Menu

Jumat, 12 Februari 2016

BIARKAN AKU JATUH CINTA. PART. 24 (MAHARANI-KU)


Met malem, ketemu Inem lagi ye. Warning nih : di part ini akan ada adegan kekerasan dan kata-kata kasar, mohon maaf kalau ada yang kurang berkenan. Buat yang lemah jantung, menjauhlah dari benda-benda tajam, apalagi kalau sampai hp nya dibanting. Sayang banget nggak ketemu Inem lagi. Hehehe... buat yang selalu baper, silakan sediakan tisu, dan yang selalu mual sediakan obat maag ya. Itu aja pesan dari emaknya Inem. Semoga selalu sehat ye... aamiinn...
======000=====
Setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh, akhirnya rombongan Bayu tiba juga di kota Pacitan. Karena hari sudah sore, mereka memutuskan untuk menginap saja di hotel dan sekalian istirahat. Bayu memilih tiga kamar, dia dan keluarganya, Jodha dan Nadia, Mansingh dan Jalal. Karena kelelahan, setelah makan malam mereka hanya ngobrol sebentar kemudian segera beristirahat.
Jodha yang ingin segera tidur, segera membaringkan tubuhnya, namun tidak bisa memejamkan matanya. Kerinduannya kepada ayahnya membuat dia terus terjaga. Diliriknya Nadia yang sejak tadi sudah terbang ke alam mimpi, nampak pulas karena kecapekan. Dia membalikkan tubuhnya memcari posisi yang nyaman agar bisa tertidur dengan segera, namun tetap saja kelopak matanya tidak mau merapat.
Akhirnya dia bangun, memakai jaketnya, dan berjalan menuju balkon ingin mencari udara segar. Jam masih menunjukkan pukul 23.00. Masih belum terlalu malam pikirnya. Setelah membuka pintu, dia melangkah keluar. Kamarnya yang berada dilantai 5, memudahkannya untuk melihat keadaan dibawah. Jalan raya masih terlihat ramai, meski tidak terlalu padat.
Jodha mengeratkan jaketnya, karena hawanya dingin. Dia menatap langit yang hanya menampilkan bintang-bintang bertaburan. Sesekali awan mendung berlalu dan menutupinya. Dia mendesah, terasa sangat panjang baginya malam ini, tidak sabar rasanya menunggu pagi.
Teringat akan ayahnya yang selama lebih setahun ini tidak pernah bertemu, bagaimana keadaannya? apa dia sehat? Apa masih mabuk-mabukan seperti dulu? Bagaimana dengan pekerjaannya selama ini?. Ingatan Jodha melayang sewaktu kedua orang tuanya masih lengkap. Ibunya, ayahnya, selalu memanjakannya, bahkan ketika ingin tidurpun, kedua orang tuanya selalu menungguinya sampai dia tertidur sambil mendongeng, setiap kali libur kerja, ayahnya pasti mengajaknya dan ibunya untuk sekedar jalan-jalan saja. Karena itu, meskipun ayahnya semenjak ibunya meninggal tidak pernah memberi perhatian lagi kepadanya, namun Jodha selalu berharap suatu saat ayahnya akan kembali seperti dulu, menjadi ayah yang hangat buatnya.
Jodha mendongakkan kepalanya sambil memejamkan matanya, dari sudut matanya mengalir air mata meski dia sudah berusaha untuk menahannya. Kedua tangannya berpegangan pada pagar balkon. Tiba-tiba saja dia merasakan sentuhan di pipinya, sebuah tangan mengusap air matanya. Dia membuka mata dan terkejut melihat Jalal sudah berada disampingnya dan mengusap air matanya.
Pemuda itu tersenyum dengan tangannya yang masih membersihkan air mata Jodha. Gadis itu terdiam, namun pandangannya masih tertuju pada kekasihnya yang tiba-tiba saja muncul disampingnya.
“Kenapa Sayang?” bisik Jalal. Jodha menggeleng, “nggak mau cerita?” Jodha menunduk, “ya sudah kalau nggak mau cerita.” Ucap Jalal dengan lembut.
“Tidak ada-apa. Hanya kangen Ayah.” Sahut Jodha lirih. Jalal segera memeluknya, menyandarkan kepala gadis itu di dadanya. Tangannya mengusap-usap lembut punggung Jodha. Sedangkan kedua tangan gadis itu melingkar dipinggang Jalal. Dia sudah tidak menangis lagi.
“Sabar ya Sayang, besok kita akan bertemu dengan ayahmu. Ayah kita.” Hibur Jalal. Jodha hampir tertawa mendengar ucapan kekasihnya yang mengucapkan kata ‘ayah kita’. Maksudnya apa tuh? Seenaknya saja bilang ayah kita. Kan belum ada persetujuan dari ayahnya. Hehehe...
“Memangnya kamu nggak malu mengakui ayahku sebagai ayah kita?” tanya Jodha sambil tersenyum.
“Kenapa harus malu? Anak kandungnya saja nggak malu, masa aku yang malu.” Jawab Jalal dengan santai.
“Tapi ayahku tukang mabuk. Entah sudah berhenti apa belum.” Jalal merenggangkan pelukannya. Kedua tangannya berada di pundak Jodha.
“Kamu lupa Sayang. Calon suamimu ini juga dulunya tukang mabuk. Tapi kenapa kamu nggak malu?” Jodha tertawa pelan.
“Ya, kali aja kamu malu, punya mertua tukang mabuk.” Jalal menggeleng.
“Aku nggak peduli. Tapi aku kasihan sama kamu Sayang.” Jodha menatapnya heran.
“Kasihan kenapa?” Jalal terkekeh.
“Ya kasihan aja, punya ayah tukang mabuk, dan calon suami mantan tukang mabuk. Ntar kita joget bareng, hehehe...” Jodha ikut tertawa.
“Tapi, masa sekarang masih ingin mabuk lagi, Sa-yang.” Tanya Jodha dengan wajah memerah. Dia memang sudah bisa mengatakan kata sayang, namun dibarengi perasaan malu. Sehingga bila dia mengucapkan kata itu, wajahnya ikut memerah. Jalal suka sekali melihatnya, rasanya menyenangkan bisa mendengar Inemnya mengucapkan kata sayang dengan dibarengi rona merah di wajahnya.
“Aku janji nggak akan mabuk lagi sayang, kecuali...” ucapan Jalal terhenti, dia tersenyum melihat gadis itu menatapnya dengan penasaran.
“Kecuali? Apa?”
“Kecuali mabuk akan cintamu, Sayang.” Tawa pun menyembur dari mulut Jodha. Dia langsung menutup mulut dengan punggung tangannya. Ckck...ciri khas dari tuan mudanya yang akan selalu dia dengar terus. Jalal pun ikut terkekeh. Dia tahu, Inemnya geli dengan ucapannya tadi.
“Ya, ya... tidak mengapa mabuk akan cintaku, asalkan tidak lupa diri saja. Bisa bahaya.” Kekeh Jodha.
“Bagaimana aku nggak lupa diri Sayang, dengan menatapmu begini saja aku sudah tenggelam dalam pesonamu, dan lupa akan keadaan disekitarku.” Ucap Jalal menatap lembut wajah Jodha yang harus menelan ludah dengan susah payah, meski ucapan pemuda itu terlalu berlebihan menurutnya dan hampir membuatnya kembali tertawa, tapi tak urung juga dia ikut terpesona. Ya Tuhan, kenapa badannya jadi panas dingin begini? Apa dingin karena terkena angin malam, dan panas karena berdekatan dengan kekasihnya itu?
Tidak seperti dugaannya, Jalal menangkup wajahnya dengan kedua tangannya dan mencium lembut kening Jodha. (hahahaha...Jodha ngarep dicium dibibir).
“Sekarang tidurlah, sudah larut malam. Besok kita akan pergi ketempat Ayah. Kamu juga harus istirahat.” Ucap Jalal sambil mengusap rambut Jodha, kali ini sikapnya sangat nyaman. Berbeda dengan tadi, sikapnya benar-benar bikin mual. Jodha mengangguk, “masuklah, sweet dream sayang.”
Jalal melangkah meninggalkan Jodha yang masih melihatnya menyeberang ke balkon sebelahnya. Karena memang kamar mereka berdampingan. Jodha tersenyum melihatnya. Dia pun masuk ke dalam, merebahkan tubuhnya disamping Nadia yang tertidur pulas. Berusaha untuk memejamkan matanya.
***
Keesokan harinya, setelah sarapan pagi rombongan Bayu segera berangkat menuju pantai Banyu Tibo yang memakan waktu kurang lebih 45 menit dari tengah kota. Kota Pacitan memiliki beragam destinasi wisata. Bahkan kota tersebut di kenal dengan julukan, kota 1001 goa. Bisa dibayangkan berapa banyak goa yang bisa dijadikan tempar wisata. Dan yang tak kalah menariknya adalah pantainya yang eksotik. Indah sekali.
Banyak pantai yang indah yang bisa dijadikan referensi wisata. Salah satunya yaitu Pantai Banyu Tibo. Pantai yang berhadapan langsung dengan laut Samudra Hindia ini, memiliki air terjun yang memiliki rasa tawar dipinggir tebing dan airnya mengalir langsung menuju laut. Hempasan ombak yang menghantam keras tebing karang berulangkali merupakan pemandangan yang tidak akan bisa dilupakan.
Berbekal petunjuk dari warga yang mereka temui, Bayu dan rombongan terus melaju menuju perkampungan Widoro, dimana diyakini tempat ayahnya Jodha, Pak Bharmal Singh berada. Jalan yang mereka tempuh pun sudah bisa menggunakan mobil. Begitu sampai dipantai Banyu Tibo, Bayu berhenti sebentar dan turun untuk bertanya kepada warga setempat. Terlihat dia berbicara serius dengan warga tersebut yang menunjuk-nunjuk salah satu arah. Bayu mengangguk dan kembali ke mobilnya.
“Apa kata Bapak tadi Bang?” tanya Jodha kepada Bayu yang kembali menjalankan mobilnya.
“Iya, sepertinya Ayahmu memang berada disini Jo. Sudah lama dia berada disini rupanya.” Wajah Jodha terlihat sumringah. Dia senang sekali akan bertemu ayahnya. Sedangkan yang lain ikut tersenyum bahagia melihatnya.
“Ah, syukurlah Bang. Aku senang sekali. Kangen banget sama ayah.” Ucapnya dengan mata berkaca-kaca. Nadia yang duduk disampingnya mengelus lengannya dan tersenyum. Ikut merasakan kebahagiaan sahabat baiknya itu.
Mobil Bayu perlahan menyusuri jalan seperti yang diberitahukan warga tadi menuju ujung perkampungan. Tiba-tiba Nadia yang duduk di belakang supir menepuk bahu abangnya pelan.
“Bang, Bang, pelan dikit. Coba lihat itu Bang. Bukankah itu Om Bharmal?” tunjuk Nadia kearah depan. Bayu menghentikan mobilnya.
“Ayah...” ucap Jodha tanpa sadar.
Bayu, Jalal dan Mansingh yang memandang kearah objek yang ditunjukkan Nadia, mengepalkan tangan menahan geram. Terlihat di depan sana ayahnya Jodha yang berada di depan sebuah rumah, sedang bersama beberapa orang. Bahkan tidak jauh dari rumah itu terparkir beberapa motor trail. Dan yang membuat ketiga laki-laki itu geram, adalah orang yang dulu pernah mengejar Jodha dan ayahnya karena hutang. Siapa lagi kalau bukan Adam.
“Untuk apa dia kesini lagi?” desis Jalal, “bukankah semua hutang sudah dibayarkan?”
“Tenang dulu Jalal, kita tidak tahu persoalannya kali ini. Tahan emosimu.” Perintah Bayu. Mereka berempat nampak tegang, hanya Nadia dan Salima saja yang terlihat bingung. Itu karena mereka tidak pernah melihat secara langsung orang yang bernama Adam itu.
Terlihat Pak Bharmal berdiri dengan tenang, tidak ada raut ketakutan diwajahnya. Sedangkan Adam berdiri angkuh didepannya, tidak lupa seringaian liciknya ikut terpasang. Sementara dibelakang ada berdiri 4 orang pengawalnya. Mereka semua berdiri membelakangi jalan, sehingga mereka tidak tahu akan kedatangan Bayu dan rombongan.
“Apa yang kau inginkan Adam? Kalau kau ingin memenjarakan aku, silakan? Bukankan rumahku dan seluruh hartaku sudah kau ambil? Kurang apalagi?” tanya Pak Bharmal. Adam tertawa angkuh.
“Wah, berani juga kau Pak Tua. Apa kau lupa ketika kau memohon-mohon ingin meminjam uang kepadaku dan berjanji akan membayarkan secepatnya. Tapi mana, hah? Lupa? Bahkan anakmu yang kau bilang ingin diberikan kepadaku sampai sekarang tidak pernah kau antar.” Pak Bharmal meludah di tanah.
“Cuih. Jangan harap kau bisa mengganggu putriku. Tidak akan aku serahkan kepadamu, lakukan saja apa yang kau inginkan kepadaku, tapi aku tidak akan menyerahkan putriku. Dasar lintah darah.” Bentak Pak Bharmal. Adam justru terkekeh. Dia berkacak pinggang dengan sebelah tangannya dan sebelahnya lagi mengelus-elus jenggotnya sambil menyeringai.
“Hm, ternyata kau berubah pikiran Pak Tua. Bahkan kau sampai bersembunyi di tempat seperti ini. Oke. Tidak masalah, aku yang akan memaksa putrimu untuk datang kepadaku. Dan aku sudah tahu dia berada dimana sekarang. Aku yakin, dia tidak akan tega melihat ayahnya tersiksa.” Wajah Pak Bharmal nampak pucat. Gawat kalau sampai Adam tahu dimana putrinya berada. Dia saja tidak tahu dimana anaknya sekarang.
“A-apa yang akan kau lakukan kepada putriku?” tanya Pak Bharmal dengan suara bergetar. Adam tertawa mengejek.
“Kenapa? Kau takut Pak Tua? Aku pikir anakmu boleh juga, kau tahu, dia pernah menghajarku, dan kali ini aku nggak akan membiarkannya tertawa senang seperti waktu itu.” Pak Bharmal langsung berlutut di hadapan Adam. Kedua tangannya memegang tangan laki-laki itu.
“Ku mohon. Jangan sakiti putriku. Dia satu-satunya hartaku didunia ini. Lakukan apa yang ingin kau lakukan padaku. Aku tidak akan melawan dan lari lagi.” Ucap Pak Bharmal mengiba-iba. Dia tidak rela putrinya menjadi korban kejahatan laki-laki itu. Dia menyesal dulu pernah menyanggupi akan menyerahkan putrinya kepada Adam.
“Akhirnya kau memohon lagi kepadaku Pak Tua. Tapi aku tidak akan menuruti keinginanmu itu. Putrimu akan menjadi milikku. Hahahaha...” Pak Bharmal semakin ketakutan. Terbayang wajah ketakutan anaknya bila Adam melaksanakan niatnya. Tidak. Dia tidak akan bisa melakukan hal itu, istrinya di surga sana pasti akan kecewa kepadanya, yang sudah menyia-nyiakan putri kesayangan mereka.
“Tolonglah, jangan ambil putriku. Kasihan dia, lepaskan dia. Dia tidak bersalah. Aku yang bersalah. Hukum saja aku.” Pinta Pak Bharmal bahkan memeluk kaki Adam yang masih tertawa senang. Namun sejurus kemudian wajahnya berubah serius dan angkuh.
“Tidak! Permintaanmu tidak akan aku penuhi. Karena dia sudah menghinaku, jadi aku akan memberikan pelajaran kepadanya. Lihat saja nanti. Dan kau Pak Tua, akan segera menyusul istrimu.” Bentak Adam, kakinya menendang tubuh ringkih Pak Bharmal yang memeluk kakinya. Spontan saja, tubuh tua itu terjengkang ke belakang.
“Ayaaahhhh...!”
Pak Bharmal, Adam dan pengawalnya terkejut mendengar teriakan seorang perempuan. Belum hilang keterkejutan mereka, tahu-tahu Jodha sudah berada disisi tubuh ayahnya yang terjengkang itu.
“Ayah. Ayah tidak apa-apa?” tanya Jodha membimbing ayahnya untuk duduk.
“Rani? K-kau Raniku? K-kau datang Nak?” tanya Pak Bharmal dengan rasa tidak percaya. Air matanya mengalir, tangannya mengusap lembut pipi Jodha.
“Rani?” gumam Jalal. Mereka berempat sudah berdiri dibelakang Adam dan pengawalnya. Sementara Salima dan Rahim disuruh menunggu di mobil saja.
“Itu nama kesayangan kedua orang tua Jodha, sewaktu ibunya masih hidup, Bang Bos. Semenjak ayahnya menjadi pemabuk, dia tidak pernah lagi dipanggil seperti itu oleh ayahnya.” Jelas Nadia sambil berbisik disampingnya. Jalal mengangguk-angguk mengerti.
“Iya Ayah, ini aku. Rani kecilmu dulu Yah.” Jawab Jodha sambil menangis. Pak Bharmal memeluknya dengan erat.
“Maafkan Ayah, Rani. Maafkan Ayah yang sudah menelantarkanmu. Maafkan Ayah Nak, maafkan.” Ucal Pak Bharmal dengan tersengal-sengal saking gembiranya.
“Nggak Ayah. Ayah nggak salah. Maafkan aku yang sudah pergi dari Ayah.” Bharmal menggelengkan kepalanya.
“Tidak Rani, Ayah yang salah. Tidak seharusnya Ayah memaksamu. Maafkan Ayah ya.”
“Ayaaahhh...”
Nadia sempat ikut meneteskan air mata melihat drama pertemuan Jodha dengan Ayahnya. Bayu, Jalal, Mansingh hanya diam terpaku. Sesaat semuanya lupa dengan keadaan yang sebenarnya. Bahkan Adam dan anak buahnya juga sempat terdiam, sebelum akhirnya dia tersadar.
Plok...plok...plok... Adam bertepuk tangan. Pak Bharmal dan Jodha melepaskan pelukannya. Jodha menatap Adam dengan tajam.
“Airijodha Maharani. Wow, pertemuan yang mengharukan sekali.” Ucap Adam  dengan seringaian angkuhnya, “rupanya aku tidak perlu repot-repot untuk mencarimu. Ternyata kau datang sendiri Sayang.” Jodha menatap Adam dengan tatapan jijik.
“Apa yang kamu lakukan terhadap Ayahku? Bukankah hutang Ayahku sudah lunas?” bentak Jodha geram. Hilang kepolosan yang biasa terhias di wajahnya.  Jalal sedikit menggidik melihat perubahan wajah kekasihnya itu. Tidak pernah sekalipun dia melihat Inemnya seperti itu, bagaimanapun marahnya dia selama ini.
“Oho...tidak segampang itu sayang. Lagipula, kau terlalu berharga untukku lepaskan.” Ucap Adam dengan tersenyum miring. Dia masih belum menyadari akan kehadiran empat orang dibelakangnya.
“Kau!” desis Jodha, dia menunjuk muka Adam dengan sinar mata yang mengandung kebencian yang luar biasa, “Dasar brengsek, kau sengaja memanfaatkan Ayahku untuk keuntungan pribadimu sendiri.”  Adam tertawa terbahak-bahak.
“Ternyata kau pintar sayang, tidak sia-sia aku memilihmu. Baiklah, lupakan hutang Ayahmu itu dan ikutlah bersamaku. Aku jamin, hidupmu tidak akan sengsara. Kau akan menjadi ratu di istanaku.” Jodha meludah ke tanah.
“Silakan bermimpi sepuasmu Tuan Adam yang terhormat. Tapi jangan harap aku dengan rela hati menerima tawaranmu. TIDAK AKAN PERNAH SUDI. Camkan itu!” teriak Jodha dengan amarah yang meluap-luap, wajahnya nampak merah, giginya gemeretak menahan marah. Seringaian Adam memudar, yang ada kini wajahnya merah padam dan kaku, rahangnya mengeras, dan tangannya mengepal.
“Baiklah Sayang, karena kau meminta seperti itu. Akan aku kabulkan keinginanmu. Kau memang senang dipaksa rupanya. Dan ingat, aku akan membalas penghinaan yang pernah kau lakukan kepadaku waktu itu.” Jodha tersenyum miring, dia memapah ayahnya menjauh dan mendudukan ayahnya di bangku panjang di depan rumah tersebut.
“Ayah, tunggu disini dulu ya.” Ucap Jodha dengan lembut.
“Kamu kemana Rani?” tanya Pak Bharmal mencekal tangan Jodha. Dia tersenyum.
“Tenanglah Ayah, aku akan memberikan pelajaran laki-laki itu.”
“Tapi...”
“Tidak apa-apa Ayah,  jangan khawatir ya. Rani sayang Ayah.” Ucap Jodha mengecup pipi ayahnya yang hanya bisa diam saja melepas putrinya berjalan pelan kearah Adam yang masih berdiri dan menatapnya dengan amarah.
“Sekarang, hadapi aku. Buktikan kalau kau laki-laki sejati.” Tantang Jodha memasang kuda-kuda.
“Tunggu!”
Adam dan anak buahnya berbalik kebelakang, ternyata Bayu yang bersuara tadi. Dia berjalan kearah Jodha. Sementara Jalal, Nadia, dan Mansingh masih diposisinya semula. Laki-laki itu sedikit terkejut melihat Bayu, juga Jalal dan Mansingh, namun sedetik kemudian raut wajahnya kembali seperti tadi.
“Wah, wah, benar seperti dugaanku semula. Rupanya gadis ini yang membuat  kalian rela melakukan apapun untuknya. Apa yang kalian dapatkan darinya?” sindir Adam. Bayu tersenyum, dia merangkul bahu  Jodha.
“Kau keliru Adam, dia adalah adikku. Dan demi adikku, aku akan melakukan apa saja agar dia terhindar dari orang yang tidak punya perasaan dan tidak punya malu sepertimu.” Jawab Bayu dengan tenang. Adam hanya tersenyum sinis mendengar ucapan Bayu, “dan satu lagi, kau sudah menyalahi perjanjian kita. Kau bilang tidak akan mengganggu Jodha dan ayahnya lagi. Ternyata kau bohong, kali ini kau tidak akan aku lepaskan lagi.”
“Wow, ada pahlawan kesiangan rupanya. Baiklah, kita selesaikan urusan kita hari ini juga.” Sahut Adam memberi kode kepada anak buahnya. Salah satu anak buahnya maju dan menghadapi Bayu, sedangkan ketiga masih dibelakang Adam.
“Mundur Jo, biar Abang yang hadapi.” Pinta Bayu, Jodha mengangguk, dia mundur beberapa langkah, agak kesamping. Kini Bayu dan anak buah Adam saling berhadapan. Rupanya kali ini Adam tidak main-main seperti dulu, bodyguardnya benar-benar bisa bela diri. Karenanya dia percaya diri. Ketika Bayu dan anak buahnya saling serang, Adam melangkah ingin mendekati Jodha yang menatapnya dengan tatapan jijik.
“Hei, jangan ganggu dia.” Teriak Jalal. Dia sudah melangkah ingin menghalangi Adam yang mendekati Inemnya, namun ketiga anak buah Adam yang masih berdiri, serentak mengepung mereka bertiga, membuat langkahnya terhenti.  Adam tersenyum sinis.
“Ingin melindungi dia juga anak muda? Silakan hadapi dulu anak buahku, biar gadis ini aku yang hadapi. Akan kupaksa dia ikut denganku.” Ejek Adam.
“Kurang ajar kau! Hadapi aku kalau kau memang laki-laki. Kita selesaikan secara jantan.” Teriak Jalal, Adam hanya terkekeh.
“Bicaralah sepuasmu, anak muda.” Sahut Adam sambil memberi isyarat kepada anak buahnya untuk menghadapi mereka bertiga. Ketiga anak buahnya mengangguk.
“Sial!” maki Jalal. Bahunya ditepuk oleh Nadia.
“Tenang saja Bang Bos, serahkan saja kepada Jodha. Dia pasti bisa menghadapinya. Sekarang kita hadapi mereka saja dulu.” Akhirnya Jalal mengangguk pasrah, “bagus, it’s show time.”  Ucap Nadia memasukkan permen karet ke mulutnya, dan bersiap-siap menghadapi anak buah Adam.
Kini perkelahian yang adil dan seimbang, kelimanya menemukan lawan yang pantas. Bukan hal yang mudah menaklukkan anak buah Adam, karena memang mereka benar-benar menguasai ilmu bela diri.
“Om, sini Om. Ikut aku. Kita nyari tempat yang enak buat bermain berdua ya Om.” Ujar Nadia kepada salah satu dari anak buah Adam. Dia melangkah menjauh dari Jalal dan Mansingh, diikuti oleh pria tadi dengan wajah datar, “ih, Om kok nggak ada senyum-senyumnya sama sekali sih? Kaku amat, kebanyakan dimasker ya Om, makanya mukanya datar gitu?” celoteh Nadia ketika mereka berdua sudah berhadapan. Namun pria tersebut hanya diam dan menatap Nadia dengan tajam.
“Beb, hati-hati.” teriak Mansingh dengan wajah sedikit khawatir.
“Oke Bang. Tenang saja. Serahkan kepadaku, lumayan untuk menggerakkan otot setelah kelamaan hanya duduk di mobil saja.” Kekeh Nadia sambil terus mengunyah permen karetnya. Dia menggerakkan kepalanya kekiri dan kekanan, meremas jemarinya sampai terdengar bunyi berderak. Abangnya dan juga yang lain hanya menggeleng mendengar ocehannya. Sempat-sempatnya disaat tegang begitu dia ngoceh dengan santainya. Benar-benar Nadia yang sesungguhnya.
Nadia segera bersiap, kedua kakinya direnggangkan dan ditekuk sedikit untuk kuda-kuda, sebelah tangannya melambai menyuruh pria tadi untuk menyerangnya. Tanpa menunggu perintah dua kali, pria tersebut maju dan menyerang Nadia. Gadis itu dengan santai berkelit.
“Hati-hati Om, kalau menyerang wanita itu yang lembut Om, kayak gini nih.” Ucapnya ketika bisa menghindari serangan pria tadi dan membalas mengayunkan tinjunya ke arah rahang lawannya, spontan pria itu mengaduh dan terundur kebelakang, “gimana Om, lembutkan sentuhanku? Pasti Om ketagihan.” Ejeknya mengusap kepalan tangannya dan meniupnya.
Pria tadi menatapnya dengan marah, tangannya masih mengusap rahangnya yang nyeri. Dia kembali menyerang Nadia dengan serius,
“Tuhkan, Om benar-benar ketagihan sentuhanku.” Oceh Nadia sembari menangkis serangan lawannya, sampai akhirnya dia tidak bisa ngoceh sembarangan lagi dan fokus kepada serangan lawannya. Nadia benar-benar bersemangat mendapatkan lawan yang seimbang dan benar-benar menguras tenaga.
Tetapi memang laki-laki tadi bukan lawan yang seimbang buat Nadia, meski tubuhnya terlihat mungil namun tenaganya luar biasa. Efek dari latihannya selama ini. Nadia menyudahi pertandingannya dengan menyundulkan lututnya ke arah ulu hati pria tersebut, dan kepalan tangannya menghantam pelipis pria tersebut dengan keras. Laki-laki itu ambruk dengan tubuh lebam disana sini dan wajahnya penuh darah. Pingsan.
Nafas Nadia tersengal-sengal karena menemukan lawan yang lumayan tangguh, dia segera memperbaiki pakaiannya yang agak berantakan dan menyeka keringat di dahinya sambil memandangi lawannya yang pingsan.
“Makasih ya Om, sudah mau ngajak aku olahraga pagi ini. Tuh kan, aku jadi keringetan nih Om. Terpaksa harus mandi lagi. Tapi maaf ya Om, sudah bikin make up Om menor, salahnya sih Om ganjen ingin disentuh mulu, jadinya ya begitu akhirnya.” Ucapnya tanpa beban sama sekali. Bayu, Jalal, dan Mansingh yang sudah menyelesaikan pertarungan mereka hanya menggelengkan melihat kelakuan Nadia. Polisi patroli yang berada disekitar daerah wisata tersebut segera berdatangan, karena perkelahian tersebut mengundang perhatian warga dan wisatawan yang berkunjung ke pantai itu.
Sementara Jodha yang berkelahi dengan Adam masih terus melawan, meskipun dulu dia pernah mengalahkan pria itu, namun Adam bukanlah orang yang gampang untuk dikalahkan. Dulu dia mudah kalah karena memang senjata utamanya sudah kalah duluan, makanya di tidak sanggup lagi untuk berdiri dan melawan Jodha. Bayu dan Jalal yang ingin membantu, ditolak oleh gadis itu. Kali ini dia benar-benar ingin menghajar laki-laki itu. Sudah berapa tahun kebahagiaannya terenggut olehnya, dengan terus mencekoki ayahnya dengan hutang, minuman keras, dan judi. Mengingat semua itu, membuat Jodha lupa dengan keadaan sekitarnya, dia terus melancarkan pukulannya ditubuh Adam. Dia bahkan tidak sadar kalau lawannya itu sudah lemas.
“Sudah Sayang, cukup, kamu akan membuatnya mati kalau dipukul terus seperti itu.” Ucap Jalal menahan tubuh kekasihnya itu yang terus berontak ingin kembali menghajar Adam yang sudah tidak berdaya lagi.
“Lepaskan aku, dia harus membayar semua yang telah dia lakukan terhadap Ayahku. Dia membuat aku kehilangan Ayahku. Lepaskan aku, aku harus menghajarnya lagi, biar dia tahu rasa sakitnya menderita karena perbuatannya.” Jerit Jodha. Namun Jalal memeluknya dengan erat, sampai akhirnya dia berhenti memberontak dalam pelukan Jalal, dan menangis terisak-isak.
Stt..., Sudah Sayang, sudah. Semua sudah kembali lagi. Kita sudah bertemu Ayah. Biarkan saja dia, nanti polisi yang akan menanganinya. Sudah ya.” Hibur Jalal mengusap-usap punggung Jodha yang mulai tenang. Pak Bharmal yang menyaksikan hal itu hanya bisa meneteskan air mata, hatinya terasa tertusuk membayangkan penderitaan putrinya yang kehilangan kasih sayang seorang ayah, akibat kesombongannya sendiri. Bayu dan yang lainnya hanya bisa terpaku melihat adegan tersebut.
Sementara itu, Adam yang terkulai lemas namun masih sadar, perlahan tangannya menyelinap dibalik bajunya mengambil sebuah pistol, dan menodongkannya ke arah Jodha yang masih dipeluk oleh Jalal disaat semua orang masih terdiam. Namun dia salah, Nadia yang melihat Adam menodongkan pistolnya ke arah Jodha langsung menendang tangannya sehingga pistol tersebut melayang keudara. Tetapi karena posisi pistol tersebut sudah dalam keadaan siap tembak, membuat suara menyalak keluar dari moncongnya yang mengarah ke atas.
Dor!
Semua terkejut. Begitu juga dengan Jalal dan Jodha yang masih berpelukan, keduanya melepaskan diri dan melihat Nadia kembali menghajar Adam.
“Kurang ajar, kau ingin curang hah. Jangan harap, ini rasain sarapan pagimu dariku.” Ucap Nadia melayangkan pukulannya kekepala Adam beberapa kali sambil mengomel. Terlihat dia nampak kejam, namun ucapannya membuat semua orang yang ada disitu nampak geli. Sampai akhirnya Adam benar-benar tergeletak tidak berdaya. Pingsan.
Nadia mengusap punggung tangannya sambil nyengir, “beres.” Ucapnya. Semua menarik nafas lega. Jodha menatap Nadia dengan tersenyum.
“Makasih ya Nad.” Nadia tersenyum.
“Sama-sama, my sister.” Sahutnya santai.
“Kamu sudah dua kali menyelamatkanku.” Nadia hanya terkekeh.
“Nggak usah dihitung Jo, ntar juga penuh sendiri.” Jawabnya santai, dia melangkah mendekati ayahnya Jodha. Sementara Adam dan anak buahnya sudah diborgol dan diamankan polisi di mobil patrolinya, setelah berbicara dengan Bayu.
“Kamu pikir celengan Nad, jadi penuh sendiri tanpa dihitung?” tanya Jalal, meski dia tahu itu hanya ucapan asal Nadia saja.
“Haa...iya kali Bang, siapa tahu kalau sudah penuh bisa menaikhajikan Ayah sama Ibu dan kel...awww...” celotehannya terhenti karena dia meringis akibat dahinya disentil Mansingh, “ih Abang nyentil sembarangan, dikira kelereng kali pake disentil.” Gerutunya sambil mengusap-usap keningnya.
“Makanya, jangan bicara sembangan Beb. Suasana masih tegang, kamu ngomong terus dari tadi.” Kata Mansingh melototkan matanya, bukannya takut yang ada malah membuat Nadia terkekeh.
“Ya kan biar nggak tegang Bang.” Mansingh mengacak pelan rambutnya.
“Kamu ini ya, ditegur malah ngeles aja terus bawaannya.” Kembali Nadia tertawa. Mansingh merangkul bahu Nadia dan duduk disebelahnya. Jodha dan Jalal juga duduk disamping Pak Bharmal. Sementara Bayu masih berbicara dengan polisi dan aparat setempat mengenai peristiwa tadi. Dari depan muncul Salima dan Rahim.
“Tanteeee...” teriak Rahim sambil berlari meninggalkan Bundanya yang tertinggal dengan berjalan kaki.
“Ya sayang, sini ponakan Tante yang ganteng.” Nadia segera menyambut keponakannya dan mendudukkan di pangkuannya.
“Tante hebat, keren deh.” Puji Rahim mengacungkan jempolnya. Nadia dan yang lain hanya tertawa gemas mendengarnya.
“Iya dong, Tante siapa dulu?”
“Tantenya Rahim dong. Tanteku jagoan.” Celoteh Rahim. Pak Bharmal tersenyum senang mendengar ucapan Rahim.
“Ternyata Tante sama keponakan sama-sama bawelnya.” Ucap Jalal. Nadia meleletkan lidahnya kearah Jalal.
“Biarin aja. Sama-sama tukang bawel nggak usah saling ngiri Bang Bos.” Mansingh dan Jodha tertawa, kembali keduanya bertengkar lagi. Bahkan Rahim ikut tertawa.
Bayu menghampiri mereka, warga sudah membubarkan diri. Hanya mobil patroli polisi yang masih berada disitu dengan Adam dan anak buahnya yang terborgol.
“Jalal, Man, ikut Abang kembali ke kota. Kita akan diperiksa untuk menjadi saksi Adam dan anak buahnya. Kali ini nggak akan Abang lepaskan lagi.” Jalal dan Mansingh mengangguk, Bayu menoleh ke arah istrinya, “Bun, Ayah tinggal dulu ya. Nggak apa-apakan nunggu disini.” Salima mengangguk.
“Iya Yah, nggak apa-apa. Bunda sama Rahim nunggu disini saja. Bereskan urusan Ayah sampai selesai ya.” Bayu tersenyum. Dia mencium kening istrinya dengan lembut,
“Iya Bun, Ayah akan selesaikan secepatnya.” Bayu lalu menuju anaknya yang masih duduk dipangkuan Nadia dan menggendongnya, “Rahim, Ayah pergi dulu ya.” Rahim mengangguk, “janji sama Ayah kalau anak Ayah nggak akan nakal. Oke?” Rahim mengangguk dan tertawa kecil.
“Siap Kapten.” Ucapnya sambil memberi hormat. Bayu tertawa dan mencium anaknya sebentar, setelah itu dia menyerahkan Rahim kembali kepada Nadia, dan pamitan dengan ayahnya Jodha. Akhirnya mereka bertiga berangkat kembali ke kota Pacitan untuk menyelesaikan masalah Adam.
Tinggallah para wanita yang tersisa. Jodha terus-menerus memeluk dan bergelayut manja di lengan ayahnya, sampai-sampai dibilang Nadia seperti dia seperti kangguru, tidak bisa lepas dari ayahnya, tinggal dimasukin dikantong saja lagi. Namun Jodha tidak peduli, kapan lagi dia bisa bermanja dengan ayahnya bentar lagi dia mau nikah.
“Rahim Sayang, pernah lihat binatang yang bernama kangguru tidak?” tanya Nadia kepada Rahim yang masih di pangkunya. Rahim mengangguk.
“Pernah, Tante. Yang punya kantong buat bawa anaknya itu kan Tante?”
“Pinter keponakan Tante.” Rahimnya tersenyum senang.
“Emangnya Rahim lihat dimana Kanggurunya?” tanya Nadia sambil melirik Jodha yang terus bergayut di lengan ayahnya dengan cueknya.
“Di tv Tante.”
“Mau lihat kangguru yang disini nggak Sayang?” wajah Rahim berbinar cerah.
“Mau, mau, Tante. Dimana Tante? aku pengen lihat.” Salima dan Pak Bharmal tertawa melihat ekpresi Rahim yang kesenangan.
“Tuh, yang lagi nempel sama ayahnya. Bentar lagi masuk ke kantong ayahnya, lihat aja nanti ya.” Tunjuk Nadia ke arah Jodha dan ayahnya. Rahim memandang Jodha dan Pak Bharmal dengan dahi berkerut. Tidak mengerti.
“Tante Jodha jadi kangguru?” tanya Rahim penasaran, Nadia mengangguk, “kok bisa Tante?”
“Bisa dong Sayang, kalau Tante Jodhanya nggak mau lepas dari ayahnya, lama-lama kalau ayahnya pergi dan Tante Jodha ikut, dia akan dimasukin ayahnya dikantong tuh, kayak kangguru gitu Sayang.”
“Memang bisa ya Tante? Ayahnya Tante Jodha kan nggak punya kantong?” tanya Rahim polos.
“Bisa dong, pakai kantong kresek.” Jawab Nadia santai. Rahim terdiam sebentar, mungkin membayangkan ucapan tantenya, namun kemudian tertawa terkekeh mendengar jawab Tantenya yang asal itu. Pak Bharmal dan Salima ikut tertawa, hanya Jodha yang mengerucutkan bibirnya mendengar ucapan Nadia.
Pak Bharmal mengajak Jodha dan tamunya masuk kedalam rumah, yang ternyata itu adalah rumahnya sendiri. Rumah yang sederhana, berada beberapa ratus meter dari pinggir tebing. Di depan rumah terdapat beberapa pohon besar berguna melindungi rumah dari angin kencang dari arah laut.
“Nak Salima dan Nak Nadia, Om berterima kasih kepada kalian yang selalu bersama Rani-ku selama ini. Om merasa berdosa sekali selama ini telah membuatnya menderita, gara-gara Om merasa kehilangan ibunya. Tapi Om lupa dengan Rani Om yang juga memerlukan perhatian dari Om. Om tidak tahu bagaimana jadinya kalau nggak ada kalian.” Ucap Pak Bharmal dengan mata berkaca-kaca, tangannya mengelus lembut kepala Jodha, gadis itu hanya tersenyum bahagia.
“Tidak masalah Om, aku dan keluarga, terutama orang tuaku, menganggap putri Om sebagai bagian dari keluarga kami. Om nggak usah khawatirkan itu.” Pak Bharmal tersenyum, tangannya masih terus mengelus kepala Jodha.
“Iya Yah, lupakan saja yang sudah berlalu. Rani senang Ayah sudah kembali seperti dulu lagi. Rani bahagia Yah.”
“Iya Rani Sayang, kali ini Ayah janji tidak akan mengulangi kebodohan itu lagi. Ayah ingin kembali menata hidup Ayah lagi, Ayah sadar sudah melakukan hal yang sangat tidak berguna.” Ketiga wanita itu tersenyum bahagia mendengar ucapan ayahnya Jodha.
Sambil menunggu para lelaki datang, Jodha, Nadia, Salima dan Rahim menghabiskan waktu menikmati pemandangan laut yang luar biasa itu. Jodha berdiri menghadap laut, dia memejamkan matanya, dan menghirup aroma laut. Aroma yang sudah lama tidak pernah dia rasakan laģi. Ya, semenjak kepergian ibunya, dia tidak pernah lagi datang ditempat itu.
“Sayang.” Jodha membuka matanya dan menoleh kesamping, dilihatnya kekasihnya sudah berdiri disampingnya dengan tersenyum.
“Loh, sudah kembali Sa-yang?” tanya Jodha dengan rona malu. Jalal terkekeh. Tangannya mengacak lembut rambut Jodha.
“Iya Sayang, urusan kami sudah selesai. Tidak tega meninggalkan wanita kami lama-lama.” Sahut Jalal tersenyum usil. Jodha mencubit pelan pinggang Jalal. Pemuda itu terkekeh. Dirangkulnya bahu gadisnya dan mengajaknya masuk ke pondok Pak Bharmal dimana Bayu dan yang lainnya sudah menunggu.
Setelah berkumpul semua, Bayu sebagai orang yang memimpin rombongan itu mengutarakan maksud kedatangannya. Diceritakannya juga  tentang pertunangan Jodha dan rencana pernikahan mereka. Pak Bharmal tersenyum bahagia ketika putrinya meminta ijin untuk menikah. Putrinya sekarang sudah dewasa. Rani kecilnya yang manja, sudah menjelma menjadi sosok wanita yang tegar, kuat, dan tangguh. Dia merasa bangga memiliki putrinya itu, meski dibalik kebanggaannya terselip penyesalan yang akan selalu dia ingat selamanya.
Begitu juga ketika Jalal meminta ijinnya untuk menikahi putrinya, dia langsung merestuinya. Karena dia percaya akan pilihan putrinya dan di dukung oleh restu keluarga Bayu.
“Ayah merestui kalian berdua. Ayah titip Rani kecil Ayah sama kamu Jalal.” Jalal mengangguk, “Ayah minta tolong, jaga dia, jangan sakiti dia, biarkan dia menikmati kebahagiaannya, dia pantas mendapatkannya setelah sekian lama kebahagiaannya tidak pernah Ayah pedulikan.” Ucap Pak Bharmal mengusap lembut rambut Jodha yang selalu duduk disampingnya.
“Baik Yah, aku akan melakukan apa yang Ayah inginkan. Aku akan berusaha semampuku untuk membuat Rani kecil Ayah selalu tertawa bahagia.”
“Kamu tahu Jalal, kenapa putri kecil Ayah ini dinamakan Airijodha Maharani?” tanya Pak Bharmal tersenyum manis memandang wajah putrinya yang juga menatapnya. Jalal tidak menyahut, hanya diam saja, begitu juga dengan yang lainnya.
“Maharani itu artinya Ratu, Jodha itu adalah nama seorang ratu dari India yang terkenal dengan sifatnya yang penuh cinta terhadap suami, keluarga, dan rakyatnya. Namun dia tegas, dan mudah memaafkan. Sedangkan Airi adalah berawal dari nama ibunya, Airin. Kata Air dalam namanya juga mengandung harapan kelak dia akan mempunyai sifat dan karakter seperti air yang tenang, menyejukkan, selalu memberi kehidupan untuk seluruh makhluk hidup, selalu bisa menempatkan diri dimanapun dia berada, bahkan ketika perjalanan aliran airnya harus dihadang oleh batu besar, dia tidak melawan, tetapi mengalah untuk mencari jalan lain. Jadi, Airijodha Maharani diharapkan akan seperti Ratu Jodha yang mempunyai sifat yang cerdas, santun, penyayang, lembut, namun bisa memberi manfaat buat orang lain. Dia akan memberi warna dan kebahagiaan untuk orang disekitarnya.” Jelas Pak Bharmal. Jodha tertunduk malu mendengar keterangan Ayahnya. Jalal dan yang lainnya terkesima mendengar penjelasan dari ayahnya Jodha.
“Aamiinn. Iya Yah, sesuai harapan Ayah dan Ibu, seperti itulah sifat putri Ayah yang selama ini kami lihat dan kami rasakan. Karena itu, kedua orang tuaku sangat menyayanginya.” Sahut Jalal. Kembali Pak Bharmal tersenyum bahagia.
“Terima kasih Jalal, terima kasih untuk keluargamu Bayu, yang sudah menyayangi Rani-ku. Kini Ayah tenang, dia berada ditengah-tengah keluarga yang mencintainya. Semenjak dia pergi dari rumah dulu, Ayah sadar, kalau Ayah sudah berbuat diluar batas, dan Ayah menyesal akan hal itu.”
“Ayah tenang saja, kami tidak akan membiarkan seorang pun yang akan menyakitinya.” Janji Jalal.
“Ayah percaya sama kamu dan keluargamu Jalal, dan juga Bayu dan keluarganya untuk melepas putri kesayangan Ayah ini.” Jodha menatap Ayahnya.
“Ayah nggak mau ikut kami?” Pak Bharmal menggeleng, “kenapa Yah?” Ayahnya tersenyum lembut.
“Biar Ayah disini saja Rani, biar Ayah selalu dekat dengan Ibumu. Ayah merasa berdosa kepada Ibu kamu, karena telah menyia-nyiakan kamu Nak.” Jodha menggenggam tangan ayahnya.
“Ayah nggak boleh gitu, Rani yakin, Ibu disana juga tidak akan senang melihat Ayah kayak gini. Ayah harus membuka hati Ayah lagi, jangan menyiksa diri seperti ini Yah. Carilah pengganti Ibu, Rani ikhlas kok, biar di masa tua Ayah tidak kesepian. Ya Yah.” Pak Bharmal terdiam.
“Jodha benar Om. Tidak baik terlalu menyesali semua yang telah terjadi. Anggap saja itu mimpi buruk, dan Om harus bangun dan kembali melihat kenyataan yang baru.” Ujar Bayu. Pak Bharmal mengangguk, menyetujui perkataan Bayu.
“Iya Yah, kalau Ayah mau, nanti aku ngomong sama Papa, agar bisa kerja di perusahaan Papa.” Usul Jalal. Namun Pak Bharmal menggeleng.
“Tidak Jalal. Tidak usah. Ayah tidak enak harus seperti itu. Biar Ayah cari pekerjaan sendiri saja.” Tolak Pak Bharmal secara halus.
“Gimana kalau Om kerja di cafe and resto milik Ayah saya Om? Disana ada kebun wisata juga. Siapa tahu Om senang dan cocok bekerja disana.” Tawar Bayu. Pak Bharmal terdiam dan menoleh ke arah putrinya. Jodha mengangguk dan tersenyum.
“Baiklah Bayu, Om terima tawaran kamu. Terima kasih banyak, kamu dan keluargamu sudah banyak membantu keluarga Om.” Bayu tersenyum.
“Nggak masalah Om. Lagian kami senang kalau Om kerja disana, biar Jodha nggak jauh-jauh lagi nyari Om kesini.”
“Iya, Baiklah. Om tidak akan pergi jauh-jauh lagi. Om ingin melihat Rani kecil Om bahagia dan selalu di dekat Om.” Jodha tersenyum bahagia mendengar ucapan ayahnya.
“Makasih ya Yah.” Ayahnya mengangguk.
Sore harinya Bayu memutuskan untuk mengajak anak dan istrinya kembali ke hotel. Sedangkan dua pasangan lainnya memilih menginap di rumah ayahnya Jodha. Mereka menghabiskan waktu untuk menikmati debur ombak yang menerjang batu karang, berjalan-jalan dipantai, berdiri ditebing menikmati sunset. Mansingh dan Nadia masih berada di bawah, dipantai. Sedangkan Jalal dan Jodha di depan rumah menikmati luas dan jernihnya air laut dari atas tebing.
Jalal memeluk Jodha dari belakang, kedua tangannya mendekap erat diperut gadis itu. Jodha menyandarkan kepalanya di dada pemuda itu.
“Dulu, kalau datang kesini aku sering duduk di tempat ini memandang laut tanpa merasa bosan. Sejauh mata memandang, hanya hamparan air yang menenangkan. Memberikan perasaan damai dalam hati.” Kata Jodha dengan pandangan mata tidak lepas dari laut di depannya. Jalal tersenyum, dia menyangga dagunya diatas bahu Jodha.
“Hm...memang damai Sayang. Apalagi ada kamu seperti ini. Rasanya nggak mau pulang.” Jodha terkekeh. Tangannya mengusap lembut pipi Jalal, dan sebelah tangannya menempel diatas punggung tangan laki-laki itu yang mendekap perutnya.
“Selalu saja ada kesempatan untuk menggombal.” Ucapnya sambil berdecak. Jalal terkekeh. Dia mengeratkan pelukannya.
“Biar saja. Lagian kenyataannya memang begitu. Saat-saat seperti ini yang aku nantikan Nem. Ingin memelukmu terus tanpa rasa bosan, Ratu Hatiku.”  Ucap Jalal seraya mencium rambut Jodha beberapa kali. Jodha kembali tersenyum bahagia. Menikmati detik demi detik kebersamaan mereka di tempat itu. Tempat yang terlalu indah untuk di lupakan.


===TBC===

Tidak ada komentar:

Posting Komentar