Met malem, ketemu Inem lagi ye.
Warning nih : di part ini akan ada adegan kekerasan dan kata-kata kasar, mohon
maaf kalau ada yang kurang berkenan. Buat yang lemah jantung, menjauhlah dari
benda-benda tajam, apalagi kalau sampai hp nya dibanting. Sayang banget nggak ketemu Inem lagi. Hehehe... buat yang selalu baper, silakan sediakan tisu, dan yang selalu mual sediakan obat maag
ya. Itu aja pesan dari emaknya Inem. Semoga selalu sehat ye... aamiinn...
======000=====
Setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh, akhirnya rombongan Bayu tiba
juga di kota Pacitan. Karena hari sudah sore, mereka memutuskan untuk menginap
saja di hotel dan sekalian istirahat. Bayu memilih tiga kamar, dia dan
keluarganya, Jodha dan Nadia, Mansingh dan Jalal. Karena kelelahan, setelah
makan malam mereka hanya ngobrol sebentar kemudian segera beristirahat.
Jodha yang ingin segera tidur, segera membaringkan tubuhnya, namun tidak
bisa memejamkan matanya. Kerinduannya kepada ayahnya membuat dia terus terjaga.
Diliriknya Nadia yang sejak tadi sudah terbang ke alam mimpi, nampak pulas
karena kecapekan. Dia membalikkan tubuhnya memcari posisi yang nyaman agar bisa
tertidur dengan segera, namun tetap saja kelopak matanya tidak mau merapat.
Akhirnya dia bangun, memakai jaketnya, dan berjalan menuju balkon ingin
mencari udara segar. Jam masih menunjukkan pukul 23.00. Masih belum terlalu
malam pikirnya. Setelah membuka pintu, dia melangkah keluar. Kamarnya yang
berada dilantai 5, memudahkannya untuk melihat keadaan dibawah. Jalan raya
masih terlihat ramai, meski tidak terlalu padat.
Jodha mengeratkan jaketnya, karena hawanya dingin. Dia menatap langit yang
hanya menampilkan bintang-bintang bertaburan. Sesekali awan mendung berlalu dan
menutupinya. Dia mendesah, terasa sangat panjang baginya malam ini, tidak sabar
rasanya menunggu pagi.
Teringat akan ayahnya yang selama lebih setahun ini tidak pernah
bertemu, bagaimana keadaannya? apa dia sehat? Apa masih mabuk-mabukan seperti
dulu? Bagaimana dengan pekerjaannya selama ini?. Ingatan Jodha melayang sewaktu
kedua orang tuanya masih lengkap. Ibunya, ayahnya, selalu memanjakannya, bahkan
ketika ingin tidurpun, kedua orang tuanya selalu menungguinya sampai dia
tertidur sambil mendongeng, setiap kali libur kerja, ayahnya pasti mengajaknya
dan ibunya untuk sekedar jalan-jalan saja. Karena itu, meskipun ayahnya semenjak
ibunya meninggal tidak pernah memberi perhatian lagi kepadanya, namun Jodha selalu
berharap suatu saat ayahnya akan kembali seperti dulu, menjadi ayah yang hangat
buatnya.
Jodha mendongakkan kepalanya sambil memejamkan matanya, dari sudut matanya
mengalir air mata meski dia sudah berusaha untuk menahannya. Kedua tangannya
berpegangan pada pagar balkon. Tiba-tiba saja dia merasakan sentuhan di
pipinya, sebuah tangan mengusap air matanya. Dia membuka mata dan terkejut
melihat Jalal sudah berada disampingnya dan mengusap air matanya.
Pemuda itu tersenyum dengan tangannya yang masih membersihkan air mata
Jodha. Gadis itu terdiam, namun pandangannya masih tertuju pada kekasihnya yang
tiba-tiba saja muncul disampingnya.
“Kenapa Sayang?” bisik Jalal. Jodha menggeleng, “nggak mau cerita?”
Jodha menunduk, “ya sudah kalau nggak mau cerita.” Ucap Jalal dengan lembut.
“Tidak ada-apa. Hanya kangen Ayah.” Sahut Jodha lirih. Jalal segera
memeluknya, menyandarkan kepala gadis itu di dadanya. Tangannya mengusap-usap lembut
punggung Jodha. Sedangkan kedua tangan gadis itu melingkar dipinggang Jalal.
Dia sudah tidak menangis lagi.
“Sabar ya Sayang, besok kita akan bertemu dengan ayahmu. Ayah kita.” Hibur
Jalal. Jodha hampir tertawa mendengar ucapan kekasihnya yang mengucapkan kata
‘ayah kita’. Maksudnya apa tuh? Seenaknya saja bilang ayah kita. Kan belum ada
persetujuan dari ayahnya. Hehehe...
“Memangnya kamu nggak malu mengakui ayahku sebagai ayah kita?” tanya
Jodha sambil tersenyum.
“Kenapa harus malu? Anak kandungnya saja nggak malu, masa aku yang
malu.” Jawab Jalal dengan santai.
“Tapi ayahku tukang mabuk. Entah sudah berhenti apa belum.” Jalal merenggangkan
pelukannya. Kedua tangannya berada di pundak Jodha.
“Kamu lupa Sayang. Calon suamimu ini juga dulunya tukang mabuk. Tapi
kenapa kamu nggak malu?” Jodha tertawa pelan.
“Ya, kali aja kamu malu, punya mertua tukang mabuk.” Jalal menggeleng.
“Aku nggak peduli. Tapi aku kasihan sama kamu Sayang.” Jodha menatapnya
heran.
“Kasihan kenapa?” Jalal terkekeh.
“Ya kasihan aja, punya ayah tukang mabuk, dan calon suami mantan tukang mabuk. Ntar kita joget bareng,
hehehe...” Jodha ikut tertawa.
“Tapi, masa sekarang masih ingin mabuk
lagi, Sa-yang.” Tanya Jodha dengan wajah memerah. Dia memang sudah bisa
mengatakan kata sayang, namun dibarengi perasaan malu. Sehingga bila dia
mengucapkan kata itu, wajahnya ikut memerah. Jalal suka sekali melihatnya,
rasanya menyenangkan bisa mendengar Inemnya mengucapkan kata sayang dengan
dibarengi rona merah di wajahnya.
“Aku janji nggak akan mabuk lagi sayang,
kecuali...” ucapan Jalal terhenti, dia tersenyum melihat gadis itu menatapnya
dengan penasaran.
“Kecuali? Apa?”
“Kecuali mabuk akan cintamu, Sayang.” Tawa
pun menyembur dari mulut Jodha. Dia langsung menutup mulut dengan punggung
tangannya. Ckck...ciri khas dari tuan mudanya yang akan selalu dia dengar
terus. Jalal pun ikut terkekeh. Dia tahu, Inemnya geli dengan ucapannya tadi.
“Ya, ya... tidak mengapa mabuk akan
cintaku, asalkan tidak lupa diri saja. Bisa bahaya.” Kekeh Jodha.
“Bagaimana aku nggak lupa diri Sayang, dengan
menatapmu begini saja aku sudah tenggelam dalam pesonamu, dan lupa akan keadaan
disekitarku.” Ucap Jalal menatap lembut wajah Jodha yang harus menelan ludah
dengan susah payah, meski ucapan pemuda itu terlalu berlebihan menurutnya dan
hampir membuatnya kembali tertawa, tapi tak urung juga dia ikut terpesona. Ya
Tuhan, kenapa badannya jadi panas dingin begini? Apa dingin karena terkena
angin malam, dan panas karena berdekatan dengan kekasihnya itu?
Tidak seperti dugaannya, Jalal menangkup
wajahnya dengan kedua tangannya dan mencium lembut kening Jodha. (hahahaha...Jodha ngarep dicium dibibir).
“Sekarang tidurlah, sudah larut malam.
Besok kita akan pergi ketempat Ayah. Kamu juga harus istirahat.” Ucap Jalal
sambil mengusap rambut Jodha, kali ini sikapnya sangat nyaman. Berbeda dengan
tadi, sikapnya benar-benar bikin mual. Jodha mengangguk, “masuklah, sweet dream sayang.”
Jalal melangkah meninggalkan Jodha yang
masih melihatnya menyeberang ke balkon sebelahnya. Karena memang kamar mereka
berdampingan. Jodha tersenyum melihatnya. Dia pun masuk ke dalam, merebahkan
tubuhnya disamping Nadia yang tertidur pulas. Berusaha untuk memejamkan
matanya.
***
Keesokan harinya, setelah sarapan pagi
rombongan Bayu segera berangkat menuju
pantai Banyu Tibo yang memakan waktu kurang lebih 45 menit dari tengah kota.
Kota Pacitan memiliki beragam destinasi wisata. Bahkan kota tersebut di kenal
dengan julukan, kota 1001 goa. Bisa dibayangkan berapa banyak goa yang bisa
dijadikan tempar wisata. Dan yang tak kalah menariknya adalah pantainya yang
eksotik. Indah sekali.
Banyak pantai yang indah yang bisa dijadikan referensi wisata. Salah
satunya yaitu Pantai Banyu Tibo. Pantai yang berhadapan langsung dengan laut
Samudra Hindia ini, memiliki air terjun yang memiliki rasa tawar dipinggir
tebing dan airnya mengalir langsung menuju laut. Hempasan ombak yang menghantam keras tebing karang
berulangkali merupakan pemandangan yang tidak akan bisa dilupakan.
Berbekal petunjuk dari warga yang mereka temui, Bayu dan rombongan terus
melaju menuju perkampungan Widoro, dimana diyakini tempat ayahnya Jodha, Pak Bharmal
Singh berada. Jalan yang mereka tempuh pun sudah bisa menggunakan mobil. Begitu
sampai dipantai Banyu Tibo, Bayu berhenti sebentar dan turun untuk bertanya
kepada warga setempat. Terlihat dia berbicara serius dengan warga tersebut yang
menunjuk-nunjuk salah satu arah. Bayu mengangguk dan kembali ke mobilnya.
“Apa kata Bapak tadi Bang?” tanya Jodha kepada Bayu yang kembali
menjalankan mobilnya.
“Iya, sepertinya Ayahmu memang berada disini Jo. Sudah lama dia berada disini rupanya.” Wajah
Jodha terlihat sumringah. Dia senang sekali akan bertemu ayahnya. Sedangkan
yang lain ikut tersenyum bahagia melihatnya.
“Ah, syukurlah Bang. Aku senang sekali. Kangen banget sama ayah.”
Ucapnya dengan mata berkaca-kaca. Nadia yang duduk disampingnya mengelus
lengannya dan tersenyum. Ikut merasakan kebahagiaan sahabat baiknya itu.
Mobil Bayu perlahan menyusuri jalan seperti yang diberitahukan warga
tadi menuju ujung perkampungan. Tiba-tiba Nadia yang duduk di belakang supir
menepuk bahu abangnya pelan.
“Bang, Bang, pelan dikit. Coba lihat itu Bang. Bukankah itu Om Bharmal?”
tunjuk Nadia kearah depan. Bayu menghentikan mobilnya.
“Ayah...” ucap Jodha tanpa sadar.
Bayu, Jalal dan Mansingh yang memandang kearah objek yang ditunjukkan
Nadia, mengepalkan tangan menahan geram. Terlihat di depan sana ayahnya Jodha
yang berada di depan sebuah rumah, sedang bersama beberapa orang. Bahkan tidak
jauh dari rumah itu terparkir beberapa motor trail. Dan yang membuat ketiga
laki-laki itu geram, adalah orang yang dulu pernah mengejar Jodha dan ayahnya
karena hutang. Siapa lagi kalau bukan Adam.
“Untuk apa dia kesini lagi?” desis Jalal, “bukankah semua hutang sudah
dibayarkan?”
“Tenang dulu Jalal, kita tidak tahu persoalannya kali ini. Tahan
emosimu.” Perintah Bayu. Mereka berempat nampak tegang, hanya Nadia dan Salima
saja yang terlihat bingung. Itu karena mereka tidak pernah melihat secara langsung
orang yang bernama Adam itu.
Terlihat Pak Bharmal berdiri dengan tenang, tidak ada raut ketakutan
diwajahnya. Sedangkan Adam berdiri angkuh didepannya, tidak lupa seringaian liciknya
ikut terpasang. Sementara dibelakang ada berdiri 4 orang pengawalnya. Mereka
semua berdiri membelakangi jalan, sehingga mereka tidak tahu akan kedatangan
Bayu dan rombongan.
“Apa yang kau inginkan Adam? Kalau kau ingin memenjarakan aku, silakan?
Bukankan rumahku dan seluruh hartaku sudah kau ambil? Kurang apalagi?” tanya Pak Bharmal. Adam tertawa
angkuh.
“Wah, berani juga kau Pak Tua. Apa kau lupa ketika kau memohon-mohon
ingin meminjam uang kepadaku dan berjanji akan membayarkan secepatnya. Tapi mana, hah? Lupa?
Bahkan anakmu yang kau bilang
ingin diberikan
kepadaku sampai sekarang tidak pernah kau antar.” Pak Bharmal meludah di tanah.
“Cuih. Jangan
harap kau bisa mengganggu putriku. Tidak akan aku serahkan kepadamu, lakukan
saja apa yang kau inginkan kepadaku, tapi aku tidak akan menyerahkan putriku.
Dasar lintah darah.” Bentak Pak Bharmal. Adam justru terkekeh. Dia berkacak
pinggang dengan sebelah tangannya dan sebelahnya lagi mengelus-elus jenggotnya sambil menyeringai.
“Hm, ternyata kau berubah pikiran Pak Tua. Bahkan kau sampai bersembunyi
di tempat seperti ini. Oke. Tidak masalah, aku yang akan memaksa putrimu untuk
datang kepadaku. Dan aku sudah tahu dia berada dimana sekarang. Aku yakin, dia
tidak akan tega melihat ayahnya tersiksa.” Wajah Pak Bharmal nampak pucat.
Gawat kalau sampai Adam tahu dimana putrinya berada. Dia saja tidak tahu dimana
anaknya sekarang.
“A-apa yang akan kau lakukan kepada putriku?” tanya Pak Bharmal dengan
suara bergetar. Adam tertawa mengejek.
“Kenapa? Kau takut Pak Tua? Aku pikir anakmu boleh juga, kau tahu, dia pernah menghajarku, dan kali
ini aku nggak akan membiarkannya tertawa senang seperti waktu itu.” Pak Bharmal
langsung berlutut di hadapan Adam. Kedua tangannya memegang tangan laki-laki
itu.
“Ku mohon. Jangan sakiti putriku. Dia satu-satunya hartaku didunia ini.
Lakukan apa yang ingin kau lakukan padaku. Aku tidak akan melawan dan lari
lagi.” Ucap Pak Bharmal mengiba-iba. Dia tidak rela putrinya menjadi korban kejahatan
laki-laki itu. Dia menyesal dulu pernah menyanggupi akan menyerahkan putrinya
kepada Adam.
“Akhirnya kau memohon lagi kepadaku Pak Tua. Tapi aku tidak akan
menuruti keinginanmu itu. Putrimu akan menjadi milikku. Hahahaha...” Pak
Bharmal semakin ketakutan. Terbayang wajah ketakutan anaknya bila Adam
melaksanakan niatnya. Tidak. Dia tidak akan bisa melakukan hal itu, istrinya di
surga sana pasti akan kecewa kepadanya, yang sudah menyia-nyiakan putri kesayangan
mereka.
“Tolonglah, jangan ambil putriku. Kasihan dia, lepaskan dia. Dia tidak
bersalah. Aku yang bersalah. Hukum saja aku.” Pinta Pak Bharmal bahkan memeluk kaki Adam
yang masih tertawa senang. Namun sejurus kemudian wajahnya berubah serius dan
angkuh.
“Tidak!
Permintaanmu tidak akan aku penuhi. Karena dia sudah menghinaku, jadi aku akan
memberikan pelajaran kepadanya. Lihat saja nanti. Dan kau Pak Tua, akan segera
menyusul istrimu.” Bentak Adam, kakinya menendang tubuh ringkih Pak Bharmal
yang memeluk kakinya. Spontan saja, tubuh tua itu terjengkang ke belakang.
“Ayaaahhhh...!”
Pak Bharmal, Adam dan pengawalnya terkejut mendengar teriakan seorang
perempuan. Belum hilang keterkejutan mereka, tahu-tahu Jodha sudah berada disisi tubuh ayahnya
yang terjengkang itu.
“Ayah. Ayah tidak apa-apa?” tanya Jodha membimbing ayahnya untuk duduk.
“Rani? K-kau Raniku? K-kau datang Nak?” tanya Pak Bharmal dengan rasa
tidak percaya. Air matanya mengalir, tangannya mengusap lembut pipi Jodha.
“Rani?” gumam Jalal. Mereka berempat sudah berdiri dibelakang Adam dan
pengawalnya. Sementara Salima dan Rahim disuruh menunggu di mobil saja.
“Itu nama kesayangan kedua orang tua Jodha, sewaktu ibunya masih hidup,
Bang Bos. Semenjak ayahnya menjadi pemabuk, dia tidak pernah lagi dipanggil
seperti itu oleh ayahnya.” Jelas Nadia sambil berbisik disampingnya. Jalal
mengangguk-angguk mengerti.
“Iya Ayah, ini aku. Rani kecilmu dulu Yah.” Jawab Jodha sambil menangis.
Pak Bharmal memeluknya dengan erat.
“Maafkan Ayah, Rani. Maafkan Ayah yang sudah menelantarkanmu. Maafkan
Ayah Nak, maafkan.” Ucal Pak Bharmal dengan tersengal-sengal saking gembiranya.
“Nggak Ayah. Ayah nggak salah. Maafkan aku yang sudah pergi dari Ayah.”
Bharmal menggelengkan kepalanya.
“Tidak Rani, Ayah yang salah. Tidak seharusnya
Ayah memaksamu. Maafkan Ayah ya.”
“Ayaaahhh...”
Nadia sempat ikut meneteskan air mata
melihat drama pertemuan Jodha dengan Ayahnya. Bayu, Jalal, Mansingh hanya diam
terpaku. Sesaat semuanya lupa dengan keadaan yang sebenarnya. Bahkan Adam dan anak
buahnya juga sempat terdiam, sebelum akhirnya dia tersadar.
Plok...plok...plok... Adam bertepuk
tangan. Pak Bharmal dan Jodha melepaskan pelukannya. Jodha menatap Adam dengan
tajam.
“Airijodha Maharani. Wow, pertemuan yang
mengharukan sekali.” Ucap Adam dengan
seringaian angkuhnya, “rupanya aku tidak perlu repot-repot untuk mencarimu.
Ternyata kau datang sendiri Sayang.” Jodha menatap Adam dengan tatapan jijik.
“Apa yang kamu lakukan terhadap Ayahku?
Bukankah hutang Ayahku sudah lunas?” bentak Jodha geram. Hilang kepolosan yang
biasa terhias di wajahnya. Jalal sedikit
menggidik melihat perubahan wajah kekasihnya itu. Tidak pernah sekalipun dia
melihat Inemnya seperti itu, bagaimanapun marahnya dia selama ini.
“Oho...tidak segampang itu sayang.
Lagipula, kau terlalu berharga untukku lepaskan.” Ucap Adam dengan tersenyum
miring. Dia masih belum menyadari akan kehadiran empat orang dibelakangnya.
“Kau!” desis Jodha, dia menunjuk muka Adam
dengan sinar mata yang mengandung kebencian yang luar biasa, “Dasar brengsek,
kau sengaja memanfaatkan Ayahku untuk keuntungan pribadimu sendiri.” Adam tertawa terbahak-bahak.
“Ternyata kau pintar sayang, tidak sia-sia
aku memilihmu. Baiklah, lupakan hutang Ayahmu itu dan ikutlah bersamaku. Aku
jamin, hidupmu tidak akan sengsara. Kau akan menjadi ratu di istanaku.” Jodha
meludah ke tanah.
“Silakan bermimpi sepuasmu Tuan Adam yang
terhormat. Tapi jangan harap aku dengan rela hati menerima tawaranmu. TIDAK
AKAN PERNAH SUDI. Camkan itu!” teriak Jodha dengan amarah yang meluap-luap,
wajahnya nampak merah, giginya gemeretak menahan marah. Seringaian Adam
memudar, yang ada kini wajahnya merah padam dan kaku, rahangnya
mengeras, dan tangannya mengepal.
“Baiklah Sayang, karena kau meminta seperti
itu. Akan aku kabulkan keinginanmu. Kau memang senang dipaksa rupanya. Dan
ingat, aku akan membalas penghinaan yang pernah kau lakukan kepadaku waktu
itu.” Jodha tersenyum miring, dia memapah ayahnya menjauh dan mendudukan
ayahnya di bangku panjang di depan rumah tersebut.
“Ayah, tunggu disini dulu ya.” Ucap Jodha
dengan lembut.
“Kamu kemana Rani?” tanya Pak Bharmal
mencekal tangan Jodha. Dia tersenyum.
“Tenanglah Ayah, aku akan memberikan
pelajaran laki-laki itu.”
“Tapi...”
“Tidak apa-apa Ayah, jangan khawatir ya. Rani sayang Ayah.” Ucap
Jodha mengecup pipi ayahnya yang hanya bisa diam saja melepas putrinya berjalan
pelan kearah Adam yang masih berdiri dan menatapnya dengan amarah.
“Sekarang, hadapi aku. Buktikan kalau kau
laki-laki sejati.” Tantang Jodha memasang kuda-kuda.
“Tunggu!”
Adam dan anak buahnya berbalik kebelakang,
ternyata Bayu yang bersuara tadi. Dia berjalan kearah Jodha. Sementara Jalal,
Nadia, dan Mansingh masih diposisinya semula. Laki-laki itu sedikit terkejut
melihat Bayu, juga Jalal dan Mansingh, namun sedetik kemudian raut wajahnya
kembali seperti tadi.
“Wah, wah, benar seperti dugaanku semula.
Rupanya gadis ini yang membuat kalian
rela melakukan apapun untuknya. Apa yang kalian dapatkan darinya?” sindir Adam. Bayu tersenyum,
dia merangkul bahu Jodha.
“Kau keliru Adam, dia adalah adikku. Dan
demi adikku, aku akan melakukan apa saja agar dia terhindar dari orang yang
tidak punya perasaan dan tidak punya malu sepertimu.” Jawab Bayu dengan tenang.
Adam hanya tersenyum sinis
mendengar ucapan Bayu, “dan satu lagi, kau sudah menyalahi perjanjian kita. Kau
bilang tidak akan mengganggu Jodha dan ayahnya lagi. Ternyata kau bohong, kali
ini kau tidak akan aku lepaskan lagi.”
“Wow, ada pahlawan kesiangan rupanya.
Baiklah, kita selesaikan urusan kita hari ini juga.” Sahut Adam memberi kode
kepada anak buahnya. Salah satu anak buahnya maju dan menghadapi Bayu,
sedangkan ketiga masih dibelakang Adam.
“Mundur Jo, biar Abang yang hadapi.” Pinta
Bayu, Jodha mengangguk, dia mundur beberapa langkah, agak kesamping. Kini Bayu
dan anak buah Adam saling berhadapan. Rupanya kali ini Adam tidak main-main
seperti dulu, bodyguardnya benar-benar bisa bela diri. Karenanya dia percaya
diri. Ketika Bayu dan anak buahnya saling serang, Adam melangkah ingin mendekati
Jodha yang menatapnya dengan tatapan jijik.
“Hei, jangan ganggu dia.” Teriak Jalal.
Dia sudah melangkah ingin menghalangi Adam yang mendekati Inemnya, namun ketiga
anak buah Adam yang masih berdiri, serentak mengepung mereka bertiga, membuat
langkahnya terhenti. Adam tersenyum
sinis.
“Ingin melindungi dia juga anak muda?
Silakan hadapi dulu anak buahku, biar gadis ini aku yang hadapi. Akan kupaksa
dia ikut denganku.” Ejek Adam.
“Kurang ajar kau! Hadapi aku kalau kau
memang laki-laki. Kita selesaikan secara jantan.” Teriak Jalal, Adam hanya
terkekeh.
“Bicaralah sepuasmu, anak muda.” Sahut
Adam sambil memberi isyarat kepada anak buahnya untuk menghadapi mereka
bertiga. Ketiga anak buahnya mengangguk.
“Sial!” maki Jalal. Bahunya ditepuk oleh
Nadia.
“Tenang saja Bang Bos, serahkan saja
kepada Jodha. Dia pasti bisa menghadapinya. Sekarang kita hadapi mereka saja
dulu.” Akhirnya Jalal mengangguk pasrah, “bagus, it’s show time.” Ucap Nadia
memasukkan permen karet ke mulutnya, dan bersiap-siap menghadapi anak buah
Adam.
Kini perkelahian yang adil dan seimbang,
kelimanya menemukan lawan yang
pantas. Bukan hal yang mudah menaklukkan anak buah Adam, karena memang
mereka benar-benar menguasai ilmu bela diri.
“Om, sini Om. Ikut aku. Kita nyari tempat
yang enak buat bermain berdua ya Om.” Ujar Nadia kepada salah satu dari anak
buah Adam. Dia melangkah menjauh dari Jalal dan Mansingh, diikuti oleh pria
tadi dengan wajah datar, “ih, Om kok nggak ada senyum-senyumnya sama sekali
sih? Kaku amat, kebanyakan dimasker ya Om, makanya mukanya datar gitu?” celoteh
Nadia ketika mereka berdua sudah berhadapan. Namun pria tersebut hanya diam dan
menatap Nadia dengan tajam.
“Beb, hati-hati.” teriak Mansingh dengan
wajah sedikit khawatir.
“Oke Bang. Tenang saja. Serahkan kepadaku,
lumayan untuk menggerakkan otot setelah kelamaan hanya duduk di mobil saja.”
Kekeh Nadia sambil terus mengunyah permen karetnya. Dia menggerakkan kepalanya
kekiri dan kekanan, meremas jemarinya sampai terdengar bunyi berderak. Abangnya
dan juga yang lain hanya menggeleng mendengar ocehannya. Sempat-sempatnya
disaat tegang begitu dia ngoceh dengan santainya. Benar-benar Nadia yang
sesungguhnya.
Nadia segera bersiap, kedua kakinya direnggangkan dan ditekuk sedikit
untuk kuda-kuda, sebelah tangannya melambai menyuruh pria tadi untuk
menyerangnya. Tanpa menunggu perintah dua kali, pria tersebut maju dan
menyerang Nadia. Gadis itu dengan santai berkelit.
“Hati-hati Om, kalau menyerang wanita itu yang lembut Om, kayak gini
nih.” Ucapnya ketika bisa menghindari serangan pria tadi dan membalas
mengayunkan tinjunya ke arah rahang lawannya, spontan pria itu mengaduh dan
terundur kebelakang, “gimana Om, lembutkan sentuhanku? Pasti Om ketagihan.”
Ejeknya mengusap kepalan
tangannya dan meniupnya.
Pria tadi menatapnya dengan marah, tangannya masih mengusap rahangnya yang
nyeri. Dia kembali
menyerang Nadia dengan serius,
“Tuhkan, Om benar-benar ketagihan
sentuhanku.” Oceh Nadia sembari menangkis serangan lawannya, sampai akhirnya
dia tidak bisa ngoceh sembarangan
lagi dan fokus kepada serangan lawannya. Nadia benar-benar bersemangat mendapatkan
lawan yang seimbang dan benar-benar menguras tenaga.
Tetapi memang laki-laki tadi bukan lawan yang seimbang buat Nadia, meski
tubuhnya terlihat mungil namun tenaganya luar biasa. Efek dari latihannya
selama ini. Nadia menyudahi pertandingannya dengan menyundulkan lututnya ke arah
ulu hati pria tersebut, dan kepalan tangannya menghantam pelipis pria tersebut
dengan keras. Laki-laki itu ambruk dengan tubuh lebam disana sini dan wajahnya
penuh darah. Pingsan.
Nafas Nadia tersengal-sengal karena menemukan lawan yang lumayan
tangguh, dia segera memperbaiki pakaiannya yang agak berantakan dan
menyeka keringat di dahinya sambil
memandangi lawannya yang pingsan.
“Makasih ya Om, sudah mau ngajak aku olahraga pagi ini. Tuh kan, aku
jadi keringetan nih Om. Terpaksa harus mandi lagi. Tapi maaf ya Om, sudah bikin make up
Om menor, salahnya sih Om ganjen ingin disentuh mulu, jadinya ya begitu
akhirnya.” Ucapnya tanpa beban
sama sekali. Bayu, Jalal, dan Mansingh yang sudah menyelesaikan pertarungan
mereka hanya menggelengkan melihat kelakuan Nadia. Polisi patroli yang berada
disekitar daerah wisata tersebut segera berdatangan, karena perkelahian
tersebut mengundang perhatian warga dan wisatawan yang berkunjung ke pantai itu.
Sementara Jodha yang berkelahi dengan Adam masih terus melawan, meskipun
dulu dia pernah mengalahkan pria itu, namun Adam bukanlah orang yang gampang
untuk dikalahkan. Dulu dia mudah kalah karena memang senjata utamanya sudah
kalah duluan, makanya di tidak sanggup lagi untuk berdiri dan melawan Jodha. Bayu dan Jalal yang
ingin membantu, ditolak oleh gadis itu. Kali ini dia benar-benar ingin menghajar laki-laki itu. Sudah berapa
tahun kebahagiaannya terenggut olehnya, dengan terus mencekoki ayahnya dengan
hutang, minuman keras, dan judi. Mengingat semua itu, membuat Jodha lupa dengan
keadaan sekitarnya, dia terus melancarkan pukulannya ditubuh Adam. Dia bahkan
tidak sadar kalau lawannya itu sudah lemas.
“Sudah Sayang, cukup, kamu akan membuatnya mati kalau dipukul terus
seperti itu.” Ucap Jalal menahan tubuh kekasihnya itu yang terus berontak ingin
kembali menghajar Adam yang sudah tidak berdaya lagi.
“Lepaskan aku, dia harus membayar semua yang telah dia lakukan terhadap
Ayahku. Dia membuat aku kehilangan Ayahku. Lepaskan aku, aku harus menghajarnya
lagi, biar dia tahu rasa sakitnya menderita karena perbuatannya.” Jerit Jodha.
Namun Jalal memeluknya dengan erat, sampai akhirnya dia berhenti memberontak dalam
pelukan Jalal, dan menangis terisak-isak.
“Stt..., Sudah
Sayang, sudah. Semua sudah
kembali lagi. Kita sudah bertemu Ayah. Biarkan saja dia, nanti polisi yang akan
menanganinya. Sudah ya.” Hibur Jalal mengusap-usap punggung Jodha yang mulai
tenang. Pak Bharmal yang menyaksikan hal itu hanya bisa meneteskan air mata,
hatinya terasa tertusuk membayangkan penderitaan putrinya yang kehilangan kasih
sayang seorang ayah, akibat kesombongannya sendiri. Bayu dan yang lainnya hanya
bisa terpaku melihat adegan tersebut.
Sementara itu, Adam yang terkulai lemas namun masih sadar, perlahan
tangannya menyelinap dibalik bajunya mengambil sebuah pistol, dan
menodongkannya ke arah Jodha yang masih dipeluk oleh Jalal disaat semua orang
masih terdiam. Namun dia salah, Nadia yang melihat Adam menodongkan pistolnya
ke arah Jodha langsung menendang tangannya sehingga pistol tersebut melayang
keudara. Tetapi karena posisi pistol tersebut sudah dalam keadaan siap tembak,
membuat suara menyalak keluar dari moncongnya yang mengarah ke atas.
Dor!
Semua terkejut. Begitu juga dengan Jalal dan Jodha yang masih
berpelukan, keduanya melepaskan diri dan melihat Nadia kembali menghajar Adam.
“Kurang ajar, kau ingin curang hah. Jangan harap, ini rasain sarapan
pagimu dariku.” Ucap Nadia melayangkan pukulannya kekepala Adam beberapa kali
sambil mengomel. Terlihat dia nampak kejam, namun ucapannya membuat semua orang
yang ada disitu nampak geli. Sampai akhirnya Adam benar-benar tergeletak
tidak berdaya. Pingsan.
Nadia mengusap punggung tangannya sambil nyengir, “beres.” Ucapnya.
Semua menarik nafas lega. Jodha menatap Nadia dengan tersenyum.
“Makasih ya Nad.” Nadia tersenyum.
“Sama-sama, my sister.”
Sahutnya santai.
“Kamu sudah dua kali menyelamatkanku.” Nadia hanya terkekeh.
“Nggak usah dihitung Jo, ntar juga penuh sendiri.” Jawabnya santai, dia melangkah
mendekati ayahnya Jodha. Sementara Adam dan anak buahnya sudah diborgol dan
diamankan polisi di mobil patrolinya, setelah berbicara dengan Bayu.
“Kamu pikir celengan Nad, jadi penuh sendiri tanpa dihitung?” tanya
Jalal, meski dia tahu itu hanya ucapan asal Nadia saja.
“Haa...iya kali Bang, siapa tahu kalau sudah penuh bisa menaikhajikan Ayah
sama Ibu dan kel...awww...” celotehannya terhenti karena dia meringis akibat
dahinya disentil Mansingh, “ih Abang nyentil sembarangan, dikira kelereng kali
pake disentil.” Gerutunya sambil mengusap-usap keningnya.
“Makanya, jangan bicara sembangan Beb. Suasana masih tegang, kamu
ngomong terus dari tadi.” Kata Mansingh melototkan matanya, bukannya takut yang
ada malah membuat Nadia terkekeh.
“Ya kan biar nggak tegang Bang.” Mansingh mengacak pelan rambutnya.
“Kamu ini ya, ditegur malah ngeles aja terus bawaannya.” Kembali Nadia
tertawa. Mansingh merangkul bahu Nadia dan duduk disebelahnya. Jodha dan Jalal juga
duduk disamping Pak Bharmal. Sementara Bayu masih berbicara dengan polisi dan aparat
setempat mengenai peristiwa tadi. Dari depan muncul Salima dan Rahim.
“Tanteeee...” teriak Rahim sambil berlari meninggalkan Bundanya yang
tertinggal dengan berjalan kaki.
“Ya sayang, sini ponakan Tante yang ganteng.” Nadia segera menyambut
keponakannya dan mendudukkan di pangkuannya.
“Tante hebat, keren deh.” Puji Rahim mengacungkan jempolnya. Nadia dan
yang lain hanya tertawa gemas mendengarnya.
“Iya dong, Tante siapa dulu?”
“Tantenya Rahim dong. Tanteku jagoan.” Celoteh Rahim. Pak Bharmal
tersenyum senang mendengar ucapan Rahim.
“Ternyata Tante sama keponakan sama-sama bawelnya.” Ucap Jalal. Nadia
meleletkan lidahnya kearah Jalal.
“Biarin aja. Sama-sama tukang bawel nggak usah saling ngiri Bang Bos.”
Mansingh dan Jodha tertawa, kembali keduanya bertengkar lagi. Bahkan Rahim ikut
tertawa.
Bayu menghampiri mereka, warga sudah membubarkan diri. Hanya mobil
patroli polisi yang masih berada disitu dengan Adam dan anak buahnya yang
terborgol.
“Jalal, Man, ikut Abang kembali ke kota. Kita akan diperiksa untuk
menjadi saksi Adam dan anak buahnya. Kali ini nggak akan Abang lepaskan lagi.”
Jalal dan Mansingh mengangguk, Bayu menoleh ke arah istrinya, “Bun, Ayah
tinggal dulu ya. Nggak apa-apakan nunggu disini.” Salima mengangguk.
“Iya Yah, nggak apa-apa. Bunda sama Rahim nunggu disini saja. Bereskan
urusan Ayah sampai selesai ya.” Bayu tersenyum. Dia mencium kening istrinya
dengan lembut,
“Iya Bun, Ayah akan selesaikan secepatnya.” Bayu lalu menuju anaknya
yang masih duduk dipangkuan Nadia dan menggendongnya, “Rahim, Ayah pergi dulu
ya.” Rahim mengangguk, “janji sama Ayah kalau anak Ayah nggak akan nakal. Oke?”
Rahim mengangguk dan tertawa kecil.
“Siap Kapten.” Ucapnya sambil memberi hormat. Bayu tertawa dan mencium
anaknya sebentar, setelah itu dia menyerahkan Rahim kembali kepada Nadia,
dan pamitan dengan ayahnya Jodha. Akhirnya mereka bertiga berangkat kembali ke kota Pacitan untuk
menyelesaikan masalah Adam.
Tinggallah para wanita yang tersisa. Jodha terus-menerus memeluk dan
bergelayut manja di lengan ayahnya, sampai-sampai dibilang Nadia seperti dia
seperti kangguru, tidak bisa lepas dari ayahnya, tinggal dimasukin dikantong saja
lagi. Namun Jodha tidak peduli, kapan lagi dia bisa bermanja dengan ayahnya
bentar lagi dia mau nikah.
“Rahim Sayang, pernah lihat binatang yang
bernama kangguru tidak?” tanya Nadia kepada Rahim yang masih di pangkunya.
Rahim mengangguk.
“Pernah, Tante. Yang punya kantong buat
bawa anaknya itu kan Tante?”
“Pinter keponakan Tante.” Rahimnya tersenyum
senang.
“Emangnya Rahim lihat dimana Kanggurunya?”
tanya Nadia sambil melirik Jodha yang terus bergayut di lengan ayahnya dengan
cueknya.
“Di tv Tante.”
“Mau lihat kangguru yang disini nggak
Sayang?” wajah Rahim berbinar cerah.
“Mau, mau, Tante. Dimana Tante? aku pengen
lihat.” Salima dan Pak Bharmal tertawa melihat ekpresi Rahim yang kesenangan.
“Tuh, yang lagi nempel sama ayahnya.
Bentar lagi masuk ke kantong ayahnya, lihat aja nanti ya.” Tunjuk Nadia ke arah
Jodha dan ayahnya. Rahim memandang Jodha dan Pak Bharmal dengan dahi berkerut.
Tidak mengerti.
“Tante Jodha jadi kangguru?” tanya Rahim
penasaran, Nadia mengangguk, “kok bisa Tante?”
“Bisa dong Sayang, kalau Tante Jodhanya
nggak mau lepas dari ayahnya, lama-lama kalau ayahnya pergi dan Tante Jodha
ikut, dia akan dimasukin ayahnya dikantong tuh, kayak kangguru gitu Sayang.”
“Memang bisa ya Tante? Ayahnya Tante Jodha
kan nggak punya kantong?” tanya Rahim polos.
“Bisa dong, pakai kantong kresek.” Jawab
Nadia santai. Rahim terdiam sebentar, mungkin membayangkan ucapan tantenya,
namun kemudian tertawa terkekeh mendengar jawab Tantenya yang asal itu. Pak
Bharmal dan Salima ikut tertawa, hanya Jodha yang mengerucutkan bibirnya
mendengar ucapan Nadia.
Pak Bharmal mengajak Jodha dan tamunya masuk kedalam rumah, yang
ternyata itu adalah rumahnya sendiri. Rumah yang sederhana, berada beberapa
ratus meter dari pinggir tebing. Di depan rumah terdapat beberapa pohon besar berguna
melindungi rumah dari angin kencang dari arah laut.
“Nak Salima dan Nak Nadia, Om berterima kasih kepada kalian yang selalu
bersama Rani-ku selama
ini. Om merasa berdosa sekali selama ini telah membuatnya menderita, gara-gara Om
merasa kehilangan ibunya. Tapi Om lupa dengan Rani Om yang juga memerlukan
perhatian dari Om. Om tidak tahu bagaimana jadinya kalau nggak ada kalian.”
Ucap Pak Bharmal dengan mata berkaca-kaca, tangannya mengelus lembut kepala
Jodha, gadis itu hanya tersenyum bahagia.
“Tidak masalah Om, aku dan keluarga, terutama orang tuaku, menganggap
putri Om sebagai bagian dari keluarga kami. Om nggak usah khawatirkan itu.” Pak
Bharmal tersenyum, tangannya masih terus mengelus kepala Jodha.
“Iya Yah, lupakan saja yang sudah berlalu. Rani senang Ayah sudah
kembali seperti dulu lagi. Rani bahagia Yah.”
“Iya Rani Sayang, kali ini Ayah janji tidak akan mengulangi kebodohan
itu lagi. Ayah ingin kembali menata hidup Ayah lagi, Ayah sadar sudah melakukan
hal yang sangat tidak berguna.” Ketiga wanita itu tersenyum bahagia mendengar
ucapan ayahnya Jodha.
Sambil menunggu para lelaki datang, Jodha, Nadia, Salima dan Rahim
menghabiskan waktu menikmati pemandangan laut yang luar biasa itu. Jodha
berdiri menghadap laut, dia memejamkan matanya, dan menghirup aroma laut. Aroma
yang sudah lama tidak pernah dia rasakan laģi. Ya, semenjak kepergian ibunya,
dia tidak pernah lagi datang ditempat itu.
“Sayang.” Jodha membuka matanya dan menoleh kesamping, dilihatnya kekasihnya
sudah berdiri disampingnya dengan tersenyum.
“Loh, sudah kembali Sa-yang?” tanya Jodha dengan rona malu. Jalal
terkekeh. Tangannya mengacak lembut rambut Jodha.
“Iya Sayang, urusan kami sudah selesai. Tidak tega meninggalkan wanita
kami lama-lama.” Sahut Jalal tersenyum usil. Jodha mencubit pelan pinggang
Jalal. Pemuda itu terkekeh. Dirangkulnya bahu gadisnya dan mengajaknya masuk ke
pondok Pak Bharmal dimana Bayu dan yang lainnya sudah menunggu.
Setelah berkumpul semua, Bayu sebagai orang yang memimpin rombongan itu
mengutarakan maksud kedatangannya. Diceritakannya juga tentang pertunangan Jodha dan rencana
pernikahan mereka. Pak Bharmal tersenyum bahagia ketika putrinya meminta ijin
untuk menikah. Putrinya sekarang sudah dewasa. Rani kecilnya yang manja, sudah
menjelma menjadi sosok wanita yang tegar, kuat, dan tangguh. Dia merasa bangga
memiliki putrinya itu, meski dibalik kebanggaannya terselip penyesalan yang
akan selalu dia ingat selamanya.
Begitu juga ketika Jalal meminta ijinnya untuk menikahi putrinya, dia
langsung merestuinya. Karena dia percaya akan pilihan putrinya dan di dukung
oleh restu keluarga Bayu.
“Ayah merestui kalian berdua. Ayah titip Rani kecil Ayah sama kamu
Jalal.” Jalal mengangguk, “Ayah minta tolong, jaga dia, jangan sakiti dia,
biarkan dia menikmati kebahagiaannya, dia pantas mendapatkannya setelah sekian
lama kebahagiaannya tidak pernah Ayah pedulikan.” Ucap Pak Bharmal mengusap
lembut rambut Jodha yang selalu duduk disampingnya.
“Baik Yah, aku akan melakukan apa yang Ayah inginkan. Aku akan berusaha
semampuku untuk membuat Rani kecil Ayah selalu tertawa bahagia.”
“Kamu tahu Jalal, kenapa putri kecil Ayah ini dinamakan Airijodha
Maharani?” tanya Pak Bharmal tersenyum manis memandang wajah putrinya yang juga
menatapnya. Jalal tidak menyahut, hanya diam saja, begitu juga dengan yang
lainnya.
“Maharani itu artinya Ratu, Jodha itu adalah nama seorang ratu dari
India yang terkenal dengan sifatnya yang penuh cinta terhadap suami,
keluarga, dan rakyatnya.
Namun dia tegas, dan mudah
memaafkan. Sedangkan Airi
adalah berawal dari nama ibunya, Airin. Kata Air dalam namanya juga mengandung
harapan kelak dia akan mempunyai sifat dan karakter seperti air yang tenang, menyejukkan,
selalu memberi kehidupan untuk
seluruh makhluk hidup, selalu bisa menempatkan diri dimanapun dia berada, bahkan
ketika perjalanan aliran airnya harus dihadang oleh batu besar, dia tidak melawan, tetapi mengalah
untuk mencari jalan lain. Jadi, Airijodha Maharani diharapkan akan seperti Ratu
Jodha yang mempunyai sifat yang cerdas, santun, penyayang, lembut, namun bisa
memberi manfaat buat orang lain. Dia akan memberi warna dan kebahagiaan untuk
orang disekitarnya.” Jelas Pak Bharmal. Jodha tertunduk malu mendengar
keterangan Ayahnya. Jalal dan yang lainnya terkesima mendengar penjelasan dari
ayahnya Jodha.
“Aamiinn. Iya Yah, sesuai harapan Ayah dan Ibu, seperti itulah sifat
putri Ayah yang selama ini kami lihat dan kami rasakan. Karena itu, kedua orang
tuaku sangat menyayanginya.” Sahut Jalal. Kembali Pak Bharmal tersenyum bahagia.
“Terima kasih Jalal, terima kasih untuk keluargamu Bayu, yang sudah
menyayangi Rani-ku. Kini Ayah tenang, dia berada ditengah-tengah keluarga yang mencintainya.
Semenjak dia pergi dari rumah dulu, Ayah sadar, kalau Ayah sudah berbuat diluar
batas, dan Ayah menyesal akan hal itu.”
“Ayah tenang saja, kami tidak akan membiarkan seorang pun yang akan
menyakitinya.” Janji Jalal.
“Ayah percaya sama kamu dan keluargamu Jalal, dan juga Bayu dan keluarganya
untuk melepas putri kesayangan Ayah ini.” Jodha menatap Ayahnya.
“Ayah nggak mau ikut kami?” Pak Bharmal menggeleng, “kenapa Yah?”
Ayahnya tersenyum lembut.
“Biar Ayah disini saja Rani, biar Ayah
selalu dekat dengan Ibumu. Ayah merasa berdosa kepada Ibu kamu, karena telah
menyia-nyiakan kamu Nak.” Jodha menggenggam tangan ayahnya.
“Ayah nggak boleh gitu, Rani yakin, Ibu
disana juga tidak akan senang melihat Ayah kayak gini. Ayah harus membuka hati
Ayah lagi, jangan menyiksa diri seperti ini Yah. Carilah pengganti Ibu, Rani
ikhlas kok, biar di masa tua Ayah tidak kesepian. Ya Yah.” Pak Bharmal terdiam.
“Jodha benar Om. Tidak baik terlalu
menyesali semua yang telah terjadi. Anggap saja itu mimpi buruk, dan Om harus
bangun dan kembali melihat kenyataan yang baru.” Ujar Bayu. Pak Bharmal
mengangguk, menyetujui perkataan Bayu.
“Iya Yah, kalau Ayah mau, nanti aku
ngomong sama Papa, agar bisa kerja di perusahaan Papa.” Usul Jalal. Namun Pak
Bharmal menggeleng.
“Tidak Jalal. Tidak usah. Ayah tidak enak
harus seperti itu. Biar Ayah cari pekerjaan sendiri saja.” Tolak Pak Bharmal
secara halus.
“Gimana kalau Om kerja di cafe and resto
milik Ayah saya Om? Disana ada kebun wisata juga. Siapa tahu Om senang dan
cocok bekerja disana.” Tawar Bayu. Pak Bharmal terdiam dan menoleh ke arah
putrinya. Jodha mengangguk dan tersenyum.
“Baiklah Bayu, Om terima tawaran kamu. Terima kasih banyak, kamu dan
keluargamu sudah banyak membantu keluarga Om.” Bayu tersenyum.
“Nggak masalah Om. Lagian kami senang kalau Om kerja disana, biar Jodha
nggak jauh-jauh lagi nyari Om kesini.”
“Iya, Baiklah. Om tidak akan pergi jauh-jauh lagi. Om ingin melihat Rani
kecil Om bahagia dan selalu di dekat Om.” Jodha tersenyum bahagia mendengar
ucapan ayahnya.
“Makasih ya Yah.” Ayahnya mengangguk.
Sore harinya Bayu memutuskan untuk mengajak anak dan istrinya kembali ke
hotel. Sedangkan dua pasangan lainnya memilih menginap di rumah ayahnya Jodha. Mereka
menghabiskan waktu untuk menikmati debur ombak yang menerjang batu karang, berjalan-jalan
dipantai, berdiri ditebing menikmati sunset. Mansingh dan Nadia masih berada di
bawah, dipantai. Sedangkan Jalal dan Jodha di depan rumah menikmati luas dan
jernihnya air laut dari atas tebing.
Jalal memeluk Jodha dari belakang, kedua tangannya mendekap erat diperut gadis itu. Jodha menyandarkan
kepalanya di dada pemuda itu.
“Dulu, kalau datang kesini aku sering duduk di tempat ini memandang laut
tanpa merasa bosan. Sejauh mata memandang, hanya hamparan air yang menenangkan.
Memberikan perasaan damai dalam hati.” Kata Jodha dengan pandangan mata tidak
lepas dari laut di depannya. Jalal tersenyum, dia menyangga dagunya diatas bahu
Jodha.
“Hm...memang damai Sayang. Apalagi ada kamu seperti ini. Rasanya nggak
mau pulang.” Jodha terkekeh. Tangannya mengusap lembut pipi Jalal, dan sebelah
tangannya menempel diatas punggung tangan laki-laki itu yang mendekap perutnya.
“Selalu saja ada kesempatan untuk menggombal.” Ucapnya sambil berdecak.
Jalal terkekeh. Dia mengeratkan pelukannya.
“Biar saja. Lagian kenyataannya memang begitu. Saat-saat seperti ini
yang aku nantikan Nem. Ingin memelukmu terus tanpa rasa bosan, Ratu
Hatiku.” Ucap Jalal seraya mencium
rambut Jodha beberapa kali. Jodha kembali tersenyum bahagia. Menikmati detik
demi detik kebersamaan mereka di tempat itu. Tempat yang terlalu indah untuk di
lupakan.
===TBC===
Tidak ada komentar:
Posting Komentar