Menu

Jumat, 12 Februari 2016

BIARKAN AKU JATUH CINTA, PART. 2 (SIAPA DIA)


“Hai cantik.” Jodha terkejut.
 Dia terkejut bukan karena panggilan cantik itu, tetapi lebih kepada siapa yang memanggilnya begitu. Karena memang dia mengenal siapa orang yang berada di hadapannya itu, meski Jodha tidak tahu apa laki-laki itu kenal dengannya atau tidak.
Siapa yang tidak mengenal seorang Jalal yang terkenal di kampusnya itu, cowok yang selalu menjadi incaran para gadis-gadis di sana. Cowok yang selalu tebar pesona dan menganggap semua perempuan sama saja.
Tapi yang Jodha tidak menyangka adalah, kalau Jalal itu anak dari Rektornya sendiri, Bu Hamidah. Ya Tuhan, bagaimana ini? jangan sampai aku jatuh cinta dengan playboy cap teri ini. Tiba-tiba Jodha terkikik sendiri dalam hati mengingat omongan Bi Ijah tadi sore.
“Hei cantik, kenapa senyum-senyum sendiri? aku tampan ya? Aku tau kok kalau aku tampan, kalau kamu naksir aku juga boleh.” Ucap Jalal sambil terkekeh, dia memasang aksi yang biasa dia lakukan untuk mempesona kaum hawa dengan mengedipkan matanya.
“Apa katanya? Dia tampan? Pede amat ya ini laki.” Gerutu Jodha, “lagian kenapa juga tuh mata kedip-kedip gitu kayak bohlam lampu mau mati.” Meski Jodha menggerutu dengan lirih namun rupanya telinga Jalal masih bisa menangkap kata-katanya.
“Apa kamu bilang?” Jodha kaget, dia tidak menyangka kalau Tuan Mudanya itu mendengar semua ucapannya.
“Ng...nggak kok Tuan. Bukan apa-apa. Tuan salah dengar aja.” Ucap Jodha sambil meringis. Takut juga dia.
“Eh, Inem. Telingaku masih sehat dan masih bisa mendengar dengan jelas ucapanmu. Minggir, aku mau masuk.” Sentak Jalal. Karuan saja Jodha menjadi sewot di panggil Inem, tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa selain minggir memberi jalan untuk Jalal.
Ketika Jalal melewatinya tercium aroma khas yang dia yakin itu bukan parfum, apa ya? Pikirnya. Tapi, ketika melihat gelagat Tuan Mudanya itu seperti orang linglung berarti itu bau alkohol dan Tuan Mudanya itu lagi mabuk. Astaga, benar. Jodha lupa kalau dia sering mencium bau alkohol ketika ayahnya sering pulang malam dan mabuk, namun aroma alkohol dari mulut Tuan Mudanya itu tercium lebih lembut dan samar, mungkin jenis minuman yang harganya mahal makanya baunya tidak terlalu kentara. Jodha hanya menggeleng-gelengkan kepalanya apalagi ketika melihat pakaian laki-laki itu agak berantakan. Ck.
“Heh, Inem. Ngapain bengong di depan pintu seperti orang bego.”
Grrr.....ingin rasanya Jodha memukul kepala Tuan Mudanya itu dan menjambak rambutnya biar tidak bicara sembarangan.
“Hm...Tuan, nama saya bukan Inem, tapi Jodha. Panggil Jodha saja ya Tuan.” Pinta Jodha yang berjalan mendekati Jalal yang sedang duduk di sofa, badannya disandarkan dan kepalanya mendongak ke atas, matanya terpejam. Tetapi ketika mendengar permintaan Jodha dia membuka matanya dan menatap Jodha dengan tajam.
“Bukan urusanku. Memangnya kenapa kalau kamu aku panggil Inem? Nggak terima?”
“Bu...bukan itu Tuan, hanya saja kasihan orang tua saya yang sudah motong kambing untuk memberi nama buat saya, masa Tuan dengan seenaknya menggantinya dengan sesuka hati.” Kata Jodha pelan-pelan, takut Tuan Mudanya marah.
“Ya sudah kalau gitu nanti aku kasih seekor sapi yang besar buat nama kamu, bikin yang panjang ya namanya. Kan sapinya besar. Nama Jodha aja pakai kambing, nah kalau seekor sapi nanti namanya apa ya?” ucap Jalal sambil menggaruk kepalanya. Kakinya yang masih menggunakan sepatu diangkat di atas meja. Jodha hanya bisa menggeleng melihat kelakuan Tuan Mudanya itu.
“Nggak bisa begitu Tuan, bagaimana pun saya tidak ingin merubah nama pemberian orang tua saya biarpun Tuan memberikan saya seekor sapi yang besar.” Jalal menoleh lagi kepadanya.
“Terserah!”
Jalal pun memejamkan matanya dan mendongakkan kepalanya keatas, kedua tangannya direntangkannya di atas sandaran sofa dengan seenaknya.
“Tuan,....” panggil Jodha. Bermaksud ingin menyuruh Tuannya masuk ke kamar bukan tidur di ruang tamu.
“Hm....”
“Tuan mabuk ya?”
Ya ampun, Jodha merutuki mulutnya. Kenapa jadi pertanyaan itu yang keluar dari mulutnya. Padahal tadi dia mau menyuruh Tuannya untuk naik ke kamar, kan nggak sopan tidur di ruang tamu. Jalal membuka kembali matanya dan menoleh ke arah Jodha.
“Iya. Kenapa? Nggak pernah melihat orang mabuk ya?” semburnya.
Hampir saja tawa Jodha meledak mendengar ucapan Tuannya. Ada gitu orang mabuk  nyadar kalau dia mabuk. Mana kepalanya menggeleng-geleng terus. Ada-ada saja.
“Tapi kok Tuan tau kalau Tuan sedang mabuk? Biasanya kan orang mabuk itu nggak sadar kalau dia mabuk Tuan?” lagi-lagi Jodha penasaran. Tuan Mudanya itu sungguh unik, nyadar kalau mabuk dan mabuk kalau dia sadar kali ya. Hahahaha....
“Memangnya kenapa? Saya tuh ya sudah biasa mabuk, makanya saya tahu kalau saya sekarang sedang mabuk.” Katanya dengan santainya.
“Ha..ha...ha...” akhirnya Jodha tertawa lepas. Melihat dan mendengar Tuan Mudanya mabuk merupakan suatu hiburan buatnya. Lagipula dia baru pertama melihat orang mabuk yang tidak merusak. Tidak seperti ayahnya kalau sedang mabuk kalau tidak marah-marah ya memukul dan menghancurkan benda yang ada di sekitarnya. Sedangkan ini Tuan Mudanya hanya meracau tidak jelas begitu. Aman, pikirnya.
“Kenapa ketawa?” tanya Jalal santai sambil menoleh kearah Jodha sekilas. Jodha berusaha untuk menghentikan ketawanya.
“Nggak apa-apa Tuan.” Kata Jodha masih dengan tersenyum lebar, “hanya saja Tuan lucu kalau sedang mabuk.”
“Oh ya?” Jodha mengangguk, walaupun dia tahu Jalal tidak melihat kearahnya. Dia masih berdiri di dekat Jalal. kedua tangannya saling berpegangan di depan perutnya.
“Apanya yang lucu? Aku bukan badut dan juga bukan pelawak. Darimana kamu lihat aku lucu Nem?”
“Ish,...masih saja manggil Inem. Dasar!” maki Jodha dalam hati. Namun dia penasaran ingin tahu kenapa Tuan Mudanya selalu mabuk.
“Kenapa sih Tuan harus mabuk?” korek Jodha. Sebenarnya dia sadar kalau dia tidak pantas untuk bertanya seperti itu, tapi mumpung Tuan Mudanya sadar kalau dia sedang mabuk jadi bebas untuk mengorek keterangan dari mulutnya. Hehehe...
“Kamu kok bawel banget sih? Pake nanya lagi? Apa perlunya buat kamu?” jawab Jalal tanpa membuka matanya. Jodha hanya tersenyum mendengar ucapan Jalal, meski kalimat yang diucapkannya itu bikin kesal namun mimik muka dan ekpresinya itu yang membuatnya lucu.
“Tuan patah hati ya?” tebak Jodha. Jalal membuka matanya kembali, namun tidak menoleh kearah Jodha.
“Patah hati? No. Tidak ada istilah patah hati dikamus hidupku. Semua perempuan itu sama saja, kalau nggak melihat ketampanan ya kekayaan. Apalagi? Aku rasa di dunia ini sudah tidak ada yang tulus lagi. Jadi untuk apa patah hati?” Kembali Jalal menutup matanya.
Jodha sedikit terenyuh melihatnya. Sepertinya Tuan Mudanya itu sedang ada masalah atau beban.
“Aku pikir Tuan salah, nggak semua perempuan seperti itu Tuan. Mungkin Tuan belum bertemu aja untuk sekarang ini.” ucap Jodha sok bijak. Dia meringis mendengar ucapannya sendiri.
Kembali Jalal membuka matanya dan menoleh menatap Jodha, dia bangkit dari duduknya meski agak terhuyung dia berjalan menghampiri Jodha yang masih berdiri dan terlihat waspada ketika Jalal mendekatinya.
“Tu...Tuan mau apa?” tanya Jodha agak ketakutan.
Jalal tersenyum menyeringai, dipegangnya kedua bahu Jodha yang masih menatap Tuan Mudanya dengan takut-takut.
“Kau pikir aku mau apa heh?” kata Jalal sembari mendekatkan wajahnya ke wajah Jodha dan menatapnya dalam-dalam. Jodha tidak tahu harus berbuat apa hanya bisa menutup matanya dengan tubuh bergetar.
Namun, sekian detik dia menunggu apa yang terjadi sambil memejamkan matanya belum ada tanda-tanda akan terjadi apa-apa. Baru saja dia akan membuka matanya, tiba-tiba dia merasa sesuatu yang berat menimpanya. Hampir saja dia jatuh terjengkang ke belakang, untung saja dengan cepat kaki kirinya melangkah mundur sehingga bisa menopang tubuhnya dari belakang.
Ternyata sesuatu yang berat itu tubuh Tuan Mudanya yang menimpa tubuhnya, kepalanya jatuh di bahu Jodha dengan kedua tangan terkulai. Tidak lama kemudian terdengar suara dengkuran halusnya, ya ampun ternyata Tuan Mudanya tertidur. Jodha hanya bisa menghela nafas panjang.
Jodha masih terdiam mengatur debaran jantungnya yang begitu kencang tadi. Dengan perlahan di mengguncang lengan Jalal untuk membangunkannya.
“Tu...Tuan, bangun. Sebaiknya Tuan tidur di kamar Tuan saja.” Kata Jodha sambil terus mengguncang lengan Tuan Mudanya. Namun tetap saja, tubuh itu tidak bergerak dari tidur lelapnya.
Akhirnya dengan susah payah Jodha membawa tubuh Tuan Mudanya yang berat dan lebih besar darinya berjalan ke arah sofa dan membaringkannya disitu. Dia tidak sanggup untuk membawa Tuan Mudanya naik ke kamarnya, jadi dibiarkannya saja Jalal tidur disofa.
“Maafkan saya Tuan, Tuan terlalu berat untuk saya antar ke kamar. Jadi malam ini Tuan tidur di sofa ini saja ya.” Bisiknya sambil mengambil bantal sofa dan meletakkannya di bawah kepala Jalal. membenarkan kaki Jalal di atas sofa setelah sebelumnya Jodha melepas sepatu dan kaos kaki tuan Mudanya.
Sejenak Jodha menatap wajah Tuan Mudanya dengan seksama. Biasanya dia hanya melihat dari jauh saja ketika Tuan Mudanya melewatinya dengan rombongan gengnya, namun dulu Jodha tidak pernah peduli tentang hal itu. Hanya saja sekarang, statusnya sudah berubah. Sudah menjadi majikannya mau tidak mau dia harus peduli. Setidaknya untuk membalas kebaikan Bu Hamidah yang sudah mau menampungnya.
Setelah menghela nafas panjang Jodha pun melangkah meninggalkan Tuan Mudanya menuju kamarnya. Membaringkan tubuhnya, berusaha untuk memejamkan kedua matanya namun di sudut kedua matanya mengalir tetesan kristal bening yang jatuh satu persatu mewakili perasaan sesak dalam dadanya. Belum genap satu hari dia sudah rindu dengan ayahnya. Sedang apa ayahnya sekarang? Masih mabukkah? Sudah makan belum dia? Ataukah sedang gembira karena anaknya sudah pergi?.
Jodha hanya bisa mendoakan ayahnya. Mendoakan yang terbaik buat orang tuanya, meskipun dia sudah tidak pernah lagi merasakan kasih sayang dari ayahnya. Demi apapun dia sangat menyayangi ayahnya karena hanya ayahnyalah satu-satunya keluarga yang dia miliki sekarang.
Rasa lelah mengiringi istirahat Jodha menuju tidur lelapnya. Rasa lelah jiwanya membuat raganya juga ikut lelah. Malam pun merayap jauh mengejar pagi. Jodha terbangun mendengar suara alarm dari hpnya. Pukul empat pagi. Dia menggeliat untuk merenggangkan ototnya adalah kegiatan rutin yang dia lakukan. Tubuh menjadi rileks karenanya.
Setelah menyikat gigi dan mencuci muka, Jodha mengambil buku-buku kuliahnya untuk belajar. Untuk sementara selama seminggu ini dia memutuskan untuk ijin tidak ikut mata kuliah. Dia ingin menikmati pekerjaannya dahulu. Tidak lama kemudian Jodha pun tenggelam dalam bacaannya sampai suara azan subuh memanggil. Dia pun segera menyudahi belajarnya dan melakukan sholat subuh.
Selesai melaksanakan sholat subuh, Jodha keluar dengan memakai celana training pendek selutut, kaos oblong longgar dan rambut di cepol, tidak lupa menempelkan earphone di telinganya yang terhubung dengan i-pod di kantong celananya. Dia ingin jogging sebentar sebelum membantu pekerjaan Bi Ijah.
Ketika melewati ruang tamu Jodha masih melihat Tuan Mudanya tidur di sofa dengan meringkuk seperti udang. Mungkin dia kedinginan pikir Jodha. Salahnya dia tidak tidur di kamarnya, dan salahnya juga kenapa sampai mabuk. Jodha tersenyum melihatnya sebelum akhirnya dia melangkah membuka pintu dan keluar.
Sesampainya di depan pintu, Jodha berhenti sebentar. Memejamkan matanya dan menikmati segarnya udara pagi. Di tambah lagi di sekitar rumah majikannya terdapat banyak sekali pepohonan membuat udara menjadi bersih dan segar.
Setelah jogging, Jodha pergi kedapur untuk minum. Ternyata Bi Ijah sudah bangun dan sedang sibuk di dapur. Dia tersenyum melihat Jodha datang dan berkeringat.
“Darimana saja Jo?” tanya Bi Ijah melihat Jodha mengambil gelas dan mengisinya dengan air minum dan meneguknya dengan puas.
“Habis jogging Bi. Segar sekali.” Katanya sambil menyeka keringat di dahinya. Bi Ijah tersenyum.
“Oh ya, gimana tadi malam kenalan dengan Tuan Muda?” tanya Bi Ijah dengan senyum jahil. Jodha hanya tersenyum miring mendengar pertanyaan Bi Ijah.
“Gimana mau kenalan Bi, orang dianya pulang mabuk kok. Sudah gitu dengan seenaknya memanggilku dengan sebutan Inem.” Ucap Jodha dengan sewot namun Bi Ijah tertawa terbahak mendengar ucapan Jodha.
“Masa sih?”
“Iya Bi. Sudah aku bilang namaku Jodha bukan Inem, tetapi tetap saja ngotot memanggilku begitu. Entah apa yang ada dipikirannya. Tapi, ngomong-ngomong Tuan Muda kalau lagi mabuk lucu ya Bi. Ngoceh nggak karuan.” Kata Jodha sambil terkekeh. Bi Ijah ikut tertawa.
“Memang Jo, Tuan Muda itu begitu kalau mabuk, sama seperti temannya yang satunya siapa ya namanya..hm.....o iya, Mansingh. Mereka berdua  kalau sedang mabuk terus ngoceh nggak karuan kayak orang ngobrol gitu, tapi kalau dilihat-lihat obrolan mereka berdua persis obrolan dua orang bayi yang belum terlalu bisa bicara. Nggak nyambung. Kalau yang satunya, Surya namanya itu kalau mabuk ya langsung tidur.” Jelas Bi Ijah panjang lebar. Kembali Jodha tertawa mengingat ucapan Tuan Mudanya tadi malam.
“Ternyata begitu ya Bi. Pantas saja tadi malam ketika aku bilang kalau untuk bikin namaku ini orang tuaku harus motong kambing, dia bilang gini Bi kalau gitu ntar aku kasih sapi yang gede deh buat bikin nama kamu yang baru. Terus, nanti namanya harus yang panjang kan sapinya gede, yang kambing aja cuma nama pendek ntar kalau sapi bikinnya yang panjang. Apa nggak keterlaluan itu namanya Bi.” Ucap Jodha sambil menggelengkan kepalanya, “sudah gitu dia nyadar kalau dia lagi mabuk Bi.”
Bi Ijah dan Jodha tertawa. Mereka berdua menertawakan kelakuan Tuan Mudanya.
“Memangnya dia sering mabuk ya Bi?” tanya Jodha hati-hati kepada Bi Ijah yang sedang sibuk mengaduk nasi buat sarapan majikannya. Tubuhnya disandarkan di pintu kulkas sedangkan tangannya masih memegang gelas bekasnya minum tadi.
“Sering Jo. Nyonya sama Tuan besar sering menegur, tapi ya itu Tuan Mudanya bandel. Ibarat kata ya, omongan orang tuanya itu masuk dari telinga kanan terus keluar dari telinga kiri jadi nggak ada yang nyangkut.” Jodha mendecak mendengar perkataan Bi Ijah, “sebenarnya Tuan Muda itu pintar tapi ya mungkin merasa orang tuanya yang punya universitas jadi biar nggak belajar juga pasti lulus.” Ucap Bi Ijah sambil menggelengkan kepalanya. Kembali Jodha tertawa.
“Ya gimana lagi Bi, sudah biasa dimanjakan kali sama orang tuanya. Jadinya begitu.”
“Kenyataannya memang begitu Jo.”
Jodha mengangguk-angguk.
“Oh ya Bi, Mang Diman sudah bangun belum?”
“Sepertinya sudah Jo, kenapa?” Jodha meletakkan gelasnya di meja.
“Aku mau nanya-nanya masalah mobil ibu, hari ini kan aku sudah resmi kerja jadi aku ingin sebaik-baiknya menjalankan pekerjaanku.”
“Kamu ini Jo, kayak supir profesional aja. Biasa ajalah, lagian Nyonya juga nggak pernah minta Mang Diman macam-macam kok. Cukup ketika ibu perlu diantar tinggal dipanggil aja, nggak usah nungguin.” Jodha tertawa.
“Namanya juga orang baru belajar kerja Bi.” Ucap Jodha sambil meninggalkan Bi Ijah yang sedang sibuk menyiapkan sarapan untuk majikannya.
Sesampainya di samping garasi Jodha melihat Mang Diman, supirnya Bu Hamidah sedang bersiap-siap untuk mencuci mobil mahal itu.
“Mang Diman.” Panggil Jodha. Mang Diman menoleh.
“Ya Neng. Ada apa?”
“Mang Diman mau ngapain?”
“Mau nyuci mobil Neng. Kenapa?” tanya Mang Diman heran.
“Kalau begitu biar aku saja yang nyuciin mobilnya ya Mang?”
“Jangan Neng. Masa cantik-cantik begini nyuci mobil. Biar Mamang saja, lagian inikan tugas laki-laki neng. Cukup Neng Jodha jadi supir aja. Soal nyuci serahkan kepada saya.” Ujar Mang Diman sambil tertawa. Jodha pun ikut tertawa.
“Nggak apa-apa Mang. Saya dulu juga terbiasa nyuci mobil sendiri. Cuma bedanya mobil saya dulu kalah mahal sama mobil ibu. Sini biar saya aja Mang, tenang aja nggak akan lecet kok.” Sahut Jodha mengambil perlengkapan untuk mencuci mobil dari tangan Mang Diman.
“Tapi Neng..”
“Sudah. Nggak apa-apa Mang. Anggap saja ini sudah menjadi tugas saya.” Jawab Jodha bersikeras untuk mencuci mobil. Akhirnya Mang Diman hanya bisa pasrah saja.
“Ya sudah kalau begitu Mamang nyuciin mobil satunya punya Tuan Besar ya Neng.” Jodha mengangguk.
“Iya Mang.”
Mang Diman masuk ke dalam garasi lagi dan mengeluarkan mobil yang tidak kalah mewahnya dari yang ingin di cuci oleh Jodha dan memarkirkannya di samping mobil Alphard itu. Jadilah mereka berdua mencuci mobil majikannya masing-masing.
Buat Jodha mencuci mobil bukanlah hal yang sulit, dia bahkan hampir tiap har mencuci mobil ayahnya hanya saja sekarang dia harus berhati-hati agar tidak lecet. Ketakutan yang berlebihan. Hehehe....
Sementara Jalal yang tertidur di sofa terbangun, sejenak dia diam mengumpulkan kesadarannya. Kepalanya sedikit sakit akibat terlalu banyak minum tadi malam sampai akhirnya dia mabuk. Jalal bangkit dari tidurnya dan melangkah menuju kamarnya meski dengan sedikit terhuyung.
Sesampai di kamar dia segera mandi air hangat agar sakit kepalanya sedikit berkurang. Selesai mandi dia keluar hanya dengan handuk yang melilit di pinggang, ketika akan melangkah ingin mengambil pakaiannya di walk in closet  tidak sengaja matanya melirik jendela kamarnya yang bisa melihat langsung  disamping garasi tempat Jodha dan Mang Diman mencuci mobil.
Sebenarnya itu pemandangan biasa sih melihat Mang Diman mencuci mobil, hanya yang tidak biasa adalah salah satunya. Kok ada gadis yang mencuci mobil. Siapa dia? Apa pembantu baru? Tapi rasanya Bi Ijah masih bekerja, belum pensiun. Dengan penasaran Jalal berjalan di balkon kamarnya untuk melihat lebih jelas lagi. Tiba-tiba terlintas di benaknya peristiwa tadi malam.
Yah, meskipun dia mabuk tetapi masih mengingat sedikit kejadian waktu itu, seorang gadis yang membukakan pintu untuknya. Yang cerewet bertanya kepadanya, dan.....ya gadis itu yang dia panggil Inem meski diprotes sama sang empunya nama. Jalal tersenyum geli mengingatnya. Boleh juga tuh cewek pikirnya.
Bergegas dia berpakaian walau hanya memakai celana pendek dan kaos tanpa lengan. Menyemprot parfum yang biasanya membuat gadis-gadis klepek-klepek (kira-kira klepek-klepek termasuk EYD nggak sih? Hehehe...). setengah berlari dia menghampiri Jodha yang sedang asyik mencuci mobil, namun ketika melihat telinga gadis itu terpasang earphone  Jalal membatalkan niatnya dan hanya berdiri bersandar pada dinding garasi dengan kedua tangannya bersidekap di depan dada, salah satu kakinya ditekuk kebelakang sehingga telapak kakinya yang di halangi sandal menempel di dinding.
Mang Diman yang tidak sengaja melihat Jalal berdiri memperhatikan Jodha ingin memberitahukan Jodha namun di cegah oleh Jalal dengan bahasa isyarat yang dimengerti oleh Mang Diman. Dengan tersenyum geli Mang Diman melihat Tuan Mudanya memperhatikan Jodha yang terus saja bekerja.
Jodha mendengarkan lagu Rolling In The Deep by Edele Sesekali dia berhenti bekerja dan menyentakkan kakinya di lantai mengikuti irama musik yang sedikit menyentak dari lagu, kepalanya mengangguk-angguk mengikuti lagunya. Sepertinya dia benar-benar berada di dunianya sendiri pikir Jalal.

We could have had it all,
Rolling in the deep.
You had my heart inside your hand,
And you played it to the beat.

Tanpa sadar bibirnya tersungging sebuah senyuman ketika Jodha berhenti sejenak dari kerjaannya dan bersenandung sebentar dari mulut cantiknya mengikuti lagu yang di dengarnya dengan menyentakkan tumit kakinya, jari tangan kirinya yang tidak memegang spon di jentikkan berulang kali, setelah itu dia melanjutkan pekerjaan lagi sambil kepalanya terus di gerak-gerakkannya tanpa henti. Bahkan Mang Diman pun tersenyum melihat tingkah laku Jodha.
Gadis ini nampak polos dan manis kalau malas dibilang cantik, bahkan tanpa memakai make up dan riasan apapun dengan celana training selutut dan kaos oblong agak kedodoran yang sedikit basah, memakai sendal jepit, rambut dicepol seadanya, tapi di telinganya menempel earphone. Terlintas di pikiran Jalal untuk menjahili gadis yang di depannya itu, sepertinya menarik pikirnya.
Selesai membilas, Jodha berbalik ingin mengambil kanebo yang berada di dekat pintu garasi untuk mengeringkan mobilnya seketika itulah dia terkejut melihat Tuan Mudanya berdiri bersandar dan menatapnya dengan tajam hampir saja dia terjengkang kebelakang saking kagetnya dia. Dengan cepat dia mencopot earphone yang menempel di telinganya. Agak takut juga dia melihat tatapan laki-laki itu, tapi penampilannya boleh juga pikir Jodha.
“Tuan sedang apa disitu? Sudah bangun ya Tuan?” tanya Jodha dengan sopan.
“Kamu siapa?” Jalal balik nanya.
“Saya supir pribadi Ibu Hamidah Tuan.”
“Supir pribadi? Sejak kapan? Kok aku baru melihat kamu?” tanya Jalal dengan ketus.
“Ish...ini orang kenapa jadi menyeramkan gitu sih?” pikir Jodha, “Sejak hari ini Tuan.” Jalal mengangkat sebelah alisnya. 
“Jadi kamu yang bukain pintu tadi malam Nem?” mendadak Jodha menjadi kesal. Tanpa sadar wajahnya ditekuk. Rupanya dia masih ingat ucapannya tadi malam, “tuh muka kenapa ditekuk begitu? Ngerasa cakep ya kalau mukanya berlipat seperti itu? hati-hati ntar nggak bisa dihilangkan lipatannya meski sudah di setrika.” Sudah tidak bisa dikatakan lagi jengkelnya hati Jodha. Wajahnya memerah menahan jengkel, namun wajahnya dipasang senyum meski terlihat seperti orang meringis. Jalal tertawa dalam hati.
“Nama saya Jodha Tuan, bukan Inem?”
“Tapi nama Inem bagus juga tuh. Terdengar seksi.” Ucap Jalal dengan cuek, Jodha menggeleng.
“Tetap saja saya tidak terima Tuan.”
“Terserah. Pokoknya kamu tetap aku panggil Inem, suka nggak suka.” Ucap Jalal tersenyum puas sambil mengedipkan matanya dan berlalu meninggalkan Jodha yang masih terbengong-bengong dan memaki dalam hati.
“Untung saja dia anak majikanku, coba kalau nggak sudah ku hajar dia seenaknya saja mengganti nama orang. Itu mulut tinggal ditambahin bawang dan terasi sudah bisa jadi sambel saking pedesnya.” Jodha menggerutu panjang pendek sambil mengelap mobil. Mang Diman terkekeh mendengar gerutuan Jodha.
“Sudah Neng, sabar saja. Tuan Muda memang begitu, semua keinginannya harus diturutin.” Jodha mendesah pelan. Baru pertama kerja sudah ada yang bikin kesal, tapi gimana lagi ini resiko pekerjaan mau tidak mau dia harus terbiasa.
“Iya Mang, saya akan berusaha menerima dan memakluminya.” Mang Diman tersenyum.
“Itu lebih baik Neng.”
“Iya Mang.”
Setelah selesai mencuci mobil Jodha segera mandi dan membersihkan diri, bersiap-siap kalau majikannya memanggil. Karena dia belum hapal jadwal kerja Bu Hamidah.
Benar saja, pukul 08.00 Bu Hamidah memanggil. Dengan segera Jodha keluar dari kamar dan menghampiri majikannya yang sedang menikmati sarapan di meja makan. Kali ini bukan cuma Bu Hamidah dan Pak Humayun saja yang sedang duduk disitu, tetapi juga Tuan Mudanya. Sekilas dia nampak melirik Jodha, namun kemudian dia nampak bengong melihat Jodha.
“Pergi sekarang Bu?” tanya Jodha sopan.
“Kamu sudah sarapan Jo?” Bu Hamidah
“Sudah Bu.”
Bu Hamidah bangkit dari duduknya dan pamit dengan suami dan anaknya.
“Ayo Jo, kita berangkat.” ucap Bu Hamidah menggandeng Jodha yang masih nampak canggung. Tapi langkahnya terhenti mendengar ucapan Jalal.
“Emang yakin dia jadi supir Ma dengan penampilan begitu?” Bu Hamidah berbalik dan menatap anaknya dengan heran.
“Memangnya kenapa sayang? Nggak ada yang salah dengan penampilan Jodha? pantas aja kok.” Ucap Bu Hamidah sambil melihat Jodha dari kaki sampai kepala.
“Maksud kamu apa Jalal?” tanya Pak Humayun, dia juga heran dengan ucapan anaknya.
“Kalau penampilannya begitu sih dia lebih cocok jadi bodyguard daripada supir.”
“APAAA??”
  


==TBC==

Tidak ada komentar:

Posting Komentar