“Inem...ijinkan...AKU...CINTA...KAMU.” ucap Jalal dengan satu kali tarikan nafas.
Jodha hanya
melongo dengan mulut setengah terbuka mendengar ucapan pernyataan dari tuan
mudanya itu. Dia terdiam. Mendengarkan antara percaya dengan tidak. Sesaat
tidak ada kata-kata yang terucap dari mulut mereka. Keduanya hanya saling
pandang. Bahkan tangan Jodha masih menempel di dada Jalal, dan tangan kanan
pemuda itu juga masih menangkup sebelah wajah Jodha.
Jalal
merasakan kelegaan yang luar biasa dalam hatinya. Kini rasanya dadanya terasa
lapang. Dia berharap cintanya akan terbalaskan. Jalal tersenyum melihat
ekspresi Jodha saat ini, gadis itu masih terdiam. Jalal sadar kalau pernyataannya
ini akan mengejutkan Inem, tetapi Jalal tidak mau menunggu lagi. Dia tidak
ingin di anggap pengecut oleh kedua sahabatnya itu.
“Nem...”
panggil Jalal lembut, kembali ibu jarinya mengusap-usap lembut pipi Jodha.
Membuat gadis itu tersadar. Dia mengerjap-ngerjapkan matanya.
“I...i...iya
Tuan. Kenapa?” tanya Jodha dengan gugup. Dia tidak habis pikir, kenapa jadi
gugup begini. Tetapi, apa iya itu tadi tuan mudanya benar-benar mengatakan
cinta kepadanya, atau itu hanya halusinasinya saja. Kan ini pantai, malam lagi.
Siapa tahu Jodha salah lihat dan salah dengar. Bisa sajakan penunggu pantai itu
berubah wujud menjadi tuan mudanya. Hiiiii.... Jodha menjadi menggidik sendiri
dengan pikiran horornya.
“Kamu
kenapa?” tanya Jalal dengan heran.
Tangan Jodha
yang tidak dipegang oleh Jalal menjulur memegang dan mengusap wajah tuan
mudanya untuk memastikan kalau itu
benar-benar nyata, bukan halusinasinya. Hahahaha...
Jalal yang
melihat kelakuan aneh Jodha menjauhkan wajahnya dari tangan gadis itu.
“Kamu kenapa
Nem?” tanya Jalal sekali lagi.
“Ini
benar-benar Tuankan?” tanya Jodha dengan tatapan nanar. Jalal mendecak. Dasar
si Inem, suasana sudah romantis dibikin rusak saja.
“Ya iyalah
ini aku, INEM. Nyata 100 persen. Lengkap dan tidak kurang satu apapun.” Ucap
Jalal dengan jengkel. Dilepaskannya tangan Jodha yang sedari tadi digenggamnya.
Dia duduk di kap mobil menghadap ke pantai dengan wajah ditekuk. Jodha merasa
tidak enak hati membuat majikannya jengkel. Dia mendekatkan tubuhnya disamping
majikannya. Dengan takut-takut dia melirik ke arah tuan mudanya. Tetapi Jalal
tetap cuek saja tidak peduli.
“Hm...Tuan...”
panggil Jodha, tetapi Jalal tidak bergeming, “Tuan marah ya sama saya?”
“Menurutmu?”
sahut Jalal dengan ketus. Jodha terkekeh.
“Maaf ya
Tuan, kalau saya sudah membuat Tuan marah.” Jalal mendengus kesal, “emang tadi
Tuan ngomong apa sih? Bisa diulangi lagi nggak?” pinta Jodha dengan wajah
bersalah sudah membuat majikannya marah.
“Tau ah.
Nggak ada siaran ulang lagi. Kamu bener-bener pintar merusak suasana Nem. Bikin
moodku hilang entah kemana.” Kata Jalal sewot. Jodha nyengir.
“Ngambek nih
ceritanya?” tanya Jodha sambil mengenggol bahu tuan mudanya.
“Sudah tau,
malah nanya.”
“Yaah, kok
gitu sih Tuan? Saya janji nggak lagi deh kayak gitu. Bener. Sueerr!” ucap Jodha
sambil tersenyum mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya. Jalal menoleh
kembali ke arah Jodha. Dia menghela nafas panjang, mengumpulkan kembali
perasaan tadi yang sempat terhempas karena kelakuan Inem. Dia mengubah posisi
duduknya jadi menghadap Jodha.
“Kamu janji?”
Jodha mengangguk cepat.
“Iya. Saya
janji.”
“Yakin?”
tanya Jalal memastikan sekali lagi.
“Yakinlah.”
“Baiklah.
Benar kamu tadi nggak dengar aku ngomong Nem?” tanya Jalal melembut.
“Sebenarnya
sih dengar Tuan, tapi saya nggak yakin aja. Takut salah dengar.” Sahut Jodha sambil meringis. Dia menggenggam
kedua tangannya sendiri di atas pangkuannya. Jalal menggelengkan kepala
melihatnya.
“Oke. Aku
akan ulangi sekali lagi. Jadi dengar baik-baik ya.” Jodha mengangguk. Dia
mengambil posisi serius kali ini, di pasangkannya benar-benar pendengarannya
biar tidak salah dengar dan yang pasti jangan sampai membuat majikannya itu
marah lagi.
“Iya Tuan,
saya akan dengarkan baik-baik.” Jalal menghembuskan nafas sekali lagi,
diambilnya tangan Jodha yang masih saling bertautan di atas pangkuannya dan di
genggamnya. Jodha hanya diam. Namun hatinya kembali berdebar, dia juga
merasakan genggaman tangan tuan mudanya itu agak dingin dan sedikit gemetar.
Rasanya Jodha sedikit lemas, semoga saja kata-kata tuannya tadi cuma hayalannya
saja.
“Inem,
ijinkan...aku cinta sama kamu.” Kali ini ucapan Jalal terasa meluncur lebih
ringan dari sebelumnya, rasanya tidak seberat sebelumnya.
Jodha
kembali terdiam. Tuhkan benar. Itu tadi kata-katanya di dengarnya dari mulut
tuan mudanya itu.
“Gimana Nem?
Kamu sudah dengarkan ucapanku barusan?” Jodha mengangguk pelan. Matanya masih
tidak lepas dari wajah Jalal. Ingin kembali memastikannya saja.
“Tuan...”
ucap Jodha dengan suara yang hampir tidak terdengar. Dia tahu, kali ini dia
benar-benar gugup. Dan,...ini pertama kalinya dia gugup ketika bersama seorang
laki-laki yang menyatakan perasaannya.
“Ya Nem.”
“Tu...Tu...Tuan
nggak becandakan?” Jalal menggeleng sambil tersenyum.
“Emang
kelihatan aku becanda? Atau kamu lihat aku ngomong sambil ketawa?” Jodha
menggeleng.
“Tapi, ini bukan latihankan?” tanya Jodha
memastikan lagi. Kening Jalal sedikit berkerut.
“Latihan?”
Jodha mengangguk, “latihan apa?” kali ini Jalal lebih santai dan lebih rileks.
“Latihan
seperti dulu, yang pernah Tuan lakukan bersama saya waktu itu di gazebo.”
Kembali kening Jalal berkerut, mengingat semua yang pernah dia lakukan bersama
Jodha. Dan,...ah iya, dia baru ingat waktu itu ketika gadis dihadapannya
mengatakan kalau rayuannya norak. Ck. Ingatan yang menyakitkan.
“Nem, waktu
itu..., semua rayuan itu..., dan semua curhatku sebenarnya aku tujukan buat
kamu.” Ucap Jalal dengan wajah memerah.
“Hah,...
jadi?” tanya Jodha dengan perasaan was-was. Jalal mengangguk.
“Iya. Itu
semua adalah ungkapan isi hatiku sama kamu.” Jodha terkejut dan menarik kedua tangannya dari genggaman tuan
mudanya. Jalal membiarkan saja.
“Jadi,...gadis
yang Tuan bilang cantik, pinter, polos,...” kata Jodha sambil menghitung dengan
jari-jarinya, “rajin, mandiri,...terus apalagi ya?” ucapnya sambil berpikir
sejenak, tetapi kemudian menggeleng, “Itu semua ditujukan untuk saya Tuan?” Jalal
kembali mengangguk, dia kembali merasa gugup takut akan reaksi dari Jodha.
“Iya Nem,
dan aku selama ini merasa nyaman bersama kamu dan entah mengapa yang aku
rasakan, kita seperti orang pacaran saja.” Sontak Jodha tertawa. Tapi kali ini
tawanya terdengar hambar.
“Tuan
terlalu memuji saya. Saya tidak sehebat itu Tuan. Dan Tuan salah bilang cinta
sama saya. Salah Tuan.” Ucap Jodha menundukkan kepalanya dan menggeleng.
“Salahnya
dimana Nem?”
“Saya tidak
tahu salahnya dimana, hanya saja saya merasa ini sangat salah. Tidak semestinya
Tuan memberikan cinta Tuan kepada saya.” Jalal mendesah panjang. Dia memutar
tubuhnya kembali menghadap laut.
“Apa karena
sebelumnya aku adalah seorang playboy Nem, yang membuatmu tidak mempercayaiku?”
tanya Jalal dengan sedikit kecewa.
Jodha
menjilat bibirnya yang terasa kering. Sungguh, bukan seperti ini yang dia
inginkan. Dan sekarang dia bingung harus bagaimana bersikap kepada majikannya
itu.
“Sa-saya
hanya merasa tidak pantas Tuan.” ucap Jodha dengan lirih. Entah kenapa rasanya
dadanya menjadi sesak. Dan dia benci keadaan seperti ini.
“Apa yang
membuatmu merasa seperti itu?” lagi-lagi Jalal tidak mau menatap Jodha.
“Banyak
Tuan. Banyak sekali yang membuat saya merasa tidak pantas mendapatkan cinta
Tuan. Apalagi saya hanyalah seorang...”
“Stop!” bentak
Jalal mengangkat tangannya menyuruh Jodha berhenti. Jodha kembali menunduk, dia
memejamkan matanya, Jalal memutar tubuhnya dan menghadap Jodha, “jangan pernah
mengungkit-ungkit masalah status dan pekerjaan. Aku tidak suka Nem.” Jodha
mengangkat wajahnya menatap Jalal yang terlihat sedikit emosi.
“Tapi memang
begitu kenyataannya kan Tuan?”
“Terus,
kalau memang kenyataannya begitu, kamu mau apa? Hah!” tanya Jalal dengan suara
meninggi. Di benar-benar jengkel dengan pemikiran Jodha. Mamanya saja tidak
pernah mempermasalahkan hal itu.
“Ya,... ya
saya tau dirilah Tuan. Saya bukan apa-apa buat Tuan.” Ucap Jodha dengan pelan,
dia kembali menunduk. Dia sadar kalau sudah menyakiti hati tuan mudanya, tetapi
bagaimana lagi memang dia harus mengatakannya. Dia tidak ingin hubungannya
selama ini sudah terjalin dengan baik akan rusak hanya karena masalah cinta.
Dia masih butuh pekerjaannya untuk menyelesaikan pendidikannya dan mencari
ayahnya kembali.
“Kenapa
sepicik itu pikiranmu Nem? Tidak bisakah kamu mengabaikan saja pikiran seperti
itu? Itu hanya status Nem. HANYA STATUS. Tidak lebih. Mengerti?” Jodha tersenyum
tipis. Dia menggeleng.
“Tidak
sesederhana itu Tuan. Masalahnya...”
“Aarrrgggh....”
Jalal menjambak rambutnya dengan frustrasi. Kenapa susah sekali untuk menyelaraskan
pikiran mereka berdua. Kenapa masalah itu yang jadi penghalang? Jodha
membiarkan saja tuan mudanya melampiaskan rasa kesalnya. Andai saja dia saat
ini bukan sebagai pembantu, mungkin dia akan memikirkan untuk menerima cinta
majikan mudanya yang membuat wanita manapun tidak akan sanggup menolaknya.
Tiba-tiba
saja Jodha terkejut ketika tangan Jalal memegang kedua lengannya dan menatapnya
dengan tajam. Jodha merasa sedikit ngeri melihatnya.
“Tu-Tuan,...?”
“Aku tanya
sama kamu Nem, jawab dengan jujur.” Jodha mengangguk pelan.
“Apa kamu
menyukaiku? Atau mungkin kau mencintaiku?” Jodha terperangah mendengar
pertanyaan itu. Tidak. Jangan. Tolong jangan bertanya seperti itu. Jodha tidak
akan sangggup untuk menjawabnya, “jawab aku Nem!” Desak Jalal seraya mengguncangkan
kedua lengan Jodha.
“Saya,...saya...,tidak...,
tahu, Tuan.” Jawab Jodha sambil menunduk. Jalal hanya tersenyum sinis. Dia tahu
kalau gadis dihadapannya ini berusaha menyembunyikan perasaannya. Sedikit
banyak pengalamannya selama bergaul dengan banyak wanita membuat Jalal bisa
menebak bahasa tubuh Jodha. Dia terlihat gelisah dan canggung.
“Angkat
wajahmu dan tatap aku Nem, bilang kalau kamu tidak menyukaiku. Seperti awal
kita bertemu.” Perintah Jalal. Namun Jodha hanya menggeleng, kepalanya masih
tertunduk, “ayo Nem, bilang sama aku.” Jodha perlahan mengangkat wajahnya dan
menatap tuan mudanya yang nampak begitu frustrasi.
“Saya,...”
suara Jodha seperti tercekat.
“Jujur sama
aku Nem. Please. Jangan biarkan aku menduga-duga, Nem.”
“Segitu pentingkah
perasaan saya buat Tuan?” Jalal mendengus kasar.
“Kalau nggak
penting, aku nggak nanya Nem.” Jodha tersenyum tipis, “nggak usah mengalihkan
pembicaraan, jawab saja pertanyaanku.”
“Pertanyaannya
bisa diganti nggak Tuan?” tanya Jodha berusaha untuk keluar dari suasana yang
tidak mengenakkan itu.
“Kamu mau
pertanyaannya diganti?” Jodha mengangguk.
“Baik. Akan
aku ganti pertanyaannya.” Ucap Jalal tersenyum misterius, “apa yang kamu
rasakan selama ini ketika bersamaku?” Jodha terdiam sejenak.
“Sa-saya merasa
senang selama bersama Tuan.” Jalal mengangkat sebelah alisnya.
“Cuma itu?”
“Hm...apalagi
ya?”
“Bahagia?”
Jodha mengangguk
cepat, namun kemudian dia menyesali dan merutuki dirinya yang terlalu cepat
mengangguk. Inginnya dia menggeleng, tapi kenapa kepalanya malah mengangguk.
Sial. Jalal tersenyum mengejek. Pancingannya berhasil, Inem terlalu lugu untuk
berbohong.
“Seperti itu
kamu bilang nggak suka sama aku Nem? Heh?” ejek Jalal. Jodha kembali tertunduk,
wajahnya memerah karena malu.
“Maafkan
saya Tuan.” Jalal menghela nafas panjang.
“Baiklah,
aku nggak akan maksa kamu Nem untuk menerima cintaku. Tetapi, bolehkan aku tahu
bagaimana perasaanmu kepadaku dan alasan kamu menolaknya?”
“Yang mana
harus saya jawab duluan Tuan?” Jalal mendecak.
“Terserah! Pilih
pertanyaan yang mudah jawabannya dulu, baru mengerjakan pertanyaan yang sulit.
Waktu lima menit. Selesai nggak selesai, keluar.” Ucap Jalal dengan santai
membuat Jodha spontan tergelak.
“Kok kayak
pengawas ujian saja, Tuan ngomongnya kayak gitu?” tanya Jodha disela-sela
ketawanya. Jalal tersenyum mendengarnya. Sekarang suasana tidak sekaku tadi.
“Habisnya
kamu susah sekali menjawab pertanyaanku.” Jodha sudah berhenti tertawa, namun
senyumnya masih tertinggal di bibirnya.
“Maaf ya,
sudah bikin Tuan kecewa. Sejujurnya,...” Jodha menelan ludah, Jalal menatapnya
penuh harap, “sejujurnya sa-saya juga menyukai Tuan,” Jalal tersenyum senang,
“tapi...,”
“Karena kamu
adalah pembantu, dan kita tidak sederajat, gitu?” tebak Jalal dengan tersenyum
masam.
“Itu salah
satunya Tuan,”
“Terus?
Alasan lainnya apa?”
“Itu karena
saya sudah berjanji tidak akan menjalin cinta, sebelum saya lulus kuliah. Saya
ingin bekerja dan mencari Ayah saya.” Jawab Jodha dengan tertunduk.
“Kamu sayang
sekali dengan Ayahmu Nem?” Jodha mengangguk.
“Sangat
Tuan. Saya rela kehilangan cinta saya kepada orang lain, asalkan saya tidak
kehilangan Ayah saya. Dia adalah satu-satunya yang saya miliki di dunia ini.”
Jodha tak kuasa menahan kesedihnya ketika teringat kepada Ayahnya. Setetes air
mata mengalir dari sudut matanya.
“Baiklah.
Aku mengerti perasaan kamu saat ini Nem, dan aku tidak akan memaksamu. Asalkan
kamu mau berjanji satu hal kepadaku.” Ucap Jalal tersenyum lebar. Jodha
mendongakkan kepalanya.
“Berjanji
apa Tuan?” Jalal kembali menggenggam tangan Jodha.
“Berjanji
tidak akan pernah pergi dariku, dan akan selalu berada disisiku dalam keadaan
apapun. Aku janji setelah kuliahmu selesai, kita akan cari ayahmu
bersama-sama.” Jodha tercengang mendengarnya. Bukankah itu sama saja namanya?
Cuma bedanya tidak ada kata-kata labelnya ‘KITA PACARAN’ saja. Ck. Tuannya itu
memang selalu pintar mencari kesempatan dalam kesempatan. Bukan kesempitan.
“Tuan benar
mau mencari Ayah saya?” Jalal mengangguk.
“Iya.
Asalkan kamu mau berjanji seperti yang aku katakan tadi.” Jodha mendengus
pelan.
“Itu namanya
nggak ikhlas mau menolong Tuan. Katanya nggak memaksa, tapi saya disuruh
berjanji. Bukankah pada prinsipnya sama saja.” Gerutu Jodha. Jalal terkekeh.
“Terserah
kamu mau ngomong apa, pokoknya aku mau kamu berjanji. Oke?” akhirnya Jodha
mengalah. Dia mengangguk.
“Baiklah,
saya berjanji Tuan.”
“Janjinya
apa tadi?” jodha memutar bola matanya.
“Berjanji
tidak akan pergi dari Tuan dan selalu berada disisi Tuan dalam keadaan apapun.”
“Good. Gadis
pintar.” Kata Jalal sambil mengacak rambut Jodha dengan gemas. Jodha hanya
tersenyum.
“Itu namanya
sama saja kalau saya ini adalah babysitternya
Tuan.”
“Terserah
apapun yang ingin kamu namakan Nem. Yang penting kamu tidak akan pergi
kemanapun tanpa aku.” Ucap Jalal mulai posesif.
“Tapi,
bayaran saya mahal lo Tuan, kalau perjanjiannya seperti itu.” Jalal tertawa.
“Tak apa.
Nanti aku akan membayarmu dengan cintaku seumur hidupku.” Ucap Jalal sambil
mengedipkan sebelah matanya. Jodha memukul pelan lengannya.
“Tuh kan,
mulai lagi gombalannya.” Kembali Jalal terkekeh. Dia membalikkan badannya
menghadap laut. Begitupun dengan Jodha. Malam semakin larut. Namun, Jalal masih
enggan beranjak dari tempat itu. Hatinya diliputi dengan perasaan bahagia. Yah,
meskipun Jodha menolak cintanya, namun dia tahu persis kalau gadis itu juga
mempunyai perasaan yang sama seperti dirinya. Dan dia tidak akan bisa
kemana-mana karena sudah terikat janji dengannya. Jalal hanya perlu bersabar
untuk memberi label hubungan mereka dengan label yang lebih intim lagi.
Senangnyaaa...
Jodha
memberanikan diri menyandarkan kepalanya di bahu tuan mudanya. Jalal tersenyum
melihatnya, tidak menolak, tidak juga memberi tempat lebih. Dia hanya diam
ditempatnya tanpa bergerak.
“Tuan...,”
“Hm...,”
“Bagaimana
nanti kalau papa sama mama Tuan tahu tentang hal ini?” tanya Jodha sambil
mempermainkan jemarinya.
“Kamu tenang
aja Nem, tidak akan terjadi apa-apa kok. Papa sama Mama tidak pernah melarangku
menjalin hubungan dengan siapapun. Termasuk denganmu.”
“Tapi saya
malu Tuan. Saya merasa telah mengkhianati kepercayaan mamanya Tuan.” Jalal
terkekeh.
“Simpan saja
rasa malumu itu Nem, lama-lama juga akan terbiasa dengan sendirinya.”
“Tapi, saya
minta Tuan janji juga sama saya ya.” Pinta Jodha. Jalal menoleh, walaupun tidak
bisa melihat wajah gadis itu.
“Janji apa?”
“Tuan janji,
jangan sampai papa sama mamanya Tuan tahu dengan kejadian ini. Paling nggak
sampai saya dan Tuan lulus. Kita buktikan kalau saya dan Tuan memang pantas
untuk melanjutkan hubungan kita lebih jauh.”
“Kalau aku
sih gampang aja Nem, mau lulus kapanpun juga bisa.” Ucap Jalal dengan bangga.
Jodha menegakkan badannya dan menoleh ke arah tuan mudanya. Dia menggeleng.
“Saya tidak
mau Tuan. Saya tidak ingin Tuan seperti itu. Saya mau Tuan berjuang dengan
tangan sendiri tanpa bantuan orang tua Tuan. Bisakan?” pinta Jodha. Jalal
menatapnya dalam diam, “setidaknya buatlah saya bangga punya seorang calon
kekasih yang mandiri dan bertanggungjawab sekalipun Tuan punya segalanya. Tuan
mau kan? Please.” Jalal terdiam
sejenak sebelum akhirnya dia mengangguk dan tersenyum.
“Baiklah.
Aku janji. Aku akan berusaha mencapai segala keinginanku dengan tanganku
sendiri. Seperti sekarang ini, aku berjuang sendiri untuk mendapatkan cintaku.”
Ucap Jalal sambil mencolek hidung Jodha. Membuat gadis itu tersenyum malu,
“jadi?”
“Apa?” tanya
Jodha tidak mengerti.
“Status kita
sekarang apa?” Jodha mendecak.
“Menurut
Tuan apa?” Jalal terkekeh.
“Hm, baiklah.
Sekarang kita temenan ya.” Jodha mengangguk, “temenan tapi pacaran. Hahahaha...”
kata Jalal sambil tertawa.
“Masa gitu?
Teman ya teman Tuan. Pacarankan lain lagi.”
“Kan aku
sudah pernah bilang sama kamu, kalau aku tuh merasa seperti pacaran saja sama
kamu selama ini.”
“Iya deh.
Terserah Tuan sajalah. Gimana baiknya.” Jalal tersenyum bangga, “kita pulang
sekarang Tuan. Ini sudah larut malam.”
“Baiklah
Inem sayang.” Ucap Jalal seraya turun dari kap mobilnya.
“Tuan...!”
“Apa?”
“Jangan
panggil saya dengan kata ‘sayang’. Kan kita hanya teman biasa saja.” Jawab
Jodha ikut turun.
“Baiklah,
baiklah. Seperti apa maumu saja Nem. Yang penting kamu tidak boleh memberikan
hatimu kepada orang lain selain aku.” Kata Jalal naik ke belakang kemudi dan Jodha
duduk disampingnya. Keduanya pulang setelah berada ditempat itu cukup lama.
“Selalu saja
begitu. Maksa. Bagaimana aku tahu harus ngasih hatiku kepada siapa?” gumam
Jodha.
“Pokoknya
nggak boleh. Karena kamu sudah janji Nem, selalu ada didekatku sampai kapanpun.
Itu artinya hatimu akan selalu ada untukku. Oke?” Jodha mendesah pasrah.
Beginilah nasib menyukai seseorang yang terbiasa mendapatkan keinginannya
dengan cara apapun. Tidak pernah mau mendengar kata tidak. Dan bodohnya dia
juga suka.
“Iya Tuan.
Saya tahu itu. Tidak usah diulangi lagi kayak kaset rusak. Berdenging telinga
saya nanti.” Jalal kembali tertawa, tangannya menjulur mengacak rambut Jodha
yang hanya tersenyum tipis.
Jalal egois?
Terserahlah. Apapun itu. Bukankah katanya laki-laki itu berpikir menggunakan
akal dan logika, dan perempuan berpikir
menggunakan perasaan. Jangan salahkan bila dia yang menggunakan akalnya untuk
menjerat Jodha dengan cara apapun. Mau bilang modus kek, apa kek, Jalal tidak
peduli. Bukankah modus juga memerlukan akal untuk berpikir, karena niat modus
saja tanpa akal pasti tak akan bisa berjalan dengan baik. Dan perasaan. Jangan
salahkan Jodha juga yang menggunakan perasaan sayang kepada ayahnya sebagai
penyebab dia menerima keinginan majikan mudanya itu.
Namun, akal
dan perasaan harus di lakukan dengan seimbang. Karena bila hanya menggunakan
akal dan logika saja sama artinya melihat secara kasat mata tanpa pernah tahu
rasa di dalamnya, bisa saja akan melukai perasaan orang lain. Tetapi,
menggunakan perasaan saja juga tidak cukup. Karena kita akan buta terhadap
sesuatu yang mungkin akan menyakitkan diri sendiri.
Sepanjang
jalan Jalal mengemudi dengan riang, senyumnya tidak berhenti mengembang dari
tadi. Sesekali dia melirik Jodha yang menggelengkan kepala melihatnya.
“Tuan
sepertinya senang sekali,”
“Iya dong!”
“Kenapa?”
“Entah.
Rasanya ada yang lapang di dadaku.” Jawab Jalal sambil tersenyum.
“Lapang
kenapa?” Jalal menoleh sekilas ke arah Jodha.
“Emangnya
kamu nggak merasa senang Nem, malam ini?” jodha tersenyum seraya menatap lurus
ke depan.
“Tentu saja
saya senang,”
“Karena apa?
Karena aku kan?” tebak Jalal. Jodha terkekeh.
“Tuan selalu
saja begitu. Percaya diri sekali nampaknya.” Ucap Jodha sambil menggeleng.
“Iya dong.
Harus itu. Aku selalu percaya diri, apalagi terhadap kamu.” Kata Jalal setengah
membual. Dia yakin seandainya ada Man di dekatnya saat ini, pasti dia akan
diledek habis-habisan karena sudah bilang percaya diri. Karena sebelumnya dia
pernah bilang kalau dia merasa minder dengan keadaannya ketika melihat Bayu,
dan sekarang dia bilang selalu percaya diri? Ck. Percaya diri dari hongkong.
Tapi,
biarlah. Untung saja Man tidak ada. Coba kalau ada. Mau ditaruh dimana harga
dirinya sebagai laki-laki tampan yang tidak pernah di tolak oleh perempuan
manapun, kecuali Jodha tentunya.
Mereka
berdua telah sampai dirumah, Jodha turun dari jeep dan membuka pintu gerbang
agar jeep tersebut bisa masuk.
Begitu ingin
masuk melewati pintu, tangan Jodha di cekal oleh Jalal. Jodha menoleh
kebelakang.
“Ada apa
Tuan?” Jalal mesam-mesem melangkah mendekatinya.
“Sweet Dream, Inem sayang.” Ucap Jalal
mencium kening Jodha dengan cepat. Sebelum Jodha sadar dengan keadaannya, Jalal
sudah ngacir berlari masuk ke dalam rumah sambil terkekeh meninggalkan Jodha
yang masih syok memegang keningnya.
“Dasar.
Selalu nyari kesempatan.” Desis Jodha begitu dia menyadari kalau tuan mudanya
sudah mencium keningnya. Meski begitu, pipinya terasa menghangat. Dia tersipu,
namun juga merasa lucu dengan sikap majikannya itu.
Setelah
menutup pintu Jodha melangkah ke kamarnya. Setelah masuk ke kamarnya Jodha
berdiri tersandar di pintu yang sudah tertutup itu. Tangannya mendekap dadanya dan
matanya terpejam seraya tersenyum. Hari ini begitu berkesan buatnya. Apalagi
kalau bukan kebersamaan mereka seharian ini. Tuan mudanya yang begitu manis dan
konyol itu mengatakan cinta kepadanya. Benarkah?
“Nad, apa
yang kamu bilang itu benar. Tuan muda memang cinta sama aku Nad. Aku harus
bagaimana ini Nad? Dan, dengan sombongnya aku menolak cintanya. Belagu banget
ya Nad aku ini.” Ucap Jodha ketika teringat akan semua ucapan Nadia tentang
tuan mudanya itu. Dia menjadi meringis sendiri, “Jodha, Jodha, stop berpikiran
macam-macam. Jangan larut dengan perasaanmu sendiri. Ingat dengan tujuanmu terlebih
dahulu.” Ucap Jodha membuka matanya dan menepis kebahagiaan yang baru saja
menyergapnya. Berusaha untuk tidak terlalu memperdulikan lagi perasaan hatinya.
Jodha pun
melangkah ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya setelah seharian
beraktivitas, karena besok dia harus kembali melakukan pekerjaannya seperti
biasa.
Sementara
itu di kamarnya, Jalal nampak jauh lebih bahagia di bandingkan dengan Jodha.
Raut wajahnya yang berseri dari tadi tidak bisa disembunyikan lagi. Apalagi
ketika mengingat dia mencium kening gadis itu dengan cepat sampai membuat Jodha
syok. Rasanya dia ingin tertawa melihat ekspresinya.
“Inem...,
Inem..., kamu kok lucu sekali sih. Bikin gemas tau nggak.” Ucap Jalal sambil
berkaca di cermin wastafel kamar mandinya seolah dia berbicara dengan Jodha.
Setelah
mandi dan membersihkan diri, Jalal menghempaskan tubuhnya ditempat tidur.
Berharap akan bertemu dengan bidadarinya dalam mimpi.
***
Keesokan
harinya Jalal bertemu dengan Jodha di meja makan ketika gadis itu sedang
membawakan sarapan untuknya dan juga untuk kedua orang tuanya. Nampak gadis itu
sedikit tersipu ketika melihat tuan mudanya.
“Pagi Nem,”
sapa Jalal duduk ditempat biasanya.
“Pagi juga
Tuan.” Sahut Jodha menyambutnya dengan senyuman seperti biasa, dia menyodorkan
secangkir kopi untuk sarapan tuan mudanya.
“Makasih
Inem sayang.” Bisik Jalal sembari memainkan kedua alisnya, membuat gadis itu
mendelik karena kesal. Jalal tertawa, senang dia bisa melihat ekspresi kesal
dari wajah Jodha.
“Tuan...?”
protesnya. Dia masih berdiri disamping meja makan. Sementara kedua orang tua
Jalal belum datang untuk sarapan.
“Kenapa Nem?
Hm?” sahut Jalal berlagak blo’on.
“Kan Tuan
sudah janji nggak akan memanggil nama saya seperti itu. Nggak enak kedengaran
Ibu sama Bapak, Tuan.” Pinta Jodha penuh harap. Jalal nyengir.
“Tapikan mereka
nggak ada, Nem.”
“Ya tetap
saja nggak boleh. Nanti malah keterusan, jadi lupa deh karena kebiasaan.”
“Iya, iya.
Nggak lagi deh. Ayo duduk sini, kita sarapan bareng.” Ajak Jalal menepuk kursi
disebelahnya. Namun Jodha menggeleng.
“Nggak ah.
Nanti saja, nunggu Bapak sama Ibu datang. Biar bisa sarapan bareng-bareng.”
Tolak Jodha secara halus, membuat Jalal mendecak.
“Bukannya sama
saja Nem. Nanti juga datang kok.”
“Iya datang,
tapi masa tuan rumah makannya belakangan. Kan nggak pantes.” Jalal akhirnya
hanya menghela nafas, pasrah.
“Iya.
Baiklah. Terserah apa katamu saja.” Jodha tersenyum senang.
Tidak lama
kemudian, kedua orang tua Jalal turun dari kamarnya dan menghampiri mereka
berdua.
“Pagi
sayang, pagi Jo.” Sapa Bu Hamidah. Dia duduk di tempatnya seperti biasa
disamping suaminya.
“Pagi juga
Bu, Pak.” Sahut Jodha dengan sopan, dia lantas menduduki kursi disamping tuan
mudanya.
“Pagi juga
Jo.” Balas Pak Humayun.
Jodha
menyenggol lengan tuan mudanya, Jalal menoleh dan bertanya dengan isyarat mata.
Dan Jodha juga memberi isyarat untuk Jalal agar membalas sapaan orang tuanya.
Jalal menjawab dengan cengiran.
“Met pagi
juga Pa, Ma. Gimana kabarnya pagi ini Ma, Pa?
Tidurnya nyenyak?” tanya Jalal dengan tersenyum manis, membuat kedua
orang tuanya heran dan saling berpandangan. Jodha menahan ketawanya dengan menutup
mulutnya menggunakan punggung tangannya sambil menunduk.
“Kamu kenapa
sayang?” tanya Bu Hamidah.
“Mama kok
nanyanya gitu sih? Aku nggak apa-apa kali Ma. Emang nggak boleh ya nanya kayak
gitu?” jawab Jalal dengan senyuman semanis madu.
“Ya bukan
nggak boleh sayang, hanya saja kali ini kelihatannya kamu lagi bahagia ya?”
tebak Bu Hamidah. Jalal menoleh sebentar ke arah Jodha yang masih menunduk
untuk menyembunyikan senyumnya.
“Kan aku
selalu bahagia Ma, apalagi akhir-akhir ini.”
“Oh ya?”
“Iya Ma, aku
kan sedang ja...” ucapan itu terhenti ketika disudut matanya melihat Jodha
melirik memberi isyarat agar tidak keceplosan bicara.
“Sedang ja...
apa sayang?” Tanya Bu Hamidah. Jalal tergagap.
“Eh, anu...itu...ah,
nggak Ma. Nggak jadi.” Sahut Jalal tidak tahu harus memberi alasan apa.
Cepat-cepat dia menyesap kopinya dan menghabiskan rotinya. Pak Humayun
menggelengkan kepala melihatnya, sedangkan Bu Hamidah menatapnya dengan heran.
Bu Hamidah
melihat ada sesuatu yang terjadi antara anaknya dan Jodha. Seperti terjadi
interaksi tidak biasa yang mereka lakukan ini. Dan, tingkah laku Jalal
benar-benar berbeda pagi ini. Kali ini lebih riang, lebih semangat dan lebih
banyak tersenyum. Bagaimana pun, sebagai seorang ibu, dia tahu ada sesuatu yang berubah dengan
orang yang dia sayangi itu. Perasaan dan instingnya dapat merasakan aura
kebahagiaan dalam diri putranya.
Selesai
sarapan, Jalal cepat-cepat pamit berangkat kepada kedua orang tuanya, agar
mamanya tidak bertanya lebih jauh lagi. Selain itu dia ingin bertemu dengan
kedua sahabatnya itu. Dia berangkat lebih pagi dari biasanya, karena ingin
melaksanakan janjinya kepada gadisnya.
Dan,
disinilah Jalal. Di depan pintu apartemen Mansingh. Setelah memencet bell,
pintu pun terbuka. Nampak Mansingh sudah terbangun, namun belum siap untuk
berangkat.
“Pagi Man.”
Sapa Jalal tersenyum, langsung menerobos masuk.
“Wah,
sepertinya ada berita baik nih tadi malam.” Goda Mansingh. Jalal hanya
tersenyum. Dia duduk di sofa, mengangkat kaki kanan dan menumpukannya di kaki
kirinya. Tangannya di rentangkan di atas pinggiran sofa layaknya seorang bos,
dengan senyuman yang tidak berhenti dari tadi. Mansingh mendecak melihatnya.
Baru saja
Mansingh membuka mulutnya, ketika Surya masuk begitu saja tanpa permisi.
Lengkaplah sudah mereka bertiga seperti biasa.
“Hai bos,
apa kabarnya nih? Kayaknya bahagia banget. Apa aku ketinggalan berita nih
kemarin?” ucap Surya mengambil tempat duduk di samping Jalal dengan tidak sabar,
sedangkan Mansingh duduk pada sofa di depannya. Jalal nyengir.
“Gimana bos?
Bos sudah nembak Jodha kan?” tanya Mansingh. Kembali Jalal terkekeh.
“Sudah
dong.”
“Waah, jadian
nih. Kita makan-makan nih Sur, hari ini.” Ucap Mansingh gembira dan bertos ria
dengan Surya, “kita makan dimana nih bos?” tanya Mansingh lagi.
“Yang bilang
jadian siapa?” tanya Jalal tersenyum lebar.
“Loh, kok?”
Mansingh dan Surya melongo.
“Jadi, bos
di tolak?” tebak Mansingh lagi. Jalal mengangguk.
“Yeps.
Begitulah kira-kira.” Jawab Jalal santai. Keduanya kembali saling pandang.
“Tapi, di
tolak kok senang banget kayaknya bos? Nggak ada sedih-sedihnya.” Tanya Surya
dengan heran. Jalal mengangkat bahunya.
“Nggak
juga.”
“Hah?”
“Ck. Kalian
ini. Kenapa sih ekspresinya seperti itu?” Mansingh dan Surya kompak mendengus.
“Ya iyalah
Bos, heran. Biasanya orang kalau cintanya di tolak itu, ekspresinya sedih. Lah
ini, malah tersenyum bahagia. Emang bos bener-bener nembak Jodha ya tadi
malam?” tanya Mansingh penasaran. Jalal mengangguk.
“Terus?”
“Yaaa, aku
bilang semua perasaanku kepadanya. SE-MU-A-NYA. Tanpa sisa, sampai
kerak-keraknya juga aku bilangin.” Mansingh dan Surya terkikik geli mendengar
perumpamaan dari Jalal.
“Terus?”
“Awalnya dia
mengira aku becanda, hampir saja aku kesal kepadanya. Tau sendirikan kalau dia
itu nggak romantis sama sekali. Dengar kata-kata bernada gombal sedikit aja
ingin muntah. Ck.” Keduanya tertawa terbahak-bahak, tetapi kemudian kembali
menatap Jalal dengan antusias.
“Terus?”
“Ya..., dia
bilang untuk saat ini dia belum ingin menjalin hubungan cinta dengan siapapun
dulu karena sesuatu alasan.”
“Terus,
terus?” Mansingh semakin mencondongkan ke arah Jalal saking ingin tahunya.
“Ya sudah,
aku terima saja alasannya.”
“Terus?”
“Astaga Man,
ini sudah berapa ‘terus’ sih? Dari tadi pertanyaannya cuma ‘terus dan terus’.
Kreatif sedikit kek pertanyaannya. Anak kuliahan kok cuma tahu pertanyaan
terus, terus, aja.” Omel Jalal. Spontan Mansingh dan Surya kembali tertawa
terbahak-bahak.
“Ya ampun
Bos. Maaf. Saking penasarannya dengan cerita Bos sampai lupa dengan pertanyaan
lainnya.” Jalal mendecak.
“Lalu?”
kembali Jalal mendecak kesal.
“Emang
‘terus’ dan ‘lalu’ itu beda ya pertanyaannya?” keduanya kembali terkekeh.
“Iya deh,
maaf. Ini pertanyaannya di ganti saja. Apa hubungannya bos terlihat senang
dengan penolakan Jodha?”
“Nah, gitu
dong. Pertanyaannya yang bermutu sedikit.” Sahut Jalal dengan santai. Keduanya
memutar bola mata dengan malas, “dia memang telah menolakku, tetapi dia juga
mengakui kalau dia mempunyai perasaan yang sama denganku. Hanya saja di sudah
terlanjur berjanji tidak akan menjalin cinta dulu sebelum dia lulus kuliah.”
Jelas Jalal dengan gamblang. Akhirnya keduanya mengangguk.
“Wah,
nasibmu Bos.” Ucap Mansingh mendesah lirih. Jalal menatapnya dengan heran.
“Kenapa
nasibku?”
“Yah,
nasibmu menyedihkan kalau gitu. Laki-laki tampan nan kaya di tolak oleh seorang
wanita yang statusnya hanya seorang supir pribadi.”
“Siapa
bilang menyedihkan?” keduanya melongo.
“Hah? Itu
bukan menyedihkan ya?” tanya Mansingh heran. Jalal tertawa.
“Aku memang
di tolak, tetapi dia tetap akan menjadi milikku Man, dan aku juga sudah
membuatnya berjanji kalau dia tidak akan pernah pergi dariku.” Ucap Jalal
dengan bangga.
“Kok bisa?”
“Ya bisalah.
Apa sih yang nggak bisa buat Tuan Muda Jalal ini.” Katanya dengan menepuk dada.
“Ck. Sombong
sekali” cibir Mansingh. Surya mengangguk.
“Orang cakep
dan kaya itu bebas mau sombong Man, karena ada yang di sombongkan.” Jawab Jalal
senang.
“Apa yang membuat
Jodha sampai bisa berjanji tidak akan
meninggalkanmu Bos?” tanya Surya penasaran.
“Aku janji
mencari ayahnya sampai ketemu. Dan untuk ayahnya dia mau melakukan apa saja,
termasuk mencintaiku. Bukankah itu suatu hal yang menyenangkan buat dia?”
“Itu namanya
mencari kesempatan dalam kesempitan Bos.” Tegas Surya.
“Bukan. Itu
namanya melihat peluang dalam setiap kesempatan.”
“Bukan. Itu
namanya licik.” Sela Mansingh, “kasihan
Jodha terpaksa berjanji.” Jalal tertawa.
“Itu bukan
licik Man, tetapi cerdik. Nggak percuma aku mewarisi kepintaran Papa Humayun
dan Mama Hamidah.” Ucap Jalal dengan bangga. Kedua sahabatnya hanya
menggelengkan kepala, “ayo ah, sudah siang nih. Kita berangkat. Mulai hari ini aku
harus belajar dengan rajin dan lulus tanpa bantuan Mama.”
“Tumben?”
tanya mereka berdua serempak. Jalal mendecak.
“Bukan
tumben. Tapi aku sudah janji sama Inem untuk belajar dan lulus dengan usahaku
sendiri.” Keduanya saling pandang, kemudian tertawa terbahak-bahak. Jalal
menatap mereka dengan heran, “kalian kenapa?”
Masih dengan
nafas tersengal-sengal Mansingh menjawab, “Ternyata Jodha tidak sebodoh yang
aku kira tadi. Dia juga cerdik Bos. Dia bisa membuat seorang Jalal yang pemalas
menjadi rajin, dan berjanji pula. Ckck...itu luar biasa.” Sejenak Jalal termangu.
Benar juga pikirnya. Dia menggaruk kepalanya sambil cengengesan.
“Ternyata
kadar kebanggaan akan kesombonganmu harus diturunkan lagi Bos.” Ucap Surya
dengan senyum mengejek.
“Iya tuh,
ternyata Jodha lebih cerdik darimu Bos. Sabar ya.” Kembali Mansingh ikut mengejek
Jalal.
“Terserah
kalian saja. Yang penting Inem nggak akan pergi dariku.” Sahut Jalal karena
merasa kalah berdebat dengan kedua sahabatnya itu. Kembali keduanya tertawa,
“sudah, ayo mandi dulu. Kita berangkat bareng.”
“Okelah
kalau begitu Bos.” Surya dan Mansingh pun bersiap untuk pergi ke kampus mereka.
===TBC===
Tidak ada komentar:
Posting Komentar