Menu

Jumat, 12 Februari 2016

BIARKAN AKU JATUH CINTA. PART. 17 (TEKAD)

PART. 17 (TEKAD)

Hai, nih Inem datang lagi. Semoga bisa mengobati kangennya ya. Maaf kalau banyak typo, soalnya tidak sempat di edit terlalu banyak. Keburu dah janji mau di posting. Hehehe...

   “Aarrgghhh...” jerit Jodha tertahan memegang bahu kirinya yang kesakitan. Dia jatuh berlutut dengan satu kaki. Wajahnya meringis. Jalal, Nadia, Mansingh yang terkejut melihat kejadian yang sekejap mata itu terjadi langsung berlari menghampiri Jodha. Bahkan Nadia langsung membuang kotak popcornnya dan meloncat menghampiri Jodha dengan tidak sabar.
“Nem...” panggil Jalal dengan panik, “ka-kamu kenapa? Astaga, Ka-kamu berdarah Nem.” Kata Jalal melihat darah merembes di sela-sela jari tangannya yang memegang bahu. Wajahnya meringis kesakitan, membuat Jalal tidak tega melihatnya. Dia segera merangkul pinggal gadis itu dan membantunya berdiri.
“Jo, kamu di tembak. Kurang ajar mereka.” Umpat Nadia.
“Stt, sudah Beb. Kita bawa Jodha kerumah sakit secepatnya.” Kata Mansingh menenangkan Nadia yang emosi. Nadia mengangguk. Dia segera berlari menuju jeep Jalal, karena memang awal datangnya dia juga yang mengemudi. Dengan cepat dia membawakan jeep tersebut ketempat ketiga orang tersebut berada.
“Ayo naik.” Teriaknya dari balik kemudi.
“Ayo Nem, kita kerumah sakit sekarang.” Ucap Jalal dengan suara bergetar. Dengan wajah meringis Jodha bangkit, dibantu Jalal yang menggandeng pinggang dan bahu kanannya, karena tangan kanan Jodha membekap lukanya. Dengan tertatih-tatih Jodha berjalan menuju jeep itu yang pintunya sudah dibukakan oleh Mansingh. Sementara orang-orang mulai banyak berkerumun akibat mendengar suara tembakan tadi.
“Tolong minggir, beri kami jalan. Teman kami harus segera dibawa kerumah sakit.” Bentak Nadia kepada orang-orang yang menghampiri jeepnya untuk melihat keadaan Jodha yang sudah dalam pelukan Jalal. Dengan perlahan kerumunan orang-orang itu pun membubarkan diri. Mansingh naik dan duduk di kursi penumpang disamping Nadia, “pasang seat belt dengan kencang Bang. Kita harus segera sampai nih.” Perintahnya kepada Jalal dan Mansingh. Kedua orang tersebut menuruti perkataan Nadia. Bahkan Jalal memasangkan seat belt itu kepada Jodha yang masih diam meringis kesakitan.
“Bertahan sebentar sayang, sebentar lagi lukamu akan di obati.” Ucap Jalal tanpa sadar memanggil Jodha dengan panggilan sayang, karena memang dia panik tidak tahu harus berbuat apa kecuali memeluk tubuh Jodha.
Jodha tersenyum tipis di sela wajah kesakitannya, “saya tidak apa-apa Tuan, nggak usah terlalu panik gitu.” Ucap Jodha pelan, berusaha menenangkan tuan mudanya.
“Tidak apa-apa bagaimana? bahumu luka dan peluru itu masih di dalam kamu masih bisa bilang tidak apa-apa, heh?” bentak Jalal tanpa sadar sambil memasangkan seat belt untuk Jodha, dan gadis itu hanya diam saja. Dia mengerti kepanikan tuan mudanya. Keringat dingin membasahi dahinya, Jodha hanya bisa tersenyum dalam hati. Yang sakit siapa yang panik siapa?
“Sudah Bang?” Nadia menoleh kebelakang. Jalal mengangguk.
“Sudah Nad.”
“Oke. Let’s go.” Ucap Nadia menginjak pedal gas dengan kencang, sampai ketiga orang tersebut tersentak karena dia langsung tancap gas.
“Hati-hati Beb.” Kata Mansingh dengan wajah tegang karena Nadia menjalankan jeep itu dengan kecepatan tinggi. Sesekali dia menekan klakson tanpa mengurangi kecepatannya.
“Oke, tenang saja. Serahkan saja kepadaku Bang.” Sahut Nadia dengan pandangannya fokus ke depan. Bahkan, ketika lampu kuning sudah menyala dia tidak mengurangi kecepatannya. Dengan berkali-kali menekan klakson panjang dia menyuruh kendaraan lain minggir dengan sendirinya. Untunglah, hari sudah malam sehingga kendaraan yang berada di jalan raya itu sudah banyak berkurang.
Mansingh sampai memejamkan matanya merasa ngeri dengan kecepatan mobil yang dibawa Nadia yang seperti orang kesurupan saja. Gila, gadis kecil itu memang benar-benar gila. Dia membawa jeep itu seperti tidak ada orang lain lagi dijalan raya.
“Beb, itu lampu merah kenapa diterobos aja? Nanti kalau ditilang gimana?” tanya Mansingh lagi. Nadia tersenyum tipis.
“Halah, gampang. Nanti di urus sama Abang.” Jawabnya enteng tanpa mengalihkan pandangannya. Mansingh hanya bisa menggeleng.
Sementara di kursi belakang, Jalal masih memeluk Jodha yang kini bersandar di dadanya. Dia nampak lemas karena darah masih terus mengalir. Tangannya terasa dingin.
“Nad, kok lama sekali sih sampainya?” tanya Jalal dengan nada tidak sabar.
“Sabar Bang Bos, bentar lagi sampai.” Ucap Nadia mempercepat laju jeepnya.
Tidak sampai lima menit kemudian, jeep itu menerobos memasuki pintu gerbang sebuah rumah sakit. Tanpa mengurangi kecepatannya, Nadia terus membawa jeep itu melewati daerah parkir dan berhenti mendadak persis di depan pintu masuk rumah sakit.
“Kenapa Bang?” tanya Nadia ketika melihat ekpresi Mansingh seperti orang ingin muntah.
“Gila kamu Beb, kepalaku pusing jadinya.” Kata Mansingh memijat pelipisnya. Nadia tersenyum tipis.
“Sekalian aja periksa di dalam Bang.” Jawabnya singkat. Dia turun, dan membuka pintu jeep untuk Jodha dan Jalal.
Setelah membuka seat beltnya dan Jodha, Jalal turun lewat pintu disamping dan mengitari belakang jeep untuk menuntun Jodha turun dari mobil itu. Dengan wajah meringis tanpa suara, Jodha perlahan turun dengan dipapah oleh tuan mudanya dan Nadia di sampingnya. Sementara Mansingh yang belum beranjak dari kursinya, perlahan pindah ke kursi kemudi untuk memarkirkan jeep tersebut di tempat parkir.
Baru beberapa langkah mereka berjalan, tiba-tiba tubuh Jodha melemas dan dia hampir saja terjatuh kalau saja Jalal tidak cepat menangkapnya.
“Nem, Nem. Kamu kenapa?” tanya Jalal dengan panik sambil menepuk-nepuk pipi Jodha yang matanya terpejam lemah.
“Bang,  bawa masuk saja biar cepat ditangani dokter.” Katanya Nadia yang terlihat khawatir melihat keadaan Jodha. Jalal mengangguk. Tanpa banyak bicara lagi, Jalal membopong tubuh Jodha dan setengah berlari dia membawa gadis itu masuk.
“Dokter, dokter, tolong dia dokter.” Pinta Jalal kepada petugas recepsionis yang sedang berjaga.
“Dia kenapa Mas?” tanya petugas recepsionis tersebut.
“Dia, dia ditembak. Tolong selamatkan dia. Please!”
“Iya Mas, tenang. Akan segera ditangani.” Jalal mengangguk.
“Cepatlah, tolong.” Pinta Jalal panik.
Dengan segera petugas rumah sakit itu meminta kepada perawat yang lain untuk membawakan brankar untuk Jodha. Perlahan Jalal membaringkan Jodha yang lemah di atas brankar.
Dengan setengah berlari mereka segera membawa Jodha ke UGD diikuti oleh Jalal dan Nadia. Setibanya di ruang UGD, Jodha disambut oleh dokter jaga dan para perawat yang bertugas. Dengan sigap mereka segera memasang infus, oxygen, dan memeriksa keadaan Jodha yang masih setengah pingsan itu. Karena peluru yang bersarang di bahu Jodha tidak terlalu membahayakan organ vital lainnya, maka di putuskan untuk melakukan operasi pengangkatan peluru itu di ruangan itu saja.
Perawat juga memasang kantong darah untuk Jodha, karena gadis itu kehilangan banyak darah. Sebenarnya Jodha masih sadar, hanya saja dia terlalu lemah untuk bicara dan membuka matanya. Bahkan ketika tuan mudanya panik memanggil dokter, dia juga mendengarnya. Namun dia tidak bisa berbuat apa-apa.
Tidak lama kemudian, dokter yang akan melakukan operasi kecil itu pun datang. Mereka segera menyiapkan segala keperluannya dan menyuruh Jalal dan Nadia menunggu menunggu di luar.
Dengan terpaksa Jalal menuruti perintah itu. Dia menunggu di dekat pintu dengan tidak sabar.
“Bang Bos,” panggil Nadia. Jalal menatap Nadia yang sedari tadi memandangnya.
“Ya,”
“Ta-tanganmu.” Tunjuk Nadia ke arah tangan Jalal.
Jalal mengangkat kedua tangannya dan melihat tangannya yang terkena darah Jodha nampak gemetar dan dia baru sadar akan hal itu. Bahkan bajunya juga terkena darah.
“Bersihin dulu gih. Sekalian cuci mukanya itu.” Jalal mengangguk tanpa menjawab dan pergi meninggalkan Nadia yang masih berdiri mematung menghadap pintu UGD. Tangan kirinya mendekap perutnya, sedangkan siku tangan kanannya ditumpu diatas punggung tangan kirinya. Nadia mengigit kuku jari tangannya dengan pandangan yang tidak bergerak dari pintu UGD.
Sebuah sentuhan diatas bahunya, yang menyadarkannya dari lamunan. Dia menoleh,  Mansingh tersenyum kepadanya. Tangannya merengkuh bahu Nadia dan menyandarkannya di dadanya. Nadia menurut. Barulah Mansingh merasa kalau tubuh gadis itu gemetar, namun dia masih diam.
“Tenanglah Beb, Jodha pasti tidak apa-apa. Nggak usah khawatir ya.” Hibur Mansingh mengusap-usap punggung Nadia. Gadis itu masih diam, namun tubuhnya masih gemetar. “sudah, kalau mau nangis, nangis aja. Keluarkan aja Beb. Jangan ditahan.”
Akhirnya, pertahanan Nadia pun jebol. Dia menangis terisak-isak di dada Mansingh. Lelaki itu memeluknya dan mencium pucuk kepalanya berkali-kali.
“A-aku takut Bang, di-dia berdarah sampai pingsan.” Ucal Nadia disela-sela isakannya. Kembali Mansingh mencium kepalanya.
“Sttt, tenang aja Beb, nggak akan terjadi apa-apa. Percaya sama Abang ya.” Nadia mengangguk, dia masih terisak-isak.
Sementara Jalal yang sudah selesai membersihkan dirinya dari noda darah Jodha, meski tidak bisa hilang semuanya, datang mendekati mereka berdua yang masih berpelukan. Namun Jalal hanya diam saja memandangi pintu UGD.
Mansingh memperhatikan sahabatnya yang hanya diam, namun dia tahu kalau Jalal tegang. Dan sekarang, kedua orang yang ia sayangi ini begitu tegang dan khawatir. Bukan Mansingh tidak khawatir dengan Jodha, tetapi melihat Nadia dan Jalal seperti itu membuatnya mau tidak mau harus fokus kepada mereka berdua.
Kini Nadia sudah mulai tenang, namun Mansingh masih memeluknya dan sepertinya Nadia juga tidak berusaha melepaskan diri. Bukan ingin mencari kesempatan, tetapi melihat gadis cerianya itu menangis membuat dia tidak tega. Mansingh ingin memberikan rasa nyaman pada gadisnya.
 “Bos.” Panggil Mansingh. Jalal menoleh, “apa tidak sebaiknya Bos menghubungi orang tua Bos. Takut mereka khawatir.” Jalal mengangguk. Dia mengeluarkan ponselnya dari saku celananya dan menelpon orang tuanya.
“Beb, kamu nggak bilang sama keluargmu juga?” Nadia diam, “kasih tau gih,” sesaat kemudian dia mengangguk. Nadia mengeluarkan ponsel dari saku celana jeansnya dan menghubungi abangnya, Bayu.
Setelah selesai menelpon abangnya, Nadia tidak sengaja melirik Mansing yang menatapnya sambil tersenyum tipis.
“Apa?” tanyanya dengan ketus. Mansingh menggeleng, senyumnya semakin lebar.
“Nggak kok Beb, aku cuma ingat yang tadi aja.” Sahut Mansingh sambil bersidekap, tetapi senyumnya masih terukir di bibirnya.
“Yang tadi apa?”
“Masa sudah lupa?”
“Yang mana? Ih, Abang nggak usah berbelit-belit deh ngomongnya.” Mansingh terkekeh.
“Itu tadi pas nangis.” Ucap Mansingh sambil menunjuk mata Nadia yang terlihat sembab. Nadia melengos. Pipinya mengeluarkan semburat kemerahan, “sini ulang lagi, nggak apa-apa kok. Dada Abang emang buat kamu.” Goda Mansingh menepuk dadanya, membuat Nadia menatapnya dengan tajam.
“Jangan mimpi.” Desisnya.
“Yah, kok gitu sih Beb. Kan Abang cuma pengen bikin Baby nyaman aja sama Abang. Masa nggak boleh sih?” kembali Mansingh menggodanya.
“Nggak usah lebay deh, Bang. Ini rumah sakit loh, kasihan tuh Bang Bos nungguin Jodha.” Kata Nadia menunjuk Jalal yang duduk di kursi tunggu setelah selesai menghubungi orang tuanya. Dia hanya duduk terdiam, tangannya masih memegang ponselnya namun pandangannya tidak pernah lepas dari pintu UGD.
Mansingh menghela nafas dan berjalan menghampiri sahabatnya, di ikuti Nadia. Mereka berdua duduk disamping Jalal.
“Aku tahu, Jodha pasti kuat. Bos tenang aja.” Ucap Mansingh menepuk bahu Jalal. Jalal tersenyum tipis.
“Makasih Man,” Mansingh mengangguk.
Mereka bertiga duduk berjejer menunggu pintu UGD terbuka dalam diam. Nadia kembali menyandarkan kepalanya di bahu Mansingh. Pemuda itu menoleh dan tersenyum, melihat gadisnya kembali menyandarkan kepala di bahunya, dengan memejamkan matanya.
“Ngantuk Beb?” Nadia menggeleng.
“Pengen nyandar aja. Gratiskan?” Mansingh terkekeh.
“Nggak. Kusewakan seumur hidup untukmu.” Nadia mencebikkan bibirnya.
“Terus bayarnya?”
“Dengan cintamu.” Nadia tersenyum mengejek.
“Kayaknya ada yang perlu dioperasi juga nih.” Mansingh terkekeh.
“Oh ya? Siapa?” tanyanya pura-pura tidak tahu.
“Ini.” Jawab Nadia menepuk paha Mansingh, “ngerayu nggak kenal tempat. Orang lagi tegang malah ngerayu.”
“Bukan begitu Beb, justru karena itu paling nggak kan sedikit mengurangi ketegangan.” Nadia diam namun bibirnya tersenyum dengan mata yang terus terpejam.
Tiba-tiba muncul Bayu dengan nafas terengah-engah seorang diri karena begitu mendapatkan telpon dari Nadia, dia langsung berangkat dengan tergesa-gesa. Dia menghampiri mereka bertiga yang masih tidak menyadari kedatangannya.
“Apa yang terjadi? Bagaimana keadaannya Jodha?” ketiganya mendongak melihat kearah Bayu.
“Abang.” Nadia segera bangkit dan menghambur kepelukan abangnya, “Jodha Bang. Di-dia ditembak.” Wajah Bayu mengeras.
“Kamu tahu siapa yang melakukan itu?” Nadia menggeleng.
“Nggak tahu Bang. Tapi mereka seperti preman gitu.” Bayu menghela nafas, berusaha mengontrol emosinya.
“Ya sudah, kita pikirkan keadaan Jodha dulu ya.” Nadia mengangguk, “sekarang bagaimana keadaannya?”
“Masih belum keluar Bang.” Jawab Jalal lesu. Bayu menepuk bahu Jalal.
“Kamu tenang saja Jalal, Jodha itu gadis yang kuat. Dia pasti bisa melewati semua itu. Bukan sekali ini saja dia mengalami hal seperti ini.” Hibur Bayu. Jalal mengangguk dan tersenyum tipis.
“Iya Bang. Makasih.” Bayu tersenyum.
Mereka berempat duduk kembali di kursi tunggu. Kini Nadia bergayut manja di lengan abangnya. Mansingh melihat mereka dengan sedikit iri. Nadia meleletkan lidahnya ke arah Mansingh yang terus menatapnya dengan wajah ditekuk. Dia senang melihat ekspresi pemuda itu.
Entah Nadia menyadari atau tidak, kedekatan mereka malam ini membuatnya sedikit merasa nyaman. Sedikit sih. Tapi, membayangkan yang sedikit itu juga membuat Nadia tersipu. Ya ampun, disaat seperti ini masih sempat-sempatnya dia tersipu, tapi bagaimana lagi lelaki itu benar-benar tidak peduli atas segala sikap dan kata-katanya yang kasar.
Sikap Mansingh yang dewasa membuat Nadia merasa nyaman. Dia sadar, tak selamanya dia bisa bermanja dengan abangnya karena istri dan anaknya akan lebih berhak atas abangnya. Apa sekarang saatnya untuknya berpindah haluan. Sepertinya  juga Mansingh sangat mengerti akan dirinya.
Lamunan Nadia terhenti ketika melihat pintu ruangan UGD terbuka. Mereka segera menghambur menghampiri dokter yang melakukan operasi kecil tadi.
“Bagaimana keadaan adik saya, Dok?” tanya Bayu dengan tidak sabar. Dokter itu tersenyum.
“Tidak apa-apa. Pelurunya sudah bisa di angkat. Tinggal menunggu dia sadar dari pengaruh biusnya saja, sekarang bisa dibawa ke ruang perawatan. Silakan anda mengurus administrasinya. Permisi.” Ucap dokter tersebut.
“Baik dok. Terima kasih.” Ucap Bayu dengan lega. Dokter itu tersenyum dan mengangguk. Dia pun segera berlalu meninggalkan mereka berempat.
Jalal, Man, dan Nadia menarik nafas lega. Terlebih Jalal yang sejak tadi diam saja karena terlalu khawatir dengan keselamatan Inemnya.
“Terima kasih Tuhan,” bisiknya dalam hati.
Brankar yang membawa Jodha pun keluar dari tempat itu menuju ruang perawatan. Jalal, Man, dan Nadia mengikuti perawat yang mendorong brankar itu, sedangkan Bayu memisahkan diri untuk mengurus administrasinya.
Setibanya di ruang inap, Jodha segera dipindahkan dengan hati-hati oleh perawat yang membawanya, dan dibantu oleh Jalal. Kedua perawat itu dengan cekatan mengatur tempat tidur untuk Jodha, mengatur infus dan keperluan Jodha lainnya.
Setelah kedua perawat itu keluar, Jalal segera duduk di kursi dekat ranjang Jodha. Sementara Nadia dan Mansingh hanya berdiri disisi ranjang yang lain.
Jalal menggenggam erat tangan Jodha yang masih tertidur pulas. Meski dia sudah tidak panik lagi, tetapi ketika melihat Jodha belum sadar juga dia masih terlihat belum tenang.
Pintu kamar terbuka, terlihat Bu Hamidah dan Pak Humayun masuk. Wajah mereka nampak khawatir sekali. Jalal segera berdiri.
“Jalal, apa yang terjadi? Jodha kenapa? Kok bisa sampai seperti ini sih sayang?” tanya Bu Hamidah beruntun. Dia memegang tangan Jodha yang masih belum sadar itu.
Pak Humayun memegang bahu istrinya. “sudah Ma, tenang dulu. Biar Jalal cerita dulu.” Bu Hamidah menghembuskan nafas panjang. Dia mengangguk. Jalal mengajak kedua orang tuanya, Man, dan Nadia duduk di sofa, membiarkan Jodha terbaring sendiri di ranjang.
Baru saja mereka duduk, pintu di ketuk dan Bayu masuk. Dia sempat kaget melihat kedua orang tua Jalal berada disitu.
“Loh, Om, Tante, ada disini juga ya?”
“Iya Bay, kami terkejut mendengar Jodha di tembak. Memangnya ada masalah apa sampai Jodha ditembak? Ini sengaja atau salah sasaran?” tanya Pak Humayun.
“Saya belum berani menyimpulkannya dulu, Om. Karena kronologis kejadiannya saya juga belum tahu. Tapi saya janji akan mengusut kejadian ini, baik ini sengaja ataupun tidak sengaja.” Pak Humayun mengangguk.
“Om setuju Bay, sengaja atau tidak semua harus ada pertanggungjawabannya. Biar tidak seenaknya saja nanti.”
“Iya Om. Saya setuju.” Sahut Bayu, kini dia berpaling ke arah Jalal, “Jalal, kamu bisa ceritakan kejadian yang menimpa Jodha tadi?” Jalal mengangguk.
“Iya Bang,” Jalal segera menceritakan semuanya, dari mereka diikuti sampai Jodha terluka. Sesekali Man dan Nadia ikut memberikan keterangan.  Bayu menyimak keterangan mereka dengan serius, begitu pula dengan Pak Humayun.
“Apa ini ada hubungannya dengan Ayahnya Jodha, Bang?” tanya Jalal lagi. Bayu nampak berpikir.
“Abang tidak bisa memastikan itu Jalal, mungkin saja. Tetapi kita tidak bisa menuduh sembarangan. Harus ada bukti yang akurat.”
“Masalahnya Bang, mereka cuma ingin membawa Jodha saja untuk menemui bosnya. Dan dulu juga pernah Jodha berkelahi dengan bosnya itu.” Ucap Jalal. Mansingh mengangguk.
“Iya Bang, aku baru ingat. Dulu Jalal juga pernah dihajar sama Bosnya itu sampai babak belur.” Terang Mansingh. Bu Hamidah melebarkan matanya  ke arah Jalal.
“Jadi anak mama yang dulu habis berkelahi itu sama bos yang itu? kalah?” Jalal tertunduk malu, “dan Jodha yang berhasil menghajarnya?” Jalal dan Man mengangguk, “ck. Masa perempuan yang melindungi laki-laki sih? Kebalik banget.” Kata Bu Hamidah seperti menyesal. Membuat Jalal semakin malu dan merasa bersalah.
“Tadi juga gitu Tan, Bang Bos Cuma jadi penonton aja waktu Jodha sendirian menghajar preman-preman itu.” Celetuk Nadia, membuat Jalal mendelik ke arahnya. Nadia hanya tersenyum mengejek.
“Apa? Lagi?” seru Bu Hamidah seperti tidak percaya.
“Maaf Ma.” Ucap Jalal dengan tertunduk.
“Sudah. Tidak apa-apa Jalal. Tidak ada kata terlambat kalau ingin memperbaikinya. Kamu masih punya banyak kesempatan.” Hibur Bayu, dia merasa kasihan melihat Jalal yang merasa bersalah itu.
“Maksud Abang?”
“Ya, kalian berdua bisa berlatih bersama-sama. Nanti Nadia bisa juga membimbing kamu.” Jalal langsung menoleh ke arah Nadia yang sudah tersenyum miring kepadanya. Entah mengapa Jalal merasa kalau senyum gadis itu terlihat menyeramkan. Jalal menggidik ngeri melihatnya.
“Sama Nadia Bang?” Bayu mengangguk, “nggak salah?”
“Kenapa?”
“Kenapa bukan Abang saja yang melatihku?” Bayu tersenyum.
“Memang Abang yang akan melatihmu, tetapi Abang tidak bisa setiap waktu. Paling bisa seminggu sekali disaat Abang libur saja. Kalau Nadia, dia bisa setiap saat selepas pulang kuliah.”
“Baiklah Bang kalau gitu.” Sahut Jalal pasrah.
“Kenapa sih Bang Bos nggak mau aku yang melatih? Sentimen amat sih. Padahal aku kurang apa coba? Udah cantik, seksi, manis, pintar, imut. Atau...” Nadia menunjuk ke arah Jalal, “jangan bilang kalau Bang Bos nggak bisa fokus latihan karena melihat keseksianku?” tanya Nadia dengan percaya dirinya. Mansingh dan yang lain terkekeh mendengar ucapan Nadia, hanya Jalal yang merasa kesal.
“Kurang ramah.” Sahut Jalal, “lagian kamu itu nggak ada seksi-seksinya. Badan kayak anak kecil gitu. Apanya yang seksi?” ejek Jalal.
“Apa Bang Bos bilang?” tanya Nadia menjadi kesal. Dia berniat bangkit dan menghampiri Jalal, namun tangannya di cekal Mansingh.
“Sudah Beb, nggak usah didengar.” Nadia kembali duduk dengan wajah kesal. Jalal terkekeh puas melihatnya.
“Sudah, sudah. Nggak usah dengarin Jalal, Nad.” Lerai papanya Jalal.
“Iya Om.” Sahut Nadia dengan wajah cemberut.
Mereka terus berbincang sambil menunggu Jodha sadar. Membicarakan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi, sebagai penyebab penembakan dan pengeroyokan terhadap Jodha.
Sementara itu, Jodha mulai terbangun dari tidurnya. Dia membuka matanya pelan-pelan karena silau oleh sinar lampu. Lamat-lamat dia mendengar suara orang sedang ngobrol. Dia mengingat-ingat dimana dirinya sekarang berada. Yah, terakhir yang di ingat adalah ketika berada di UGD. Jodha meraba bahunya yang luka terkena tembakan. Tidak terasa sakit namun dibalut dengan perban. Mungkin pengaruh obatnya belum hilang, pikirnya.
Jodha mengamati ruangan tempatnya berada, tidak salah lagi ini ruang inap rumah sakit. Bathinnya berbisik. Dia menoleh ke arah suara orang yang sedang berbincang. Sedikit menyipitkan matanya melihat siapa yang berada disitu. Nampak majikannya berkumpul semua, Bayu, Nadia, dan juga Mansingh.
Jalal yang sesekali melihat ke arah Jodha tersentak, ketika pandangannya beradu dengan gadis itu menoleh ke arah dimana mereka berada.
“Jodha sudah sadar.” Katanya dengan gembira beranjak dari tempat duduknya dan menghampiri Jodha. Yang lain mengikutinya, “Nem, kamu sudah sadar.” Ucap Jalal menggenggam tangan Jodha dan mengecup keningnya. Dia lupa kalau kedua orang tuanya berada ditempat itu sedang memperhatikan dirinya. Pak Humayun dan Bu Hamidah saling pandang, namun Bu Hamidah tersenyum dan mengangkat bahu melihat suaminya yang sedikit heran dengan tingkah laku anaknya.
“I-iya Tuan. Saya sudah sadar.” Sahut Jodha dengan kikuk, dia merasa tidak enak dan risih dengan perlakuan tuan mudanya, disaat kedua orang tuanya berada disitu. “i-ibu sama bapak juga ada disini?” Bu Hamidah tersenyum. Dia menghampiri dan duduk di pinggir ranjang dekat kepala Jodha. Tangannya mengelus lembut rambut Jodha.
“Iya Jo, Bapak sama Ibu langsung kemari ketika di kasih tahu sama Jalal kalau kamu sedang berada dirumah sakit. Ibu sangat khawatir sekali. Takut kamu kenapa-kenapa.” Sahut Bu Hamidah sambil tersenyum.
“Maafkan saya Bu, sudah membuat Bapak sama Ibu khawatir. Saya tidak apa-apa kok.”
“Apanya yang tidak apa-apa? Kalau terlambat ditangani kamu bisa mati tau.” Kata Bu Hamidah pura-pura marah. Jodha terkekeh pelan.
“Tapikan nyatanya saya masih bisa tertawa nih Bu.”
“Kamu itu ya, disaat seperti ini masih bisa tertawa.” Ucap Bu Hamidah masih mengelus rambut Jodha.
“Saya jadi ngerepotin semuanya Bu.”
“Tidak ada yang merasa direpotkan kok sayang, Ibu malah senang direpotin sama kamu.” Ah, Jodha jadi malu sendiri. Ternyata mama dan anak sama saja. Sama-sama pintar menggombal. Sekarang Jodha jadi tahu dari siapa mulut manis tuan mudanya menurun. Karena Pak Humayun bukan orang yang suka banyak bicara, dia hanya berkata seperlunya saja. Tentu saja tuan mudanya tidak menurun sifat itu.
“Iya Bu. Makasih banyak ya.”
“Sama-sama Jo, cepat sehat ya. Rumah sepi nggak ada kamu.” Jodha tersenyum.
“Kan ada tuan muda Bu, sama sajakan?” sahut Jodha yang melirik sekilas ke arah Jalal yang cemberut mendengar ucapannya.
“Kamu ini, kayak nggak tahu aja. Kalau kamu nggak ada dirumah, Ibu jamin dia juga nggak bakalan ada dirumah.” Ucap Bu Hamidah tepat kena sasaran, membuat mereka menjadi tersipu bersamaan.
“Cieee, Bang Bos mukanya merah. Malu yee ketahuan?” Ledek Nadia menunjuk ke arah wajah Jalal yang memerah itu, “atau Bang Bos lagi demam? Biar sekalian di infus bareng Jodha. Hahahaha...” jalal mendengus.
“Siapa yang malu? Lagian kenapa harus malu? Aku nggak salah kok.” Kata Jalal membela diri, padahal kentara sekali kalau dia sedang malu, namun gengsi untuk mengakuinya.
“Aish, masih saja ngeles. Yaaa..., baiklah. Kalau gitu Bang Bos pulang aja, biar Jodha aku saja yang jaga. Besok saja balik kesini lagi. Gimana?” pancing Nadia.
“Enak saja! Kamu itu yang pulang sana.” Sahut Jalal dengan cepat, membuat Nadia terkekeh. Sementara yang lain hanya menggelengkan kepala melihat tingkah mereka berdua.
“Gitu masih nggak mau ngaku. Ya sudahlah...” gumam Nadia, dia mendekati Jodha dan memegang tangan Jodha, “Ayang Jodha, Ayang Bang Bos mau pulang dulu, mau bobok dulu, mau minum susu dulu, biar cepat gede dan pintar. Nanti Ayang Bang Bos temani dalam mimpi aja ya. Miss u Ayang Jodha.” Ucap Nadia dengan wajah yang di buat seimut mungkin. Jodha tertawa sambil menggelengkan kepalanya. Sementara Jalal mati kutu, tidak bisa berkutik lagi. Inginnya dia menggelitik Nadia sampai berteriak minta ampun, tetapi tidak enak dengan Bayu dan Papanya.
Bu Hamidah tertawa melihat tingkah Nadia yang terang-terangan meledek Jalal. Anak itu, memang bisa membuat suasana tegang menjadi santai kembali.
“Ya sudah Jo, Bapak sama Ibu pulang dulu ya. Besok Ibu kesini lagi. Kamu istirahat yang cukup, biar cepat sembuh.”
“Iya Bu, makasih ya. Maaf Ibu jadi repot karena saya.” Kata Jodha mencium tangan Bu Hamidah.
“Ibu sudah bilang, jangan lagi ngomong masalah repot. Itu bukan kehendak kamu.” Jodha mengangguk.
“Iya Bu.”
Giliran Pak Humayun yang menyalami Jodha, seperti dengan Bu Hamidah, Jodha juga mencium tangan majikannya itu.
“Cepat sembuh ya Jo, istirahat yang banyak. Biar lukamu cepat sembuh. Jangan banyak bergerak dulu.” Pesan Pak Humayun. Jodha mengangguk.
“Iya Pak, makasih.” Pak Humayun mengangguk dan tersenyum.
“Jalal, Mama sama Papa pulang dulu ya. Jaga Jodha baik-baik.” Jalal mengangguk.
“Iya Ma, pasti.” Dia juga mencium tangan mama dan papanya, sebelum keduanya pamit pulang kepada merek yang ada di ruangan itu.
Tidak lama kemudian, Bayu juga ikut pamit pulang.
“Abang pulang dulu ya Jo, besok Abang kesini lagi.” Kata Bayu mencium kening Jodha dengan sayang.
“Iya Bang, makasih ya.” Bayu mengangguk.
“Sama-sama Jo, Abang janji akan mencari pelaku penembakan itu.”
“Nggak usah Bang. Biar aja, mungkin kebetulan saja kali mereka bertemu kami malam itu.”
“Nggak bisa Jo, semua akan di usut. Meski itu sengaja ataupun tidak sengaja. Bahkan Papanya Jalal juga sudah meminta Abang untuk menyelidikinya.” Jodha menghela nafas pasrah.
“Iya deh, terserah Abang saja. Tapi, jangan dipaksa ya Bang. Abang juga perlu istirahat.”
“Iya. Abang tahu itu. Ya sudah, Abang pulang dulu ya.” Jodha mengangguk, “Jalal, Man, Nad, Abang pulang dulu ya.” Mereka bertiga mengangguk.
“Iya Bang. Hati-hati ya.” Ucap Nadia menggayut manja di lengan abangnya.
“Iya adik Abang yang bawel.” Kata Bayu mengacak rambut Nadia pelan. Nadia hanya terkekeh, diapun melepas rangkulan tangannya di lengan abangnya. Bayu pun segera melangkah keluar dari ruang inap tersebut.
Setelah agak lama semenjak kepergian Bayu, Mansingh mengajak Nadia keluar untuk mencari kopi dan camilan malam katanya. Padahal dia ingin memberi waktu untuk sahabatnya berduaan dengan Jodha. Nadia yang mengerti maksudnya, hanya mengangguk. Mereka berdua pun akhirnya keluar dari ruangan itu.
Begitu keduanya keluar, Jalal mendekatkan kursinya lebih dekat dengan kepala Jodha. Tangan kanan gadis itu dipegang Jalal dan ditempelkannya di pipinya sendiri. Jodha tersenyum melihat tuan mudanya yang begitu perhatian kepadanya.
“Kamu kenapa Nem? Senyum-senyum begitu?”
“Saya hanya merasa kalau Tuan bersikap berlebihan terhadap saya.”
“Berlebihan bagaimana maksudmu?”
“Ya berlebihan, saya seolah mau mati saja.” Jalal mendelik.
“Apa kamu bilang? Kamu bahkan tidak tahu betapa khawatirnya aku ketika kamu tiba-tiba lemas. Rasanya jantungku berhenti berdetak.” Jodha terkikik geli, “kenapa? Perutnya terasa di aduk-aduk lagi?” sindir Jalal. Jodha masih tertawa namun dia mengangguk, “kenapa sih nggak di telan aja kata-kataku itu. Pejamin matanya dan telan.” Ucap Jalal dengan wajah sewot. dia melengos ke arah lain. Jodha semakin tertawa dibuatnya. Ya ampun, entah kenapa rasanya Jodha begitu alergi mendengar kata-kata seperti itu. Walaupun mungkin itu benar ungkapan tulus dari hati yang paling dalam.
“Tuan, jangan ngambek gitu dong. Maaf ya, kalau sudah menertawakan kekhawatiran Tuan.” Kata Jodha membelai pipi tuan mudanya dengan lembut, membuat  Jalal menghela nafas panjang. Kalau sudah begini bagaimana mau marah coba. Ck. Si Inem emang bisa membuat kemarahan Jalal meleleh dengan cepat.
“Kamu sih, suka banget bikin aku jengkel. Aku kayak gitu karena aku sayang sama kamu Inem, aku cinta sama kamu. Ngerti nggak?” Jodha tersenyum.
“Iya Tuan, saya ngerti. Maaf ya, saya hanya tidak ingin Tuan terlalu mengkhawatirkan saya. Sekali lagi maaf.” Ucap Jodha dengan suara lirih. Jalal menghembuskan nafas lagi.
“Ya sudah, sekarang kamu tidur lagi. Istirahat yang banyak biar lukamu cepat sembuh.”
“Tuan bagaimana? Masa saya tidur, Tuan enggak.” Protes Jodha. Jalal tersenyum, dia mengelus rambut Jodha.
“Iya, nanti aku juga tidur kok. Kamu tenang aja, aku nungguin Man sama Nadia datang.” Jodha mengangguk.
 “Iya deh.” Jodha memejamkan matanya, Jalal merapikan selimut Jodha dan mengecup keningnya sebentar, namun dia tidak pergi dari tempat itu. Hanya memandang wajah gadisnya yang kembali tertidur dengan cepat, mungkin karena masih dalam pengaruh obat sehingga dia tertidur lagi. Tangan Jodha masih di genggamnya. Pikirannya melayang tentang pembicaraan Bayu dan papanya tadi. Dia juga penasaran siapa sebenarnya mereka? Apa ini masih ada hubungannya dengan Adam, si bandar judi itu? Ataukah orang lain lagi?
Jalal merasa dirinya lemah, tidak mampu melindungi orang yang di sayanginya. Bahkan melindungi dirinya sendiri dia masih belum mampu, dan tentang niat papanya yang menyuruhnya untuk belajar bela diri bisa dicobanya nanti. Mungkin memang dia harus dipaksa seperti itu, kalau tidak ingin kehilangan orang yang cintainya. Kalau seandainya mereka bertemu lagi, bagaimana dia akan melindungi Inemnya. Kasihan sekali gadis itu, sudah tidak punya orang tua, masih juga dikejar-kejar orang yang menagih hutang ayahnya. Tiba-tiba saja Jalal merasa geram dengan ayahnya Jodha yang menghilang tanpa jejak dan meninggalkan anaknya yang selalu dikejar oleh bandar judi itu.
Jalal melihat jam yang ada di ponselnya. Sudah lama Nadia dan Mansingh pergi keluar. Kemana mereka? Padahal sudah tengah malam. Pikirnya.  Dia menelungkupkan kepalanya diatas ranjang, dan tangannya masih menggenggam tangan Jodha.
Sebenarnya Mansingh dan Nadia sudah datang lebih awal namun, ketika melihat Jalal dan Jodha sedang asyik berbincang membuat mereka berdua mengurungkan niatnya untuk masuk. Dan sekarang mereka berdua sedang berada di kantin rumah sakit. Mansingh memesan kopi dan Nadia memesan coklat panas. Mereka berdua duduk berdampingan.
“Kasihan Jodha ya Bang?” ucap Nadia sambil memutar-mutar gelasnya. Mansingh menoleh.
“Kenapa Beb?” Nadia menarik nafas panjang dan menghembuskannya.
“Ya kasihan. Sudah tidak punya orang tua, masih saja ada yang ingin berbuat jahat kepadanya.” Mansingh merengkuh bahu Nadia, dan tersenyum.
“Kan ada kita semua yang selalu bersamanya. Terutama Bos dan juga kamu dan keluargamu.” Nadia mengangguk-angguk. Dia menyandarkan kepalanya di dada Mansingh.
“Iya sih Bang, tetapi tetap saja aku merasa kasihan dengannya. Selama ini dia selalu mengalah sama aku, dia bisa jadi teman dan jadi kakak buatku. Aku sayang sekali sama dia.”
“Iya Beb, terlihat sekali seperti itu. Bahkan bos saja cinta mati sama dia. Tapi sepertinya Jodha masih ragu tuh.” Nadia terkekeh.
“Jelas aja ragu, orang Bang Bos kayak gitu?” dahi Mansingh mengernyit.
“Kayak gitu gimana Beb?” Nadia berdecak.
“Modal ngerayu doang.” Mansingh tertawa geli, “aku bilangin ya, Jodha itu paling anti kalau dirayu. Yang ada dia malah tertawa dan nggak akan dianggap.”
“Sepertinya sih memang begitu Beb, bos pernah cerita sewaktu dia mau menggoda Jodha, yang ada Jodha minta ijin mau muntah.” Nadia tertawa terbahak-bahak mendengarnya. Sampai beberapa orang pengunjung menoleh kearah mereka berdua. Namun Nadia hanya cuek bebek. Bebek aja bisa cuek apalagi dia.
“Iya gitu orangnya. Susah sekali menaklukkan hatinya. Dulu saja banyak yang suka sama dia, eh malah mundur teratur karena tidak pernah dianggap oleh Jodha. Padahal mereka itu rata-rata anak-anak orang kaya, yang sering dikalahkan Jodha sewaktu balapan.”
“Oh ya?” Nadia mengangguk. “kalau kamu gimana Beb?” Nadia menegakkan tubuhnya dan menoleh ke arah Mansingh yang tersenyum usil.
“Cari tahu sendirilah, masa harus dibilangin juga.”
“Ya kan biar mudah dan cepat.”
“Kayak mau mengurus asuransi saja biar mudah dan cepat.” Mansingh terkekeh, “cinta itu butuh proses Bang, akan lebih baik mengenal sedikit demi sedikit sampai akhirnya mengenal keseluruhan, daripada dikasih tahu tetapi hanya sebentar saja kemudian bosan.” Mansingh tersenyum. Dia mengelus kepala Nadia.
“Iya. Abang ngerti kok. Dan Abang akan mengenal kamu sedikit demi sedikit seperti yang kamu mau.” Nadia ikut tersenyum.
“Iya Bang. Makasih ya.” Mansingh mengangguk dan menepuk kepala Nadia dengan lembut.
“Ya sudah, ayo kita balik kekamar Jodha. Mungkin sekarang mereka sudah tidur. Kita juga perlu tidur kan?” Nadia mengangguk. Mereka berdua beranjak dari duduknya setelah menghabiskan minumannya dan kembali ke kamar dimana Jodha dirawat.
Perlahan Nadia mengetuk pintu, tetapi tidak ada jawaban. Pelan-pelan Nadia mendorong dan membuka pintu kamar. Terlihat Jodha sudah tertidur pulas, dan Jalal juga ikut tertidur dengan posisi terduduk di kursinya dan kepalanya berada dipinggir ranjang Jodha dengan beralaskan punggung tangannya.
Mansingh menggamit tangan Nadia pelan, gadis itu menoleh. Mansingh menunjuk sofa, dia mengangguk. Mereka berdua duduk di sofa dan Nadia membaringkan tubuhnya dengan kepalanya di atas pangkuan Mansingh. Pemuda itu tersenyum dan membelai lembut rambut Nadia, membuat gadis itu memejamkan matanya. Sedangkan sebelah tangannya di peluk oleh Nadia. Terasa sekali kalau Nadia sudah merasa nyaman dengan Mansingh, tempat dia bisa bermanja selain dengan abangnya. Akhirnya keduanya pun ikut terlelap dengan posisi Mansingh tidur bersandar di sofa.

***
Keesokan harinya, pagi-pagi Mansingh mengantar Nadia pulang kerumahnya untuk mandi, dan berganti pakaian. Begitu juga dengannya, mereka berdua mampir di apartemennya. Mansingh sempat bertemu Surya dan mengatakan kalau mereka berdua bolos kuliah hari ini karena harus menunggu Jodha di rumah sakit. Surya mengerti dan tidak banyak bertanya lagi.
Setelah dari apartemen Mansingh, mereka berdua berangkat kerumah Jalal untuk mengambil pakaian ganti dan segala keperluan untuk kedua sahabat mereka itu, dan juga membelikan sarapan untuk mereka berempat.
“Selamat pagi Jo, Bang Bos.” Sapa Nadia dengan senyum lebar kepada Jodha dan Jalal yang baru terbangun, tangannya menenteng bungkusan untuk sarapan mereka, diiringi Mansingh di belakangnya membawa sebuah tas berisi pakaian Jodha dan Jalal dan meletakkannya diatas lemari kecil dekat ranjang.
 “Pagi Nad. Kamu bawa apa Nad?” tanya Jalal.
“Sarapanlah. Bang Bos lapar apa nggak? Ini aku belikan bubur ayam. Maklum, biasanya kan kalau orang sakit pasti makannya bubur, nah karena itu kita harus menghormatinya dengan ikut makan bubur juga.” Jawab Nadia asal.
“Akukan nggak sakit pencernaan Nad. Nggak ada hubungan juga kali sama makanan.” Protes Jodha.
“Aku nggak mau tau, pokoknya kalau sakit dan nginap dirumah sakit ya makanannya harus bubur. Kecuali kamu nginap di hotel, nah itu baru sarapannya nasi goreng spesial pake telor.” Ketiganya tertawa mendengar ucapan Nadia yang masih menyiapkan sarapan untuk mereka berempat. “Bang Bos mandi dulu sana sebelum makan. Itu keperluannya sudah disiapkan sama Bi Ijah.” Kata Nadia menunjuk tas yang mereka bawa tadi, “biar ketahuan yang mana pasien dan yang mana pengunjung.” Ucap Nadia sambil terkekeh. Jalal beranjak dari duduknya dengan mulut cemberut dan membuka tas untuk mengambil handuk dan pakaian ganti.
“Bawel.” Gerutunya sambil melangkah ke kamar mandi. Nadia hanya terkikik geli.
Selesai Jalal mandi, mereka berempat sarapan bareng. Nadia bersikeras untuk menyuapkan bubur kepada Jodha. Meskipun gadis itu berusaha untuk menolaknya.
“Mumpung aku baik hati Jo. Jarang-jarang loh aku bisa begini.” Puji Nadia kepada dirinya sendiri membuat Jalal berdecak. Sedangkan Mansingh dan Jodha hanya tertawa. Sepertinya energi Nadia untuk bicara tersedia banyak. Buktinya dia tidak pernah lelah untuk bicara. Kecuali ngantuk dan tidur pastinya.
“Kok kamu bisa suka sih Man, sama gadis bawel itu?” tanya Jalal kepada Mansingh yang sama-sama duduk di sofa menikmati sarapannya. Mansingh mengangkat bahunya.
“Justru karena aku bawel  Bang Bos, makanya dia suka sama aku.” Mansingh terkekeh mendengarnya. 
“Bawel gitu di suka. Kayak nggak ada yang lain aja.” Cibir Jalal membuat Nadia menoleh dan menatapnya dengan tajam.
“Heh Bang Bos, emang situ nggak nyadar apa kalau Bang Bos juga bawel. Tau nggak?”
“Masa? Nggak ngerasa tuh.” Sahut Jalal cuek sambil menikmati makanannya.
“Jelas aja nggak ngerasa, soalnya kan Bang Bos juga bawel. Kalau nggak bawel nggak mungkin menyahut segala omonganku. Bukankah kita berdua sama aja. Hahahaha...” balas Nadia tertawa puas. Jalal terdiam, dia melirik ke arah Mansingh yang sedari tadi senyum-senyum menikmati makanannya.
Sorry, bos. Aku nggak ikutan. Cukup kalian berdua aja. Aku sama Jodha biar jadi pendengar dan penonton saja.” Ucap Mansingh tertawa, dia berdiri membuang bekas bungkus bubur yang dimakannya ke tempat sampah.
Jodha kembali diperiksa keadaannya oleh dokter. Keadaannya sudah membaik, meski kadang-kadang masih terasa nyeri. Dia harus banyak beristirahat untuk memulihkan keadaannya. Ketiga orang itu masih setia menunggunya. Suasana tidak pernah sepi karena Nadia dan Jalal tidak pernah berhenti saling ledek. Sama-sama punya bahan untuk meledek.
Selepas tengah hari, Bayu datang menjenguk Jodha kembali. Kali ini dia datang bersama Todarmal.
“Bagaimana keadaanmu Jo?” tanya Todarmal, dia duduk di kursi yang ada di dekat ranjang. Sementara Bayu dan ketiga lainnya duduk di sofa.
“Baik Bang, sudah mulai kering. Cuma luka kecil aja kok.” Sahut Jodha tersenyum.
“Syukurlah, Abang kaget waktu di bilangin sama Abang Bayu kalau kamu di tembak orang. Rasanya Abang nggak percaya, siapa yang tega mencelakakan kamu.” Jodha menghela nafasnya.
“Entahlah Bang, aku juga nggak tau. Mungkin juga itu hanya preman iseng saja.”
“Iseng bagaimana?”
“Ya, mungkin itu hanya kebetulan saja Bang. Kebetulan juga kami ada disitu.” Todarmal menggeleng.
“Bukankah kamu bilang sempat merasa diikuti oleh orang?” Jodha mengangguk.
“Mungkin saja kamu memang sengaja diikuti oleh mereka.”
“Apa iya begitu Bang? Lagiankan kami nggak sengaja kesana, nggak ada rencana sama sekali mau kesana.” Tanya Jodha heran. Todarmal menoyor kening Jodha.
“Kamu ini. Masa nggak ngerti sih? Orang seperti Adam itu, anak buahnya dimana-mana Jo. Apalagi dia itu bandar judi, punya usaha diskotik dan klub malam, juga panti pijat plus-plus di berbagai kota. Apa kamu pikir dia tidak punya anak buah?” Jodha ternganga mendengarnya.
“Jadi begitu ya Bang? Pantas saja kalau begitu.” Jodha mengangguk-angguk, “mungkin bener itu anak buahnya Adam Bang, soalnya tadi malam itu yang mimpin para preman itu bilangnya kalau bosnya sangat kaya.”
“Nah, itu dia. Dia masih berstatus di curigai, bukan tersangka. Karena kita belum punya bukti.”
“Iya Bang. Tapi, apa untungnya buat dia membawaku Bang? Aku kan tidak punya apa-apa.” Keluh Jodha membuat Todarmal dan lainnya merasa gemas.
“Kamu ini Jo, polos apa bodoh?” Jodha terkekeh.
“Terserah Abang saja.” Todarmal menggeleng-gelengkan kepala.
“Nih ya, Abang kasih tahu.” Jodha mengangguk dan mendengarkan dengan serius, “kamu itu cantik yang merupakan sumber pemasukan buat dia. Selain untuk disewakan juga untuk dinikmati sendiri. Ngerti nggak?” Jodha semakin melongo mendengarnya.
“Pemasukkan buat dia? Disewakan? Dinikmati? Apaan tuh Bang maksudnya?” Todarmal menepuk dahinya. Bayu dan Mansingh hanya terkekeh mendengar ucapan Jodha. Astaga, untung  gadis itu tidak terjatuh di tangan yang salah. Kasihan sekali kalau itu terjadi.
“Begini ya, Jodha sayang...” kembali Jodha terkekeh mendengarnya, “yang Abang bilang pemasukan itu, kamu itu disuruh melayani para hidung belang, para tamu laki-laki berdompet tebal yang haus akan belaian wanita, dan uangnya dari kamu melayani para tamu itu mengalir ke tangannya Adam. Dan kalau untuk dinikmati sendiri itu artinya ketika kamu tidak sedang melayani tamu, kamu akan dipaksa melayani dia, si Adam itu.” Jodha mengangguk, “ngerti arti melayani disini?” tanya Todarmal ketika melihat Jodha mengangguk tanpa ekspresi takut sedikit pun.
“Seperti aku ngelayani Tuan Muda dan keluarganya gitu kan Bang?” sahut Jodha dengan polos. Todarmal menghembuskan nafas lelah. Nadia tertawa terbahak-bahak, dia sampai memegang perutnya saking kencangnya tertawa, Mansingh dan Bayu terkekeh, sementara Jalal hanya menggaruk-garuk kepalanya.
“Dasar oon.” Gumam Jalal.
“Bodoh! Dipaksa melayani itu artinya kamu diperkosa. Ngerti?” ucap Nadia disela-sela tertawanya. Jodha terkejut dan menutup mulutnya, dengan mata yang melebar dia menatap Todarmal yang mengangkat bahu melihatnya terkejut.
“Ja-jadi maksud Abang, kalau aku dibawa oleh Adam, nanti aku akan,....oh tidak!” ucap Jodha dengan pandangan tidak percaya.
“Sekarang kamu ngerti kenapa Adam ingin sekali membawamu bersamanya?” tanya Todarmal sekali lagi. Jodha mengangguk
“I-iya Bang.”
“Kamu tenang aja Jo, Abang dan Bang Bayu akan bantu kamu. Nanti malam Abang berdua akan menemui Adam. Ingin tahu apa yang dia inginkan. Dan juga ingin tahu seberapa besar hutang ayahmu kepadanya sampai dia begitu menginginkanmu.” Kata Todarmal.
“Tapi Bang, itu terlalu berbahaya buat Abang berdua. Aku tidak mau terjadi apa-apa nantinya.” Ucap Jodha dengan sedih. Dia tidak rela gara-gara dirinya dan ayahnya para sahabat dan keluarga angkatnya ikut terkena getahnya juga.
Todarmal menggenggam tangan Jodha, “kamu tenang saja Jo, kita kesana bukan untuk membuat keributan. Tetapi ingin menyelesaikan masalah. Kamu nggak usah khawatir ya.”
“Tapi Bang, tetap saja itu berbahaya.”
“Sudah. Tidak usah kamu pikirkan lagi. Abang akan baik-baik saja.”
“Baiklah Bang, tapi jangan sampai Papi sama Mami tahu masalah ini ya. Aku nggak enak.” Todarmal mengangguk.
“Oke. Abang janji.”
“Bang, boleh aku ikut?” tanya Jalal.
“Aku juga Bang?” sambung Mansingh. Bayu dan Todarmal saling pandang.
“Untuk apa kalian ikut? Disini saja. Nanti terjadi apa-apa sama kamu, Abang harus bagaimana nanti dengan Papa kamu?”
“Abang tenang aja kalau masalah itu. Siapa tahu nanti kami bisa bertemu dengan salah satu preman kemarin malam. Kan bisa jadi bukti Bang.” Bujuk Jalal. Bayu berpikir sejenak. Kemudian mengangguk.
“Baiklah kalau begitu. Tetapi jangan bertindak gegabah ya. Turuti segala perintah Abang.”
“Siap Bang.” Ucap merek berdua serentak. Jodha dan Nadia hanya memandangi mereka dengan tatapan khawatir dan was-was.
***
Malam harinya mereka berempat mendatangi sebuah klub malam yang di sinyalir merupakan tempat sang pemilik yaitu Adam berada. Bayu dan Todarmal sudah bersiap. Mereka berdua memasang jaket anti peluru yang tipis di balik pakaian yang dikenakan Jalal dan Mansingh. Begitu juga dengan mereka berdua untuk berjaga-jaga saja. Karena mereka tidak membawa senjata apapun. Hanya tangan kosong belaka.
Jalal dan Mansingh sedikit tegang. Karena ini adalah pengalaman pertama kali buat mereka. Meski mereka sudah terbiasa dengan yang namanya klub malam, namun yang ini masalahnya berbeda. Mereka menghadapi orang yang berkuasa dan jahat, bukan orang yang hanya mendatangi tempat itu untuk menghibur diri saja.
Di depan pintu masuk, Bayu berbicara dengan penjaga klub tersebut. Awalnya dia tersenyum ramah, namun ketika Bayu mengatakan maksudnya untuk mencari pemilik klub itu, mendadak wajahnya tegang.
“Kalian siapa?” tanya penjaga itu penuh selidik. Bayu tersenyum tenang.
“Kamu tidak perlu tahu siapa kami. Kamu hanya perlu memberitahukan kedatangan kami kepada bosmu. Bilang kami ada keperluan dengannya.” Jawab Bayu tenang namun mengintimidasi membuat penjaga itu mengangguk.
“Baiklah. Kalian tunggu disini. Aku akan mengabarkan kedatangan kalian. Kalau bos tidak berkenan menerima kalian, harap kalian segera pergi.”
“Baik. Kami terima.” Jawab Bayu.
Ketika penjaga itu akan masuk ke dalam klub, tiba-tiba ponselnya bergetar. Dia mengangkat dan berbicara sebentar. Setelah menutup pembicaraannya, dia segera mengajak Bayu cs untuk mengikuti langkahnya.
“Bos mau menerima kalian. Silakan ikut saya.” Ajaknya. Bayu mengangguk, dia memberi isyarat kepada mereka bertiga untuk mengikutinya.
Mereka berempat berjalan mengikuti penjaga yang akan mengantarkan mereka menemui sang bos besar. Ruangan yang dilewati penuh sesak oleh orang-orang yang berjoget tidak karuan mengikuti irama musik yang menghentak dan keras. Belum lagi orang-orang yang berciuman tanpa rasa malu. Asap rokok sudah seperti jaring laba-laba saja yang menghiasi tempat remang-remang itu, ditambah bau alkohol membuat ruangan itu begitu memuakkan. Jalal dan Mansingh yang dulu sering berada di tempat itu, tiba-tiba saja menjadi jijik.
Jalal yang berjalan paling belakang, melangkah dengan sesekali melihat keadaan disekitarnya. Dia bertekad untuk mencari bukti kalau yang menembak Inemnya itu adalah anak buahnya Adam. Tanpa sadar dia melirik ke arah sudut meja bar, di samping seorang bartender yang sedang sibuk melayani tamu dia melihat seseorang yang kebetulan juga orang itu melihatnya. Awalnya mereka berdua hanya saling pandang, tetapi ketika seperti sudah mengingat sesuatu, orang itu langsung pergi dan menghilang di antara banyaknya ruangan. Jalal merasa familiar dengan wajah seseorang itu, dia berjalan sambil mengingat-ingat.
Ah iya, Jalal menepuk dahinya. Bukankah itu orang yang memimpin preman tadi malam. Seorang laki-laki berbadan ceking dan tidak pantas disebut sebagai preman.
Mereka berempat dibawa menuju lift yang menghubungkan dengan lantai paling atas. Di dalam liftt tidak ada yang berbicara sedikitpun. Semua terlihat tenang. Meski terlihat tenang, namun aura penuh ketegangan sangat berasa.
Ting.
Pintu lift terbuka, penjaga itu melangkah menuju sebuah pintu sebelah kanan. Karena hanya terdapat dua buah pintu di tempat itu. Dengan mengetuk pintu perlahan, penjaga itu mempersilakan Bayu cs untuk masuk.
Begitu masuk, mereka dihadapkan dengan sebuah ruangan yang besar, lengkap dengan satu set sofa tamu yang menghadap ke meja kerja dimana sang pemilik sedang duduk dengan angkuhnya di kursi kebesarannya. Seorang laki-laki bertubuh tinggi besar, dengan wajah yang terlihat kejam, alis tebal dan bibir yang selalu tersenyum menyeringai. Dikanan kirinya diapit oleh seorang wanita muda yang berpakaian seksi dan memakai make up lumayan tebal dengan lipstik merah menyala.
Sang bos mempersilakan Bayu cs untuk duduk di sofa, sementara  dia tidak beranjak dari tempat duduknya.
“Ada perlu apa mencariku, hm?” tanyanya dengan tangan yang tidak bisa diam menggerayangi tubuh wanita disebelahnya.
“Maaf kalau kami mengganggu ketenangan Anda.” Sahut Bayu dengan sopan.
“Hm...”
“Kami hanya ingin tahu mengenai Pak Bharmal.” Mendengar nama itu, Adam menegakkan tubuhnya dan melepaskan tangannya dari tubuh gadis di sebelahnya. Dia menyuruh mereka untuk keluar. Dengan patuh mereka berdua menuruti perintah bosnya.
Ada hubungan apa kalian dengan orang tua itu? Dan kenapa kalian menanyakan itu kepadaku?” tanya Adam dengan congkak. Rupanya dia tidak mengenali Jalal dan Mansingh. Mungkin karena ketika itu mereka bertemu pada malam hari, membuat Adam tidak begitu mengenalinya dengan jelas.
“Kami tidak ada hubungan apa-apa dengannya. Kami hanya ingin mengetahui seberapa besar tanggungan beliau kepada Anda?” ucap Bayu dengan tenang, sementara mereka bertiga hanya diam. Adam tertawa.
“Tidak ada hubungan apa-apa tapi ingin tahu seberapa besar hutangnya kepadaku. Lalu apa untungnya buat kalian mengetahui hal itu, kalau dia bukan orang yang berarti buat kalian?” tanya Adam dengan pandangan curiga.
“Kami hanya ingin membantunya saja.”
“Membantunya? Apa dia datang kepada kalian dan minta tolong untuk membantunya?” Bayu menggeleng.
“Tidak sama sekali. Kami bahkan tidak tahu dimana beliau sekarang berada.” Kembali Adam tertawa.
“Oh, atau putrinya yang cantik itu meminta tolong kepada kalian?”
“Sudah aku bilang itu tidak ada hubungannya.” Ucap Bayu sedikit emosi.
“Well, well. Aku tidak tahu apa motif kalian menanyakan hal itu kepadaku.” Ucap Adam tersenyum menyeringai, “tapi baiklah, akan aku katakan. Dengar baik-baik, hutangnya Si Tua Bharmal itu sebesar 600 juta beserta bunga-bunganya.” Jawab Adam dengan enteng.
“Apa?”


===tbc===

Tidak ada komentar:

Posting Komentar