Menu

Jumat, 12 Februari 2016

BIARKAN AKU JATUH CINTA, PART. 7 (SEPENGGAL KENANGAN


Jalal masih menatap dengan intens wajah cantik di depannya itu yang telah terpejam matanya dengan jantung berdebar keras. Naluri membuatnya memiringkan kepalanyanya ingin mengecup bibir  setengah terbuka yang begitu menggiurkan itu. Tangannya yang mengacung memegang hp sudah diturunkan sedangkan tangan sebelahnya tanpa disadari keduanya sudah berada di tengkuk Jodha.

Jodha hanya diam mematung, dadanya juga terasa berdebar. Sedikit demi sedikit dia merasakan nafas hangat menerpa wajahnya, jantungnya semakin berdetak kencang dan dia tidak berani untuk membuka matanya. Hanya pasrah dan tidak tahu harus berbuat apa.

“Hallo Nyonya,....iya Nya,.....Jodha  sedang dipeluk Tuan Muda, Nya. Jadi belum bisa menjemput Nyonya dan Tuan di bandara sekarang.” Kata Bi Ijah tiba-tiba saja berada di tempat itu dengan hp menempel di telinganya.

Jalal dan Jodha terkejut bukan kepalang mendengar ucapan Bi Ijah yang bahkan blak-blakan mengatakan kalau mereka berdua sedang berpelukan.  Jodha dengan cepat membuka matanya dan nampak pucat pasi. Dia refleks mendorong dada Jalal dan menjauhinya. Sedangkan Jalal nampak terkejut dan frustasi juga salah tingkah karena ketahuan ingin mencium Inemnya. Tanpa menoleh ke arah Jodha dan Bi Ijah Jalal segera meninggalkan tempat itu.

Sepeninggal tuan mudanya Bi Ijah tertawa cekikikan sambil menutup mulutnya. Jodha bingung kenapa Bi Ijah nampak tenang-tenang saja. Padahalkan majikannya mau datang. Dengan perasaan tercampur malu karena diperhatikan oleh Bi Ijah yang nampak senyum-senyum penuh arti kepadanya Jodha memberanikan diri untuk menanyakan perihal kedatangan majikannya itu.

“Apa benar Ibu sama Bapak mau dijemput sekarang Bi?” tanya Jodha dengan suara pelan. Bi Ijah menggeleng. Jodha semakin tidak mengerti, “terus?” Bi Ijah kembali tersenyum.

“Belum Jo, mereka masih belum terbang kok. Tadi Bibi hanya menghentikan aksi Tuan Muda sama kamu aja. Makanya Bibi pake nama Nyonya biar Tuan Muda takut.” Jelas Bi Ijah sambil tertawa.

Jodha menghembuskan nafas lega. Lega karena majikannya memang belum datang dan lega karena lepas dari aksi yang memalukan itu dengan Tuan Mudanya. Mengingat kejadian tadi membuat wajah Jodha terasa panas. Dia mengutuk dirinya yang ikut-ikutan terbawa suasana. Gilaaa....tatapan tuan mudanya itu begitu menghipnotis dirinya sehingga tanpa di sadari dirinya ikut larut dalam pesona  laki-laki itu.

“Masih mengingat tadi Jo? Nyesel karena nggak jadi?” ledek Bi Ijah. Jodha semakin malu, menggeleng dan menunduk, Bi Ijah tersenyum, “nggak apa-apa kok Jo. Wajar aja kalau kamu tertarik sama Tuan Muda. Dia kan emang cakep, siapa sih yang bisa menolak pesonanya? Dan aku rasa Tuan Muda juga tertarik sama kamu.” Jodha langsung mendongak menatap Bi Ijah. Dia menggeleng.

“Tidak Bi, itu tidak mungkin. Tuan Muda tidak mungkin suka kepadaku. Itu tadi hanya kebetulan saja.” Elak Jodha. Dia tidak mau  mengakui semua itu. Dia bahkan rela mendingan dia yang menyukai lelaki itu daripada tuan mudanya yang menyukai dirinya. Karena bila dirinya yang menyukai, dia tentu tidak akan membiarkan perasaannya berkembang lebih jauh lagi. Cukup hanya dihatinya saja.

“Apa yang tidak mungkin Jo? Tidakkah kamu lihat perubahan sikap Tuan Muda selama kamu berada disini? Apa kamu tidak tahu setiap pagi dia memperhatikanmu dari kamarnya ketika kamu sedang mencuci mobil Nyonya bersama Mang Diman.” Jodha terkejut mendengar pernyataan Bi Ijah. Wanita itu tersenyum.

“Kok Bibi bisa tahu?”

“Pernah secara tidak sengaja Bibi memergokinya sedang berdiri dibalkon kamarnya bersandar di pagar. Saat itu Bibi tidak sengaja melihat ketika ingin menyapu halaman samping. Dari  tempat Bibi berdiri Bibi melihat dia terus menatapmu tanpa sadar kalau Bibi juga memperhatikannya. Dia baru masuk lagi ke kamarnya setelah kamu selesai mencuci mobil. Bibi penasaran apa dia seperti itu hanya saat itu saja ataukah tiap hari. Besoknya lagi Bibi perhatikan lagi dari tempat yang sama ternyata seperti itu lagi yang dia kerjakan.” Jodha terdiam. Dia masih tidak menyangka akan seperti itu kenyataannya. Dia bahkan tidak berani untuk berpikir lebih jauh tentang pertanyaan-pertanyaan tuan mudanya tadi pagi dan juga tingkahnya yang aneh. Ya Tuhan,...sekarang Jodha bingung harus bagaimana bersikap jika berhadapan dengan majikannya itu.

Bi Ijah menepuk bahunya dan tersenyum dengan senyuman yang menenangkan.

“Tidak apa-apa Jo. Kamu nggak usah minder dengan keadaan kamu. Kamu itu cantik, pintar, rajin dan kamu bisa membuat orang menyukaimu dengan cepat. Tidak usah takut dan berpikir macam-macam tentang hal ini. Bersikaplah sewajarnya, seakan kamu tidak mengetahuinya. Itu akan lebih baik buatmu sampai dia sendiri yang mengatakan perasaannya padamu.” Jodha mengangguk.

“Iya Bi. Aku mengerti.”

“Ayo, sekarang kita lanjutkan lagi masaknya.”

“Iya Bi.”

Mereka berdua pun segera masuk lagi kerumah untuk melanjutkan pekerjaan mereka yang tertunda tadi.

Sementara itu Jalal yang memilih meninggalkan Jodha dan masuk ke kamarnya membanting tubuhnya di atas tempat tidur. Pikirannya melayang mengingat peristiwa yang barusan terjadi. Wajah Inemnya yang terpejam masih terbayang di pelupuk matanya. Bahkan harum aroma tubuhnya pun masih terasa dihidungnya.

“Sialan, padahal sedikit lagi aku pasti mendapatkan bibir itu. Kenapa dia begitu menggemaskan sih? Gila, pikiranku sekarang sudah tidak fokus lagi. Semua gara-gara Inem. Haaahhh....” Jalal menghembuskan nafas panjang.

Jalal bangkit dari posisinya dan duduk dipinggir tempat tidur. Dikeluarkannya lagi handphone miliknya disaku celananya dan dibukanya lagi video Inemnya itu. Bohong waktu dia bilang kalau video itu dia upload ke youtube. Dia hanya ingin mengerjai gadis itu saja. Melihat ekspresinya merupakan kesenangan tersendiri buat Jalal.

Berkali-kali diputarnya video tersebut tanpa bosan-bosannya, sesekali dia tertawa kecil. Bahkan beberapa fose Jodha dalam video itu di capture untuk disimpan jika ingin melihatnya sewaktu-waktu.

Entah berapa lama Jalal melakukan pekerjaan itu, tidak terasa malam menjelang. Dia bangkit dari duduknya ingin mandi, namun sebelum itu di lihatnya lagi foto Jodha yang ia dijadikan wallpaper di handphonenya agak lama sambil tersenyum sebelum akhirnya dia meletakkan hp tersebut di atas meja belajarnya.

Setelah mandi dan berpakaian rapi, Jalal turun dari kamarnya berniat ingin menemui orang tuanya yang beberapa hari ini pergi. Namun agak aneh menurutnya karena suasana rumah sangat sepi. Tidak ada tanda-tanda orang tuanya datang. Bahkan meja makan di ruang makan pun masih tertata dengan rapi seperti belum tersentuh oleh siapapun. Hanya ada Bi Ijah yang sibuk berberes-beres di dapur.  Inemnya kemana? Iseng-iseng Jalal mendekati Bi Ijah dan bertanya padanya.

“Inem kemana Bi?” tanya Jalal dengan sedikit malu. Bi Ijah tertawa melihatnya.

“Lagi jemput Tuan Besar sama Nyonya, Tuan.” Jalal tertegun mendengarnya.

“Lo, bukannya Papa sama Mama sudah datang Bi? Tadi kata Bibi......” ucapan Jalal terhenti ketika melihat senyum serba salah dari pembantunya itu, “...jangan bilang Bibi hanya mengerjaiku saja?” tembak Jalal.

“Sayangnya iya Tuan.” Jalal mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya, untuk mengurangi perasaan malu kepada Bi Ijah, “maafkan Bibi yang sudah mengganggu Tuan tadi.” Ucap Bi Ijah dengan tulus.

“Nggak Bi. Aku juga yang bersalah. Aku nggak ada niat ingin mencium Inem, semuanya terjadi begitu saja.” Bi Ijah tersenyum maklum.

“Tuan, boleh Bibi bertanya?” Jalal mengangguk.

“Boleh saja Bi, tanya aja?” sahut Jalal sambil tersenyum. Dia duduk di kursi dekat meja pantry.

“Hm... apa Tuan bener-bener suka sama Jodha?” Jalal agak kaget juga mendengar ucapan Bi Ijah.

“Nggak kok Bi, aku sama Inem hanya berteman saja. Tidak lebih.” Elak Jalal. Bi Ijah menggeleng.

“Tuan boleh bohong sama siapa saja, tapi Tuan tidak bisa membohongi Bibi. Bibi sudah mengenal Tuan sejak Tuan lahir. Jadi bagaimana Tuan Bibi sudah tahu.” Wajah Jalal kembali memerah ketika Bi Ijah bisa menebak perasaannya dengan tepat.

“Hm...aku tidak tau Bi. Hanya saja menyenangkan rasanya bila melihatnya marah, melihatnya kesal dan juga ketika melihatnya tersenyum.” Jawab Jalal dengan malu-malu. Bi Ijah tersenyum.

“Itu saja sudah cukup sebagai bukti kalau Tuan menyukainya.” Bi Ijah diam sesaat, “tapi jika memang benar Tuan menyukainya, bolehkan Bibi minta Tuan berjanji satu hal.” Jalal menatap Bi Ijah dengan heran.

“Berjanji apa Bi?”

“Berjanji Tuan tidak akan menyakitinya. Dia anak yang baik dan polos. Hidupnya seperti banyak menanggung kesedihan. Dia memang tidak pernah cerita terlalu terbuka dengan Bibi, tetapi Bibi bisa merasakan itu. Bahkan Bibi sering melihatnya menangis sendirian di kamar.” Jalal masih terdiam mendengar cerita Bi Ijah, “dia memang tipe orang yang tidak mau merepotkan orang lain, karena itu dia menyimpan masalahnya rapat-rapat. Tapi, Bibi salut sama dia, karena dia adalah gadis yang tegar juga kuat. Dia bisa menutupi semua permasalahannya dengan tersenyum ceria.” Ucap Bi Inah sambil tersenyum.

Jalal menghela nafas, ada rasa iba dalam hatinya. Namun juga ada rasa kagum dalam dirinya. Sangat susah mencari wanita yang tangguh dan mau mengerti serta tidak banyak menuntut. Dia semakin salut dengan gadis itu.

“Iya Bi, aku akan mencobanya meski aku tidak tahu apakah akan berhasil atau tidak.” Kata Jalal sambil mengusap tengkuknya. Bi Ijah tersenyum.

“Tapi melihat kedekatan Tuan dengan Jodha akhir-akhir ini membuat Bibi senang, Tuan bisa membuat dia jadi dirinya sendiri. Padahal kalau orang lain dalam posisi dia pasti akan berusaha menarik perhatian Tuan. Sedangkan Jodha malah sebaliknya. Sikapnya sangat acuh tak acuh.” Jalal mengangguk.

“Benar sekali Bi, itulah yang aku suka darinya. Dia tidak terpengaruh dan tidak silau dengan kelebihan yang aku punya.” Jawaban Jalal membuat Bi Ijah terkekeh.

“Tuh kan Tuan sudah mengakui kalau Tuan suka sama dia.” Jalal terdiam. Terjebak oleh ucapannya sendiri. Wajahnya kembali memerah menahan malu. Dia tidak bisa mengelak lagi dari Bi Ijah.

Untunglah suasana terpecah ketika mendengar suara bel rumah berbunyi. Bi Ijah segera melangkah ingin membuka pintu namun dicegah oleh Jalal.

“Biar aku saja Bi. Paling Mama sama Papa yang datang.” Bi Ijah mengangguk.

“Baiklah Tuan.” Jalal tersenyum dan bangkit dari posisi duduknya melangkah ke depan untuk membuka pintu.

Benar saja, kedua orang tuanya datang. Jalal segera mencium tangan kedua orang tuanya yang nampak gembira anaknya sekarang menjadi anak yang manis. Jarang keluar rumah.

“Jalal sayang, mama senang banget ketemu kamu ketika mama sama papa pulang.” Kata Bu Hamidah mencium wajah Jalal berkali-kali. Membuat Jalal merasa risih. Ayahnya hanya tersenyum geli melihat sikap istrinya yang terlalu berlebihan. Dan Jalal pun tidak sengaja melihat Inemnya menunduk menahan tawa melihat dirinya diperlakukan seperti anak kecil oleh mamanya. Namun dia tidak bisa berbuat apa-apa selain menahan malu.

“Ayo Ma kita masuk. Papa lapar nih.”  Ajak Pak Humayun.

“Iya Pa. Ayo sayang, kita masuk.” Kata Bu Hamidah membimbing Jalal masuk kerumah. Sumpah, Jalal merasa seperti anak kecil yang dibimbing oleh Ibunya. Diliriknya sekilas Jodha yang memperhatikan dirinya dan mamanya dengan senyum di kulum. Tatapan mata Jalal kepada Jodha yang  mengisyaratkan “awas kamu” dibalas Jodha dengan senyum mengejek, “dasar anak mama” balasnya juga.

Akhirnya mereka bertiga masuk dan menuju meja makan, sedangkan Jodha dengan dibantu oleh Mang Diman membawakan koper majikannya ke kamar. Seperti biasa Jodha dipanggil untuk makan malam bersama. Dengan agak sungkan Jodha duduk di posisi biasa di samping tuan mudanya.

“Gimana kabar kamu Jo? Jalal masih suka ganggu kamu?” tanya Bu Hamidah sambil tersenyum.

“Baik Bu, hm.... Tuan...Tuan....” ucap Jodha terputus sambil melirik tuan mudanya yang masih acuh makan, “ Tuan masih seperti biasanya Bu.” Jawab Jodha jujur. Bu Hamidah dan Pak Humayun tertawa, “tapi, sudah baik kok Bu.” Jalal menoleh ke arah Jodha dengan tatapan penuh tanda tanya, namun Jodha hanya menunduk sambil tersenyum.

“Ibu senang kalau kalian sudah akur. Nggak baik terus bertengkar, nanti lama-lama bisa jatuh cinta beneran lo.” Ucap Bu Hamidah dengan santai namun efeknya malah membuat Jalal dan Jodha tersedak bersamaan. Kedua orang tua Jalal hanya menggeleng melihat kelakuan mereka berdua, “kalian berdua kenapa kok bisa tersedak bersamaan gitu?”

Jalal yang sudah meminum air karena tersedak segera protes kepada mamanya, namun Jodha hanya diam menunduk saja. TidaK berani protes.

“Gara-gara mama sih.”

“Kok mama?” tanya Bu Hamidah tanpa rasa berdosa.

“Ya mama sih ngomong masalah cinta-cintaan segala.” Mamanya tertawa.

“Emang gak boleh ya mama  ngomong gitu?” Jalal tergagap.

“Yaa...ya...boleh sih, tapi nggak dimeja makan juga Ma.”

“Terus dimana?” kejar mamanya. Jalal tidak bisa menjawab, dia menyenggol tangan Jodha membuat Jodha menoleh ke arahnya dan dia segera menyuruh gadis itu untuk menjawab menggunakan isyarat matanya, namun Jodha menggeleng tanda menolak. Jalal cemberut.

“Sudah-sudah, nanti saja dilanjutkan pembicaraannya. Sekarang makan dulu, setelah ini terserah mau dilanjutkan lagi apa tidak ngobrolnya.” Tegur Pak Humayun membuat mereka bertiga hanya bisa terdiam sambil meneruskan makan. Memang, kalau sudah papanya Jalal yang menegur semua tidak ada yang berani melawan.

Selesai makan, orang tua Jalal masuk ke kamar mereka untuk beristirahat setelah menempuh perjalanan jauh. Sementara Jalal menghilang juga ke kamarnya, sedangkan Jodha membersihkan meja makan ditemani oleh Bi Ijah. Selesai berberes di dapur, Jodha masuk kekamarnya dan mengambil earphone beserta sebuah buku novel dan keluar menuju gazebo belakang rumah. Malam ini entah kenapa dia ingin sekali duduk di sana sambil memandang langit yang bertebaran bintang. Suasana di gazebo tersebut yang lumayan terang karena banyaknya lampu taman yang dipasang memudahkan Jodha untuk membaca.

Jodha duduk di pinggir gazebo sambil bersandar di tiang, kedua lututnya di tekuk, kedua tangannya di letakkan diatas lutut yang bertumpu pada sikunya sehingga kedua telapak tangannya menjuntai bebas. Sesaat dia memandang langit sembari mendengarkan suara musik dari earphonenya sampai akhirnya dia tidak sadar matanya terpejam menghayati lagu yang di dengarnya.

Sementara itu Jalal yang mengetahui kalau Inemnya sedang duduk menyendiri di gazebo segera berjingkat-jingkat menemuinya. Perlahan dia menghampiri Jodha dan tanpa suara dia duduk bersila di hadapan gadis itu yang masih terpejam. Dia tidak berusaha membangunkannya, hanya diam dan menatap wajah polos itu sepuasnya selagi bisa sambil tersenyum.

Selesai mendengarkan lagu yang disukainya perlahan Jodha membuka matanya, namun dia terkejut setengah mati saat melihat tuan mudanya sedang duduk bersila di hadapannya sambil menyeringai. Sampai-sampai dia hampir terjatuh dari gazebo tersebut saking kagetnya. Sementara Jalal malah tertawa terbahak-bahak melihat Jodha yang terkejut dan hampir terjatuh. Puas sudah hatinya melihat ekspresi itu.

“Tuan kok nggak ngomong sih dari tadi? Malah diam saja?” gerutu Jodha. Sementara tertawa Jalal masih tertinggal kekehannya saja.

“Salahnya sendiri asyik dengan duniamu sampai lupa dengan keadaan sekitarnya. Masa aku dari tadi duduk disini kamu nggak tau.” Ucap Jalal membuat Jodha mendengus. Di lepaskannya earphone yang melekat di telinganya.

“Terus, sekarang Tuan mau apa?” tanya Jodha dengan sengit. Jalal kembali terkekeh.

“Ya elah Nem, judes amat. Nggak bisa ya sesekali aja kita temenan baik-baik tanpa bertengkar?” Jodha mencebik bibirnya.

“Itu karena Tuan selalu usil terlebih dahulu, jadi jangan salahkan saya yang selalu negative thinking kepada Tuan setiap bertemu.” Alis Jalal terangkat sebelah mendengar ucapan Jodha.

“Bukannya kamu senang di usili olehku? Jarang-jarang  lo aku mengusili orang apalagi mengusili seorang gadis sepertimu.” Sahut Jalal kembali terkekeh.

“Trus, saya harus bangga di usili oleh Tuan? Dan saya harus bilang wow gitu? Maaf saja, saya nggak ada waktu dan saya tidak bangga akan hal itu.” Sentak Jodha membuat Jalal pura-pura sedih mendengar ucapannya.

“Yaaah, kok kamu gitu sih Nem? Kok tega banget sama aku.” Ucap Jalal membuang muka ke arah samping. Dia beringsut ke pinggir gazebo dan menurunkan kedua kakinya sehingga dia duduk dengan kaki menjuntai, wajahnya mendongak ke atas dan menatap langit yang penuh bintang-bintang dan Jodha terus memperhatikannya. Ada rasa bersalah melihat tuan mudanya itu bersedih. Benar. Apa salahnya sih sekali-sekali mereka berdua duduk santai dan ngobrol bersama tanpa ada pertengkaran. Emang nggak capek apa?

Jalal terus diam, masih menatap langit dan Jodha juga pun begitu, meski hatinya mulai gelisah karena merasa tidak nyaman dengan suasana seperti ini. Akhirnya dia pun memecah keheningan. Sesekali mengalah tidak apa-apa pikirnya, mumpung tuan mudanya lagi jinak. Hehehe....

“Tuan....” panggil Jodha.

“Hm....” gumamnya tanpa menoleh.

“Tuan marah ya?” Jalal menghela nafas dan dia menoleh ke arah Jodha.

“Menurutmu?”

“Maafin saya ya, sudah berani membentak Tuan dan membuat Tuan sedih.” Jalal tersenyum dan tangannya menjulur mengacak rambut Jodha pelan. Jodha ikut tersenyum dan tidak marah seperti biasa.

“Nggak kok Nem, aku nggak sedih.”

“Tapi,.....”

“Tapi apa?”

“Tapi tadi Tuan sepertinya sedih saya bentak. Maafkan saya ya Tuan, mungkin saya terlalu kurang ajar kepada Tuan.” Jalal menggeleng.

“Justru aku senang kamu bisa jadi diri kamu sendiri. Kamu bisa marah, bisa jengkel, bisa kesal, bila ada yang tidak berkenan dihatimu. Terkadang aku benci sama orang yang pura-pura baik tapi niatnya hanya untuk mencari muka dan simpati saja padahal sebenarnya hatinya busuk.” Jodha tersenyum.

“Saya terbiasa mengeluarkan apa yang dipikiran saya ketika menurut saya itu benar, tidak masalah kalaupun akhirnya tidak sependapat dengan pikiran saya setidaknya saya sudah menyampaikan apa yang ingin saya sampaikan.” Jalal mengangguk.

“Ya, dan aku suka sikap seperti itu.” Keduanya tersenyum. Kemudian terdiam. Hanya terdengar suara binatang malam yang mulai bergembira menyambut malam. Mereka berdua masih duduk di pinggir gazebo. Jalal duduk dengan menjuntaikan kakinya, sedangkan Jodha masih duduk bersandar di tiang dengan memeluk lututnya menghadap ke arah samping tubuh tuannya namun pandangannya menatap langit yang kelam.

“Nem....” kata Jalal menoleh ke arah Jodha. Gadis itu menurunkan pandangannya ke arah tuan mudanya.

“Ya Tuan.”

“Ceritakan tentang dirimu.” Pinta Jalal, Jodha sedikit terkejut. Tidak menyangka kalau tuannya menginginkan dia bercerita tentang dirinya.

“Tidak ada yang menarik dengan kehidupan saya Tuan, seandainya saya ceritakan pun Tuan paling juga bosan mendengarnya.” Kata Jodha sambil terkekeh. Jalal mendengus.

“Itukan menurutmu. Belum tentu menurutku. Ya kan?”

“Tapi, saya nggak yakin Tuan akan betah mendengar cerita saya.”

“Kan belum di coba Nem.” Bujuk Jalal. Jodha menghela nafas sambil menatap tuannya kemudian kembali membuang pandangannya ke arah lain.

“Baiklah Tuan, semoga cerita saya tidak membosankan. Dan apabila Tuan sudah merasa mengantuk karena mendengar dongeng dari saya, silakan suruh saya berhenti ya,” Jalal terkekeh mendengar ucapan Inemnya itu.

“Kamu pikir saya anak kecil bisa mengantuk karena cerita dongeng?” Jodha ikut tertawa.

“Siapa tahukan tiba-tiba Tuan tertidur ditengah cerita saya, kan nggak asyik. Gimana nanti saya bawa Tuan balik ke kamar? Badan Tuan gede gitu.” Jalal menyeringai.

“Tapi seksi kan Nem?” Jodha mengangguk.

“Iya seksi,” Jalal tersenyum senang, “dari yang nggak seksi. Hahahaha....” Jodha terbahak, dengankan Jalal cemberut.

“Nggak ikhlas banget mujinya Nem?” Jodha masih terkekeh.

“Siapa yang ngajarin seperti itu? Hayooo....? Tuankan? Saya tinggal nurutin aja kok.” Jalal menggaruk kepalanya.

“Udah deh, nih kapan ceritanya dari tadi ngomong yang lain mulu.” Jodha tertawa lagi.

“Iya, iya Tuan. Baiklah. Nih dengerin ceritanya ya.” Jalal mengangguk dan mengubah posisi duduknya menghadap ke arah Jodha. Jodha menarik nafas panjang sebelum bercerita.

“Alkisah, pada zaman dahulu kala hiduplah....aww....” Jodha meringis ketika jidatnya di pukul Tuannya menggunakan buku novelnya yang entah sejak kapan berada di tangan tuannya, “sakit Tuan.” Jalal melotot.

“Makanya jangan becanda mulu.” Jodha terkekeh kembali. Senang juga kali ini dia bisa membuat tuan mudanya kesal.

“Iya deh. Kali ini serius.” Ucapnya sambil memasang raut wajah serius.

“Awas kalau becanda lagi.” Ancam Jalal, Jodha tersenyum dan mengangguk.

“Saya hanya seorang anak yang lahir dari pasangan orang tua yang biasa saja. Ayah saya seorang pemuda keturunan India sedangkan Ibu saya asli penduduk pribumi. Ayah saya hanya seorang karyawan disebuah perusahaan cabang dari India. Beliau di mutasi ke sini dan sampai sekarang Ayah tidak pernah pulang ke kampung halamannya.” Jodha terhenti sejenak, mengingat ayahnya.

“Kenapa begitu Nem?” tanya Jalal dengan antusias.

“Ayah pernah cerita dulu kepadaku kalau dia tidak punya siapa-siapa disana karena beliau seorang anak yatim piatu yang sedari kecil sudah di tinggal meninggal oleh kedua orang tuanya. Ketika bekerja disini beliau bertemu dengan Ibu saya, seorang wanita yang lembut dan baik hati. Ayah sangat mencintainya begitu juga dengan saya. Beliau adalah idola saya, dari beliaulah saya belajar banyak. Keluarga kami saat itu adalah keluarga yang bahagia. Ayah dan Ibu saya sangat mencintai saya. Tetapi.....” Jodha menitikkan air mata mengingat mendiang Ibunya. Jalal menatapnya dengan terharu.

“Ketika saya kelas satu SMP, Ibu saya terkena kanker rahim yang sampai akhirnya merenggut nyawanya. Ayah dan saya sangat syok dan merasa kehilangan. Rumah kami seakan kehilangan cahayanya ketika Ibu tiada. Hari-hari kami berdua hanya diisi dengan bersedih, tidak ada lagi kehangatan seperti dulu lagi.” Jodha menggigit kuat bibirnya untuk menahan tangis. Wajahnya ditengadahkannya ke atas agar air matanya tidak keluar.

“Sebulan sejak kepergian Ibu, saya berusaha bangkit dari keterpurukan dan kesedihan. Saya ingin Ayah juga begitu. Awalnya Ayah juga berusaha bangkit. Saya bisa mengerti perasaan Ayah saya yang sangat mencintai Ibu segitu dalamnya, tetapi hidup harus terus berjalankan? Ayah kembali dan bekerja seperti biasa. Hanya saja yang berubah adalah dia selalu pulang larut malam dalam keadaan mabuk. Katanya dengan mabuk dia bisa melupakan Ibu meski hanya saat dia mabuk saja. Ketika itu saya berusaha mengerti keadaan Ayah. Tapi ternyata,..... semakin lama Ayah bukan cuma mabuk saja tetapi juga mulai berani berjudi. Bahkan saya sering tidak dikasih uang untuk keperluan sehari-sehari dan juga biaya sekolah. Bahkan hampir tiap hari saya hanya makan mie instant sehari hanya sebungkus hanya sekedar menyambung hidup. Kalau saya meminta uang kepada beliau dia marah-marah kepada saya, bahkan tidak jarang saya hanya mendapatkan tamparan dan juga pukulan darinya. Saya merasa kehilangan sosok Ayah yang lembut dan perhatian. Sejak itu saya tidak pernah mengharapkan pemberian dari Ayah, saya berusaha mencari kerjaan sendiri. Terkadang saya menjadi buruh cuci, atau ikut mencuci piring di warung makan, ngojekin sekolah anak-anak tetangga saya, bahkan sering saya menjadi joki diarena balapan. Saya senang pekerjaan itu karena hadiahnya lumayan besar jadi saya bisa menabung untuk biaya sekolah saya. Itu saya lakukan sampai sebelum saya diusir oleh Ayah dari rumah.” Kembali Jodha meneteskan air mata. Perlahan tangan Jalal menjulur untuk menghapuskan air mata Jodha. Jodha menatap tuan mudanya sambil tersenyum sendu.

“Kalau boleh tahu kenapa kamu sampai di usir oleh Ayahmu?” tanya Jalal dengan penasaran. Jodha tersenyum miris.

“Itu karena Ayah terlibat hutang dengan temannya yang seorang pemilik tempat judi dan tempat Ayah biasa mabuk-mabukkan, dan dia menginginkan saya untuk menjadi istrinya. Jujur saja saya kasihan dengan Ayah, tapi saya juga tidak ingin menikah dengan teman Ayah itu. Karena setahuku, dia hanya seseorang yang hanya ingin mempermainkan wanita dan saya menolak ketika Ayah menjodohkan saya dengannya. Ayah saya marah. Kalau saya menolak, saya akan diusir dari rumah, dan akhirnya saya memang menolak perjodohan itu kemudian kabur dari rumah sampai saya bertemu dengan Mamanya Tuan yang sudah berbaik hati menerima saya bekerja. Saya tidak tahu seandainya beliau tahu kehidupan saya yang sebenarnya apa beliau masih mau menerima saya bekerja disini?” ucap Jodha menunduk sambil mengusap air matanya yang terus mengalir. Dia pasrah, sekarang rahasia kehidupannya sudah dia bongkar dengan majikannya.

Dengan tidak dapat menahan haru dan juga rasa ibanya, Jalal memeluk Jodha dengan erat dan meletakkan wajah gadis itu di dadanya. Dia ingin berbagi kesedihan dengan gadis yang sudah menarik perhatiannya sejak awal. Jodha awalnya merasa terkejut ketika merasa tuan mudanya itu memeluknya dengan erat, namun akhirnya dia hanya diam saja. Setidaknya masih ada orang yang peduli padanya.

“Aku yakin Mama bukanlah orang yang gampang menilai buruk seseorang, dia pasti mengerti. Menangislah Nem, jika dengan menangis bisa membuatmu lega dan bisa menghilangkan sesak di dada.” Ucap Jalal sambil mengelus punggung Jodha. Jodha menggeleng, “tidak apa-apa Nem, walaupun aku tidak pernah mengalami seperti apa yang kamu alami setidaknya aku bisa menyediakan dada dan bahuku untukmu bersandar saat kamu lelah dan ingin menangis.” Ucap Jalal dengan tulus.

Mendengar ucapan tuan muda itu membuat tangis Jodha meledak, hilang sudah ketegaran yang selama ini dia perlihatkan. Sekarang yang nampak hanyalah kerapuhan. Cukup lama Jodha menangis membuang semua sesak tentang kehidupan dan semua permasalahannya lewat air mata sampai baju tuan mudanya itu basah. Namun, Jalal tidak peduli. Dia terus mengelus punggung Inemnya itu dan sesekali mencium kepala gadis itu sampai dia merasa tenang.

Setelah tangisannya reda dan rasa sesak itu berkurang, Jodha melepaskan pelukannya dengan malu-malu. Jalal tersenyum melihatnya.

“Makasih ya Tuan, mau mendengarkan ceritaku dan tidak tertidur di tengah cerita.” Ucap Jodha setengah tertawa. Jalal terkekeh mendengar ucapan Inemnya itu.

“Kamu itu ya, padahal tadi menangis sedih sekarang malah tertawa.” Kembali Jodha tertawa sambil membersihkan sisa-sisa air matanya dengan telapak tangannya.

“Saya sudah terbiasa begitu Tuan. Saat sedih ya saya nangis, tapi saya tidak bisa larut dalam kesedihan. Saya tidak mau. Ketika ada masanya saya tertawa maka saya tertawa. Mungkin itulah yang membuat saya bisa bertahan sampai sekarang.” Jalal mengangguk.

“Aku salut Nem sama kamu. Kamu ada adalah gadis yang tegar dan kuat. Aku saja belum tentu sekuat kamu, bahkan disaat orang sudah menyakiti kamu tetapi kamu malah memilih memaafkan. Kalau aku mungkin selamanya akan selalu dendam.” Jodha kembali tertawa kemudian menggeleng.

“Dendam hanya akan membuat kita semakin lemah dan terpuruk. Setidaknya itu yang diajarkan mendiang Ibu saya.”

“Tapi, masa kamu tidak merasakan dendam karena marah dan kecewa karena disakiti?”

“Siapa bilang? Saya juga manusia biasa yang bisa marah, kecewa, sedih bila disakiti. Tapi, saya menyalurkan amarah saya lewat jalur yang positif bahkan mungkin menguntungkan...” jawab Jodha sambil tersenyum.

“Jalur positif? Apa itu? Ikut trek-trekan lagi?” Jodha menggeleng.

“Bukan itu.”

“Trus?” kejar Jalal. Jodha tertawa.

“Tuan penasaran ya?” ledek Jodha. Jalal mengangguk cepat, “sabar Tuan, nanti juga Tuan tahu sendiri. Mungkin lewat jalur yang saya maksudkan ini saya merasa nyaman dalam pekerjaan. Terserah Tuan menganggap saya apa nantinya.”

“Kenapa nggak ngomong sekarang aja Nem? Sama aja kan?” jodha menggeleng.

“Nggak sama lah Tuan,  ntar jadi kejutan aja ya. Sabar dong.” Jalal menghela nafas.

“Iya deh. Terserah kamu saja.” Jodha tersenyum.

“Tapi, saya minta maaf ya Tuan.” Jalal mengerutkan keningnya mendengar pertanyaan dari Jodha.

“Maaf untuk apa?”

“Maaf sudah membuat baju Tuan basah.” Kata Jodha sembari menunjuk baju Jalal yang basah karena air matanya.  Jalal tersenyum jahil.

“Oh ini? Nggak apa-apa. Kan nanti kamu juga yang nyucikan.” Jodha mencebikkan bibirnya membuat tuan mudanya tergelak.

“Ya sudah, aku masuk sekarang ya. Kamu jangan malam-malam disini.“  Jodha mengangguk.

Jalal beranjak turun dari gazebo itu, namun kemudian niat itu diurungkannya dia kembali duduk dihadapan Jodha. Membuat gadis itu heran.

“Kenapa Tuan? Ada yang ketinggalan?” Jalal menggeleng, “trus?”

“Hm...Nem, mau nggak malam minggu nanti kamu aku ajak keluar?” raut wajah Jodha berubah.

“Tuan mau kencan?” tebaknya.

“Yaaa,... bisa dibilang begitu sih. Aku mau menembak cewek.” Jawab Jalal malu-malu.

“Oh my god. Majikanku akhirnya bener-bener jatuh cinta.” Ucap Jodha dengan gembira meski dihatinya ada sedikit tidak rela tapi bagaimanapun dia masih ingat untuk menjaga hatinya agar jangan tergoda oleh pesona laki-laki yang ada di depannya ini agar hatinya tidak terjebak oleh rasa sakit, “oke Tuan, saya mau. Saya ingin melihat wanita yang menjadi pilihan Tuan. Ih, jadi nggak sabar nih.” Seru Jodha sambil memegang kedua pipinya. Membuat Jalal tertawa.

“Kamu ini aneh Nem, aku yang jatuh cinta tapi kenapa kamu yang bahagia?”

“Nggak boleh ya Tuan?” tanya Jodha polos. Jalal tertawa geli.

“Ya nggak gitu juga sih, hanya saja kamu terlalu berlebihan.”

“Hehehe....wajarlah Tuan, sebagai abdi dalem yang setia saya juga pasti bahagia melihat majikannya bahagia.” Ucapan Jodha membuat Jalal mendengus.

Kamu nggak tau aja Nem, justru aku ingin mengajakmu jalan. Aku ingin melihatmu tersenyum bahagia bersamaku. Membuatmu melupakan segala kesedihanmu.” Bisik hati Jalal.

“Ya...ya...baiklah.” ucap Jalal sambil mengangguk.

“Tapi, nanti saya sendirian dong Tuan. Masa saya jadi “obat nyamuk” buat Tuan? Ntar kalau saya ngiri gimana?” Jalal kembali tergelak.

“Tenang saja, nanti ada Man sama Surya.”

“Oke. Baiklah. Tidak masalah kalau begitu. Saya kok jadi penasaran ya.” Jalal menepuk pucuk kepala Jodha dengan pelan.

“Sabar. Seperti katamu itu akan menjadi kejutan nanti.”

“Baiklah. Baiklah. Eh, tapi Tuan nembaknya gimana tuh? Boleh dong saya tahu caranya Tuan merayunya nanti.” Ucap Jodha memasang wajah seimut mungkin, matanya di kerjap-kerjap berulang kali dan kedua tangannya memegang kedua pipinya yang mau tak mau membuat Jalal tertawa geli.

“Astaga Inem, ekspresimu itu membuatku sangat gemas.”

“Benarkah Tuan? Oh tidak, Tuan bisa gemas juga sama saya ya?”

“Iya, gemas ingin menabok. Hahahaha....” Jalal tergelak namun Jodha malah cemberut.

“Yee...kirain gemas suka, ternyata gemas ingin menabok.” Jalal tersenyum melihat Jodha yang cemberut.

“Ya sudah, katanya ingin dengar rayuanku. Jadi nggak?” tanya Jalal mengalihkan perhatian Jodha, benar saja dengan cepat Jodha mengangguk antusias membuat pemuda itu mendengus kesal, “cepat banget berubahnya.” Jodha terkekeh.

“Oke. Sekarang di mulai. Anggap saja saya adalah gebetan Tuan itu.” jawab Jodha dengan percaya diri. Jalal tersenyum mengejek.

“Percaya diri sekali.” Cibir Jalal, “padahal itu memang kamu Nem.” Sambungnya dalam hati.

“Lo, saya kan cuma menawarkan diri saja. Saya nggak harus membalas ucapan Tuan kan? Saya hanya kasihan Tuan ngomong dan merayu sama angin nggak jelas, ntar dikira sedikit konslet.”

“Hm...mulai lagi.” Gerutu Jalal. Jodha kembali terkekeh.

“Iya...iya Tuan. Maaf. Nggak lagi kok. Sekarang mulai ya.” Ucap Jodha membenarkan posisinya. Dan Jalal pun bersiap untuk mengeluarkan segala rayuannya. Masa seorang playboy seperti dia di tolak sih? Sekarang saatnya dia ingin tahu reaksi Inemnya apabila dia menyatakan perasaannya nanti, meski gadis itu menganggapnya pura-pura.

“Sayang, kamu tahu selama ini aku sangat ingin menyatakan segala perasaanku padamu. Aku ingin kamu tahu kalau aku sangat mencintaimu. Bahkan rasa-rasanya hidupku hampa tanpa dirimu. Ku mohon terimalah cintaku ini, jangan pernah tinggalkan aku karena aku tidak dapat hidup tanpa dirimu.......” Ucap Jalal dengan sepenuh hati, namun ucapan itu terhenti melihat Inemnya nampak diam menatap tuan mudanya yang juga menatapnya dengan heran. Jalal mengira Inemnya terhanyut dengan rayuannya, “kamu kenapa Nem?” tanya Jalal sambil menggoyang tangan Jodha. Jodha menatapnya dengan diam.

“Tuan..”

“Ya...”

“Saya boleh muntah nggak?” kening Jalal mengerut, heran.

“Kenapa?”

“Jujur Tuan, mendengar rayuan Tuan membuat saya ingin muntah walaupun bukan saya yang dirayu. Maaf kalau saya terlalu jujur. Menurut saya rayuan Tuan terlalu NOOO...NOOO...RAAAKKK... NORAK. Hahahaha.....” ucap Jodha sambil tertawa terpingkal-pingkal. Dia memegang perutnya saking kencangnya tertawa.

Jalal yang diketawain hanya cemberut kesal, dia tidak menyangka reaksi Inemnya seperti itu. Kalau gadis lain mungkin sudah meleleh, sedangkan Inem? Dia malah bilang rayuannya norak. Ck. Dasar Inem. Nggak romantis banget.

“Sudah ketawanya?” tanya Jalal sinis ketika melihat Jodha tersengal-sengal menghentikan ketawanya. Dia hanya membalas dengan cengiran jenaka diwajahnya.

“Sudah Tuan.” Jawab Jodha masih dengan kekehan di mulutnya, “maaf ya Tuan, menurut saya ucapan Tuan yang konon katanya adalah seorang playboy sangat-sangat tidak bermutu dan sudah pasaran.” Jawab Jodha tanpa rasa berdosa. Jalal mendecak kesal. Bagaimana mungkin rayuan seorang playboy seperti dia malah ditertawakan oleh seorang gadis polos seperti Inem. Jalal merasa harga dirinya jatuh hanya gara-gara seorang Inem.

“Kamu bilang itu tidak bermutu dan pasaran?” tanya Jalal jengkel. Jodha mengangguk sambil tersenyum.

“Maaf Tuan, kebenaran itu memang terkadang menyakitkan. Tetapi itu lebih baik daripada menyenangkan namun dipenuhi kebohongan.” Jalal akhirnya mendesah pasrah. Akhirnya dia tahu kalau tidak mudah mendapatkan hati gadis di depannya ini.

“Kalau menurut kamu, seandainya kamu yang dirayu kamu ingin dirayu yang bagaimana Nem?” tanya Jalal modus ingin tahu. Jodha berpikir sejenak.

“Kalau saya sih tidak muluk-muluk. Cukup dia mengatakan kalau dia cinta saya, dan cukup tingkah lakunya yang mencerminkan kalau dia mencintai saya. Saya mungkin memang bukan orang yang romantis, karena saya mikirnya realistis aja. Nggak usah banyak omong kalau akhirnya hanya untuk menyenangkan saya saja tetapi dihatinya tidak tulus.” Jalal mengangguk-angguk. Sekarang dia tahu apa yang diinginkan seorang Inem.

“Baiklah, nanti aku akan belajar lagi merayu yang agak realistis seperti perkataanmu. Mungkin memang benar tidak semua perempuan ingin dirayu norak seperti yang kamu bilang itu.” Jodha terkekeh kembali.

“Tapi, itu menurut saya lo Tuan. Nggak tahu kalau gebetan Tuan itu menginginkan juga rayuan seperti yang Tuan ucapkan tadi. Siapa tahu dia suka kan?” Jalal mengangkat bahunya.

“Entahlah. Tapi, ya sudahlah. Nanti dicoba lagi. Terima kasih sudah jujur, walaupun menyakitkan. Aku masuk dulu.” Ujar Jalal turun dari gazebo. Jodha tertawa dan mengangguk.

“Iya Tuan.”

“Met malam, Inem.” Ucap Jalal sambil mengacak kembali rambut Jodha. Sepertinya itu menjadi kegiatan rutin baginya.

“Iya Tuan. Met malam juga.”

Jalal pun melangkah masuk kerumah. Tinggallah Jodha yang menghela nafas panjang. Ditatapnya lagi langit kelam diatas sana. Ada rasa lega di dalam hatinya karena sudah mengeluarkan segala beban di dalam dadanya. Dia tidak tahu kenapa dengan mudah dia menceritakan hal itu kepada tuan mudanya. Padahal mereka seringkali bertengkar dan adu mulut. Tetapi disaat seperti ini mereka berdua malah bisa menjadi orang yang saling berbagi. Jodha tersenyum kecil mengingat semua itu sebelum akhirnya dia pun beranjak turun dari gazebo dan masuk kerumah menyusul tuan mudanya.

Sementara Jalal yang sudah masuk kekamarnya hanya bisa tersenyum bahagia mengingat semua kejadian tadi. Menjadi orang yang bisa diandalkan untuk tempat berbagi buat gadis itu membuatnya merasa sangat dibutuhkan. Ya, Jalal ingin menjadi orang yang selalu ada buat Inemnya. Dia ingin selalu melihat senyum di wajah gadis itu.

==================000==============

Keesokan harinya, Jodha penasaran dengan ucapan Bi Ijah  ingin membuktikan kebenarannya. Secara diam-diam dia melirik dengan ekor matanya ke arah kamar tuan mudanya. Dan, benar saja dia melihat tuan mudanya itu sedang berdiri bersandar pada pagar balkon sambil menatapnya. Namun Jodha pura-pura tidak melihatnya.

Jodha tidak habis pikir masa iya tuan mudanya suka padanya, sedangkan nanti malam dia mau menembak wanita gebetannya itu. apa mungkin gebetannya itu dirinya? Astaga, Jodha memukul jidatnya sendiri memikirkan pikirannya yang melenceng. Dia menggelengkan kepalanya mengingat semua itu.

“Tidak mungkin tuan suka kepadaku. Nanti malam kan dia ingin kencan. Aku jadi penasaran ingin tahu gadis incarannya. Jadi tidak sabar rasanya.” Ucapnya pelan.

==================000===============

Malam minggu pun datang, setelah meminta ijin dengan Bu Hamidah dan Pak Humayun Jodha pergi  mengantar tuan mudanya kencan. Kali ini Jodha memakai celana jeans dan blouse berwarna pink berlengan tiga per empat. Jujur, dia merasa sedikit geli memakai pakaian berwarna pink. Karena dia merasa bukan gadis feminim sedangkan warna pink cocoknya buat gadis yang sangat feminim bukan yang macho seperti dia.

Awalnya tuan mudanya menyuruhnya memakai dress, tentu saja di tolak habis-habisan oleh Jodha. Mana ada ceritanya supir kerja pake dress, nggak matching bo!!. Akhirnya majikan mudanya itu pun mengalah, boleh memakai jeans tetapi bajunya menggunakan blouse bukan kaos oblong, tidak boleh memakai topi seperti biasa untuk menyembunyikan rambutnya, juga tidak boleh memakai sepatu casual  apalagi sendal jepit seperti biasa hanya boleh memakai sling back shoes atau sepatu sendal yang berhak datar.

Jodha menggerutu, mau pergi aja ribetnya minta ampun. Seperti dia saja yang pergi kencan. Namun rasa penasarannyalah membuatnya mengalah atas segala permintaan tuan mudanya itu. ingin tahu seperti apa wanita itu. sementara Jalal hanya tersenyum melihat Jodha yang terlihat tidak sabaran. Dia sempat terkesima melihat penampilan gadis disampingnya itu, meski masih terlihat tomboy namun tidak masalah buatnya.

Tidak lama kemudian mereka sampai di cafe tempat Jalal dan kedua sahabatnya janjian. Rencananya mereka hanya ingin nongkrong saja di tempat itu dengan membawa Jodha. Tidak ada rencana sama sekali buat Jalal untuk kencan dengan wanita lain seperti yang dia bilang kepada Jodha. Dia hanya membohongi gadis itu saja.

“Hai Man, Sur.” Sapa Jalal menepuk bahu kedua sahabatnya itu yang sudah terlebih dahulu sampai, “kalian sudah sampai rupanya?” mereka berdua mengangguk. Jalal duduk di kursi didepan mereka.

“Hai Bos, iya nih, baru aja kok.” Jawab Mansingh, pandangannya beralih kepada Jodha yang masih berdiri, “wah, ada Jodha. Kok tumben ikut Jo? mau kencan ya kalian?” tanya Mansingh tanpa basa-basi melihat penampilan Jodha yang tidak biasanya itu. Jodha dan Surya tertawa. Sedangkan Jalal hanya tersenyum dikulum.

“Nggak kok Man, ini mau nganter si bos kencan katanya. Entah sama siapa, dia nggak mau mengaku.” Jawab Jodha, Man dan Surya saling pandang. Kemudian mereka berdua menatap Jalal yang hanya mesam-mesem tidak jelas.

“Si bos kencan?” Jodha mengangguk, “kok kami tidak tahu?” tanya Man dengan menyelidik.

“Iya nih, sama siapa dan dimana?” tanya Surya juga.

“Itu dia, aku juga penasaran.” Jawab Jodha. Dia malah ribet nyuruh aku memakai pakaian seperti ini, padahalkan yang kencan dia.” Kata Jodha lagi.

Kembali Man dan Surya saling pandang, dan kemudian melihat kearah Jalal yang tersenyum sambil membuang muka ke arah lain. Mereka berdua pun mengerti juga akhirnya. Modus banget pikir mereka.

“Kalian sudah pesan belum?” tanya Jalal mengalihkan pembicaraan kepada kedua sahabatnya itu yang tersenyum penuh arti kepadanya.

“Belum, sekalian saja bos pesankan.” Jawab Mansingh, Surya mengangguk. Jalal menoleh kearah Jodha.

“Baiklah. Kamu pesan apa Nem?”

“Apa saja lah Tuan, disamakan seperti yang lain saja.” Jawab Jodha. Jalal pun memanggil waiter dan memesan pesanan mereka. Tidak lama kemudian pesanan mereka pun sudah tersedia dan mereka pun terlibat obrolan seru. Apalagi Jodha yang menjadi objek sasaran obrolan mereka membuat mereka sangat betah.

“Hai, Jalal.” sapa seorang gadis menghampiri mereka. Serentak mereka menoleh. Seorang gadis cantik dan berpakaian seksi menghampiri mereka dan duduk di kursi di samping Jalal.

“Syehnaz?”  ucap mereka bertiga barengan. Gadis itu mengangguk. Dia adalah teman satu jurusan mereka di kampus.

“Hai Man, Hai Sur. Apa kabar? Kok bisa kita ketemu disini ya?” kata gadis itu dengan akrabnya.

“Iya nih, lagi pengen nongkrong aja.” Jawab Mansingh. Sementara itu Jodha memperhatikan gadis itu yang duduknya agak menempel dengan tuan mudanya itu.

Apa ini gebetan tuan muda? kalau ini sih lumayan pantas.” Pikirnya. Tiba-tiba saja Syehnaz menoleh kearah Jodha.

“Ini siapa?” katanya dengan nada sedikit curiga. Jodha sedikit memicingkan matanya, cemburu mungkin dia pikir Jodha. Sebelum yang lain menjawab, Jodha sudah mengulurkan tangannya kepada gadis itu.

“Kenalkan, nama saya Jodha. Dan Saya adalah baby sitter dia.” Ucap Jodha menunjuk ke arah tuan mudanya yang ternganga mendengar jawaban dari Jodha. Begitu juga dengan kedua sahabatnya dan juga Syehnaz.

Beberapa detik kemudian, mulut Surya dan Man nampak berkedut-kedut ingin tertawa namun di tahan. Sedangkan Jalal hanya cemberut mendengar jawaban Jodha.

“Oh begitu?” ucap Syehnaz, “saya baru tau kalau Jalal punya baby sitter.” Kata Syehnaz sambil mengangguk-angguk. Membuat wajah Jalal semakin ditekuk.

“Oh iya, tugas saya memastikan anak asuh saya makan tepat waktu, pulang kerumah tepat waktu, tidur tepat waktu dan juga membantu memilihkan untuknya pasangan yang tepat.” Jawab Jodha santai. Wajah kedua sahabat Jalal nampak merah menahan geli, sedangkan Jalal mendelik kearah mereka. Benar-benar diluar rencana. Gara-gara Syehnaz rencananya berantakan.

“Gitu ya?” gumam Syehnaz, “kalau aku gimana? Masuk kriteria tidak?” tanya Syehnaz kemudian.

Baru saja Jodha ingin membuka mulutnya ingin menjawab, tangan jalal sudah menutup mulutnya. Dia tersenyum kepada Syehnaz.

“Maaf ya Syehnaz, dia hanya bercanda. Kami sedang membicarakan tugas kuliah kok. Berhubung ini malam minggu jadinya kita ngomongin tugasnya disini biar lebih santai.” Syehnaz mengerutkan keningnya mendengar jawaban Jalal. Karena dia tidak melihat ada buku apapun yang berhubungan dengan tugas kuliah mereka.

“Hm...begitu ya? Kalau begitu aku mengganggu nih.” Jalal tersenyum meringis. Tangannya masih menutup mulut Jodha yang sudah melotot melihatnya. Kedua sahabatnya mati-matian menahan ketawa.

“Yaaa...begitu deh.” Jawabnya singkat membuat Syehnaz merasa tidak enak.

“Maaf kalau begitu ya. Ya sudah, kalian lanjutkan lagi pembicaraannya. Aku permisi dulu ya. Jodha, senang bertemu denganmu.” Jodha mengangguk. Syehnaz pun berlalu meninggalkan mereka keluar dari tempat itu. Mansingh dan Surya sudah tidak dapat menahan rasa gelinya, tertawa terpingkal-pingkal.

“Astaga, baby sitter? Hahaha....” kembali Man dan Surya tertawa.

Sementara Jalal sudah melepaskan bekapan tangannya di mulut Jodha menatap gadis itu dengan pandangan jengkel. Sedangkan gadis itu hanya tersenyum meringis melihat tatapan tuan mudanya.
“Puas kamu?” ucap Jalal sambil bersidekap. Jodha terkekeh.

“Maaf Tuan, saya pikir dia itu gebetan Tuan. Makanya saya ngomong begitu. Ternyata bukan ya. Sekali lagi maaf ya.” Jalal menghela nafas panjang. Memang bukan salah Inem sih, dia juga yang tidak bicara kalau Inem diajaknya bukan untuk mengantarnya kencan dengan gadis lain tetapi malah dengan sebenarnya Jalal ingin menghabiskan waktunya dengan Jodha.

“Ya sudah tidak apa-apa Nem. Bukan salah kamu juga sih. Harusnya aku kasih tahu kalau bukan itu orangnya.”

“Memangnya orang yang Tuan maksud mau datang kesini ya?” Jalal menggeleng, “terus?”

“Ah, sudahlah. Lebih baik kita pulang saja. Kepalaku jadi pusing.” Ucap Jalal. Mansingh dan Surya yang sudah berhenti tertawa kembali terkekeh mendengar ucapan sahabatnya itu. Benar-benar bukan Jalal yang biasanya. Dan Jodha hebat sekali bisa membuat seorang Jalal bisa berubah seperti itu, tidak berkutik dihadapannya.

Akhirnya mereka berempat pun bangkit dan melangkah keluar dari cafe tersebut. Ketika mereka berjalan menuju parkiran mobil mereka berempat di hadang oleh tiga orang laki-laki yang bertubuh besar, dan Jodha mengenali salah satunya yang menjadi pemimpin mereka. Dialah, Adam. Laki-laki yang ingin di jodohkan ayahnya dengannya.

Jalal dan kedua sahabatnya terkejut melihat langkah mereka dihadang oleh tiga orang laki-laki tidak dikenal. Melihat dua orang yang dibelakang itu seperti mereka adalah pengawal orang yang berada di depannya itu.

“Siapa kalian? Dan ada perlu apa?” tanya Jalal dengan tenang. Laki-laki di depannya itu menyeringai.

“Kalian tidak perlu tahu siapa aku. Dan aku tidak ada keperluan dengan kalian, aku hanya perlu dengan gadis itu.” tunjuk Adam kepada Jodha yang nampak tenang-tenang saja. Jalal dan kedua sahabatnya terkejut, serentak mereka menoleh ke arah Jodha. Sedangkan Jodha hanya diam saja.

“Memangnya kamu siapa?” tanya Jalal dengan penasaran.

“Aku adalah calon suaminya.”


===TBC===

Tidak ada komentar:

Posting Komentar