PART. 17 (TEKAD)
Hai, nih Inem datang lagi. Semoga
bisa mengobati kangennya ya. Maaf kalau banyak typo, soalnya tidak sempat di
edit terlalu banyak. Keburu dah janji mau di posting. Hehehe...
“Aarrgghhh...” jerit Jodha tertahan memegang
bahu kirinya yang kesakitan. Dia jatuh berlutut
dengan satu kaki. Wajahnya meringis. Jalal, Nadia, Mansingh yang terkejut
melihat kejadian yang sekejap mata itu terjadi langsung berlari menghampiri
Jodha. Bahkan Nadia langsung membuang kotak popcornnya dan meloncat menghampiri
Jodha dengan tidak sabar.
“Nem...”
panggil Jalal dengan panik, “ka-kamu kenapa? Astaga, Ka-kamu berdarah Nem.”
Kata Jalal melihat darah merembes di sela-sela jari tangannya yang memegang
bahu. Wajahnya meringis kesakitan, membuat Jalal tidak tega melihatnya. Dia
segera merangkul pinggal gadis itu dan membantunya berdiri.
“Jo, kamu di
tembak. Kurang ajar mereka.” Umpat Nadia.
“Stt, sudah
Beb. Kita bawa Jodha kerumah sakit secepatnya.” Kata Mansingh menenangkan Nadia
yang emosi. Nadia mengangguk. Dia segera berlari menuju jeep Jalal, karena
memang awal datangnya dia juga yang mengemudi. Dengan cepat dia membawakan jeep
tersebut ketempat ketiga orang tersebut berada.
“Ayo naik.”
Teriaknya dari balik kemudi.
“Ayo Nem,
kita kerumah sakit sekarang.” Ucap Jalal dengan suara bergetar. Dengan wajah
meringis Jodha bangkit, dibantu Jalal yang menggandeng pinggang
dan bahu kanannya, karena tangan kanan Jodha membekap lukanya. Dengan tertatih-tatih Jodha berjalan menuju
jeep itu yang pintunya sudah dibukakan oleh Mansingh. Sementara orang-orang
mulai banyak berkerumun akibat mendengar suara tembakan tadi.
“Tolong
minggir, beri kami jalan. Teman kami harus segera dibawa kerumah sakit.” Bentak
Nadia kepada orang-orang yang menghampiri jeepnya untuk melihat keadaan Jodha
yang sudah dalam pelukan Jalal. Dengan perlahan kerumunan orang-orang itu pun
membubarkan diri. Mansingh naik dan duduk di kursi penumpang disamping Nadia,
“pasang seat belt dengan kencang Bang. Kita harus segera sampai nih.”
Perintahnya kepada Jalal dan Mansingh. Kedua orang tersebut menuruti perkataan
Nadia. Bahkan Jalal memasangkan seat belt itu kepada Jodha yang masih diam
meringis kesakitan.
“Bertahan
sebentar sayang, sebentar lagi lukamu akan di obati.” Ucap Jalal tanpa sadar
memanggil Jodha dengan panggilan sayang, karena memang dia panik tidak tahu
harus berbuat apa kecuali memeluk tubuh Jodha.
Jodha
tersenyum tipis di sela wajah kesakitannya, “saya tidak apa-apa Tuan, nggak
usah terlalu panik gitu.” Ucap Jodha pelan, berusaha menenangkan tuan mudanya.
“Tidak
apa-apa bagaimana? bahumu luka dan peluru itu masih di dalam kamu masih bisa
bilang tidak apa-apa, heh?” bentak Jalal tanpa sadar sambil memasangkan seat
belt untuk Jodha, dan gadis itu hanya diam saja. Dia mengerti kepanikan tuan
mudanya. Keringat dingin membasahi dahinya, Jodha hanya bisa tersenyum dalam
hati. Yang sakit siapa yang panik siapa?
“Sudah
Bang?” Nadia menoleh kebelakang. Jalal mengangguk.
“Sudah Nad.”
“Oke. Let’s
go.” Ucap Nadia menginjak pedal gas dengan kencang, sampai ketiga orang
tersebut tersentak karena dia langsung tancap gas.
“Hati-hati
Beb.” Kata Mansingh dengan wajah tegang karena Nadia menjalankan jeep itu
dengan kecepatan tinggi. Sesekali dia menekan klakson tanpa mengurangi
kecepatannya.
“Oke, tenang
saja. Serahkan saja kepadaku Bang.” Sahut Nadia dengan pandangannya fokus ke
depan. Bahkan, ketika lampu kuning sudah menyala dia tidak mengurangi
kecepatannya. Dengan berkali-kali menekan klakson panjang dia menyuruh
kendaraan lain minggir dengan sendirinya. Untunglah, hari sudah malam sehingga
kendaraan yang berada di jalan raya itu sudah banyak berkurang.
Mansingh
sampai memejamkan matanya merasa ngeri dengan kecepatan mobil yang dibawa Nadia
yang seperti orang kesurupan saja. Gila, gadis kecil itu memang benar-benar
gila. Dia membawa jeep itu seperti tidak ada orang lain lagi dijalan raya.
“Beb, itu
lampu merah kenapa diterobos aja? Nanti kalau ditilang gimana?” tanya Mansingh
lagi. Nadia tersenyum tipis.
“Halah,
gampang. Nanti di urus sama Abang.” Jawabnya enteng tanpa mengalihkan
pandangannya. Mansingh hanya bisa menggeleng.
Sementara di
kursi belakang, Jalal masih memeluk Jodha yang kini bersandar di dadanya. Dia
nampak lemas karena darah masih terus mengalir. Tangannya terasa dingin.
“Nad, kok
lama sekali sih sampainya?” tanya Jalal dengan nada tidak sabar.
“Sabar Bang
Bos, bentar lagi sampai.” Ucap Nadia mempercepat laju jeepnya.
Tidak sampai
lima menit kemudian, jeep itu menerobos memasuki pintu gerbang sebuah rumah
sakit. Tanpa mengurangi kecepatannya, Nadia terus membawa jeep itu melewati
daerah parkir dan berhenti mendadak persis di depan pintu masuk rumah sakit.
“Kenapa
Bang?” tanya Nadia ketika melihat ekpresi Mansingh seperti orang ingin muntah.
“Gila kamu
Beb, kepalaku pusing jadinya.” Kata Mansingh memijat pelipisnya. Nadia
tersenyum tipis.
“Sekalian
aja periksa di dalam Bang.” Jawabnya singkat. Dia turun, dan membuka pintu jeep
untuk Jodha dan Jalal.
Setelah
membuka seat beltnya dan Jodha, Jalal turun lewat pintu disamping dan mengitari
belakang jeep untuk menuntun Jodha turun dari mobil itu. Dengan wajah meringis
tanpa suara, Jodha perlahan turun dengan dipapah oleh tuan mudanya dan Nadia di
sampingnya. Sementara Mansingh yang belum beranjak dari kursinya, perlahan
pindah ke kursi kemudi untuk memarkirkan jeep tersebut di tempat parkir.
Baru
beberapa langkah mereka berjalan, tiba-tiba tubuh Jodha melemas dan dia hampir
saja terjatuh kalau saja Jalal tidak cepat menangkapnya.
“Nem, Nem.
Kamu kenapa?” tanya Jalal dengan panik sambil menepuk-nepuk pipi Jodha yang
matanya terpejam lemah.
“Bang, bawa masuk saja biar cepat ditangani dokter.”
Katanya Nadia yang terlihat khawatir melihat keadaan Jodha. Jalal mengangguk.
Tanpa banyak bicara lagi, Jalal membopong tubuh Jodha dan setengah berlari dia
membawa gadis itu masuk.
“Dokter,
dokter, tolong dia dokter.” Pinta Jalal kepada petugas recepsionis yang sedang
berjaga.
“Dia kenapa
Mas?” tanya petugas recepsionis tersebut.
“Dia, dia
ditembak. Tolong selamatkan dia. Please!”
“Iya Mas,
tenang. Akan segera ditangani.” Jalal mengangguk.
“Cepatlah,
tolong.” Pinta Jalal panik.
Dengan
segera petugas rumah sakit itu meminta kepada perawat yang lain untuk
membawakan brankar untuk Jodha. Perlahan Jalal membaringkan Jodha yang lemah di
atas brankar.
Dengan
setengah berlari mereka segera membawa Jodha ke UGD diikuti oleh Jalal dan
Nadia. Setibanya di ruang UGD, Jodha disambut oleh dokter jaga dan para perawat
yang bertugas. Dengan sigap mereka segera memasang infus, oxygen, dan memeriksa
keadaan Jodha yang masih setengah pingsan itu. Karena peluru yang bersarang di
bahu Jodha tidak terlalu membahayakan organ vital lainnya, maka di putuskan
untuk melakukan operasi pengangkatan peluru itu di ruangan itu saja.
Perawat juga
memasang kantong darah untuk Jodha, karena gadis itu kehilangan banyak darah.
Sebenarnya Jodha masih sadar, hanya saja dia terlalu lemah untuk bicara dan
membuka matanya. Bahkan ketika tuan mudanya panik memanggil dokter, dia juga
mendengarnya. Namun dia tidak bisa berbuat apa-apa.
Tidak lama
kemudian, dokter yang akan melakukan operasi kecil itu pun datang. Mereka
segera menyiapkan segala keperluannya dan menyuruh Jalal dan Nadia menunggu
menunggu di luar.
Dengan
terpaksa Jalal menuruti perintah itu. Dia menunggu di dekat pintu dengan tidak
sabar.
“Bang Bos,”
panggil Nadia. Jalal menatap Nadia yang sedari tadi memandangnya.
“Ya,”
“Ta-tanganmu.”
Tunjuk Nadia ke arah tangan Jalal.
Jalal
mengangkat kedua tangannya dan melihat tangannya yang terkena darah Jodha
nampak gemetar dan dia baru sadar akan hal itu. Bahkan bajunya juga terkena
darah.
“Bersihin
dulu gih. Sekalian cuci mukanya itu.” Jalal mengangguk tanpa menjawab dan pergi
meninggalkan Nadia yang masih berdiri mematung menghadap pintu UGD. Tangan
kirinya mendekap perutnya, sedangkan siku tangan kanannya ditumpu diatas
punggung tangan kirinya. Nadia mengigit kuku jari tangannya dengan pandangan
yang tidak bergerak dari pintu UGD.
Sebuah
sentuhan diatas bahunya, yang menyadarkannya dari lamunan. Dia menoleh, Mansingh tersenyum kepadanya. Tangannya
merengkuh bahu Nadia dan menyandarkannya di dadanya. Nadia menurut. Barulah
Mansingh merasa kalau tubuh gadis itu gemetar, namun dia masih diam.
“Tenanglah
Beb, Jodha pasti tidak apa-apa. Nggak usah khawatir ya.” Hibur Mansingh
mengusap-usap punggung Nadia. Gadis itu masih diam, namun tubuhnya masih
gemetar. “sudah, kalau mau nangis, nangis aja. Keluarkan aja Beb. Jangan
ditahan.”
Akhirnya,
pertahanan Nadia pun jebol. Dia menangis terisak-isak di dada Mansingh. Lelaki
itu memeluknya dan mencium pucuk kepalanya berkali-kali.
“A-aku takut
Bang, di-dia berdarah sampai pingsan.” Ucal Nadia disela-sela isakannya.
Kembali Mansingh mencium kepalanya.
“Sttt,
tenang aja Beb, nggak akan terjadi apa-apa. Percaya sama Abang ya.” Nadia
mengangguk, dia masih terisak-isak.
Sementara
Jalal yang sudah selesai membersihkan dirinya dari noda darah Jodha, meski
tidak bisa hilang semuanya, datang mendekati mereka berdua yang masih
berpelukan. Namun Jalal hanya diam saja memandangi pintu UGD.
Mansingh
memperhatikan sahabatnya yang hanya diam, namun dia tahu kalau Jalal tegang.
Dan sekarang, kedua orang yang ia sayangi ini begitu tegang dan khawatir. Bukan
Mansingh tidak khawatir dengan Jodha, tetapi melihat Nadia dan Jalal seperti
itu membuatnya mau tidak mau harus fokus kepada mereka berdua.
Kini Nadia
sudah mulai tenang, namun Mansingh masih memeluknya dan sepertinya Nadia juga
tidak berusaha melepaskan diri. Bukan ingin mencari kesempatan, tetapi melihat
gadis cerianya itu menangis membuat dia tidak tega. Mansingh ingin memberikan
rasa nyaman pada gadisnya.
“Bos.” Panggil Mansingh. Jalal menoleh, “apa
tidak sebaiknya Bos menghubungi orang tua Bos. Takut mereka khawatir.” Jalal
mengangguk. Dia mengeluarkan ponselnya dari saku celananya dan menelpon orang
tuanya.
“Beb, kamu
nggak bilang sama keluargmu juga?” Nadia diam, “kasih tau gih,” sesaat kemudian
dia mengangguk. Nadia mengeluarkan ponsel dari saku celana jeansnya dan
menghubungi abangnya, Bayu.
Setelah
selesai menelpon abangnya, Nadia tidak sengaja melirik Mansing yang menatapnya
sambil tersenyum tipis.
“Apa?”
tanyanya dengan ketus. Mansingh menggeleng, senyumnya semakin lebar.
“Nggak kok
Beb, aku cuma ingat yang tadi aja.” Sahut Mansingh sambil bersidekap, tetapi senyumnya
masih terukir di bibirnya.
“Yang tadi
apa?”
“Masa sudah
lupa?”
“Yang mana?
Ih, Abang nggak usah berbelit-belit deh ngomongnya.” Mansingh terkekeh.
“Itu tadi
pas nangis.” Ucap Mansingh sambil menunjuk mata Nadia yang terlihat sembab.
Nadia melengos. Pipinya mengeluarkan semburat kemerahan, “sini ulang lagi,
nggak apa-apa kok. Dada Abang emang buat kamu.” Goda Mansingh menepuk dadanya,
membuat Nadia menatapnya dengan tajam.
“Jangan
mimpi.” Desisnya.
“Yah, kok
gitu sih Beb. Kan Abang cuma pengen bikin Baby nyaman aja sama Abang. Masa
nggak boleh sih?” kembali Mansingh menggodanya.
“Nggak usah
lebay deh, Bang. Ini rumah sakit loh, kasihan tuh Bang Bos nungguin Jodha.”
Kata Nadia menunjuk Jalal yang duduk di kursi tunggu setelah selesai menghubungi
orang tuanya. Dia hanya duduk terdiam, tangannya masih memegang ponselnya namun
pandangannya tidak pernah lepas dari pintu UGD.
Mansingh
menghela nafas dan berjalan menghampiri sahabatnya, di ikuti Nadia. Mereka
berdua duduk disamping Jalal.
“Aku tahu,
Jodha pasti kuat. Bos tenang aja.” Ucap Mansingh menepuk bahu Jalal. Jalal
tersenyum tipis.
“Makasih
Man,” Mansingh mengangguk.
Mereka
bertiga duduk berjejer menunggu pintu UGD terbuka dalam diam. Nadia kembali
menyandarkan kepalanya di bahu Mansingh. Pemuda itu menoleh dan tersenyum,
melihat gadisnya kembali menyandarkan kepala di bahunya, dengan memejamkan
matanya.
“Ngantuk
Beb?” Nadia menggeleng.
“Pengen
nyandar aja. Gratiskan?” Mansingh terkekeh.
“Nggak.
Kusewakan seumur hidup untukmu.” Nadia mencebikkan bibirnya.
“Terus
bayarnya?”
“Dengan
cintamu.” Nadia tersenyum mengejek.
“Kayaknya
ada yang perlu dioperasi juga nih.” Mansingh terkekeh.
“Oh ya?
Siapa?” tanyanya pura-pura tidak tahu.
“Ini.” Jawab
Nadia menepuk paha Mansingh, “ngerayu nggak kenal tempat. Orang lagi tegang
malah ngerayu.”
“Bukan
begitu Beb, justru karena itu paling nggak kan sedikit mengurangi ketegangan.”
Nadia diam namun bibirnya tersenyum dengan mata yang terus terpejam.
Tiba-tiba
muncul Bayu dengan nafas terengah-engah seorang diri karena begitu mendapatkan
telpon dari Nadia, dia langsung berangkat dengan tergesa-gesa. Dia menghampiri
mereka bertiga yang masih tidak menyadari kedatangannya.
“Apa yang
terjadi? Bagaimana keadaannya Jodha?” ketiganya mendongak melihat kearah Bayu.
“Abang.”
Nadia segera bangkit dan menghambur kepelukan abangnya, “Jodha Bang. Di-dia
ditembak.” Wajah Bayu mengeras.
“Kamu tahu
siapa yang melakukan itu?” Nadia menggeleng.
“Nggak tahu
Bang. Tapi mereka seperti preman gitu.” Bayu menghela nafas, berusaha mengontrol
emosinya.
“Ya sudah,
kita pikirkan keadaan Jodha dulu ya.” Nadia mengangguk, “sekarang bagaimana
keadaannya?”
“Masih belum
keluar Bang.” Jawab Jalal lesu. Bayu menepuk bahu Jalal.
“Kamu tenang
saja Jalal, Jodha itu gadis yang kuat. Dia pasti bisa melewati semua itu. Bukan
sekali ini saja dia mengalami hal seperti ini.” Hibur Bayu. Jalal mengangguk
dan tersenyum tipis.
“Iya Bang.
Makasih.” Bayu tersenyum.
Mereka
berempat duduk kembali di kursi tunggu. Kini Nadia bergayut manja di lengan
abangnya. Mansingh melihat mereka dengan sedikit iri. Nadia meleletkan lidahnya
ke arah Mansingh yang terus menatapnya dengan wajah ditekuk. Dia senang melihat
ekspresi pemuda itu.
Entah Nadia
menyadari atau tidak, kedekatan mereka malam ini membuatnya sedikit merasa
nyaman. Sedikit sih. Tapi, membayangkan yang sedikit itu juga membuat Nadia
tersipu. Ya ampun, disaat seperti ini masih sempat-sempatnya dia tersipu, tapi
bagaimana lagi lelaki itu benar-benar tidak peduli atas segala sikap dan
kata-katanya yang kasar.
Sikap
Mansingh yang dewasa membuat Nadia merasa nyaman. Dia sadar, tak selamanya dia
bisa bermanja dengan abangnya karena istri dan anaknya akan lebih berhak atas
abangnya. Apa sekarang saatnya untuknya berpindah haluan. Sepertinya juga Mansingh sangat mengerti akan dirinya.
Lamunan
Nadia terhenti ketika melihat pintu ruangan UGD terbuka. Mereka segera
menghambur menghampiri dokter yang melakukan operasi kecil tadi.
“Bagaimana
keadaan adik saya, Dok?” tanya Bayu dengan tidak sabar. Dokter itu tersenyum.
“Tidak
apa-apa. Pelurunya sudah bisa di angkat. Tinggal menunggu dia sadar dari
pengaruh biusnya saja, sekarang bisa dibawa ke ruang perawatan. Silakan anda
mengurus administrasinya. Permisi.” Ucap dokter tersebut.
“Baik dok.
Terima kasih.” Ucap Bayu dengan lega. Dokter itu tersenyum dan mengangguk. Dia
pun segera berlalu meninggalkan mereka berempat.
Jalal, Man,
dan Nadia menarik nafas lega. Terlebih Jalal yang sejak tadi diam saja karena
terlalu khawatir dengan keselamatan Inemnya.
“Terima
kasih Tuhan,” bisiknya dalam hati.
Brankar yang
membawa Jodha pun keluar dari tempat itu menuju ruang perawatan. Jalal, Man,
dan Nadia mengikuti perawat yang mendorong brankar itu, sedangkan Bayu
memisahkan diri untuk mengurus administrasinya.
Setibanya di
ruang inap, Jodha segera dipindahkan dengan hati-hati oleh perawat yang
membawanya, dan dibantu oleh Jalal. Kedua perawat itu dengan cekatan mengatur
tempat tidur untuk Jodha, mengatur infus dan keperluan Jodha lainnya.
Setelah
kedua perawat itu keluar, Jalal segera duduk di kursi dekat ranjang Jodha.
Sementara Nadia dan Mansingh hanya berdiri disisi ranjang yang lain.
Jalal
menggenggam erat tangan Jodha yang masih tertidur pulas. Meski dia sudah tidak
panik lagi, tetapi ketika melihat Jodha belum sadar juga dia masih terlihat
belum tenang.
Pintu kamar
terbuka, terlihat Bu Hamidah dan Pak Humayun masuk. Wajah mereka nampak
khawatir sekali. Jalal segera berdiri.
“Jalal, apa
yang terjadi? Jodha kenapa? Kok bisa sampai seperti ini sih sayang?” tanya Bu
Hamidah beruntun. Dia memegang tangan Jodha yang masih belum sadar itu.
Pak Humayun
memegang bahu istrinya. “sudah Ma, tenang dulu. Biar Jalal cerita dulu.” Bu
Hamidah menghembuskan nafas panjang. Dia mengangguk. Jalal mengajak kedua orang
tuanya, Man, dan Nadia duduk di sofa, membiarkan Jodha terbaring sendiri di
ranjang.
Baru saja
mereka duduk, pintu di ketuk dan Bayu masuk. Dia sempat kaget melihat kedua
orang tua Jalal berada disitu.
“Loh, Om,
Tante, ada disini juga ya?”
“Iya Bay,
kami terkejut mendengar Jodha di tembak. Memangnya ada masalah apa sampai Jodha
ditembak? Ini sengaja atau salah sasaran?” tanya Pak Humayun.
“Saya belum
berani menyimpulkannya dulu, Om. Karena kronologis kejadiannya saya juga belum
tahu. Tapi saya janji akan mengusut kejadian ini, baik ini sengaja ataupun
tidak sengaja.” Pak Humayun mengangguk.
“Om setuju
Bay, sengaja atau tidak semua harus ada pertanggungjawabannya. Biar tidak
seenaknya saja nanti.”
“Iya Om.
Saya setuju.” Sahut Bayu, kini dia berpaling ke arah Jalal, “Jalal, kamu bisa
ceritakan kejadian yang menimpa Jodha tadi?” Jalal mengangguk.
“Iya Bang,” Jalal
segera menceritakan semuanya, dari mereka diikuti sampai Jodha terluka.
Sesekali Man dan Nadia ikut memberikan keterangan. Bayu menyimak keterangan mereka dengan
serius, begitu pula dengan Pak Humayun.
“Apa ini ada
hubungannya dengan Ayahnya Jodha, Bang?” tanya Jalal lagi. Bayu nampak
berpikir.
“Abang tidak
bisa memastikan itu Jalal, mungkin saja. Tetapi kita tidak bisa menuduh
sembarangan. Harus ada bukti yang akurat.”
“Masalahnya
Bang, mereka cuma ingin membawa Jodha saja untuk menemui bosnya. Dan dulu juga
pernah Jodha berkelahi dengan bosnya itu.” Ucap Jalal. Mansingh mengangguk.
“Iya Bang,
aku baru ingat. Dulu Jalal juga pernah dihajar sama Bosnya itu sampai babak
belur.” Terang Mansingh. Bu Hamidah melebarkan matanya ke arah Jalal.
“Jadi anak
mama yang dulu habis berkelahi itu sama bos yang itu? kalah?” Jalal tertunduk
malu, “dan Jodha yang berhasil menghajarnya?” Jalal dan Man mengangguk, “ck.
Masa perempuan yang melindungi laki-laki sih? Kebalik banget.” Kata Bu Hamidah
seperti menyesal. Membuat Jalal semakin malu dan merasa bersalah.
“Tadi juga
gitu Tan, Bang Bos Cuma jadi penonton aja waktu Jodha sendirian menghajar
preman-preman itu.” Celetuk Nadia, membuat Jalal mendelik ke arahnya. Nadia
hanya tersenyum mengejek.
“Apa? Lagi?”
seru Bu Hamidah seperti tidak percaya.
“Maaf Ma.”
Ucap Jalal dengan tertunduk.
“Sudah.
Tidak apa-apa Jalal. Tidak ada kata terlambat kalau ingin memperbaikinya. Kamu
masih punya banyak kesempatan.” Hibur Bayu, dia merasa kasihan melihat Jalal
yang merasa bersalah itu.
“Maksud
Abang?”
“Ya, kalian
berdua bisa berlatih bersama-sama. Nanti Nadia bisa juga membimbing kamu.”
Jalal langsung menoleh ke arah Nadia yang sudah tersenyum miring kepadanya.
Entah mengapa Jalal merasa kalau senyum gadis itu terlihat menyeramkan. Jalal
menggidik ngeri melihatnya.
“Sama Nadia
Bang?” Bayu mengangguk, “nggak salah?”
“Kenapa?”
“Kenapa
bukan Abang saja yang melatihku?” Bayu tersenyum.
“Memang
Abang yang akan melatihmu, tetapi Abang tidak bisa setiap waktu. Paling bisa
seminggu sekali disaat Abang libur saja. Kalau Nadia, dia bisa setiap saat
selepas pulang kuliah.”
“Baiklah
Bang kalau gitu.” Sahut Jalal pasrah.
“Kenapa sih
Bang Bos nggak mau aku yang melatih? Sentimen amat sih. Padahal aku kurang apa
coba? Udah cantik, seksi, manis, pintar, imut. Atau...” Nadia menunjuk ke arah
Jalal, “jangan bilang kalau Bang Bos nggak bisa fokus latihan karena melihat
keseksianku?” tanya Nadia dengan percaya dirinya. Mansingh dan yang lain
terkekeh mendengar ucapan Nadia, hanya Jalal yang merasa kesal.
“Kurang
ramah.” Sahut Jalal, “lagian kamu itu nggak ada seksi-seksinya. Badan kayak
anak kecil gitu. Apanya yang seksi?” ejek Jalal.
“Apa Bang
Bos bilang?” tanya Nadia menjadi kesal. Dia berniat bangkit dan menghampiri
Jalal, namun tangannya di cekal Mansingh.
“Sudah Beb,
nggak usah didengar.” Nadia kembali duduk dengan wajah kesal. Jalal terkekeh
puas melihatnya.
“Sudah,
sudah. Nggak usah dengarin Jalal, Nad.” Lerai papanya Jalal.
“Iya Om.”
Sahut Nadia dengan wajah cemberut.
Mereka terus
berbincang sambil menunggu Jodha sadar. Membicarakan kemungkinan-kemungkinan
yang terjadi, sebagai penyebab penembakan dan pengeroyokan terhadap Jodha.
Sementara
itu, Jodha mulai terbangun dari tidurnya. Dia membuka matanya pelan-pelan
karena silau oleh sinar lampu. Lamat-lamat dia mendengar suara orang sedang
ngobrol. Dia mengingat-ingat dimana dirinya sekarang berada. Yah, terakhir yang
di ingat adalah ketika berada di UGD. Jodha meraba bahunya yang luka terkena
tembakan. Tidak terasa sakit namun dibalut dengan perban. Mungkin pengaruh
obatnya belum hilang, pikirnya.
Jodha
mengamati ruangan tempatnya berada, tidak salah lagi ini ruang inap rumah
sakit. Bathinnya berbisik. Dia menoleh ke arah suara orang yang sedang
berbincang. Sedikit menyipitkan matanya melihat siapa yang berada disitu.
Nampak majikannya berkumpul semua, Bayu, Nadia, dan juga Mansingh.
Jalal yang
sesekali melihat ke arah Jodha tersentak, ketika pandangannya beradu dengan
gadis itu menoleh ke arah dimana mereka berada.
“Jodha sudah
sadar.” Katanya dengan gembira beranjak dari tempat duduknya dan menghampiri
Jodha. Yang lain mengikutinya, “Nem, kamu sudah sadar.” Ucap Jalal menggenggam
tangan Jodha dan mengecup keningnya. Dia lupa kalau kedua orang tuanya berada
ditempat itu sedang memperhatikan dirinya. Pak Humayun dan Bu Hamidah saling
pandang, namun Bu Hamidah tersenyum dan mengangkat bahu melihat suaminya yang
sedikit heran dengan tingkah laku anaknya.
“I-iya Tuan.
Saya sudah sadar.” Sahut Jodha dengan kikuk, dia merasa tidak enak dan risih
dengan perlakuan tuan mudanya, disaat kedua orang tuanya berada disitu. “i-ibu
sama bapak juga ada disini?” Bu Hamidah tersenyum. Dia menghampiri dan duduk di
pinggir ranjang dekat kepala Jodha. Tangannya mengelus lembut rambut Jodha.
“Iya Jo,
Bapak sama Ibu langsung kemari ketika di kasih tahu sama Jalal kalau kamu
sedang berada dirumah sakit. Ibu sangat khawatir sekali. Takut kamu
kenapa-kenapa.” Sahut Bu Hamidah sambil tersenyum.
“Maafkan
saya Bu, sudah membuat Bapak sama Ibu khawatir. Saya tidak apa-apa kok.”
“Apanya yang
tidak apa-apa? Kalau terlambat ditangani kamu bisa mati tau.” Kata Bu Hamidah
pura-pura marah. Jodha terkekeh pelan.
“Tapikan
nyatanya saya masih bisa tertawa nih Bu.”
“Kamu itu
ya, disaat seperti ini masih bisa tertawa.” Ucap Bu Hamidah masih mengelus
rambut Jodha.
“Saya jadi
ngerepotin semuanya Bu.”
“Tidak ada
yang merasa direpotkan kok sayang, Ibu malah senang direpotin sama kamu.” Ah,
Jodha jadi malu sendiri. Ternyata mama dan anak sama saja. Sama-sama pintar
menggombal. Sekarang Jodha jadi tahu dari siapa mulut manis tuan mudanya
menurun. Karena Pak Humayun bukan orang yang suka banyak bicara, dia hanya
berkata seperlunya saja. Tentu saja tuan mudanya tidak menurun sifat itu.
“Iya Bu.
Makasih banyak ya.”
“Sama-sama
Jo, cepat sehat ya. Rumah sepi nggak ada kamu.” Jodha tersenyum.
“Kan ada
tuan muda Bu, sama sajakan?” sahut Jodha yang melirik sekilas ke arah Jalal
yang cemberut mendengar ucapannya.
“Kamu ini,
kayak nggak tahu aja. Kalau kamu nggak ada dirumah, Ibu jamin dia juga nggak
bakalan ada dirumah.” Ucap Bu Hamidah tepat kena sasaran, membuat mereka
menjadi tersipu bersamaan.
“Cieee, Bang
Bos mukanya merah. Malu yee ketahuan?” Ledek Nadia menunjuk ke arah wajah Jalal
yang memerah itu, “atau Bang Bos lagi demam? Biar sekalian di infus bareng
Jodha. Hahahaha...” jalal mendengus.
“Siapa yang
malu? Lagian kenapa harus malu? Aku nggak salah kok.” Kata Jalal membela diri,
padahal kentara sekali kalau dia sedang malu, namun gengsi untuk mengakuinya.
“Aish, masih
saja ngeles. Yaaa..., baiklah. Kalau gitu Bang Bos pulang aja, biar Jodha aku
saja yang jaga. Besok saja balik kesini lagi. Gimana?” pancing Nadia.
“Enak saja!
Kamu itu yang pulang sana.” Sahut Jalal dengan cepat, membuat Nadia terkekeh.
Sementara yang lain hanya menggelengkan kepala melihat tingkah mereka berdua.
“Gitu masih
nggak mau ngaku. Ya sudahlah...” gumam Nadia, dia mendekati Jodha dan memegang
tangan Jodha, “Ayang Jodha, Ayang Bang Bos mau pulang dulu, mau bobok dulu, mau
minum susu dulu, biar cepat gede dan pintar. Nanti Ayang Bang Bos temani dalam
mimpi aja ya. Miss u Ayang Jodha.” Ucap Nadia dengan wajah yang di buat seimut
mungkin. Jodha tertawa sambil menggelengkan kepalanya. Sementara Jalal mati
kutu, tidak bisa berkutik lagi. Inginnya dia menggelitik Nadia sampai berteriak
minta ampun, tetapi tidak enak dengan Bayu dan Papanya.
Bu Hamidah
tertawa melihat tingkah Nadia yang terang-terangan meledek Jalal. Anak itu,
memang bisa membuat suasana tegang menjadi santai kembali.
“Ya sudah
Jo, Bapak sama Ibu pulang dulu ya. Besok Ibu kesini lagi. Kamu istirahat yang
cukup, biar cepat sembuh.”
“Iya Bu,
makasih ya. Maaf Ibu jadi repot karena saya.” Kata Jodha mencium tangan Bu
Hamidah.
“Ibu sudah
bilang, jangan lagi ngomong masalah repot. Itu bukan kehendak kamu.” Jodha
mengangguk.
“Iya Bu.”
Giliran Pak
Humayun yang menyalami Jodha, seperti dengan Bu Hamidah, Jodha juga mencium
tangan majikannya itu.
“Cepat
sembuh ya Jo, istirahat yang banyak. Biar lukamu cepat sembuh. Jangan banyak
bergerak dulu.” Pesan Pak Humayun. Jodha mengangguk.
“Iya Pak,
makasih.” Pak Humayun mengangguk dan tersenyum.
“Jalal, Mama
sama Papa pulang dulu ya. Jaga Jodha baik-baik.” Jalal mengangguk.
“Iya Ma,
pasti.” Dia juga mencium tangan mama dan papanya, sebelum keduanya pamit pulang
kepada merek yang ada di ruangan itu.
Tidak lama
kemudian, Bayu juga ikut pamit pulang.
“Abang
pulang dulu ya Jo, besok Abang kesini lagi.” Kata Bayu mencium kening Jodha
dengan sayang.
“Iya Bang,
makasih ya.” Bayu mengangguk.
“Sama-sama
Jo, Abang janji akan mencari pelaku penembakan itu.”
“Nggak usah
Bang. Biar aja, mungkin kebetulan saja kali mereka bertemu kami malam itu.”
“Nggak bisa
Jo, semua akan di usut. Meski itu sengaja ataupun tidak sengaja. Bahkan Papanya
Jalal juga sudah meminta Abang untuk menyelidikinya.” Jodha menghela nafas
pasrah.
“Iya deh,
terserah Abang saja. Tapi, jangan dipaksa ya Bang. Abang juga perlu istirahat.”
“Iya. Abang
tahu itu. Ya sudah, Abang pulang dulu ya.” Jodha mengangguk, “Jalal, Man, Nad,
Abang pulang dulu ya.” Mereka bertiga mengangguk.
“Iya Bang.
Hati-hati ya.” Ucap Nadia menggayut manja di lengan abangnya.
“Iya adik
Abang yang bawel.” Kata Bayu mengacak rambut Nadia pelan. Nadia hanya terkekeh,
diapun melepas rangkulan tangannya di lengan abangnya. Bayu pun segera
melangkah keluar dari ruang inap tersebut.
Setelah agak
lama semenjak kepergian Bayu, Mansingh mengajak Nadia keluar untuk mencari kopi
dan camilan malam katanya. Padahal dia ingin memberi waktu untuk sahabatnya
berduaan dengan Jodha. Nadia yang mengerti maksudnya, hanya mengangguk. Mereka
berdua pun akhirnya keluar dari ruangan itu.
Begitu keduanya
keluar, Jalal mendekatkan kursinya lebih dekat dengan kepala Jodha. Tangan
kanan gadis itu dipegang Jalal dan ditempelkannya di pipinya sendiri. Jodha
tersenyum melihat tuan mudanya yang begitu perhatian kepadanya.
“Kamu kenapa
Nem? Senyum-senyum begitu?”
“Saya hanya
merasa kalau Tuan bersikap berlebihan terhadap saya.”
“Berlebihan
bagaimana maksudmu?”
“Ya
berlebihan, saya seolah mau mati saja.” Jalal mendelik.
“Apa kamu
bilang? Kamu bahkan tidak tahu betapa khawatirnya aku ketika kamu tiba-tiba
lemas. Rasanya jantungku berhenti berdetak.” Jodha terkikik geli, “kenapa?
Perutnya terasa di aduk-aduk lagi?” sindir Jalal. Jodha masih tertawa namun dia
mengangguk, “kenapa sih nggak di telan aja kata-kataku itu. Pejamin matanya dan
telan.” Ucap Jalal dengan wajah sewot. dia melengos ke arah lain. Jodha semakin
tertawa dibuatnya. Ya ampun, entah kenapa rasanya Jodha begitu alergi mendengar
kata-kata seperti itu. Walaupun mungkin itu benar ungkapan tulus dari hati yang
paling dalam.
“Tuan,
jangan ngambek gitu dong. Maaf ya, kalau sudah menertawakan kekhawatiran Tuan.”
Kata Jodha membelai pipi tuan mudanya dengan lembut, membuat Jalal menghela nafas panjang. Kalau sudah
begini bagaimana mau marah coba. Ck. Si Inem emang bisa membuat kemarahan Jalal
meleleh dengan cepat.
“Kamu sih,
suka banget bikin aku jengkel. Aku kayak gitu karena aku sayang sama kamu Inem,
aku cinta sama kamu. Ngerti nggak?” Jodha tersenyum.
“Iya Tuan,
saya ngerti. Maaf ya, saya hanya tidak ingin Tuan terlalu mengkhawatirkan saya.
Sekali lagi maaf.” Ucap Jodha dengan suara lirih. Jalal menghembuskan nafas
lagi.
“Ya sudah,
sekarang kamu tidur lagi. Istirahat yang banyak biar lukamu cepat sembuh.”
“Tuan
bagaimana? Masa saya tidur, Tuan enggak.” Protes Jodha. Jalal tersenyum, dia
mengelus rambut Jodha.
“Iya, nanti
aku juga tidur kok. Kamu tenang aja, aku nungguin Man sama Nadia datang.” Jodha
mengangguk.
“Iya deh.” Jodha memejamkan matanya, Jalal
merapikan selimut Jodha dan mengecup keningnya sebentar, namun dia tidak pergi
dari tempat itu. Hanya memandang wajah gadisnya yang kembali tertidur dengan cepat,
mungkin karena masih dalam pengaruh obat sehingga dia tertidur lagi. Tangan
Jodha masih di genggamnya. Pikirannya melayang tentang pembicaraan Bayu dan
papanya tadi. Dia juga penasaran siapa sebenarnya mereka? Apa ini masih ada
hubungannya dengan Adam, si bandar judi itu? Ataukah orang lain lagi?
Jalal merasa
dirinya lemah, tidak mampu melindungi orang yang di sayanginya. Bahkan
melindungi dirinya sendiri dia masih belum mampu, dan tentang niat papanya yang
menyuruhnya untuk belajar bela diri bisa dicobanya nanti. Mungkin memang dia
harus dipaksa seperti itu, kalau tidak ingin kehilangan orang yang cintainya.
Kalau seandainya mereka bertemu lagi, bagaimana dia akan melindungi Inemnya.
Kasihan sekali gadis itu, sudah tidak punya orang tua, masih juga dikejar-kejar
orang yang menagih hutang ayahnya. Tiba-tiba saja Jalal merasa geram dengan
ayahnya Jodha yang menghilang tanpa jejak dan meninggalkan anaknya yang selalu
dikejar oleh bandar judi itu.
Jalal
melihat jam yang ada di ponselnya. Sudah lama Nadia dan Mansingh pergi keluar.
Kemana mereka? Padahal sudah tengah malam. Pikirnya. Dia
menelungkupkan kepalanya diatas ranjang, dan tangannya masih menggenggam tangan
Jodha.
Sebenarnya
Mansingh dan Nadia sudah datang lebih awal namun, ketika melihat Jalal dan
Jodha sedang asyik berbincang membuat mereka berdua mengurungkan niatnya untuk
masuk. Dan sekarang mereka berdua sedang berada di kantin rumah sakit. Mansingh
memesan kopi dan Nadia memesan coklat panas. Mereka berdua duduk berdampingan.
“Kasihan
Jodha ya Bang?” ucap Nadia sambil memutar-mutar gelasnya. Mansingh menoleh.
“Kenapa
Beb?” Nadia menarik nafas panjang dan menghembuskannya.
“Ya kasihan.
Sudah tidak punya orang tua, masih saja ada yang ingin berbuat jahat
kepadanya.” Mansingh merengkuh bahu Nadia, dan tersenyum.
“Kan ada
kita semua yang selalu bersamanya. Terutama Bos dan juga kamu dan keluargamu.”
Nadia mengangguk-angguk. Dia menyandarkan kepalanya di dada Mansingh.
“Iya sih
Bang, tetapi tetap saja aku merasa kasihan dengannya. Selama ini dia selalu
mengalah sama aku, dia bisa jadi teman dan jadi kakak buatku. Aku sayang sekali
sama dia.”
“Iya Beb,
terlihat sekali seperti itu. Bahkan bos saja cinta mati sama dia. Tapi
sepertinya Jodha masih ragu tuh.” Nadia terkekeh.
“Jelas aja
ragu, orang Bang Bos kayak gitu?” dahi Mansingh mengernyit.
“Kayak gitu
gimana Beb?” Nadia berdecak.
“Modal
ngerayu doang.” Mansingh tertawa geli, “aku bilangin ya, Jodha itu paling anti
kalau dirayu. Yang ada dia malah tertawa dan nggak akan dianggap.”
“Sepertinya
sih memang begitu Beb, bos pernah cerita sewaktu dia mau menggoda Jodha, yang
ada Jodha minta ijin mau muntah.” Nadia tertawa terbahak-bahak mendengarnya.
Sampai beberapa orang pengunjung menoleh kearah mereka berdua. Namun Nadia
hanya cuek bebek. Bebek aja bisa cuek apalagi dia.
“Iya gitu
orangnya. Susah sekali menaklukkan hatinya. Dulu saja banyak yang suka sama
dia, eh malah mundur teratur karena tidak pernah dianggap oleh Jodha. Padahal
mereka itu rata-rata anak-anak orang kaya, yang sering dikalahkan Jodha sewaktu
balapan.”
“Oh ya?”
Nadia mengangguk. “kalau kamu gimana Beb?” Nadia menegakkan tubuhnya dan
menoleh ke arah Mansingh yang tersenyum usil.
“Cari tahu
sendirilah, masa harus dibilangin juga.”
“Ya kan biar
mudah dan cepat.”
“Kayak mau
mengurus asuransi saja biar mudah dan cepat.” Mansingh terkekeh, “cinta itu
butuh proses Bang, akan lebih baik mengenal sedikit demi sedikit sampai
akhirnya mengenal keseluruhan, daripada dikasih tahu tetapi hanya sebentar saja
kemudian bosan.” Mansingh tersenyum. Dia mengelus kepala Nadia.
“Iya. Abang
ngerti kok. Dan Abang akan mengenal kamu sedikit demi sedikit seperti yang kamu
mau.” Nadia ikut tersenyum.
“Iya Bang.
Makasih ya.” Mansingh mengangguk dan menepuk kepala Nadia dengan lembut.
“Ya sudah,
ayo kita balik kekamar Jodha. Mungkin sekarang mereka sudah tidur. Kita juga
perlu tidur kan?” Nadia mengangguk. Mereka berdua beranjak dari duduknya
setelah menghabiskan minumannya dan kembali ke kamar dimana Jodha dirawat.
Perlahan
Nadia mengetuk pintu, tetapi tidak ada jawaban. Pelan-pelan Nadia mendorong dan
membuka pintu kamar. Terlihat Jodha sudah tertidur pulas, dan Jalal juga ikut
tertidur dengan posisi terduduk di kursinya dan kepalanya berada dipinggir
ranjang Jodha dengan beralaskan punggung tangannya.
Mansingh
menggamit tangan Nadia pelan, gadis itu menoleh. Mansingh menunjuk sofa, dia
mengangguk. Mereka berdua duduk di sofa dan Nadia membaringkan tubuhnya dengan
kepalanya di atas pangkuan Mansingh. Pemuda itu tersenyum dan membelai lembut
rambut Nadia, membuat gadis itu memejamkan matanya. Sedangkan sebelah tangannya
di peluk oleh Nadia. Terasa sekali kalau Nadia sudah merasa nyaman dengan
Mansingh, tempat dia bisa bermanja selain dengan abangnya. Akhirnya keduanya
pun ikut terlelap dengan posisi Mansingh tidur bersandar di sofa.
***
Keesokan
harinya, pagi-pagi Mansingh mengantar Nadia pulang kerumahnya untuk mandi, dan
berganti pakaian. Begitu juga dengannya, mereka berdua mampir di apartemennya.
Mansingh sempat bertemu Surya dan mengatakan kalau mereka berdua bolos kuliah
hari ini karena harus menunggu Jodha di rumah sakit. Surya mengerti dan tidak
banyak bertanya lagi.
Setelah dari
apartemen Mansingh, mereka berdua berangkat kerumah Jalal untuk mengambil
pakaian ganti dan segala keperluan untuk kedua sahabat mereka itu, dan juga
membelikan sarapan untuk mereka berempat.
“Selamat
pagi Jo, Bang Bos.” Sapa Nadia dengan senyum lebar kepada Jodha dan Jalal yang
baru terbangun, tangannya menenteng bungkusan untuk sarapan mereka, diiringi
Mansingh di belakangnya membawa sebuah tas berisi pakaian Jodha dan Jalal dan
meletakkannya diatas lemari kecil dekat ranjang.
“Pagi Nad. Kamu bawa apa Nad?” tanya Jalal.
“Sarapanlah.
Bang Bos lapar apa nggak? Ini aku belikan bubur ayam. Maklum, biasanya kan
kalau orang sakit pasti makannya bubur, nah karena itu kita harus
menghormatinya dengan ikut makan bubur juga.” Jawab Nadia asal.
“Akukan
nggak sakit pencernaan Nad. Nggak ada hubungan juga kali sama makanan.” Protes
Jodha.
“Aku nggak
mau tau, pokoknya kalau sakit dan nginap dirumah sakit ya makanannya harus
bubur. Kecuali kamu nginap di hotel, nah itu baru sarapannya nasi goreng
spesial pake telor.” Ketiganya tertawa mendengar ucapan Nadia yang masih
menyiapkan sarapan untuk mereka berempat. “Bang Bos mandi dulu
sana sebelum makan. Itu keperluannya sudah disiapkan sama Bi Ijah.” Kata Nadia
menunjuk tas yang mereka bawa tadi, “biar ketahuan yang mana pasien dan yang
mana pengunjung.” Ucap Nadia sambil terkekeh. Jalal beranjak dari duduknya
dengan mulut cemberut dan membuka tas untuk mengambil handuk dan pakaian ganti.
“Bawel.” Gerutunya sambil melangkah ke kamar mandi.
Nadia hanya terkikik geli.
Selesai Jalal mandi, mereka berempat sarapan bareng. Nadia
bersikeras untuk menyuapkan bubur kepada Jodha. Meskipun gadis itu berusaha
untuk menolaknya.
“Mumpung aku baik hati Jo. Jarang-jarang loh aku bisa
begini.” Puji Nadia kepada dirinya sendiri membuat Jalal berdecak. Sedangkan
Mansingh dan Jodha hanya tertawa. Sepertinya energi Nadia untuk bicara tersedia
banyak. Buktinya dia tidak pernah lelah untuk bicara. Kecuali ngantuk dan tidur
pastinya.
“Kok kamu bisa suka sih Man, sama gadis bawel itu?”
tanya Jalal kepada Mansingh yang sama-sama duduk di sofa menikmati sarapannya.
Mansingh mengangkat bahunya.
“Justru karena aku bawel Bang Bos, makanya dia suka sama aku.”
Mansingh terkekeh mendengarnya.
“Bawel gitu di suka. Kayak nggak ada yang lain aja.”
Cibir Jalal membuat Nadia menoleh dan menatapnya dengan tajam.
“Heh Bang Bos, emang situ nggak nyadar apa kalau Bang
Bos juga bawel. Tau nggak?”
“Masa? Nggak ngerasa tuh.” Sahut Jalal cuek sambil
menikmati makanannya.
“Jelas aja nggak ngerasa, soalnya kan Bang Bos juga
bawel. Kalau nggak bawel nggak mungkin menyahut segala omonganku. Bukankah kita
berdua sama aja. Hahahaha...” balas Nadia tertawa puas. Jalal terdiam, dia
melirik ke arah Mansingh yang sedari tadi senyum-senyum menikmati makanannya.
“Sorry, bos.
Aku nggak ikutan. Cukup kalian berdua aja. Aku sama Jodha biar jadi pendengar
dan penonton saja.” Ucap Mansingh tertawa, dia berdiri membuang bekas bungkus
bubur yang dimakannya ke tempat sampah.
Jodha kembali diperiksa keadaannya oleh dokter.
Keadaannya sudah membaik, meski kadang-kadang masih terasa nyeri. Dia harus
banyak beristirahat untuk memulihkan keadaannya. Ketiga orang itu masih setia
menunggunya. Suasana tidak pernah sepi karena Nadia dan Jalal tidak pernah
berhenti saling ledek. Sama-sama punya bahan untuk meledek.
Selepas tengah hari, Bayu datang menjenguk Jodha
kembali. Kali ini dia datang bersama Todarmal.
“Bagaimana keadaanmu Jo?” tanya Todarmal, dia duduk di
kursi yang ada di dekat ranjang. Sementara Bayu dan ketiga lainnya duduk di
sofa.
“Baik Bang, sudah mulai kering. Cuma luka kecil aja
kok.” Sahut Jodha tersenyum.
“Syukurlah, Abang kaget waktu di bilangin sama Abang
Bayu kalau kamu di tembak orang. Rasanya Abang nggak percaya, siapa yang tega
mencelakakan kamu.” Jodha
menghela nafasnya.
“Entahlah Bang, aku juga nggak tau. Mungkin juga itu
hanya preman iseng saja.”
“Iseng
bagaimana?”
“Ya, mungkin
itu hanya kebetulan saja Bang. Kebetulan juga kami ada disitu.” Todarmal
menggeleng.
“Bukankah
kamu bilang sempat merasa diikuti oleh orang?” Jodha mengangguk.
“Mungkin
saja kamu memang sengaja diikuti oleh mereka.”
“Apa iya
begitu Bang? Lagiankan kami nggak sengaja kesana, nggak ada rencana sama sekali
mau kesana.” Tanya Jodha heran. Todarmal menoyor kening Jodha.
“Kamu ini.
Masa nggak ngerti sih? Orang seperti Adam itu, anak buahnya dimana-mana Jo.
Apalagi dia itu bandar judi, punya usaha diskotik dan klub malam, juga panti pijat plus-plus di berbagai kota. Apa
kamu pikir dia tidak punya anak buah?” Jodha ternganga mendengarnya.
“Jadi begitu
ya Bang? Pantas saja kalau begitu.” Jodha mengangguk-angguk, “mungkin bener itu
anak buahnya Adam Bang, soalnya tadi malam itu yang mimpin para preman itu
bilangnya kalau bosnya sangat kaya.”
“Nah, itu
dia. Dia masih berstatus di curigai, bukan tersangka. Karena kita belum punya
bukti.”
“Iya Bang.
Tapi, apa untungnya buat dia membawaku Bang? Aku kan tidak punya apa-apa.”
Keluh Jodha membuat Todarmal dan lainnya merasa gemas.
“Kamu ini
Jo, polos apa bodoh?” Jodha terkekeh.
“Terserah
Abang saja.” Todarmal menggeleng-gelengkan kepala.
“Nih ya,
Abang kasih tahu.” Jodha mengangguk dan mendengarkan dengan serius, “kamu itu
cantik yang merupakan sumber pemasukan buat dia. Selain untuk disewakan juga
untuk dinikmati sendiri. Ngerti nggak?” Jodha semakin melongo mendengarnya.
“Pemasukkan
buat dia? Disewakan? Dinikmati? Apaan tuh Bang maksudnya?” Todarmal menepuk
dahinya. Bayu dan Mansingh hanya terkekeh mendengar ucapan Jodha. Astaga,
untung gadis itu tidak terjatuh di
tangan yang salah. Kasihan sekali kalau itu terjadi.
“Begini ya,
Jodha sayang...” kembali Jodha terkekeh mendengarnya, “yang Abang bilang
pemasukan itu, kamu itu disuruh melayani para hidung belang, para tamu
laki-laki berdompet tebal yang haus akan belaian wanita, dan uangnya dari kamu
melayani para tamu itu mengalir ke tangannya Adam. Dan kalau untuk dinikmati
sendiri itu artinya ketika kamu tidak sedang melayani tamu, kamu akan dipaksa
melayani dia, si Adam itu.” Jodha mengangguk, “ngerti arti melayani disini?”
tanya Todarmal ketika melihat Jodha mengangguk tanpa ekspresi takut sedikit
pun.
“Seperti aku
ngelayani Tuan Muda dan keluarganya gitu kan Bang?” sahut Jodha dengan polos.
Todarmal menghembuskan nafas lelah. Nadia tertawa terbahak-bahak, dia sampai
memegang perutnya saking kencangnya tertawa, Mansingh dan Bayu terkekeh,
sementara Jalal hanya menggaruk-garuk kepalanya.
“Dasar oon.”
Gumam Jalal.
“Bodoh!
Dipaksa melayani itu artinya kamu diperkosa. Ngerti?” ucap Nadia disela-sela
tertawanya. Jodha terkejut dan menutup mulutnya, dengan mata yang melebar dia
menatap Todarmal yang mengangkat bahu melihatnya terkejut.
“Ja-jadi
maksud Abang, kalau aku dibawa oleh Adam, nanti aku akan,....oh tidak!” ucap
Jodha dengan pandangan tidak percaya.
“Sekarang
kamu ngerti kenapa Adam ingin sekali membawamu bersamanya?” tanya Todarmal
sekali lagi. Jodha mengangguk
“I-iya
Bang.”
“Kamu tenang aja Jo, Abang dan Bang Bayu akan bantu
kamu. Nanti malam Abang berdua akan menemui Adam. Ingin tahu apa yang dia
inginkan. Dan juga ingin tahu seberapa besar hutang ayahmu kepadanya sampai dia
begitu menginginkanmu.” Kata Todarmal.
“Tapi Bang, itu terlalu berbahaya buat Abang berdua.
Aku tidak mau terjadi apa-apa nantinya.” Ucap Jodha dengan sedih. Dia tidak
rela gara-gara dirinya dan ayahnya para sahabat dan keluarga angkatnya ikut
terkena getahnya juga.
Todarmal menggenggam tangan Jodha, “kamu tenang saja
Jo, kita kesana bukan untuk membuat keributan. Tetapi ingin menyelesaikan
masalah. Kamu nggak usah khawatir ya.”
“Tapi Bang, tetap saja itu berbahaya.”
“Sudah. Tidak usah kamu pikirkan lagi. Abang akan
baik-baik saja.”
“Baiklah Bang, tapi jangan sampai Papi sama Mami tahu
masalah ini ya. Aku nggak enak.” Todarmal mengangguk.
“Oke. Abang janji.”
“Bang, boleh aku ikut?” tanya Jalal.
“Aku juga Bang?” sambung Mansingh. Bayu dan Todarmal
saling pandang.
“Untuk apa kalian ikut? Disini saja. Nanti terjadi
apa-apa sama kamu, Abang harus bagaimana nanti dengan Papa kamu?”
“Abang tenang aja kalau masalah itu. Siapa tahu nanti
kami bisa bertemu dengan salah satu preman kemarin malam. Kan bisa jadi bukti
Bang.” Bujuk Jalal. Bayu berpikir sejenak. Kemudian mengangguk.
“Baiklah kalau begitu. Tetapi jangan bertindak gegabah
ya. Turuti segala perintah Abang.”
“Siap Bang.” Ucap merek berdua serentak. Jodha dan
Nadia hanya memandangi mereka dengan tatapan khawatir dan was-was.
***
Malam harinya mereka berempat mendatangi sebuah klub
malam yang di sinyalir merupakan tempat sang pemilik yaitu Adam berada. Bayu
dan Todarmal sudah bersiap. Mereka berdua memasang jaket anti peluru yang tipis
di balik pakaian yang dikenakan Jalal dan Mansingh. Begitu juga dengan mereka
berdua untuk berjaga-jaga saja. Karena mereka tidak membawa senjata apapun.
Hanya tangan kosong belaka.
Jalal dan Mansingh sedikit tegang. Karena ini adalah
pengalaman pertama kali buat mereka. Meski mereka sudah terbiasa dengan yang
namanya klub malam, namun yang ini masalahnya berbeda. Mereka menghadapi orang
yang berkuasa dan jahat, bukan orang yang hanya mendatangi tempat itu untuk
menghibur diri saja.
Di depan pintu masuk, Bayu berbicara dengan penjaga
klub tersebut. Awalnya dia tersenyum ramah, namun ketika Bayu mengatakan
maksudnya untuk mencari pemilik klub itu, mendadak wajahnya tegang.
“Kalian siapa?” tanya penjaga itu penuh selidik. Bayu
tersenyum tenang.
“Kamu tidak perlu tahu siapa kami. Kamu hanya perlu
memberitahukan kedatangan kami kepada bosmu. Bilang kami ada keperluan
dengannya.” Jawab Bayu tenang namun mengintimidasi membuat penjaga itu
mengangguk.
“Baiklah. Kalian tunggu disini. Aku akan mengabarkan
kedatangan kalian. Kalau bos tidak berkenan menerima kalian, harap kalian segera
pergi.”
“Baik. Kami terima.” Jawab Bayu.
Ketika penjaga itu akan masuk ke dalam klub, tiba-tiba
ponselnya bergetar. Dia mengangkat dan berbicara sebentar. Setelah menutup
pembicaraannya, dia segera mengajak Bayu cs untuk
mengikuti langkahnya.
“Bos mau menerima kalian. Silakan ikut saya.” Ajaknya.
Bayu mengangguk, dia memberi isyarat kepada mereka bertiga untuk mengikutinya.
Mereka berempat berjalan mengikuti penjaga yang akan
mengantarkan mereka menemui sang bos besar. Ruangan yang dilewati penuh sesak oleh
orang-orang yang berjoget tidak karuan mengikuti irama musik yang menghentak
dan keras. Belum lagi orang-orang yang berciuman tanpa rasa malu. Asap rokok
sudah seperti jaring laba-laba saja yang menghiasi tempat remang-remang itu,
ditambah bau alkohol membuat ruangan itu begitu memuakkan. Jalal dan Mansingh
yang dulu sering berada di tempat itu, tiba-tiba saja menjadi jijik.
Jalal yang berjalan paling belakang, melangkah dengan
sesekali melihat keadaan disekitarnya. Dia bertekad untuk mencari bukti kalau
yang menembak Inemnya itu adalah anak buahnya Adam. Tanpa sadar dia melirik ke
arah sudut meja bar, di samping seorang bartender yang sedang sibuk melayani
tamu dia melihat seseorang yang kebetulan juga orang itu melihatnya. Awalnya
mereka berdua hanya saling pandang, tetapi ketika seperti sudah mengingat
sesuatu, orang itu langsung pergi dan menghilang di antara banyaknya ruangan.
Jalal merasa familiar dengan wajah seseorang itu, dia berjalan sambil
mengingat-ingat.
Ah iya, Jalal menepuk dahinya. Bukankah itu orang yang
memimpin preman tadi malam. Seorang laki-laki berbadan ceking dan tidak pantas
disebut sebagai preman.
Mereka berempat dibawa menuju lift yang menghubungkan
dengan lantai paling atas. Di dalam liftt tidak ada yang berbicara sedikitpun. Semua
terlihat tenang. Meski terlihat tenang, namun aura penuh ketegangan sangat
berasa.
Ting.
Pintu lift terbuka, penjaga itu melangkah menuju
sebuah pintu sebelah kanan. Karena hanya terdapat dua
buah pintu di tempat itu. Dengan mengetuk pintu perlahan, penjaga itu
mempersilakan Bayu cs untuk masuk.
Begitu masuk, mereka dihadapkan dengan sebuah ruangan
yang besar, lengkap dengan satu set sofa tamu yang menghadap ke meja kerja
dimana sang pemilik sedang duduk dengan angkuhnya di kursi kebesarannya.
Seorang laki-laki bertubuh tinggi besar, dengan
wajah yang terlihat kejam, alis tebal dan bibir yang selalu tersenyum menyeringai. Dikanan kirinya
diapit oleh seorang wanita muda yang berpakaian seksi dan memakai make up
lumayan tebal dengan lipstik merah menyala.
Sang bos mempersilakan Bayu cs untuk duduk di sofa,
sementara dia tidak beranjak dari tempat
duduknya.
“Ada perlu apa mencariku, hm?” tanyanya dengan tangan
yang tidak bisa diam menggerayangi tubuh wanita disebelahnya.
“Maaf kalau kami mengganggu ketenangan Anda.” Sahut
Bayu dengan sopan.
“Hm...”
“Kami hanya ingin tahu mengenai Pak Bharmal.” Mendengar nama itu, Adam
menegakkan tubuhnya dan melepaskan tangannya dari tubuh gadis di sebelahnya.
Dia menyuruh mereka untuk keluar. Dengan patuh mereka berdua menuruti perintah
bosnya.
“Ada hubungan apa kalian
dengan orang tua itu? Dan kenapa kalian menanyakan itu kepadaku?” tanya Adam
dengan congkak. Rupanya dia tidak mengenali Jalal dan Mansingh. Mungkin karena
ketika itu mereka bertemu pada
malam hari, membuat Adam tidak begitu
mengenalinya dengan jelas.
“Kami tidak ada hubungan apa-apa dengannya. Kami hanya
ingin mengetahui seberapa besar tanggungan beliau kepada Anda?” ucap Bayu
dengan tenang, sementara mereka bertiga hanya diam. Adam tertawa.
“Tidak ada hubungan apa-apa tapi ingin tahu seberapa
besar hutangnya kepadaku. Lalu apa untungnya buat kalian mengetahui hal itu, kalau dia bukan orang yang
berarti buat kalian?” tanya Adam dengan pandangan curiga.
“Kami hanya ingin membantunya saja.”
“Membantunya? Apa dia datang kepada kalian dan minta
tolong untuk membantunya?” Bayu menggeleng.
“Tidak sama sekali. Kami bahkan tidak tahu dimana
beliau sekarang berada.” Kembali Adam tertawa.
“Oh, atau putrinya yang cantik itu meminta tolong
kepada kalian?”
“Sudah aku bilang itu tidak ada hubungannya.” Ucap
Bayu sedikit emosi.
“Well, well. Aku tidak tahu apa motif kalian
menanyakan hal itu kepadaku.” Ucap Adam tersenyum menyeringai, “tapi baiklah,
akan aku katakan. Dengar baik-baik, hutangnya Si Tua Bharmal itu sebesar 600
juta beserta bunga-bunganya.” Jawab Adam dengan enteng.
“Apa?”
===tbc===
Tidak ada komentar:
Posting Komentar