Menu

Selasa, 16 Februari 2016

BIARKAN AKU JATUH CINTA PART. 27 (LEGA)



Met malem, Inem datang lagi nih. Maaf ya sudah absen lama. Part kali ini buat bersenang-senang saja dulu ya. Lagi belum bisa mikir yang berat-berat nih. Semoga bisa menghibur, setidaknya bikin senyum sedikit. Hehehe... Semoga nggak garing ya.

========0000======

Keesokan harinya, pagi-pagi Jalal sudah mendatangi apartemen sahabatnya. Demi melakukan janjinya kepada Inemnya. Dalam hati kecilnya, dia tidak bersungguh-sungguh marah kepada Surya. Bagaimanapun, mereka selama ini sudah bagaikan saudara. Dan mereka berdua, Mansingh dan Surya adalah sahabat paling setia yang dia punya, yang mau menerima dirinya apa adanya. Adalah sangat naif bila dia hanya mementingkan egonya sendiri.

Iya, kekasihnya benar, hak Surya untuk menentukan dengan siapa dia berhubungan. Mereka saja tidak protes ketika dia berulangkali mengatakan kalau gadis yang mampu mengisi hatinya adalah Jodha, dan malah mereka yang selalu bersemangat mendorongnya agar segera mengutarakan cintanya kepada Jodha. Kali ini, Jalal akan meminta maaf kepada Surya dan meluruskan permasalahannya.

“Loh, Bos. Kok sudah datang pagi-pagi sekali sih?” kata Mansingh ketika membukakan pintu untuk Jalal. Wajahnya masih mengantuk.

“Iya Man, aku pengen ngomong sesuatu sama kamu.” Sahut Jalal langsung duduk di sofa. Mansingh menatapnya heran.

“Ada apa sih Bos? Kok sepertinya serius sekali?”  Mansingh duduk dihadapan Jalal. Namun, pemuda itu tidak langsung bicara, hanya menatap sahabatnya dengan nanar, “kenapa? Kok diam?” Jalal mendengus.

“Itu muka di cuci dulu kenapa? Nggak enak banget cerita dengan pendengar masih ngambang dari alam sebelah.” Sindir Jalal. Mansingh terkekeh.

“Siapa suruh datang tanpa pemberitahuan. Mana aku sempat cuci muka.” Sahut Mansingh seraya masuk ke kamarnya untuk mencuci muka. Setelah selesai dia membuatkan kopi untuknya dan Jalal.

“Sekarang cerita, ada apa sih? Nggak biasanya begini.” Kata Mansingh meletakkan dua cangkir kopi dimeja. Jalal segera menyambutnya dan menyesap sebentar.

“Man, aku mau nanya pendapat kamu tentang Surya?” dahi Mansingh berkerut.

“Surya?” Jalal mengangguk, “ada apa dengan Surya, Bos?” Jalal menghela nafas. Mansingh semakin penasaran, “ada apa sih Bos? Jangan bikin penasaran nih.”

“Hm...Surya ada disebelah nggak Man?” Mansingh berpikir sejenak.

“Sepertinya tidak ada ada Bos. Dari kita datang kemarin rasanya aku belum melihat Surya? Kenapa sih Bos? Bos bertengkar dengannya?” tebak Mansingh. Jalal mengangguk, “hah? Kapan? Kenapa?” kejar Mansingh dengan tidak sabar. Jalal menceritakan pertemuan mereka tadi malam. Mansingh mendengarkan dengan mulut ternganga. Sungguh itu diluar dugaannya sama sekali.

“Begitu Man. Aku tidak tahu harus bagaimana? Jujur, aku masih belum bisa memaafkan perlakuan Adam dan adiknya itu. Tapi Inem berbeda. Dengan mudah dia memaafkan mereka. Bahkan memintaku untuk memaafkan mereka juga.” Keluh Jalal sambil mengusap wajahnya, membuat Mansingh terkekeh mendengarnya.

“Jodha memang gadis yang berbeda Bos. Bersyukurlah, karena Bos mendapatkan gadis yang berhati baik. Tidak semua orang sanggup berbuat seperti itu.”

“Lalu aku harus bagaimana sekarang Man? Apa aku harus minta maaf kepada Surya?” Mansingh terdiam sesaat.

“Hm... begini Bos. Ini menurut pendapatku sih. Lebih baik mungkin apa yang dikatakan Jodha itu benar. Kita hormati keputusan Surya untuk membantu Ruqaiyah. Tidak ada salahnya kita beri dia kesempatan untuk memperbaiki diri. Mungkin memang benar dia mau berubah. Lagian, apa Bos nggak kasihan melihat teman kita itu jomblo terus.”  Ujar Mansingh sambil terkekeh. Jalal ikut tertawa lebar.

“Yah, kasihan sih Man. Tapi... ya sudahlah. Kamu benar. Kita memang harus memberinya kesempatan.” Mansingh mengangguk.

“Iya Bos. Mungkin memang harus begitu.”

“Ya sudah kalau begitu, ayo Man kita kerumahnya Surya. Biar kita selesaikan permasalahan ini.” Ajak Jalal dengan bersemangat.

“Sekarang Bos?” Jalal mendelik.

“Tahun depan.” Mansingh terkekeh.

“Ya elah Bos, gitu aja sewot. Sabar dikit napa?”

“Habisnya, kamu juga sih. Aku ini lagi serius Man.”

“Iya...iya. tunggu sebentar, aku mandi dulu.” Kata Mansingh sambil berdiri menuju kamarnya.

“Oke. Jangan lama-lama.” Seru Jalal.

“Beres.” Sahut Mansingh dari dalam kamar.

Selesai mandi, Jalal mengajak Mansingh kerumahnya untuk menjemput Jodha. Mansingh pun merasa heran, kenapa harus menjemput Jodha segala?

“Kok jemput Jodha sih Bos?” tanyanya heran. Jalal tersenyum.

“Tidak apa-apa Man, hanya saja ketika aku bersamanya dia bisa meredam segala kemarahanku yang terkadang membuat kau lupa diri.”

“Kalau gitu, aku jemput Bebebku yah Bos.” Jalal mencibir.

“Kamu ini Man, maunya ngikut terus.”

“Ya biarin lah. Masa aku jadi obat nyamuk lagi? Ogah!” Jalal terkekeh.

“Ya sudah sana jemput. Aku duluan ajalah. Aku tunggu dirumah ya.”

“Oke.” Sahut Mansingh dengan gembira. Ada satu alasan lagi biar dia bertemu dengan pujaan hatinya itu. Gadis kecilnya yang usil.

Mereka berdua pun berpisah. Jalal pulang kerumahnya, sedangkan Mansingh menjemput Nadia.

Dengan langkah ringan Jalal memasuki rumahnya, dan menuju dapur dimana biasanya Inemnya berada. Namun yang dia temui hanya Bi Ijah saja yang sedang sibuk berberes.

“Bi, Inem mana?” tanya Jalal menghampiri Bi Ijah. Wanita tersebut menghentikan kegiatannya dan berpikir sebentar.

“Sepertinya tadi dibelakang Tuan, sedang nyapu taman. Tuan coba cari saja disana.”

“Iya Bi.” Bergegas Jalal dengan setengah berlari mencari Inemnya dibelakang, sosok yang dicarinya sedang berdiri mematung menghadap kebelakang sambil memeluk sapu. Jalal tersenyum. Dengan berjingkat dia menghampiri gadis itu dan menutup kedua matanya dengan tangannya dari belakang. Jodha tersentak kaget.

“Tu...Tuan?” Jalal mendengus, Jodha tertawa. Kedua tangannya memegang kedua tangan Jalal yang menutup matanya bermaksud untuk melepaskan tangan itu. Namun Jalal bersikeras tidak mau melepaskannya.

“Bilang Sayang dulu, baru aku lepaskan.” Tawar Jalal sambil memeluknya dari belakang. Kembali Jodha terkekeh.

“Sayang, lepasin dong tangannya. Aku nggak bisa ngelihat nih.” Ucap Jodha setengah tertawa. Jalal ikut tertawa namun tanpa suara.

“Yang ikhlas dong Yang ngomongnya, jangan merasa terpaksa begitu biar tambah romantis.” Pinta Jalal lagi, Jodha mencebikkan bibirnya.

“Ish, cerewet banget sih? Ini aja sudah bagus bisa ngomong kayak gini.” Gerutu Jodha membuat Jalal tersenyum lebar mendengarnya. Akhirnya dia pun melepaskan juga tangannya yang menutup mata gadis itu. Dengan cepat Jodha berbalik ingin menghadap Jalal yang berada di belakangnya.

“Hai Sayang, pagi-pagi kok melamun aja sih? Ngelamunin apa?” goda Jalal ketika Jodha berbalik sudah menghadapnya. Jodha mengerucutkan bibirnya.

“Aku nggak ngelamun kok.” Elaknya. Jalal menaikkan sebelah alisnya.

“Masa?” Jodha mengangguk, “lalu berdiri sambil mengheningkan cipta tadi apa?” Jodha memukul lengan Jalal pelan sambil cemberut, membuat Jalal kembali terkekeh.

“Siapa juga yang mengheningkan cipta? Emang siapa yang mati?” Jalal tergelak mendengarnya.

“Yah, kali aja begitu. Habisnya kok persis mirip banget. Hahaha...” Jodha menoleh kembali ke objek yang dilihatnya tadi.

“Nggak kok. Itu aku lagi lihat burung yang ada dipohon itu. Sepertinya anaknya masih kecil, burung yang jantan mencari makan untuk anak burung dan juga burung yang betina. Melihatnya membuatku terharu, sepertinya burung yang jantan begitu semangat mencari rejeki untuk mereka.” Ucap Jodha setengah melamun. Jalal tersenyum. Dipeluknya tubuh Jodha dari belakang. Kedua tangannya memegang kedua tangan gadis itu.

“Begitu juga nanti dengan kita sayang, kamulah, dan anak-anak kita kelak adalah tempat untukku pulang. Setelah membawa lelah mencari rejeki diluar, kamulah obat lelahku, Nem.” Jodha tersipu.

“Selalu gombal.” Ucap Jodha tertawa sambil menepuk pipi Jalal dari depan. Jalal cemberut.

“Kamu ini Nem, selalu saja tidak pernah mau menerima kata-kataku.”

“Aku hanya takut.”

“Takut kenapa Sayang?”

“Takut hatiku rontok kalau mendengar ucapanmu setiap hari, dan takut tidak bisa bangun lagi dari mimpi indah karena kata-katamu.” Sahut Jodha sambil tertawa. Jalal memencet hidung Jodha dengan gemes.

“Nggak masalah kalau nggak bisa bangun dari mimpi indah, asal jangan ketika bangun kamu nggak kenal sama aku lagi.” Jodha terkekeh lagi.

“Takut banget aku nggak kenal sama kamu lagi Tuan?” ejek Jodha. Jalal sudah mau menyahut ketika mendengar suara cempreng. Siapa lagi musuh bebuyutannya. Nadia. Datang bersama Mansingh.

“Burung gelatik siburung bawel, eeh... ada cewek cantik dipeluk cowok gatel.” Mansingh dan Jodha tertawa mendengar pantun Nadia. “Haduuuhhh, pagi-pagi sudah peluk-pelukkan. Woi, Bang Bos sadar. Belum muhrim tau.” Ucapnya sambil duduk di gazebo, di susul Mansingh yang tersenyum lebar mendengar ucapan kekasihnya itu. Jodha melepaskan pelukan Jalal yang cemberut karena kesenangannya di ganggu.

“Ganggu aja.” Kata Jalal menyentil kening Nadia. Nadia meringis sambil mengusap-usap keningnya, namun kemudian dia tertawa.

“Sabar Bang Bos, sebentar lagi kok. Bisa dipeluk sepuasnya tujuh hari tujuh malam. Hahahaha...” ledek Nadia. Jodha duduk disampingnya, “ada apa nih manggil-manggil aku kemari? Nggak tau apa jadwal lagi padat, artis mau tampil.”

“Bisa diem nggak bawel?” ucap Jalal sambil melotot, namun gadis itu seperti biasa hanya terkekeh.

“Ada apa ini? Kok Nadia sama Man juga ngumpul disini?” tanya Jodha. Jalal dan Mansingh saling pandang, sebelum akhirnya Jalal menceritakan maksud mereka berdua. Nadia nampak kaget, namun Jodha tersenyum.

“Apa Jo? Kamu dengan mudah memaafkan mereka berdua? Tidak salah? Kamu sehatkan?” ucap Nadia menempelkan punggung tangannya di kening Jodha, membuat gadis itu mengelak dari tangan Nadia.

“Aku masih sehat Nad. Seratus persen.”

“Tapi kenapa segitu mudahnya kamu memaafkan mereka hah? Apa semua yang telah mereka lakukan sama kamu itu nggak ada rasanya sama sekali terhadapmu?” tanya Nadia dengan berkacak pinggang dan memasang raut wajah jengkel. Jodha masih tersenyum menanggapinya. Dia maklum atas reaksi Nadia.

“Sudahlah Nad, nggak usah diperpanjang lagi. Lagian apa enaknya sih hidup penuh dengan kebencian? Mereka berdua sekarang sudah memetik hasilnya. Jadi ya, lupakan saja ya.” Kata Jodha memeluk bahu Nadia. Gadis itu hanya mendengus sebal mendengar ucapan Jodha.

“Ya terserah kamu aja Jo, aku nggak bisa ngikutin cara berpikirmu itu.” Ucap Nadia dengan pasrah, dia sudah tahu bagaimana sifat saudara angkatnya itu dan kemudian berpaling kepada Jalal yang sedari tadi hanya memandang mereka berdua, “terus kita mau ngapain sekarang Bang Bos?” Jalal menghela nafas.

“Aku mau ngajak kalian kerumah Surya sekarang. Ya, sekalian meluruskan permasalahan ini.” Nadia menoleh ke arah Jodha.

“Gimana Jo? Mau?” Jodha mengangguk antusias.

“Aku mau. Ayo, lebih cepat lebih baik.” Sahut Jodha dengan bersemangat. Jalal sampai menggeleng melihatnya. Akhirnya mereka berempat pun pamit dengan orang tua Jalal.

“Jangan pulang sore ya Sayang.” Pesan Bu Hamidah kepada Jalal.

“Kenapa Ma?” tanya Jalal dengan heran. Bu Hamidah tersenyum.

“Mama mau ngajak Jodha sama kamu fitting baju pengantin nanti.”

“Iya Ma.”

“Waaahhh, aku ikut ya Tan.” Kata Nadia mengajukan diri. Jalal cemberut.

“Nggak boleh. Mengganggu saja.” Nadia mengerucutkan bibirnya.

“Ih, Bang Bos selalu gitu deh. Aku kan maksudnya baik Bang, siapa tahu pendapatku bisa berguna.” Gerutu Nadia. Bu Hamidah tersenyum. Dia mendekati Nadia dan memeluknya.

“Kamu boleh ikut kok Nad. Jangan dengerin Jalal. Sekalian nanti kita kesalon ya.” Wajah Nadia nampak sumringah.

“Bener Tante?” Bu Hamidah mengangguk, “ asyik. Iya Tan. Aku mau.” Ucapnya dengan kegirangan, dia menoleh ke arah Jalal yang cemberut mendengar ucapan mamanya, “tuh kan, emang Bang Bos aja yang pelit. Kok beda ya, mama sama anaknya. Lebih ramah mamanya daripada anaknya, mana nggak bawel lagi. Hahahaha...” ejek Nadia kepada Jalal.

“Kamu...” ucapan Jalal terhenti ketika Jodha memegang tangannya.

“Sudah Sayang, gitu aja dilawan. Ayo kita berangkat, nanti keburu siang.” Lerai Jodha, Jalal mengangguk meski tidak puas. Nadia tertawa mengejek.

“Hadeh, sudah ketemu pawangnya cepet banget nurutnya.” Bu Hamidah terkekeh. Mansingh menggeleng melihat kelakuan gadisnya itu kalau sudah bertengkar dengan Jalal.

“Sudah Beb, nggak enak sama Tante tuh.” Kata Mansingh memeluk leher gadis itu, Nadia tertawa.

“Iya deh Bang, kasihan juga Bang Bos mau kawin aja masih diledekin. Hahaha...” Mansingh ikut tertawa, “Tante, kami berangkat dulu ya. ” pamit Nadia kepada mamanya Jalal. Bu Hamidah mengangguk.

“Iya hati-hati ya Nad.” Kata Bu Hamidah melambaikan tangannya.

“Ma, berangkat dulu ya.” Kata Jodha pamit dengan calon mertuanya. Begitu juga dengan Jalal dan Mansingh.

“Iya sayang. Hati-hati ya.”

“Iya Ma.”

Mereka berempat pun berangkat kerumah Surya. Pemuda itu terkejut ketika kedua sahabatnya datang bersama Jodha dan Nadia. Namun, mereka berempat juga terkejut ketika tahu kenyataannya kalau Ruqaiyah tinggal dirumah Surya.

Melihat kedua orang tua Surya yang nampak begitu sayang kepada Ruqaiyah, membuat Jalal mulai berpikir untuk menerima kehadiran Ruqaiyah di dalam kehidupan sahabatnya. Iya, Ruqaiyah nampak berbeda sekali dengan yang dia lihat di kampus selama ini. Tidak ada kesan sombong terlintas di wajahnya dan juga perilakunya. Bahkan dia terlihat akrab dan bahagia ketika bersama Moti, adiknya Surya.

“Hai Jo, kok tumben datang kesini?” tanya Ruqaiyah memeluk Jodha yang juga membalas pelukannya dengan hangat. Jalal, Mansingh dan Nadia hanya termangu melihat mereka berdua. Surya tersenyum melihat kedua sahabatnya yang masih tercengang melihat Jodha dan Ruqaiyah nampak akrab.

Jodha memperkenalkan Nadia kepada Ruqaiyah. Nadia masih nampak kaku ketika bersalaman dengan Ruqaiyah, namun perempuan itu memakluminya. Ketika melihat Jalal, Ruqaiyah menunduk. Masih tersisa rasa segan dihatinya. Dia duduk disamping Surya dan menoleh ke arah pemuda itu. Surya tersenyum menenangkan kepadanya dan menggenggam tangannya. Keempat orang tersebut hanya bisa melihat bagaimana perhatiannya Surya kepada Ruqaiyah.

“Sur, Ruq, aku minta maaf atas kejadian tadi malam. Maaf juga kalau aku terlalu emosi dan berkata terlalu kasar kepada kalian.” Kata Jalal dengan tulus. Surya dan Ruqaiyah saling pandang, namun kemudian Surya tersenyum.

“Sudah tidak apa-apa Bos, kami  maklumi saja. Aku tahu, tentu tidak mudah menerima kenyataan seperti ini. Tapi, percayalah dia tidak seburuk yang  kita kira.” Wajah Ruqaiyah memerah mendengar ucapan Surya, dadanya menghangat.

“Iya. Aku tahu Sur. Tidak seharusnya aku marah kepada orang yang memang tidak bersalah.”

“Tidak apa-apa Jalal, aku bisa memaklumi hal itu. Aku tahu, perbuatan kakakku memang sudah kelewatan. Dan, kuharap kakakku akan menyadari segala kesalahannya. Tidak ada yang bisa aku lakukan, hanya maaf dan maaf saja.” Sahut Ruqaiyah dengan lirih.

“Sudah Ruq, tidak usah dipikirkan lagi. Mulai sekarang, kamu boleh berteman dengan kami kalau kamu kesepian. Kan calon suami kita sahabatan, masa calon istrinya tidak saling kenal.” Gantian Nadia yang menyahut, rupanya dia sudah mulai nyaman dengan suasana diantara mereka. Jodha mengangguk dan tertawa. Kembali wajah Ruqaiyah memerah dibilang calon istri Surya. Surya hanya terkekeh melihatnya.

“Iya Ruq, kamu bisa berteman dengan mereka berdua selain dengan Moti. Pasti akan menyenangkan sekali.” Kata Surya menyambung ucapan Nadia. Ruqaiyah mengangguk.

“Iya, terima kasih ya sudah mau menerimaku sebagai teman.” Nadia dan Jodha mengangguk. Senyum keduanya mengembang tulus. Jalal, Mansingh dan juga Surya menarik nafas lega. Kini tidak ada ganjalan dihati mereka.

Bagaimana bisa Ruqaiyah hari ini tidak bahagia? Keinginannya untuk mendapatkan maaf dari Jodha dan Jalal sudah terpenuhi, bahkan mereka menawarkan pertemanan kepadanya. Ada rasanya yang lebih dari bahagia menghinggapi dadanya.  Dia kehilangan sosok kakaknya, namun dia mendapatkan lebih dari itu. Keluarga, teman, dan juga seorang kekasih yang baik hati dan menyayanginya.

Kini pembicaraan mereka sudah kembali hangat seperti biasa. Nadia dan Jodha juga sudah akrab dengan Ruqaiyah, ditambah lagi dengan Moti yang sudah terlebih dahulu akrab dengan Jalal dan Mansingh. Mamanya Surya mengajak mereka makan siang dirumah, tentu saja Jalal dan Mansingh yang notabene sudah akrab dengan keluarga Surya menyambut antusias.

Selepas siang hari mereka berempat pamit pulang, sesuai janji dengan Bu Hamidah. Nadia dan Jodha mengajak Ruqaiyah ikut dengan mereka. Awalnya perempuan itu menolak, namun akhirnya dia ikut  karena Surya juga ikut. Jadilah mereka berenam berangkat dimana mamanya Jalal sudah menunggu.

Jodha nampak canggung ketika memilih baju pengantin yang akan dipakainya nanti untuk akad nikah dan resepsi. Bagaimana pun juga rasanya bagaikan mimpi untuknya. Menikah. Sebuah impian untuk seorang wanita yang paling indah. Senyum tidak berhenti mengembang dari bibirnya, dia bahkan tanpa sadar kalau sudah diperhatikan oleh Bu Hamidah dan lainnya.

“Ciee...yang senyum-senyum kesenangan. Bahagia banget Neng.” Goda Nadia. Jodha tersipu malu.

“Siapa juga yang senyum kesenengan?” elak Jodha.

“Hah, jadi kamu nggak senang nikah sama Bang Bos, Jo?”  tanya Nadia melebarkan matanya, “ya ampun Bang Bos, yang sabar ya, ini calon istrimu tidak bahagia menikah denganmu.” Kata Nadia pura-pura bersedih.  Jodha memukul pelan lengannya itu.

“Ih Nad, bukan itu.” Ucap Jodha salah tingkah, ketika melihat yang lainnya memandangnya.

“Lalu apa?”

“A-aku...” Jodha semakin salah tingkah, wajahnya memerah, dengan takut-takut dia melirik Jalal yang masih menatapnya dengan penasaran. Nadia tertawa cekikikan. Bu Hamidah sampai menggeleng melihatnya.

“Sudah sayang, nggak usah dipedulikan Nadia. Aku tahu kok kalau kamu sangat bahagia menikah denganku.” Kata Jalal mendekati Jodha yang masih berdiri mematung karena diledekin Nadia terus, Jodha mengangguk dan tersenyum malu.

Selesai melakukan fitting, mamanya Jalal mengajak ketiga gadis tersebut jalan. Jalal yang ingin mengantar ditolak oleh mamanya.

“Masa nganter nggak boleh Ma?” protes Jalal. Mamanya menggeleng.

“Maaf sayang, kali ini Mama ingin menghabiskan waktu bersama mantu-mantu mama. Jadi kalian bertiga silakan jalan sendiri saja ya. Ingat, jangan diganggu. Oke?”

“Yaah Mama. Terus kami ngapain dong?” Bu Hamidah mengangkat bahu dengan cuek.

“Ya terserah kalian. Kaliankan laki-laki dan sudah besar. Masa nanya mama mau main kemana?” Nadia meleletkan lidahnya melihat ketiga pemuda itu nampak cemberut namun tidak berani melawan kehendak mamanya Jalal. Sementara Jodha dan Ruqaiyah tertawa geli melihat ekspresi mereka bertiga.

“Ya sudahlah kalau begitu Tante. Nggak apa-apa kok.” Sahut Mansingh.

“Nah, bagus kalau begitu Man. Kalian bertiga mempersiapkan diri saja, dua hari lagi di kantor Papa akan ada acara ulang tahun perusahaan dan juga pemberitahuan tentang pernikahan Jalal dan Jodha. Kalian berdua juga harus hadir.” Tunjuk Bu Hamidah kepada Surya dan Mansingh. Keduanya mengangguk.

“Iya Tante, siap.”

“Bagus. Kalau begitu kami pergi dulu ya. Come on ladies, let’s go.”  Ajak Bu Hamidah kepada ketiga gadis tersebut. Mereka berempat masuk ke mobil Bu Hamidah, dengan Jodha sebagai supirnya seperti biasa meninggalkan ketiga pemuda itu yang nampak pasrah dan tidak bisa berbuat apa-apa karena gadis mereka sudah di booking oleh mamanya Jalal.

“Sekarang kita kemana nih Bos?” tanya Mansingh. Jalal mengangkat bahu.

“Entahlah Man, aku juga bingung mau kemana. Lagian tumben-tumbennya Mama pakai ngajak mereka bertiga segala. Kayak anak muda saja.” Gerutu Jalal. Surya dan Mansingh terkekeh mendengarnya.

“Kalian berdua enak masih bisa ketemuan kapan saja karena serumah. Lah, aku? Mau ketemu Bebebku aja susah, harus nyari alasan dulu baru bisa ketemu.” Keluh Mansingh, “eh, giliran ketemu malah di ajak jalan sama Mamanya Bos.” Jalal menepuk bahu Mansingh yang wajahnya ditekuk.

“Nggak usah sedih begitu Man, tenang saja paling juga sampai sore. Ntar malam kita triple date. Oke?” wajah Mansingh nampak cerah kembali. Surya hanya terkekeh melihat sahabatnya kembali semangat.

“Iya deh Bos. Bolehlah.  Bagus juga kalau begitu. Sekarang kita kemana nih?”

“Kita ke dojo Bang Bayu saja lah. Hitung-hitung kita lama nggak latihan. Gimana?” Kata Jalal mengangkat kedua alisnya.

“Ayo. Siapa takut.” Sahut Mansingh, “kamu gimana Sur?” tanya Mansingh kepada Surya yang hanya senyum-senyum saja.

“Aku nurut saja.” Sahut Surya.

“Ya sudah kalau begitu, ayo.” Ketiganya kemudian masuk ke mobil Jalal dan melajukan mobil tersebut kearah dojo milik orang tua Bayu dan Nadia, tempat mereka latihan karate bela diri.

Sementara itu, Bu Hamidah beserta ketiga gadis tersebut mendatangi sebuah salon mewah yang menjadi langganannya selama ini. Nadia nampak bersemangat  sekali, Jodha bersikap biasa saja, sedangkan Ruqaiyah terlihat agak risih. Meski dulu dia terbiasa mendatangi salon kecantikan seperti itu, tapi sekarang dia tidak terlihat bersemangat.

“Ayo Sayang kita masuk.” Ajak Bu Hamidah kepada Jodha dan Ruqaiyah yang masih terlihat ragu-ragu. Keduanya saling pandang, sedangkan Nadia sudah melenggang duluan.

“Kita ngapain Ma kesini?” tanya Jodha ragu-ragu.

“Kamu kan mau jadi pengantin Sayang, jadi kamu harus menjalani perawatan kecantikan biar siap menghadapi suami nanti.” Sahut Bu Hamidah sambil tersenyum. Wajah Jodha nampak memerah mendengarnya. Calon mertuanya itu tidak nampak seperti calon mertua, tapi lebih terlihat seperti orang tuanya sendiri. Tidak ada rasa canggung sama sekali di sikapnya. Disisi lain, Jodha juga bersyukur mempunyai calon mertua yang baik hati dan pengertian.

Akhirnya Jodha dan Ruqaiyah pun mengikuti langkah Bu Hamidah memasuki salon mewah tersebut. Wanita itu memesan paket lengkap untuk calon pengantin. Dengan perasaan risih akhirnya Jodha pun mau mengikuti keinginan calon mertuanya. Nadia, Ruqaiyah serta Bu Hamidah hanya melakukan perawatan biasa saja.

Butuh waktu 4 jam untuk mereka berada di salon tersebut. Bukan waktu yang sebentar. Apalagi kalau Jalal yang mengantar, apa tidak ngomel-ngomel saja kerjaannya. Karena itulah, mamanya melarang mereka bertiga untuk ikut. Mereka bertiga pasti tidak punya kesabaran selama itu. Dijamin. Hahahaha.....

Selesai dari salon, Bu Hamidah mengajak mereka bertiga shopping di sebuat pusat perbelanjaan. Benar-benar hari itu dikuasai oleh mamanya Jalal. Ketiganya mendapat jatah gratis. Tentu saja yang paling senang adalah Nadia. Sedangkan Jodha dan Ruqaiyah lebih banyak menerima. Mulai dari baju, sepatu, tas, dan aksesoris lainnya.

“Nah, kalian bertiga ketika acara ulang tahun perusahaan nanti, semua barang yang Tante kasih dipakai semua ya. Kita bikin kejutan untuk para lelaki kita.” Kata Bu Hamidah ketika sudah masuk ke dalam mobil.

“Siap Tante.” Sahut Nadia, “eh, tapi bagaimana dengan sepatunya Tan? Aku nggak biasa pake highheel begini.” Kata Nadia memegang sepatu hak tinggi yang dibelikan oleh mamanya Jalal, “boleh pake sepatu kets aja nggak Tan?” tanyanya polos. Jodha dan Ruqaiyah serentak tertawa, Bu Hamidah menggeleng.

“Ya ampun Nad, kamu itu mau ke pesta apa mau latihan karate sih?” tanya Jodha sambil mengeluarkan mobil dari parkiran. Nadia mencibir.

“Kayak kamu bisa aja Jo?” Jodha tersenyum kecut. Dia dengan Nadia sama saja. Sama-sama tidak pernah memakai sepatu hak tinggi.

“Kalau Ruq gimana? Bisa memakai sepatunya nggak?” tanya Bu Hamidah menoleh ke arah Ruqaiyah. Gadis itu mengangguk malu-malu.

“Bisa Tan.”

“Nah, kalian berdua belajar dengan Ruq saja ya setelah kita sampai dirumah.” Mau tidak mau Nadia dan Jodha mengangguk pasrah, “lagian masa nanti berjalan dengan pasangannya, sepatunya sepatu kets sih? Kan malu Sayang.” Ucap Bu Hamidah memberi semangat kepada mereka berdua.

“Iya Ma. Nanti aku akan berusaha memakainya.” Sahut Jodha sambil fokus pada pandangannya kedepan.

“Iya Tan, aku juga.” Sambung Nadia. Bu Hamidah tersenyum gembira.

“Bagus. Kalian tidak setiap hari juga kok memakainya, hanya saat-saat ada acara penting saja. Selebihnya terserah kalian saja, selama itu masih sopan dan pantas.” Ketiganya mengangguk, menurut sama calon mertua. Hahahaha...

Sesampainya dirumah, mereka bertiga diajak Bu Hamidah makan. Selepas makan, mulailah acara pembekalan untuk Nadia dan Jodha. Bu Hamidah dan Ruqaiyah mengajari keduanya cara memakai sepatu hak tinggi diruang keluarga. Nadia bahkan sempat menggerutu karena selalu gagal. Bi Ijah yang menjadi penonton hanya bisa tertawa cekikikan melihat gerakan kaku keduanya.

“Coba Nad, kakinya jangan tegang kalau melangkah. Pelan-pelan dulu.” Kata Ruqaiyah sambil memegang kedua tangan Nadia. Gadis itu mencoba melangkah pelan-pelan dengan tangan masih dipegang oleh Ruqaiyah. Persis seperti orang yang sedang belajar ice skating. Hehehe...

Setelah beberapa saat mencoba, gerakan Nadia melangkah sudah mulai nyaman dan tidak kaku. Ruqaiyah pun melepaskan pegangan tangannya, namun akibatnya keseimbangannya tubuh Nadia menjadi goyah, alhasil dia jatuh terduduk. Dia meringis kesakitan. Ruqaiyah, Bu Hamidah dan Jodha yang masih belajar pun tertawa melihatnya. Bahkan, Bi Ijah tertawa terbahak-bahak.

“Ya ampun Nad, kayak gitu ingin menjadi gadis anggun? Nih, pinjamin sendal jepit Bibi aja deh. Dijamin bisa dibawa lari, atau sekalian buat melempar anjing. Hahaha...” ledek Bi Ijah. Nadia cemberut sambil bangkit lagi.

“Ih, Bibi mah gitu. Tertawa di atas penderitaanku. Aku ini lagi belajar anggun Bi, semua perlu proses. Tante sama Ruq enak saja mereka sudah biasa. Lagian ya, mau cantik saja kok susah sih? Pake sepatu yang menyakitkan kayak gini? Emang kalau nggak pake sepatu kayak gini, nggak akan dibilang cantik ya Tan?” ucap Nadia kembali melangkah sambil bicara, Bu Hamidah tertawa.

“Itu untuk menunjang penampilan saja Nad, nanti kalau kamu sudah terbiasa akan nyaman kok sayang.” Hibur Bu Hamidah.

“Rasanya enak naik enggrang Tan, nggak pake ribet kayak gini. Belum lagi nanti pake gaun. Haduh, Nadia disuruh pake gaun. O EM JI Tan, kok senang banget menyiksa aku sih?” kembali Bu Hamidah tertawa.

“Tante nggak nyiksa kamu sayang, Tante pengen Nadia si gadis tomboy bisa menjadi seorang gadis yang anggun. Tante jamin, Man pasti pangling melihat kamu.” Nadia tersipu.

“Masa Tan?” Bu Hamidah mengangguk. Jodha, Ruqaiyah dan Bi Ijah tersenyum melihat ekpresi Nadia yang terlihat bersemangat lagi.

“Iya. Tante yakin itu. Man pasti akan semakin mencintai dan memujamu. Percaya deh  sama Tante. Dari pandangannya saja Tante sudah bisa tau kok.”

“Iya deh Tan, aku akan berusaha tampil terbaik untuk acara nanti.” Sahut Nadia dengan bersemangat. Dia kembali melanjutkan latihannya menggunakan sepatu hak tinggi tersebut. Meski gerakannya masih kaku, dia tidak menyerah. Begitu juga dengan Jodha. Memang perlu waktu untuk bisa memakai sepatu tersebut dengan lincah.

Nadia melongo kagum melihat Ruqaiyah berjalan menggunakan highheel seperti yang dipakainya. Tidak nampak kalau Ruqaiyah terganggu, dia terlihat nyaman sekali.

“Wah, Ruq. Kamu kok bisa sih berjalan tanpa jatuh? Kamu kayak makai sendal jepit aja tuh, padahalkan haknya tinggi banget.” Seru Nadia kagum. Ruqaiyah tersenyum. Dia kembali duduk disofa.

“Itu karena aku terbiasa Nad. Kamu juga bisa kok kalau sering menggunakannya.” Nadia menghela nafas melihat sepatunya yang masih melekat di kakinya, “tuh Jodha sudah mulai terbiasa kayaknya.” Tunjuk Ruqaiyah kepada Jodha yang sudah mulai bisa berjalan menggunakan sepatunya. Nadia tersenyum kecut.

Jodha dan Nadia kembali belajar menggunakan sepatu hak tinggi tersebut sampai menjelang sore. Karena kecapekan akhirnya latihannya akan dilanjutin besok harinya dirumah Nadia untuk dua hari kedepan. Semua sudah direncanakan oleh Bu Hamidah, termasuk kejutan yang akan diberikan untuk Jalal dan kedua sahabatnya.

“Ya ampun Jo, kakiku pegal banget.” Kata Nadia memijat-mijat kakinya. Ruqaiyah dan Jodha tertawa, sedangkan Bu Hamidah sudah masuk ke kamarnya untuk istirahat.

“Sabar Nad, lama-lama juga hilang kok pegalnya. Lagian kakimu kan baru saja kenalan dengan sepatu seperti itu.” Sahut Ruqaiyah sambil tersenyum, Jodha tidak bisa menjawab karena memang kakinya juga pegal. Dia hanya diam saja sambil ikut memijat kakinya.

“Iya sih Ruq, yang awalnya itu yang menyakitkan. Eh, emangnya kamu dulu nggak sakit ya ketika pertama kali memakai sepatu kayak gini?” tanya Nadia antusias kepada Ruqaiyah, melupakan sejenak kakinya yang pegal. Ruqaiyah nampak berpikir sebentar.

“Hm...aku lupa Nad, bagaimana rasanya pertama kali memakainya. Hanya saja rasanya ketika aku melihat orang memakainya kok bagus, ya aku coba dan keterusan aja sampai sekarang.” Nadia manggut-manggut.

“Begitu ya? Menurutku sih enakan pake sepatu kets atau sendal jepit tuh. Mau lari kek, mau jungkir balik kek, enak-enak aja. Kalau sepatu kayak gini, pas terpeleset memakainya gimana? Apa nggak malu?” Ruqaiyah terkekeh mendengar ucapan Nadia.

“Makanya itu, latihan dulu biar nggak malu karena terpeleset.” Nadia hanya bisa nyengir sambil menggaruk-garuk kepalanya.

Jam delapan malam, Jalal dan kedua sahabatnya datang. Mansingh dan Surya nampak rapi dan segar karena sebelumnya mereka sudah mandi dan membersihkan diri diapartemen mereka masing-masing. Hanya Jalal saja yang belum rapi. Rencana ingin ngedate bareng sepertinya gagal total, karena Nadia dan Jodha kecapekan.

“Ma, mama bawa mereka kemana aja sih kok kelihatannya capek banget?” protes Jalal kepada mamanya sehabis dia mandi dan membersihkan diri. Wajahnya cemberut, kebayang keinginannya ingin mengajak Inemnya kencan malah tidak jadi. Mansingh dan Surya hanya bisa pasrah. Apalagi Mansingh melihat gadis usilnya tidak banyak bicara seperti biasa, efek kecapekan sepertinya.

“Rahasia.” Sahut Bu Hamidah sambil mengedipkan matanya. Jodha dan Ruqaiyah terkekeh melihat Jalal dan Mamanya.

“Kok pakai rahasia segala sih Ma? Emang kita-kita nggak boleh tahu ya?” mamanya menggeleng sambil tersenyum.

“Nggak boleh. Ini rahasia perempuan. Laki-laki nggak boleh tahu. Nanti ada saatnya kalian akan tahu.” Jalal akhirnya hanya bisa menghembuskan nafas panjang. Bagaimanapun juga dia tidak akan bisa menang melawan mamanya.

“Ya sudahlah, kita kencan di halaman belakang saja ya Man, Sur?” kata Jalal kepada kedua sahabatnya. Mereka mengangguk. Bu Hamidah tertawa melihat wajah pasrah anaknya dan kedua sahabatnya itu.

“Ya sudah sana Sayang. Lagian enak dirumah kok kencannya, gratis.” Kekeh Bu Hamidah sambil meninggalkan mereka dan kembali kekamarnya.

Akhirnya kencan mereka pun hanya dilakukan di halaman belakang rumah Jalal saja. Mereka duduk di gazebo. Nadia membaringkan kepalanya di paha Mansingh, Ruqaiyah duduk di samping Surya, sedangkan Jodha dan Jalal membikinkan untuk mereka minuman dan camilan sekedar teman ngobrol.

“Emang tadi ngapain aja sih Beb, kok kelihatannya capek banget?” tanya Mansingh masih penasaran. Nadia terkekeh. Tangannya memainkan tangan Mansingh tanpa rasa malu kepada Surya dan Ruqaiyah.

“Masih penasaran ye Bang?” Mansingh mengangguk, “kata Tante Hamidah rahasia Bang, jadi ya rahasia dong. Nanti juga tahu kok.” Mansingh mendengus. Ruqaiyah tertawa melihat ekpresi Mansingh, dia tahu Surya pasti juga penasaran. Hanya dia diam saja, karena bertanya pun percuma.

“Bang.”

“Hm...”

“Aku boleh nanya nggak?” tanya Nadia.

“Bayar...” sahut Mansingh dengan becanda.

“Pasti dengan cintaku.” Mansingh terkekeh.

“Kok tau Beb?” Nadia mencibir.

“Ya taulah, pasti jawabannya gitu.”

“Emang mau nanya apa sih Beb?” sejenak Nadia menatap Ruqaiyah yang juga melihat kearahnya.

“Hm..., menurut Abang, perempuan cantik itu yang gimana sih?” dahi Mansingh berkerut, dia menatap gadis kecilnya yang juga menatapnya menunggu jawaban darinya.

“Kok pertanyaannya gitu sih Beb? Ada apa nih?”

“Ish Abang. Pokoknya jawab aja versi Abang. Kan menurut Abang gimana gitu.”

“Hm...” sebelah tangan Mansingh menggaruk kepala yang tidak gatal, sedangkan tangan yang satunya lagi masih dipegang oleh Nadia, “menuruti Abang sih, perempuan cantik itu adalah perempuan yang bisa menjadi dirinya sendiri, pintar menempatkan diri dalam setiap kondisi dan situasi, dan yang pasti bisa memberi rasa nyaman ketika berada di dekatnya.”

“Begitu ya?” Mansingh mengangguk.

“Kan menurut Abang, Beb. Nggak tau kalau menurut yang lain.”

“Emangnya kecantikan wajah, badan seksi, montok, kayak bebek guling gitu Abang nggak tertarik ya?” Mansingh dan Surya tertawa. Sementara Ruqaiyah hanya tersenyum geli.

“Ya ampun Beb, kamu ini bisa aja ngomong kayak gitu.” Kata Mansingh memencet hidung Nadia, “bukan nggak tertarik Sayang, tetapi ada yang lebih bisa membuat tertarik dari sikap dan perilaku seorang perempuan dari sekedar kecantikan wajah dan tubuh seksi. Kalau hatimu cantik, sikapmu bikin nyaman, maka kecantikan wajahmu akan semakin bersinar. Percaya deh sama Abang.” Nadia tersipu malu.

“Gitu ya Bang?” Mansingh mengangguk, “kalau aku cantik nggak Bang?”

“Buat Abang, gadis Abang akan selalu cantik dan bikin gemes.” Wajah Nadia memerah.

“Cieee...gadis bawel bisa malu juga tuh dirayu Abang Man.” Ledek Jalal yang datang bersama Jodha membawakan makanan dan minuman untuk mereka.

“Ish, Abang ikut-ikutan aja sih.” Kata Nadia bangkit dari tidurannya dan duduk disamping Mansingh. Jalal dan Jodha juga ikut bergabung dengan duduk di gazebo.

“Biarin aja. Lagian aku dengar kok.”

“Kesempatan.” Desis Nadia. Mansingh segera memegang tangannya. Bahaya kalau dilepaskan, bisa-bisa ngamuk tuh. Heran juga, kenapa setiap mereka berdua bertemu selalu ada saja yang membuat mereka bertengkar. Apa memang hormonnya berlawanan kali ya, kalau berdekatan maunya bikin emosi saja.

“Sudah Nad, tuh makan camilannya. Katanya tadi capek.” Kata Jodha menenangkan Nadia, Jalal terkekeh melihatnya, membuat Jodha yang ada disampingnya menyenggol tangannya agar dia berhenti meledek gadis itu.  Dengan tersenyum Jalal pun akhirnya mengangguk.

“Peace Nad, sudah. Nggak usah sewot gitu. Ntar cantiknya hilang.” Rayu Jalal.

“Bang Bos sih, nyari gara-gara terus sama aku. Aku salah apa sih Bang, aku kan masih kecil tanpa dosa, masih imut, masih polos, kok Bang Bos masih tega sih ngeledekin aku.” Ucap Nadia pura-pura melas. Jalal tertawa terbahak-bahak mendengarnya. Yang lain hanya bisa menggeleng.

“Iya deh, gadis kecil yang manis, imut, polos tanpa dosa. Terserah kamu sajalah. Kali ini aku ngalah aja deh. Kasihan.” Nadia tersenyum lebar.
“Kan emang seharusnya begitu Bang, laki-laki itu harus selalu mengalah kepada perempuan.”

“Mulai lagi bawel. Sudah diem aja. Ntar kelamaan aku nggak mau ngalah lagi nih.” Ancam Jalal. Nadia terkekeh. Puas hatinya melihat Jalal mengalah kali ini.

Mereka berenam hanya berbincang biasa saja. Hanya Ruqaiyah yang lebih banyak diam, sesekali saja dia menyahut. Surya yang duduk disampingnya menggenggam tangannya dan memberikan senyum hangat. Keempat sahabatnya bisa melihat binar cinta dimata mereka berdua. Tidak banyak kata memang, namun bahasa tubuhnya mengatakan kalau cinta itu ada dan semakin membesar meski tanpa diucapkan.

Jalal dan Mansingh saling pandang dan saling melempar senyum ketika melihat Surya begitu bahagia, melihat sahabatnya seperti tenggelam dalam dunianya sendiri. Mereka berdua bisa memakluminya. Mereka berdua sadar mungkin memang Ruqaiyah adalah pasangan yang terbaik untuk Surya.

Menjelang tengah malam Mansingh, Surya dan Ruqaiyah pulang. Sedangkan Nadia memutuskan untuk menginap saja karena memang dia kecapekan sekali. Bahkan ketika ketiga temannya pamit pulang, dia sudah tertidur dipangkuan Mansingh tanpa memperdulikan yang lain.

Keesokan harinya Jodha dan Nadia kembali berlatih dirumah Nadia, kali ini mereka hanya bertiga bersama Ruqaiyah karena Bu Hamidah harus kerja. Ketiga pemuda itu bingung melihat gadis mereka seperti sibuk sekali, bahkan waktu untuk mereka hampir tidak ada. Namun kalau ditanyakan langsung, mereka hanya bungkam.

Selama dua hari mereka melakukan latihan dan keduanya sudah semakin lihai dan gesit menggunakan sepatu hak tinggi. Nadia semakin percaya diri sekarang berjalan menggunakannya, tidak sabar lagi dia ingin memberikan kejutan kepada kekasihnya. Dia sudah membayangkan bagaimana ekpresi pemuda itu.

Malam acara.

Jalal mengetuk pintu kamar orang tuanya. Pintu terbuka, nampak mamanya masih menggunakan pakaian rumah namun wajahnya sudah di make up. Bu Hamidah tersenyum melihat ekspresi bingung anaknya, namun dia pura-pura tidak mengetahuinya.

“Aduh, anak mama ganteng banget sayang.” Ucap Bu Hamidah melihat Jalal sudah rapi dengan pakaian untuk pesta, memakai setelan jas berwarna hitam. Gayanya sudah seperti eksekutif muda saja, “Papa kamu bisa kalah saingan nih Sayang.” Jalal nyengir.

“Ganteng sih ganteng Ma. Tapi masalahnya, pasanganku mana?” tanya Jalal yang wajahnya berubah sewot. Mamanya terkekeh.

“Loh, emang Jodha nggak ada ya Sayang?”

“Kalau ada aku nggak ngetuk-ngetuk pintu kamar Mama.” Protes Jalal.

“Oh.” Sahut Bu Hamidah menyembunyikan senyumnya.

“Kok oh sih Ma? Mama pasti taukan dimana Jodha, Nadia dan Ruq? Itu Man sama Surya bingung mereka tidak ada. Ditelpon nggak diangkat. Kok senang banget sih bikin bingung.” Omel Jalal. Akhirnya Bu Hamidah tidak tega juga.

“Maafkan Mama sayang, Mama bukan mau menyembunyikan mereka, hanya saja Mama mau memberikan kejutan buat kalian bertiga.” Jalal menatap mamanya dengan heran.

“Kejutan apa Ma?” mamanya tersenyum misterius.

“Ada deh pokoknya.” Bu Hamidah melihat jam tangannya sebentar, “ya sudah, kalian jemput mereka di salon Madam Layla.” Wajah Jalal bersinar cerah.

“Salon langganan Mama itu ya?” mamanya mengangguk.

“Iya Sayang. Sudah sana jemput, dan nikmati kejutannya ya.” Jalal mengangguk cepat.

“Oke Ma. Aku berangkat duluan ya Ma.”

“Iya. Hati-hati ya Sayang.”

“Iya Ma.” Sahut Jalal sambil berlari turun dari kamar mamanya. Bu Hamidah hanya menggeleng melihat semangat anaknya.

Setelah menghubungi kedua sahabatnya dan berjanji akan bertemu dengan mereka di tempat yang diberitahukan oleh mamanya, Jalal segera berangkat menggunakan jeep kesayangannya.

“Kejutan apa sih Nem, yang ingin mama tunjukkan kepadaku. Emangnya kamu mau diapain sih sayang. Nggak tau apa aku lagi kangen sama kamu.” Gumam Jalal menjalankan jeepnya dengan tidak sabar lagi.

Sesampainya di depan salon langganan mamanya, Jalal tidak langsung masuk tetapi menunggu Mansingh dan Surya terlebih dahulu. Tidak perlu menunggu lama, keduanya datang menggunakan mobil masing-masing. Penampilan keduanya juga sangat rapi, sama halnya dengan Jalal, keduanya menggunakan setelan jas untuk pesta, membuat ketiganya seperti saudara kembar tapi tak serupa. Hahahaha....

“Memangnya mereka disini ya Bos?” tanya Mansingh.

“Mama bilang sih begitu Man. Ayo, kita masuk saja. Siapa tahu memang benar ada didalam.” Kedua sahabatnya mengangguk dan mengikuti langkah Jalal yang memasuki salon tersebut.

Mereka segera disambut oleh pemilik salon tersebut, seorang wanita setengah baya, seumuran mamanya Jalal. Wajahnya sumringah terpancar jelas, auranya menyenangkan dan terlihat ramah. Karenanya Bu Hamidah suka sekali mendatangi salon tersebut.

“Malam Madam.” Sapa Jalal.

“Malam ganteng, Eh, ada Jalal. Mau nyari Jodha ya?” Jalal tersenyum dan mengangguk.

“Iya Madam. Jodha ada disini ya?” Madam Layla tersenyum manis.

“Oh. Ada. Bersama kedua temannya.” Ketiganya saling pandang. Mansingh dan Surya tersenyum lega.

“Oh syukurlah kalau mereka ada disini Madam. Apa boleh kami ketemu mereka?”

“Boleh. Tunggu sebentar ya.” Ketiganya serentak mengangguk.

“Iya Madam.”

Mereka mengira wanita itu akan masuk untuk memanggil ketiga gadis mereka, tetapi ternyata dugaan mereka salah. Madam Layla hanya memasukkan jari telunjuk dan jempolnya kedalam mulutnya. Bersiul kencang. Gilaaa...., ketiga pemuda itu tercengang melihat aktraksi Madam Layla.

Suuuiiittt.... suitan panjang Madam Layla melengking, tidak lama kemudian tirai penghubung untuk menuju ruangan dalam dengan ruang tamu pun perlahan tersingkap. Ketiganya menunggu dengan dek-degan. Menunggu apa yang akan terjadi dan apa yang akan mereka lihat. Daaaaannn.... begitu tirai terbuka, ketiga hanya bisa melongo dengan mulut menganga....

“Ya Tuhaaann...” hanya itu saja yang bisa terucap oleh mulut mereka.


Tbc

Tidak ada komentar:

Posting Komentar