==========0000=========
Semua tercengang mendengar ucapan Jodha. Ada nada getir dalam ucapannya.
Bahkan Nadia yang biasanya usil, sekarang hanya bisa diam. Sesaat suasana
hening. Jodha menunduk, dia memang tidak menangis tapi ketika teringat akan
mendiang ibunya, ada rasa perih yang menusuk hati. Perih karena kerinduan yang
tak berujung.
Bu Hamidah bangkit dari duduknya dan melangkah mendekati Jodha yang
masih duduk diantara
Pak Pramono dan istrinya. Dia memegang kedua bahu gadis itu dari belakang,
semua orang masih terdiam.
“Jodha, nggak usah sedih. Kami disini akan selalu berada di dekatmu sebagai
keluargamu. Kamu nggak usah sungkan. Ibu sama Bapak, Ayah Pram dan Ibu Nunik
juga orang tuamu. Bahkan yang ada disini semua menyayangimu.” Ucap Bu Hamidah
mengelus rambut Jodha dengan lembut. Jodha mengangguk pelan tanpa bisa berkata
apa-apa, “Ibu juga bersyukur karena telah bertemu denganmu, kamu gadis yang
luar biasa yang pernah Ibu kenal. Kamu gadis tegar, lembut, dan apa adanya.
Bahkan kamu sudah memberikan semangat untuk orang-orang disekitarmu. Jadi,
jangan sedih lagi ya. Masalah Ayahmu biar nanti kita bicarakan nanti, yakinlah
semua akan baik-baik saja. Ya sayang?” ucap Bu Hamidah mencium rambut Jodha.
Sesaat gadis itu memejamkan matanya.
Ah iya, inilah sentuhan yang dia rindukan. Sentuhan lembut seorang ibu.
Kehangatan dan kelembutannya bahkan sampai merasuk kedalam hatinya. Iya. Bu
Hamidah benar, tidak ada gunanya menangisi ibunya, hanya akan membuatnya
semakin terpuruk. Jalal yang melihat betapa mamanya begitu menyayangi Inemnya,
hatinya tersentuh. Dia bersyukur kedua orang tuanya menerima dengan kedua
tangan terbuka gadis pilihannya.
“Iya Bu. Terima kasih banyak. Ibu dan Bapak, juga Tuan Muda sudah banyak
membantu saya. Buat Ayah, Ibu, Abang, Kak Salima dan juga Nadia, saya bersyukur
sudah dipertemukan dengan kalian semua. Saya juga bersyukur masih ada orang
baik di dunia ini yang bisa saya temui.” Ucap Jodha dengan lirih, Bu Hamidah
justru memeluknya.
“Bukan karena kami orang baik sayang, tapi karena kamu memang pantas
diperlakukan seperti itu. Tidak usah merasa rendah diri, kita ini sama saja.
Anggap saja Ibu sama Dek Nunik sebagai ibu kamu sendiri. Mulai sekarang,
panggil Ibu dengan sebutan Mama, dan Bapak kamu panggil Papa. Sebagaimana biasa
Jalal memanggil kami. Ya sayang?” ucap Bu Hamidah melepas pelukannya. Jodha
tercengang. Nah loh? Secepat itukah? Masalah panggilan sayang untuk tuan
mudanya saja belum beres, ini malah disuruh memanggil mama sama papa oleh calon
mertuanya.
“Terus, manggil aku gimana Ma? Masa dia masih memanggilku Tuan terus?”
celetuk Jalal sambil tersenyum menyeringai penuh kemenangan. Wajah Jodha nampak
pucat. Nah ini yang memang masalah. Tuan mudanya itu memang pintar mencari
celah, agar Jodha bisa
terjepit dan tidak bisa mengelak lagi. Semua mata memandang ke arah Jodha
menunggu jawaban. Jodha menjadi salah tingkah. Nadia terkikik geli melihat
ekspresi sahabatnya itu.
“Memangnya kamu mau dipanggil apa sama Jodha, Sayang?” tanya Bu Hamidah
kepada Jalal. Pemuda itu tersenyum kepada Jodha yang menatapnya dengan wajah
pucat dan pasrah. Hahahaha....
“Yah, kayak orang biasa gitu loh Ma, yang sweet lah. Masa Tuan? Dimana romantisnya? Apalagi sudah mau jadi
istri?” Nadia tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan Jalal. Surya dan Mansingh
terkekeh. Sementara yang lain hanya tersenyum geli. Wajah Jodha memerah. Dia
benar-benar malu kali ini.
“Oh, ya ampun Bang Bos. Kasihan bener nasibmu, dapat calon istri nggak romantis.ckck...”
ledek Nadia disela tertawanya sambil menggelengkan kepala. Rahim bahkan ikut tertawa juga melihat tantenya
tertawa. Jalal mendelik kearah Nadia yang bahagia sekali meledeknya, “emang mau
dipanggil apa Bang Bos, nanti aku bikinkan daftarnya ya, aku konfirmasi dulu
sama mbah google biar dapat nama panggilan yang bagus.”
“Nggak perlu. Yang ada kamu nanti malah bikin aku malu saja.” Nadia terkikik
geli.
“Nggak percayaan amat sama aku Bang Bos ini? Jangan lupa loh, aku ini
saudaranya Jodha. Pasti aku banyak tahu tentang dia. Dan itu, sogokannya besar.
Hahahaa...” celoteh Nadia.
“Gampang. Itu bisa diatur.” Sahut Jalal santai. Kedua orang tuanya
menggelengkan kepala.
Bu Hamidah kembali merangkul bahu Jodha, “gimana Sayang? Kamu maukan
manggil Bapak sama Ibu dengan panggilan mama sama papa?” dengan pasrah akhirnya
Jodha mengangguk.
“I-iya Bu,” Bu Hamidah
melebarkan matanya, “eh, iya Ma.” Sahut Jodha tersipu malu. Bu
Hamidah dan Bu Nunik terkekeh melihatnya.
“Kalau masalah panggilan untuk Jalal, kalian diskusikan sendiri aja.
Mama nggak maksa dan nggak berhak ikut campur.” Jalal cemberut mendengar ucapan
mamanya. Sedangkan Jodha menarik nafas lega dan melirik Jalal dengan tersenyum
tipis.
“Yah, gagal deh dapat bantuan dari Tante buat maksa kekasih yang nggak
romantis menjadi romantis.” Ledek Nadia lagi membuat Jalal melotot kearahnya,
namun dia hanya meleletkan lidahnya saja.
“Nad, sudah. Jangan gitu. Kasihan Jalal kamu ledek terus.” Tegur Ibunya.
Nadia nyengir.
“Nggak apa-apa Bu, Bang Bos tambah cakep kalau lagi kesal. Hahaha...”
yah, Jalal tidak dapat menyembunyikan rasa jengkelnya. Di saat-saat dia merasa
bisa memaksa gadisnya,
selalu saja gadis usil itu membela Inem dan selalu menyudutkannya. Tapi, Jalal
tidak dapat berbuat apa-apa. Hanya bisa diam, melihat gadis usil itu tersenyum
penuh kemenangan. Ck. Dasar Nadia.
“Sekarang gimana rencanamu Bay?” tanya Pak Humayun setelah suasana
tenang kembali. Bayu menoleh sebentar ke arah istrinya, Salima hanya mengangguk
dan tersenyum saja. Dia sudah terbiasa dengan keputusan suaminya yang mendadak,
sebagai istri dari seorang prajurit buat dia tidak masalah, asalkan itu tidak
menyimpang dari tujuan awalnya.
“Mungkin besok saya mengajukan cuti beberapa hari kedepan Om, jadi saya
bisa langsung berangkat.” Pak Humayun manggut-manggut mendengar jawaban Bayu.
“Bang, aku boleh ikut nggak?” tanya Jodha.
“Kenapa kamu mau ikut Jo?” Bayu balik nanya.
“Ya, kalau tidak merepotkan Abang. Soalnya aku ingin berziarah ke makam
Ibu.” Bayu berpikir sejenak, dia mengangguk.
“Boleh. Kamu boleh ikut Abang.” Jodha nampak gembira.
“Aku ikut juga ya Bang?” pinta Nadia.
“Loh, kenapa kamu jadi ikut juga Nad?” tanya Ibunya, Nadia tersenyum.
“Aku pengen traveling aja Bu. Lagiankan disana dekat pantai, pasti
menyenangkan bisa berlibur ke pantai, dan berjemur disana kayak
bule-bule gitu loh Bu.” Sahut
Nadia dengan wajah berseri, “ya kan Jo?” Jodha menggangguk.
“Tapi nggak boleh pakai bikini loh Beb,
kalau lagi dipantai.” Sela Mansingh.
Nadia mengerucutkan bibirnya.
“Siapa juga pakai bikini Bang. Eh, tapi
kalau ada bule ganteng sih nggak masalah tuh.” Goda Nadia, membuat Mansingh
melotot kearahnya. Gadis itu tertawa senang melihat ekspresi Mansingh. “nggak
kok Bang, suer. Cuma ingin menikmati pemandangan alam saja kok. Beneran.”
Mansingh menarik nafas lega mendengar jawaban Nadia. Jalal terkekeh melihat
sahabatnya yang sedikit cemburu, “gimana Bang, boleh nggak aku ikut? Boleh aja
ya?” rengek Nadia. Bayu cuma bisa menggelengkan kepala melihat kelakuan adik
kesayangannya itu.
“Kita bertiga gitu yang berangkat?” tanya
Bayu kepada Nadia. Gadis itu mengangguk cepat.
“Iyalah Bang. Nggak apa-apa kan? Ayolah
Bang, lama nih nggak pernah traveling lagi.” Rayu Nadia. Bayu berpikir sejenak.
“Gimana kalau kami ikut Bang, ya sekalian
saja orangnya banyak?” tawar Jalal. Jodha melongo mendengar ucapan tuan
mudanya.
“Waduh, jadi rombongan nih ceritanya?”
kekeh Pak Pramono. Pak Humayun ikut tertawa.
“Ya nggak apa-apa Bay, biarkan saja. Lagian Jalal sama Man dan Surya
kan juga baru pulang pelatihan, anggap saja itu liburan habis sekolah.” Kata Bu Nunik.
“Iya Yah, aku ikut juga ya. Bareng Tante.”
Tiba-tiba Rahim juga ingin ikut, dia duduk dipangkuan Nadia yang memeluknya.
“Wah, keponakan Tante mau ikut juga.”
“Boleh ya Te, kita nyari kerang nanti
disana.” Kata Rahim dengan polosnya.
Kedua matanya kedap-kedip menatap Nadia. Dengan gemas gadis itu mencium
keponakannya.
“Boleh dong. Nanti bawa wadah yang besar ya, kita sama Tante
Jodha akan nyari kerang sebanyak-banyaknya.” Sahut Nadia, mencubit pipi Rahim
pelan.
“Yeeay, asyik.” Rahim bersorak kegirangan.
Bayu jadi bingung dan menoleh ke arah
istrinya. Salima hanya mengangkat bahu dan tersenyum.
“Ya sudah, sekalian saja kamu bawa
keluargamu Bay. Sekalian jalan-jalan disana.” Ucap Pak Pramono membuat Bayu
menghela nafas panjang. Dia menatap ke arah Pak Humayun.
“Bagaimana Om?” Pak Humayun tersenyum.
“Ya terserah kamu saja Bay, Om pikir nggak
apa-apa juga kok. Siapa tahu Ayahnya Jodha bisa dibujuk untuk ikut kalian
kesini. Biar kami sama kedua orang tuamu yang ngurus rencana pernikahan Jalal
dan Jodha.” Bayu menganggguk.
“Iya Om. Baiklah.” Dia menoleh ke arah
Jalal dan kedua sahabatnya, “kalian bener jadi ikut?” Jalal dan Mansingh
mengangguk, namun Surya nampak berpikir, “kamu nggak ikut Sur?” tanya Bayu.
“Sepertinya aku nggak ikut Bang.” Kedua
sahabatnya langsung menoleh kearahnya dengan pandangan tanda tanya.
“Kenapa Sur?” tanya Jalal, Mansingh
mengangguk.
“Ya, gimana aku mau ikut. Kalian semua
punya pasangan masing-masing. Terus aku sama siapa? Masa sama Rahim” ucapnya
dengan wajah setengah ditekuk. Kedua sahabatnya dan juga Bayu terkekeh.
“Ya sudah kalau nggak mau ikut. Tapi bener
nih nggak ikut?” Surya mengangguk, “nggak nyesal?”
“Nggak Bang. Kapan-kapan saja kalau aku
sudah punya pasangan ikut jalan lagi kesana.”
“Ya sudah kalau begitu.”
“Nasib jones. Selalu ngenes. Hahaha...”
Ledek Mansingh dan Jalal bersamaan. Surya hanya bisa melotot kearah keduanya
yang tertawa terpingkal-pingkal. Tetapi dia bisa apa? Memang begitu keadaannya.
“Sudah, sudah.” Kata Pak Humayun menengahi
gurauan mereka, Jalal dan Mansingh menghentikan
tawanya, dan mulai serius mendengar ucapan papanya, “sekarang kita
kembali ke masalah lamaran Jodha tadi.” Semua diam mendengarkan ucapan Pak
Humayun. Laki-laki paruh baya itu menoleh kearah Jodha, “Jodha, Papa sama Mama
minta maaf atas lamaran mendadak ini. Bukan begini seharusnya. Tetapi, Papa
pikir, karena kita sudah bukan orang lain lagi selama ini, jadi tidak ada
salahnya dilakukan disini saja dihadapan kedua orang tua angkatmu. Papa sama
Mama ingin mempercepat pernikahan kalian karena kami melihat kalian berdua
sudah dekat dan saling mencintai...” Jodha menunduk sesaat dengan tersipu malu,
namun Jalal malah tersenyum lebar, “kami takut terjadi apa-apa nanti yang tidak
kita harapkan karena kalian tinggal serumah. Maaf, bukannya Papa sama Mama
meremehkan kalian berdua. Tetapi, yang namanya kekhilafan itu kita tidak pernah
akan bisa menduganya. Karena itu, ajaklah Jalal meminta restu dari Ayahmu agar
mempercepat rencana pernikahan kalian.” Jodha mengangguk. Bu Hamidah yang masih berada
di dekat Jodha kembali merangkul bahunya.
“Iya Pa, a-aku mengerti. Dan aku tidak akan menyalahkan Papa sama
Mama atas lamaran ini, aku malah berterima kasih sama Papa dan Mama yang dengan
rela hati menerima kehadiranku untuk menjadi bagian dari keluarga ini.” Jodha
mendongak ke arah Bu Hamidah yang masih merangkul kedua bahunya sambil berdiri,
dia menggenggam kedua tangan Bu Hamidah sambil tersenyum, “makasih ya Ma, atas
segalanya.” Ucapnya dengan lirih namun tegas, bukan canggung seperti biasanya.
Karena sekarang dia benar-benar merasakan kehangatan seperti dalam keluarganya
sendiri, karena itu dia memposisikan diri sebagai anak, belum sebagai menantu.
Berusaha membuang kecanggungan seperti yang mereka harapkan kepadanya.
“Syukurlah Sayang, Mama senang
mendengarnya. Kamu nggak usah sungkan
sama kami. Papa sama Mama dan juga kedua orang tua angkat kamu ini akan selalu mendukungmu.
Karena kamu adalah bagian dari keluarga kami. Tidak usah berterima kasih
Sayang. Kamu, sama halnya seperti Jalal sudah tidak dibedakan lagi. Kamu anak
kami juga.” Sahut Bu Hamidah kembali
mencium rambut Jodha dengan sayang.
Bu Hamidah membimbing Jodha untuk berdiri,
meski dengan sedikit heran dia menuruti, diikuti pandangan orang-orang yang
berada disitu. Wanita itu kemudian memanggil putranya agar mendekat. Jalal
beranjak dari duduknya dan menghampiri mamanya dan berdiri disamping Jodha.
“Kenapa Ma?” tanya Jalal heran. Mamanya
tersenyum, dia mencopot cincin berlian yang bentuknya sedikit klasik dari
jarinya, kemudian menyerahkannya kepada Jalal.
“Ini adalah cincin turun temurun dari
keluarga Papa kamu, yang akan diberikan kepada keturunan pertama dari papa
kamu. Karena sekarang kamu akan menikah, makanya Mama serahkan ini sama kamu
dan pasangkan kepada Jodha, sebagai ikatan kalian akan menikah dan seterusnya
tetap dipasangkan di jari Jodha sampai kelak keturunan kalian juga akan
menikah.” Jalal menerima cincin tersebut
dengan ragu-ragu. Dia sama sekali belum pernah mendengar akan hal itu, “sudah,
kamu tidak usah ragu. Pasangkan saja, karena memang ini untuk menantu perempuan dari keluarga
Humayun.” Perintah mamanya dengan lembut.
Jalal mengambil tangan kiri Jodha yang
sejak tadi berdiri dalam diam, sebelum dia memasukkan cincin tersebut ke jari gadis itu, terlebih dahulu dia
memandang wajah kekasihnya yang juga terpaku menatapnya.
“Sayang, semoga apa yang diharapkan oleh orang tua kita, bisa
kita wujudkan. Sekarang bukan hanya hatiku
yang secara terbuka menerima kehadiranmu, tetapi juga kedua orang tuaku. Mereka
mencintaimu sebagaimana mereka juga
mencintaiku. Karena itu, jangan pernah ragukan lagi perasaanku yang tulus
kepadamu. Kini, atas nama cinta terimalah cincin ini sebagai penyambutan
kehadiranmu masuk kedalam rumah kami dan hati kami.” Ucap Jalal dengan lembut.
Jodha hanya bisa mengangguk dan tersipu. Semua yang menyaksikan ikut tersenyum
bahagia. Pemuda itu perlahan memasukkan cincin yang diberikan oleh mamanya ke
jari gadis pujaannya yang menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Terharu,
bahagia, malu, dan juga senang. Itulah yang dirasakan oleh Jodha.
Selesai memasukkan cincin ke jari Jodha, Jalal menangkupkan kedua tangan
ke wajah kekasihnya itu dan mencium keningnya dengan penuh perasaan dan lama.
Seperti biasa, Jodha memejamkan matanya. Kali ini ada rasa yang lebih dari
biasanya. Rasanya seluruh persendiannya lemas, jantungnya sedari tadi terus berdetak
kencang, juga wajahnya yang tidak pernah berhenti dari rasa hangat.
“Cieee... Bang Bos sudah tunangan nih ceritanya?” goda Nadia memecah
keheningan. Kedua sejoli itu langsung menoleh kearah Nadia dan....terlihat
semua orang termasuk papa dan mamanya sedang tersenyum geli melihat mereka
berdua. Namun Jalal seperti biasa bersikap cuek, hanya Jodha yang terus menerus
tersipu malu.
“Ya dong. Kalian berdua kapan?” tanya Jalal.
“Pokoknya selesaikan dulu urusan Bang Bos dan Jodha, kami gampanglah. Ya
kan Bang?” Nadia mengerling matanya ke arah Mansingh. Pemuda itu mengangguk.
“Iya Bos. Nggak usah mikir kami, yang penting kalian berdua dulu. Biar
nanti kami menyusul, lagian Bebebku juga sudah siap kok.” Ucap Mansingh tersenyum
lebar dan tanpa merasa sungkan ada orang tua Nadia dan Bayu disitu. Mungkin
juga kedua orang tua Nadia sudah memberikan restunya kepada Mansingh. Nyatanya
mereka terlihat akrab.
“Ya sudah kalau begitu, berarti menunggu kepastian kapan berangkatnya
saja lagi.” Kata Pak Humayun menoleh ke arah Bayu.
“Iya Om, besok akan saya kabarkan kapan akan berangkat. Lebih cepat
lebih baik.”
“Iya. Kamu benar Bay. Om tunggu kabar dari kamu besok ya.” Bayu
mengangguk.
“Baik Om.”
Mereka melanjutkan ke obrolan lain. Jalal mengajak Inemnya duduk di
samping Nadia, sedangkan dia duduk disamping Mansing dan Surya yang posisinya
berhadapan. Sesekali Jalal melirik gadisnya yang sedang ngobrol dengan Nadia,
namun sebagaimana dengan tuan mudanya, Jodha juga sesekali melirik kearah
pemuda itu. Apabila pandangan mereka bertemu, Jodha segera mengalihkan
pandangannya yang tersipu ke arah lain, sedangkan Jalal hanya tertawa kecil menyaksikan
kekasihnya malu-malu.
Setelah dirasa cukup, para tamu tersebut pamit pulang. Kedua orang tua
Jalal mengantar para tamunya ke depan. Sementara Jalal dan Jodha membereskan
bekas mereka tadi. Dengan cekatan keduanya membawa peralatan makan yang sudah
kotor ke dapur untuk di cuci oleh Bi Ijah.
Selesai membereskan dan membersihkan tempat itu, keduanya duduk di gazebo
seperti biasanya. Jodha duduk dipinggir gazebo dengan kedua kaki menjuntai.
Sedangkan Jalal duduk bersandar pada tiang dengan menghadap ke arah samping
gadis.
“Gimana Sayang, rasa masakanku?” tanya Jalal ingin tahu pendapat Jodha.
“Enak. Rasanya juga seperti yang dimasak oleh chef di restoran mahal.”
Jawab Jodha dengan jujur. Jalal ketawa mendengarnya.
“Sekarang kamu percaya kan Sayang, kalau aku bisa masak juga?” ucap
Jalal, jari-jarinya menyelipkan anak rambut Jodha dari samping. Jodha
mengangguk.
“Hm...iya. sekarang saya percaya kalau Tuan bisa masak.” Sahut Jodha
lagi. Tangan Jalal yang tadi menyelipkan anak rambut Jodha, spontan menarik
tangannya dengan wajah cemberut membuat Jodha merasa heran, “Tuan kenapa? Kok
tiba-tiba cemberut?” Jalal menatapnya dengan tajam.
“Tuan lagi?” sindirnya. Langsung saja Jodha terkekeh mendengarnya, “kenapa
sulit sekali? Padahal tadi kamu memanggil kedua orang tuaku sebentar saja sudah
bisa. Sedangkan sama aku susah? Jangan-jangan kamu sengaja ya?” Jodha
menggeleng.
“Bukan seperti itu.”
“Terus apa?” Jodha menggigit bibirnya.
“I-itu lebih kepada rasa.”
“Rasa?” Jodha mengangguk, “rasa apa?” ditanya seperti itu membuat Jodha merasa
sangat malu dan canggung. Ini tidak lebih dari pengakuan hati. Apa iya dia
mengakui dengan tidak tahu malunya kalau dia juga mencintai laki-laki itu dengan terang-terangan, dan
beratnya mengatakan kata sayang itu karena cinta, bahkan walau hanya sekedar
menyebut namanya saja rasanya dia berat.
“Kalau kepada Ma-mama dan Pa-pa,..” Jodha kembali merasa malu, padahal
tadi dia sudah merasa nyaman memanggil papa dan mama, “kalau kepada mereka bisa
memanggil seperti itu, karena saya merasa seperti berbicara dengan orang tua
saya sendiri. Sedangkan kepada Tuan, nggak mungkinkan kalau saya anggap sedang
bicara dengan suami sendiri. Nikah saja belum.”
“Tapi kalau kamu sudah menganggap mereka sebagai orang tua kamu,
harusnya memanggilku bisa lebih akrab lagi dong Nem?” Jodha tersenyum.
“Mau yang lebih akrab?” Jalal mengangguk. “Boleh. Ntar saya panggil
Abang atau Kakak saja ya?” katanya sambil terkikik geli, karuan saja dahinya disentil
oleh Jalal. Jodha mengusap-usap dahinya yang sedikit terasa perih.
“Nggak mau! Enak saja.
Kamu itu bukan adikku, tapi calon istriku tau.” Jawab Jalal mulai kesal. Jodha
tersenyum, “ayolah Sayang, sebelum aku pergi.” Ucapnya dengan nada memelas.
Senyum Jodha memudar mendengar tuan mudanya akan pergi lagi.
“Tu-Tuan mau pergj lagi?” Jalal mengangguk, masih dengan ekspresi
memelas, “kemana?” tanya Jodha dengan lirih. Yah, bakalan sepi lagi dia.
Padahal mereka berdua baru saja tunangan, kenapa harus berpisah lagi.
“Kamu sedih Nem, kalau aku pergi lagi?” Jodha mengangguk. Raut wajahnya benar-benar
menyiratkan kesedihan. Jalal
tersenyum miring.
“Kalau aku pergi ke hatimu, kamu sedih nggak? Hahahaha...” Jalal
tergelak, dia senang melihat ekspresi gadisnya yang sedih karena dirinya. Jodha
yang sadar sudah di kerjain langsung mengerucutkan bibirnya.
“Ih Tuan, kirain beneran mau pergi.” Sungut Jodha. Jalal terkekeh.
“Makanya itu Sayang, ayolah coba lagi. Siapa tahu bisa. Buktinya
memanggil Papa sama Mama saja bisakan?” rayu Jalal tidak menyerah. Jodha
akhirnya mengangguk, membuat pemuda itu tersenyum puas. Dia segera mengubah
posisi duduknya. Duduk bersila namun tetap bersandar pada tiang. Sedangkan
Jodha mengubah duduknya menghadap Jalal.
“Ehem...ehem...” Jodha berdehem sebentar. Raut wajahnya serius,
sedangkan Jalal harus menahan rasa gelinya melihat sikap Jodha yang menurutkan
lucu itu. Kembali seperti pagi tadi dia bergumam, mengucapkan kata sayang
berulangkali.
Jalal masih menatap Inemnya dengan tersenyum. Namun, tiba-tiba Jalal meringis
kesakitan. Jodha yang sedang berusaha untuk mengucapkan kata sayangnya terkejut
melihat pemuda itu berulangkali memijat pelipisnya. Dengan panik dia memegang
kepala Jalal dan ikut memijitnya.
“Sayang, kamu kenapa? Apa yang sakit?” tanya Jodha dengan panik. Jalal
tersenyum dalam hati, namun dia tetap melanjutkan aktingnya.
“Disini Nem, sakit sekali. Sshh...., sshh...,” desisnya sambil meringis
kesakitan. Jodha yang tidak tahu akan akting kekasihnya terus berusaha memijat
kepala Jalal.
“Sini, berbaring disini Sayang. Aku pijatin.” Ucap Jodha menyuruh Jalal
berbaring dipangkuannya. Jalal menurut. Dalam hati dia menghitung berapa kali
Inemnya sudah memanggilnya sayang. Hahahaha....
“Iya disitu Sayang, sakit sekali.” Ucap Jalal ketika Jodha memijat
kepalanya.
“Kok bisa sakit sih sayaaang? Tadi makan apa sih?” tanya Jodha dengan lembut.
“Tiga sudah.” Ucap Jalal dalam
hati, “nggak tau juga Sayang, tadi rasanya aku makan biasa-biasa saja. Masa aku
darah tinggi gara-gara makan steak ya Sayang?” Jodha berpikir sebentar, namun
tangannya masih memijat kepala Jalal yang ada dipangkuannya itu.
“Bisa jadi sayang, kamu makan steaknya kebanyakan kali. Mentang-mentang
enak.” Ucap Jodha setengah mengomel.
“Empat.” Kembali Jalal
berhitung dalam hati, “iya, maafkan aku ya Sayang, sudah bikin kamu panik.” Jodha tersenyum.
“Iya, nggak apa-apa Sayang, lain kali kalau makan steak jangan
kebanyakan lagi ya.”
“Lima.”
Jalal mengangguk sambil
tersenyum, matanya terpejam menikmati pijatan di kepalanya, “Bagaimana? Sudah
mendingan belum Sayang,
sakitnya?” Jalal mengangguk dan membuka matanya.
“Enam.” Sahutnya bangkit dari pangkuan Jodha. Dia duduk bersila di hadapan Jodha yang
bengong mendengar ucapannya barusan.
“Enam? Apa itu?” tanya Jodha tidak mengerti. Jalal tersenyum lebar.
“Itu tadi.”
“Apa?” Jalal cengengesan.
“Aku sudah menghitung berapa kali kamu memanggilku Sayang tadi.”
“Hah?” Jodha melongo. Jalal kembali terkekeh.
“Biasa saja sayang ekspresinya. Nggak usah pake wajah kagum begitu,
cintamu ini akan selalu mempesonamu. Aku janji.” Ucap Jalal dengan pedenya.
Jodha tidak dapat menahan rasa gelinya. Dia tertawa sambil menutup mulut dengan
tangannya. Jalal bahkan ikut tertawa. Setelah berhenti tertawa, Jodha kembali menatap
pemuda itu dengan rasa penasaran.
“Maksudnya tadi apa Tuan?” tanya Jodha lagi, “saya tidak meng...” dia
tidak melanjutkan perkataannya karena jari telunjuk Jalal sudah menempel pada
bibir Jodha sambil menggelengkan kepalanya.
“Sttt,...jangan dilanjutkan, sekarang ikuti perkataanku.” Jodha
mengangguk pelan seperti robot, Jalal menarik kembali jarinya dari bibir Jodha,
“maksudnya,...”
Jodha mengikuti ucapan Jalal.
“Maksudnya...”
“Apa...”
“Apa...”
“Tadi...”
“Tadi...”
“Sayang...”
“Sa...yang.”
“Naaaahh, sekarang sudah bisa bilang.” Jodha tersenyum malu, “coba
ulangi lagi katanya sayangnya.” Pinta Jalal sambil tersenyum.
“Sayang.” Ucap Jodha dengan lirih. Setengah malu, setengah canggung
dan juga geli.
“Apa? Kurang keras, aku nggak dengar. Ulangi lagi.” Pinta Jalal sekali
lagi sambil mendekatkan telinganya di mulut Jodha. Gadis itu berdecak.
“Iya Sayang, Sayaaang, Sayaaaang, hahahahaa...” ucap Jodha agak keras,
disertai tertawanya. Akhirnya keluar juga kata itu dengan keras dan dengan
kesadarannya. Meski harus dibarengi dengan rasa geli yang terasa menggelitik.
Jalal ikut terkekeh melihat Jodha yang sampai memegang perutnya tertawa.
Yah, semua pasti bisa kalau kita tidak menyerah. Nyatanya gadisnya bisa juga
akhirnya mengucapkan kata sayang, meski awalnya sangat sulit. Jalal mengusap
rambut Jodha yang masih tersisa kekehannya sambil tersenyum. Betapa rasanya dia bahagia melihat dan bersama kekasihnya itu. Semua pada dirinya yang apa
adanya, membuatnya
semakin jatuh cinta. Kepolosannya, sopan santunnya, meski kadang kelewatan, kelembutannya dan juga
kepeduliannya.
Jodha menyeka air matanya yang tidak sengaja keluar ketika dia tertawa
tadi. Jalal memegang tangannya yang digunakan untuk menyeka air matanya
tadi, gadis itu mendongak,
menatapnya dengan heran. Ternyata telapak tangan Jalal yang membersihkan sisa
air mata kekasihnya.
“Makasih ya Sayang, sudah berusaha seperti ini. Berusaha untuk memenuhi
keinginanku, meskipun kamu tahu kalau itu sangat bertentangan dengan sifat dan
hatimu.” Kata Jalal sambil terus mengusap pipi Jodha untuk membersihkan air
matanya. Jodha terdiam, hanya matanya yang kedap-kedip memperhatikan wajah
laki-laki yang ada dihadapannya itu.
“A-aku...” suara Jodha terdengar gugup, Jalal
tersenyum mendengar untuk pertama kalinya dengan penuh kesadaran, gadisnya
tidak lagi berkata formal seperti biasa.
“Kenapa Sayang? Hm?” Jodha menelan ludah.
“A-aku,... maafkan aku yang begitu susah
untuk untuk berubah.” Jalal menggeleng
dan tersenyum.
“Aku tau. Tidak perlu minta maaf
Sayang, karena memang tidak ada yang
salah. Kamu tidak salah, aku saja yang terlalu ngotot untuk memaksamu...” Jalal
terdiam karena jari Jodha menempel di bibirnya, dia menggeleng.
“Jangan bilang begitu, bukankah ka-kamu
bilang harus dipaksa dulu baru terbiasa.” Ucap Jodha dengan tersenyum malu.
Jalal mengangkat sebelah alisnya dan tersenyum miring. Di genggamnya tangan
gadis itu yang masih berada dibibirnya.
“Tapi, kamu luar biasa Sayang. Justru perkataan yang kamu paksa untuk keluar
dari mulutmu itu, yang begitu indah mengalun dalam pendengaranku, begitu syahdu
dalam relung hatiku, begitu sulit untuk dilupakan, dan begitu menyentuh dalam sanubariku. Hanya
denganmu menyebut kata itu saja,
sudah membuat seluruh hatiku bergetar, bahkan rasanya semua egoku turut meleleh karenanya. Mungkin buatmu, dan juga menurut orang lain kata itu
hanyalah kata biasa, namun bagiku itu adalah nutrisi yang sanggup membuatku
selalu bersemangat dan selalu merindukanmu setiap saat.” Jodha tersenyum dan menunduk sebentar.
“Tidak heran, ka-kamu digilai banyak
perempuan diluar sana. Sangat pantas untuk digilai. Karena hanya dengan
mendengar kalimat yang seperti ini saja, sudah membuat banyak perempuan pasti
bisa tunduk dan memohon akan cintamu.” Ucap Jodha dengan berdecak. Jalal
terkekeh.
“Mulai sekarang, tantangan untukmu sayang,
berusahalah agar terbiasa mendengar kata-kata seperti itu. Dan kamu tenang
saja, karena mulai sekarang kata-kata tersebut hanya aku ucapkan untukmu
seorang. Aku bahkan tidak akan memberi kesempatan untuk perempuan lain untuk mendengarnya.”
Jodha tersipu, kembali pipinya merona. Jalal merengkuh bahunya dan menyandarkan
di dadanya, gadis itu menurut.
Jodha tersenyum bahagia, dia jatuh cinta
dengan laki-laki yang karakter dan pribadi yang sangat bertentangan dengan
dirinya. Tetapi dia yakin kalau suatu saat nanti dia pasti bisa menerima semua
hal yang ada pada diri kekasihnya itu. Ah, Jodha kembali tersipu mengingat dia
sudah mempunyai kekasih, dan bahkan sudah dilamar. Tiba-tiba Jodha teringat
sesuatu.
“Sa-sayang...” panggilnya dengan nada
malu. Jalal terkekeh, dia menyadari akan kecanggungan gadis dalam pelukannya
itu.
“Ya Cinta. Kenapa?” sahut Jalal dengan
santai, dia tahu kalau Inemnya pasti mati-matian menahan rasa geli mendengar
ucapannya. Iya, memang benar. Perut Jodha terasa diaduk-aduk, mules. Suer loh
pemirsa. Rasanya ingin berlari kebelakang, kalau saja dia tidak ingat lagi dipeluk.
“Kok, Pa-papa dan Ma-ma tiba-tiba ngelamar
sih? Emangnya Sa-sayang yang minta ya?” haduh, rasanya Jalal gemas banget
mendengar pertanyaan gadisnya yang masih canggung itu. Namun dia bersyukur,
meski masih canggung gadisnya sudah mau memanggilnya sayang.
“Hm...rasanya aku belum pernah meminta
mereka untuk melamar kamu sayang.”
“Tapi kok, mereka seperti sudah tahu
hubungan kita?”
“Ya mungkin saja mereka bisa melihat
Sayang, kitakan serumah. Apalagi Mama, perasaan seorang ibu pasti sangat tajam
kepada anaknya. Mungkin bagi kita, sikap kita biasa-biasa saja di hadapan
mereka, tapi belum tentu buat mereka. Bisa saja mereka menangkap sesuatu yang tidak
kita sadari, dan akhirnya memutuskan untuk melamar kamu.” Jodha
manggut-manggut, “walaupun begitu, aku bersyukur orang tuaku sudah melamar kamu
dan sudah menganggap kamu sebagai anaknya sendiri.” Jodha tersenyum.
“Jodha...”
panggil Jalal. Jodha tersentak. Dia menegakkan tubuhnya dan memandang
dengan heran kepada pemuda dihadapannya itu.
“Hah? Jodha?” ulangnya. Jalal mengangguk
dan tersenyum lebar, “kenapa?” karena ini adalah pertama kalinya tuan mudanya
yang sekarang menjadi kekasihnya itu memanggilnya dengan nama aslinya, pada saat mereka sedang
berdua saja.
“Sebelumnya aku minta maaf sama kamu
sayang, sudah memaksa memanggil nama kamu dengan panggilan Inem, walaupun kamu
nggak suka karena itu bukan nama kamu. Dan sekarang aku akan memanggilmu dengan
nama kamu yang sebenarnya.” Jodha tersenyum.
“Sebenarnya, sekarang a-aku tidak pernah
mempermasalahkan lagi nama itu karena a-aku sudah terbiasa mendengarnya. Bahkan
sering kangen ingin dipanggil seperti itu lagi.” Sahut Jodha malu-malu. Yah,
Jodha memang tidak pernah mempermasalahkan lagi tentang nama panggilan Inem itu. Terlalu banyak kenangannya. Kenangan yang akhirnya membuat dia jatuh cinta.
“Tapikan Sayang, aku jadi merasa bersalah.
Nanti kalau ketahuan Mama sama Papa gimana?” Jodha tertawa pelan. Tumben takut
ketahuan. Selama ini kemana saja jadi tidak takut, padahal kedua orang tuanya juga ada
dirumah.
“Tidak apa-apa sa-yang, asalkan itu untuk
kita berdua saja. A-aku sudah terlanjur merasa nyaman dengan panggilan itu. Dan
ketika kamu memanggilku dengan nama Jodha, aku merasa seperti berbicara
dengan orang asing. Bukan Tuan Muda yang
selalu pemaksa dan egois.” Ucap Jodha
memberanikan diri mencubit kedua pipi Jalal dengan gemas. Pemuda itu tertawa
senang. Di genggamnya kedua tangan gadis itu yang masih berada di pipinya.
“Iya deh Sayang. Anggap saja itu panggilan
sayangku buat kamu ya. Inem Sayang.” Sahut Jalal menjawil hidung gadisnya.
Jodha mengangguk senang, “ya sudah, masuk yuk sayang. Sudah malam. Besok kita
lanjutkan lagi kemesraan kita
yang....aawww...” Jalal meringis, karena pinggangnya di cubit Jodha.
Namun kemudian dia kembali cengengesan, “yuk.” Ucapnya menggandeng tangan
gadisnya masuk kedalam rumah. Jodha
hanya tersenyum. Manisnyaaa....
Keesokan harinya Bayu memberitahukan kepada Jalal dan Mansingh kalau mereka akan berangkat dua hari lagi. Kedua
orang tua mereka juga sudah menyetujuinya. Mereka pun segera menyiapkan apa yang diperlukan selama perjalanan.
Karena jarak yang akan mereka lalui juga lumayan jauh dengan menggunakan mobil mamanya
Jalal untuk berangkat.
Bu Hamidah dan Pak Humayun melepas kepergian mereka di depan pintu
gerbang. Bu Hamidah memeluk Jodha.
“Mama do’akan semoga kamu bisa bertemu dengan Ayahmu secepatnya ya
Sayang.” Ucap Bu Hamidah melepas pelukannya. Jodha mengangguk.
“Iya Ma. Makasih ya. Kami berangkat dulu.” Jodha juga pamit dengan Pak
Humayun.
“Pa, kami berangkat ya.” Pak Humayun mengangguk. Dia tidak segan-segan
memeluk Jodha layaknya anak sendiri. Jalal pun ikut pamit kepada kedua orang tuanya.
Kini mereka akan menjemput Mansingh, Bayu dan keluarganya. Dan perjalanan
mereka pun di mulai.
***
Sementara Surya yang tidak ikut ke Pacitan, bingung tidak punya teman.
Karenanya dia
menghabiskan waktu menunggu kedua sahabatnya itu dirumah orang tuanya. Lumayan, ada Moti
adiknya yang bisa di ajak ngobrol. Begitulah kalau punya sahabat kental, ketika mereka
tidak ada, yang terasa hanya kesepian. Ditambah sekarang mereka sudah punya
pasangan masing-masing, jadilah dia sebagai jomblo ngenes, seperti ledekan kedua sahabatnya itu.
Malam itu, Surya mengajak adiknya jalan-jalan menghabiskan waktu. Moti
dengan senang hati menuruti keinginan kakaknya itu. Apalagi dia diajak makan di
restoran fast food, tentu saja Moti senang sekali.
“Tumben Kakak ngajak aku jalan-jalan nih? Emangnya Kak Man sama Kak
Jalal kemana Kak?” tanya Moti ketika mereka sudah berada di mobil, ingin
pulang. Surya tersenyum, sambil fokus menyetir.
“Mereka berdua ada urusan ke Pacitan, Dek.”
“Oh ya?” Surya mengangguk, “kok tumben Kakak nggak diajak?” Surya tertawa.
“Bukan nggak diajak Dek, tapi Kakak yang nggak mau ikut.” Moti merubah
posisi duduknya menghadap kearah kakaknya.
“Kenapa Kakak nggak mau ikut? Kan biasanya selalu bertiga?” Surya
tersenyum kecut.
“Kakak nggak enak Dek, mereka membawa pasangan masing-masing. Ntar kalau
Kakak ikut malah jadi obat nyamuk aja.” Sahut Surya sambil menggaruk kepala.
Moti tertawa kencang.
“Ya, ya, aku mengerti sekarang Kak. Kakak cemburu sama mereka, karena
Kakak belum punya pasangan ya?” Surya terkekeh, “makanya Kak, cari dong. Masa
ini Kakakku yang cakep, pintar, lulusan akmil, nyari pasangan saja susah. Apa
kata dunia Kak?” ejek Moti. Surya menoleh kepada adiknya dengan cemberut.
“Kamu ini Dek, bukannya menghibur Kakak yang kesepian, malah mengejek.” Sungut Surya.
Moti hanya bisa tertawa.
“Aku ikut prihatin aja deh, buat Kakakku tersayang. Sabar ya, jodoh itu
nggak akan kemana.” Ucap Moti menyandarkan kepalanya di bahu Surya. Kakaknya
itu mengusap lembut rambut adiknya dengan sebelah tangannya.
Tiba-tiba Surya mengerem mendadak mobilnya, Moti yang bersandar dibahu
kakaknya dengan santai terkejut. Untunglah dia menggunakan seat belt, kalau tidak pasti dia akan terdorong kedepan.
“Apaan sih Kak? Kok berhenti mendadak?” gerutunya. Namun Surya tidak
memperdulikannya. Tatapannya fokus pada sesuatu yang menarik perhatiannya di
luar sana. Moti mengikuti pandangan Kakaknya, dan dia mengerutkan keningnya.
Secara tidak sengaja Surya mengajak Moti jalan-jalan melewati sebuah klub
malam yang dulu sering dia datangi bersama kedua sahabatnya. Dan, sesuatu yang
menarik perhatiannya itu sedang keluar dari dalam klub. Seorang perempuan
berpakaian minim,
sedang berjalan keluar ke arah jalan raya dengan jalan sempoyongan. Tangannya
memegang tas, dan sebelahnya masih memegang sebatang rokok. Dibelakangnya, nampak dua orang pemuda
mengikutinya. Melihat dari gelagat mereka berdua, sepertinya bukan untuk menjaganya, namun untuk
berbuat yang tidak baik.
Kebetulan sekali posisi mobil Surya searah dengan perempuan yang keluar
tadi. Sepertinya dia ingin mencari taksi yang lewat. Sesekali dia mengisap
rokoknya, dan bersendawa. Mungkin dia sedang mabuk. Moti dan Surya saling
pandang. Sementara dua laki-laki dibelakang perempuan itu secara perlahan
memegang kedua tangan perempuan itu yang memberontak dan menyeretnya masuk
kearah parkiran, namun dia tidak seperti sepenuhnya melawan. Dia hanya meracau
sambil tertawa.
“Kak, kasihan perempuan itu. Pasti kedua laki-laki tadi berbuat yang tidak
baik kepadanya. Ayo tolong dia Kak.” Pinta Moti kepada Kakaknya, dengan
mendorong-dorong lengan kakaknya agar keluar dari mobil. Surya mengangguk.
Diapun segera keluar dan setengah berlari dia menghampiri ketiga orang itu.
“Hentikan. Apa yang kalian berdua lakukan kepadanya?” bentak Surya.
Kedua laki-laki tadi berhenti bergerak. Tangan mereka yang akan membuka pintu
mobil terhenti. Keduanya menatap Surya dengan tajam. Sementara perempuan yang mereka
bawa masih berceloteh tidak jelas, sambil tertawa.
“Siapa kau?” tanya salah satu dari mereka.
“Kalian tidak perlu tahu siapa aku. Lepaskan dia?” mereka tertawa
mengejek.
“Memangnya kau siapa? Berani sekali menghalangi kami.”
“Dia adikku, mengerti! Dan kalau kalian berbuat macam-macam kepadanya,
aku jamin kalian berdua tidak akan bisa selamat dari sini.” Ancam Surya. Keduanya
saling pandang, salah satu dari mereka memberi isyarat anggukan kepala kepada
temannya. Temannya mengangguk. Secara bersamaan mereka berdua mendorong
perempuan itu ke arah Surya, yang dengan sigap menangkap tubuh perempuan itu
agar tidak terjatuh.
“Tuh, kami kembalikan. Ingat jaga adikmu baik-baik. Jangan salahkan kami
kalau terjadi apa-apa dengannya lain kali.” Surya mengangguk, sambil memeluk
tubuh perempuan tadi yang masih terus meracau dan sesekali tertawa.
“Baik. Terima kasih.” Kedua laki-laki tadi masuk ke mobil mereka dan
keluar dari parkiran tersebut.
“Eh, ada yang bening nih malam ini. Nama kamu siapa ganteng?
Hehehe...hik.” ucap perempuan itu mengusap-usap pipi Surya sambil tertawa tidak
jelas.
Surya seperti pernah melihat perempuan yang dipeluknya itu. Tapi dimana?
Namun dia segera membawa perempuan itu ke mobilnya. Dimana Moti sudah menunggu membukakan
pintu untuk mereka berdua.
Setelah memasukkan perempuan itu ke kursi belakang, Surya segera masuk
ke belakang kemudinya.
“Kita bawa dia kemana Kak?” Surya berpikir sejenak.
“Kakak tidak tahu, Dek. Masa kita tinggal di hotel aja.”
“Jangan ah Kak, nggak niat menolong dong kalau gitu.” Cegah Moti.
“Coba kamu periksa tasnya Dek, siapa tahu ada KTP atau tanda pengenal lainnya. Kan kita bisa mengantarkan kerumahnya.” Moti
mengangguk. Dia segera memutar tubuhnya berbalik kebelakang, mengambil tas
perempuan tadi dan memeriksa dompetnya. Namun di dompetnya hanya ada kartu ATM
dan kartu kredit saja, serta uang dan juga ponsel. Tidak ada KTP atau tanda pengenal
lainnya.
“Ruqaiyah.” Gumam Moti setelah melihat kartu kredit gold platinum, milik
perempuan tadi. Surya terkejut.
“Hah. Ruqaiyah?” Moti menoleh ke arah Kakaknya.
“Kakak mengenal dia?” Surya menepuk dahinya. Iya, dia ingat sekarang.
Bukankah dia pernah menjadi pacar Jalal, dan setahunya perempuan itu juga yang
selalu mengejar-ngejar sahabatnya itu sebelum akhirnya Jalal merubah sikapnya, dengan menghindari semua perempuan yang
pernah dia kencani setelah dia cinta mati sama Jodha.
“Iya Dek, Kakak kenal dia. Dia teman Kakak dikampus. Kakak lupa tadi.”
Moti mengangguk-angguk.
“Terus gimana nih Kak? Kita antar kemana dia?” Surya kembali berpikir.
“Kalau kita bawa kerumah kita saja gimana Dek? Kasihan juga dia kalau
kita tinggalkan di hotel.” Moti terdiam, “kamu nggak apa-apakan temani dia
nanti dirumah.” Moti mengangguk.
“Iya Kak, nggak apa-apa. Mama sama Papa juga paling nggak keberatan. Kan
dia teman Kakak juga. Aku sih senang-senang aja dapat teman dirumah.” Jawab
Moti. Surya tersenyum.
Deal. Akhirnya mereka berdua pun pulang dengan membawa Ruqaiyah.
Sesampai di rumah, Surya membopong perempuan itu masuk ke dalam rumahnya,
sementara Moti membuka pintu kamar tamu dan membereskan tempat tidur. Surya
membaringkan pelan-pelan tubuh Ruqaiyah diatas ranjang. Perempuan itu melenguh
sebentar, tetapi kemudian dia tertidur pulas. Keduanya memandang Ruqaiyah agak
lama.
“Dek, kamu ganti deh pakaiannya. Minjam baju kamu dulu ya. Besok kita
ngomong sama Papa dan Mama.” Moti mengangguk.
“Iya Kak.” Moti segera keluar dari kamar tamu tersebut menuju kamarnya
untuk mengambil pakaian miliknya, menggantikan pakaian Ruqaiyah yang berbau
alkohol.
Surya yang masih di dalam kamar tamu, duduk di pinggir ranjang. Matanya
masih terus menatap wajah perempuan itu yang terlelap.
“Hiks...hiks...” Surya terkejut melihat Ruqaiyah menangis. Namun kelopak
matanya masih terpejam. Air matanya menetes di sudut matanya. Surya terpana.
Perempuan itu kenapa? Sepertinya ada beban dalam pikirannya, terbukti beberapa
kali keningnya berkerut.
“Kakak.” Surya menoleh, ketika melihat Moti sudah berdiri di pintu
dengan membawa piyama tidur miliknya.
“Ya Dek.”
“Kakak keluar dulu gih, aku mau gantikan pakaiannya dulu.” Surya
mengangguk.
“Iya Dek, Kakak ke kamar dulu. Titip teman Kakak ya.” Moti tersenyum dan
menggangguk.
“Beres Kak.” Surya tersenyum, mengelus rambut adiknya dulu sebelum akhirnya
dia keluar dari kamar tersebut menuju kamarnya.
Dikamarnya, Surya membaringkan diri. Pikirannya masih teringat akan Ruqaiyah
yang menangis. Padahal yang dia tahu, perempuan itu adalah orang yang tidak
pernah mau kalah terhadap orang lain, dan dia ingat dulu perempuan itu pernah
menampar Jodha gara-gara cemburu. Surya menghembuskan nafas panjang. Menutup
matanya berusaha untuk tidur.
***
Ruqaiyah membuka matanya, kepalanya masih pusing. Berulangkali dia
memijat pelipis sambil meringis sambil berusaha untuk duduk. Namun gerakan tangannya yang memijat
pelipisnya terhenti, ketika melihat ruangan yang asing baginya. Dia terkejut,
dilihatnya pakaian yang dipakainya sekarang sekarang sudah berubah menjadi
piyama tidur. Hah, pakaiannya tadi malam kemana? Ini tempat siapa? Pikirannya
masih tanda tanya.
“Kamu sudah bangun?” terdengar suara maskulin dari pintu yang terbuka.
Ruqaiyah terkejut.
“K-kau...” Surya tersenyum. Dia duduk di pinggir ranjang, “kenapa aku
dibawa kesini? Dan ini rumah siapa? Apa kau yang menggantikan pakaianku?” Surya
terkekeh mendengar pertanyaan beruntun dari perempuan itu.
“Pertanyaannya satu persatu, Ruq.” Kata Surya mengambil kursi, meletakkannya di dekat tempat tidur
dan duduk disana dengan diikuti pandangan mata Ruqaiyah yang tidak lepas dari
gerak-geriknya, “iya, ini rumah orang tuaku, aku yang membawamu kesini ketika
itu kamu mabuk dan hampir diperkosa oleh dua orang laki-laki waktu keluar dari diskotik tadi malam,”
mulut Ruqaiyah membulat mendengar dia hampir diperkosa, “awalnya aku ingin
mengantarkanmu kerumahmu, tapi aku tidak menemukan alamat rumahmu, jadi aku membawamu
kesini. Kerumah orang tuaku. Dan pakaianmu diganti oleh adikku. Tenang saja,
adikku perempuan.” Kata Surya mengakhiri penjelasannya. Ruqaiyah menghembuskan
nafas lega. Setidaknya, dia bisa berpikir dengan tenang.
“Ini jam berapa?”
“Jam 11 siang.” Sahut Surya sambil tersenyum
“Apa?” Ruqaiyah kaget. Pusing kepalanya mendadak hilang, ya ampun, sudah
tidur dirumah orang, bangun kesiangan lagi. Kembali Surya terkekeh.
“Tidak apa-apa. Anggap saja rumah sendiri, kamu mandi dulu sana, itu ada
baju adikku.” Kata Surya menunjuk sepasang pakaian yang diletakkan di atas
nakas lengkap dengan pakaian dalamnya, seketika wajah Ruqaiyah memerah melihatnya.
Karena laki-laki itu terlihat biasa melihat pakaian dalam perempuan, “nanti
Moti akan menemanimu. Nggak usah sungkan, sekalian nanti kenalan dengan orang
tuaku.” Ucap Surya berdiri dari duduknya, dia memasukkan kedua tangannya di
kantong celananya dan tersenyum. Sampai akhirnya dia berbalik ingin keluar meninggalkan Ruqaiyah yang
masih bengong.
“Sur,...” panggil Ruqaiyah, Surya
berbalik.
“Ya?”
“Makasih.” Surya tersenyum.
“Nggak masalah. Nanti kalau sudah selesai
mandi, kamu bisa temui kami diteras belakang. Biasanya kami berkumpul disana.”
Ruqaiyah mengangguk.
“Iya.”
Setelah Surya keluar dari kamar dan
menutup pintu, Ruqaiyah segera turun dari ranjangnya. Kepalanya ternyata masih
terasa sedikit pusing. Dengan segera dia mengambil pakaian yang sudah
disediakan oleh Moti tadi dan membawanya masuk ke kamar mandi.
Selesai mandi, Ruqaiyah keluar dari kamar
mencari penghuni rumah yang nampak sepi tersebut. Rumah Surya terlihat lebih
sederhana dari rumahnya, namun terasa tenang dan damai. Ada hawa kesejukan di
dalamnya. Di ruang keluarga terpajang foto keluarga dengan ukuran besar.
Mungkin itu keluarganya Surya. Pikir Ruqaiyah.
Sayup-sayup dia mendengar suara ramai,
Ruqaiyah segera mencari asal suara tersebut. Sebenarnya perutnya lapar tapi
ditahannya. Malu, dirumah orang minta makan. Setelah menelusuri arah suara
tadi, Ruqaiyah terpaku melihat pemandangan di hadapannya. Surya dan seorang
wanita setengah baya serta seorang gadis remaja, mungkin itu tadi yang disebut
Surya sebagai adiknya, sedang asyik berkebun.
Sesekali Moti mengganggu kakaknya yang
sedang mengangkat media tanam yang sudah
diisi oleh mamanya, dan diganti Surya dengan melemparkan tanah gembur itu ke
arah adiknya. Mamanya hanya menggelengkan kepala melihat kelakuan anaknya
sambil meneruskan kegiatannya. Ruqaiyah yang melihat keluarga kecil itu tanpa
sadar tersenyum, ikut merasakan kebahagiaan.
Sekilas dia teringat akan dirinya, dan
keluarganya. Kakaknyalah satu-satunya keluarga yang dimilikinya, meskipun sekarang
jarang sekali bertemu. Dia benar-benar kesepian. Melihat kebahagiaan keluarga
Surya, dia merasa iri. Tanpa sadar, air matanya mengalir membayangkan
kehidupannya yang tidak beruntung tersebut.
Moti yang secara tidak sengaja melihat ke
arah Ruqaiyah yang menangis, menyenggol tangan kakaknya dan menunjuk ke arah
pintu. Surya dan mamanya segera menoleh, sejurus kemudian mereka berdua saling
pandang. Seperti diperintah ketiganya segera membersihkan tangan mereka dan menghampiri
Ruqaiyah, yang belum sadar akan kedatangan empunya rumah.
“Kamu kenapa Sayang, kok menangis?” tanya
mamanya Surya. Ruqaiyah terkejut. Dengan segera dia menyeka air matanya, sambil
tersenyum.
“Nggak apa-apa Tante, maaf kalau aku
mengganggu kegiatan kalian.” Mamanya Surya tersenyum, dia mengajak Ruqaiyah
duduk di kursi di teras belakang rumahnya itu bersama Surya dan Moti. Surya
hanya menatap perempuan itu dengan diam. Sedangkan mamanya dan adiknya duduk
disebelah kiri kanan Ruqaiyah.
Surya menatap perempuan yang ada
dihadapannya, dia memakai celana pendek selutut milik Moti, kaos oblong warna
putih. Rambutnya tergerai basah, dengan wajah tanpa make up. Terlihat natural
dan alami. Sangat berbeda sekali dengan
yang biasa dia lihat di kampus yang selalu memakai make up yang agak menor,
Surya sangat tidak suka melihatnya. Lebih terlihat seperti sedang memakai
topeng saja.
“Nggak apa-apa Sayang. Oh ya, kamu
temannya Surya ya?” Ruqaiyah mengangguk, “kenalkan Tante mamanya Surya, panggil
saja Tante Lena. Ini Moti adiknya Surya.” Moti tersenyum.
“Hai Kak, aku Moti, adiknya dia yang
bergaya sok cuek, makanya sampai sekarang dia masih jomblo.” Ejek Moti. Ruqaiyah
dan mamanya tertawa, sedangkan Surya melotot kearah adiknya yang tertawa
melihatnya dipojokkan.
“Enak sekali disini Tante, nyaman dan
menyenangkan.” Puji Ruqaiyah tulus. Mamanya Surya tersenyum.
“Kamu kalau mau, boleh sering-sering kesini. Kita masak-masak
bareng, dan berkebun bareng.”
“Memangnya boleh ya Tan?”
“Tentu saja boleh. Nggak ada ngelarang
kok. Tante sama Moti pasti senang sekali punya teman, soalnya anak Tante yang
laki jarang pulang kerumah. Lebih sering tinggal diapartemennya, padahal masih satu kota.” Sindir mamanya Surya sambil
melirik ke arah Surya yang cemberut. Moti dan Ruqaiyah tertawa, “kamu nggak
kasih kabar sama keluargamu Sayang, nanti dicari lo.” Tanya Tante Lena.
Mendadak wajah Ruqaiyah murung. Ketiganya menjadi heran.
“Aku nggak punya keluarga yang mencariku
Tan.” Ketiganya tertegun, “aku cuma memiliki seorang kakak saja, satu-satunya keluargaku. Dan itu juga jarang bertemu.”
Terlihat mendung diwajah Ruqaiyah yang biasanya terlihat angkuh dan sombong itu. Surya yang
sedang duduk di hadapannya, merasa iba. Bisa jadi kejadian Ruqaiyah mabuk tadi
malam itu karena dia merasa kesepian. Tante Lena dan Moti mengusap lengan
Ruqaiyah yang tertunduk.
“Maaf Sayang, kalau boleh Tante tahu,
orang tua kamu kemana?” Ruqaiyah menggeleng.
“Aku tidak tahu Tan, sejak kecil aku sama
kakaku sudah hidup berdua. Kakakku lah, satu-satunya yang peduli padaku. Tetapi
itu dulu, sekarang...” ucapan Ruqaiyah tercekat di tenggorokan, “aku tidak tahu
rasanya punya orang tua. Pasti rasanya menyenangkan.” Ucap Ruqaiyah lirih.
Kembali air matanya menetes disudut matanya. Ketiga orang yang ada ditempat itu
terdiam, menatap perempuan itu dengan perasaan iba, “ah, maaf Tante. Aku jadi
kebawa perasaan nih.” Kata Ruqaiyah tertawa hambar sambil menyeka air matanya
yang tidak sengaja jatuh menetes.
Tangannya di genggam oleh Tante Lena, Ruqaiyah menoleh ke arah wanita
itu yang tersenyum meneduhkan, “kamu boleh anggap Om dan Tante sebagai orang
tua kamu sayang. Dan juga mereka berdua
sebagai saudara kamu. Kamu boleh tinggal
disini selama kamu suka, rumah kami akan selalu terbuka untukmu.” Ruqaiyah
tertegun mendengar ucapan Tante Lena. Dia menoleh kearah Moti yang tersenyum
tulus kepadanya, kemudian dia mengalihkan pandangan ke arah Surya yang ada
dihadapannya. Pemuda itu juga tersenyum dan mengangguk. Ruqaiyah tersenyum cerah,
dia mengangguk.
“Iya Tante, aku mau.” Ucapnya dengan
gembira. Ketiganya ikut tersenyum senang.
“Kalau mau jangan panggil Tante dong,
panggil Mama juga.” Ruqaiyah tersenyum malu.
“Iya Mama.” Sahutnya pelan. Terasa
tubuhnya merinding ketika mengucapkan kata itu untuk pertama kalinya. Ada getar
kebahagiaan, kedamaian, dan juga kehangatan merasuk dalam hatinya.
“Ya sudah, ayo kita makan siang dulu. Kamu
pasti laparkan?” kata Tante Lena mengajak Ruqaiyah masuk kedalam rumah.
Perempuan itu menurut, dia berjalan mengikuti langkah mama barunya itu,
diiringi Moti dan Surya. Mereka sama sekali tidak membahas tentang dirinya yang
mabuk tadi malam, seolah sengaja tidak ingin mempermalukan dirinya.
Ketika jam makan siang
tiba, papanya Surya pulang untuk makan siang bersama keluarganya.
Ruqaiyah berkenalan dengan papanya
Surya dan Moti yang ternyata sangat ramah. Pantas saja, sikap anak-anaknya
menurun dari sikap kedua orang tuanya. Ruqaiyah merasa senang berada
ditengah-tengah keluarga Surya yang penuh kehangatan. Dia sangat terkesan dan
ingin tinggal lebih lama lagi ditempat itu.
Ruqaiyah melirik kearah Surya yang berada
duduk diseberangnya, disamping papanya. Sedangkan dia duduk disamping Moti.
Pemuda itu juga kebetulan sedang menatapnya sambil mengunyah makanannya, namun
Surya hanya diam saja. Entah apa yang ada dalam pikirannya. Ketika pandangan
mereka bertemu, Ruqaiyah menunduk malu menatap piring yang ada dihadapannya.
Namun, Surya hanya tersenyum melihatnya. Menarik. Pikir Surya.
====tbc===
Tidak ada komentar:
Posting Komentar