Menu

Jumat, 12 Februari 2016

BIARKAN AKU JATUH CINTA. PART. 23 (AKHIRNYA, SAYAAANG)


==========0000=========
Semua tercengang mendengar ucapan Jodha. Ada nada getir dalam ucapannya. Bahkan Nadia yang biasanya usil, sekarang hanya bisa diam. Sesaat suasana hening. Jodha menunduk, dia memang tidak menangis tapi ketika teringat akan mendiang ibunya, ada rasa perih yang menusuk hati. Perih karena kerinduan yang tak berujung.
Bu Hamidah bangkit dari duduknya dan melangkah mendekati Jodha yang masih duduk diantara Pak Pramono dan istrinya. Dia memegang kedua bahu gadis itu dari belakang, semua orang masih terdiam.
“Jodha, nggak usah sedih. Kami disini akan selalu berada di dekatmu sebagai keluargamu. Kamu nggak usah sungkan. Ibu sama Bapak, Ayah Pram dan Ibu Nunik juga orang tuamu. Bahkan yang ada disini semua menyayangimu.” Ucap Bu Hamidah mengelus rambut Jodha dengan lembut. Jodha mengangguk pelan tanpa bisa berkata apa-apa, “Ibu juga bersyukur karena telah bertemu denganmu, kamu gadis yang luar biasa yang pernah Ibu kenal. Kamu gadis tegar, lembut, dan apa adanya. Bahkan kamu sudah memberikan semangat untuk orang-orang disekitarmu. Jadi, jangan sedih lagi ya. Masalah Ayahmu biar nanti kita bicarakan nanti, yakinlah semua akan baik-baik saja. Ya sayang?” ucap Bu Hamidah mencium rambut Jodha. Sesaat gadis itu memejamkan matanya.
Ah iya, inilah sentuhan yang dia rindukan. Sentuhan lembut seorang ibu. Kehangatan dan kelembutannya bahkan sampai merasuk kedalam hatinya. Iya. Bu Hamidah benar, tidak ada gunanya menangisi ibunya, hanya akan membuatnya semakin terpuruk. Jalal yang melihat betapa mamanya begitu menyayangi Inemnya, hatinya tersentuh. Dia bersyukur kedua orang tuanya menerima dengan kedua tangan terbuka gadis pilihannya.
“Iya Bu. Terima kasih banyak. Ibu dan Bapak, juga Tuan Muda sudah banyak membantu saya. Buat Ayah, Ibu, Abang, Kak Salima dan juga Nadia, saya bersyukur sudah dipertemukan dengan kalian semua. Saya juga bersyukur masih ada orang baik di dunia ini yang bisa saya temui.” Ucap Jodha dengan lirih, Bu Hamidah justru memeluknya.
“Bukan karena kami orang baik sayang, tapi karena kamu memang pantas diperlakukan seperti itu. Tidak usah merasa rendah diri, kita ini sama saja. Anggap saja Ibu sama Dek Nunik sebagai ibu kamu sendiri. Mulai sekarang, panggil Ibu dengan sebutan Mama, dan Bapak kamu panggil Papa. Sebagaimana biasa Jalal memanggil kami. Ya sayang?” ucap Bu Hamidah melepas pelukannya. Jodha tercengang. Nah loh? Secepat itukah? Masalah panggilan sayang untuk tuan mudanya saja belum beres, ini malah disuruh memanggil mama sama papa oleh calon mertuanya.
“Terus, manggil aku gimana Ma? Masa dia masih memanggilku Tuan terus?” celetuk Jalal sambil tersenyum menyeringai penuh kemenangan. Wajah Jodha nampak pucat. Nah ini yang memang masalah. Tuan mudanya itu memang pintar mencari celah, agar Jodha bisa terjepit dan tidak bisa mengelak lagi. Semua mata memandang ke arah Jodha menunggu jawaban. Jodha menjadi salah tingkah. Nadia terkikik geli melihat ekspresi sahabatnya itu.
“Memangnya kamu mau dipanggil apa sama Jodha, Sayang?” tanya Bu Hamidah kepada Jalal. Pemuda itu tersenyum kepada Jodha yang menatapnya dengan wajah pucat dan pasrah. Hahahaha....
“Yah, kayak orang biasa gitu loh Ma, yang sweet lah. Masa Tuan? Dimana romantisnya? Apalagi sudah mau jadi istri?” Nadia tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan Jalal. Surya dan Mansingh terkekeh. Sementara yang lain hanya tersenyum geli. Wajah Jodha memerah. Dia benar-benar malu kali ini.
“Oh, ya ampun Bang Bos. Kasihan bener nasibmu, dapat calon istri nggak romantis.ckck...” ledek Nadia disela tertawanya sambil menggelengkan kepala. Rahim bahkan ikut tertawa juga melihat tantenya tertawa. Jalal mendelik kearah Nadia yang bahagia sekali meledeknya, “emang mau dipanggil apa Bang Bos, nanti aku bikinkan daftarnya ya, aku konfirmasi dulu sama mbah google biar dapat nama panggilan yang bagus.”
“Nggak perlu. Yang ada kamu nanti malah bikin aku malu saja.” Nadia terkikik geli.
“Nggak percayaan amat sama aku Bang Bos ini? Jangan lupa loh, aku ini saudaranya Jodha. Pasti aku banyak tahu tentang dia. Dan itu, sogokannya besar. Hahahaa...” celoteh Nadia.
“Gampang. Itu bisa diatur.” Sahut Jalal santai. Kedua orang tuanya menggelengkan kepala.
Bu Hamidah kembali merangkul bahu Jodha, “gimana Sayang? Kamu maukan manggil Bapak sama Ibu dengan panggilan mama sama papa?” dengan pasrah akhirnya Jodha mengangguk.
“I-iya Bu,”  Bu Hamidah melebarkan matanya, “eh, iya Ma.” Sahut Jodha tersipu malu. Bu Hamidah dan Bu Nunik terkekeh melihatnya.
“Kalau masalah panggilan untuk Jalal, kalian diskusikan sendiri aja. Mama nggak maksa dan nggak berhak ikut campur.” Jalal cemberut mendengar ucapan mamanya. Sedangkan Jodha menarik nafas lega dan melirik Jalal dengan tersenyum tipis.
“Yah, gagal deh dapat bantuan dari Tante buat maksa kekasih yang nggak romantis menjadi romantis.” Ledek Nadia lagi membuat Jalal melotot kearahnya, namun dia hanya meleletkan lidahnya saja.
“Nad, sudah. Jangan gitu. Kasihan Jalal kamu ledek terus.” Tegur Ibunya. Nadia nyengir.
“Nggak apa-apa Bu, Bang Bos tambah cakep kalau lagi kesal. Hahaha...” yah, Jalal tidak dapat menyembunyikan rasa jengkelnya. Di saat-saat dia merasa bisa memaksa gadisnya, selalu saja gadis usil itu membela Inem dan selalu menyudutkannya. Tapi, Jalal tidak dapat berbuat apa-apa. Hanya bisa diam, melihat gadis usil itu tersenyum penuh kemenangan. Ck. Dasar Nadia.
“Sekarang gimana rencanamu Bay?” tanya Pak Humayun setelah suasana tenang kembali. Bayu menoleh sebentar ke arah istrinya, Salima hanya mengangguk dan tersenyum saja. Dia sudah terbiasa dengan keputusan suaminya yang mendadak, sebagai istri dari seorang prajurit buat dia tidak masalah, asalkan itu tidak menyimpang dari tujuan awalnya.
“Mungkin besok saya mengajukan cuti beberapa hari kedepan Om, jadi saya bisa langsung berangkat.” Pak Humayun manggut-manggut mendengar jawaban Bayu.
“Bang, aku boleh ikut nggak?” tanya Jodha.
“Kenapa kamu mau ikut Jo?” Bayu balik nanya.
“Ya, kalau tidak merepotkan Abang. Soalnya aku ingin berziarah ke makam Ibu.” Bayu berpikir sejenak, dia mengangguk.
“Boleh. Kamu boleh ikut Abang.” Jodha nampak gembira.
“Aku ikut juga ya Bang?” pinta Nadia.
“Loh, kenapa kamu jadi ikut juga Nad?” tanya Ibunya, Nadia tersenyum.
“Aku pengen traveling aja Bu. Lagiankan disana dekat pantai, pasti menyenangkan bisa berlibur ke pantai, dan berjemur disana kayak bule-bule gitu loh Bu.” Sahut Nadia dengan wajah berseri, “ya kan Jo?” Jodha menggangguk.
“Tapi nggak boleh pakai bikini loh Beb, kalau lagi dipantai.”  Sela Mansingh. Nadia mengerucutkan bibirnya.
“Siapa juga pakai bikini Bang. Eh, tapi kalau ada bule ganteng sih nggak masalah tuh.” Goda Nadia, membuat Mansingh melotot kearahnya. Gadis itu tertawa senang melihat ekspresi Mansingh. “nggak kok Bang, suer. Cuma ingin menikmati pemandangan alam saja kok. Beneran.” Mansingh menarik nafas lega mendengar jawaban Nadia. Jalal terkekeh melihat sahabatnya yang sedikit cemburu, “gimana Bang, boleh nggak aku ikut? Boleh aja ya?” rengek Nadia. Bayu cuma bisa menggelengkan kepala melihat kelakuan adik kesayangannya itu.
“Kita bertiga gitu yang berangkat?” tanya Bayu kepada Nadia. Gadis itu mengangguk cepat.
“Iyalah Bang. Nggak apa-apa kan? Ayolah Bang, lama nih nggak pernah traveling lagi.” Rayu Nadia. Bayu berpikir sejenak.
“Gimana kalau kami ikut Bang, ya sekalian saja orangnya banyak?” tawar Jalal. Jodha melongo mendengar ucapan tuan mudanya.
“Waduh, jadi rombongan nih ceritanya?” kekeh Pak Pramono. Pak Humayun ikut tertawa.
“Ya nggak apa-apa Bay,  biarkan saja. Lagian Jalal sama Man dan Surya kan juga baru pulang pelatihan, anggap saja itu liburan habis sekolah.”  Kata Bu Nunik.
“Iya Yah, aku ikut juga ya. Bareng Tante.” Tiba-tiba Rahim juga ingin ikut, dia duduk dipangkuan Nadia yang memeluknya.
“Wah, keponakan Tante mau ikut juga.”
“Boleh ya Te, kita nyari kerang nanti disana.”  Kata Rahim dengan polosnya. Kedua matanya kedap-kedip menatap Nadia. Dengan gemas gadis itu mencium keponakannya.
“Boleh dong. Nanti bawa wadah yang besar ya, kita sama Tante Jodha akan nyari kerang sebanyak-banyaknya.” Sahut Nadia, mencubit pipi Rahim pelan.
“Yeeay, asyik.”  Rahim bersorak kegirangan.
Bayu jadi bingung dan menoleh ke arah istrinya. Salima hanya mengangkat bahu dan tersenyum.
“Ya sudah, sekalian saja kamu bawa keluargamu Bay. Sekalian jalan-jalan disana.” Ucap Pak Pramono membuat Bayu menghela nafas panjang. Dia menatap ke arah Pak Humayun.
“Bagaimana Om?” Pak Humayun tersenyum.
“Ya terserah kamu saja Bay, Om pikir nggak apa-apa juga kok. Siapa tahu Ayahnya Jodha bisa dibujuk untuk ikut kalian kesini. Biar kami sama kedua orang tuamu yang ngurus rencana pernikahan Jalal dan Jodha.”  Bayu menganggguk.
“Iya Om. Baiklah.” Dia menoleh ke arah Jalal dan kedua sahabatnya, “kalian bener jadi ikut?” Jalal dan Mansingh mengangguk, namun Surya nampak berpikir, “kamu nggak ikut Sur?” tanya Bayu.
“Sepertinya aku nggak ikut Bang.” Kedua sahabatnya langsung menoleh kearahnya dengan pandangan tanda tanya.
“Kenapa Sur?” tanya Jalal, Mansingh mengangguk.
“Ya, gimana aku mau ikut. Kalian semua punya pasangan masing-masing. Terus aku sama siapa? Masa sama Rahim” ucapnya dengan wajah setengah ditekuk. Kedua sahabatnya dan juga Bayu terkekeh.
“Ya sudah kalau nggak mau ikut. Tapi bener nih nggak ikut?” Surya mengangguk, “nggak nyesal?”
“Nggak Bang. Kapan-kapan saja kalau aku sudah punya pasangan ikut jalan lagi kesana.”
“Ya sudah kalau begitu.”
“Nasib jones. Selalu ngenes. Hahaha...” Ledek Mansingh dan Jalal bersamaan. Surya hanya bisa melotot kearah keduanya yang tertawa terpingkal-pingkal. Tetapi dia bisa apa? Memang begitu keadaannya.
“Sudah, sudah.” Kata Pak Humayun menengahi gurauan mereka, Jalal dan Mansingh menghentikan  tawanya, dan mulai serius mendengar ucapan papanya, “sekarang kita kembali ke masalah lamaran Jodha tadi.” Semua diam mendengarkan ucapan Pak Humayun. Laki-laki paruh baya itu menoleh kearah Jodha, “Jodha, Papa sama Mama minta maaf atas lamaran mendadak ini. Bukan begini seharusnya. Tetapi, Papa pikir, karena kita sudah bukan orang lain lagi selama ini, jadi tidak ada salahnya dilakukan disini saja dihadapan kedua orang tua angkatmu. Papa sama Mama ingin mempercepat pernikahan kalian karena kami melihat kalian berdua sudah dekat dan saling mencintai...” Jodha menunduk sesaat dengan tersipu malu, namun Jalal malah tersenyum lebar, “kami takut terjadi apa-apa nanti yang tidak kita harapkan karena kalian tinggal serumah. Maaf, bukannya Papa sama Mama meremehkan kalian berdua. Tetapi, yang namanya kekhilafan itu kita tidak pernah akan bisa menduganya. Karena itu, ajaklah Jalal meminta restu dari Ayahmu agar mempercepat rencana pernikahan kalian.”  Jodha mengangguk. Bu Hamidah yang masih berada di dekat Jodha kembali merangkul bahunya.
“Iya Pa, a-aku mengerti. Dan aku tidak akan menyalahkan Papa sama Mama atas lamaran ini, aku malah berterima kasih sama Papa dan Mama yang dengan rela hati menerima kehadiranku untuk menjadi bagian dari keluarga ini.” Jodha mendongak ke arah Bu Hamidah yang masih merangkul kedua bahunya sambil berdiri, dia menggenggam kedua tangan Bu Hamidah sambil tersenyum, “makasih ya Ma, atas segalanya.” Ucapnya dengan lirih namun tegas, bukan canggung seperti biasanya. Karena sekarang dia benar-benar merasakan kehangatan seperti dalam keluarganya sendiri, karena itu dia memposisikan diri sebagai anak, belum sebagai menantu. Berusaha membuang kecanggungan seperti yang mereka harapkan kepadanya.
“Syukurlah Sayang, Mama senang mendengarnya. Kamu  nggak usah sungkan sama kami. Papa sama Mama dan juga kedua orang tua angkat kamu ini akan selalu mendukungmu. Karena kamu adalah bagian dari keluarga kami. Tidak usah berterima kasih Sayang. Kamu, sama halnya seperti Jalal sudah tidak dibedakan lagi. Kamu anak kami juga.” Sahut  Bu Hamidah kembali mencium rambut Jodha dengan sayang.
Bu Hamidah membimbing Jodha untuk berdiri, meski dengan sedikit heran dia menuruti, diikuti pandangan orang-orang yang berada disitu. Wanita itu kemudian memanggil putranya agar mendekat. Jalal beranjak dari duduknya dan menghampiri mamanya dan berdiri disamping Jodha.
“Kenapa Ma?” tanya Jalal heran. Mamanya tersenyum, dia mencopot cincin berlian yang bentuknya sedikit klasik dari jarinya, kemudian menyerahkannya kepada Jalal.
“Ini adalah cincin turun temurun dari keluarga Papa kamu, yang akan diberikan kepada keturunan pertama dari papa kamu. Karena sekarang kamu akan menikah, makanya Mama serahkan ini sama kamu dan pasangkan kepada Jodha, sebagai ikatan kalian akan menikah dan seterusnya tetap dipasangkan di jari Jodha sampai kelak keturunan kalian juga akan menikah.”  Jalal menerima cincin tersebut dengan ragu-ragu. Dia sama sekali belum pernah mendengar akan hal itu, “sudah, kamu tidak usah ragu. Pasangkan saja, karena memang ini untuk menantu perempuan dari keluarga Humayun.” Perintah mamanya dengan lembut.
Jalal mengambil tangan kiri Jodha yang sejak tadi berdiri dalam diam, sebelum dia memasukkan cincin tersebut  ke jari gadis itu, terlebih dahulu dia memandang wajah kekasihnya yang juga terpaku menatapnya.
“Sayang, semoga  apa yang diharapkan oleh orang tua kita, bisa kita wujudkan. Sekarang bukan hanya hatiku yang secara terbuka menerima kehadiranmu, tetapi juga kedua orang tuaku. Mereka mencintaimu sebagaimana  mereka juga mencintaiku. Karena itu, jangan pernah ragukan lagi perasaanku yang tulus kepadamu. Kini, atas nama cinta terimalah cincin ini sebagai penyambutan kehadiranmu masuk kedalam rumah kami dan hati kami.” Ucap Jalal dengan lembut. Jodha hanya bisa mengangguk dan tersipu. Semua yang menyaksikan ikut tersenyum bahagia. Pemuda itu perlahan memasukkan cincin yang diberikan oleh mamanya ke jari gadis pujaannya yang menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Terharu, bahagia, malu, dan juga senang. Itulah yang dirasakan oleh Jodha.
Selesai memasukkan cincin ke jari Jodha, Jalal menangkupkan kedua tangan ke wajah kekasihnya itu dan mencium keningnya dengan penuh perasaan dan lama. Seperti biasa, Jodha memejamkan matanya. Kali ini ada rasa yang lebih dari biasanya. Rasanya seluruh persendiannya lemas, jantungnya sedari tadi terus berdetak kencang, juga wajahnya yang tidak pernah berhenti dari rasa hangat.
“Cieee... Bang Bos sudah tunangan nih ceritanya?” goda Nadia memecah keheningan. Kedua sejoli itu langsung menoleh kearah Nadia dan....terlihat semua orang termasuk papa dan mamanya sedang tersenyum geli melihat mereka berdua. Namun Jalal seperti biasa bersikap cuek, hanya Jodha yang terus menerus tersipu malu.
“Ya dong. Kalian berdua kapan?” tanya Jalal.
“Pokoknya selesaikan dulu urusan Bang Bos dan Jodha, kami gampanglah. Ya kan Bang?” Nadia mengerling matanya ke arah Mansingh. Pemuda itu mengangguk.
“Iya Bos. Nggak usah mikir kami, yang penting kalian berdua dulu. Biar nanti kami menyusul, lagian Bebebku juga sudah siap kok.” Ucap Mansingh tersenyum lebar dan tanpa merasa sungkan ada orang tua Nadia dan Bayu disitu. Mungkin juga kedua orang tua Nadia sudah memberikan restunya kepada Mansingh. Nyatanya mereka terlihat akrab.
“Ya sudah kalau begitu, berarti menunggu kepastian kapan berangkatnya saja lagi.” Kata Pak Humayun menoleh ke arah Bayu.
“Iya Om, besok akan saya kabarkan kapan akan berangkat. Lebih cepat lebih baik.”
“Iya. Kamu benar Bay. Om tunggu kabar dari kamu besok ya.” Bayu mengangguk.
“Baik Om.”
Mereka melanjutkan ke obrolan lain. Jalal mengajak Inemnya duduk di samping Nadia, sedangkan dia duduk disamping Mansing dan Surya yang posisinya berhadapan. Sesekali Jalal melirik gadisnya yang sedang ngobrol dengan Nadia, namun sebagaimana dengan tuan mudanya, Jodha juga sesekali melirik kearah pemuda itu. Apabila pandangan mereka bertemu, Jodha segera mengalihkan pandangannya yang tersipu ke arah lain, sedangkan Jalal hanya tertawa kecil menyaksikan kekasihnya malu-malu.
Setelah dirasa cukup, para tamu tersebut pamit pulang. Kedua orang tua Jalal mengantar para tamunya ke depan. Sementara Jalal dan Jodha membereskan bekas mereka tadi. Dengan cekatan keduanya membawa peralatan makan yang sudah kotor ke dapur untuk di cuci oleh Bi Ijah.
Selesai membereskan dan membersihkan tempat itu, keduanya duduk di gazebo seperti biasanya. Jodha duduk dipinggir gazebo dengan kedua kaki menjuntai. Sedangkan Jalal duduk bersandar pada tiang dengan menghadap ke arah samping gadis.
“Gimana Sayang, rasa masakanku?” tanya Jalal ingin tahu pendapat Jodha.
“Enak. Rasanya juga seperti yang dimasak oleh chef di restoran mahal.” Jawab Jodha dengan jujur. Jalal ketawa mendengarnya.
“Sekarang kamu percaya kan Sayang, kalau aku bisa masak juga?” ucap Jalal, jari-jarinya menyelipkan anak rambut Jodha dari samping. Jodha mengangguk.
“Hm...iya. sekarang saya percaya kalau Tuan bisa masak.” Sahut Jodha lagi. Tangan Jalal yang tadi menyelipkan anak rambut Jodha, spontan menarik tangannya dengan wajah cemberut membuat Jodha merasa heran, “Tuan kenapa? Kok tiba-tiba cemberut?” Jalal menatapnya dengan tajam.
“Tuan lagi?” sindirnya. Langsung saja Jodha terkekeh mendengarnya, “kenapa sulit sekali? Padahal tadi kamu memanggil kedua orang tuaku sebentar saja sudah bisa. Sedangkan sama aku susah? Jangan-jangan kamu sengaja ya?” Jodha menggeleng.
“Bukan seperti itu.”
“Terus apa?” Jodha menggigit bibirnya.
“I-itu lebih kepada rasa.”
“Rasa?” Jodha mengangguk, “rasa apa?”  ditanya seperti itu membuat Jodha merasa sangat malu dan canggung. Ini tidak lebih dari pengakuan hati. Apa iya dia mengakui dengan tidak tahu malunya kalau dia juga mencintai laki-laki itu dengan terang-terangan, dan beratnya mengatakan kata sayang itu karena cinta, bahkan walau hanya sekedar menyebut namanya saja rasanya dia berat.
“Kalau kepada Ma-mama dan Pa-pa,..” Jodha kembali merasa malu, padahal tadi dia sudah merasa nyaman memanggil papa dan mama, “kalau kepada mereka bisa memanggil seperti itu, karena saya merasa seperti berbicara dengan orang tua saya sendiri. Sedangkan kepada Tuan, nggak mungkinkan kalau saya anggap sedang bicara dengan suami sendiri. Nikah saja belum.”
“Tapi kalau kamu sudah menganggap mereka sebagai orang tua kamu, harusnya memanggilku bisa lebih akrab lagi dong Nem?” Jodha tersenyum.
“Mau yang lebih akrab?” Jalal mengangguk. “Boleh. Ntar saya panggil Abang atau Kakak saja ya?” katanya sambil terkikik geli, karuan saja dahinya disentil oleh Jalal. Jodha mengusap-usap dahinya yang sedikit terasa perih.
“Nggak mau! Enak saja. Kamu itu bukan adikku, tapi calon istriku tau.” Jawab Jalal mulai kesal. Jodha tersenyum, “ayolah Sayang, sebelum aku pergi.” Ucapnya dengan nada memelas. Senyum Jodha memudar mendengar tuan mudanya akan pergi lagi.
“Tu-Tuan mau pergj lagi?” Jalal mengangguk, masih dengan ekspresi memelas, “kemana?” tanya Jodha dengan lirih. Yah, bakalan sepi lagi dia. Padahal mereka berdua baru saja tunangan, kenapa harus berpisah lagi.
“Kamu sedih Nem, kalau aku pergi lagi?” Jodha mengangguk. Raut wajahnya benar-benar menyiratkan kesedihan. Jalal tersenyum miring.
“Kalau aku pergi ke hatimu, kamu sedih nggak? Hahahaha...” Jalal tergelak, dia senang melihat ekspresi gadisnya yang sedih karena dirinya. Jodha yang sadar sudah di kerjain langsung mengerucutkan bibirnya.
“Ih Tuan, kirain beneran mau pergi.” Sungut Jodha. Jalal terkekeh.
“Makanya itu Sayang, ayolah coba lagi. Siapa tahu bisa. Buktinya memanggil Papa sama Mama saja bisakan?” rayu Jalal tidak menyerah. Jodha akhirnya mengangguk, membuat pemuda itu tersenyum puas. Dia segera mengubah posisi duduknya. Duduk bersila namun tetap bersandar pada tiang. Sedangkan Jodha mengubah duduknya menghadap Jalal.
“Ehem...ehem...” Jodha berdehem sebentar. Raut wajahnya serius, sedangkan Jalal harus menahan rasa gelinya melihat sikap Jodha yang menurutkan lucu itu. Kembali seperti pagi tadi dia bergumam, mengucapkan kata sayang berulangkali.
Jalal masih menatap Inemnya dengan tersenyum. Namun, tiba-tiba Jalal meringis kesakitan. Jodha yang sedang berusaha untuk mengucapkan kata sayangnya terkejut melihat pemuda itu berulangkali memijat pelipisnya. Dengan panik dia memegang kepala Jalal dan ikut memijitnya.
“Sayang, kamu kenapa? Apa yang sakit?” tanya Jodha dengan panik. Jalal tersenyum dalam hati, namun dia tetap melanjutkan aktingnya.
“Disini Nem, sakit sekali. Sshh...., sshh...,” desisnya sambil meringis kesakitan. Jodha yang tidak tahu akan akting kekasihnya terus berusaha memijat kepala Jalal.
“Sini, berbaring disini Sayang. Aku pijatin.” Ucap Jodha menyuruh Jalal berbaring dipangkuannya. Jalal menurut. Dalam hati dia menghitung berapa kali Inemnya sudah memanggilnya sayang. Hahahaha....
“Iya disitu Sayang, sakit sekali.” Ucap Jalal ketika Jodha memijat kepalanya.
“Kok bisa sakit sih sayaaang? Tadi makan apa sih?” tanya Jodha dengan lembut.
Tiga sudah.” Ucap Jalal dalam hati, “nggak tau juga Sayang, tadi rasanya aku makan biasa-biasa saja. Masa aku darah tinggi gara-gara makan steak ya Sayang?” Jodha berpikir sebentar, namun tangannya masih memijat kepala Jalal yang ada dipangkuannya itu.
“Bisa jadi sayang, kamu makan steaknya kebanyakan kali. Mentang-mentang enak.” Ucap Jodha setengah mengomel.
Empat.” Kembali Jalal berhitung dalam hati, “iya, maafkan aku ya Sayang, sudah bikin kamu panik.” Jodha tersenyum.
“Iya, nggak apa-apa Sayang, lain kali kalau makan steak jangan kebanyakan lagi ya.”
Lima.”
 Jalal mengangguk sambil tersenyum, matanya terpejam menikmati pijatan di kepalanya, “Bagaimana? Sudah mendingan belum Sayang, sakitnya?” Jalal mengangguk dan membuka matanya.
“Enam.” Sahutnya bangkit dari pangkuan Jodha. Dia duduk bersila di hadapan Jodha yang bengong mendengar ucapannya barusan.
“Enam? Apa itu?” tanya Jodha tidak mengerti. Jalal tersenyum lebar.
“Itu tadi.”
“Apa?” Jalal cengengesan.
“Aku sudah menghitung berapa kali kamu memanggilku Sayang tadi.”
“Hah?” Jodha melongo. Jalal kembali terkekeh.
“Biasa saja sayang ekspresinya. Nggak usah pake wajah kagum begitu, cintamu ini akan selalu mempesonamu. Aku janji.” Ucap Jalal dengan pedenya. Jodha tidak dapat menahan rasa gelinya. Dia tertawa sambil menutup mulut dengan tangannya. Jalal bahkan ikut tertawa. Setelah berhenti tertawa, Jodha kembali menatap pemuda itu dengan rasa penasaran.
“Maksudnya tadi apa Tuan?” tanya Jodha lagi, “saya tidak meng...” dia tidak melanjutkan perkataannya karena jari telunjuk Jalal sudah menempel pada bibir Jodha sambil menggelengkan kepalanya.
“Sttt,...jangan dilanjutkan, sekarang ikuti perkataanku.” Jodha mengangguk pelan seperti robot, Jalal menarik kembali jarinya dari bibir Jodha, “maksudnya,...”
Jodha mengikuti ucapan Jalal.
“Maksudnya...”
“Apa...”
“Apa...”
“Tadi...”
“Tadi...”
“Sayang...”
“Sa...yang.”
“Naaaahh, sekarang sudah bisa bilang.” Jodha tersenyum malu, “coba ulangi lagi katanya sayangnya.” Pinta Jalal sambil tersenyum.
“Sayang.” Ucap Jodha dengan lirih. Setengah malu, setengah canggung dan juga geli.
“Apa? Kurang keras, aku nggak dengar. Ulangi lagi.” Pinta Jalal sekali lagi sambil mendekatkan telinganya di mulut Jodha. Gadis itu berdecak.
“Iya Sayang, Sayaaang, Sayaaaang, hahahahaa...” ucap Jodha agak keras, disertai tertawanya. Akhirnya keluar juga kata itu dengan keras dan dengan kesadarannya. Meski harus dibarengi dengan rasa geli yang terasa menggelitik.
Jalal ikut terkekeh melihat Jodha yang sampai memegang perutnya tertawa. Yah, semua pasti bisa kalau kita tidak menyerah. Nyatanya gadisnya bisa juga akhirnya mengucapkan kata sayang, meski awalnya sangat sulit. Jalal mengusap rambut Jodha yang masih tersisa kekehannya sambil tersenyum. Betapa rasanya  dia bahagia melihat dan bersama kekasihnya itu. Semua pada dirinya yang apa adanya, membuatnya semakin jatuh cinta. Kepolosannya, sopan santunnya, meski kadang kelewatan, kelembutannya dan juga kepeduliannya.
Jodha menyeka air matanya yang tidak sengaja keluar ketika dia tertawa tadi. Jalal memegang tangannya yang digunakan untuk menyeka air matanya tadi, gadis itu mendongak, menatapnya dengan heran. Ternyata telapak tangan Jalal yang membersihkan sisa air mata kekasihnya.
“Makasih ya Sayang, sudah berusaha seperti ini. Berusaha untuk memenuhi keinginanku, meskipun kamu tahu kalau itu sangat bertentangan dengan sifat dan hatimu.” Kata Jalal sambil terus mengusap pipi Jodha untuk membersihkan air matanya. Jodha terdiam, hanya matanya yang kedap-kedip memperhatikan wajah laki-laki yang ada dihadapannya itu.
“A-aku...” suara Jodha terdengar gugup, Jalal tersenyum mendengar untuk pertama kalinya dengan penuh kesadaran, gadisnya tidak lagi berkata formal seperti biasa.
“Kenapa Sayang? Hm?” Jodha menelan ludah.
“A-aku,... maafkan aku yang begitu susah untuk  untuk berubah.” Jalal menggeleng dan tersenyum.
“Aku tau. Tidak perlu minta maaf Sayang,  karena memang tidak ada yang salah. Kamu tidak salah, aku saja yang terlalu ngotot untuk memaksamu...” Jalal terdiam karena jari Jodha menempel di bibirnya, dia menggeleng.
“Jangan bilang begitu, bukankah ka-kamu bilang harus dipaksa dulu baru terbiasa.” Ucap Jodha dengan tersenyum malu. Jalal mengangkat sebelah alisnya dan tersenyum miring. Di genggamnya tangan gadis itu yang masih berada dibibirnya.
“Tapi, kamu luar biasa Sayang.  Justru perkataan yang kamu paksa untuk keluar dari mulutmu itu, yang begitu indah mengalun dalam pendengaranku, begitu syahdu dalam relung hatiku, begitu sulit untuk dilupakan, dan begitu menyentuh dalam sanubariku. Hanya denganmu menyebut kata itu saja, sudah membuat seluruh hatiku bergetar, bahkan rasanya semua egoku turut meleleh karenanya. Mungkin  buatmu, dan juga menurut orang lain kata itu hanyalah kata biasa, namun bagiku itu adalah nutrisi yang sanggup membuatku selalu bersemangat dan selalu merindukanmu setiap saat.  Jodha tersenyum  dan menunduk sebentar.
“Tidak heran, ka-kamu digilai banyak perempuan diluar sana. Sangat pantas untuk digilai. Karena hanya dengan mendengar kalimat yang seperti ini saja, sudah membuat banyak perempuan pasti bisa tunduk dan memohon akan cintamu.” Ucap Jodha dengan berdecak. Jalal terkekeh.
“Mulai sekarang, tantangan untukmu sayang, berusahalah agar terbiasa mendengar kata-kata seperti itu. Dan kamu tenang saja, karena mulai sekarang kata-kata tersebut hanya aku ucapkan untukmu seorang. Aku bahkan tidak akan memberi kesempatan untuk perempuan lain untuk mendengarnya.” Jodha tersipu, kembali pipinya merona. Jalal merengkuh bahunya dan menyandarkan di dadanya, gadis itu menurut.
Jodha tersenyum bahagia, dia jatuh cinta dengan laki-laki yang karakter dan pribadi yang sangat bertentangan dengan dirinya. Tetapi dia yakin kalau suatu saat nanti dia pasti bisa menerima semua hal yang ada pada diri kekasihnya itu. Ah, Jodha kembali tersipu mengingat dia sudah mempunyai kekasih, dan bahkan sudah dilamar. Tiba-tiba Jodha teringat sesuatu.
“Sa-sayang...” panggilnya dengan nada malu. Jalal terkekeh, dia menyadari akan kecanggungan gadis dalam pelukannya itu.
“Ya Cinta. Kenapa?” sahut Jalal dengan santai, dia tahu kalau Inemnya pasti mati-matian menahan rasa geli mendengar ucapannya. Iya, memang benar. Perut Jodha terasa diaduk-aduk, mules. Suer loh pemirsa. Rasanya ingin berlari kebelakang,  kalau saja dia tidak ingat lagi dipeluk.
“Kok, Pa-papa dan Ma-ma tiba-tiba ngelamar sih? Emangnya Sa-sayang yang minta ya?” haduh, rasanya Jalal gemas banget mendengar pertanyaan gadisnya yang masih canggung itu. Namun dia bersyukur, meski masih canggung gadisnya sudah mau memanggilnya sayang.
“Hm...rasanya aku belum pernah meminta mereka untuk melamar kamu sayang.”
“Tapi kok, mereka seperti sudah tahu hubungan kita?”
“Ya mungkin saja mereka bisa melihat Sayang, kitakan serumah. Apalagi Mama, perasaan seorang ibu pasti sangat tajam kepada anaknya. Mungkin bagi kita, sikap kita biasa-biasa saja di hadapan mereka, tapi belum tentu buat mereka. Bisa saja mereka menangkap sesuatu yang tidak kita sadari, dan akhirnya memutuskan untuk melamar kamu.” Jodha manggut-manggut, “walaupun begitu, aku bersyukur orang tuaku sudah melamar kamu dan sudah menganggap kamu sebagai anaknya sendiri.” Jodha tersenyum.
“Jodha...”  panggil Jalal. Jodha tersentak. Dia menegakkan tubuhnya dan memandang dengan heran kepada pemuda dihadapannya itu.
“Hah? Jodha?” ulangnya. Jalal mengangguk dan tersenyum lebar, “kenapa?” karena ini adalah pertama kalinya tuan mudanya yang sekarang menjadi kekasihnya itu memanggilnya dengan nama aslinya, pada saat mereka sedang berdua saja.
“Sebelumnya aku minta maaf sama kamu sayang, sudah memaksa memanggil nama kamu dengan panggilan Inem, walaupun kamu nggak suka karena itu bukan nama kamu. Dan sekarang aku akan memanggilmu dengan nama kamu yang sebenarnya.” Jodha tersenyum.
“Sebenarnya, sekarang a-aku tidak pernah mempermasalahkan lagi nama itu karena a-aku sudah terbiasa mendengarnya. Bahkan sering kangen ingin dipanggil seperti itu lagi.” Sahut Jodha malu-malu. Yah, Jodha memang tidak pernah mempermasalahkan lagi tentang nama panggilan Inem itu. Terlalu banyak kenangannya. Kenangan yang akhirnya membuat dia jatuh cinta.
“Tapikan Sayang, aku jadi merasa bersalah. Nanti kalau ketahuan Mama sama Papa gimana?” Jodha tertawa pelan. Tumben takut ketahuan. Selama ini kemana saja jadi tidak takut, padahal kedua orang tuanya  juga  ada dirumah.
“Tidak apa-apa sa-yang, asalkan itu untuk kita berdua saja. A-aku sudah terlanjur merasa nyaman dengan panggilan itu. Dan ketika kamu memanggilku dengan nama Jodha, aku merasa seperti berbicara dengan  orang asing. Bukan Tuan Muda yang selalu pemaksa dan egois.”  Ucap Jodha memberanikan diri mencubit kedua pipi Jalal dengan gemas. Pemuda itu tertawa senang. Di genggamnya kedua tangan gadis itu yang masih berada di pipinya.
“Iya deh Sayang. Anggap saja itu panggilan sayangku buat kamu ya. Inem Sayang.” Sahut Jalal menjawil hidung gadisnya. Jodha mengangguk senang, “ya sudah, masuk yuk sayang. Sudah malam. Besok kita lanjutkan lagi kemesraan kita yang....aawww...” Jalal meringis, karena pinggangnya di cubit Jodha. Namun kemudian dia kembali cengengesan, “yuk.” Ucapnya menggandeng tangan gadisnya masuk kedalam rumah. Jodha  hanya tersenyum. Manisnyaaa....
Keesokan harinya Bayu memberitahukan  kepada Jalal dan Mansingh  kalau mereka akan berangkat dua hari lagi. Kedua orang tua mereka juga sudah menyetujuinya. Mereka pun segera menyiapkan apa yang diperlukan selama perjalanan. Karena jarak yang akan mereka lalui juga lumayan jauh dengan menggunakan mobil mamanya Jalal untuk berangkat.
Bu Hamidah dan Pak Humayun melepas kepergian mereka di depan pintu gerbang. Bu Hamidah memeluk Jodha.
“Mama do’akan semoga kamu bisa bertemu dengan Ayahmu secepatnya ya Sayang.” Ucap Bu Hamidah melepas pelukannya. Jodha mengangguk.
“Iya Ma. Makasih ya. Kami berangkat dulu.” Jodha juga pamit dengan Pak Humayun.
“Pa, kami berangkat ya.” Pak Humayun mengangguk. Dia tidak segan-segan memeluk Jodha layaknya anak sendiri. Jalal pun ikut pamit kepada kedua orang tuanya. Kini mereka akan menjemput Mansingh, Bayu dan keluarganya. Dan perjalanan mereka pun di mulai.
***
Sementara Surya yang tidak ikut ke Pacitan, bingung tidak punya teman. Karenanya dia menghabiskan waktu menunggu kedua sahabatnya itu dirumah orang tuanya. Lumayan, ada Moti adiknya yang bisa di ajak ngobrol. Begitulah kalau punya sahabat kental, ketika mereka tidak ada, yang terasa hanya kesepian. Ditambah sekarang mereka sudah punya pasangan masing-masing, jadilah dia sebagai jomblo ngenes, seperti ledekan kedua sahabatnya itu.
Malam itu, Surya mengajak adiknya jalan-jalan menghabiskan waktu. Moti dengan senang hati menuruti keinginan kakaknya itu. Apalagi dia diajak makan di restoran fast food, tentu saja Moti senang sekali.
“Tumben Kakak ngajak aku jalan-jalan nih? Emangnya Kak Man sama Kak Jalal kemana Kak?” tanya Moti ketika mereka sudah berada di mobil, ingin pulang. Surya tersenyum, sambil fokus menyetir.
“Mereka berdua ada urusan ke Pacitan, Dek.”
“Oh ya?” Surya mengangguk, “kok tumben Kakak nggak diajak?” Surya tertawa.
“Bukan nggak diajak Dek, tapi Kakak yang nggak mau ikut.” Moti merubah posisi duduknya menghadap kearah kakaknya.
“Kenapa Kakak nggak mau ikut? Kan biasanya selalu bertiga?” Surya tersenyum kecut.
“Kakak nggak enak Dek, mereka membawa pasangan masing-masing. Ntar kalau Kakak ikut malah jadi obat nyamuk aja.” Sahut Surya sambil menggaruk kepala. Moti tertawa kencang.
“Ya, ya, aku mengerti sekarang Kak. Kakak cemburu sama mereka, karena Kakak belum punya pasangan ya?” Surya terkekeh, “makanya Kak, cari dong. Masa ini Kakakku yang cakep, pintar, lulusan akmil, nyari pasangan saja susah. Apa kata dunia Kak?” ejek Moti. Surya menoleh kepada adiknya dengan cemberut.
“Kamu ini Dek, bukannya menghibur Kakak yang kesepian, malah mengejek.” Sungut Surya. Moti hanya bisa tertawa.
“Aku ikut prihatin aja deh, buat Kakakku tersayang. Sabar ya, jodoh itu nggak akan kemana.” Ucap Moti menyandarkan kepalanya di bahu Surya. Kakaknya itu mengusap lembut rambut adiknya dengan sebelah tangannya.
Tiba-tiba Surya mengerem mendadak mobilnya, Moti yang bersandar dibahu kakaknya dengan santai terkejut. Untunglah dia menggunakan seat belt, kalau tidak pasti dia akan terdorong kedepan.
“Apaan sih Kak? Kok berhenti mendadak?” gerutunya. Namun Surya tidak memperdulikannya. Tatapannya fokus pada sesuatu yang menarik perhatiannya di luar sana. Moti mengikuti pandangan Kakaknya, dan dia mengerutkan keningnya.
Secara tidak sengaja Surya mengajak Moti jalan-jalan melewati sebuah klub malam yang dulu sering dia datangi bersama kedua sahabatnya. Dan, sesuatu yang menarik perhatiannya itu sedang keluar dari dalam klub. Seorang perempuan berpakaian minim, sedang berjalan keluar ke arah jalan raya dengan jalan sempoyongan. Tangannya memegang tas, dan sebelahnya masih memegang sebatang rokok. Dibelakangnya, nampak dua orang pemuda mengikutinya. Melihat dari gelagat mereka berdua, sepertinya bukan untuk menjaganya, namun untuk berbuat yang tidak baik.
Kebetulan sekali posisi mobil Surya searah dengan perempuan yang keluar tadi. Sepertinya dia ingin mencari taksi yang lewat. Sesekali dia mengisap rokoknya, dan bersendawa. Mungkin dia sedang mabuk. Moti dan Surya saling pandang. Sementara dua laki-laki dibelakang perempuan itu secara perlahan memegang kedua tangan perempuan itu yang memberontak dan menyeretnya masuk kearah parkiran, namun dia tidak seperti sepenuhnya melawan. Dia hanya meracau sambil tertawa.
“Kak, kasihan perempuan itu. Pasti kedua laki-laki tadi berbuat yang tidak baik kepadanya. Ayo tolong dia Kak.” Pinta Moti kepada Kakaknya, dengan mendorong-dorong lengan kakaknya agar keluar dari mobil. Surya mengangguk. Diapun segera keluar dan setengah berlari dia menghampiri ketiga orang itu.
“Hentikan. Apa yang kalian berdua lakukan kepadanya?” bentak Surya. Kedua laki-laki tadi berhenti bergerak. Tangan mereka yang akan membuka pintu mobil terhenti. Keduanya menatap Surya dengan tajam. Sementara perempuan yang mereka bawa masih berceloteh tidak jelas, sambil tertawa.
“Siapa kau?” tanya salah satu dari mereka.
“Kalian tidak perlu tahu siapa aku. Lepaskan dia?” mereka tertawa mengejek.
“Memangnya kau siapa? Berani sekali menghalangi kami.”
“Dia adikku, mengerti! Dan kalau kalian berbuat macam-macam kepadanya, aku jamin kalian berdua tidak akan bisa selamat dari sini.” Ancam Surya. Keduanya saling pandang, salah satu dari mereka memberi isyarat anggukan kepala kepada temannya. Temannya mengangguk. Secara bersamaan mereka berdua mendorong perempuan itu ke arah Surya, yang dengan sigap menangkap tubuh perempuan itu agar tidak terjatuh.
“Tuh, kami kembalikan. Ingat jaga adikmu baik-baik. Jangan salahkan kami kalau terjadi apa-apa dengannya lain kali.” Surya mengangguk, sambil memeluk tubuh perempuan tadi yang masih terus meracau dan sesekali tertawa.
“Baik. Terima kasih.” Kedua laki-laki tadi masuk ke mobil mereka dan keluar dari parkiran tersebut.
“Eh, ada yang bening nih malam ini. Nama kamu siapa ganteng? Hehehe...hik.” ucap perempuan itu mengusap-usap pipi Surya sambil tertawa tidak jelas.
Surya seperti pernah melihat perempuan yang dipeluknya itu. Tapi dimana? Namun dia segera membawa perempuan itu ke mobilnya. Dimana Moti sudah menunggu membukakan pintu untuk mereka berdua.
Setelah memasukkan perempuan itu ke kursi belakang, Surya segera masuk ke belakang kemudinya.
“Kita bawa dia kemana Kak?” Surya berpikir sejenak.
“Kakak tidak tahu, Dek. Masa kita tinggal di hotel aja.”
“Jangan ah Kak, nggak niat menolong dong kalau gitu.” Cegah Moti.
“Coba kamu periksa tasnya Dek, siapa tahu ada KTP atau tanda  pengenal lainnya. Kan kita bisa mengantarkan kerumahnya.” Moti mengangguk. Dia segera memutar tubuhnya berbalik kebelakang, mengambil tas perempuan tadi dan memeriksa dompetnya. Namun di dompetnya hanya ada kartu ATM dan kartu kredit saja, serta uang dan juga ponsel. Tidak ada KTP atau tanda pengenal lainnya.
“Ruqaiyah.” Gumam Moti setelah melihat kartu kredit gold platinum, milik perempuan tadi. Surya terkejut.
“Hah. Ruqaiyah?” Moti menoleh ke arah Kakaknya.
“Kakak mengenal dia?” Surya menepuk dahinya. Iya, dia ingat sekarang. Bukankah dia pernah menjadi pacar Jalal, dan setahunya perempuan itu juga yang selalu mengejar-ngejar sahabatnya itu sebelum akhirnya Jalal merubah sikapnya, dengan menghindari semua perempuan yang pernah dia kencani setelah dia cinta mati sama Jodha.
“Iya Dek, Kakak kenal dia. Dia teman Kakak dikampus. Kakak lupa tadi.” Moti mengangguk-angguk.
“Terus gimana nih Kak? Kita antar kemana dia?” Surya kembali berpikir.
“Kalau kita bawa kerumah kita saja gimana Dek? Kasihan juga dia kalau kita tinggalkan di hotel.” Moti terdiam, “kamu nggak apa-apakan temani dia nanti dirumah.” Moti mengangguk.
“Iya Kak, nggak apa-apa. Mama sama Papa juga paling nggak keberatan. Kan dia teman Kakak juga. Aku sih senang-senang aja dapat teman dirumah.” Jawab Moti. Surya tersenyum.
Deal. Akhirnya mereka berdua pun pulang dengan membawa Ruqaiyah. Sesampai di rumah, Surya membopong perempuan itu masuk ke dalam rumahnya, sementara Moti membuka pintu kamar tamu dan membereskan tempat tidur. Surya membaringkan pelan-pelan tubuh Ruqaiyah diatas ranjang. Perempuan itu melenguh sebentar, tetapi kemudian dia tertidur pulas. Keduanya memandang Ruqaiyah agak lama.
“Dek, kamu ganti deh pakaiannya. Minjam baju kamu dulu ya. Besok kita ngomong sama Papa dan Mama.” Moti mengangguk.
“Iya Kak.” Moti segera keluar dari kamar tamu tersebut menuju kamarnya untuk mengambil pakaian miliknya, menggantikan pakaian Ruqaiyah yang berbau alkohol.
Surya yang masih di dalam kamar tamu, duduk di pinggir ranjang. Matanya masih terus menatap wajah perempuan itu yang terlelap.
“Hiks...hiks...” Surya terkejut melihat Ruqaiyah menangis. Namun kelopak matanya masih terpejam. Air matanya menetes di sudut matanya. Surya terpana. Perempuan itu kenapa? Sepertinya ada beban dalam pikirannya, terbukti beberapa kali keningnya berkerut.  
“Kakak.” Surya menoleh, ketika melihat Moti sudah berdiri di pintu dengan membawa piyama tidur miliknya.
“Ya Dek.”
“Kakak keluar dulu gih, aku mau gantikan pakaiannya dulu.” Surya mengangguk.
“Iya Dek, Kakak ke kamar dulu. Titip teman Kakak ya.” Moti tersenyum dan menggangguk.
“Beres Kak.” Surya tersenyum, mengelus rambut adiknya dulu sebelum akhirnya dia keluar dari kamar tersebut menuju kamarnya.
Dikamarnya, Surya membaringkan diri. Pikirannya masih teringat akan Ruqaiyah yang menangis. Padahal yang dia tahu, perempuan itu adalah orang yang tidak pernah mau kalah terhadap orang lain, dan dia ingat dulu perempuan itu pernah menampar Jodha gara-gara cemburu. Surya menghembuskan nafas panjang. Menutup matanya berusaha untuk tidur.
***
Ruqaiyah membuka matanya, kepalanya masih pusing. Berulangkali dia memijat pelipis sambil meringis sambil berusaha untuk  duduk. Namun gerakan tangannya yang memijat pelipisnya terhenti, ketika melihat ruangan yang asing baginya. Dia terkejut, dilihatnya pakaian yang dipakainya sekarang sekarang sudah berubah menjadi piyama tidur. Hah, pakaiannya tadi malam kemana? Ini tempat siapa? Pikirannya masih tanda tanya.
“Kamu sudah bangun?” terdengar suara maskulin dari pintu yang terbuka. Ruqaiyah terkejut.
“K-kau...” Surya tersenyum. Dia duduk di pinggir ranjang, “kenapa aku dibawa kesini? Dan ini rumah siapa? Apa kau yang menggantikan pakaianku?” Surya terkekeh mendengar pertanyaan beruntun dari perempuan itu.
“Pertanyaannya satu persatu, Ruq.” Kata Surya mengambil kursi, meletakkannya di dekat tempat tidur dan duduk disana dengan diikuti pandangan mata Ruqaiyah yang tidak lepas dari gerak-geriknya, “iya, ini rumah orang tuaku, aku yang membawamu kesini ketika itu kamu mabuk dan hampir diperkosa oleh dua orang laki-laki waktu keluar dari diskotik tadi malam,” mulut Ruqaiyah membulat mendengar dia hampir diperkosa, “awalnya aku ingin mengantarkanmu kerumahmu, tapi aku tidak menemukan alamat rumahmu, jadi aku membawamu kesini. Kerumah orang tuaku. Dan pakaianmu diganti oleh adikku. Tenang saja, adikku perempuan.” Kata Surya mengakhiri penjelasannya. Ruqaiyah menghembuskan nafas lega. Setidaknya, dia bisa berpikir dengan tenang.
“Ini jam berapa?”
“Jam 11 siang.” Sahut Surya sambil tersenyum
“Apa?” Ruqaiyah kaget. Pusing kepalanya mendadak hilang, ya ampun, sudah tidur dirumah orang, bangun kesiangan lagi. Kembali Surya terkekeh.
“Tidak apa-apa. Anggap saja rumah sendiri, kamu mandi dulu sana, itu ada baju adikku.” Kata Surya menunjuk sepasang pakaian yang diletakkan di atas nakas lengkap dengan pakaian dalamnya, seketika wajah Ruqaiyah memerah melihatnya. Karena laki-laki itu terlihat biasa melihat pakaian dalam perempuan, “nanti Moti akan menemanimu. Nggak usah sungkan, sekalian nanti kenalan dengan orang tuaku.” Ucap Surya berdiri dari duduknya, dia memasukkan kedua tangannya di kantong celananya dan tersenyum. Sampai akhirnya dia berbalik ingin keluar meninggalkan Ruqaiyah yang masih bengong.
“Sur,...” panggil Ruqaiyah, Surya berbalik.
“Ya?”
“Makasih.” Surya tersenyum.
“Nggak masalah. Nanti kalau sudah selesai mandi, kamu bisa temui kami diteras belakang. Biasanya kami berkumpul disana.” Ruqaiyah mengangguk.
“Iya.”
Setelah Surya keluar dari kamar dan menutup pintu, Ruqaiyah segera turun dari ranjangnya. Kepalanya ternyata masih terasa sedikit pusing. Dengan segera dia mengambil pakaian yang sudah disediakan oleh Moti tadi dan membawanya masuk ke kamar mandi.
Selesai mandi, Ruqaiyah keluar dari kamar mencari penghuni rumah yang nampak sepi tersebut. Rumah Surya terlihat lebih sederhana dari rumahnya, namun terasa tenang dan damai. Ada hawa kesejukan di dalamnya. Di ruang keluarga terpajang foto keluarga dengan ukuran besar. Mungkin itu keluarganya Surya. Pikir Ruqaiyah.
Sayup-sayup dia mendengar suara ramai, Ruqaiyah segera mencari asal suara tersebut. Sebenarnya perutnya lapar tapi ditahannya. Malu, dirumah orang minta makan. Setelah menelusuri arah suara tadi, Ruqaiyah terpaku melihat pemandangan di hadapannya. Surya dan seorang wanita setengah baya serta seorang gadis remaja, mungkin itu tadi yang disebut Surya sebagai adiknya, sedang asyik berkebun.
Sesekali Moti mengganggu kakaknya yang sedang mengangkat  media tanam yang sudah diisi oleh mamanya, dan diganti Surya dengan melemparkan tanah gembur itu ke arah adiknya. Mamanya hanya menggelengkan kepala melihat kelakuan anaknya sambil meneruskan kegiatannya. Ruqaiyah yang melihat keluarga kecil itu tanpa sadar tersenyum, ikut merasakan kebahagiaan.
Sekilas dia teringat akan dirinya, dan keluarganya. Kakaknyalah  satu-satunya  keluarga yang dimilikinya, meskipun sekarang jarang sekali bertemu. Dia benar-benar kesepian. Melihat kebahagiaan keluarga Surya, dia merasa iri. Tanpa sadar, air matanya mengalir membayangkan kehidupannya yang tidak beruntung tersebut.
Moti yang secara tidak sengaja melihat ke arah Ruqaiyah yang menangis, menyenggol tangan kakaknya dan menunjuk ke arah pintu. Surya dan mamanya segera menoleh, sejurus kemudian mereka berdua saling pandang. Seperti diperintah ketiganya segera membersihkan tangan mereka dan menghampiri Ruqaiyah, yang belum sadar akan kedatangan empunya rumah.
“Kamu kenapa Sayang, kok menangis?” tanya mamanya Surya. Ruqaiyah terkejut. Dengan segera dia menyeka air matanya, sambil tersenyum.
“Nggak apa-apa Tante, maaf kalau aku mengganggu kegiatan kalian.” Mamanya Surya tersenyum, dia mengajak Ruqaiyah duduk di kursi di teras belakang rumahnya itu bersama Surya dan Moti. Surya hanya menatap perempuan itu dengan diam. Sedangkan mamanya dan adiknya duduk disebelah kiri kanan Ruqaiyah.
Surya menatap perempuan yang ada dihadapannya, dia memakai celana pendek selutut milik Moti, kaos oblong warna putih. Rambutnya tergerai basah, dengan wajah tanpa make up. Terlihat natural dan alami. Sangat berbeda sekali  dengan yang biasa dia lihat di kampus yang selalu memakai make up yang agak menor, Surya sangat tidak suka melihatnya. Lebih terlihat seperti sedang memakai topeng saja.
“Nggak apa-apa Sayang. Oh ya, kamu temannya Surya ya?” Ruqaiyah mengangguk, “kenalkan Tante mamanya Surya, panggil saja Tante Lena. Ini Moti adiknya Surya.” Moti tersenyum.
“Hai Kak, aku Moti, adiknya dia yang bergaya sok cuek, makanya sampai sekarang dia masih jomblo.” Ejek Moti. Ruqaiyah dan mamanya tertawa, sedangkan Surya melotot kearah adiknya yang tertawa melihatnya dipojokkan.
“Enak sekali disini Tante, nyaman dan menyenangkan.” Puji Ruqaiyah tulus. Mamanya Surya tersenyum.
“Kamu kalau mau,  boleh sering-sering kesini. Kita masak-masak bareng, dan berkebun bareng.”
“Memangnya boleh ya Tan?”
“Tentu saja boleh. Nggak ada ngelarang kok. Tante sama Moti pasti senang sekali punya teman, soalnya anak Tante yang laki jarang pulang kerumah. Lebih sering tinggal diapartemennya, padahal  masih satu kota.” Sindir mamanya Surya sambil melirik ke arah Surya yang cemberut. Moti dan Ruqaiyah tertawa, “kamu nggak kasih kabar sama keluargamu Sayang, nanti dicari lo.” Tanya Tante Lena. Mendadak wajah Ruqaiyah murung. Ketiganya menjadi heran.
“Aku nggak punya keluarga yang mencariku Tan.” Ketiganya tertegun, “aku cuma memiliki seorang kakak saja, satu-satunya keluargaku. Dan itu juga jarang bertemu.” Terlihat mendung diwajah Ruqaiyah yang biasanya terlihat angkuh dan sombong itu. Surya yang sedang duduk di hadapannya, merasa iba. Bisa jadi kejadian Ruqaiyah mabuk tadi malam itu karena dia merasa kesepian. Tante Lena dan Moti mengusap lengan Ruqaiyah yang tertunduk.
“Maaf Sayang, kalau boleh Tante tahu, orang tua kamu kemana?” Ruqaiyah menggeleng.
“Aku tidak tahu Tan, sejak kecil aku sama kakaku sudah hidup berdua. Kakakku lah, satu-satunya yang peduli padaku. Tetapi itu dulu, sekarang...” ucapan Ruqaiyah tercekat di tenggorokan, “aku tidak tahu rasanya punya orang tua. Pasti rasanya menyenangkan.” Ucap Ruqaiyah lirih. Kembali air matanya menetes disudut matanya. Ketiga orang yang ada ditempat itu terdiam, menatap perempuan itu dengan perasaan iba, “ah, maaf Tante. Aku jadi kebawa perasaan nih.” Kata Ruqaiyah tertawa hambar sambil menyeka air matanya yang tidak sengaja jatuh menetes.
Tangannya di genggam oleh  Tante Lena, Ruqaiyah menoleh ke arah wanita itu yang tersenyum meneduhkan, “kamu boleh anggap Om dan Tante sebagai orang tua kamu sayang. Dan juga  mereka berdua sebagai  saudara kamu. Kamu boleh tinggal disini selama kamu suka, rumah kami akan selalu terbuka untukmu.” Ruqaiyah tertegun mendengar ucapan Tante Lena. Dia menoleh kearah Moti yang tersenyum tulus kepadanya, kemudian dia mengalihkan pandangan ke arah Surya yang ada dihadapannya. Pemuda itu juga tersenyum dan mengangguk. Ruqaiyah tersenyum cerah, dia mengangguk.
“Iya Tante, aku mau.” Ucapnya dengan gembira. Ketiganya ikut tersenyum senang.
“Kalau mau jangan panggil Tante dong, panggil Mama juga.” Ruqaiyah tersenyum malu.
“Iya Mama.” Sahutnya pelan. Terasa tubuhnya merinding ketika mengucapkan kata itu untuk pertama kalinya. Ada getar kebahagiaan, kedamaian, dan juga kehangatan merasuk dalam hatinya.
“Ya sudah, ayo kita makan siang dulu. Kamu pasti laparkan?” kata Tante Lena mengajak Ruqaiyah masuk kedalam rumah. Perempuan itu menurut, dia berjalan mengikuti langkah mama barunya itu, diiringi Moti dan Surya. Mereka sama sekali tidak membahas tentang dirinya yang mabuk tadi malam, seolah sengaja tidak ingin mempermalukan dirinya.
Ketika jam makan siang tiba, papanya Surya pulang untuk makan siang bersama keluarganya. Ruqaiyah berkenalan dengan papanya Surya dan Moti yang ternyata sangat ramah. Pantas saja, sikap anak-anaknya menurun dari sikap kedua orang tuanya. Ruqaiyah merasa senang berada ditengah-tengah keluarga Surya yang penuh kehangatan. Dia sangat terkesan dan ingin tinggal lebih lama lagi ditempat itu.
Ruqaiyah melirik kearah Surya yang berada duduk diseberangnya, disamping papanya. Sedangkan dia duduk disamping Moti. Pemuda itu juga kebetulan sedang menatapnya sambil mengunyah makanannya, namun Surya hanya diam saja. Entah apa yang ada dalam pikirannya. Ketika pandangan mereka bertemu, Ruqaiyah menunduk malu menatap piring yang ada dihadapannya. Namun, Surya hanya tersenyum melihatnya. Menarik. Pikir Surya.

====tbc===

Tidak ada komentar:

Posting Komentar