Jalal dan
Jodha berjalan mengikuti Pak Syarif. Tidak banyak barang bawaan yang mereka
bawa. Karena semua barang-barang itu dititipkan di rumah Pak Syarif. Jadi
mereka berdua hanya membawa masing-masing sebuah ransel kecil saja. Sekalian
memudahkan untuk menempuh perjalanan menuju kota terdekat.
Jalan yang
mereka lalui tidaklah mulus, terkadang harus berjalan menanjak dan menurun.
Kalau tidak hati-hati maka bisa terpeleset dan jatuh. Perjalanan itu dilakukan
hanya dengan jalan kaki dan menempuh perjalanan kurang lebih dua jam. Untunglah
stamina mereka sudah terbiasa selama empat bulan di desa. Sehingga perjalanan
seperti itu tidak menjadi masalah buat mereka.
Akhirnya
sampailah mereka di kota terdekat, Pak Syarif mengantar hanya sampai disitu
saja. Selanjutnya Jalal dan Jodha melanjutkan sendiri perjalanan mereka
menggunakan bus.
“Nak Jalal
dan Nak Jodha, Bapak hanya sampai disini saja ya mengantar kalian. Semoga
suatu saat kita bisa bertemu lagi. Bapak sangat senang dengan kehadiran kalian.
Semoga apa yang telah kalian dapatkan
selama didesa bisa bermanfaat buat kalian berdua nantinya. Pesan Bapak,
jadilah anak yang berbakti kepada kedua orang tua kalian. Dan semoga kalian
berdua sukses dan menjadi kebanggaan buat kedua orang tua kalian, kami, dan
seluruh orang yang menyayangi kalian." Tutur Pak Syarif menepuk bahu Jalal dan
Jodha.
“Iya Pak,
segala pesan dan nasehat Bapak akan kami ingat selalu. Insya Allah suatu saat
kami akan berkunjung ketempat Bapak lagi. Banyak kenangan dan pelajaran yang
kami dapatkan selama disana”. Jawab Jalal.
“Kalau ada
waktu senggang, mainlah ketempat kami Pak. Dengan senang hati kami menerima
Bapak." Ucap Jodha mencium tangan Pak Syarif. Begitu dengan Jalal. Pak Syarif
nampak terharu. Matanya berkaca-kaca.
“Insya Allah
Nak, semoga suatu saat Bapak sama Ibu bisa berkunjung ketempat kalian. Kalau
begitu Bapak permisi dulu. Jaga diri kalian baik-baik. Sampaikan salam kepada
orang tua kalian." Kata Pak Syarif memeluk mereka berdua. Kemudian berpisah
melanjutkan perjalanan masing-masing.
Jodha dan
Jalal berpandangan sambil tersenyum. “Sekarang apa yang kita lakukan Jo?” tanya
Jalal.
“Hm, yang
pertama aku inginkan adalah......makan. Aku lapar." Kata Jodha mengusap-usap
perutnya.
“Baiklah
kalau begitu, kita cari restoran dulu ya." Ajak Jalal menggandeng tangan Jodha.
Kota itu
memang tidak terlalu besar namun cukup ramai, karena daerah wisata banyak
terdapat ditempat itu. Jalal dan Jodha memasuki sebuah restoran yang terdiri
dari gazebo-gazebo dengan tempat duduk lesehan untuk menikmati hidangan.
Sehingga para pelanggan tidak terganggu dengan pelanggan yang lain. Selain itu
dibelakang gazebo tersebut terhampar pemandangan alam yang sangat menawan,
membuat mata sangat betah menikmatinya.
Jalal dan
Jodha mengambil tempat disalah satu gazebo yang paling ujung dan yang paling
leluasa menikmati pemandangan. Setelah duduk tidak lama kemudian datanglah
waiter yang membawakan menu makanan.
“Jalal, kamu
pesan apa?” Tanya Jodha kepada Jalal yang sedang asyik dengan handphonenya.
Maklumlah selama empat bulan handphonenya tidak bisa dipakai. Begitu juga
dengan Jodha. Karena memang tidak ada listrik untuk mengisi baterainya. Jadilah
selama empat bulan itu mereka putus hubungan sama sekali dengan dunia luar.
“Aku pesan soto ayam saja, minumnya jus jeruk." Jawab Jalal tanpa menoleh kepada Jodha
yang sedang menulis menu pesanannya. Kemudian dia menulis menu untuk dirinya
sendiri. Dan waiter itupun berlalu.
Tidak lama
kemudian pesanan pun datang dan siap dihidangkan. Jalal yang akan meletakkan
handphonenya tanpa sengaja melirik menu yang datang dan para waiter yang
menyajikannya. Dia nampak heran.
“Maaf Mas, apa
tidak salah anter nih pesanannya. Kami cuma berdua kenapa menunya banyak sekali?”
Tanya Jalal.
“Tapi,
pesanannya memang seperti itu Tuan.” kata pelayan itu menunjukkan kertas menu
yang ditulis Jodha. Pandangan Jalal beralih kepada Jodha yang tersenyum
meringis melihat Jalal melotot kepadanya. Para pelayan itupun berlalu pergi
dari situ.
“Kenapa
pesannya banyak sekali, Jo? siapa yang akan menghabiskan semua ini?” Tanya
Jalal agak keras. Ternyata Jodha memesan menu banyak sekali diantaranya, soto
ayam, nasi goreng, ayam goreng, kentang goreng, jus alpukat, jus melon, just
jeruk, gurame asam manis, bakso juga (ada yang mau nambahin lagi? Hehehe...)
“Hm, maaf ya
sayang, aku lapar banget dan juga sudah lama tidak makan makanan seperti ini,
jadi aku pesan saja. Jangan marah ya, please!" Ucap Jodha menangkupkan
tangannya di depan dada. Jalal menghela nafas panjang.
“Baiklah Jo,
aku cuma tidak ingin makanan ini menjadi mubazir. Apa iya kamu sanggup
menghabiskan semua ini." Kata Jalal melemah.
“Tenang
saja, aku sudah mempersiapkan perutku." Jodha menepuk-nepuk perutnya. Jalal
hanya bisa menggeleng. Kemudian diapun mengambil makanan
pesanannya.
Sementara
Jodha yang selama empat bulan tidak pernah melihat makanan seperti itu makan
dengan lahap. “Sayang, kamu makan pelan-pelan. Seperti orang tidak pernah makan
saja." Tegur Jalal. Jodha hanya tersenyum dengan mulut penuh makanan.
Tidak berapa
lama makanan itupun habis tanpa sisa. Jalal hanya melongo melihat pemandangan
didepannya. Dilihatnya Jodha mengelap mulutnya dan tersenyum senang.
“Benar-benar
kamu ini Jo, makanan sebanyak itu hilang diperutmu, ck..ck..ck!” Jalal
sampai berkali-kali menggelengkan kepalanya.
“Kan aku
sudah bilang sudah mempersiapkan perutku, sekarang aku sudah puas. Ayo kita
pulang." Ajak Jodha. Jalal pun mengikuti, setelah membayar mereka pun keluar
dari restoran tersebut.
Jodha
menarik tangan Jalal menuju sebuah salon yang lumayan mewah di daerah tersebut,
karena keinginan kedua Jodha setelah keluar dari desa adalah kesalon selain
makan makanan tadi. Dia meminta Jalal memotong rambut gondrongnya. Awalnya
jalal menolak, namun setelah dipaksa oleh Jodha akhirnya dia mengalah dengan
syarat Jodha juga tidak boleh lagi mewarnai dan merusak rambutnya. Gadis itupun
menyetujuinya.
Memasuki
salon Jodha langsung minta rambutnya dicreambath, facial wajah, dan sejumlah
perawatan tubuh lainnya. Sedangkan Jalal hanya memotong pendek rambutnya.
Sambil menunggu Jodha selesai perawatan, Jalal menghabiskan waktunya memeriksa
pesan yang dikirim oleh teman-temannya. Dia tersenyum membayangkan bagaimana
bingungnya teman-temannya ketika dirinya tiba-tiba menghilang tanpa jejak.
Bosan dengan handphonenya dia membuka-buka majalah yang tersedia disalon itu.
Setelah
sekian lama menunggu akhirnya Jodha pun selesai perawatan. Diapun segera
menghampiri Jalal yang sudah menunggunya. Ketika mereka berdua bertemu dan
saling bertatapan, masing-masing terpaku. Jodha terpana melihat Jalal dengan
rambut dipotong pendek membuatnya tampak lebih tampan dari biasanya. Sedangkan
Jalal menatap Jodha dengan penampilan baru dengan rambut rapi terurai, tampak
halus, wajahnya lebih bersinar. Keduanya saling mengagumi beberapa saat.
“Kau?”
keduanya bersamaan berkata kemudian sama-sama tersenyum malu.
“Kau cantik
sekali sayang." Puji Jalal. Seperti yang sudah bisa diduga pipi itupun memerah.
Dan dia sangat suka melihatnya.
“Kau juga
kelihatan gagah dan tampan, Jalal.” Kata Jodha dengan malu-malu.
“Benarkah? Sepertinya
aku membuat seseorang terpesona." Jalal tersenyum menyeringai sembari menyisir
rambutnya dengan tangannya. Jodha semakin menunduk, menyembunyikan wajahnya
yang merah. Memang tidak dapat dipungkiri, Jalal telah membuatnya terpesona.
“Sudah ah,
ayo kita pulang. Nanti kemalaman sampai dirumah." Ajak Jalal menarik tangan
Jodha. Gadis itu pun mengikutinya.
Mereka pun
segera mencari bus tujuan Jakarta. Setelah membeli tiket dan masuk kedalam Bus Jodha
dan Jalal mencari tempat duduk. Ternyata yang kosong hanya di belakang saja.
Terpaksalah mereka duduk dibelakang. Jodha duduk dekat jendela, sedangkan Jalal
disampingnya.
Tidak lama
kemudian bus pun bersiap untuk berangkat, tiba-tiba masuk seorang anak remaja
tanggung membawa sebuah gitar dan alat musik dari tutup botol dan duduk di
kursi paling belakang disamping Jalal. Setelah beberapa saat bis berjalan anak
remaja itupun mulai bergerak untuk mengamen. Anak tersebut menyanyikan beberapa
buah lagu yang terpopuler. Setelah selesai diapun menyodorkan topinya untuk
meminta sumbangan sukarela. Kemudian duduk kembali ke bangku belakang, nampak
raut mukanya sedih. Mungkin karena pendapatannya sedikit.
Jodha
memperhatikan anak tersebut. Dia menyenggol lengan Jalal. Jalal menoleh. Jodha
memberikan kode dengan mulutnya kearah anak remaja disampingnya. Jalal
mengikuti kode Jodha, namun dia tidak mengerti.
“Kenapa
dengannya, Jo?” Tanya Jalal dengan dahi berkerut.
“Coba kau
perhatikan, Jalal. Sepertinya dia lagi sedih. Coba kau tanyakan dia?” Jalal
mengangguk.
“Maaf Dik,
nama adik siapa?” tanya Jalal kepada anak remaja disampingnya. Anak tersebut
menoleh kepada Jalal.
“Nama saya,
Roni Kak." Jawab anak itu menjulurkan tangannya dan Jalal menyambutnya. “Kakak
siapa?”
“Panggil
saja Jalal. Dan ini Jodha." Jalal juga memperkenalkan Jodha kepada Roni.
“Salam kenal
Kak Jalal dan Kak Jodha." Kata Roni sambil tersenyum. Namun senyum itu terlihat
hambar. Sinar matanya tidak bisa membuang duka yang nampak jelas terlihat.
Jalal dan Jodha bisa melihat itu.
“Kamu
sepertinya lagi sedih, Ron?” Roni menunduk, senyumnya hilang. “Tidak apa-apa,
Kak. Hanya saja aku bingung melihat pendapatan hari ini. Padahal hari ini aku
harus membawa Ibu berobat, namun sepertinya hari ini kembali kami harus
bersabar." Setitik air mata jatuh dipangkuannya. Jodha dan Jalal menjadi
terharu.
Jodha
kembali menyenggol lengan Jalal. Jalal menoleh.
“Ada apa,
Jo?”
“Bagaimana
kalau kita bantu dia, Jalal. Kasihan dia?” Jalal mengernyitkan keningnya.
“Dengan apa
kita bantu dia?”
“Sini aku
bisikkan?” Jalal mendekatkan telinganya ke mulut Jodha. Jodha membisikkan
sesuatu. Jalal tersenyum geli mendengarnya. “Bagaimana Jalal? Berani tidak?”
tantang Jodha.
“Hm.....Siapa
takut? Ayoo!” Jalal kemudian menoleh ke arah Roni. “Ron, boleh nggak Kakak
pinjam gitarmu?”
“Untuk apa
Kak?” Tanya Roni masih bingung.
“Sudah, ikut
saja." Roni menyerahkan gitarnya kepada Jalal.
Jalal
membawa gitar tersebut ke depan dekat dengan supir bus diikuti oleh Jodha,
kemudian menghadap kearah penumpang. Sedangkan Roni masih memandang mereka
dengan keheranan.
“Bapak-bapak,
Ibu-ibu ijinkan saya ingin menyumbangkan sebuah lagu untuk anda semua dalam
rangka bantuan amal seikhlasnya untuk adik kita Roni yang saat ini sang Ibu
sedang kekurangan biaya untuk berobat. Semoga keluarga beliau diberi kekuatan
dan rejeki yang banyak, serta semoga beliau diberikan kesembuhan." Jalal mulai
memetik gitar dan menyanyikan lagu dari Kerispatih, Tentang Sebuah Kisah, sedangkan
Jodha berdiri disampingnya memandangnya.
Mereka
takkan pernah tau tentang kita
Tak pernah
sedikitpun pahami kisah kita
Sudahlah
jangan lari, mencoba tuk bersedih
Ada aku
disini mengerti perasaanmu....
Hari ini harus
kukatakan aku mencintaimu
Bukan karna
siapapun atau bukan karena mereka
Cinta itu
butuh pengorbanan hati dan cinta tak butuh waktu yang sesaat
Jika kita
bertahan cinta itu milik kita....
Jika cinta dasar
dari semua ini
Hadapilah
segalanya dengan lapang dada
Meski nanti pahit
disana
Hari ini
harus kukatakan aku mencintaimu bukan karena siapapun
Bukan karna
siapapun atau bukan karena mereka
Cinta itu
butuh pengorbanan hati dan cinta tak butuh waktu yang sesaat
Jika kita
bertahan cinta itu milik kita....
Lagu pun
berakhir namun keduanya masih belum keluar dari dunia mereka, saling tatap
dengan mesra. Mereka baru tersadar ketika mendengar tepuk tangan dari para
penumpang. Keduanya tersenyum malu, namun segera membungkukkan badan sebagai
tanda terima kasih. Roni segera mengulurkan topinya kepada para penumpang,
namun tiba-tiba ada seorang penumpang minta lagunya ditambahkan. Penumpang yang
lain menyetujui, entah karena mereka menyukai suara Jalal atau ingin
pemandangan didepan mereka terulang lagi. Entahlah, yang nulis belum sempat
menanyakan kepada para penumpang. Hihihi....#abaikan.
Jalal
menyanggupi dan menanyakan mereka ingin dinyanyikan lagu apa, salah satu
penumpang ingin dinyanyikan lagu dangdut. Jalal hanya melongo saja mendengar
permintaan penumpang. Karena memang dia tidak bisa menyanyi dangdut, namun bila
mengiringi lagu dengan gitar dia bisa.
“Maaf,
Bapak-Ibu sejujurnya saya tidak bisa menyanyikan lagu dangdut tapi kalau
mengiringi lagunya dengan gitar saya bisa saja. Kalau ada diantara para
penumpang sekalian yang ingin menyumbangkan lagu dangdut saya persilahkan." Pinta Jalal.
“Biar
temanmu saja yang menyanyikan, dia pasti bisa tuh." Jawab penumpang yang
meminta lagu dangdut tersebut menunjuk Jodha.
Jodha kaget,
tidak menyangka dia akan ditunjuk untuk menyanyi lagu dangdut. “Bagaimana Jo,
apa kamu bisa?” tanya Jalal.
“Hm...baiklah
saya akan mencobanya." Jawab Jodha, karena memang niatnya untuk membantu Roni
menggalang dana. “Tetapi sebelumnya saya mohon maaf, kalau seandainya suaranya
saya ini tidak berkenan dihati para penumpang sekalian....ehem...ehem...test...test."
Jodha
memberitahukan lagunya kepada Jalal, dan dengan dibantu Roni, Jalal memainkan
gitarnya kembali. Sedangkan roni memainkan alat yang terdiri dari tutup botol
yang cara pakainya dengan cara dihentakan di telapak tangan.
Jodha mulai
menyanyikan lagu Wulan Merindu dari Cici Paramida
Sunyi sepi
malam tanpa sinar bulan
Sesepi
diriku sendiri dalam penantian
Tak tahan
rasanya gelora dijiwa ingin segera bertemu
Duhai
kekasihku,...duhai pujaanku aku rindu kepadamu
Sekian
lamanya kumemendam rasa
Tak tertahan
lagi rasa gundah didalam dada
Teringat
dirimu terbayang kau slalu
Setiap
malam-malamku
Datanglah
sayangku hadirlah kasihku
Wulan ini
merindumu
Betapa
indahnya dunia terasa bila kau ada disisiku
Alangkah syahdunya
seakan terasa bagaikan ku dialam surga
Bawalah diriku
oh sayang, ku ingin selalu bersamamu
Tak sanggup
lagi diri ini berpisah denganmu kasih
Cintaku,
sayangku, kasihku kuserahkan hanya
kepadamu
Semoga tuhan
merestui bahagia selamanya
Berdua kita
selamanya
Para
penumpang dan juga Jalal terpesona mendengar suara Jodha yang terdengar mirip dengan
suara asli penyanyinya. Jodha menyanyikan lagu tersebut dengan gaya joget-joget
ringan. Diiringi suara geprakan dari alat musik Roni, dan juga gitar dia terlihat
dia menikmati sekali suasana seperti itu. Nampak kegembiraan mengiringi senyum
dan tingkahnya.
Jalal
tersenyum melihat sisi lain Jodha yang nampak polos, ceria dan alami. Tidak nampak
terbebani dengan keadaan. Setelah lagu berakhir, Jodha tersenyum manis kepada
para penumpang dan membungkukkan badannya. Para penumpang bertepuk tangan
dengan puas. Roni kembali menyodorkan topinya yang tadi urung dilakukannya.
Setelah terkumpul akhirnya mereka bertiga duduk kembali dikursi belakang
diiringi senyum puas penumpang.
Roni
menghitung penghasilannya. Wajahnya tampak sumringah, senyum tiada
henti-hentinya menghiasi wajahnya.
“Bagaimana
hasilnya Ron? Dapat banyak tidak?” Tanya Jodha.
“Iya Kak,
ini banyak sekali. Lima ratus ribu Kak.” Pekik Roni tidak bisa menyembunyikan
kegembiraannya. Tampak matanya berkaca-kaca. Diapun memeluk Jalal seraya
mengucapkan terima kasih. Jalal mengangguk senang begitu juga dengan Jodha
karena bisa membantu Roni.
Dipemberhentian
bus Roni pamit kepada Jodha dan Jalal, kemudian menghilang di tengah keramaian
kota. Bus pun terus melaju menuju Jakarta. Jodha yang tertidur menyandarkan
kepalanya dibahu Jalal yang sangat menikmati moment-moment kebersamaan mereka.
Karena dia tidak tahu apa yang akan terjadi nanti sesampainya dirumah.
Sore hari
bus pun memasuki terminal kota, Jalal membangunkan Jodha yang tertidur.
“Jo, bangun
udah sampai Jakarta nih." Jodha membuka matanya dan melihat sekeliling.
Ternyata memang mereka sudah sampai terminal. Agak asing suasana begitu untuk
Jodha karena memang dia tidak pernah pergi kemanapun menggunakan bus. Selalu
diantar oleh supir ayahnya kalau untuk bepergian jauh keluar kota. “Ayo, kita
turun. Nanti kita naik taksi saja pulang kerumah." Ajak Jalal menggandeng Jodha
turun dari bis.
Ketika berjalan
menuju area parkir mobil taksi, Jodha melihat depot es krim langsung saja
matanya berbinar senang. Tanpa basa basi lagi dia langsung menuju kesana.
Dipesannya es krim dengan cup besar. Jalal hanya menggelengkan kepalanya
melihat kelakuan Jodha makan es krim. Namun Jodha hanya cengengesan saja sambil
menikmati es krimnya. Setelah mendapatkan taksi mereka pun langsung meluncur
menuju rumah Jalal.
Turun dari
taksi Jodha memandang rumah dihadapannya yang berdiri dengan megah, rumah itu
hampir sama besar dengan rumahnya. Membuatnya merasa rindu dengan rumahnya
sendiri.
Jalal
memencet bel pagar. Tidak lama kemudian keluarlah seorang wanita agak gemuk
membukakan pintu pagar. Sesaat dia menatap tamunya dengan penuh tanda tanya.
Seperti pernah mengenalnya, tapi dimana? Jalal tersenyum dan maklum kalau
sekarang Bi Inah pangling padanya.
“Bi.”
tegur Jalal. Bi Inah tampak terkejut, dia mengenal suara itu tapi orangnya
berbeda. Postur tubuhnya juga tidak seperti Jalalnya yang kurus.
“Kalian
siapa? Mau mencari siapa?” Tanya Bi Inah masih saja tidak mengenali Jalal.
“Bibi tidak
kenal denganku? Aku Jalal Bi, masa Bibi sudah lupa."
“Nak Jalal? Tapi?” Bi Inah mendekatkan wajahnya untuk melihat Jalal lebih
dekat. Dipegang-pegangnya badan Jalal. “Nak...nak Jalal? benarkah?”
Tanya Bi Inah dengan senyum senang. Dipeluknya Jalal dengan gembira. Betapa dia
sudah rindu sekali dengan Jalal, selama empat bulan tidak pernah bertemu.
“Iya Bi, ini
aku Jalal." Jalal melepaskan pelukannya. Bi Inah masih menatapnya dengan
gembira.
“Nak Jalal
sekarang jauh berbeda dari sebelumnya, sekarang tampak sehat, tambah ganteng
dan gagah saja." Puji Bi Inah, pandangannya beralih kepada Jodha “Ini pasti Nak
Jodha ya?” Bi Inah menyalami Jodha yang menyambutnya dengan tersenyum manis.
“Iya Bi, ini
Jodha. Pasti Papa sudah cerita ya Bi." Kata Jalal tersenyum.
“Iya, Bapak
sudah cerita semuanya. Oh, iya ayo masuk. Pasti sekarang capek ya sudah
menempuh perjalanan jauh."
"Iya Bi.”
Mereka pun
masuk kerumah. Jodha hanya diam dan mengikuti sesekali memperhatikan
sekelilingnya.
“Papa ada Bi?” Tanya Jalal
“Ada Nak,
lagi diruang kerja."
“Iya Bi,
kami langsung kesana saja. Ayo Sayang.” Jalal menarik tangan Jodha yang
belum banyak berkomentar. Mereka menaiki tangga lantai dua menuju ruang kerja
Pak Humayun. Dengan tidak sabar Jalal mengetuk pintu, terdengar suara menyuruh
masuk. Jalal membuka pintu. Dilihatnya Papanya sedang duduk dibelakang meja
kerjanya. Sesaat keduanya bertatapan...
“Papa.”
tbc
Tidak ada komentar:
Posting Komentar