“Hai
cantik.” Jodha terkejut.
Dia terkejut bukan karena panggilan cantik
itu, tetapi lebih kepada siapa yang memanggilnya begitu. Karena memang dia
mengenal siapa orang yang berada di hadapannya itu, meski Jodha tidak tahu apa
laki-laki itu kenal dengannya atau tidak.
Siapa yang
tidak mengenal seorang Jalal yang terkenal di kampusnya itu, cowok yang selalu
menjadi incaran para gadis-gadis di sana. Cowok yang selalu tebar pesona dan
menganggap semua perempuan sama saja.
Tapi yang
Jodha tidak menyangka adalah, kalau Jalal itu anak dari Rektornya sendiri, Bu
Hamidah. Ya Tuhan, bagaimana ini? jangan sampai aku jatuh cinta dengan playboy
cap teri ini. Tiba-tiba Jodha terkikik sendiri dalam hati mengingat omongan Bi
Ijah tadi sore.
“Hei cantik,
kenapa senyum-senyum sendiri? aku tampan ya? Aku tau kok kalau aku tampan,
kalau kamu naksir aku juga boleh.” Ucap Jalal sambil terkekeh, dia memasang
aksi yang biasa dia lakukan untuk mempesona kaum hawa dengan mengedipkan
matanya.
“Apa
katanya? Dia tampan? Pede amat ya ini laki.” Gerutu Jodha, “lagian kenapa juga
tuh mata kedip-kedip gitu kayak bohlam lampu mau mati.” Meski Jodha menggerutu
dengan lirih namun rupanya telinga Jalal masih bisa menangkap kata-katanya.
“Apa kamu
bilang?” Jodha kaget, dia tidak menyangka kalau Tuan Mudanya itu mendengar semua
ucapannya.
“Ng...nggak
kok Tuan. Bukan apa-apa. Tuan salah dengar aja.” Ucap Jodha sambil meringis.
Takut juga dia.
“Eh, Inem.
Telingaku masih sehat dan masih bisa mendengar dengan jelas ucapanmu. Minggir,
aku mau masuk.” Sentak Jalal. Karuan saja Jodha menjadi sewot di panggil Inem,
tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa selain minggir memberi jalan untuk Jalal.
Ketika Jalal
melewatinya tercium aroma khas yang dia yakin itu bukan parfum, apa ya?
Pikirnya. Tapi, ketika melihat gelagat Tuan Mudanya itu seperti orang linglung
berarti itu bau alkohol dan Tuan Mudanya itu lagi mabuk. Astaga, benar. Jodha
lupa kalau dia sering mencium bau alkohol ketika ayahnya sering pulang malam
dan mabuk, namun aroma alkohol dari mulut Tuan Mudanya itu tercium lebih lembut
dan samar, mungkin jenis minuman yang harganya mahal makanya baunya tidak
terlalu kentara. Jodha hanya menggeleng-gelengkan kepalanya apalagi ketika
melihat pakaian laki-laki itu agak berantakan. Ck.
“Heh, Inem.
Ngapain bengong di depan pintu seperti orang bego.”
Grrr.....ingin
rasanya Jodha memukul kepala Tuan Mudanya itu dan menjambak rambutnya biar
tidak bicara sembarangan.
“Hm...Tuan,
nama saya bukan Inem, tapi Jodha. Panggil Jodha saja ya Tuan.” Pinta Jodha yang
berjalan mendekati Jalal yang sedang duduk di sofa, badannya disandarkan dan
kepalanya mendongak ke atas, matanya terpejam. Tetapi ketika mendengar
permintaan Jodha dia membuka matanya dan menatap Jodha dengan tajam.
“Bukan
urusanku. Memangnya kenapa kalau kamu aku panggil Inem? Nggak terima?”
“Bu...bukan
itu Tuan, hanya saja kasihan orang tua saya yang sudah motong kambing untuk
memberi nama buat saya, masa Tuan dengan seenaknya menggantinya dengan sesuka
hati.” Kata Jodha pelan-pelan, takut Tuan Mudanya marah.
“Ya sudah
kalau gitu nanti aku kasih seekor sapi yang besar buat nama kamu, bikin yang
panjang ya namanya. Kan sapinya besar. Nama Jodha aja pakai kambing, nah kalau
seekor sapi nanti namanya apa ya?” ucap Jalal sambil menggaruk kepalanya.
Kakinya yang masih menggunakan sepatu diangkat di atas meja. Jodha hanya bisa
menggeleng melihat kelakuan Tuan Mudanya itu.
“Nggak bisa
begitu Tuan, bagaimana pun saya tidak ingin merubah nama pemberian orang tua
saya biarpun Tuan memberikan saya seekor sapi yang besar.” Jalal menoleh lagi
kepadanya.
“Terserah!”
Jalal pun
memejamkan matanya dan mendongakkan kepalanya keatas, kedua tangannya
direntangkannya di atas sandaran sofa dengan seenaknya.
“Tuan,....”
panggil Jodha. Bermaksud ingin menyuruh Tuannya masuk ke kamar bukan tidur di
ruang tamu.
“Hm....”
“Tuan mabuk
ya?”
Ya ampun,
Jodha merutuki mulutnya. Kenapa jadi pertanyaan itu yang keluar dari mulutnya.
Padahal tadi dia mau menyuruh Tuannya untuk naik ke kamar, kan nggak sopan
tidur di ruang tamu. Jalal membuka kembali matanya dan menoleh ke arah Jodha.
“Iya.
Kenapa? Nggak pernah melihat orang mabuk ya?” semburnya.
Hampir saja
tawa Jodha meledak mendengar ucapan Tuannya. Ada gitu orang mabuk nyadar kalau dia mabuk. Mana kepalanya
menggeleng-geleng terus. Ada-ada saja.
“Tapi kok
Tuan tau kalau Tuan sedang mabuk? Biasanya kan orang mabuk itu nggak sadar kalau
dia mabuk Tuan?” lagi-lagi Jodha penasaran. Tuan Mudanya itu sungguh unik,
nyadar kalau mabuk dan mabuk kalau dia sadar kali ya. Hahahaha....
“Memangnya
kenapa? Saya tuh ya sudah biasa mabuk, makanya saya tahu kalau saya sekarang
sedang mabuk.” Katanya dengan santainya.
“Ha..ha...ha...”
akhirnya Jodha tertawa lepas. Melihat dan mendengar Tuan Mudanya mabuk merupakan
suatu hiburan buatnya. Lagipula dia baru pertama melihat orang mabuk yang tidak
merusak. Tidak seperti ayahnya kalau sedang mabuk kalau tidak marah-marah ya
memukul dan menghancurkan benda yang ada di sekitarnya. Sedangkan ini Tuan
Mudanya hanya meracau tidak jelas begitu. Aman, pikirnya.
“Kenapa
ketawa?” tanya Jalal santai sambil menoleh kearah Jodha sekilas. Jodha berusaha
untuk menghentikan ketawanya.
“Nggak
apa-apa Tuan.” Kata Jodha masih dengan tersenyum lebar, “hanya saja Tuan lucu
kalau sedang mabuk.”
“Oh ya?”
Jodha mengangguk, walaupun dia tahu Jalal tidak melihat kearahnya. Dia masih
berdiri di dekat Jalal. kedua tangannya saling berpegangan di depan perutnya.
“Apanya yang
lucu? Aku bukan badut dan juga bukan pelawak. Darimana kamu lihat aku lucu
Nem?”
“Ish,...masih
saja manggil Inem. Dasar!” maki Jodha dalam hati. Namun dia penasaran ingin
tahu kenapa Tuan Mudanya selalu mabuk.
“Kenapa sih
Tuan harus mabuk?” korek Jodha. Sebenarnya dia sadar kalau dia tidak pantas
untuk bertanya seperti itu, tapi mumpung Tuan Mudanya sadar kalau dia sedang
mabuk jadi bebas untuk mengorek keterangan dari mulutnya. Hehehe...
“Kamu kok
bawel banget sih? Pake nanya lagi? Apa perlunya buat kamu?” jawab Jalal tanpa
membuka matanya. Jodha hanya tersenyum mendengar ucapan Jalal, meski kalimat
yang diucapkannya itu bikin kesal namun mimik muka dan ekpresinya itu yang
membuatnya lucu.
“Tuan patah
hati ya?” tebak Jodha. Jalal membuka matanya kembali, namun tidak menoleh
kearah Jodha.
“Patah hati?
No. Tidak ada istilah patah hati dikamus hidupku. Semua perempuan itu sama saja,
kalau nggak melihat ketampanan ya kekayaan. Apalagi? Aku rasa di dunia ini
sudah tidak ada yang tulus lagi. Jadi untuk apa patah hati?” Kembali Jalal
menutup matanya.
Jodha
sedikit terenyuh melihatnya. Sepertinya Tuan Mudanya itu sedang ada masalah
atau beban.
“Aku pikir
Tuan salah, nggak semua perempuan seperti itu Tuan. Mungkin Tuan belum bertemu
aja untuk sekarang ini.” ucap Jodha sok bijak. Dia meringis mendengar ucapannya
sendiri.
Kembali
Jalal membuka matanya dan menoleh menatap Jodha, dia bangkit dari duduknya
meski agak terhuyung dia berjalan menghampiri Jodha yang masih berdiri dan
terlihat waspada ketika Jalal mendekatinya.
“Tu...Tuan
mau apa?” tanya Jodha agak ketakutan.
Jalal
tersenyum menyeringai, dipegangnya kedua bahu Jodha yang masih menatap Tuan
Mudanya dengan takut-takut.
“Kau pikir
aku mau apa heh?” kata Jalal sembari mendekatkan wajahnya ke wajah Jodha dan
menatapnya dalam-dalam. Jodha tidak tahu harus berbuat apa hanya bisa menutup
matanya dengan tubuh bergetar.
Namun,
sekian detik dia menunggu apa yang terjadi sambil memejamkan matanya belum ada
tanda-tanda akan terjadi apa-apa. Baru saja dia akan membuka matanya, tiba-tiba
dia merasa sesuatu yang berat menimpanya. Hampir saja dia jatuh terjengkang ke
belakang, untung saja dengan cepat kaki kirinya melangkah mundur sehingga bisa
menopang tubuhnya dari belakang.
Ternyata
sesuatu yang berat itu tubuh Tuan Mudanya yang menimpa tubuhnya, kepalanya
jatuh di bahu Jodha dengan kedua tangan terkulai. Tidak lama kemudian terdengar
suara dengkuran halusnya, ya ampun ternyata Tuan Mudanya tertidur. Jodha hanya
bisa menghela nafas panjang.
Jodha masih
terdiam mengatur debaran jantungnya yang begitu kencang tadi. Dengan perlahan
di mengguncang lengan Jalal untuk membangunkannya.
“Tu...Tuan,
bangun. Sebaiknya Tuan tidur di kamar Tuan saja.” Kata Jodha sambil terus
mengguncang lengan Tuan Mudanya. Namun tetap saja, tubuh itu tidak bergerak
dari tidur lelapnya.
Akhirnya
dengan susah payah Jodha membawa tubuh Tuan Mudanya yang berat dan lebih besar
darinya berjalan ke arah sofa dan membaringkannya disitu. Dia tidak sanggup
untuk membawa Tuan Mudanya naik ke kamarnya, jadi dibiarkannya saja Jalal tidur
disofa.
“Maafkan
saya Tuan, Tuan terlalu berat untuk saya antar ke kamar. Jadi malam ini Tuan
tidur di sofa ini saja ya.” Bisiknya sambil mengambil bantal sofa dan
meletakkannya di bawah kepala Jalal. membenarkan kaki Jalal di atas sofa
setelah sebelumnya Jodha melepas sepatu dan kaos kaki tuan Mudanya.
Sejenak
Jodha menatap wajah Tuan Mudanya dengan seksama. Biasanya dia hanya melihat
dari jauh saja ketika Tuan Mudanya melewatinya dengan rombongan gengnya, namun
dulu Jodha tidak pernah peduli tentang hal itu. Hanya saja sekarang, statusnya
sudah berubah. Sudah menjadi majikannya mau tidak mau dia harus peduli.
Setidaknya untuk membalas kebaikan Bu Hamidah yang sudah mau menampungnya.
Setelah
menghela nafas panjang Jodha pun melangkah meninggalkan Tuan Mudanya menuju
kamarnya. Membaringkan tubuhnya, berusaha untuk memejamkan kedua matanya namun
di sudut kedua matanya mengalir tetesan kristal bening yang jatuh satu persatu
mewakili perasaan sesak dalam dadanya. Belum genap satu hari dia sudah rindu
dengan ayahnya. Sedang apa ayahnya sekarang? Masih mabukkah? Sudah makan belum
dia? Ataukah sedang gembira karena anaknya sudah pergi?.
Jodha hanya
bisa mendoakan ayahnya. Mendoakan yang terbaik buat orang tuanya, meskipun dia
sudah tidak pernah lagi merasakan kasih sayang dari ayahnya. Demi apapun dia
sangat menyayangi ayahnya karena hanya ayahnyalah satu-satunya keluarga yang
dia miliki sekarang.
Rasa lelah
mengiringi istirahat Jodha menuju tidur lelapnya. Rasa lelah jiwanya membuat
raganya juga ikut lelah. Malam pun merayap jauh mengejar pagi. Jodha terbangun
mendengar suara alarm dari hpnya. Pukul empat pagi. Dia menggeliat untuk
merenggangkan ototnya adalah kegiatan rutin yang dia lakukan. Tubuh menjadi
rileks karenanya.
Setelah menyikat
gigi dan mencuci muka, Jodha mengambil buku-buku kuliahnya untuk belajar. Untuk
sementara selama seminggu ini dia memutuskan untuk ijin tidak ikut mata kuliah.
Dia ingin menikmati pekerjaannya dahulu. Tidak lama kemudian Jodha pun
tenggelam dalam bacaannya sampai suara azan subuh memanggil. Dia pun segera
menyudahi belajarnya dan melakukan sholat subuh.
Selesai
melaksanakan sholat subuh, Jodha keluar dengan memakai celana training pendek selutut,
kaos oblong longgar dan rambut di cepol, tidak lupa menempelkan earphone di telinganya yang terhubung
dengan i-pod di kantong celananya. Dia ingin jogging sebentar sebelum membantu
pekerjaan Bi Ijah.
Ketika
melewati ruang tamu Jodha masih melihat Tuan Mudanya tidur di sofa dengan meringkuk
seperti udang. Mungkin dia kedinginan pikir Jodha. Salahnya dia tidak tidur di
kamarnya, dan salahnya juga kenapa sampai mabuk. Jodha tersenyum melihatnya
sebelum akhirnya dia melangkah membuka pintu dan keluar.
Sesampainya
di depan pintu, Jodha berhenti sebentar. Memejamkan matanya dan menikmati
segarnya udara pagi. Di tambah lagi di sekitar rumah majikannya terdapat banyak
sekali pepohonan membuat udara menjadi bersih dan segar.
Setelah
jogging, Jodha pergi kedapur untuk minum. Ternyata Bi Ijah sudah bangun dan
sedang sibuk di dapur. Dia tersenyum melihat Jodha datang dan berkeringat.
“Darimana
saja Jo?” tanya Bi Ijah melihat Jodha mengambil gelas dan mengisinya dengan air
minum dan meneguknya dengan puas.
“Habis
jogging Bi. Segar sekali.” Katanya sambil menyeka keringat di dahinya. Bi Ijah
tersenyum.
“Oh ya,
gimana tadi malam kenalan dengan Tuan Muda?” tanya Bi Ijah dengan senyum jahil.
Jodha hanya tersenyum miring mendengar pertanyaan Bi Ijah.
“Gimana mau
kenalan Bi, orang dianya pulang mabuk kok. Sudah gitu dengan seenaknya
memanggilku dengan sebutan Inem.” Ucap Jodha dengan sewot namun Bi Ijah tertawa
terbahak mendengar ucapan Jodha.
“Masa sih?”
“Iya Bi. Sudah
aku bilang namaku Jodha bukan Inem, tetapi tetap saja ngotot memanggilku
begitu. Entah apa yang ada dipikirannya. Tapi, ngomong-ngomong Tuan Muda kalau
lagi mabuk lucu ya Bi. Ngoceh nggak karuan.” Kata Jodha sambil terkekeh. Bi
Ijah ikut tertawa.
“Memang Jo,
Tuan Muda itu begitu kalau mabuk, sama seperti temannya yang satunya siapa ya
namanya..hm.....o iya, Mansingh. Mereka berdua
kalau sedang mabuk terus ngoceh nggak karuan kayak orang ngobrol gitu,
tapi kalau dilihat-lihat obrolan mereka berdua persis obrolan dua orang bayi
yang belum terlalu bisa bicara. Nggak nyambung. Kalau yang satunya, Surya
namanya itu kalau mabuk ya langsung tidur.” Jelas Bi Ijah panjang lebar.
Kembali Jodha tertawa mengingat ucapan Tuan Mudanya tadi malam.
“Ternyata
begitu ya Bi. Pantas saja tadi malam ketika aku bilang kalau untuk bikin namaku
ini orang tuaku harus motong kambing, dia bilang gini Bi kalau gitu ntar aku
kasih sapi yang gede deh buat bikin nama kamu yang baru. Terus, nanti namanya
harus yang panjang kan sapinya gede, yang kambing aja cuma nama pendek ntar
kalau sapi bikinnya yang panjang. Apa nggak keterlaluan itu namanya Bi.” Ucap
Jodha sambil menggelengkan kepalanya, “sudah gitu dia nyadar kalau dia lagi
mabuk Bi.”
Bi Ijah dan
Jodha tertawa. Mereka berdua menertawakan kelakuan Tuan Mudanya.
“Memangnya dia
sering mabuk ya Bi?” tanya Jodha hati-hati kepada Bi Ijah yang sedang sibuk
mengaduk nasi buat sarapan majikannya. Tubuhnya disandarkan di pintu kulkas
sedangkan tangannya masih memegang gelas bekasnya minum tadi.
“Sering Jo.
Nyonya sama Tuan besar sering menegur, tapi ya itu Tuan Mudanya bandel. Ibarat
kata ya, omongan orang tuanya itu masuk dari telinga kanan terus keluar dari
telinga kiri jadi nggak ada yang nyangkut.” Jodha mendecak mendengar perkataan
Bi Ijah, “sebenarnya Tuan Muda itu pintar tapi ya mungkin merasa orang tuanya
yang punya universitas jadi biar nggak belajar juga pasti lulus.” Ucap Bi Ijah
sambil menggelengkan kepalanya. Kembali Jodha tertawa.
“Ya gimana
lagi Bi, sudah biasa dimanjakan kali sama orang tuanya. Jadinya begitu.”
“Kenyataannya
memang begitu Jo.”
Jodha
mengangguk-angguk.
“Oh ya Bi,
Mang Diman sudah bangun belum?”
“Sepertinya
sudah Jo, kenapa?” Jodha meletakkan gelasnya di meja.
“Aku mau
nanya-nanya masalah mobil ibu, hari ini kan aku sudah resmi kerja jadi aku
ingin sebaik-baiknya menjalankan pekerjaanku.”
“Kamu ini
Jo, kayak supir profesional aja. Biasa ajalah, lagian Nyonya juga nggak pernah
minta Mang Diman macam-macam kok. Cukup ketika ibu perlu diantar tinggal
dipanggil aja, nggak usah nungguin.” Jodha tertawa.
“Namanya
juga orang baru belajar kerja Bi.” Ucap Jodha sambil meninggalkan Bi Ijah yang
sedang sibuk menyiapkan sarapan untuk majikannya.
Sesampainya
di samping garasi Jodha melihat Mang Diman, supirnya Bu Hamidah sedang
bersiap-siap untuk mencuci mobil mahal itu.
“Mang
Diman.” Panggil Jodha. Mang Diman menoleh.
“Ya Neng.
Ada apa?”
“Mang Diman
mau ngapain?”
“Mau nyuci
mobil Neng. Kenapa?” tanya Mang Diman heran.
“Kalau
begitu biar aku saja yang nyuciin mobilnya ya Mang?”
“Jangan
Neng. Masa cantik-cantik begini nyuci mobil. Biar Mamang saja, lagian inikan
tugas laki-laki neng. Cukup Neng Jodha jadi supir aja. Soal nyuci serahkan
kepada saya.” Ujar Mang Diman sambil tertawa. Jodha pun ikut tertawa.
“Nggak
apa-apa Mang. Saya dulu juga terbiasa nyuci mobil sendiri. Cuma bedanya mobil
saya dulu kalah mahal sama mobil ibu. Sini biar saya aja Mang, tenang aja nggak
akan lecet kok.” Sahut Jodha mengambil perlengkapan untuk mencuci mobil dari
tangan Mang Diman.
“Tapi
Neng..”
“Sudah.
Nggak apa-apa Mang. Anggap saja ini sudah menjadi tugas saya.” Jawab Jodha
bersikeras untuk mencuci mobil. Akhirnya Mang Diman hanya bisa pasrah saja.
“Ya sudah
kalau begitu Mamang nyuciin mobil satunya punya Tuan Besar ya Neng.” Jodha
mengangguk.
“Iya Mang.”
Mang Diman
masuk ke dalam garasi lagi dan mengeluarkan mobil yang tidak kalah mewahnya
dari yang ingin di cuci oleh Jodha dan memarkirkannya di samping mobil Alphard
itu. Jadilah mereka berdua mencuci mobil majikannya masing-masing.
Buat Jodha
mencuci mobil bukanlah hal yang sulit, dia bahkan hampir tiap har mencuci mobil
ayahnya hanya saja sekarang dia harus berhati-hati agar tidak lecet. Ketakutan
yang berlebihan. Hehehe....
Sementara
Jalal yang tertidur di sofa terbangun, sejenak dia diam mengumpulkan
kesadarannya. Kepalanya sedikit sakit akibat terlalu banyak minum tadi malam
sampai akhirnya dia mabuk. Jalal bangkit dari tidurnya dan melangkah menuju
kamarnya meski dengan sedikit terhuyung.
Sesampai di
kamar dia segera mandi air hangat agar sakit kepalanya sedikit berkurang.
Selesai mandi dia keluar hanya dengan handuk yang melilit di pinggang, ketika
akan melangkah ingin mengambil pakaiannya di walk in closet tidak sengaja
matanya melirik jendela kamarnya yang bisa melihat langsung disamping garasi tempat Jodha dan Mang Diman
mencuci mobil.
Sebenarnya
itu pemandangan biasa sih melihat Mang Diman mencuci mobil, hanya yang tidak
biasa adalah salah satunya. Kok ada gadis yang mencuci mobil. Siapa dia? Apa
pembantu baru? Tapi rasanya Bi Ijah masih bekerja, belum pensiun. Dengan
penasaran Jalal berjalan di balkon kamarnya untuk melihat lebih jelas lagi. Tiba-tiba
terlintas di benaknya peristiwa tadi malam.
Yah,
meskipun dia mabuk tetapi masih mengingat sedikit kejadian waktu itu, seorang
gadis yang membukakan pintu untuknya. Yang cerewet bertanya kepadanya,
dan.....ya gadis itu yang dia panggil Inem meski diprotes sama sang empunya
nama. Jalal tersenyum geli mengingatnya. Boleh juga tuh cewek pikirnya.
Bergegas dia
berpakaian walau hanya memakai celana pendek dan kaos tanpa lengan. Menyemprot
parfum yang biasanya membuat gadis-gadis klepek-klepek (kira-kira klepek-klepek
termasuk EYD nggak sih? Hehehe...). setengah berlari dia menghampiri Jodha yang
sedang asyik mencuci mobil, namun ketika melihat telinga gadis itu terpasang earphone Jalal membatalkan niatnya dan hanya berdiri
bersandar pada dinding garasi dengan kedua tangannya bersidekap di depan dada,
salah satu kakinya ditekuk kebelakang sehingga telapak kakinya yang di halangi
sandal menempel di dinding.
Mang Diman
yang tidak sengaja melihat Jalal berdiri memperhatikan Jodha ingin
memberitahukan Jodha namun di cegah oleh Jalal dengan bahasa isyarat yang
dimengerti oleh Mang Diman. Dengan tersenyum geli Mang Diman melihat Tuan
Mudanya memperhatikan Jodha yang terus saja bekerja.
Jodha
mendengarkan lagu Rolling In The Deep
by Edele Sesekali dia berhenti bekerja dan menyentakkan kakinya di
lantai mengikuti irama musik yang sedikit menyentak dari lagu, kepalanya
mengangguk-angguk mengikuti lagunya. Sepertinya dia benar-benar berada di
dunianya sendiri pikir Jalal.
We could
have had it all,
Rolling in
the deep.
You had my
heart inside your hand,
And you
played it to the beat.
Tanpa sadar
bibirnya tersungging sebuah senyuman ketika Jodha berhenti sejenak dari
kerjaannya dan bersenandung sebentar dari mulut cantiknya mengikuti lagu yang
di dengarnya dengan menyentakkan tumit kakinya, jari tangan kirinya yang tidak
memegang spon di jentikkan berulang kali, setelah itu dia melanjutkan pekerjaan
lagi sambil kepalanya terus di gerak-gerakkannya tanpa henti. Bahkan Mang Diman
pun tersenyum melihat tingkah laku Jodha.
Gadis ini
nampak polos dan manis kalau malas dibilang cantik, bahkan tanpa memakai make
up dan riasan apapun dengan celana training selutut dan kaos oblong agak
kedodoran yang sedikit basah, memakai sendal jepit, rambut dicepol seadanya,
tapi di telinganya menempel earphone. Terlintas di pikiran Jalal untuk
menjahili gadis yang di depannya itu, sepertinya menarik pikirnya.
Selesai
membilas, Jodha berbalik ingin mengambil kanebo yang berada di dekat pintu
garasi untuk mengeringkan mobilnya seketika itulah dia terkejut melihat Tuan
Mudanya berdiri bersandar dan menatapnya dengan tajam hampir saja dia
terjengkang kebelakang saking kagetnya dia. Dengan cepat dia mencopot earphone yang menempel di telinganya. Agak
takut juga dia melihat tatapan laki-laki itu, tapi penampilannya boleh juga pikir
Jodha.
“Tuan sedang
apa disitu? Sudah bangun ya Tuan?” tanya Jodha dengan sopan.
“Kamu
siapa?” Jalal balik nanya.
“Saya supir
pribadi Ibu Hamidah Tuan.”
“Supir
pribadi? Sejak kapan? Kok aku baru melihat kamu?” tanya Jalal dengan ketus.
“Ish...ini
orang kenapa jadi menyeramkan gitu sih?” pikir Jodha, “Sejak hari ini Tuan.”
Jalal mengangkat sebelah alisnya.
“Jadi kamu
yang bukain pintu tadi malam Nem?” mendadak Jodha menjadi kesal. Tanpa sadar
wajahnya ditekuk. Rupanya dia masih ingat ucapannya tadi malam, “tuh muka
kenapa ditekuk begitu? Ngerasa cakep ya kalau mukanya berlipat seperti itu?
hati-hati ntar nggak bisa dihilangkan lipatannya meski sudah di setrika.” Sudah
tidak bisa dikatakan lagi jengkelnya hati Jodha. Wajahnya memerah menahan
jengkel, namun wajahnya dipasang senyum meski terlihat seperti orang meringis.
Jalal tertawa dalam hati.
“Nama saya
Jodha Tuan, bukan Inem?”
“Tapi nama
Inem bagus juga tuh. Terdengar seksi.” Ucap Jalal dengan cuek, Jodha
menggeleng.
“Tetap saja
saya tidak terima Tuan.”
“Terserah.
Pokoknya kamu tetap aku panggil Inem, suka nggak suka.” Ucap Jalal tersenyum
puas sambil mengedipkan matanya dan berlalu meninggalkan Jodha yang masih
terbengong-bengong dan memaki dalam hati.
“Untung saja
dia anak majikanku, coba kalau nggak sudah ku hajar dia seenaknya saja
mengganti nama orang. Itu mulut tinggal ditambahin bawang dan terasi sudah bisa
jadi sambel saking pedesnya.” Jodha menggerutu panjang pendek sambil mengelap
mobil. Mang Diman terkekeh mendengar gerutuan Jodha.
“Sudah Neng,
sabar saja. Tuan Muda memang begitu, semua keinginannya harus diturutin.” Jodha
mendesah pelan. Baru pertama kerja sudah ada yang bikin kesal, tapi gimana lagi
ini resiko pekerjaan mau tidak mau dia harus terbiasa.
“Iya Mang,
saya akan berusaha menerima dan memakluminya.” Mang Diman tersenyum.
“Itu lebih
baik Neng.”
“Iya Mang.”
Setelah
selesai mencuci mobil Jodha segera mandi dan membersihkan diri, bersiap-siap kalau
majikannya memanggil. Karena dia belum hapal jadwal kerja Bu Hamidah.
Benar saja,
pukul 08.00 Bu Hamidah memanggil. Dengan segera Jodha keluar dari kamar dan
menghampiri majikannya yang sedang menikmati sarapan di meja makan. Kali ini
bukan cuma Bu Hamidah dan Pak Humayun saja yang sedang duduk disitu, tetapi
juga Tuan Mudanya. Sekilas dia nampak melirik Jodha, namun kemudian dia nampak
bengong melihat Jodha.
“Pergi
sekarang Bu?” tanya Jodha sopan.
“Kamu sudah
sarapan Jo?” Bu Hamidah
“Sudah Bu.”
Bu Hamidah bangkit
dari duduknya dan pamit dengan suami dan anaknya.
“Ayo Jo,
kita berangkat.” ucap Bu Hamidah menggandeng Jodha yang masih nampak canggung.
Tapi langkahnya terhenti mendengar ucapan Jalal.
“Emang yakin
dia jadi supir Ma dengan penampilan begitu?” Bu Hamidah berbalik dan menatap
anaknya dengan heran.
“Memangnya
kenapa sayang? Nggak ada yang salah dengan penampilan Jodha? pantas aja kok.”
Ucap Bu Hamidah sambil melihat Jodha dari kaki sampai kepala.
“Maksud kamu
apa Jalal?” tanya Pak Humayun, dia juga heran dengan ucapan anaknya.
“Kalau
penampilannya begitu sih dia lebih cocok jadi bodyguard daripada supir.”
“APAAA??”
==TBC==
Tidak ada komentar:
Posting Komentar