Menu

Jumat, 12 Februari 2016

BIARKAN AKU JATUH CINTA. PART. 15 (JANJIMU DAN JANJIKU)


“Inem...ijinkan...AKU...CINTA...KAMU.”  ucap Jalal dengan satu kali tarikan nafas.
Jodha hanya melongo dengan mulut setengah terbuka mendengar ucapan pernyataan dari tuan mudanya itu. Dia terdiam. Mendengarkan antara percaya dengan tidak. Sesaat tidak ada kata-kata yang terucap dari mulut mereka. Keduanya hanya saling pandang. Bahkan tangan Jodha masih menempel di dada Jalal, dan tangan kanan pemuda itu juga masih menangkup sebelah wajah Jodha.
Jalal merasakan kelegaan yang luar biasa dalam hatinya. Kini rasanya dadanya terasa lapang. Dia berharap cintanya akan terbalaskan. Jalal tersenyum melihat ekspresi Jodha saat ini, gadis itu masih terdiam. Jalal sadar kalau pernyataannya ini akan mengejutkan Inem, tetapi Jalal tidak mau menunggu lagi. Dia tidak ingin di anggap pengecut oleh kedua sahabatnya itu.
“Nem...” panggil Jalal lembut, kembali ibu jarinya mengusap-usap lembut pipi Jodha. Membuat gadis itu tersadar. Dia mengerjap-ngerjapkan matanya.
“I...i...iya Tuan. Kenapa?” tanya Jodha dengan gugup. Dia tidak habis pikir, kenapa jadi gugup begini. Tetapi, apa iya itu tadi tuan mudanya benar-benar mengatakan cinta kepadanya, atau itu hanya halusinasinya saja. Kan ini pantai, malam lagi. Siapa tahu Jodha salah lihat dan salah dengar. Bisa sajakan penunggu pantai itu berubah wujud menjadi tuan mudanya. Hiiiii.... Jodha menjadi menggidik sendiri dengan pikiran horornya.
“Kamu kenapa?” tanya Jalal dengan heran.
Tangan Jodha yang tidak dipegang oleh Jalal menjulur memegang dan mengusap wajah tuan mudanya  untuk memastikan kalau itu benar-benar nyata, bukan halusinasinya. Hahahaha...
Jalal yang melihat kelakuan aneh Jodha menjauhkan wajahnya dari tangan gadis itu.
“Kamu kenapa Nem?” tanya Jalal sekali lagi.
“Ini benar-benar Tuankan?” tanya Jodha dengan tatapan nanar. Jalal mendecak. Dasar si Inem, suasana sudah romantis dibikin rusak saja.
“Ya iyalah ini aku, INEM. Nyata 100 persen. Lengkap dan tidak kurang satu apapun.” Ucap Jalal dengan jengkel. Dilepaskannya tangan Jodha yang sedari tadi digenggamnya. Dia duduk di kap mobil menghadap ke pantai dengan wajah ditekuk. Jodha merasa tidak enak hati membuat majikannya jengkel. Dia mendekatkan tubuhnya disamping majikannya. Dengan takut-takut dia melirik ke arah tuan mudanya. Tetapi Jalal tetap cuek saja tidak peduli.
“Hm...Tuan...” panggil Jodha, tetapi Jalal tidak bergeming, “Tuan marah ya sama saya?”
“Menurutmu?” sahut Jalal dengan ketus. Jodha terkekeh.
“Maaf ya Tuan, kalau saya sudah membuat Tuan marah.” Jalal mendengus kesal, “emang tadi Tuan ngomong apa sih? Bisa diulangi lagi nggak?” pinta Jodha dengan wajah bersalah sudah membuat majikannya marah.
“Tau ah. Nggak ada siaran ulang lagi. Kamu bener-bener pintar merusak suasana Nem. Bikin moodku hilang entah kemana.” Kata Jalal sewot. Jodha nyengir.
“Ngambek nih ceritanya?” tanya Jodha sambil mengenggol bahu tuan mudanya.
“Sudah tau, malah nanya.”
“Yaah, kok gitu sih Tuan? Saya janji nggak lagi deh kayak gitu. Bener. Sueerr!” ucap Jodha sambil tersenyum mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya. Jalal menoleh kembali ke arah Jodha. Dia menghela nafas panjang, mengumpulkan kembali perasaan tadi yang sempat terhempas karena kelakuan Inem. Dia mengubah posisi duduknya jadi menghadap Jodha.
“Kamu janji?” Jodha mengangguk cepat.
“Iya. Saya janji.”
“Yakin?” tanya Jalal memastikan sekali lagi.
“Yakinlah.”
“Baiklah. Benar kamu tadi nggak dengar aku ngomong Nem?” tanya Jalal melembut.
“Sebenarnya sih dengar Tuan, tapi saya nggak yakin aja. Takut salah dengar.”  Sahut Jodha sambil meringis. Dia menggenggam kedua tangannya sendiri di atas pangkuannya. Jalal menggelengkan kepala melihatnya.
“Oke. Aku akan ulangi sekali lagi. Jadi dengar baik-baik ya.” Jodha mengangguk. Dia mengambil posisi serius kali ini, di pasangkannya benar-benar pendengarannya biar tidak salah dengar dan yang pasti jangan sampai membuat majikannya itu marah lagi.
“Iya Tuan, saya akan dengarkan baik-baik.” Jalal menghembuskan nafas sekali lagi, diambilnya tangan Jodha yang masih saling bertautan di atas pangkuannya dan di genggamnya. Jodha hanya diam. Namun hatinya kembali berdebar, dia juga merasakan genggaman tangan tuan mudanya itu agak dingin dan sedikit gemetar. Rasanya Jodha sedikit lemas, semoga saja kata-kata tuannya tadi cuma hayalannya saja.
“Inem, ijinkan...aku cinta sama kamu.” Kali ini ucapan Jalal terasa meluncur lebih ringan dari sebelumnya, rasanya tidak seberat sebelumnya.
Jodha kembali terdiam. Tuhkan benar. Itu tadi kata-katanya di dengarnya dari mulut tuan mudanya itu.
“Gimana Nem? Kamu sudah dengarkan ucapanku barusan?” Jodha mengangguk pelan. Matanya masih tidak lepas dari wajah Jalal. Ingin kembali memastikannya saja.
“Tuan...” ucap Jodha dengan suara yang hampir tidak terdengar. Dia tahu, kali ini dia benar-benar gugup. Dan,...ini pertama kalinya dia gugup ketika bersama seorang laki-laki yang menyatakan perasaannya.
“Ya Nem.”
“Tu...Tu...Tuan nggak becandakan?” Jalal menggeleng sambil tersenyum.
“Emang kelihatan aku becanda? Atau kamu lihat aku ngomong sambil ketawa?” Jodha menggeleng.
 “Tapi, ini bukan latihankan?” tanya Jodha memastikan lagi. Kening Jalal sedikit berkerut.
“Latihan?” Jodha mengangguk, “latihan apa?” kali ini Jalal lebih santai dan lebih rileks.
“Latihan seperti dulu, yang pernah Tuan lakukan bersama saya waktu itu di gazebo.” Kembali kening Jalal berkerut, mengingat semua yang pernah dia lakukan bersama Jodha. Dan,...ah iya, dia baru ingat waktu itu ketika gadis dihadapannya mengatakan kalau rayuannya norak. Ck. Ingatan yang menyakitkan.
“Nem, waktu itu..., semua rayuan itu..., dan semua curhatku sebenarnya aku tujukan buat kamu.” Ucap Jalal dengan wajah memerah.
“Hah,... jadi?” tanya Jodha dengan perasaan was-was. Jalal mengangguk.
“Iya. Itu semua adalah ungkapan isi hatiku sama kamu.” Jodha terkejut dan  menarik kedua tangannya dari genggaman tuan mudanya. Jalal membiarkan saja.
“Jadi,...gadis yang Tuan bilang cantik, pinter, polos,...” kata Jodha sambil menghitung dengan jari-jarinya, “rajin, mandiri,...terus apalagi ya?” ucapnya sambil berpikir sejenak, tetapi kemudian menggeleng, “Itu semua ditujukan untuk saya Tuan?” Jalal kembali mengangguk, dia kembali merasa gugup takut akan reaksi dari Jodha.
“Iya Nem, dan aku selama ini merasa nyaman bersama kamu dan entah mengapa yang aku rasakan, kita seperti orang pacaran saja.” Sontak Jodha tertawa. Tapi kali ini tawanya terdengar hambar.
“Tuan terlalu memuji saya. Saya tidak sehebat itu Tuan. Dan Tuan salah bilang cinta sama saya. Salah Tuan.” Ucap Jodha menundukkan kepalanya dan menggeleng.
“Salahnya dimana Nem?”
“Saya tidak tahu salahnya dimana, hanya saja saya merasa ini sangat salah. Tidak semestinya Tuan memberikan cinta Tuan kepada saya.” Jalal mendesah panjang. Dia memutar tubuhnya kembali menghadap laut.
“Apa karena sebelumnya aku adalah seorang playboy Nem, yang membuatmu tidak mempercayaiku?” tanya Jalal dengan sedikit kecewa.
Jodha menjilat bibirnya yang terasa kering. Sungguh, bukan seperti ini yang dia inginkan. Dan sekarang dia bingung harus bagaimana bersikap kepada majikannya itu.
“Sa-saya hanya merasa tidak pantas Tuan.” ucap Jodha dengan lirih. Entah kenapa rasanya dadanya menjadi sesak. Dan dia benci keadaan seperti ini.
“Apa yang membuatmu merasa seperti itu?” lagi-lagi Jalal tidak mau menatap Jodha.
“Banyak Tuan. Banyak sekali yang membuat saya merasa tidak pantas mendapatkan cinta Tuan. Apalagi saya hanyalah seorang...”
“Stop!” bentak Jalal mengangkat tangannya menyuruh Jodha berhenti. Jodha kembali menunduk, dia memejamkan matanya, Jalal memutar tubuhnya dan menghadap Jodha, “jangan pernah mengungkit-ungkit masalah status dan pekerjaan. Aku tidak suka Nem.” Jodha mengangkat wajahnya menatap Jalal yang terlihat sedikit emosi.
“Tapi memang begitu kenyataannya kan Tuan?”
“Terus, kalau memang kenyataannya begitu, kamu mau apa? Hah!” tanya Jalal dengan suara meninggi. Di benar-benar jengkel dengan pemikiran Jodha. Mamanya saja tidak pernah mempermasalahkan hal itu.
“Ya,... ya saya tau dirilah Tuan. Saya bukan apa-apa buat Tuan.” Ucap Jodha dengan pelan, dia kembali menunduk. Dia sadar kalau sudah menyakiti hati tuan mudanya, tetapi bagaimana lagi memang dia harus mengatakannya. Dia tidak ingin hubungannya selama ini sudah terjalin dengan baik akan rusak hanya karena masalah cinta. Dia masih butuh pekerjaannya untuk menyelesaikan pendidikannya dan mencari ayahnya kembali.
“Kenapa sepicik itu pikiranmu Nem? Tidak bisakah kamu mengabaikan saja pikiran seperti itu? Itu hanya status Nem. HANYA STATUS. Tidak lebih. Mengerti?” Jodha tersenyum tipis. Dia menggeleng.
“Tidak sesederhana itu Tuan. Masalahnya...”
“Aarrrgggh....” Jalal menjambak rambutnya dengan frustrasi. Kenapa susah sekali untuk menyelaraskan pikiran mereka berdua. Kenapa masalah itu yang jadi penghalang? Jodha membiarkan saja tuan mudanya melampiaskan rasa kesalnya. Andai saja dia saat ini bukan sebagai pembantu, mungkin dia akan memikirkan untuk menerima cinta majikan mudanya yang membuat wanita manapun tidak akan sanggup menolaknya.
Tiba-tiba saja Jodha terkejut ketika tangan Jalal memegang kedua lengannya dan menatapnya dengan tajam. Jodha merasa sedikit ngeri melihatnya.
“Tu-Tuan,...?”
“Aku tanya sama kamu Nem, jawab dengan jujur.” Jodha mengangguk pelan.
“Apa kamu menyukaiku? Atau mungkin kau mencintaiku?” Jodha terperangah mendengar pertanyaan itu. Tidak. Jangan. Tolong jangan bertanya seperti itu. Jodha tidak akan sangggup untuk menjawabnya, “jawab aku Nem!” Desak Jalal seraya mengguncangkan kedua lengan Jodha.
“Saya,...saya...,tidak..., tahu, Tuan.” Jawab Jodha sambil menunduk. Jalal hanya tersenyum sinis. Dia tahu kalau gadis dihadapannya ini berusaha menyembunyikan perasaannya. Sedikit banyak pengalamannya selama bergaul dengan banyak wanita membuat Jalal bisa menebak bahasa tubuh Jodha. Dia terlihat gelisah dan canggung.
“Angkat wajahmu dan tatap aku Nem, bilang kalau kamu tidak menyukaiku. Seperti awal kita bertemu.” Perintah Jalal. Namun Jodha hanya menggeleng, kepalanya masih tertunduk, “ayo Nem, bilang sama aku.” Jodha perlahan mengangkat wajahnya dan menatap tuan mudanya yang nampak begitu frustrasi.
“Saya,...” suara Jodha seperti tercekat.
“Jujur sama aku Nem. Please. Jangan biarkan aku menduga-duga, Nem.”
“Segitu pentingkah perasaan saya buat Tuan?” Jalal mendengus kasar.
“Kalau nggak penting, aku nggak nanya Nem.” Jodha tersenyum tipis, “nggak usah mengalihkan pembicaraan, jawab saja pertanyaanku.”
“Pertanyaannya bisa diganti nggak Tuan?” tanya Jodha berusaha untuk keluar dari suasana yang tidak mengenakkan itu.
“Kamu mau pertanyaannya diganti?” Jodha mengangguk.
“Baik. Akan aku ganti pertanyaannya.” Ucap Jalal tersenyum misterius, “apa yang kamu rasakan selama ini ketika bersamaku?” Jodha terdiam sejenak.
“Sa-saya merasa senang selama bersama Tuan.” Jalal mengangkat sebelah alisnya.
“Cuma itu?”
“Hm...apalagi ya?”
“Bahagia?”
Jodha mengangguk cepat, namun kemudian dia menyesali dan merutuki dirinya yang terlalu cepat mengangguk. Inginnya dia menggeleng, tapi kenapa kepalanya malah mengangguk. Sial. Jalal tersenyum mengejek. Pancingannya berhasil, Inem terlalu lugu untuk berbohong.
“Seperti itu kamu bilang nggak suka sama aku Nem? Heh?” ejek Jalal. Jodha kembali tertunduk, wajahnya memerah karena malu.
“Maafkan saya Tuan.” Jalal menghela nafas panjang.
“Baiklah, aku nggak akan maksa kamu Nem untuk menerima cintaku. Tetapi, bolehkan aku tahu bagaimana perasaanmu kepadaku dan alasan kamu menolaknya?”
“Yang mana harus saya jawab duluan Tuan?” Jalal mendecak.
“Terserah! Pilih pertanyaan yang mudah jawabannya dulu, baru mengerjakan pertanyaan yang sulit. Waktu lima menit. Selesai nggak selesai, keluar.” Ucap Jalal dengan santai membuat Jodha spontan tergelak.
“Kok kayak pengawas ujian saja, Tuan ngomongnya kayak gitu?” tanya Jodha disela-sela ketawanya. Jalal tersenyum mendengarnya. Sekarang suasana tidak sekaku tadi.
“Habisnya kamu susah sekali menjawab pertanyaanku.” Jodha sudah berhenti tertawa, namun senyumnya masih tertinggal di bibirnya.
“Maaf ya, sudah bikin Tuan kecewa. Sejujurnya,...” Jodha menelan ludah, Jalal menatapnya penuh harap, “sejujurnya sa-saya juga menyukai Tuan,” Jalal tersenyum senang, “tapi...,”
“Karena kamu adalah pembantu, dan kita tidak sederajat, gitu?” tebak Jalal dengan tersenyum masam.
“Itu salah satunya Tuan,”
“Terus? Alasan lainnya apa?”
“Itu karena saya sudah berjanji tidak akan menjalin cinta, sebelum saya lulus kuliah. Saya ingin bekerja dan mencari Ayah saya.” Jawab Jodha dengan tertunduk.
“Kamu sayang sekali dengan Ayahmu Nem?” Jodha mengangguk.
“Sangat Tuan. Saya rela kehilangan cinta saya kepada orang lain, asalkan saya tidak kehilangan Ayah saya. Dia adalah satu-satunya yang saya miliki di dunia ini.” Jodha tak kuasa menahan kesedihnya ketika teringat kepada Ayahnya. Setetes air mata mengalir dari sudut matanya.
“Baiklah. Aku mengerti perasaan kamu saat ini Nem, dan aku tidak akan memaksamu. Asalkan kamu mau berjanji satu hal kepadaku.” Ucap Jalal tersenyum lebar. Jodha mendongakkan kepalanya.
“Berjanji apa Tuan?” Jalal kembali menggenggam tangan Jodha.
“Berjanji tidak akan pernah pergi dariku, dan akan selalu berada disisiku dalam keadaan apapun. Aku janji setelah kuliahmu selesai, kita akan cari ayahmu bersama-sama.” Jodha tercengang mendengarnya. Bukankah itu sama saja namanya? Cuma bedanya tidak ada kata-kata labelnya ‘KITA PACARAN’ saja. Ck. Tuannya itu memang selalu pintar mencari kesempatan dalam kesempatan. Bukan kesempitan.
“Tuan benar mau mencari Ayah saya?” Jalal mengangguk.
“Iya. Asalkan kamu mau berjanji seperti yang aku katakan tadi.” Jodha mendengus pelan.
“Itu namanya nggak ikhlas mau menolong Tuan. Katanya nggak memaksa, tapi saya disuruh berjanji. Bukankah pada prinsipnya sama saja.” Gerutu Jodha. Jalal terkekeh.
“Terserah kamu mau ngomong apa, pokoknya aku mau kamu berjanji. Oke?” akhirnya Jodha mengalah. Dia mengangguk.
“Baiklah, saya berjanji Tuan.”
“Janjinya apa tadi?” jodha memutar bola matanya.
“Berjanji tidak akan pergi dari Tuan dan selalu berada disisi Tuan dalam keadaan apapun.”
“Good. Gadis pintar.” Kata Jalal sambil mengacak rambut Jodha dengan gemas. Jodha hanya tersenyum.
“Itu namanya sama saja kalau saya ini adalah babysitternya Tuan.”
“Terserah apapun yang ingin kamu namakan Nem. Yang penting kamu tidak akan pergi kemanapun tanpa aku.” Ucap Jalal mulai posesif.
“Tapi, bayaran saya mahal lo Tuan, kalau perjanjiannya seperti itu.” Jalal tertawa.
“Tak apa. Nanti aku akan membayarmu dengan cintaku seumur hidupku.” Ucap Jalal sambil mengedipkan sebelah matanya. Jodha memukul pelan lengannya.
“Tuh kan, mulai lagi gombalannya.” Kembali Jalal terkekeh. Dia membalikkan badannya menghadap laut. Begitupun dengan Jodha. Malam semakin larut. Namun, Jalal masih enggan beranjak dari tempat itu. Hatinya diliputi dengan perasaan bahagia. Yah, meskipun Jodha menolak cintanya, namun dia tahu persis kalau gadis itu juga mempunyai perasaan yang sama seperti dirinya. Dan dia tidak akan bisa kemana-mana karena sudah terikat janji dengannya. Jalal hanya perlu bersabar untuk memberi label hubungan mereka dengan label yang lebih intim lagi. Senangnyaaa...
Jodha memberanikan diri menyandarkan kepalanya di bahu tuan mudanya. Jalal tersenyum melihatnya, tidak menolak, tidak juga memberi tempat lebih. Dia hanya diam ditempatnya tanpa bergerak.
“Tuan...,”
“Hm...,”
“Bagaimana nanti kalau papa sama mama Tuan tahu tentang hal ini?” tanya Jodha sambil mempermainkan jemarinya.
“Kamu tenang aja Nem, tidak akan terjadi apa-apa kok. Papa sama Mama tidak pernah melarangku menjalin hubungan dengan siapapun. Termasuk denganmu.”
“Tapi saya malu Tuan. Saya merasa telah mengkhianati kepercayaan mamanya Tuan.” Jalal terkekeh.
“Simpan saja rasa malumu itu Nem, lama-lama juga akan terbiasa dengan sendirinya.”
“Tapi, saya minta Tuan janji juga sama saya ya.” Pinta Jodha. Jalal menoleh, walaupun tidak bisa melihat wajah gadis itu.
“Janji apa?”
“Tuan janji, jangan sampai papa sama mamanya Tuan tahu dengan kejadian ini. Paling nggak sampai saya dan Tuan lulus. Kita buktikan kalau saya dan Tuan memang pantas untuk melanjutkan hubungan kita lebih jauh.”
“Kalau aku sih gampang aja Nem, mau lulus kapanpun juga bisa.” Ucap Jalal dengan bangga. Jodha menegakkan badannya dan menoleh ke arah tuan mudanya. Dia menggeleng.
“Saya tidak mau Tuan. Saya tidak ingin Tuan seperti itu. Saya mau Tuan berjuang dengan tangan sendiri tanpa bantuan orang tua Tuan. Bisakan?” pinta Jodha. Jalal menatapnya dalam diam, “setidaknya buatlah saya bangga punya seorang calon kekasih yang mandiri dan bertanggungjawab sekalipun Tuan punya segalanya. Tuan mau kan? Please.” Jalal terdiam sejenak sebelum akhirnya dia mengangguk dan tersenyum.
“Baiklah. Aku janji. Aku akan berusaha mencapai segala keinginanku dengan tanganku sendiri. Seperti sekarang ini, aku berjuang sendiri untuk mendapatkan cintaku.” Ucap Jalal sambil mencolek hidung Jodha. Membuat gadis itu tersenyum malu, “jadi?”
“Apa?” tanya Jodha tidak mengerti.
“Status kita sekarang apa?” Jodha mendecak.
“Menurut Tuan apa?” Jalal terkekeh.
“Hm, baiklah. Sekarang kita temenan ya.” Jodha mengangguk, “temenan tapi pacaran. Hahahaha...” kata Jalal sambil tertawa.
“Masa gitu? Teman ya teman Tuan. Pacarankan lain lagi.”
“Kan aku sudah pernah bilang sama kamu, kalau aku tuh merasa seperti pacaran saja sama kamu selama ini.”
“Iya deh. Terserah Tuan sajalah. Gimana baiknya.” Jalal tersenyum bangga, “kita pulang sekarang Tuan. Ini sudah larut malam.”
“Baiklah Inem sayang.” Ucap Jalal seraya turun dari kap mobilnya.
“Tuan...!”
“Apa?”
“Jangan panggil saya dengan kata ‘sayang’. Kan kita hanya teman biasa saja.” Jawab Jodha ikut turun.
“Baiklah, baiklah. Seperti apa maumu saja Nem. Yang penting kamu tidak boleh memberikan hatimu kepada orang lain selain aku.” Kata Jalal naik ke belakang kemudi dan Jodha duduk disampingnya. Keduanya pulang setelah berada ditempat itu cukup lama.
“Selalu saja begitu. Maksa. Bagaimana aku tahu harus ngasih hatiku kepada siapa?” gumam Jodha.
“Pokoknya nggak boleh. Karena kamu sudah janji Nem, selalu ada didekatku sampai kapanpun. Itu artinya hatimu akan selalu ada untukku. Oke?” Jodha mendesah pasrah. Beginilah nasib menyukai seseorang yang terbiasa mendapatkan keinginannya dengan cara apapun. Tidak pernah mau mendengar kata tidak. Dan bodohnya dia juga suka.
“Iya Tuan. Saya tahu itu. Tidak usah diulangi lagi kayak kaset rusak. Berdenging telinga saya nanti.” Jalal kembali tertawa, tangannya menjulur mengacak rambut Jodha yang hanya tersenyum tipis.
Jalal egois? Terserahlah. Apapun itu. Bukankah katanya laki-laki itu berpikir menggunakan akal dan  logika, dan perempuan berpikir menggunakan perasaan. Jangan salahkan bila dia yang menggunakan akalnya untuk menjerat Jodha dengan cara apapun. Mau bilang modus kek, apa kek, Jalal tidak peduli. Bukankah modus juga memerlukan akal untuk berpikir, karena niat modus saja tanpa akal pasti tak akan bisa berjalan dengan baik. Dan perasaan. Jangan salahkan Jodha juga yang menggunakan perasaan sayang kepada ayahnya sebagai penyebab dia menerima keinginan majikan mudanya itu.
Namun, akal dan perasaan harus di lakukan dengan seimbang. Karena bila hanya menggunakan akal dan logika saja sama artinya melihat secara kasat mata tanpa pernah tahu rasa di dalamnya, bisa saja akan melukai perasaan orang lain. Tetapi, menggunakan perasaan saja juga tidak cukup. Karena kita akan buta terhadap sesuatu yang mungkin akan menyakitkan diri sendiri.
Sepanjang jalan Jalal mengemudi dengan riang, senyumnya tidak berhenti mengembang dari tadi. Sesekali dia melirik Jodha yang menggelengkan kepala melihatnya.
“Tuan sepertinya senang sekali,”
“Iya dong!”
“Kenapa?”
“Entah. Rasanya ada yang lapang di dadaku.” Jawab Jalal sambil tersenyum.
“Lapang kenapa?” Jalal menoleh sekilas ke arah Jodha.
“Emangnya kamu nggak merasa senang Nem, malam ini?” jodha tersenyum seraya menatap lurus ke depan.
“Tentu saja saya senang,”
“Karena apa? Karena aku kan?” tebak Jalal. Jodha terkekeh.
“Tuan selalu saja begitu. Percaya diri sekali nampaknya.” Ucap Jodha sambil menggeleng.
“Iya dong. Harus itu. Aku selalu percaya diri, apalagi terhadap kamu.” Kata Jalal setengah membual. Dia yakin seandainya ada Man di dekatnya saat ini, pasti dia akan diledek habis-habisan karena sudah bilang percaya diri. Karena sebelumnya dia pernah bilang kalau dia merasa minder dengan keadaannya ketika melihat Bayu, dan sekarang dia bilang selalu percaya diri? Ck. Percaya diri dari hongkong.
Tapi, biarlah. Untung saja Man tidak ada. Coba kalau ada. Mau ditaruh dimana harga dirinya sebagai laki-laki tampan yang tidak pernah di tolak oleh perempuan manapun, kecuali Jodha tentunya.
Mereka berdua telah sampai dirumah, Jodha turun dari jeep dan membuka pintu gerbang agar jeep tersebut bisa masuk.
Begitu ingin masuk melewati pintu, tangan Jodha di cekal oleh Jalal. Jodha menoleh kebelakang.
“Ada apa Tuan?” Jalal mesam-mesem melangkah mendekatinya.
Sweet Dream, Inem sayang.” Ucap Jalal mencium kening Jodha dengan cepat. Sebelum Jodha sadar dengan keadaannya, Jalal sudah ngacir berlari masuk ke dalam rumah sambil terkekeh meninggalkan Jodha yang masih syok memegang keningnya.
“Dasar. Selalu nyari kesempatan.” Desis Jodha begitu dia menyadari kalau tuan mudanya sudah mencium keningnya. Meski begitu, pipinya terasa menghangat. Dia tersipu, namun juga merasa lucu dengan sikap majikannya itu.
Setelah menutup pintu Jodha melangkah ke kamarnya. Setelah masuk ke kamarnya Jodha berdiri tersandar di pintu yang sudah tertutup itu. Tangannya mendekap dadanya dan matanya terpejam seraya tersenyum. Hari ini begitu berkesan buatnya. Apalagi kalau bukan kebersamaan mereka seharian ini. Tuan mudanya yang begitu manis dan konyol itu mengatakan cinta kepadanya. Benarkah?
“Nad, apa yang kamu bilang itu benar. Tuan muda memang cinta sama aku Nad. Aku harus bagaimana ini Nad? Dan, dengan sombongnya aku menolak cintanya. Belagu banget ya Nad aku ini.” Ucap Jodha ketika teringat akan semua ucapan Nadia tentang tuan mudanya itu. Dia menjadi meringis sendiri, “Jodha, Jodha, stop berpikiran macam-macam. Jangan larut dengan perasaanmu sendiri. Ingat dengan tujuanmu terlebih dahulu.” Ucap Jodha membuka matanya dan menepis kebahagiaan yang baru saja menyergapnya. Berusaha untuk tidak terlalu memperdulikan lagi perasaan hatinya.
Jodha pun melangkah ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya setelah seharian beraktivitas, karena besok dia harus kembali melakukan pekerjaannya seperti biasa.
Sementara itu di kamarnya, Jalal nampak jauh lebih bahagia di bandingkan dengan Jodha. Raut wajahnya yang berseri dari tadi tidak bisa disembunyikan lagi. Apalagi ketika mengingat dia mencium kening gadis itu dengan cepat sampai membuat Jodha syok. Rasanya dia ingin tertawa melihat ekspresinya.
“Inem..., Inem..., kamu kok lucu sekali sih. Bikin gemas tau nggak.” Ucap Jalal sambil berkaca di cermin wastafel kamar mandinya seolah dia berbicara dengan Jodha.
Setelah mandi dan membersihkan diri, Jalal menghempaskan tubuhnya ditempat tidur. Berharap akan bertemu dengan bidadarinya dalam mimpi.

***
Keesokan harinya Jalal bertemu dengan Jodha di meja makan ketika gadis itu sedang membawakan sarapan untuknya dan juga untuk kedua orang tuanya. Nampak gadis itu sedikit tersipu ketika melihat tuan mudanya.
“Pagi Nem,” sapa Jalal duduk ditempat biasanya.
“Pagi juga Tuan.” Sahut Jodha menyambutnya dengan senyuman seperti biasa, dia menyodorkan secangkir kopi untuk sarapan tuan mudanya.
“Makasih Inem sayang.” Bisik Jalal sembari memainkan kedua alisnya, membuat gadis itu mendelik karena kesal. Jalal tertawa, senang dia bisa melihat ekspresi kesal dari wajah Jodha.
“Tuan...?” protesnya. Dia masih berdiri disamping meja makan. Sementara kedua orang tua Jalal belum datang untuk sarapan.
“Kenapa Nem? Hm?” sahut Jalal berlagak blo’on.
“Kan Tuan sudah janji nggak akan memanggil nama saya seperti itu. Nggak enak kedengaran Ibu sama Bapak, Tuan.” Pinta Jodha penuh harap. Jalal nyengir.
“Tapikan mereka nggak ada, Nem.”
“Ya tetap saja nggak boleh. Nanti malah keterusan, jadi lupa deh karena kebiasaan.”
“Iya, iya. Nggak lagi deh. Ayo duduk sini, kita sarapan bareng.” Ajak Jalal menepuk kursi disebelahnya. Namun Jodha menggeleng.
“Nggak ah. Nanti saja, nunggu Bapak sama Ibu datang. Biar bisa sarapan bareng-bareng.” Tolak Jodha secara halus, membuat Jalal mendecak.
“Bukannya sama saja Nem. Nanti juga datang kok.”
“Iya datang, tapi masa tuan rumah makannya belakangan. Kan nggak pantes.” Jalal akhirnya hanya menghela nafas, pasrah.
“Iya. Baiklah. Terserah apa katamu saja.” Jodha tersenyum senang.
Tidak lama kemudian, kedua orang tua Jalal turun dari kamarnya dan menghampiri mereka berdua.
“Pagi sayang, pagi Jo.” Sapa Bu Hamidah. Dia duduk di tempatnya seperti biasa disamping suaminya.
“Pagi juga Bu, Pak.” Sahut Jodha dengan sopan, dia lantas menduduki kursi disamping tuan mudanya.
“Pagi juga Jo.” Balas Pak Humayun.
Jodha menyenggol lengan tuan mudanya, Jalal menoleh dan bertanya dengan isyarat mata. Dan Jodha juga memberi isyarat untuk Jalal agar membalas sapaan orang tuanya. Jalal menjawab dengan cengiran.
“Met pagi juga Pa, Ma. Gimana kabarnya pagi ini Ma, Pa?  Tidurnya nyenyak?” tanya Jalal dengan tersenyum manis, membuat kedua orang tuanya heran dan saling berpandangan. Jodha menahan ketawanya dengan menutup mulutnya menggunakan punggung tangannya sambil menunduk.
“Kamu kenapa sayang?” tanya Bu Hamidah.
“Mama kok nanyanya gitu sih? Aku nggak apa-apa kali Ma. Emang nggak boleh ya nanya kayak gitu?” jawab Jalal dengan senyuman semanis madu.
“Ya bukan nggak boleh sayang, hanya saja kali ini kelihatannya kamu lagi bahagia ya?” tebak Bu Hamidah. Jalal menoleh sebentar ke arah Jodha yang masih menunduk untuk menyembunyikan senyumnya.
“Kan aku selalu bahagia Ma, apalagi akhir-akhir ini.”
“Oh ya?”
“Iya Ma, aku kan sedang ja...” ucapan itu terhenti ketika disudut matanya melihat Jodha melirik memberi isyarat agar tidak keceplosan bicara.
“Sedang ja... apa sayang?” Tanya Bu Hamidah. Jalal tergagap.
“Eh, anu...itu...ah, nggak Ma. Nggak jadi.” Sahut Jalal tidak tahu harus memberi alasan apa. Cepat-cepat dia menyesap kopinya dan menghabiskan rotinya. Pak Humayun menggelengkan kepala melihatnya, sedangkan Bu Hamidah menatapnya dengan heran.
Bu Hamidah melihat ada sesuatu yang terjadi antara anaknya dan Jodha. Seperti terjadi interaksi tidak biasa yang mereka lakukan ini. Dan, tingkah laku Jalal benar-benar berbeda pagi ini. Kali ini lebih riang, lebih semangat dan lebih banyak tersenyum. Bagaimana pun, sebagai seorang ibu,  dia tahu ada sesuatu yang berubah dengan orang yang dia sayangi itu. Perasaan dan instingnya dapat merasakan aura kebahagiaan dalam diri putranya.
Selesai sarapan, Jalal cepat-cepat pamit berangkat kepada kedua orang tuanya, agar mamanya tidak bertanya lebih jauh lagi. Selain itu dia ingin bertemu dengan kedua sahabatnya itu. Dia berangkat lebih pagi dari biasanya, karena ingin melaksanakan janjinya kepada gadisnya.
Dan, disinilah Jalal. Di depan pintu apartemen Mansingh. Setelah memencet bell, pintu pun terbuka. Nampak Mansingh sudah terbangun, namun belum siap untuk berangkat.
“Pagi Man.” Sapa Jalal tersenyum, langsung menerobos masuk.
“Wah, sepertinya ada berita baik nih tadi malam.” Goda Mansingh. Jalal hanya tersenyum. Dia duduk di sofa, mengangkat kaki kanan dan menumpukannya di kaki kirinya. Tangannya di rentangkan di atas pinggiran sofa layaknya seorang bos, dengan senyuman yang tidak berhenti dari tadi. Mansingh mendecak melihatnya.
Baru saja Mansingh membuka mulutnya, ketika Surya masuk begitu saja tanpa permisi. Lengkaplah sudah mereka bertiga seperti biasa.
“Hai bos, apa kabarnya nih? Kayaknya bahagia banget. Apa aku ketinggalan berita nih kemarin?” ucap Surya mengambil tempat duduk di samping Jalal dengan tidak sabar, sedangkan Mansingh duduk pada sofa di depannya. Jalal nyengir.
“Gimana bos? Bos sudah nembak Jodha kan?” tanya Mansingh. Kembali Jalal terkekeh.
“Sudah dong.”
“Waah, jadian nih. Kita makan-makan nih Sur, hari ini.” Ucap Mansingh gembira dan bertos ria dengan Surya, “kita makan dimana nih bos?” tanya Mansingh lagi.
“Yang bilang jadian siapa?” tanya Jalal tersenyum lebar.
“Loh, kok?” Mansingh dan Surya melongo.
“Jadi, bos di tolak?” tebak Mansingh lagi. Jalal mengangguk.
“Yeps. Begitulah kira-kira.” Jawab Jalal santai. Keduanya kembali saling pandang.
“Tapi, di tolak kok senang banget kayaknya bos? Nggak ada sedih-sedihnya.” Tanya Surya dengan heran. Jalal mengangkat bahunya.
“Nggak juga.”
“Hah?”
“Ck. Kalian ini. Kenapa sih ekspresinya seperti itu?” Mansingh dan Surya kompak mendengus.
“Ya iyalah Bos, heran. Biasanya orang kalau cintanya di tolak itu, ekspresinya sedih. Lah ini, malah tersenyum bahagia. Emang bos bener-bener nembak Jodha ya tadi malam?” tanya Mansingh penasaran. Jalal mengangguk.
“Terus?”
“Yaaa, aku bilang semua perasaanku kepadanya. SE-MU-A-NYA. Tanpa sisa, sampai kerak-keraknya juga aku bilangin.” Mansingh dan Surya terkikik geli mendengar perumpamaan dari Jalal.
“Terus?”
“Awalnya dia mengira aku becanda, hampir saja aku kesal kepadanya. Tau sendirikan kalau dia itu nggak romantis sama sekali. Dengar kata-kata bernada gombal sedikit aja ingin muntah. Ck.” Keduanya tertawa terbahak-bahak, tetapi kemudian kembali menatap Jalal dengan antusias.
“Terus?”
“Ya..., dia bilang untuk saat ini dia belum ingin menjalin hubungan cinta dengan siapapun dulu karena sesuatu alasan.”
“Terus, terus?” Mansingh semakin mencondongkan ke arah Jalal saking ingin tahunya.
“Ya sudah, aku terima saja alasannya.”
“Terus?”
“Astaga Man, ini sudah berapa ‘terus’ sih? Dari tadi pertanyaannya cuma ‘terus dan terus’. Kreatif sedikit kek pertanyaannya. Anak kuliahan kok cuma tahu pertanyaan terus, terus, aja.” Omel Jalal. Spontan Mansingh dan Surya kembali tertawa terbahak-bahak.
“Ya ampun Bos. Maaf. Saking penasarannya dengan cerita Bos sampai lupa dengan pertanyaan lainnya.” Jalal mendecak.
“Lalu?” kembali Jalal mendecak kesal.
“Emang ‘terus’ dan ‘lalu’ itu beda ya pertanyaannya?” keduanya kembali terkekeh.
“Iya deh, maaf. Ini pertanyaannya di ganti saja. Apa hubungannya bos terlihat senang dengan penolakan Jodha?”
“Nah, gitu dong. Pertanyaannya yang bermutu sedikit.” Sahut Jalal dengan santai. Keduanya memutar bola mata dengan malas, “dia memang telah menolakku, tetapi dia juga mengakui kalau dia mempunyai perasaan yang sama denganku. Hanya saja di sudah terlanjur berjanji tidak akan menjalin cinta dulu sebelum dia lulus kuliah.” Jelas Jalal dengan gamblang. Akhirnya keduanya mengangguk.
“Wah, nasibmu Bos.” Ucap Mansingh mendesah lirih. Jalal menatapnya dengan heran.
“Kenapa nasibku?”
“Yah, nasibmu menyedihkan kalau gitu. Laki-laki tampan nan kaya di tolak oleh seorang wanita yang statusnya hanya seorang supir pribadi.”
“Siapa bilang menyedihkan?” keduanya melongo.
“Hah? Itu bukan menyedihkan ya?” tanya Mansingh heran. Jalal tertawa.
“Aku memang di tolak, tetapi dia tetap akan menjadi milikku Man, dan aku juga sudah membuatnya berjanji kalau dia tidak akan pernah pergi dariku.” Ucap Jalal dengan bangga.
“Kok bisa?”
“Ya bisalah. Apa sih yang nggak bisa buat Tuan Muda Jalal ini.” Katanya dengan menepuk dada.
“Ck. Sombong sekali” cibir Mansingh. Surya mengangguk.
“Orang cakep dan kaya itu bebas mau sombong Man, karena ada yang di sombongkan.” Jawab Jalal senang.
“Apa yang membuat Jodha sampai bisa berjanji tidak akan  meninggalkanmu Bos?” tanya Surya penasaran.
“Aku janji mencari ayahnya sampai ketemu. Dan untuk ayahnya dia mau melakukan apa saja, termasuk mencintaiku. Bukankah itu suatu hal yang menyenangkan buat dia?”
“Itu namanya mencari kesempatan dalam kesempitan Bos.” Tegas Surya.
“Bukan. Itu namanya melihat peluang dalam setiap kesempatan.”
“Bukan. Itu namanya licik.” Sela  Mansingh, “kasihan Jodha terpaksa berjanji.” Jalal tertawa.
“Itu bukan licik Man, tetapi cerdik. Nggak percuma aku mewarisi kepintaran Papa Humayun dan Mama Hamidah.” Ucap Jalal dengan bangga. Kedua sahabatnya hanya menggelengkan kepala, “ayo ah, sudah siang nih. Kita berangkat. Mulai hari ini aku harus belajar dengan rajin dan lulus tanpa bantuan Mama.”
“Tumben?” tanya mereka berdua serempak. Jalal mendecak.
“Bukan tumben. Tapi aku sudah janji sama Inem untuk belajar dan lulus dengan usahaku sendiri.” Keduanya saling pandang, kemudian tertawa terbahak-bahak. Jalal menatap mereka dengan heran, “kalian kenapa?”
Masih dengan nafas tersengal-sengal Mansingh menjawab, “Ternyata Jodha tidak sebodoh yang aku kira tadi. Dia juga cerdik Bos. Dia bisa membuat seorang Jalal yang pemalas menjadi rajin, dan berjanji pula. Ckck...itu luar biasa.” Sejenak Jalal termangu. Benar juga pikirnya. Dia menggaruk kepalanya sambil cengengesan.
“Ternyata kadar kebanggaan akan kesombonganmu harus diturunkan lagi Bos.” Ucap Surya dengan senyum mengejek.
“Iya tuh, ternyata Jodha lebih cerdik darimu Bos. Sabar ya.” Kembali Mansingh ikut mengejek Jalal.
“Terserah kalian saja. Yang penting Inem nggak akan pergi dariku.” Sahut Jalal karena merasa kalah berdebat dengan kedua sahabatnya itu. Kembali keduanya tertawa, “sudah, ayo mandi dulu. Kita berangkat bareng.”
“Okelah kalau begitu Bos.” Surya dan Mansingh pun bersiap untuk pergi ke kampus mereka.


===TBC===

Tidak ada komentar:

Posting Komentar