarnya. Apalagi ketika tau Adam akan memaksamu untuk tinggal bersamanya.”  Bisik hati Jalal.
“Ya, sekarang kamu legakan? Laki-laki itu tidak akan mengganggumu dan ayahmu lagi.” Jodha mengangguk. Senyumnya mengembang. Dia mencium punggung tangan Jalal yang masih menggenggam tangannya sebagai tanda terima kasihnya.
“Makasih ya Tuan. Saya, saya tidak tahu harus berterima kasih dengan cara apa untuk membalas kebaikan Tuan.” Jalal terkekeh.
“Aku kok merasa sudah jadi suami kamu ya Nem. Pake cium tangan segala. Sini aku cium keningmu biar pas.” Kembali mulut Jodha mengerucut.
“Ish, Tuan mah gitu. Saya kan lagi serius nih, malah di ajak becanda.” Gerutu Jodha. Jalal masih terkekeh mendengarnya.
“Iya. Iya. Becanda kok. Beneran juga Alhamdulillah. Hahaha... Sudah. Nggak usah dipikirkan lagi. Sudah seharusnya aku melakukan itu. Jadi kamu bisa tenang sekarang. Oke Inem sayang.” Ucap Jalal sambil tangannya memencet hidung Jodha. Jodha tersenyum. Dia mengusap-usap hidungnya yang memerah akibat di pencet oleh tuan mudanya.
“Iya Tuan. Makasih ya, sudah mau repot-repot membantu saya.”
“Simpan aja terima kasihmu Nem, ntar keluarkan kalau aku lagi laper aja ya. Kalau sekarang aku masih kenyang, jadi belum butuh terima kasih. Hahahaha...” ucap Jalal kembali tergelak. Ah, senangnya malam ini Jodha bisa melihat tuan mudanya tertawa lagi. Ternyata kekhawatirannya tidak terbukti. Dia lega sekarang. Apa ini artinya kalau hatinya sudah mulai bisa menerima kehadiran laki-laki dihadapannya ini? Melihat dia tertawa, melihat dia tersenyum, dan melihat dia begitu perhatian kepadanya, rasanya Jodha hampir tidak percaya kalau tuan mudanya itu menyukai dirinya. Apa dia beruntung? Ataukah kebetulan saja?
“Heh, melamun aja.”  Jodha tersentak ketika dahinya dipukul pelan oleh Jalal.
“Eh, i-iya Tuan. Eh, enggak.” Jawab Jodha tergagap. Bibir Jalal berkedut-kedut ingin kembali tertawa.
“Kamu kenapa Nem, eh iya eh enggak?” Duh, Jodha jadi malu ketahuan melamun. Dia menggeleng.
“Ng-nggak apa-apa Tuan. I-iya benar nggak apa-apa. Oh iya Tuan, kata dokter besok sore sudah boleh pulang.” Kata Jodha dengan gembira.
“Kamu kok kayaknya senang banget disuruh pulang Nem?”
“Ya iyalah, nggak enak tinggal disini Tuan biarpun fasilitasnya mewah tapi nggak bisa gerak. Enak dirumah, bisa nyapu, bisa masak, bisa...” ucapan Jodha terhenti ketika mendapat pelototan tajam dari Jalal. Dia hanya tersenyum meringis.
“Kalau besok pulang kamu langsung kerja yang berat mending disini aja sampai sembuh.” Ancam Jalal membuat Jodha cemberut.
“Yaah, kok gitu sih Tuan? Lagiankan lukanya juga kecil aja, nggak terlalu sakit juga kok. Boleh ya?” pinta Jodha dengan wajah memelas.
“Sekali TIDAK tetap TIDAK. Ngerti?”
“Tuan mah gitu. Badan saya malah sakit dan pegal Tuan kalau tidak bergerak kayak gini.” Ucap Jodha mencoba memberikan pengertian untuk tuan mudanya.
“Aku tidak perduli. Berjanji dulu untuk tidak bekerja yang berat seperti biasa. Kalau nggak, kamu nggak akan aku bolehkan pulang biarpun dokter yang menyuruh.” Jodha menghela nafas pasrah. Ini nih, kembali lagi tuan mudanya yang sangar. Padahal baru saja hatinya senang melihat tuan mudanya tertawa, sekarang keluar lagi deh sifat otoriternya.
“Iya deh, saya janji.” Jalal akhirnya tersenyum.
“Gitu dong, nurut sama calon suami.” Jodha terkekeh melihat tuan mudanya yang sudah super pede itu, “sekarang tidur dulu ya. Biar cepat sembuh.” Jodha mengangguk, “sini cium kening dulu biar tidurnya nyenyak.” Kembali Jodha tertawa, namun dia membiarkan tuan mudanya mencium keningnya. Dan kali ini dia memejamkan matanya meresapi semua sentuhan dari laki-laki itu di keningnya. (maaf, authornya jadi ikut kebawa perasaan nih. Hahahaha....).
Jodha membaringkan tubuhnya dan memejamkan matanya, sementara Jalal memperbaiki selimutnya. Setelah itu dia beranjak menuju sofa dan membaringkan tubuhnya disana. Tidur.
Sementara itu, Mansingh dan Nadia berada di kantin menikmati segelas kopi hitam dan coklat panas untuk mereka berdua. Kantin itu terlihat lengang, karena hari sudah menjelang tengah malam. Namun, kedua orang itu masih saja asyik berbincang.
“Ceritakan Bang, gimana tadi itu?” pinta Nadia dengan tidak sabar. Mereka berdua yang asalnya duduk berdampingan, kini Nadia merubah posisi duduknya menjadi menghadap Man, masih di bangku yang sama.
Mansingh menceritakan semua kejadian yang mereka alami tanpa ada yang di tutupin sedikitpun. Nadia sampai menganga mendengar cerita laki-laki itu.
“Hah. O. Em. Ji. Yang bener Bang?” Mansingh mengangguk, “waduh Bang, kok tiba-tiba telingaku berdenging ya mendengar totalnya.” Ucap Nadia mengepalkan tangan kanannya dan meniupnya pelan, kemudian ditempelkan di telinganya berulangkali. Mansingh terkekeh melihat tingkah gadis itu.
“Apa hubungannya Beb, telinga berdenging dengan uang 600 juta?”
“Entahlah Bang, rasanya telingaku agak sensitif kalau mendengar uang banyak. Tapi aku bukan matre loh Bang. Cuma suka aja.” Kembali Mansingh terkekeh. Disentilnya dahi Nadia dengan pelan.
“Itu sama aja Beb. Beda di istilah doang.” Nadia nyengir.
“Gitu ya?” ucap Nadia berlagak tidak mengerti, “tapi aku salut sama Bang Bos, dia mau menanggung semua hutang ayahnya Jodha demi cintanya.” Mansingh mengangguk.
“Makanya jangan bilang dia playboy lagi ya.” Nadia terkekeh, “Dia sekarang sudah tobat. Dia benar-benar jatuh cinta sama Jodha, bahkan sampai rela melakukan apa saja kalau seandainya Papanya tidak mau membantunya.” Mulut dan mata Nadia membulat mendengarnya.
“Contohnya apa tuh Bang?” Mansingh mengangkat bahunya.
“Entahlah. Abang juga tidak tahu.”
“Menggadaikan diri kali dia, kalau seandainya nggak diberi uang sama Papanya.” Sahut Nadia sambil terkekeh.
“Ngawur aja. Tapi, apa iya kalau digadaikan harga Bos bisa sampai 600 juta ya?” ucap Mansingh sambil mengelus dagunya. Ketawa Nadia semakin keras.
“Bisa aja kali Bang. Tapi yang mau adalah tante-tante penyuka brondong tuh. Jangankan 600 juta, satu M-ber pun mereka mau kalau sudah cinta buta sama Bang Bos.” Keduanya kembali tertawa bersama menertawai ucapan mereka sendiri.
“Tapi, aku salut deh sama Bang Bos. Ya ampun Jo, kamu kok beruntung banget ya dapat laki-laki yang mau berkorban untukmu. Aku bisa kayak kamu nggak ya Jo?” kata Nadia setengah menghayal, matanya melihat pemilik kantin yang mondar-mandir membersihkan bekas pembeli. Mansingh cemberut mendengarnya.
“Oh, jadi kamu nggak lihat ketulusanku ya Beb? Kamu nggak pernah menganggap cintaku karena tidak pernah berkorban untukmu?” ucap Mansingh memalingkan wajahnya ke arah lain. Nadia tertawa cekikikan melihat Mansingh merajuk. Perlahan dia mengeluarkan ponselnya dan “cekrek” dia mengambil foto Mansingh yang sedang menoleh ke arah lain dengan wajah cemberut.
Mansingh terkejut ketika mendapatkan kilatan blitz kamera ponsel Nadia kearahnya. Dia menoleh ke arah Nadia yang cengengesan melihat hasil fotonya tadi.
“Apa yang kamu lakukan Beb?” Nadia mengendikkan bahunya, masih dengan cengiran yang tidak hilang dari bibirnya.
“Nggak ada. Cuma pengen mengabadikan seseorang yang sedang merajuk karena dibandingin sama orang lain aja. Padahal nggak ada niat mau ngebandingin. Dianya aja yang terlalu sensitif.” Sahut Nadia tanpa menoleh ke arah Mansingh. Tangannya masih mengotak-atik ponselnya. Mansingh tersenyum. Dia sebenarnya pura-pura saja merajuk, walaupun ada sedikit rasa cemburu dihatinya ketika mendengar ucapan Nadia. Namun dia tidak bisa marah.
Dirangkulnya bahu gadis itu tanpa ada perlawanan dari Nadia. Mansingh juga tahu kalau gadis itu juga tidak marah.
“Maaf ya Beb, Abang nggak merajuk kok. Yah, Abang akui kalau Abang sedikit cemburu ketika kamu ngomong seperti itu. Abang memang nggak se-kaya dan tidak se-tampan Bos, tapikan Abang punya cinta dan ketulusan buat kamu.”
“Kayaknya aku ketularan Jodha nih.” Ucap Nadia memijat pelipisnya.
“Kamu kenapa Beb? pusing?” Nadia mengangguk.
“Iya Bang, mendadak pusing nih pas dengar gombalan barusan. Abang dengar nggak itu suara siapa?” kata Nadia terkekeh, Mansingh mendecak.
“Kamu ini ya, Abang sudah serius kirain beneran. Ternyata cuma becanda saja.” Kata Mansingh mencolek hidung Nadia. Gadis itu tertawa kencang.
“Habisnya nggak Bang Bos, nggak Abang, semua omongannya nggak pernah ketinggalan yang namanya kata gombal.” Mansingh terkekeh.
“Sudah jadi ciri khasnya spesies kami kali Beb, suka nggak suka, mau nggak mau, ya memang begitu adanya. Padahal itu tadi hanya kata hatiku yang sesungguhnya kok Beb.” Nadia tertawa kecil. “Bukannya perempuan itu suka yang namanya di gombalin?” Nadia menggeleng keras, jari telunjuknya  di goyangkan berulangkali didepan wajahnya.
“No, no, Bang. Aku dan Jodha pengecualian ya. Jangan pernah samakan kami dengan yang lain.” Mansingh tersenyum.
“Iya Bebeb sayang. Abang nggak akan pernah menyamakan kamu dengan lain. Kamu gadis kecil Abang yang usil, selalu bikin Abang nggak bisa jauh dari yang namanya kangen. Tau nggak?” Nadia mengerucutkan bibirnya dan menggembungkan pipinya sebentar. Membuat Mansingh mencubit kedua pipinya dengan gemas. Nadia terkekeh lagi.
“Iya tau Bang, sudah deh. Kita balik ke kamar aja ya. Aku ngantuk.”
“Oke Beb. Ayo.”
Mereka berdua beranjak dari duduknya dan membayar minuman, setelah itu kembali ke kamar dimana Jodha menginap. Tangan Mansingh merangkul bahu Nadia. Kali ini dia tidak lagi menolak, dia hanya tersenyum dan terus melangkah.

***
Pagi-pagi sekali, sebelum Jodha dan Nadia bangun. Jalal pulang kerumahnya. Dia berpesan kepada Mansingh kalau dia akan pulang sebentar kerumahnya dan ingin berbicara kepada Papanya seperti rencananya tadi malam.
Bi Ijah terkejut ketika membukakan pintu untuk majikan mudanya itu.
“Tuan kok datang pagi-pagi sekali?” Jalal tertawa.
“Iya Bi. Ada urusan penting. Papa sama Mama ada nggak Bi?”
“Oh, ada Tuan. Tapi, masih di kamar sepertinya.”
“Gitu ya? Iya deh, kalau gitu saya mau kekamar dulu. Mau mandi sama ganti pakaian.”
“Iya Tuan. Apa perlu Bibi bikinkan sarapan?” tanya Bi Ijah lagi. Jalal yang baru saja akan melangkah ke kamarnya mengurungkan niatnya. Dia berpikir sejenak.
“Hm, bikinkan kopi saja Bi. Seperti biasa ya.” Bi Ijah mengangguk.
“Oh ya Tuan, bagaimana kabar Jodha? Apa sudah sehat?” Jalal  tersenyum.
“Sudah baikan Bi, nanti sore juga sudah boleh pulang.” Bi Ijah terlihat gembira.
“Syukurlah Tuan. Bibi senang mendengarnya.”
“Iya Bi. Tapi tolong nanti dia jangan diberikan kerjaan yang berat dulu ya, biar sembuh dulu lukanya.” Bi Ijah kembali mengangguk.
“Iya Tuan.”
“Ya sudah, aku mau kekamar dulu ya Bi. Bilang sama Papa dan Mama kalau aku datang.”
“Iya Tuan.”
Jalal pun berlalu dari hadapan Bi Ijah menuju kamarnya. Sudah beberapa malam ini dia tidak tidur dikamarnya. Namun dia tidak menyesal karena biarpun dia tidur dirumah sakit dan tidak bebas, tetapi dia bisa tidur bareng Inemnya. Sesuatu hal yang tidak di duganya. Kapan lagi bisa tidur bareng, meskipun ada Mansingh dan Nadia.
Setelah mandi dan berpakaian rapi, Jalal turun dari kamarnya menuju meja makan. Disana sudah menunggu kedua orang tuanya yang akan sarapan. Bu Hamidah terlihat sedikit terkejut melihat anaknya sudah berada di rumah pagi-pagi.
Jalal mencium kedua tangan orang tuanya dan duduk di kursi yang ada dihadapan mereka seperti biasa, hanya kurang satu orang yang biasanya selalu menemani mereka sarapan. Dan sekarang masih berada di rumah sakit.
“Tumben kamu datang pagi-pagi sayang?” tanya Bu Hamidah, Jalal tersenyum dan menyesap kopinya perlahan, “ bagaimana keadaan Jodha sekarang?”
“Sudah membaik Ma, dan kata dokter sore ini sudah bisa pulang.”
“Syukurlah kalau begitu. Mama ikut senang mendengarnya. Sepi rumah nggak ada dia.”
“Iya Ma.”
“Bagaimana Jalal, apa ada kabar dari Bayu tentang pelaku penembakan itu?” tanya Pak Humayun. Jalal menggeleng.
“Kalau itu belum ada Pa, tapi...” ucapan Jalal terputus, kata-kata yang ingin dia keluarkan itu sepertinya tertahan di tenggorokannya. Papa dan Mamanya menatapnya dengan tanda tanya.
“Tapi apa sayang?” tanya Mamanya. Jalal menghela nafas panjang, dia berusaha mengumpulkan semua keberaniannya untuk mengatakan maksudnya kepada kedua orang tuanya. Dia harus bisa, dan dia harus berani.
“Pa, Ma, aku mau mengatakan sesuatu,...” ucap Jalal dengan sedikit gugup.
“Kamu mau ngomong apa sayang? Bilang saja, nggak usah takut. Ada apa?” kata Bu Hamidah dengan lembut.
“Sebenarnya Ma, Pa, tadi malam aku, Bang Bayu, Bang Todar, dan Man, mendatangi tempat dimana ayahnya Jodha terlibat hutang. Karena kami curiga kalau merekalah pelaku penembakan itu...,” ujar Jalal menahan nafas.
“Lalu?”
Jalal menceritakan semua kejadian di tempat Adam dan semua pembicaraan mereka. Kedua orang tuanya saling pandang, tetapi mereka hanya diam saja menunggu Jalal selesai bercerita.
“Selanjutnya apa yang akan kamu lakukan Jalal?” tanya Papanya. Jalal menelan ludah dengan susah payah.
“Aku ingin membantunya Pa,...”
“Dengan membayarkan semua hutang ayahnya itu?” Jalal mengangguk.
“Iya Pa.” Jawabnya sambil menunduk. Ternyata berat juga memperjuangkan tujuannya, bahkan bicara dengan orang tuanya saja membuatnya ketar-ketir tidak karuan, apalagi dengan orang lain.
“Apa kamu yakin apa yang kamu lakukan itu?” Jalal terdiam, “Kamu tahu, itu bukan jumlah yang sedikit Jalal. Untuk orang biasa, itu jumlah yang sangat fantastis sekali. Orang bisa beli rumah mewah, bisa jalan-jalan keluar negeri sekalipun, bahkan bisa untuk hidup beberapa tahun tanpa bekerja. Papa bukannya tidak mau membantu, tetapi uang itu bukan untuk sumbangan bantuan sosial, ataupun yayasan amal lainnya yang pasti bermanfaat dan dinikmati oleh orang banyak. Tetapi ini untuk membayarkan hutang orang yang hanya bisa menghabiskan uang di meja judi dan bermabuk-mabukan. Apa yang membuatmu ingin membantu Jodha membayarkan hutang ayahnya yang begitu besar?” tanya Pak Humayun menatap Jalal dengan sorot mata yang lembut namun tegas. Jalal mengangkat wajahnya dan menatap papanya.
“Iya Pa, aku tahu kalau itu jumlah yang sangat besar. Sangat besar mungkin untuk ukuran keluarganya Jodha, dan juga untukku. Tapi, aku nggak tega Pa melihat Jodha begitu terpuruk jika mendengar semua ini, ditambah lagi jika ayahnya tidak bisa membayar semua hutang itu, maka Jodhalah yang akan jadi pengganti semua hutang ayahnya.” Kembali kedua orang tuanya saling pandang.
“Terus, apa hubungannya denganmu jika Jodha menjadi pengganti hutang ayahnya?” tanya Pak Humayun dengan tenang. Namun tidak dengan Jalal, wajahnya mengeras. Rasa amarahnya ingin keluar ketika disinggung Jodha sebagai pengganti hutang ayahnya. Tetapi dia berusaha untuk menahan semua emosinya, dia harus bersikap tenang dan berpikir jernih. Siapa tahu papanya hanya ingin mengujinya saja.
“Pa, Ma, sejujurnya aku mencintai Jodha. Dia gadis baik, polos, tidak pernah bertingkah macam-macam, bahkan dia bukan tipe orang yang suka dengan kemewahan sebagaimana umumnya perempuan yang sering aku kencani dulu. Karena itu aku tidak rela kalau dia harus menanggung semua beban yang tidak bisa dia pikul sendiri. Aku akan merasa sangat jahat sekali Pa, Ma, jika membiarkan semua itu terjadi.” Jawab Jalal dengan berani. Entah kenapa kali ini, rasanya ucapan itu keluar dengan mudahnya dari mulutnya. Mungkin emosi dan rasa takut kehilangan gadis yang dicintainya itu, membuatnya begitu berani bicara dengan kedua orang tuanya, “aku mohon Pa, kali ini saja. Aku akan melakukan apapun yang Papa inginkan, asalkan Papa mau membantu Jodha.”
Kedua orang tuanya kembali saling pandang. Kali ini agak lama. Jalal menunggu jawaban keduanya dan menatap kedua orang tuanya dengan sabar. Pak Humayun menghela nafas panjang, sebelum akhirnya dia bicara.
“Baiklah, kali ini Papa akan membantu Jodha.” Wajah Jalal berseri mendengar ucapan Papanya, “tetapi ada syaratnya.”
“Iya Pa. Apapun syaratnya akan aku lakukan. Asalkan Jodha tidak terjatuh dalam cengkraman laki-laki brengsek itu.” Sahut Jalal dengan gembira.
“Jangan senang dulu, kamu bahkan belum tahu apa syarat dari Papa.” Jalal memasang wajah serius kali ini, “sedalam apa kamu mencintai gadis itu? Sampai kamu rela melakukan apapun untuk membantunya. Apa kamu kali ini tidak berniat main-main saja?” tanya papanya lagi. Jalal menggeleng yakin.
“Aku tidak tahu sedalam apa aku mencintainya Pa, yang aku tahu dia bisa memahamiku dan mampu mengubah sikapku yang selama ini selalu bersikap kekanakan tanpa dia bermaksud menggurui. Aku bahkan merasa nyaman dengannya, dia tidak pernah terpesona kepadaku hanya karena wajah dan harta saja, dia juga gadis yang pertama kali menolakku ketika aku mengatakan cinta kepadanya.” Sahut Jalal dengan wajah sedikit memerah karena malu. Kedua orang tuanya tersenyum melihatnya.
“Baiklah. Jika memang tekadmu sudah bulat. Tetapi asal kamu tahu, akan selalu ada harga yang harus kamu bayar dengan semua ini. Semua bantuan Papa tidak gratis. Karena kamu yang meminta Papa untuk membantu Jodha, maka kamu juga yang harus melaksanakan semua syarat dari Papa. Bagaimana? Kamu siap menerima syaratnya?” tanya Pak Humayun meyakinkan. Jalal mengangguk.
“Iya Pa. Aku siap. Apapun itu syaratnya. Asalkan Papa tidak memintaku untuk melupakan Jodha saja.”
“Baik. Syaratnya adalah kamu akan Papa kirim ke Magelang untuk mengikuti pelatihan dan pembinaan di akademi militer disana selama enam bulan, tanpa boleh pulang sekalipun. Tidak boleh membawa semua peralatan komunikasi dan elektronik yang kamu punya selama mengikuti pelatihan. Karena kamu akan di karantina selama disana. Bagaimana? Sanggup?”
Jalal terhenyak mendengar semua syarat dari papanya. Tidak kepikiran sama sekali kalau itu syarat yang akan dia jalani. Sungguh berat. Apalagi dia tidak boleh pulang sekalipun, bahkan untuk berkomunikasi saja tidak boleh. Bagaimana ini? Berkali-kali Jalal menghembuskan nafas, memikirkan dia harus berpisah dengan Inemnya dengan rentang waktu yang lama. Sanggupkah dia bertahan?
Tetapi bagaimana pun juga, itu ada syarat mutlak dari papanya. Papanya benar, semua tidak gratis. Akan ada harga disetiap keputusan, dan akan ada konsekuensi dan resiko dalam setiap tindakan. Semua butuh pengorbanan. Dan dia, siap tidak siap, mau tidak mau harus menerima semua syarat itu. Dengan mantap dia mengangguk dan menyanggupi semua persyaratan dari papanya.
“Iya Pa. Aku siap.” Papanya tersenyum, hanya mamanya saja yang terlihat sedikit sedih, karena akan berpisah cukup lama dengan anak kesayangannya itu.
“Bagus. Itu yang jawaban Papa tunggu darimu.”
“Kapan aku berangkat Pa?”
“Secepatnya. Nanti biar Bayu yang akan mengantarmu kesana. Kamu bisa mengajak kedua temanmu ikut kesana juga. Biar kalian bisa menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Dan Papa harap kamu tidak merasa terpaksa melakukan semua ini, karena untuk kebaikan kamu sendiri. Jangan sepenuhnya berniat karena cintamu kepada Jodha saja, yang membuatmu bersemangat untuk mengikuti syarat dari Papa, tetapi lebih kepada dirimu sendiri Jalal. Karena bila niatmu hanya karena cinta, jika suatu saat kamu  kehilangan cintamu, kamu akan kembali menjadi pribadi yang dulu lagi. Tetapi jika niatmu ingin berubah karena dirimu sendiri, maka kamu akan menjadi seseorang yang kuat, tegas, dan tidak gampang menyerah. Papa berharap banyak kepadamu kali ini. Jadi, jangan sia-siakan syarat yang Papa berikan kepadamu.” Jalal mengangguk.
“Iya Pa. Aku mengerti.” Jalal menghembuskan nafas. Inilah yang harus dia jalani. Mungkin inilah jalan terbaik yang harus dia dan Inem hadapi.


===TBC===

Tidak ada komentar:

Posting Komentar