Setiap cinta
memiliki waktunya. Jika sekarang belum saatnya, belum pantas, belum siap, maka
bukan berarti itu tidak cinta. Bersabar
lebih baik.
~~~Darwis Tere Liye~~~
Jodha baru tersadar dari
lamunannya ketika mendengar klakson taksi yang sedari tadi menunggunya. Akhirnya
dia pun pulang menggunakan taksi yang rupanya sebelum Jalal menolong Jodha
terlebih dahulu dia mengirim sms ke taksi langganannya.
Sesampainya di apartemennya dia
segera bergegas masuk ke dalam kamarnya. Dia segera membuka kulkas dan
mengambil air mineral dingin dan meminumnya beberapa teguk dan meletakkannya
dimeja. Setelah pikirannya agak tenang, dia pun lantas berjalan menuju kamar
mandi untuk membersihkan diri. Melepaskan pakaian, menyalakan shower
dan membiarkan air dingin menyirami kepala dan tubuhnya. Dinginnya air membuat
saraf-saraf tubuhnya terasa mengendur dan nyaman, amarah yang sejak dari
diskotik hingga peristiwa yang hampir merenggut kehormatannya perlahan mulai
luntur. Yang tersisa hanya perasaan tenang.
Setelah mandi
dan memakai pakaian Jodha melepas penat dengan duduk di sofa sambil menonton
tv. Bolak balik dipencetnya remote untuk mengganti acara tapi tidak ada satupun
yang menarik perhatiannya. Pikirannya kembali melayang kepada Jalal.
“Ah, kenapa
aku kembali teringat padanya? kenapa dia mau menolongku tadi, bukankah dia
sangat membenciku? dan bagaimana dia bisa berada disitu?" Jodha masih terus
berpikir. “Tapi, kenapa ketika aku melihatnya ketika menolongku tadi aku
menjadi kasihan padanya? kenapa aku ini, kenapa aku jadi kasihan padanya?
bukannya aku sejak dulu sudah membencinya? lebih baik aku tidur sajalah." Jodha pun beranjak mematikan tv dan berjalan menuju kamarnya dan merebahkan
tubuhnya diranjang. Mungkin karena kelelahan akhirnya diapun tertidur pulas.
~~~~00000~~~~
Sementara
Jalal yang berjalan meninggalkan Jodha melangkah gontai, kedua tangannya
dimasukkan kedalam saku celananya, sesekali kakinya menyepak batu-batu kecil
yang bersebaran dijalan. Tubuhnya yang kurus dan wajah yang tanpa ekpresi terlihat
semakin memprihatinkan. Bila kakinya terasa capek karena berjalan diapun
berhenti duduk dipinggir trotoar sambil menyulut rokok dan menghembusnya
perlahan. Menikmati setiap hembusan asap yang keluar dari mulutnya. Entah kenapa malam ini dia ingin sekali berjalan
kaki untuk pulang kerumahnya walaupun jarak antara diskotik tadi dengan
rumahnya lumayan jauh. Setelah habis rokok sebatang dia kembali melanjutkan
langkahnya.
Setelah
berjalan lumayan jauh akhirnya sampai Jalal didepan rumah yang besar, mewah,
dan terlihat mentereng. Jalal memencet bell, tidak lama kemudian keluarlah
seorang wanita setengah baya agak gemuk membukakan pagar. Dialah Bi Inah yang
sudah Jalal anggap sebagai ibunya sendiri. Jalal pun tidak mau Bi Inah
memanggilnya dengan panggilan Tuan Muda. Karena baginya panggilan itu terlalu
formal baginya sehingga terlihat sebagai pembatas antara dia dan Bi Inah, dan
Jalal sangat menyayangi layaknya ibu kandungnya sendiri.
“Nak Jalal,
kok pulang jalan kaki? gak pakai mobil?” Tanya Bi Inah.
“Tidak Bi,
lagi ingin jalan kaki saja. Mobilnya lagi dipakai Surya." Jawab Jalal seraya
masuk kerumah.
Setelah
mengunci pagar, Bi Inah segera menyusul Jalal siapa tahu Jalal ingin sesuatu.
“Nak Jalal, sudah makan apa
belum? Apa perlu Bibi bikinkan kopi?” Tanya Bi Inah.
“Iya Bi, aku
laper banget dari tadi siang belum makan." Jawab Jalal sambil memegang perutnya
sambil meringis.
“Baik Nak
Jalal, Bibi bikinkan nasi goreng kesukaan Nak Jalal ya?”
“Oke Bi,
kalau begitu aku mau mandi dulu."
“Baiklah,
nanti kalau sudah habis mandi makanannya sudah siap.” Ujar Bi Inah tersenyum
sambil melangkah ke dapur untuk membuatkan nasi goreng kesukaan anak asuhnya. Jalal pun
masuk kekamarnya untuk mandi dan membersihkan diri.
Selesai
mandi dan berganti pakaian Jalal keluar menuju ruang makan dimana Bi Inah sudah
menunggunya dengan nasi goreng yang siap untuk disantap. Mencium aroma nasi
goreng membuat cacing diperutnya seolah demo minta jatah.
“Kenapa Bibi
melihatku seperti itu?” Tanya Jalal ketika melihat Bi Inah menatapnya dengan
heran.
“Apa Nak
Jalal mau keluar lagi malam ini?”
“Enggak. Kenapa memangnya Bi?” Jalal menarik kursi dan mulai duduk. Dia sudah tidak
sabar untuk menikmati nasi goreng. Dengan lahap dia makan seperti orang
seminggu tidak makan.
“Ah enggak, cuma
heran saja sudah lama rasanya tidak pernah melihat Nak Jalal berpakaian seperti
ini." Jawab Bi Inah ketika melihat Jalal memakai celana jeans pendek dan kaos tak
berlengan, rambutnya disisir rapi, aksesorisnya pun dilepas. Terlihat lebih
segar dan tampan meski tubuhnya terlihat kurus.
“Gak juga
Bi, aku gak kemana-mana kok. Cuma ganti baju saja. Soalnya baju yang aku pakai tadi
udah 3 bulan belum dicuci sampai kuman-kumannya tidak berani mampir ketubuhku." Kata Jalal sambil tertawa geli sambil menyuapkan mulutnya penuh dengan nasi
goreng. Bi Inah hanya tersenyum sambil menggeleng melihat Jalal
makan seperti anak kecil. Jalal memang manja kalau sudah dengan Bi Inah, hanya
dengan Bi Inahlah dia berkeluh kesah, yang sangat mengerti keadaannya disaat
kedua orang tuanya sudah tidak lagi memperdulikannya lagi. Rasa sakit yang
dialaminya sedikit terobati dengan kasih sayang yang Bi Inah berikan.
Tidak
menunggu berapa lama nasi goreng itu pun ludes. Setelah meneguk segelas air
untuk menutup santap malamnya, dia menyeringai kekenyangan.
“Nasi
gorengnya enak sekali Bi, rasanya lama sekali aku tidak makan nasi goreng
buatan Bibi yang selalu membuatku kangen." Kata Jalal sambil menepuk-nepuk
perutnya yang sedikit menggembung.
“Kan Nak
Jalal jarang dirumah, coba kalau dirumah terus pasti tiap hari bisa makan
masakan Bibi."
“Tapi akukan
sibuk kuliah Bi, lagian biasanya kalau sudah sibuk aku lupa untuk makan."
“Nak Jalal
kan bisa berangkat dari rumah."
“Susah Bi,
belum lagi kalau jalan lagi macet bisa-bisa aku terlambat datang kekampus."
“Yaaahh,
terserah Nak Jalal saja, yang penting Nak Jalal jangan lupa makan."
“Iya deh Bi,
akan aku ingat selalu pesan Bibi. Aku kekamar dulu ya Bi, pengen istirahat." Kata Jalal sambil beranjak melangkah menuju kamarnya.
Sesampainya
dikamar Jalal merebah diri di ranjang dengan posisi telungkup sambil menutup
matanya. Sebentar kemudian berbalik telentang. Kemudian pindah posisi kanan, sebentar
posisi kiri. Seperti orang gelisah. Dilihatnya jam sudah menunjukkan pukul
02.00 malam. Dia menghela nafas panjang. Teringat kembali pertemuannya dengan
Jodha di diskotik serta sewaktu dia menolongnya dari para preman tadi.
“Seharusnya
aku tidak marah seperti itu kepada Jodha, tapi kenapa rasa benci ini membuatku
sesak. Kenapa aku harus membencinya? sedangkan dia tidak berbuat salah
kepadaku. Oh Ibu....kenapa kau membuatku membenci orang yang tidak bersalah? kenapa
kau begitu kejam padaku?” bathin Jalal terus berteriak. Dia menutup matanya
tetapi bahunya terlihat terguncang menandakan dia menangis dalam diam. Menjelang subuh akhirnya diapun tertidur
dengan membawa beban yang terasa berat.
~~~~~00000~~~~~~
Paginya
Jodha terbangun, kepalanya terasa pusing. Membuatnya malas untuk beranjak dari
tempat tidur. Diliriknya jam sudah menunjukkan pukul 08.00 pagi. Seharusnya dia
ada jadwal kuliah hari ini.
Dreeett..dreettt.. hp nya berbunyi dengan malas dia
mengambil dan melihat siapa yang menelpon. Tertera nama moti.
“Halo
Moti,......hmm....yaa.....sepertinya aku tidak kuliah hari ini Mo, kepalaku
pusing banget nih....iya deh aku tunggu ya." Jodha menutup pembicaraannya dan
membanting hp nya ketempat tidurnya dengan malas. Dan melanjutkan tidurnya
kembali.
Pukul 11.00
siang Jodha terbangun, kepalanya sudah terasa lebih enteng. Bergegas dia mandi
karena Moti akan datang. Tak lama kemudian bell berbunyi. Jodha tersenyum dan
membuka pintu. Tampak Moti berdiri sambil
tersenyum senang. Tangannya terlihat menenteng bungkusan.
“Haaiii...Moti..”
“Hai
Jodha....” mereka berpelukan.
“Kamu
sendiri saja Mo?” tanya Jodha
“Iya Jo,
mereka belum bisa datang. Masih ada jadwal kuliah Jo." Terang Moti.
“Iya deh,
tidak apa-apa Mo. Ngomong-ngomong kamu bawa apa Mo? Aku laper nih.”
“Tenang
saja, aku bawakan makanan kesukaanmu.”
Jawab moti sambil membuka bungkusan dan mengeluarkannya. Terlihat
makanan siap saji dua potong ayam goreng tepung lengkap dengan kentang
gorengnya.
“Wah Mo, ini
enak sekali." Dengan tidak sabar Jodha makan dengan lahapnya karena memang dari
tadi malam perutnya tidak terisi. Sebentar saja makanan tersebut telah habis,
saking enaknya sampai jari-jarinya dijilat sampai bersih. Moti sampai
menggeleng melihat kelakuan temannya itu. Setelah selesai makan Jodha
menarik tangan Moti duduk di sofa depan tv.
“Kamu tahu
tidak Moti, tadi malam pulang dari diskotik aku hampir saja di perkosa oleh 3
orang preman di jalan." Kata Jodha dengan nada sedih. Moti yang mendengar tersentak
kaget.
“APA? diperkosa?” Jodha menggangguk.
“Tapi kamu
tidak apa-apakan Jo?” Moti terus mendesak.
“Tidak
apa-apa Mo, ada seseorang yang menolongku. Kalau tidak ada dia entah bagaimana
nasibku." Ucap Jodha sambil matanya menerawang membayangkan kembali kejadian
tadi malam.
“Oh,
syukurlah Jo. Kau membuatku khawatir. Tapi, ngomong-ngomong siapa yang telah
menolongmu itu? Apa kau mengenalnya?”
“Di-dia Jalal
yang telah menolongku Mo." Sahut Jodha dengan gugup.
“Jalal?”
Moti memegang keningnya sambil berpikir. “maksudmu Jalal teman Surya itu, orang
yang membuatmu marah tadi malam?” Moti terbelalak tidak percaya. Jodha
mengangguk sambil menunduk.
“Tapi kenapa kamu kok gugup waktu menyebut namanya? bukankah tadi malam kau keliatan sekali
sangat marah? atau jangan-jangan?” Moti mengedip-ngedipkan matanya sambil
tersenyum.
“Atau
jangan-jangan apa Mo?”
“Jangan-jangan
kau mulai suka kepadanya Jodha?” Jodha kaget,
~~~TBC~~~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar