Met malem, Inem
datang lagi nih. Maaf ya sudah absen lama. Part kali ini buat bersenang-senang
saja dulu ya. Lagi belum bisa mikir yang berat-berat nih. Semoga bisa
menghibur, setidaknya bikin senyum sedikit. Hehehe... Semoga nggak garing ya.
========0000======
Keesokan
harinya, pagi-pagi Jalal sudah mendatangi apartemen sahabatnya. Demi melakukan
janjinya kepada Inemnya. Dalam hati kecilnya, dia tidak bersungguh-sungguh
marah kepada Surya. Bagaimanapun, mereka selama ini sudah bagaikan saudara. Dan
mereka berdua, Mansingh dan Surya adalah sahabat paling setia yang dia punya,
yang mau menerima dirinya apa adanya. Adalah sangat naif bila dia hanya
mementingkan egonya sendiri.
Iya, kekasihnya
benar, hak Surya untuk menentukan dengan siapa dia berhubungan. Mereka saja
tidak protes ketika dia berulangkali mengatakan kalau gadis yang mampu mengisi
hatinya adalah Jodha, dan malah mereka yang selalu bersemangat mendorongnya
agar segera mengutarakan cintanya kepada Jodha. Kali ini, Jalal akan meminta
maaf kepada Surya dan meluruskan permasalahannya.
“Loh, Bos. Kok
sudah datang pagi-pagi sekali sih?” kata Mansingh ketika membukakan pintu untuk
Jalal. Wajahnya masih mengantuk.
“Iya Man, aku
pengen ngomong sesuatu sama kamu.” Sahut Jalal langsung duduk di sofa. Mansingh
menatapnya heran.
“Ada apa sih
Bos? Kok sepertinya serius sekali?”
Mansingh duduk dihadapan Jalal. Namun, pemuda itu tidak langsung bicara,
hanya menatap sahabatnya dengan nanar, “kenapa? Kok diam?” Jalal mendengus.
“Itu muka di
cuci dulu kenapa? Nggak enak banget cerita dengan pendengar masih ngambang dari
alam sebelah.” Sindir Jalal. Mansingh terkekeh.
“Siapa suruh
datang tanpa pemberitahuan. Mana aku sempat cuci muka.” Sahut Mansingh seraya
masuk ke kamarnya untuk mencuci muka. Setelah selesai dia membuatkan kopi
untuknya dan Jalal.
“Sekarang
cerita, ada apa sih? Nggak biasanya begini.” Kata Mansingh meletakkan dua
cangkir kopi dimeja. Jalal segera menyambutnya dan menyesap sebentar.
“Man, aku mau
nanya pendapat kamu tentang Surya?” dahi Mansingh berkerut.
“Surya?” Jalal
mengangguk, “ada apa dengan Surya, Bos?” Jalal menghela nafas. Mansingh semakin
penasaran, “ada apa sih Bos? Jangan bikin penasaran nih.”
“Hm...Surya ada
disebelah nggak Man?” Mansingh berpikir sejenak.
“Sepertinya
tidak ada ada Bos. Dari kita datang kemarin rasanya aku belum melihat Surya?
Kenapa sih Bos? Bos bertengkar dengannya?” tebak Mansingh. Jalal mengangguk,
“hah? Kapan? Kenapa?” kejar Mansingh dengan tidak sabar. Jalal menceritakan pertemuan
mereka tadi malam. Mansingh mendengarkan dengan mulut ternganga. Sungguh itu
diluar dugaannya sama sekali.
“Begitu Man.
Aku tidak tahu harus bagaimana? Jujur, aku masih belum bisa memaafkan perlakuan
Adam dan adiknya itu. Tapi Inem berbeda. Dengan mudah dia memaafkan mereka. Bahkan
memintaku untuk memaafkan mereka juga.” Keluh Jalal sambil mengusap wajahnya,
membuat Mansingh terkekeh mendengarnya.
“Jodha memang
gadis yang berbeda Bos. Bersyukurlah, karena Bos mendapatkan gadis yang berhati
baik. Tidak semua orang sanggup berbuat seperti itu.”
“Lalu aku harus
bagaimana sekarang Man? Apa aku harus minta maaf kepada Surya?” Mansingh
terdiam sesaat.
“Hm... begini
Bos. Ini menurut pendapatku sih. Lebih baik mungkin apa yang dikatakan Jodha
itu benar. Kita hormati keputusan Surya untuk membantu Ruqaiyah. Tidak ada
salahnya kita beri dia kesempatan untuk memperbaiki diri. Mungkin memang benar
dia mau berubah. Lagian, apa Bos nggak kasihan melihat teman kita itu jomblo
terus.” Ujar Mansingh sambil terkekeh.
Jalal ikut tertawa lebar.
“Yah, kasihan
sih Man. Tapi... ya sudahlah. Kamu benar. Kita memang harus memberinya
kesempatan.” Mansingh mengangguk.
“Iya Bos.
Mungkin memang harus begitu.”
“Ya sudah kalau
begitu, ayo Man kita kerumahnya Surya. Biar kita selesaikan permasalahan ini.”
Ajak Jalal dengan bersemangat.
“Sekarang Bos?”
Jalal mendelik.
“Tahun depan.”
Mansingh terkekeh.
“Ya elah Bos,
gitu aja sewot. Sabar dikit napa?”
“Habisnya, kamu
juga sih. Aku ini lagi serius Man.”
“Iya...iya. tunggu
sebentar, aku mandi dulu.” Kata Mansingh sambil berdiri menuju kamarnya.
“Oke. Jangan
lama-lama.” Seru Jalal.
“Beres.” Sahut
Mansingh dari dalam kamar.
Selesai mandi,
Jalal mengajak Mansingh kerumahnya untuk menjemput Jodha. Mansingh pun merasa
heran, kenapa harus menjemput Jodha segala?
“Kok jemput
Jodha sih Bos?” tanyanya heran. Jalal tersenyum.
“Tidak apa-apa
Man, hanya saja ketika aku bersamanya dia bisa meredam segala kemarahanku yang
terkadang membuat kau lupa diri.”
“Kalau gitu,
aku jemput Bebebku yah Bos.” Jalal mencibir.
“Kamu ini Man,
maunya ngikut terus.”
“Ya biarin lah.
Masa aku jadi obat nyamuk lagi? Ogah!” Jalal terkekeh.
“Ya sudah sana
jemput. Aku duluan ajalah. Aku tunggu dirumah ya.”
“Oke.” Sahut
Mansingh dengan gembira. Ada satu alasan lagi biar dia bertemu dengan pujaan
hatinya itu. Gadis kecilnya yang usil.
Mereka berdua
pun berpisah. Jalal pulang kerumahnya, sedangkan Mansingh menjemput Nadia.
Dengan langkah
ringan Jalal memasuki rumahnya, dan menuju dapur dimana biasanya Inemnya
berada. Namun yang dia temui hanya Bi Ijah saja yang sedang sibuk berberes.
“Bi, Inem
mana?” tanya Jalal menghampiri Bi Ijah. Wanita tersebut menghentikan
kegiatannya dan berpikir sebentar.
“Sepertinya
tadi dibelakang Tuan, sedang nyapu taman. Tuan coba cari saja disana.”
“Iya Bi.”
Bergegas Jalal dengan setengah berlari mencari Inemnya dibelakang, sosok yang
dicarinya sedang berdiri mematung menghadap kebelakang sambil memeluk sapu.
Jalal tersenyum. Dengan berjingkat dia menghampiri gadis itu dan menutup kedua
matanya dengan tangannya dari belakang. Jodha tersentak kaget.
“Tu...Tuan?”
Jalal mendengus, Jodha tertawa. Kedua tangannya memegang kedua tangan Jalal
yang menutup matanya bermaksud untuk melepaskan tangan itu. Namun Jalal
bersikeras tidak mau melepaskannya.
“Bilang Sayang
dulu, baru aku lepaskan.” Tawar Jalal sambil memeluknya dari belakang. Kembali
Jodha terkekeh.
“Sayang,
lepasin dong tangannya. Aku nggak bisa ngelihat nih.” Ucap Jodha setengah
tertawa. Jalal ikut tertawa namun tanpa suara.
“Yang ikhlas
dong Yang ngomongnya, jangan merasa terpaksa begitu biar tambah romantis.”
Pinta Jalal lagi, Jodha mencebikkan bibirnya.
“Ish, cerewet
banget sih? Ini aja sudah bagus bisa ngomong kayak gini.” Gerutu Jodha membuat
Jalal tersenyum lebar mendengarnya. Akhirnya dia pun melepaskan juga tangannya
yang menutup mata gadis itu. Dengan cepat Jodha berbalik ingin menghadap Jalal
yang berada di belakangnya.
“Hai Sayang,
pagi-pagi kok melamun aja sih? Ngelamunin apa?” goda Jalal ketika Jodha
berbalik sudah menghadapnya. Jodha mengerucutkan bibirnya.
“Aku nggak ngelamun
kok.” Elaknya. Jalal menaikkan sebelah alisnya.
“Masa?” Jodha
mengangguk, “lalu berdiri sambil mengheningkan cipta tadi apa?” Jodha memukul
lengan Jalal pelan sambil cemberut, membuat Jalal kembali terkekeh.
“Siapa juga
yang mengheningkan cipta? Emang siapa yang mati?” Jalal tergelak mendengarnya.
“Yah, kali aja
begitu. Habisnya kok persis mirip banget. Hahaha...” Jodha menoleh kembali ke
objek yang dilihatnya tadi.
“Nggak kok. Itu
aku lagi lihat burung yang ada dipohon itu. Sepertinya anaknya masih kecil, burung
yang jantan mencari makan untuk anak burung dan juga burung yang betina. Melihatnya
membuatku terharu, sepertinya burung yang jantan begitu semangat mencari rejeki
untuk mereka.” Ucap Jodha setengah melamun. Jalal tersenyum. Dipeluknya tubuh Jodha
dari belakang. Kedua tangannya memegang kedua tangan gadis itu.
“Begitu juga
nanti dengan kita sayang, kamulah, dan anak-anak kita kelak adalah tempat
untukku pulang. Setelah membawa lelah mencari rejeki diluar, kamulah obat
lelahku, Nem.” Jodha tersipu.
“Selalu
gombal.” Ucap Jodha tertawa sambil menepuk pipi Jalal dari depan. Jalal
cemberut.
“Kamu ini Nem,
selalu saja tidak pernah mau menerima kata-kataku.”
“Aku hanya
takut.”
“Takut kenapa
Sayang?”
“Takut hatiku
rontok kalau mendengar ucapanmu setiap hari, dan takut tidak bisa bangun lagi
dari mimpi indah karena kata-katamu.” Sahut Jodha sambil tertawa. Jalal
memencet hidung Jodha dengan gemes.
“Nggak masalah
kalau nggak bisa bangun dari mimpi indah, asal jangan ketika bangun kamu nggak
kenal sama aku lagi.” Jodha terkekeh lagi.
“Takut banget
aku nggak kenal sama kamu lagi Tuan?” ejek Jodha. Jalal sudah mau menyahut
ketika mendengar suara cempreng. Siapa lagi musuh bebuyutannya. Nadia. Datang
bersama Mansingh.
“Burung gelatik
siburung bawel, eeh... ada cewek cantik dipeluk cowok gatel.” Mansingh dan
Jodha tertawa mendengar pantun Nadia. “Haduuuhhh, pagi-pagi sudah
peluk-pelukkan. Woi, Bang Bos sadar. Belum muhrim tau.” Ucapnya sambil duduk di
gazebo, di susul Mansingh yang tersenyum lebar mendengar ucapan kekasihnya itu.
Jodha melepaskan pelukan Jalal yang cemberut karena kesenangannya di ganggu.
“Ganggu aja.”
Kata Jalal menyentil kening Nadia. Nadia meringis sambil mengusap-usap
keningnya, namun kemudian dia tertawa.
“Sabar Bang
Bos, sebentar lagi kok. Bisa dipeluk sepuasnya tujuh hari tujuh malam.
Hahahaha...” ledek Nadia. Jodha duduk disampingnya, “ada apa nih
manggil-manggil aku kemari? Nggak tau apa jadwal lagi padat, artis mau tampil.”
“Bisa diem
nggak bawel?” ucap Jalal sambil melotot, namun gadis itu seperti biasa hanya
terkekeh.
“Ada apa ini?
Kok Nadia sama Man juga ngumpul disini?” tanya Jodha. Jalal dan Mansingh saling
pandang, sebelum akhirnya Jalal menceritakan maksud mereka berdua. Nadia nampak
kaget, namun Jodha tersenyum.
“Apa Jo? Kamu
dengan mudah memaafkan mereka berdua? Tidak salah? Kamu sehatkan?” ucap Nadia
menempelkan punggung tangannya di kening Jodha, membuat gadis itu mengelak dari
tangan Nadia.
“Aku masih
sehat Nad. Seratus persen.”
“Tapi kenapa
segitu mudahnya kamu memaafkan mereka hah? Apa semua yang telah mereka lakukan
sama kamu itu nggak ada rasanya sama sekali terhadapmu?” tanya Nadia dengan
berkacak pinggang dan memasang raut wajah jengkel. Jodha masih tersenyum
menanggapinya. Dia maklum atas reaksi Nadia.
“Sudahlah Nad,
nggak usah diperpanjang lagi. Lagian apa enaknya sih hidup penuh dengan
kebencian? Mereka berdua sekarang sudah memetik hasilnya. Jadi ya, lupakan saja
ya.” Kata Jodha memeluk bahu Nadia. Gadis itu hanya mendengus sebal mendengar
ucapan Jodha.
“Ya terserah
kamu aja Jo, aku nggak bisa ngikutin cara berpikirmu itu.” Ucap Nadia dengan
pasrah, dia sudah tahu bagaimana sifat saudara angkatnya itu dan kemudian
berpaling kepada Jalal yang sedari tadi hanya memandang mereka berdua, “terus
kita mau ngapain sekarang Bang Bos?” Jalal menghela nafas.
“Aku mau ngajak
kalian kerumah Surya sekarang. Ya, sekalian meluruskan permasalahan ini.” Nadia
menoleh ke arah Jodha.
“Gimana Jo?
Mau?” Jodha mengangguk antusias.
“Aku mau. Ayo,
lebih cepat lebih baik.” Sahut Jodha dengan bersemangat. Jalal sampai
menggeleng melihatnya. Akhirnya mereka berempat pun pamit dengan orang tua
Jalal.
“Jangan pulang
sore ya Sayang.” Pesan Bu Hamidah kepada Jalal.
“Kenapa Ma?”
tanya Jalal dengan heran. Bu Hamidah tersenyum.
“Mama mau
ngajak Jodha sama kamu fitting baju pengantin nanti.”
“Iya Ma.”
“Waaahhh, aku
ikut ya Tan.” Kata Nadia mengajukan diri. Jalal cemberut.
“Nggak boleh.
Mengganggu saja.” Nadia mengerucutkan bibirnya.
“Ih, Bang Bos
selalu gitu deh. Aku kan maksudnya baik Bang, siapa tahu pendapatku bisa
berguna.” Gerutu Nadia. Bu Hamidah tersenyum. Dia mendekati Nadia dan
memeluknya.
“Kamu boleh
ikut kok Nad. Jangan dengerin Jalal. Sekalian nanti kita kesalon ya.” Wajah
Nadia nampak sumringah.
“Bener Tante?”
Bu Hamidah mengangguk, “ asyik. Iya Tan. Aku mau.” Ucapnya dengan kegirangan,
dia menoleh ke arah Jalal yang cemberut mendengar ucapan mamanya, “tuh kan,
emang Bang Bos aja yang pelit. Kok beda ya, mama sama anaknya. Lebih ramah
mamanya daripada anaknya, mana nggak bawel lagi. Hahahaha...” ejek Nadia kepada
Jalal.
“Kamu...”
ucapan Jalal terhenti ketika Jodha memegang tangannya.
“Sudah Sayang,
gitu aja dilawan. Ayo kita berangkat, nanti keburu siang.” Lerai Jodha, Jalal
mengangguk meski tidak puas. Nadia tertawa mengejek.
“Hadeh, sudah
ketemu pawangnya cepet banget nurutnya.” Bu Hamidah terkekeh. Mansingh
menggeleng melihat kelakuan gadisnya itu kalau sudah bertengkar dengan Jalal.
“Sudah Beb, nggak
enak sama Tante tuh.” Kata Mansingh memeluk leher gadis itu, Nadia tertawa.
“Iya deh Bang,
kasihan juga Bang Bos mau kawin aja masih diledekin. Hahaha...” Mansingh ikut
tertawa, “Tante, kami berangkat dulu ya. ” pamit Nadia kepada mamanya Jalal. Bu
Hamidah mengangguk.
“Iya hati-hati
ya Nad.” Kata Bu Hamidah melambaikan tangannya.
“Ma, berangkat
dulu ya.” Kata Jodha pamit dengan calon mertuanya. Begitu juga dengan Jalal dan
Mansingh.
“Iya sayang.
Hati-hati ya.”
“Iya Ma.”
Mereka berempat
pun berangkat kerumah Surya. Pemuda itu terkejut ketika kedua sahabatnya datang
bersama Jodha dan Nadia. Namun, mereka berempat juga terkejut ketika tahu
kenyataannya kalau Ruqaiyah tinggal dirumah Surya.
Melihat kedua
orang tua Surya yang nampak begitu sayang kepada Ruqaiyah, membuat Jalal mulai berpikir untuk menerima kehadiran Ruqaiyah di dalam
kehidupan sahabatnya. Iya, Ruqaiyah nampak berbeda sekali dengan yang dia lihat
di kampus selama ini. Tidak ada kesan sombong terlintas di wajahnya dan juga
perilakunya. Bahkan dia terlihat akrab dan bahagia ketika bersama Moti, adiknya
Surya.
“Hai Jo, kok
tumben datang kesini?” tanya Ruqaiyah memeluk Jodha yang juga membalas
pelukannya dengan hangat. Jalal, Mansingh dan Nadia hanya termangu melihat
mereka berdua. Surya tersenyum melihat kedua sahabatnya yang masih tercengang
melihat Jodha dan Ruqaiyah nampak akrab.
Jodha
memperkenalkan Nadia kepada Ruqaiyah. Nadia masih nampak kaku ketika bersalaman
dengan Ruqaiyah, namun perempuan itu memakluminya. Ketika melihat Jalal,
Ruqaiyah menunduk. Masih tersisa rasa segan dihatinya. Dia duduk disamping
Surya dan menoleh ke arah pemuda itu. Surya tersenyum menenangkan kepadanya dan
menggenggam tangannya. Keempat orang tersebut hanya bisa melihat bagaimana
perhatiannya Surya kepada Ruqaiyah.
“Sur, Ruq, aku
minta maaf atas kejadian tadi malam. Maaf juga kalau aku terlalu emosi dan
berkata terlalu kasar kepada kalian.” Kata Jalal dengan tulus. Surya dan
Ruqaiyah saling pandang, namun kemudian Surya tersenyum.
“Sudah tidak
apa-apa Bos, kami maklumi saja. Aku
tahu, tentu tidak mudah menerima kenyataan seperti ini. Tapi, percayalah dia
tidak seburuk yang kita kira.” Wajah
Ruqaiyah memerah mendengar ucapan Surya, dadanya menghangat.
“Iya. Aku tahu
Sur. Tidak seharusnya aku marah kepada orang yang memang tidak bersalah.”
“Tidak apa-apa
Jalal, aku bisa memaklumi hal itu. Aku tahu, perbuatan kakakku memang sudah
kelewatan. Dan, kuharap kakakku akan menyadari segala kesalahannya. Tidak ada
yang bisa aku lakukan, hanya maaf dan maaf saja.” Sahut Ruqaiyah dengan lirih.
“Sudah Ruq,
tidak usah dipikirkan lagi. Mulai sekarang, kamu boleh berteman dengan kami
kalau kamu kesepian. Kan calon suami kita sahabatan, masa calon istrinya tidak
saling kenal.” Gantian Nadia yang menyahut, rupanya dia sudah mulai nyaman
dengan suasana diantara mereka. Jodha mengangguk dan tertawa. Kembali wajah
Ruqaiyah memerah dibilang calon istri Surya. Surya hanya terkekeh melihatnya.
“Iya Ruq, kamu
bisa berteman dengan mereka berdua selain dengan Moti. Pasti akan menyenangkan
sekali.” Kata Surya menyambung ucapan Nadia. Ruqaiyah mengangguk.
“Iya, terima
kasih ya sudah mau menerimaku sebagai teman.” Nadia dan Jodha mengangguk.
Senyum keduanya mengembang tulus. Jalal, Mansingh dan juga Surya menarik nafas
lega. Kini tidak ada ganjalan dihati mereka.
Bagaimana bisa
Ruqaiyah hari ini tidak bahagia? Keinginannya untuk mendapatkan maaf dari Jodha
dan Jalal sudah terpenuhi, bahkan mereka menawarkan pertemanan kepadanya. Ada
rasanya yang lebih dari bahagia menghinggapi dadanya. Dia kehilangan sosok kakaknya, namun dia
mendapatkan lebih dari itu. Keluarga, teman, dan juga seorang kekasih yang baik
hati dan menyayanginya.
Kini
pembicaraan mereka sudah kembali hangat seperti biasa. Nadia dan Jodha juga
sudah akrab dengan Ruqaiyah, ditambah lagi dengan Moti yang sudah terlebih
dahulu akrab dengan Jalal dan Mansingh. Mamanya Surya mengajak mereka makan
siang dirumah, tentu saja Jalal dan Mansingh yang notabene sudah akrab dengan
keluarga Surya menyambut antusias.
Selepas siang
hari mereka berempat pamit pulang, sesuai janji dengan Bu Hamidah. Nadia dan
Jodha mengajak Ruqaiyah ikut dengan mereka. Awalnya perempuan itu menolak,
namun akhirnya dia ikut karena Surya
juga ikut. Jadilah mereka berenam berangkat dimana mamanya Jalal sudah
menunggu.
Jodha nampak canggung
ketika memilih baju pengantin yang akan dipakainya nanti untuk akad nikah dan
resepsi. Bagaimana pun juga rasanya bagaikan mimpi untuknya. Menikah. Sebuah
impian untuk seorang wanita yang paling indah. Senyum tidak berhenti mengembang
dari bibirnya, dia bahkan tanpa sadar kalau sudah diperhatikan oleh Bu Hamidah
dan lainnya.
“Ciee...yang
senyum-senyum kesenangan. Bahagia banget Neng.” Goda Nadia. Jodha tersipu malu.
“Siapa juga
yang senyum kesenengan?” elak Jodha.
“Hah, jadi kamu
nggak senang nikah sama Bang Bos, Jo?”
tanya Nadia melebarkan matanya, “ya ampun Bang Bos, yang sabar ya, ini
calon istrimu tidak bahagia menikah denganmu.” Kata Nadia pura-pura bersedih. Jodha memukul pelan lengannya itu.
“Ih Nad, bukan
itu.” Ucap Jodha salah tingkah, ketika melihat yang lainnya memandangnya.
“Lalu apa?”
“A-aku...”
Jodha semakin salah tingkah, wajahnya memerah, dengan takut-takut dia melirik
Jalal yang masih menatapnya dengan penasaran. Nadia tertawa cekikikan. Bu
Hamidah sampai menggeleng melihatnya.
“Sudah sayang,
nggak usah dipedulikan Nadia. Aku tahu kok kalau kamu sangat bahagia menikah
denganku.” Kata Jalal mendekati Jodha yang masih berdiri mematung karena
diledekin Nadia terus, Jodha mengangguk dan tersenyum malu.
Selesai
melakukan fitting, mamanya Jalal mengajak ketiga gadis tersebut jalan. Jalal
yang ingin mengantar ditolak oleh mamanya.
“Masa nganter
nggak boleh Ma?” protes Jalal. Mamanya menggeleng.
“Maaf sayang,
kali ini Mama ingin menghabiskan waktu bersama mantu-mantu mama. Jadi kalian
bertiga silakan jalan sendiri saja ya. Ingat, jangan diganggu. Oke?”
“Yaah Mama.
Terus kami ngapain dong?” Bu Hamidah mengangkat bahu dengan cuek.
“Ya terserah
kalian. Kaliankan laki-laki dan sudah besar. Masa nanya mama mau main kemana?”
Nadia meleletkan lidahnya melihat ketiga pemuda itu nampak cemberut namun tidak
berani melawan kehendak mamanya Jalal. Sementara Jodha dan Ruqaiyah tertawa geli
melihat ekspresi mereka bertiga.
“Ya sudahlah
kalau begitu Tante. Nggak apa-apa kok.” Sahut Mansingh.
“Nah, bagus kalau
begitu Man. Kalian bertiga mempersiapkan diri saja, dua hari lagi di kantor
Papa akan ada acara ulang tahun perusahaan dan juga pemberitahuan tentang
pernikahan Jalal dan Jodha. Kalian berdua juga harus hadir.” Tunjuk Bu Hamidah
kepada Surya dan Mansingh. Keduanya mengangguk.
“Iya Tante,
siap.”
“Bagus. Kalau
begitu kami pergi dulu ya. Come on ladies,
let’s go.” Ajak Bu Hamidah kepada
ketiga gadis tersebut. Mereka berempat masuk ke mobil Bu Hamidah, dengan Jodha
sebagai supirnya seperti biasa meninggalkan ketiga pemuda itu yang nampak
pasrah dan tidak bisa berbuat apa-apa karena gadis mereka sudah di booking oleh mamanya Jalal.
“Sekarang kita
kemana nih Bos?” tanya Mansingh. Jalal mengangkat bahu.
“Entahlah Man,
aku juga bingung mau kemana. Lagian tumben-tumbennya Mama pakai ngajak mereka
bertiga segala. Kayak anak muda saja.” Gerutu Jalal. Surya dan Mansingh
terkekeh mendengarnya.
“Kalian berdua
enak masih bisa ketemuan kapan saja karena serumah. Lah, aku? Mau ketemu
Bebebku aja susah, harus nyari alasan dulu baru bisa ketemu.” Keluh Mansingh,
“eh, giliran ketemu malah di ajak jalan sama Mamanya Bos.” Jalal menepuk bahu
Mansingh yang wajahnya ditekuk.
“Nggak usah
sedih begitu Man, tenang saja paling juga sampai sore. Ntar malam kita triple
date. Oke?” wajah Mansingh nampak cerah kembali. Surya hanya terkekeh melihat
sahabatnya kembali semangat.
“Iya deh Bos.
Bolehlah. Bagus juga kalau begitu.
Sekarang kita kemana nih?”
“Kita ke dojo Bang Bayu saja lah.
Hitung-hitung kita lama nggak latihan. Gimana?” Kata Jalal mengangkat
kedua alisnya.
“Ayo. Siapa
takut.” Sahut Mansingh, “kamu gimana Sur?” tanya Mansingh kepada Surya yang
hanya senyum-senyum saja.
“Aku nurut
saja.” Sahut Surya.
“Ya sudah kalau
begitu, ayo.” Ketiganya kemudian masuk ke mobil Jalal dan melajukan mobil
tersebut kearah dojo milik
orang tua Bayu dan Nadia, tempat mereka latihan karate bela diri.
Sementara itu,
Bu Hamidah beserta ketiga gadis tersebut mendatangi sebuah salon mewah yang
menjadi langganannya selama ini. Nadia nampak bersemangat sekali, Jodha bersikap biasa saja, sedangkan
Ruqaiyah terlihat agak risih. Meski dulu dia terbiasa mendatangi salon
kecantikan seperti itu, tapi sekarang dia tidak terlihat bersemangat.
“Ayo Sayang
kita masuk.” Ajak Bu Hamidah kepada Jodha dan Ruqaiyah yang masih terlihat
ragu-ragu. Keduanya saling pandang, sedangkan Nadia sudah melenggang duluan.
“Kita ngapain
Ma kesini?” tanya Jodha ragu-ragu.
“Kamu kan mau
jadi pengantin Sayang, jadi kamu harus menjalani perawatan kecantikan biar siap
menghadapi suami nanti.” Sahut Bu Hamidah sambil tersenyum. Wajah Jodha nampak
memerah mendengarnya. Calon mertuanya itu tidak nampak seperti calon mertua,
tapi lebih terlihat seperti orang tuanya sendiri. Tidak ada rasa canggung sama sekali di sikapnya.
Disisi lain, Jodha juga bersyukur mempunyai calon mertua yang baik hati dan
pengertian.
Akhirnya Jodha dan Ruqaiyah pun
mengikuti langkah Bu Hamidah memasuki salon mewah tersebut. Wanita itu memesan
paket lengkap untuk calon pengantin. Dengan perasaan risih akhirnya Jodha pun
mau mengikuti keinginan calon mertuanya. Nadia, Ruqaiyah serta Bu Hamidah hanya
melakukan perawatan biasa saja.
Butuh waktu 4 jam untuk mereka
berada di salon tersebut. Bukan waktu yang sebentar. Apalagi kalau Jalal yang
mengantar, apa tidak ngomel-ngomel saja kerjaannya. Karena itulah, mamanya
melarang mereka bertiga untuk ikut. Mereka bertiga pasti tidak punya kesabaran
selama itu. Dijamin. Hahahaha.....
Selesai dari salon, Bu Hamidah
mengajak mereka bertiga shopping di sebuat pusat perbelanjaan. Benar-benar hari
itu dikuasai oleh mamanya Jalal. Ketiganya mendapat jatah gratis. Tentu saja
yang paling senang adalah Nadia. Sedangkan Jodha dan Ruqaiyah lebih banyak
menerima. Mulai dari baju, sepatu, tas, dan aksesoris lainnya.
“Nah, kalian bertiga ketika acara
ulang tahun perusahaan nanti, semua barang yang Tante kasih dipakai semua ya.
Kita bikin kejutan untuk para lelaki kita.” Kata Bu Hamidah ketika sudah masuk
ke dalam mobil.
“Siap Tante.” Sahut Nadia, “eh, tapi
bagaimana dengan sepatunya Tan? Aku nggak biasa pake highheel begini.” Kata
Nadia memegang sepatu hak tinggi yang dibelikan oleh mamanya Jalal, “boleh pake
sepatu kets aja nggak Tan?” tanyanya polos. Jodha dan Ruqaiyah serentak
tertawa, Bu Hamidah menggeleng.
“Ya ampun Nad, kamu itu mau ke pesta
apa mau latihan karate sih?” tanya Jodha sambil mengeluarkan mobil dari
parkiran. Nadia mencibir.
“Kayak kamu bisa aja Jo?” Jodha
tersenyum kecut. Dia dengan Nadia sama saja. Sama-sama tidak pernah memakai
sepatu hak tinggi.
“Kalau Ruq gimana? Bisa memakai
sepatunya nggak?” tanya Bu Hamidah menoleh ke arah Ruqaiyah. Gadis itu
mengangguk malu-malu.
“Bisa Tan.”
“Nah, kalian berdua belajar dengan
Ruq saja ya setelah kita sampai dirumah.” Mau tidak mau Nadia dan Jodha
mengangguk pasrah, “lagian masa nanti berjalan dengan pasangannya, sepatunya
sepatu kets sih? Kan malu Sayang.” Ucap Bu Hamidah memberi semangat kepada
mereka berdua.
“Iya Ma. Nanti aku akan berusaha
memakainya.” Sahut Jodha sambil fokus pada pandangannya kedepan.
“Iya Tan, aku juga.” Sambung Nadia.
Bu Hamidah tersenyum gembira.
“Bagus. Kalian tidak setiap hari
juga kok memakainya, hanya saat-saat ada acara penting saja. Selebihnya
terserah kalian saja, selama itu masih sopan dan pantas.” Ketiganya
mengangguk, menurut sama calon mertua. Hahahaha...
Sesampainya
dirumah, mereka bertiga diajak Bu Hamidah makan. Selepas makan, mulailah acara
pembekalan untuk Nadia dan Jodha. Bu Hamidah dan Ruqaiyah mengajari keduanya
cara memakai sepatu hak tinggi diruang keluarga. Nadia bahkan sempat menggerutu
karena selalu gagal. Bi Ijah yang menjadi penonton hanya bisa tertawa cekikikan
melihat gerakan kaku keduanya.
“Coba Nad,
kakinya jangan tegang kalau melangkah. Pelan-pelan dulu.” Kata Ruqaiyah sambil
memegang kedua tangan Nadia. Gadis itu mencoba melangkah pelan-pelan dengan
tangan masih dipegang oleh Ruqaiyah. Persis seperti orang yang sedang belajar
ice skating. Hehehe...
Setelah
beberapa saat mencoba, gerakan Nadia melangkah sudah mulai nyaman dan tidak
kaku. Ruqaiyah pun melepaskan pegangan tangannya, namun akibatnya
keseimbangannya tubuh Nadia menjadi goyah, alhasil dia jatuh terduduk. Dia
meringis kesakitan. Ruqaiyah, Bu Hamidah dan Jodha yang masih belajar pun
tertawa melihatnya. Bahkan, Bi Ijah tertawa terbahak-bahak.
“Ya ampun Nad,
kayak gitu ingin menjadi gadis anggun? Nih, pinjamin sendal jepit Bibi aja deh.
Dijamin bisa dibawa lari, atau sekalian buat melempar anjing. Hahaha...” ledek
Bi Ijah. Nadia cemberut sambil bangkit lagi.
“Ih, Bibi mah
gitu. Tertawa di atas penderitaanku. Aku ini lagi belajar anggun Bi, semua
perlu proses. Tante sama Ruq enak saja mereka sudah biasa. Lagian ya, mau
cantik saja kok susah sih? Pake sepatu yang menyakitkan kayak gini? Emang kalau
nggak pake sepatu kayak gini, nggak akan dibilang cantik ya Tan?” ucap Nadia
kembali melangkah sambil bicara, Bu Hamidah tertawa.
“Itu untuk
menunjang penampilan saja Nad, nanti kalau kamu sudah terbiasa akan nyaman kok
sayang.” Hibur Bu Hamidah.
“Rasanya enak
naik enggrang Tan, nggak pake ribet kayak gini. Belum lagi nanti pake gaun.
Haduh, Nadia disuruh pake gaun. O EM JI Tan, kok senang banget menyiksa aku
sih?” kembali Bu Hamidah tertawa.
“Tante nggak
nyiksa kamu sayang, Tante pengen Nadia si gadis tomboy bisa menjadi seorang
gadis yang anggun. Tante jamin, Man pasti pangling melihat kamu.” Nadia
tersipu.
“Masa Tan?” Bu
Hamidah mengangguk. Jodha, Ruqaiyah dan Bi Ijah tersenyum melihat ekpresi Nadia
yang terlihat bersemangat lagi.
“Iya. Tante
yakin itu. Man pasti akan semakin mencintai dan memujamu. Percaya deh sama Tante. Dari pandangannya saja Tante sudah
bisa tau kok.”
“Iya deh Tan,
aku akan berusaha tampil terbaik untuk acara nanti.” Sahut Nadia dengan
bersemangat. Dia kembali melanjutkan latihannya menggunakan sepatu hak tinggi
tersebut. Meski gerakannya masih kaku, dia tidak menyerah. Begitu juga dengan
Jodha. Memang perlu waktu untuk bisa memakai sepatu tersebut dengan lincah.
Nadia melongo kagum melihat Ruqaiyah
berjalan menggunakan highheel seperti yang dipakainya. Tidak nampak kalau Ruqaiyah
terganggu, dia terlihat nyaman sekali.
“Wah, Ruq. Kamu kok bisa sih
berjalan tanpa jatuh? Kamu kayak makai sendal jepit aja tuh, padahalkan haknya
tinggi banget.” Seru Nadia kagum. Ruqaiyah tersenyum. Dia kembali duduk disofa.
“Itu karena aku terbiasa Nad. Kamu
juga bisa kok kalau sering menggunakannya.” Nadia menghela nafas melihat sepatunya
yang masih melekat di kakinya, “tuh Jodha sudah mulai terbiasa kayaknya.”
Tunjuk Ruqaiyah kepada Jodha yang sudah mulai bisa berjalan menggunakan
sepatunya. Nadia tersenyum kecut.
Jodha dan Nadia
kembali belajar menggunakan sepatu hak tinggi tersebut sampai menjelang sore.
Karena kecapekan akhirnya latihannya akan dilanjutin besok harinya dirumah
Nadia untuk dua hari kedepan. Semua sudah direncanakan oleh Bu Hamidah,
termasuk kejutan yang akan diberikan untuk Jalal dan kedua sahabatnya.
“Ya ampun Jo,
kakiku pegal banget.” Kata Nadia memijat-mijat kakinya. Ruqaiyah dan Jodha
tertawa, sedangkan Bu Hamidah sudah masuk ke kamarnya untuk istirahat.
“Sabar Nad,
lama-lama juga hilang kok pegalnya. Lagian kakimu kan baru saja kenalan dengan
sepatu seperti itu.” Sahut Ruqaiyah sambil tersenyum, Jodha tidak bisa menjawab
karena memang kakinya juga pegal. Dia hanya diam saja sambil ikut memijat
kakinya.
“Iya sih Ruq,
yang awalnya itu yang menyakitkan. Eh, emangnya kamu dulu nggak sakit ya ketika
pertama kali memakai sepatu kayak gini?” tanya Nadia antusias kepada Ruqaiyah,
melupakan sejenak kakinya yang pegal. Ruqaiyah nampak berpikir sebentar.
“Hm...aku lupa
Nad, bagaimana rasanya pertama kali memakainya. Hanya saja rasanya ketika aku
melihat orang memakainya kok bagus, ya aku coba dan keterusan aja sampai
sekarang.” Nadia manggut-manggut.
“Begitu ya?
Menurutku sih enakan pake sepatu kets atau sendal jepit tuh. Mau lari kek, mau
jungkir balik kek, enak-enak aja. Kalau sepatu kayak gini, pas terpeleset
memakainya gimana? Apa nggak malu?” Ruqaiyah terkekeh mendengar ucapan Nadia.
“Makanya itu,
latihan dulu biar nggak malu karena terpeleset.” Nadia hanya bisa nyengir sambil menggaruk-garuk
kepalanya.
Jam delapan
malam, Jalal dan kedua sahabatnya datang. Mansingh dan Surya nampak rapi dan
segar karena sebelumnya mereka sudah mandi dan membersihkan diri diapartemen
mereka masing-masing. Hanya Jalal saja yang belum rapi. Rencana ingin ngedate
bareng sepertinya gagal total, karena Nadia dan Jodha kecapekan.
“Ma, mama bawa
mereka kemana aja sih kok kelihatannya capek banget?” protes Jalal kepada
mamanya sehabis dia mandi dan
membersihkan diri. Wajahnya cemberut, kebayang keinginannya ingin
mengajak Inemnya kencan malah tidak jadi. Mansingh dan Surya hanya bisa pasrah.
Apalagi Mansingh melihat gadis usilnya tidak banyak bicara seperti biasa, efek
kecapekan sepertinya.
“Rahasia.”
Sahut Bu Hamidah sambil mengedipkan matanya. Jodha dan Ruqaiyah terkekeh
melihat Jalal dan Mamanya.
“Kok pakai
rahasia segala sih Ma? Emang kita-kita nggak boleh tahu ya?” mamanya menggeleng
sambil tersenyum.
“Nggak boleh.
Ini rahasia perempuan. Laki-laki nggak boleh tahu. Nanti ada saatnya kalian
akan tahu.” Jalal akhirnya hanya bisa menghembuskan nafas panjang. Bagaimanapun
juga dia tidak akan bisa menang melawan mamanya.
“Ya sudahlah,
kita kencan di halaman belakang saja ya Man, Sur?” kata Jalal kepada kedua
sahabatnya. Mereka mengangguk. Bu Hamidah tertawa melihat wajah pasrah anaknya
dan kedua sahabatnya itu.
“Ya sudah sana
Sayang. Lagian enak dirumah kok kencannya, gratis.” Kekeh Bu Hamidah sambil
meninggalkan mereka dan kembali kekamarnya.
Akhirnya kencan
mereka pun hanya dilakukan di halaman belakang rumah Jalal saja. Mereka duduk
di gazebo. Nadia membaringkan kepalanya di paha Mansingh, Ruqaiyah duduk di
samping Surya, sedangkan Jodha dan Jalal membikinkan untuk mereka minuman dan
camilan sekedar teman ngobrol.
“Emang tadi
ngapain aja sih Beb, kok kelihatannya capek banget?” tanya Mansingh masih
penasaran. Nadia terkekeh. Tangannya memainkan tangan Mansingh tanpa rasa malu
kepada Surya dan Ruqaiyah.
“Masih
penasaran ye Bang?” Mansingh mengangguk, “kata Tante Hamidah rahasia Bang, jadi
ya rahasia dong. Nanti juga tahu kok.” Mansingh mendengus. Ruqaiyah tertawa
melihat ekpresi Mansingh, dia tahu Surya pasti juga penasaran. Hanya dia diam
saja, karena bertanya pun percuma.
“Bang.”
“Hm...”
“Aku boleh
nanya nggak?” tanya Nadia.
“Bayar...”
sahut Mansingh dengan becanda.
“Pasti dengan
cintaku.” Mansingh terkekeh.
“Kok tau Beb?”
Nadia mencibir.
“Ya taulah,
pasti jawabannya gitu.”
“Emang mau
nanya apa sih Beb?” sejenak Nadia menatap Ruqaiyah yang juga melihat kearahnya.
“Hm..., menurut
Abang, perempuan cantik itu yang gimana sih?” dahi Mansingh berkerut, dia
menatap gadis kecilnya yang juga menatapnya menunggu jawaban darinya.
“Kok
pertanyaannya gitu sih Beb? Ada apa nih?”
“Ish Abang.
Pokoknya jawab aja versi Abang. Kan menurut Abang gimana gitu.”
“Hm...” sebelah
tangan Mansingh menggaruk kepala yang tidak gatal, sedangkan tangan yang
satunya lagi masih dipegang oleh Nadia, “menuruti Abang sih, perempuan cantik
itu adalah perempuan yang bisa menjadi dirinya sendiri, pintar menempatkan diri
dalam setiap kondisi dan situasi, dan yang pasti bisa memberi rasa nyaman
ketika berada di dekatnya.”
“Begitu ya?”
Mansingh mengangguk.
“Kan menurut
Abang, Beb. Nggak tau kalau menurut yang lain.”
“Emangnya
kecantikan wajah, badan seksi, montok, kayak bebek guling gitu Abang nggak
tertarik ya?” Mansingh dan Surya tertawa. Sementara Ruqaiyah hanya tersenyum
geli.
“Ya ampun Beb,
kamu ini bisa aja ngomong kayak gitu.” Kata Mansingh memencet hidung Nadia,
“bukan nggak tertarik Sayang, tetapi ada yang lebih bisa membuat tertarik dari
sikap dan perilaku seorang perempuan dari sekedar kecantikan wajah dan tubuh
seksi. Kalau hatimu cantik, sikapmu bikin nyaman, maka kecantikan wajahmu akan
semakin bersinar. Percaya deh sama Abang.” Nadia tersipu malu.
“Gitu ya Bang?”
Mansingh mengangguk, “kalau aku cantik nggak Bang?”
“Buat Abang,
gadis Abang akan selalu cantik dan bikin gemes.” Wajah Nadia memerah.
“Cieee...gadis
bawel bisa malu juga tuh dirayu Abang Man.” Ledek Jalal yang datang bersama
Jodha membawakan makanan dan minuman untuk mereka.
“Ish, Abang
ikut-ikutan aja sih.” Kata Nadia bangkit dari tidurannya dan duduk disamping
Mansingh. Jalal dan Jodha juga ikut bergabung dengan duduk di gazebo.
“Biarin aja.
Lagian aku dengar kok.”
“Kesempatan.”
Desis Nadia. Mansingh segera
memegang tangannya. Bahaya kalau dilepaskan, bisa-bisa ngamuk tuh. Heran juga, kenapa
setiap mereka berdua bertemu selalu ada saja yang membuat mereka bertengkar.
Apa memang hormonnya berlawanan kali ya, kalau berdekatan maunya bikin emosi
saja.
“Sudah Nad, tuh makan camilannya.
Katanya tadi capek.” Kata Jodha menenangkan Nadia, Jalal terkekeh melihatnya,
membuat Jodha yang ada disampingnya menyenggol tangannya agar dia berhenti
meledek gadis itu. Dengan tersenyum
Jalal pun akhirnya mengangguk.
“Peace Nad, sudah. Nggak usah sewot
gitu. Ntar cantiknya hilang.” Rayu Jalal.
“Bang Bos sih, nyari gara-gara terus
sama aku. Aku salah apa sih Bang, aku kan masih kecil tanpa dosa, masih imut,
masih polos, kok Bang Bos masih tega sih ngeledekin aku.” Ucap Nadia pura-pura
melas. Jalal tertawa terbahak-bahak mendengarnya. Yang lain hanya bisa
menggeleng.
“Iya deh, gadis kecil yang manis, imut,
polos tanpa dosa. Terserah kamu sajalah. Kali ini aku ngalah aja deh. Kasihan.”
Nadia tersenyum lebar.
“Kan emang seharusnya begitu Bang,
laki-laki itu harus selalu mengalah kepada perempuan.”
“Mulai lagi bawel. Sudah diem aja.
Ntar kelamaan aku nggak mau ngalah lagi nih.” Ancam Jalal. Nadia terkekeh. Puas
hatinya melihat Jalal mengalah kali ini.
Mereka berenam hanya berbincang
biasa saja. Hanya Ruqaiyah yang lebih banyak diam, sesekali saja dia menyahut.
Surya yang duduk disampingnya menggenggam tangannya dan memberikan senyum
hangat. Keempat sahabatnya bisa melihat binar cinta dimata mereka berdua. Tidak
banyak kata memang, namun bahasa tubuhnya mengatakan kalau cinta itu ada dan
semakin membesar meski tanpa diucapkan.
Jalal dan Mansingh saling pandang
dan saling melempar senyum ketika melihat Surya begitu bahagia, melihat
sahabatnya seperti tenggelam dalam dunianya sendiri. Mereka berdua bisa
memakluminya. Mereka berdua sadar mungkin memang Ruqaiyah adalah pasangan yang
terbaik untuk Surya.
Menjelang tengah malam Mansingh,
Surya dan Ruqaiyah pulang. Sedangkan Nadia memutuskan untuk menginap saja
karena memang dia kecapekan sekali. Bahkan ketika ketiga temannya pamit pulang,
dia sudah tertidur dipangkuan Mansingh tanpa memperdulikan yang lain.
Keesokan harinya Jodha dan Nadia
kembali berlatih dirumah Nadia, kali ini mereka hanya bertiga bersama Ruqaiyah
karena Bu Hamidah harus kerja. Ketiga pemuda itu bingung melihat gadis mereka
seperti sibuk sekali, bahkan waktu untuk mereka hampir tidak ada. Namun kalau
ditanyakan langsung, mereka hanya bungkam.
Selama dua hari mereka melakukan
latihan dan keduanya sudah semakin lihai dan gesit menggunakan sepatu hak
tinggi. Nadia semakin percaya diri sekarang berjalan menggunakannya, tidak
sabar lagi dia ingin memberikan kejutan kepada kekasihnya. Dia sudah
membayangkan bagaimana ekpresi pemuda itu.
Malam acara.
Jalal mengetuk pintu kamar orang
tuanya. Pintu terbuka, nampak mamanya masih menggunakan pakaian rumah namun
wajahnya sudah di make up. Bu Hamidah tersenyum melihat ekspresi bingung
anaknya, namun dia pura-pura tidak mengetahuinya.
“Aduh, anak mama ganteng banget
sayang.” Ucap Bu Hamidah melihat Jalal sudah rapi dengan pakaian untuk pesta,
memakai setelan jas berwarna hitam. Gayanya sudah seperti eksekutif muda saja,
“Papa kamu bisa kalah saingan nih Sayang.” Jalal nyengir.
“Ganteng sih ganteng Ma. Tapi
masalahnya, pasanganku mana?” tanya Jalal yang wajahnya berubah sewot. Mamanya
terkekeh.
“Loh, emang Jodha nggak ada ya
Sayang?”
“Kalau ada aku nggak ngetuk-ngetuk
pintu kamar Mama.” Protes Jalal.
“Oh.” Sahut Bu Hamidah
menyembunyikan senyumnya.
“Kok oh sih Ma? Mama pasti taukan
dimana Jodha, Nadia dan Ruq? Itu Man sama Surya bingung mereka tidak ada.
Ditelpon nggak diangkat. Kok senang banget sih bikin bingung.” Omel Jalal.
Akhirnya Bu Hamidah tidak tega juga.
“Maafkan Mama sayang, Mama bukan mau
menyembunyikan mereka, hanya saja Mama mau memberikan kejutan buat kalian
bertiga.” Jalal menatap mamanya dengan heran.
“Kejutan apa Ma?” mamanya tersenyum
misterius.
“Ada deh pokoknya.” Bu Hamidah
melihat jam tangannya sebentar, “ya sudah, kalian jemput mereka di salon Madam
Layla.” Wajah Jalal bersinar cerah.
“Salon langganan Mama itu ya?”
mamanya mengangguk.
“Iya Sayang. Sudah sana jemput, dan
nikmati kejutannya ya.” Jalal mengangguk cepat.
“Oke Ma. Aku berangkat duluan ya
Ma.”
“Iya. Hati-hati ya Sayang.”
“Iya Ma.” Sahut Jalal sambil berlari
turun dari kamar mamanya. Bu Hamidah hanya menggeleng melihat semangat anaknya.
Setelah menghubungi kedua sahabatnya
dan berjanji akan bertemu dengan mereka di tempat yang diberitahukan oleh
mamanya, Jalal segera berangkat menggunakan jeep kesayangannya.
“Kejutan apa sih Nem, yang ingin
mama tunjukkan kepadaku. Emangnya kamu mau diapain sih sayang. Nggak tau apa
aku lagi kangen sama kamu.” Gumam Jalal menjalankan jeepnya dengan tidak sabar
lagi.
Sesampainya di depan salon langganan
mamanya, Jalal tidak langsung masuk tetapi menunggu Mansingh dan Surya terlebih
dahulu. Tidak perlu menunggu lama, keduanya datang menggunakan mobil
masing-masing. Penampilan keduanya juga sangat rapi, sama halnya dengan Jalal,
keduanya menggunakan setelan jas untuk pesta, membuat ketiganya seperti saudara
kembar tapi tak serupa. Hahahaha....
“Memangnya mereka disini ya Bos?”
tanya Mansingh.
“Mama bilang sih begitu Man. Ayo,
kita masuk saja. Siapa tahu memang benar ada didalam.” Kedua sahabatnya
mengangguk dan mengikuti langkah Jalal yang memasuki salon tersebut.
Mereka segera disambut oleh pemilik
salon tersebut, seorang wanita setengah baya, seumuran mamanya Jalal. Wajahnya
sumringah terpancar jelas, auranya menyenangkan dan terlihat ramah. Karenanya
Bu Hamidah suka sekali mendatangi salon tersebut.
“Malam Madam.” Sapa Jalal.
“Malam ganteng, Eh, ada Jalal. Mau
nyari Jodha ya?” Jalal tersenyum dan mengangguk.
“Iya Madam. Jodha ada disini ya?”
Madam Layla tersenyum manis.
“Oh. Ada. Bersama kedua temannya.”
Ketiganya saling pandang. Mansingh dan Surya tersenyum lega.
“Oh syukurlah kalau mereka ada
disini Madam. Apa boleh kami ketemu mereka?”
“Boleh. Tunggu sebentar ya.”
Ketiganya serentak mengangguk.
“Iya Madam.”
Mereka mengira wanita itu akan masuk
untuk memanggil ketiga gadis mereka, tetapi ternyata dugaan mereka salah. Madam
Layla hanya memasukkan jari telunjuk dan jempolnya kedalam mulutnya. Bersiul
kencang. Gilaaa...., ketiga pemuda itu tercengang melihat aktraksi Madam Layla.
Suuuiiittt.... suitan panjang Madam
Layla melengking, tidak lama kemudian tirai penghubung untuk menuju ruangan
dalam dengan ruang tamu pun perlahan tersingkap. Ketiganya menunggu dengan
dek-degan. Menunggu apa yang akan terjadi dan apa yang akan mereka lihat.
Daaaaannn.... begitu tirai terbuka, ketiga hanya bisa melongo dengan mulut
menganga....
“Ya Tuhaaann...” hanya itu saja yang
bisa terucap oleh mulut mereka.
Tbc
Tidak ada komentar:
Posting Komentar