Jalal masih
menatap dengan intens wajah cantik di depannya itu yang telah terpejam matanya
dengan jantung berdebar keras. Naluri membuatnya memiringkan kepalanyanya ingin
mengecup bibir setengah terbuka yang
begitu menggiurkan itu. Tangannya yang mengacung memegang hp sudah diturunkan
sedangkan tangan sebelahnya tanpa disadari keduanya sudah berada di tengkuk
Jodha.
Jodha hanya
diam mematung, dadanya juga terasa berdebar. Sedikit demi sedikit dia merasakan
nafas hangat menerpa wajahnya, jantungnya semakin berdetak kencang dan dia
tidak berani untuk membuka matanya. Hanya pasrah dan tidak tahu harus berbuat
apa.
“Hallo
Nyonya,....iya Nya,.....Jodha sedang
dipeluk Tuan Muda, Nya. Jadi belum bisa menjemput Nyonya dan Tuan di bandara
sekarang.” Kata Bi Ijah tiba-tiba saja berada di tempat itu dengan hp menempel
di telinganya.
Jalal dan
Jodha terkejut bukan kepalang mendengar ucapan Bi Ijah yang bahkan blak-blakan
mengatakan kalau mereka berdua sedang berpelukan. Jodha dengan cepat membuka matanya dan nampak
pucat pasi. Dia refleks mendorong dada Jalal dan menjauhinya. Sedangkan Jalal
nampak terkejut dan frustasi juga salah tingkah karena ketahuan ingin mencium
Inemnya. Tanpa menoleh ke arah Jodha dan Bi Ijah Jalal segera meninggalkan
tempat itu.
Sepeninggal
tuan mudanya Bi Ijah tertawa cekikikan sambil menutup mulutnya. Jodha bingung
kenapa Bi Ijah nampak tenang-tenang saja. Padahalkan majikannya mau datang.
Dengan perasaan tercampur malu karena diperhatikan oleh Bi Ijah yang nampak
senyum-senyum penuh arti kepadanya Jodha memberanikan diri untuk menanyakan
perihal kedatangan majikannya itu.
“Apa benar
Ibu sama Bapak mau dijemput sekarang Bi?” tanya Jodha dengan suara pelan. Bi
Ijah menggeleng. Jodha semakin tidak mengerti, “terus?” Bi Ijah kembali
tersenyum.
“Belum Jo,
mereka masih belum terbang kok. Tadi Bibi hanya menghentikan aksi Tuan Muda
sama kamu aja. Makanya Bibi pake nama Nyonya biar Tuan Muda takut.” Jelas Bi
Ijah sambil tertawa.
Jodha
menghembuskan nafas lega. Lega karena majikannya memang belum datang dan lega
karena lepas dari aksi yang memalukan itu dengan Tuan Mudanya. Mengingat
kejadian tadi membuat wajah Jodha terasa panas. Dia mengutuk dirinya yang ikut-ikutan
terbawa suasana. Gilaaa....tatapan tuan mudanya itu begitu menghipnotis dirinya
sehingga tanpa di sadari dirinya ikut larut dalam pesona laki-laki itu.
“Masih
mengingat tadi Jo? Nyesel karena nggak jadi?” ledek Bi Ijah. Jodha semakin
malu, menggeleng dan menunduk, Bi Ijah tersenyum, “nggak apa-apa kok Jo. Wajar
aja kalau kamu tertarik sama Tuan Muda. Dia kan emang cakep, siapa sih yang
bisa menolak pesonanya? Dan aku rasa Tuan Muda juga tertarik sama kamu.” Jodha
langsung mendongak menatap Bi Ijah. Dia menggeleng.
“Tidak Bi,
itu tidak mungkin. Tuan Muda tidak mungkin suka kepadaku. Itu tadi hanya
kebetulan saja.” Elak Jodha. Dia tidak mau
mengakui semua itu. Dia bahkan rela mendingan dia yang menyukai lelaki
itu daripada tuan mudanya yang menyukai dirinya. Karena bila dirinya yang
menyukai, dia tentu tidak akan membiarkan perasaannya berkembang lebih jauh
lagi. Cukup hanya dihatinya saja.
“Apa yang
tidak mungkin Jo? Tidakkah kamu lihat perubahan sikap Tuan Muda selama kamu
berada disini? Apa kamu tidak tahu setiap pagi dia memperhatikanmu dari
kamarnya ketika kamu sedang mencuci mobil Nyonya bersama Mang Diman.” Jodha
terkejut mendengar pernyataan Bi Ijah. Wanita itu tersenyum.
“Kok Bibi
bisa tahu?”
“Pernah
secara tidak sengaja Bibi memergokinya sedang berdiri dibalkon kamarnya
bersandar di pagar. Saat itu Bibi tidak sengaja melihat ketika ingin menyapu
halaman samping. Dari tempat Bibi berdiri
Bibi melihat dia terus menatapmu tanpa sadar kalau Bibi juga memperhatikannya.
Dia baru masuk lagi ke kamarnya setelah kamu selesai mencuci mobil. Bibi
penasaran apa dia seperti itu hanya saat itu saja ataukah tiap hari. Besoknya
lagi Bibi perhatikan lagi dari tempat yang sama ternyata seperti itu lagi yang
dia kerjakan.” Jodha terdiam. Dia masih tidak menyangka akan seperti itu
kenyataannya. Dia bahkan tidak berani untuk berpikir lebih jauh tentang
pertanyaan-pertanyaan tuan mudanya tadi pagi dan juga tingkahnya yang aneh. Ya
Tuhan,...sekarang Jodha bingung harus bagaimana bersikap jika berhadapan dengan
majikannya itu.
Bi Ijah
menepuk bahunya dan tersenyum dengan senyuman yang menenangkan.
“Tidak
apa-apa Jo. Kamu nggak usah minder dengan keadaan kamu. Kamu itu cantik,
pintar, rajin dan kamu bisa membuat orang menyukaimu dengan cepat. Tidak usah
takut dan berpikir macam-macam tentang hal ini. Bersikaplah sewajarnya, seakan
kamu tidak mengetahuinya. Itu akan lebih baik buatmu sampai dia sendiri yang
mengatakan perasaannya padamu.” Jodha mengangguk.
“Iya Bi. Aku
mengerti.”
“Ayo,
sekarang kita lanjutkan lagi masaknya.”
“Iya Bi.”
Mereka
berdua pun segera masuk lagi kerumah untuk melanjutkan pekerjaan mereka yang
tertunda tadi.
Sementara
itu Jalal yang memilih meninggalkan Jodha dan masuk ke kamarnya membanting
tubuhnya di atas tempat tidur. Pikirannya melayang mengingat peristiwa yang
barusan terjadi. Wajah Inemnya yang terpejam masih terbayang di pelupuk
matanya. Bahkan harum aroma tubuhnya pun masih terasa dihidungnya.
“Sialan,
padahal sedikit lagi aku pasti mendapatkan bibir itu. Kenapa dia begitu
menggemaskan sih? Gila, pikiranku sekarang sudah tidak fokus lagi. Semua
gara-gara Inem. Haaahhh....” Jalal menghembuskan nafas panjang.
Jalal
bangkit dari posisinya dan duduk dipinggir tempat tidur. Dikeluarkannya lagi
handphone miliknya disaku celananya dan dibukanya lagi video Inemnya itu.
Bohong waktu dia bilang kalau video itu dia upload ke youtube. Dia hanya ingin
mengerjai gadis itu saja. Melihat ekspresinya merupakan kesenangan tersendiri
buat Jalal.
Berkali-kali
diputarnya video tersebut tanpa bosan-bosannya, sesekali dia tertawa kecil.
Bahkan beberapa fose Jodha dalam video itu di capture untuk disimpan jika ingin melihatnya sewaktu-waktu.
Entah berapa
lama Jalal melakukan pekerjaan itu, tidak terasa malam menjelang. Dia bangkit
dari duduknya ingin mandi, namun sebelum itu di lihatnya lagi foto Jodha yang
ia dijadikan wallpaper di
handphonenya agak lama sambil tersenyum sebelum akhirnya dia meletakkan hp
tersebut di atas meja belajarnya.
Setelah
mandi dan berpakaian rapi, Jalal turun dari kamarnya berniat ingin menemui
orang tuanya yang beberapa hari ini pergi. Namun agak aneh menurutnya karena
suasana rumah sangat sepi. Tidak ada tanda-tanda orang tuanya datang. Bahkan
meja makan di ruang makan pun masih tertata dengan rapi seperti belum tersentuh
oleh siapapun. Hanya ada Bi Ijah yang sibuk berberes-beres di dapur. Inemnya kemana? Iseng-iseng Jalal mendekati
Bi Ijah dan bertanya padanya.
“Inem kemana
Bi?” tanya Jalal dengan sedikit malu. Bi Ijah tertawa melihatnya.
“Lagi jemput
Tuan Besar sama Nyonya, Tuan.” Jalal tertegun mendengarnya.
“Lo,
bukannya Papa sama Mama sudah datang Bi? Tadi kata Bibi......” ucapan Jalal
terhenti ketika melihat senyum serba salah dari pembantunya itu, “...jangan
bilang Bibi hanya mengerjaiku saja?” tembak Jalal.
“Sayangnya
iya Tuan.” Jalal mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya, untuk
mengurangi perasaan malu kepada Bi Ijah, “maafkan Bibi yang sudah mengganggu
Tuan tadi.” Ucap Bi Ijah dengan tulus.
“Nggak Bi.
Aku juga yang bersalah. Aku nggak ada niat ingin mencium Inem, semuanya terjadi
begitu saja.” Bi Ijah tersenyum maklum.
“Tuan, boleh
Bibi bertanya?” Jalal mengangguk.
“Boleh saja
Bi, tanya aja?” sahut Jalal sambil tersenyum. Dia duduk di kursi dekat meja pantry.
“Hm... apa
Tuan bener-bener suka sama Jodha?” Jalal agak kaget juga mendengar ucapan Bi
Ijah.
“Nggak kok
Bi, aku sama Inem hanya berteman saja. Tidak lebih.” Elak Jalal. Bi Ijah
menggeleng.
“Tuan boleh
bohong sama siapa saja, tapi Tuan tidak bisa membohongi Bibi. Bibi sudah
mengenal Tuan sejak Tuan lahir. Jadi bagaimana Tuan Bibi sudah tahu.” Wajah
Jalal kembali memerah ketika Bi Ijah bisa menebak perasaannya dengan tepat.
“Hm...aku
tidak tau Bi. Hanya saja menyenangkan rasanya bila melihatnya marah, melihatnya
kesal dan juga ketika melihatnya tersenyum.” Jawab Jalal dengan malu-malu. Bi
Ijah tersenyum.
“Itu saja
sudah cukup sebagai bukti kalau Tuan menyukainya.” Bi Ijah diam sesaat, “tapi
jika memang benar Tuan menyukainya, bolehkan Bibi minta Tuan berjanji satu
hal.” Jalal menatap Bi Ijah dengan heran.
“Berjanji
apa Bi?”
“Berjanji
Tuan tidak akan menyakitinya. Dia anak yang baik dan polos. Hidupnya seperti
banyak menanggung kesedihan. Dia memang tidak pernah cerita terlalu terbuka
dengan Bibi, tetapi Bibi bisa merasakan itu. Bahkan Bibi sering melihatnya
menangis sendirian di kamar.” Jalal masih terdiam mendengar cerita Bi Ijah,
“dia memang tipe orang yang tidak mau merepotkan orang lain, karena itu dia
menyimpan masalahnya rapat-rapat. Tapi, Bibi salut sama dia, karena dia adalah
gadis yang tegar juga kuat. Dia bisa menutupi semua permasalahannya dengan
tersenyum ceria.” Ucap Bi Inah sambil tersenyum.
Jalal
menghela nafas, ada rasa iba dalam hatinya. Namun juga ada rasa kagum dalam
dirinya. Sangat susah mencari wanita yang tangguh dan mau mengerti serta tidak
banyak menuntut. Dia semakin salut dengan gadis itu.
“Iya Bi, aku
akan mencobanya meski aku tidak tahu apakah akan berhasil atau tidak.” Kata
Jalal sambil mengusap tengkuknya. Bi Ijah tersenyum.
“Tapi
melihat kedekatan Tuan dengan Jodha akhir-akhir ini membuat Bibi senang, Tuan
bisa membuat dia jadi dirinya sendiri. Padahal kalau orang lain dalam posisi
dia pasti akan berusaha menarik perhatian Tuan. Sedangkan Jodha malah
sebaliknya. Sikapnya sangat acuh tak acuh.” Jalal mengangguk.
“Benar
sekali Bi, itulah yang aku suka darinya. Dia tidak terpengaruh dan tidak silau dengan
kelebihan yang aku punya.” Jawaban Jalal membuat Bi Ijah terkekeh.
“Tuh kan
Tuan sudah mengakui kalau Tuan suka sama dia.” Jalal terdiam. Terjebak oleh
ucapannya sendiri. Wajahnya kembali memerah menahan malu. Dia tidak bisa
mengelak lagi dari Bi Ijah.
Untunglah
suasana terpecah ketika mendengar suara bel rumah berbunyi. Bi Ijah segera
melangkah ingin membuka pintu namun dicegah oleh Jalal.
“Biar aku
saja Bi. Paling Mama sama Papa yang datang.” Bi Ijah mengangguk.
“Baiklah
Tuan.” Jalal tersenyum dan bangkit dari posisi duduknya melangkah ke depan
untuk membuka pintu.
Benar saja,
kedua orang tuanya datang. Jalal segera mencium tangan kedua orang tuanya yang
nampak gembira anaknya sekarang menjadi anak yang manis. Jarang keluar rumah.
“Jalal
sayang, mama senang banget ketemu kamu ketika mama sama papa pulang.” Kata Bu
Hamidah mencium wajah Jalal berkali-kali. Membuat Jalal merasa risih. Ayahnya
hanya tersenyum geli melihat sikap istrinya yang terlalu berlebihan. Dan Jalal
pun tidak sengaja melihat Inemnya menunduk menahan tawa melihat dirinya
diperlakukan seperti anak kecil oleh mamanya. Namun dia tidak bisa berbuat
apa-apa selain menahan malu.
“Ayo Ma kita
masuk. Papa lapar nih.” Ajak Pak
Humayun.
“Iya Pa. Ayo
sayang, kita masuk.” Kata Bu Hamidah membimbing Jalal masuk kerumah. Sumpah,
Jalal merasa seperti anak kecil yang dibimbing oleh Ibunya. Diliriknya sekilas
Jodha yang memperhatikan dirinya dan mamanya dengan senyum di kulum. Tatapan
mata Jalal kepada Jodha yang
mengisyaratkan “awas kamu” dibalas Jodha dengan senyum mengejek, “dasar anak
mama” balasnya juga.
Akhirnya
mereka bertiga masuk dan menuju meja makan, sedangkan Jodha dengan dibantu oleh
Mang Diman membawakan koper majikannya ke kamar. Seperti biasa Jodha dipanggil
untuk makan malam bersama. Dengan agak sungkan Jodha duduk di posisi biasa di
samping tuan mudanya.
“Gimana
kabar kamu Jo? Jalal masih suka ganggu kamu?” tanya Bu Hamidah sambil
tersenyum.
“Baik Bu,
hm.... Tuan...Tuan....” ucap Jodha terputus sambil melirik tuan mudanya yang
masih acuh makan, “ Tuan masih seperti biasanya Bu.” Jawab Jodha jujur. Bu
Hamidah dan Pak Humayun tertawa, “tapi, sudah baik kok Bu.” Jalal menoleh ke
arah Jodha dengan tatapan penuh tanda tanya, namun Jodha hanya menunduk sambil
tersenyum.
“Ibu senang
kalau kalian sudah akur. Nggak baik terus bertengkar, nanti lama-lama bisa
jatuh cinta beneran lo.” Ucap Bu Hamidah dengan santai namun efeknya malah
membuat Jalal dan Jodha tersedak bersamaan. Kedua orang tua Jalal hanya
menggeleng melihat kelakuan mereka berdua, “kalian berdua kenapa kok bisa
tersedak bersamaan gitu?”
Jalal yang
sudah meminum air karena tersedak segera protes kepada mamanya, namun Jodha
hanya diam menunduk saja. TidaK berani protes.
“Gara-gara
mama sih.”
“Kok mama?”
tanya Bu Hamidah tanpa rasa berdosa.
“Ya mama sih
ngomong masalah cinta-cintaan segala.” Mamanya tertawa.
“Emang gak
boleh ya mama ngomong gitu?” Jalal tergagap.
“Yaa...ya...boleh
sih, tapi nggak dimeja makan juga Ma.”
“Terus
dimana?” kejar mamanya. Jalal tidak bisa menjawab, dia menyenggol tangan Jodha
membuat Jodha menoleh ke arahnya dan dia segera menyuruh gadis itu untuk
menjawab menggunakan isyarat matanya, namun Jodha menggeleng tanda menolak.
Jalal cemberut.
“Sudah-sudah,
nanti saja dilanjutkan pembicaraannya. Sekarang makan dulu, setelah ini
terserah mau dilanjutkan lagi apa tidak ngobrolnya.” Tegur Pak Humayun membuat
mereka bertiga hanya bisa terdiam sambil meneruskan makan. Memang, kalau sudah
papanya Jalal yang menegur semua tidak ada yang berani melawan.
Selesai
makan, orang tua Jalal masuk ke kamar mereka untuk beristirahat setelah
menempuh perjalanan jauh. Sementara Jalal menghilang juga ke kamarnya,
sedangkan Jodha membersihkan meja makan ditemani oleh Bi Ijah. Selesai berberes
di dapur, Jodha masuk kekamarnya dan mengambil earphone beserta sebuah buku novel dan keluar menuju gazebo
belakang rumah. Malam ini entah kenapa dia ingin sekali duduk di sana sambil
memandang langit yang bertebaran bintang. Suasana di gazebo tersebut yang
lumayan terang karena banyaknya lampu taman yang dipasang memudahkan Jodha
untuk membaca.
Jodha duduk
di pinggir gazebo sambil bersandar di tiang, kedua lututnya di tekuk, kedua
tangannya di letakkan diatas lutut yang bertumpu pada sikunya sehingga kedua
telapak tangannya menjuntai bebas. Sesaat dia memandang langit sembari
mendengarkan suara musik dari earphonenya
sampai akhirnya dia tidak sadar matanya terpejam menghayati lagu yang di
dengarnya.
Sementara
itu Jalal yang mengetahui kalau Inemnya sedang duduk menyendiri di gazebo
segera berjingkat-jingkat menemuinya. Perlahan dia menghampiri Jodha dan tanpa
suara dia duduk bersila di hadapan gadis itu yang masih terpejam. Dia tidak
berusaha membangunkannya, hanya diam dan menatap wajah polos itu sepuasnya
selagi bisa sambil tersenyum.
Selesai
mendengarkan lagu yang disukainya perlahan Jodha membuka matanya, namun dia
terkejut setengah mati saat melihat tuan mudanya sedang duduk bersila di
hadapannya sambil menyeringai. Sampai-sampai dia hampir terjatuh dari gazebo
tersebut saking kagetnya. Sementara Jalal malah tertawa terbahak-bahak melihat
Jodha yang terkejut dan hampir terjatuh. Puas sudah hatinya melihat ekspresi
itu.
“Tuan kok
nggak ngomong sih dari tadi? Malah diam saja?” gerutu Jodha. Sementara tertawa
Jalal masih tertinggal kekehannya saja.
“Salahnya
sendiri asyik dengan duniamu sampai lupa dengan keadaan sekitarnya. Masa aku
dari tadi duduk disini kamu nggak tau.” Ucap Jalal membuat Jodha mendengus. Di
lepaskannya earphone yang melekat di
telinganya.
“Terus,
sekarang Tuan mau apa?” tanya Jodha dengan sengit. Jalal kembali terkekeh.
“Ya elah
Nem, judes amat. Nggak bisa ya sesekali aja kita temenan baik-baik tanpa
bertengkar?” Jodha mencebik bibirnya.
“Itu karena
Tuan selalu usil terlebih dahulu, jadi jangan salahkan saya yang selalu negative thinking kepada Tuan setiap
bertemu.” Alis Jalal terangkat sebelah mendengar ucapan Jodha.
“Bukannya
kamu senang di usili olehku? Jarang-jarang
lo aku mengusili orang apalagi mengusili seorang gadis sepertimu.” Sahut
Jalal kembali terkekeh.
“Trus, saya
harus bangga di usili oleh Tuan? Dan saya harus bilang wow gitu? Maaf saja,
saya nggak ada waktu dan saya tidak bangga akan hal itu.” Sentak Jodha membuat
Jalal pura-pura sedih mendengar ucapannya.
“Yaaah, kok
kamu gitu sih Nem? Kok tega banget sama aku.” Ucap Jalal membuang muka ke arah
samping. Dia beringsut ke pinggir gazebo dan menurunkan kedua kakinya sehingga
dia duduk dengan kaki menjuntai, wajahnya mendongak ke atas dan menatap langit
yang penuh bintang-bintang dan Jodha terus memperhatikannya. Ada rasa bersalah
melihat tuan mudanya itu bersedih. Benar. Apa salahnya sih sekali-sekali mereka
berdua duduk santai dan ngobrol bersama tanpa ada pertengkaran. Emang nggak
capek apa?
Jalal terus
diam, masih menatap langit dan Jodha juga pun begitu, meski hatinya mulai
gelisah karena merasa tidak nyaman dengan suasana seperti ini. Akhirnya dia pun
memecah keheningan. Sesekali mengalah tidak apa-apa pikirnya, mumpung tuan
mudanya lagi jinak. Hehehe....
“Tuan....”
panggil Jodha.
“Hm....”
gumamnya tanpa menoleh.
“Tuan marah
ya?” Jalal menghela nafas dan dia menoleh ke arah Jodha.
“Menurutmu?”
“Maafin saya
ya, sudah berani membentak Tuan dan membuat Tuan sedih.” Jalal tersenyum dan
tangannya menjulur mengacak rambut Jodha pelan. Jodha ikut tersenyum dan tidak
marah seperti biasa.
“Nggak kok
Nem, aku nggak sedih.”
“Tapi,.....”
“Tapi apa?”
“Tapi tadi
Tuan sepertinya sedih saya bentak. Maafkan saya ya Tuan, mungkin saya terlalu
kurang ajar kepada Tuan.” Jalal menggeleng.
“Justru aku
senang kamu bisa jadi diri kamu sendiri. Kamu bisa marah, bisa jengkel, bisa
kesal, bila ada yang tidak berkenan dihatimu. Terkadang aku benci sama orang
yang pura-pura baik tapi niatnya hanya untuk mencari muka dan simpati saja
padahal sebenarnya hatinya busuk.” Jodha tersenyum.
“Saya terbiasa
mengeluarkan apa yang dipikiran saya ketika menurut saya itu benar, tidak
masalah kalaupun akhirnya tidak sependapat dengan pikiran saya setidaknya saya
sudah menyampaikan apa yang ingin saya sampaikan.” Jalal mengangguk.
“Ya, dan aku
suka sikap seperti itu.” Keduanya tersenyum. Kemudian terdiam. Hanya terdengar
suara binatang malam yang mulai bergembira menyambut malam. Mereka berdua masih
duduk di pinggir gazebo. Jalal duduk dengan menjuntaikan kakinya, sedangkan
Jodha masih duduk bersandar di tiang dengan memeluk lututnya menghadap ke arah
samping tubuh tuannya namun pandangannya menatap langit yang kelam.
“Nem....”
kata Jalal menoleh ke arah Jodha. Gadis itu menurunkan pandangannya ke arah
tuan mudanya.
“Ya Tuan.”
“Ceritakan
tentang dirimu.” Pinta Jalal, Jodha sedikit terkejut. Tidak menyangka kalau
tuannya menginginkan dia bercerita tentang dirinya.
“Tidak ada
yang menarik dengan kehidupan saya Tuan, seandainya saya ceritakan pun Tuan
paling juga bosan mendengarnya.” Kata Jodha sambil terkekeh. Jalal mendengus.
“Itukan
menurutmu. Belum tentu menurutku. Ya kan?”
“Tapi, saya
nggak yakin Tuan akan betah mendengar cerita saya.”
“Kan belum
di coba Nem.” Bujuk Jalal. Jodha menghela nafas sambil menatap tuannya kemudian
kembali membuang pandangannya ke arah lain.
“Baiklah
Tuan, semoga cerita saya tidak membosankan. Dan apabila Tuan sudah merasa
mengantuk karena mendengar dongeng dari saya, silakan suruh saya berhenti ya,” Jalal
terkekeh mendengar ucapan Inemnya itu.
“Kamu pikir
saya anak kecil bisa mengantuk karena cerita dongeng?” Jodha ikut tertawa.
“Siapa
tahukan tiba-tiba Tuan tertidur ditengah cerita saya, kan nggak asyik. Gimana
nanti saya bawa Tuan balik ke kamar? Badan Tuan gede gitu.” Jalal menyeringai.
“Tapi seksi
kan Nem?” Jodha mengangguk.
“Iya seksi,”
Jalal tersenyum senang, “dari yang nggak seksi. Hahahaha....” Jodha terbahak,
dengankan Jalal cemberut.
“Nggak
ikhlas banget mujinya Nem?” Jodha masih terkekeh.
“Siapa yang
ngajarin seperti itu? Hayooo....? Tuankan? Saya tinggal nurutin aja kok.” Jalal
menggaruk kepalanya.
“Udah deh,
nih kapan ceritanya dari tadi ngomong yang lain mulu.” Jodha tertawa lagi.
“Iya, iya
Tuan. Baiklah. Nih dengerin ceritanya ya.” Jalal mengangguk dan mengubah posisi
duduknya menghadap ke arah Jodha. Jodha menarik nafas panjang sebelum
bercerita.
“Alkisah,
pada zaman dahulu kala hiduplah....aww....” Jodha meringis ketika jidatnya di
pukul Tuannya menggunakan buku novelnya yang entah sejak kapan berada di tangan
tuannya, “sakit Tuan.” Jalal melotot.
“Makanya
jangan becanda mulu.” Jodha terkekeh kembali. Senang juga kali ini dia bisa
membuat tuan mudanya kesal.
“Iya deh.
Kali ini serius.” Ucapnya sambil memasang raut wajah serius.
“Awas kalau
becanda lagi.” Ancam Jalal, Jodha tersenyum dan mengangguk.
“Saya hanya
seorang anak yang lahir dari pasangan orang tua yang biasa saja. Ayah saya
seorang pemuda keturunan India sedangkan Ibu saya asli penduduk pribumi. Ayah
saya hanya seorang karyawan disebuah perusahaan cabang dari India. Beliau di
mutasi ke sini dan sampai sekarang Ayah tidak pernah pulang ke kampung
halamannya.” Jodha terhenti sejenak, mengingat ayahnya.
“Kenapa
begitu Nem?” tanya Jalal dengan antusias.
“Ayah pernah
cerita dulu kepadaku kalau dia tidak punya siapa-siapa disana karena beliau
seorang anak yatim piatu yang sedari kecil sudah di tinggal meninggal oleh
kedua orang tuanya. Ketika bekerja disini beliau bertemu dengan Ibu saya,
seorang wanita yang lembut dan baik hati. Ayah sangat mencintainya begitu juga
dengan saya. Beliau adalah idola saya, dari beliaulah saya belajar banyak.
Keluarga kami saat itu adalah keluarga yang bahagia. Ayah dan Ibu saya sangat
mencintai saya. Tetapi.....” Jodha menitikkan air mata mengingat mendiang
Ibunya. Jalal menatapnya dengan terharu.
“Ketika saya
kelas satu SMP, Ibu saya terkena kanker rahim yang sampai akhirnya merenggut
nyawanya. Ayah dan saya sangat syok dan merasa kehilangan. Rumah kami seakan
kehilangan cahayanya ketika Ibu tiada. Hari-hari kami berdua hanya diisi dengan
bersedih, tidak ada lagi kehangatan seperti dulu lagi.” Jodha menggigit kuat
bibirnya untuk menahan tangis. Wajahnya ditengadahkannya ke atas agar air
matanya tidak keluar.
“Sebulan
sejak kepergian Ibu, saya berusaha bangkit dari keterpurukan dan kesedihan.
Saya ingin Ayah juga begitu. Awalnya Ayah juga berusaha bangkit. Saya bisa
mengerti perasaan Ayah saya yang sangat mencintai Ibu segitu dalamnya, tetapi
hidup harus terus berjalankan? Ayah kembali dan bekerja seperti biasa. Hanya
saja yang berubah adalah dia selalu pulang larut malam dalam keadaan mabuk.
Katanya dengan mabuk dia bisa melupakan Ibu meski hanya saat dia mabuk saja.
Ketika itu saya berusaha mengerti keadaan Ayah. Tapi ternyata,..... semakin
lama Ayah bukan cuma mabuk saja tetapi juga mulai berani berjudi. Bahkan saya
sering tidak dikasih uang untuk keperluan sehari-sehari dan juga biaya sekolah.
Bahkan hampir tiap hari saya hanya makan mie instant sehari hanya sebungkus
hanya sekedar menyambung hidup. Kalau saya meminta uang kepada beliau dia
marah-marah kepada saya, bahkan tidak jarang saya hanya mendapatkan tamparan
dan juga pukulan darinya. Saya merasa kehilangan sosok Ayah yang lembut dan
perhatian. Sejak itu saya tidak pernah mengharapkan pemberian dari Ayah, saya
berusaha mencari kerjaan sendiri. Terkadang saya menjadi buruh cuci, atau ikut
mencuci piring di warung makan, ngojekin sekolah anak-anak tetangga saya,
bahkan sering saya menjadi joki diarena balapan. Saya senang pekerjaan itu
karena hadiahnya lumayan besar jadi saya bisa menabung untuk biaya sekolah
saya. Itu saya lakukan sampai sebelum saya diusir oleh Ayah dari rumah.”
Kembali Jodha meneteskan air mata. Perlahan tangan Jalal menjulur untuk
menghapuskan air mata Jodha. Jodha menatap tuan mudanya sambil tersenyum sendu.
“Kalau boleh
tahu kenapa kamu sampai di usir oleh Ayahmu?” tanya Jalal dengan penasaran.
Jodha tersenyum miris.
“Itu karena Ayah
terlibat hutang dengan temannya yang seorang pemilik tempat judi dan tempat
Ayah biasa mabuk-mabukkan, dan dia menginginkan saya untuk menjadi istrinya.
Jujur saja saya kasihan dengan Ayah, tapi saya juga tidak ingin menikah dengan
teman Ayah itu. Karena setahuku, dia hanya seseorang yang hanya ingin
mempermainkan wanita dan saya menolak ketika Ayah menjodohkan saya dengannya. Ayah
saya marah. Kalau saya menolak, saya akan diusir dari rumah, dan akhirnya saya
memang menolak perjodohan itu kemudian kabur dari rumah sampai saya bertemu
dengan Mamanya Tuan yang sudah berbaik hati menerima saya bekerja. Saya tidak
tahu seandainya beliau tahu kehidupan saya yang sebenarnya apa beliau masih mau
menerima saya bekerja disini?” ucap Jodha menunduk sambil mengusap air matanya
yang terus mengalir. Dia pasrah, sekarang rahasia kehidupannya sudah dia
bongkar dengan majikannya.
Dengan tidak
dapat menahan haru dan juga rasa ibanya, Jalal memeluk Jodha dengan erat dan
meletakkan wajah gadis itu di dadanya. Dia ingin berbagi kesedihan dengan gadis
yang sudah menarik perhatiannya sejak awal. Jodha awalnya merasa terkejut
ketika merasa tuan mudanya itu memeluknya dengan erat, namun akhirnya dia hanya
diam saja. Setidaknya masih ada orang yang peduli padanya.
“Aku yakin
Mama bukanlah orang yang gampang menilai buruk seseorang, dia pasti mengerti. Menangislah
Nem, jika dengan menangis bisa membuatmu lega dan bisa menghilangkan sesak di
dada.” Ucap Jalal sambil mengelus punggung Jodha. Jodha menggeleng, “tidak
apa-apa Nem, walaupun aku tidak pernah mengalami seperti apa yang kamu alami
setidaknya aku bisa menyediakan dada dan bahuku untukmu bersandar saat kamu
lelah dan ingin menangis.” Ucap Jalal dengan tulus.
Mendengar
ucapan tuan muda itu membuat tangis Jodha meledak, hilang sudah ketegaran yang
selama ini dia perlihatkan. Sekarang yang nampak hanyalah kerapuhan. Cukup lama
Jodha menangis membuang semua sesak tentang kehidupan dan semua permasalahannya
lewat air mata sampai baju tuan mudanya itu basah. Namun, Jalal tidak peduli.
Dia terus mengelus punggung Inemnya itu dan sesekali mencium kepala gadis itu
sampai dia merasa tenang.
Setelah
tangisannya reda dan rasa sesak itu berkurang, Jodha melepaskan pelukannya
dengan malu-malu. Jalal tersenyum melihatnya.
“Makasih ya
Tuan, mau mendengarkan ceritaku dan tidak tertidur di tengah cerita.” Ucap
Jodha setengah tertawa. Jalal terkekeh mendengar ucapan Inemnya itu.
“Kamu itu
ya, padahal tadi menangis sedih sekarang malah tertawa.” Kembali Jodha tertawa
sambil membersihkan sisa-sisa air matanya dengan telapak tangannya.
“Saya sudah
terbiasa begitu Tuan. Saat sedih ya saya nangis, tapi saya tidak bisa larut
dalam kesedihan. Saya tidak mau. Ketika ada masanya saya tertawa maka saya
tertawa. Mungkin itulah yang membuat saya bisa bertahan sampai sekarang.” Jalal
mengangguk.
“Aku salut
Nem sama kamu. Kamu ada adalah gadis yang tegar dan kuat. Aku saja belum tentu
sekuat kamu, bahkan disaat orang sudah menyakiti kamu tetapi kamu malah memilih
memaafkan. Kalau aku mungkin selamanya akan selalu dendam.” Jodha kembali
tertawa kemudian menggeleng.
“Dendam
hanya akan membuat kita semakin lemah dan terpuruk. Setidaknya itu yang
diajarkan mendiang Ibu saya.”
“Tapi, masa
kamu tidak merasakan dendam karena marah dan kecewa karena disakiti?”
“Siapa
bilang? Saya juga manusia biasa yang bisa marah, kecewa, sedih bila disakiti.
Tapi, saya menyalurkan amarah saya lewat jalur yang positif bahkan mungkin
menguntungkan...” jawab Jodha sambil tersenyum.
“Jalur
positif? Apa itu? Ikut trek-trekan lagi?” Jodha menggeleng.
“Bukan itu.”
“Trus?”
kejar Jalal. Jodha tertawa.
“Tuan
penasaran ya?” ledek Jodha. Jalal mengangguk cepat, “sabar Tuan, nanti juga
Tuan tahu sendiri. Mungkin lewat jalur yang saya maksudkan ini saya merasa
nyaman dalam pekerjaan. Terserah Tuan menganggap saya apa nantinya.”
“Kenapa
nggak ngomong sekarang aja Nem? Sama aja kan?” jodha menggeleng.
“Nggak sama
lah Tuan, ntar jadi kejutan aja ya.
Sabar dong.” Jalal menghela nafas.
“Iya deh.
Terserah kamu saja.” Jodha tersenyum.
“Tapi, saya
minta maaf ya Tuan.” Jalal mengerutkan keningnya mendengar pertanyaan dari
Jodha.
“Maaf untuk
apa?”
“Maaf sudah
membuat baju Tuan basah.” Kata Jodha sembari menunjuk baju Jalal yang basah
karena air matanya. Jalal tersenyum
jahil.
“Oh ini?
Nggak apa-apa. Kan nanti kamu juga yang nyucikan.” Jodha mencebikkan bibirnya
membuat tuan mudanya tergelak.
“Ya sudah,
aku masuk sekarang ya. Kamu jangan malam-malam disini.“ Jodha mengangguk.
Jalal
beranjak turun dari gazebo itu, namun kemudian niat itu diurungkannya dia
kembali duduk dihadapan Jodha. Membuat gadis itu heran.
“Kenapa
Tuan? Ada yang ketinggalan?” Jalal menggeleng, “trus?”
“Hm...Nem,
mau nggak malam minggu nanti kamu aku ajak keluar?” raut wajah Jodha berubah.
“Tuan mau
kencan?” tebaknya.
“Yaaa,...
bisa dibilang begitu sih. Aku mau menembak cewek.” Jawab Jalal malu-malu.
“Oh my god.
Majikanku akhirnya bener-bener jatuh cinta.” Ucap Jodha dengan gembira meski
dihatinya ada sedikit tidak rela tapi bagaimanapun dia masih ingat untuk
menjaga hatinya agar jangan tergoda oleh pesona laki-laki yang ada di depannya
ini agar hatinya tidak terjebak oleh rasa sakit, “oke Tuan, saya mau. Saya
ingin melihat wanita yang menjadi pilihan Tuan. Ih, jadi nggak sabar nih.” Seru
Jodha sambil memegang kedua pipinya. Membuat Jalal tertawa.
“Kamu ini
aneh Nem, aku yang jatuh cinta tapi kenapa kamu yang bahagia?”
“Nggak boleh
ya Tuan?” tanya Jodha polos. Jalal tertawa geli.
“Ya nggak
gitu juga sih, hanya saja kamu terlalu berlebihan.”
“Hehehe....wajarlah
Tuan, sebagai abdi dalem yang setia saya juga pasti bahagia melihat majikannya
bahagia.” Ucapan Jodha membuat Jalal mendengus.
“Kamu nggak tau aja Nem, justru aku ingin
mengajakmu jalan. Aku ingin melihatmu tersenyum bahagia bersamaku. Membuatmu
melupakan segala kesedihanmu.” Bisik hati Jalal.
“Ya...ya...baiklah.”
ucap Jalal sambil mengangguk.
“Tapi, nanti
saya sendirian dong Tuan. Masa saya jadi “obat nyamuk” buat Tuan? Ntar kalau
saya ngiri gimana?” Jalal kembali tergelak.
“Tenang
saja, nanti ada Man sama Surya.”
“Oke.
Baiklah. Tidak masalah kalau begitu. Saya kok jadi penasaran ya.” Jalal menepuk
pucuk kepala Jodha dengan pelan.
“Sabar.
Seperti katamu itu akan menjadi kejutan nanti.”
“Baiklah.
Baiklah. Eh, tapi Tuan nembaknya gimana tuh? Boleh dong saya tahu caranya Tuan
merayunya nanti.” Ucap Jodha memasang wajah seimut mungkin, matanya di
kerjap-kerjap berulang kali dan kedua tangannya memegang kedua pipinya yang mau
tak mau membuat Jalal tertawa geli.
“Astaga
Inem, ekspresimu itu membuatku sangat gemas.”
“Benarkah
Tuan? Oh tidak, Tuan bisa gemas juga sama saya ya?”
“Iya, gemas
ingin menabok. Hahahaha....” Jalal tergelak namun Jodha malah cemberut.
“Yee...kirain
gemas suka, ternyata gemas ingin menabok.” Jalal tersenyum melihat Jodha yang
cemberut.
“Ya sudah,
katanya ingin dengar rayuanku. Jadi nggak?” tanya Jalal mengalihkan perhatian
Jodha, benar saja dengan cepat Jodha mengangguk antusias membuat pemuda itu
mendengus kesal, “cepat banget berubahnya.” Jodha terkekeh.
“Oke.
Sekarang di mulai. Anggap saja saya adalah gebetan Tuan itu.” jawab Jodha
dengan percaya diri. Jalal tersenyum mengejek.
“Percaya
diri sekali.” Cibir Jalal, “padahal itu
memang kamu Nem.” Sambungnya dalam hati.
“Lo, saya
kan cuma menawarkan diri saja. Saya nggak harus membalas ucapan Tuan kan? Saya
hanya kasihan Tuan ngomong dan merayu sama angin nggak jelas, ntar dikira
sedikit konslet.”
“Hm...mulai
lagi.” Gerutu Jalal. Jodha kembali terkekeh.
“Iya...iya
Tuan. Maaf. Nggak lagi kok. Sekarang mulai ya.” Ucap Jodha membenarkan posisinya.
Dan Jalal pun bersiap untuk mengeluarkan segala rayuannya. Masa seorang playboy
seperti dia di tolak sih? Sekarang saatnya dia ingin tahu reaksi Inemnya
apabila dia menyatakan perasaannya nanti, meski gadis itu menganggapnya
pura-pura.
“Sayang, kamu
tahu selama ini aku sangat ingin menyatakan segala perasaanku padamu. Aku ingin
kamu tahu kalau aku sangat mencintaimu. Bahkan rasa-rasanya hidupku hampa tanpa
dirimu. Ku mohon terimalah cintaku ini, jangan pernah tinggalkan aku karena aku
tidak dapat hidup tanpa dirimu.......” Ucap Jalal dengan sepenuh hati, namun
ucapan itu terhenti melihat Inemnya nampak diam menatap tuan mudanya yang juga
menatapnya dengan heran. Jalal mengira Inemnya terhanyut dengan rayuannya,
“kamu kenapa Nem?” tanya Jalal sambil menggoyang tangan Jodha. Jodha menatapnya
dengan diam.
“Tuan..”
“Ya...”
“Saya boleh
muntah nggak?” kening Jalal mengerut, heran.
“Kenapa?”
“Jujur Tuan,
mendengar rayuan Tuan membuat saya ingin muntah walaupun bukan saya yang
dirayu. Maaf kalau saya terlalu jujur. Menurut saya rayuan Tuan terlalu NOOO...NOOO...RAAAKKK...
NORAK. Hahahaha.....” ucap Jodha sambil tertawa terpingkal-pingkal. Dia
memegang perutnya saking kencangnya tertawa.
Jalal yang
diketawain hanya cemberut kesal, dia tidak menyangka reaksi Inemnya seperti
itu. Kalau gadis lain mungkin sudah meleleh, sedangkan Inem? Dia malah bilang
rayuannya norak. Ck. Dasar Inem. Nggak romantis banget.
“Sudah
ketawanya?” tanya Jalal sinis ketika melihat Jodha tersengal-sengal
menghentikan ketawanya. Dia hanya membalas dengan cengiran jenaka diwajahnya.
“Sudah
Tuan.” Jawab Jodha masih dengan kekehan di mulutnya, “maaf ya Tuan, menurut
saya ucapan Tuan yang konon katanya adalah seorang playboy sangat-sangat tidak
bermutu dan sudah pasaran.” Jawab Jodha tanpa rasa berdosa. Jalal mendecak
kesal. Bagaimana mungkin rayuan seorang playboy seperti dia malah ditertawakan
oleh seorang gadis polos seperti Inem. Jalal merasa harga dirinya jatuh hanya
gara-gara seorang Inem.
“Kamu bilang
itu tidak bermutu dan pasaran?” tanya Jalal jengkel. Jodha mengangguk sambil
tersenyum.
“Maaf Tuan,
kebenaran itu memang terkadang menyakitkan. Tetapi itu lebih baik daripada menyenangkan
namun dipenuhi kebohongan.” Jalal akhirnya mendesah pasrah. Akhirnya dia tahu
kalau tidak mudah mendapatkan hati gadis di depannya ini.
“Kalau
menurut kamu, seandainya kamu yang dirayu kamu ingin dirayu yang bagaimana
Nem?” tanya Jalal modus ingin tahu. Jodha berpikir sejenak.
“Kalau saya
sih tidak muluk-muluk. Cukup dia mengatakan kalau dia cinta saya, dan cukup
tingkah lakunya yang mencerminkan kalau dia mencintai saya. Saya mungkin memang
bukan orang yang romantis, karena saya mikirnya realistis aja. Nggak usah
banyak omong kalau akhirnya hanya untuk menyenangkan saya saja tetapi dihatinya
tidak tulus.” Jalal mengangguk-angguk. Sekarang dia tahu apa yang diinginkan
seorang Inem.
“Baiklah,
nanti aku akan belajar lagi merayu yang agak realistis seperti perkataanmu.
Mungkin memang benar tidak semua perempuan ingin dirayu norak seperti yang kamu
bilang itu.” Jodha terkekeh kembali.
“Tapi, itu
menurut saya lo Tuan. Nggak tahu kalau gebetan Tuan itu menginginkan juga
rayuan seperti yang Tuan ucapkan tadi. Siapa tahu dia suka kan?” Jalal
mengangkat bahunya.
“Entahlah.
Tapi, ya sudahlah. Nanti dicoba lagi. Terima kasih sudah jujur, walaupun
menyakitkan. Aku masuk dulu.” Ujar Jalal turun dari gazebo. Jodha tertawa dan
mengangguk.
“Iya Tuan.”
“Met malam,
Inem.” Ucap Jalal sambil mengacak kembali rambut Jodha. Sepertinya itu menjadi
kegiatan rutin baginya.
“Iya Tuan.
Met malam juga.”
Jalal pun
melangkah masuk kerumah. Tinggallah Jodha yang menghela nafas panjang.
Ditatapnya lagi langit kelam diatas sana. Ada rasa lega di dalam hatinya karena
sudah mengeluarkan segala beban di dalam dadanya. Dia tidak tahu kenapa dengan
mudah dia menceritakan hal itu kepada tuan mudanya. Padahal mereka seringkali
bertengkar dan adu mulut. Tetapi disaat seperti ini mereka berdua malah bisa
menjadi orang yang saling berbagi. Jodha tersenyum kecil mengingat semua itu sebelum
akhirnya dia pun beranjak turun dari gazebo dan masuk kerumah menyusul tuan
mudanya.
Sementara
Jalal yang sudah masuk kekamarnya hanya bisa tersenyum bahagia mengingat semua
kejadian tadi. Menjadi orang yang bisa diandalkan untuk tempat berbagi buat
gadis itu membuatnya merasa sangat dibutuhkan. Ya, Jalal ingin menjadi orang
yang selalu ada buat Inemnya. Dia ingin selalu melihat senyum di wajah gadis
itu.
==================000==============
Keesokan
harinya, Jodha penasaran dengan ucapan Bi Ijah
ingin membuktikan kebenarannya. Secara diam-diam dia melirik dengan ekor
matanya ke arah kamar tuan mudanya. Dan, benar saja dia melihat tuan mudanya
itu sedang berdiri bersandar pada pagar balkon sambil menatapnya. Namun Jodha
pura-pura tidak melihatnya.
Jodha tidak
habis pikir masa iya tuan mudanya suka padanya, sedangkan nanti malam dia mau
menembak wanita gebetannya itu. apa mungkin gebetannya itu dirinya? Astaga,
Jodha memukul jidatnya sendiri memikirkan pikirannya yang melenceng. Dia
menggelengkan kepalanya mengingat semua itu.
“Tidak
mungkin tuan suka kepadaku. Nanti malam kan dia ingin kencan. Aku jadi
penasaran ingin tahu gadis incarannya. Jadi tidak sabar rasanya.” Ucapnya
pelan.
==================000===============
Malam minggu
pun datang, setelah meminta ijin dengan Bu Hamidah dan Pak Humayun Jodha pergi mengantar tuan mudanya kencan. Kali ini Jodha
memakai celana jeans dan blouse berwarna pink berlengan tiga per empat. Jujur,
dia merasa sedikit geli memakai pakaian berwarna pink. Karena dia merasa bukan
gadis feminim sedangkan warna pink cocoknya buat gadis yang sangat feminim
bukan yang macho seperti dia.
Awalnya tuan
mudanya menyuruhnya memakai dress, tentu saja di tolak habis-habisan oleh
Jodha. Mana ada ceritanya supir kerja pake dress, nggak matching bo!!. Akhirnya majikan mudanya itu pun mengalah, boleh
memakai jeans tetapi bajunya menggunakan blouse
bukan kaos oblong, tidak boleh memakai topi seperti biasa untuk menyembunyikan
rambutnya, juga tidak boleh memakai sepatu casual
apalagi sendal jepit seperti biasa
hanya boleh memakai sling back shoes
atau sepatu sendal yang berhak datar.
Jodha
menggerutu, mau pergi aja ribetnya minta ampun. Seperti dia saja yang pergi
kencan. Namun rasa penasarannyalah membuatnya mengalah atas segala permintaan
tuan mudanya itu. ingin tahu seperti apa wanita itu. sementara Jalal hanya
tersenyum melihat Jodha yang terlihat tidak sabaran. Dia sempat terkesima
melihat penampilan gadis disampingnya itu, meski masih terlihat tomboy namun
tidak masalah buatnya.
Tidak lama
kemudian mereka sampai di cafe tempat
Jalal dan kedua sahabatnya janjian. Rencananya mereka hanya ingin nongkrong
saja di tempat itu dengan membawa Jodha. Tidak ada rencana sama sekali buat
Jalal untuk kencan dengan wanita lain seperti yang dia bilang kepada Jodha. Dia
hanya membohongi gadis itu saja.
“Hai Man, Sur.”
Sapa Jalal menepuk bahu kedua sahabatnya itu yang sudah terlebih dahulu sampai,
“kalian sudah sampai rupanya?” mereka berdua mengangguk. Jalal duduk di kursi
didepan mereka.
“Hai Bos,
iya nih, baru aja kok.” Jawab Mansingh, pandangannya beralih kepada Jodha yang
masih berdiri, “wah, ada Jodha. Kok tumben ikut Jo? mau kencan ya kalian?”
tanya Mansingh tanpa basa-basi melihat penampilan Jodha yang tidak biasanya itu.
Jodha dan Surya tertawa. Sedangkan Jalal hanya tersenyum dikulum.
“Nggak kok
Man, ini mau nganter si bos kencan katanya. Entah sama siapa, dia nggak mau
mengaku.” Jawab Jodha, Man dan Surya saling pandang. Kemudian mereka berdua
menatap Jalal yang hanya mesam-mesem tidak jelas.
“Si bos
kencan?” Jodha mengangguk, “kok kami tidak tahu?” tanya Man dengan menyelidik.
“Iya nih,
sama siapa dan dimana?” tanya Surya juga.
“Itu dia,
aku juga penasaran.” Jawab Jodha. Dia malah ribet nyuruh aku memakai pakaian
seperti ini, padahalkan yang kencan dia.” Kata Jodha lagi.
Kembali Man
dan Surya saling pandang, dan kemudian melihat kearah Jalal yang tersenyum
sambil membuang muka ke arah lain. Mereka berdua pun mengerti juga akhirnya.
Modus banget pikir mereka.
“Kalian
sudah pesan belum?” tanya Jalal mengalihkan pembicaraan kepada kedua sahabatnya
itu yang tersenyum penuh arti kepadanya.
“Belum,
sekalian saja bos pesankan.” Jawab Mansingh, Surya mengangguk. Jalal menoleh
kearah Jodha.
“Baiklah.
Kamu pesan apa Nem?”
“Apa saja
lah Tuan, disamakan seperti yang lain saja.” Jawab Jodha. Jalal pun memanggil waiter dan memesan pesanan mereka. Tidak
lama kemudian pesanan mereka pun sudah tersedia dan mereka pun terlibat obrolan
seru. Apalagi Jodha yang menjadi objek sasaran obrolan mereka membuat mereka
sangat betah.
“Hai,
Jalal.” sapa seorang gadis menghampiri mereka. Serentak mereka menoleh. Seorang
gadis cantik dan berpakaian seksi menghampiri mereka dan duduk di kursi di
samping Jalal.
“Syehnaz?” ucap mereka bertiga barengan. Gadis itu
mengangguk. Dia adalah teman satu jurusan mereka di kampus.
“Hai Man,
Hai Sur. Apa kabar? Kok bisa kita ketemu disini ya?” kata gadis itu dengan
akrabnya.
“Iya nih,
lagi pengen nongkrong aja.” Jawab Mansingh. Sementara itu Jodha memperhatikan
gadis itu yang duduknya agak menempel dengan tuan mudanya itu.
“Apa ini gebetan tuan muda? kalau ini sih
lumayan pantas.” Pikirnya. Tiba-tiba saja Syehnaz menoleh kearah Jodha.
“Ini siapa?”
katanya dengan nada sedikit curiga. Jodha sedikit memicingkan matanya, cemburu
mungkin dia pikir Jodha. Sebelum yang lain menjawab, Jodha sudah mengulurkan
tangannya kepada gadis itu.
“Kenalkan,
nama saya Jodha. Dan Saya adalah baby
sitter dia.” Ucap Jodha menunjuk ke arah tuan mudanya yang ternganga
mendengar jawaban dari Jodha. Begitu juga dengan kedua sahabatnya dan juga
Syehnaz.
Beberapa
detik kemudian, mulut Surya dan Man nampak berkedut-kedut ingin tertawa namun
di tahan. Sedangkan Jalal hanya cemberut mendengar jawaban Jodha.
“Oh begitu?”
ucap Syehnaz, “saya baru tau kalau Jalal punya baby sitter.” Kata Syehnaz sambil mengangguk-angguk. Membuat wajah
Jalal semakin ditekuk.
“Oh iya,
tugas saya memastikan anak asuh saya makan tepat waktu, pulang kerumah tepat
waktu, tidur tepat waktu dan juga membantu memilihkan untuknya pasangan yang
tepat.” Jawab Jodha santai. Wajah kedua sahabat Jalal nampak merah menahan
geli, sedangkan Jalal mendelik kearah mereka. Benar-benar diluar rencana.
Gara-gara Syehnaz rencananya berantakan.
“Gitu ya?”
gumam Syehnaz, “kalau aku gimana? Masuk kriteria tidak?” tanya Syehnaz
kemudian.
Baru saja
Jodha ingin membuka mulutnya ingin menjawab, tangan jalal sudah menutup
mulutnya. Dia tersenyum kepada Syehnaz.
“Maaf ya
Syehnaz, dia hanya bercanda. Kami sedang membicarakan tugas kuliah kok.
Berhubung ini malam minggu jadinya kita ngomongin tugasnya disini biar lebih
santai.” Syehnaz mengerutkan keningnya mendengar jawaban Jalal. Karena dia
tidak melihat ada buku apapun yang berhubungan dengan tugas kuliah mereka.
“Hm...begitu
ya? Kalau begitu aku mengganggu nih.” Jalal tersenyum meringis. Tangannya masih
menutup mulut Jodha yang sudah melotot melihatnya. Kedua sahabatnya mati-matian
menahan ketawa.
“Yaaa...begitu
deh.” Jawabnya singkat membuat Syehnaz merasa tidak enak.
“Maaf kalau
begitu ya. Ya sudah, kalian lanjutkan lagi pembicaraannya. Aku permisi dulu ya.
Jodha, senang bertemu denganmu.” Jodha mengangguk. Syehnaz pun berlalu
meninggalkan mereka keluar dari tempat itu. Mansingh dan Surya sudah tidak
dapat menahan rasa gelinya, tertawa terpingkal-pingkal.
“Astaga, baby sitter? Hahaha....” kembali Man dan
Surya tertawa.
Sementara
Jalal sudah melepaskan bekapan tangannya di mulut Jodha menatap gadis itu
dengan pandangan jengkel. Sedangkan gadis itu hanya tersenyum meringis melihat
tatapan tuan mudanya.
“Puas kamu?”
ucap Jalal sambil bersidekap. Jodha terkekeh.
“Maaf Tuan,
saya pikir dia itu gebetan Tuan. Makanya saya ngomong begitu. Ternyata bukan
ya. Sekali lagi maaf ya.” Jalal menghela nafas panjang. Memang bukan salah Inem
sih, dia juga yang tidak bicara kalau Inem diajaknya bukan untuk mengantarnya kencan
dengan gadis lain tetapi malah dengan sebenarnya Jalal ingin menghabiskan
waktunya dengan Jodha.
“Ya sudah
tidak apa-apa Nem. Bukan salah kamu juga sih. Harusnya aku kasih tahu kalau
bukan itu orangnya.”
“Memangnya
orang yang Tuan maksud mau datang kesini ya?” Jalal menggeleng, “terus?”
“Ah,
sudahlah. Lebih baik kita pulang saja. Kepalaku jadi pusing.” Ucap Jalal.
Mansingh dan Surya yang sudah berhenti tertawa kembali terkekeh mendengar
ucapan sahabatnya itu. Benar-benar bukan Jalal yang biasanya. Dan Jodha hebat
sekali bisa membuat seorang Jalal bisa berubah seperti itu, tidak berkutik
dihadapannya.
Akhirnya
mereka berempat pun bangkit dan melangkah keluar dari cafe tersebut. Ketika mereka berjalan menuju parkiran mobil mereka
berempat di hadang oleh tiga orang laki-laki yang bertubuh besar, dan Jodha
mengenali salah satunya yang menjadi pemimpin mereka. Dialah, Adam. Laki-laki
yang ingin di jodohkan ayahnya dengannya.
Jalal dan
kedua sahabatnya terkejut melihat langkah mereka dihadang oleh tiga orang
laki-laki tidak dikenal. Melihat dua orang yang dibelakang itu seperti mereka
adalah pengawal orang yang berada di depannya itu.
“Siapa
kalian? Dan ada perlu apa?” tanya Jalal dengan tenang. Laki-laki di depannya
itu menyeringai.
“Kalian
tidak perlu tahu siapa aku. Dan aku tidak ada keperluan dengan kalian, aku
hanya perlu dengan gadis itu.” tunjuk Adam kepada Jodha yang nampak
tenang-tenang saja. Jalal dan kedua sahabatnya terkejut, serentak mereka
menoleh ke arah Jodha. Sedangkan Jodha hanya diam saja.
“Memangnya
kamu siapa?” tanya Jalal dengan penasaran.
“Aku adalah
calon suaminya.”
===TBC===
Tidak ada komentar:
Posting Komentar