Jodha membuka matanya. Terdengar suara kokok
ayam saling bersahutan, suara debur ombak, dan...suara orang bercakap-cakap.
Dia menajamkan pendengarannya dan mendengar suara tersebut dari luar kamarnya.
Dia meraih ponselnya dan melihat jam sudah menunjukkan hampir waktu subuh.
Disampingnya Nadia masih terlelap, tubuhnya meringkuk dibawah selimut yang
tidak terlalu tebal.
Jodha tidak segera bangun, dia terdiam beberapa
saat. Mengumpulkan ingatannya dimana dia berada sekarang. Suara debur ombak yang
menghantam tebing dengan keras terdengar berulangkali. Dia baru ingat dimana
dia sekarang. Iya, dia berada dirumah ayahnya. Kedua ujung bibirnya naik keatas
membentuk lengkungan sebuah senyuman yang lebar, mewakili perasaan bahagianya. Akhirnya,
ayahnya akan kembali seperti dulu lagi, ayahnya tempat dia biasa bermanja dan
berkeluh kesah. Meskipun itu ketika dia masih kecil.
Terdengar suara orang bercakap-cakap dari ruang
tamu sekaligus ruang keluarga. Karena memang rumah sederhana milik ayahnya itu
hanya mempunyai satu kamar tidur, ruang tamu didepan kamar tidur, dan sebuah
dapur kecil untuk memasak. Memasak pun masih menggunakan kayu bakar dari
ranting-ranting kering.
Nadia merapatkan selimutnya karena hawanya
dingin, sambil sesekali menggeretakkan giginya. Jodha tertawa kecil melihat adik
angkatnya sekaligus sahabat baiknya itu, ketika tidur hilanglah wajah usilnya
berganti dengan wajah polos. Dia sangat menyayangi gadis itu, dibalik sifat
usilnya terselip kasih sayang yang jarang terlihat. Nadia menyayangi dirinya
dengan caranya sendiri. Jodha mengusap kepala Nadia dengan sayang, dia merasa
seperti mempunyai adik kandung, kehangatan keluarga angkatnya itu seolah
menghilangkan garis penghalang bahwa dia adalah orang lain. Mungkin karena
Nadia tidak punya saudara perempuan, makanya dia senang sekali Jodha hadir
dalam keluarganya. Terlebih kedua orang tua Nadia, terutama Ibunya, Bu Nunik
tidak pernah membedakan kasih sayang antara keduanya. Hanya Jodha saja yang merasa
harus menjaga jarak, statusnya yang hanya anak angkat membuatnya tidak bisa
sebebas Nadia.
Jodha bangkit dari tidurnya, merenggangkan
ototnya sebentar, dan mengikat rambutnya. Dia turun dari dipan milik ayahnya, dan
membuka jendela. Keadaan masih gelap di
luar sana, udara juga rasanya masih sangat dingin. Dia kembali menghampiri
Nadia yang masih bergelung dengan selimutnya. Dia duduk di pinggir dipan untuk
membangunkan gadis kecilnya itu.
“Nad, Nad, bangun.” Kata Jodha mengguncang
pelan lengan Nadia.
“Ng...dingin Jo.” Gumamnya, namun matanya masih
tertutup. Jodha tersenyum.
“Kita sholat dulu Nad, udah subuh ini. Itu ayah
sama yang lainnya sudah bangun.” Nadia perlahan membuka matanya pelan dan
duduk, meski selimutnya masih menutupi seluruh tubunya.
“Masih ngantuk Jo, bentar lagi ya.” Tawarnya
sambil menutupi mulutnya yang mnguap dengan telapak tangan.
“Kamu nggak sholat Nad?” dengan setengah
mengantuk, Nadia mengangguk.
“Ya sholatlah, kamu duluan gih. Gantian. Aku
mau tidur bentar lagi.” Ucapnya seraya menjatuhkan tubuhnya dikasur, dan
meringkuk lagi. Jodha hanya bisa menggelengkan kepala melihatnya. Dia pun
melangkah meninggalkan Nadia yang kembali terpejam matanya.
Begitu membuka pintu, Jodha melihat ayahnya
sedang duduk ngobrol berdua dengan Mansingh. Tuan mudanya mana? Eh, kenapa jadi
tuan muda sih? Bukankah mereka sudah tunangan dan bentar lagi mau menikah,
pasti laki-laki itu akan marah lagi kalau dipanggil seperti itu. Bilang sayang
saja susah amat, pasti gitu omelnya nanti. Membayangkannya saja Jodha tersenyum
sendiri.
“Selamat pagi, Cinta.” Jodha menoleh ke arah
dapur, ternyata orang yang baru saja dia pikirkan berada di dapur. Di tangannya
membawa nampan berisi beberapa gelas minuman teh dan kopi, “mau sarapan apa
pagi ini? Teh? Kopi? Atau aku?” goda Jalal seperti biasa dengan percaya dirinya.
Dia tersenyum menggoda, membuat bibir Jodha berkedut-kedut ingin ketawa.
Hadeh...pagi-pagi sudah disuguhi ucapan yang membuatnya mual. Benar-benar bikin
morning sickness. Belum sempat ketawa Jodha terlepas dari bibirnya, dari arah
dalam kamar terdengar suara...
“Hahahaha...ya ampun,” Nadia tertawa, matanya
terpejam namun dia berkata. Rupanya dia tidak tidur lagi tadi. Hanya ingin
memejamkan matanya saja. Jodha dan Jalal melihat kearah Nadia yang mulai
bangkit dari tidurnya, duduk dengan wajah bantal dan rambut setengah berantakan
dia mengucek matanya, tapi mulutnya masih ngoceh menyahut ucapan Jalal, “pagi juga
cinta, boleh minta sarapan jus ramuan rindu yang nggak ada habisnya nggak
cinta? Hahahaha...” Nadia tertawa terbahak-bahak. Jalal cemberut saja,
sedangkan Jodha, Pak Bharmal dan Mansingh tertawa mendengarnya.
“Apaan sih Nad? Ikut-ikutan aja deh. Aku nggak
ngomong sama kamu tau.” Ucap Jalal dengan sewot. Nadia masih tertawa, namun
pelan.
“Habisnya aku dengar Bang Bos ngomong gitu,
bikin telingaku gatal saja. Dan bibirku tambah gatal kalau nggak nyahut. Yah,
anggaplah ucapanku ini perwakilan suara hati Jodha yang nggak berani komplain
dengan ucapan mautmu itu.” Sahut Nadia dengan cueknya.
“Tapi dia biasa-biasa aja tuh, kok kamu yang
kebakaran jenggot.” Kata Jalal meletakkan nampan minumannya di hadapan calon
mertuanya dan Mansingh. Setelah itu dia menghampiri Jodha yang masih berdiri di
pintu kamar sambil tersenyum geli mendengar ucapan Nadia tadi.
“Apanya yang biasa-biasa aja? Nggak lihat apa
ekspresinya seperti orang kebelet setiap kali mendengarnya.” Nadia berjalan
menghampiri Jodha dan menepuk bahunya pelan, “yang tabah ya Jodha menghadapi
cobaan ini, karena Tuhan tidak akan memberi cobaan melebihi kemampuan hambanya.
Anggap saja mendengar ucapan Bang Bos sebagai sumber pahala untukmu. Sebagai
istri nanti memang harus banyak berkorban untuk suami, terutama korban perasaan
seperti ini.” Kata Nadia tiba-tiba bijak
dan berlalu dari hadapan mereka berdua setelah melempar senyum usilnya kepada
Jalal. Jodha kembali terkekeh. Memang susah kalau orang dua ini sudah ketemu,
selalu saja bikin masalah.
“Eh bawel, jangan ngomong sembarangan ya. Seenaknya saja
bilang aku ini cobaan. Yang bener aku ini anugerah tau.” Seru Jalal tidak
terima kearah Nadia yang masuk ke kamar belakang.
“Iya cintaaa....” sahut Nadia sambil berteriak
juga sebelum masuk kamar mandi. Jalal masih mencak-mencak tidak karuan. Jodha
hanya tertawa cekikikan melihat kekasihnya pagi-pagi sudah kesal.
“Ketawa terus Nem? Lucu sekali ya?” sindir
Jalal. Jodha mengangguk sambil menahan senyum gelinya.
“Ya luculah. Masa gitu aja sewot. Sudah tahu Nadia orangnya seperti
itu, masih saja dilawan. Sama
saja menghabiskan energi.” Sahut Jodha lagi, “ya sudah, aku mau sholat dulu
ya.” Jalal menghembuskan nafas panjang, membuang kekesalannya, kemudian dia
tersenyum dan mengangguk.
“Ya sudah sana, ntar waktunya keburu habis. Aku
tunggu ya, kita sarapan bareng.” Kata Jalal mengusap rambut Jodha. Tidak
perduli itu dihadapan calon mertuanya sendiri. Jodha mengangguk dan berlalu
dari hadapan pemuda itu, yang akhirnya bergabung bersama Mansingh dan Pak
Bharmal. Ayah Jodha itu tersenyum melihat calon menantunya, sepertinya cukup
menyenangkan dan yang pasti dia begitu menyayangi putrinya.
Setelah membersihkan diri dan sholat, kedua
gadis itu bergabung dengan ketiga laki-laki yang sekarang sudah berpindah ke
teras depan. Diteras tersebut terdapat bangku yang dibentuk seperti meja lebar
untuk tempat duduk, sehingga bisa memuat untuk beberapa orang. Dihadapan mereka
terdapat sepiring ubi rebus dan minuman teh untuk kedua gadis itu, serta kopi
untuk ketiga mereka yang laki-laki.
“Pagi cinta, kita sarapan apa hari ini?” kata
Nadia duduk disamping Mansingh, namun dia tersenyum meledek ke arah Jalal yang
cemberut kepadanya. Disampingnya Jodha sudah duduk dan kembali tersenyum geli.
“Sudah dong Beb, nggak enak sama ayahnya Jodha
tuh.” Tegur Mansingh. Nadia hanya nyengir.
“Nggak apa-apakan Om.” Pak Bharmal mengangguk.
“Nggak apa-apa Nad. Rumah Om jadi rame ada
kamu, nggak sepi kayak biasanya.” Nadia tersenyum cerah.
“Tuhkan Bang, Om Bharmal aja senang,
jarang-jarangkan kita bikin keramaian kayak gini. Ya nggak cinta?” kata Nadia
menoleh ke arah Jalal dengan memainkan kedua alisnya. Jalal melengos ke arah
lain, sedangkan Jodha dan ayahnya kembali terkekeh. Hanya Mansingh yang
menggelengkan kepala melihat gadis kecilnya mulai usil, “aduh cintaku mulai
ngambek nih. Jangan ngambek dong, nggak baik. Ada rejeki tuh di depan mata.”
Tunjuk Nadia ke arah ubi rebus dihadapannya. Jalal mendengus. Namun tak urung
tangannya mengambil sepotong ubi rebus dan menyerahkannya kepada Jodha,
kemudian dia mengambilkan untuk dirinya sendiri. Nadia pun melakukan hal yang
sama. Menikmati ubi rebus, teh hangat dipagi hari, ditepi tebing laut.
Merupakan pengalaman yang luar biasa.
“Yah, nanti jadi ikut kami ke Jakarta kan?”
tanya Jalal. Pak Bharmal berpikir sejenak.
“Kalian kapan balik kesana?”
“Ya kalau tidak ada halangan sih, besok kami
pulang. Kenapa Yah?” Pak Bharmal menghela nafas.
“Rencana pernikahan kalian kapan?” Jalal dan
Jodha saling pandang.
“Belum tahu Yah, karena kemarin rencananya
ingin ketemu Ayah dulu, baru ngomongin masalah pernikahan. Tapi, kata Papaku
kalau bisa secepatnya. Nggak apa-apakan Yah?” Pak Bharmal tersenyum lembut. Dia
menepuk bahu Jalal pelan.
“Ayah serahkan semuanya kepada kalian saja
Jalal. Ayah ngikut saja, asalkan Rani Ayah bahagia, pasti Ayah dukung.”
“Tapi Ayah ikut kami kan besok?” tanya Jodha.
“Apa nggak mengganggu kalian diperjalanan nanti,
ntar mobilnya jadi sesak. Biar Ayah berangkat nanti sendiri saja. Sekalian Ayah
mau menyelesaikan pekerjaan Ayah disini dulu. Baru menyusul kalian ke Jakarta.”
“Gimana sayang?” tanya Jalal kepada gadis
disampingnya itu. Jodha mendesah pasrah.
“Iya deh Yah, terserah gimana baiknya menurut
Ayah saja. Tapi, benerkan Ayah akan menyusul kami secepatnya?” Pak Bharmal
tersenyum.
“Iya Rani. Ayah akan menyusul kalian secepatnya.
Ayahkan sudah janji akan bekerja di tempat orang tuanya Nadia.”
“Nah tuh Bang Bos, Om Bharmal kan udah janji
mau menyusul secepatnya, jadi nggak usah khawatir beliau nggak datang, tetap
jadi kok pernikahan kalian.” Sahut Nadia sebelum Jalal menjawab, “ya kan
cinta?” katanya lagi menoleh ke arah Mansingh dan memamerkan senyum jokernya.
Mansingh melirik sahabatnya dan terkekeh melihat ekspresi Jalal yang mulai
jengkel.
“Jangan gitu Nad, kalau bertengkar terus
lama-lama kalian berjodoh loh.” Kekeh Jodha. Refleks Nadia langsung terbahak.
“Hahahaha...berjodoh sama Bang Bos?” tawanya berhenti
mendadak, “makasih saja. Aku nggak tertarik.”
“Siapa juga yang mau sama kamu, gadis bawel.”
Sembur Jalal. Namun Nadia cuek saja.
“Nah tuh kan Jo, kamu bilang kami bisa
berjodoh?” dia menggelengkan kepalanya, “kami berdua itu, ibarat magnet,
sama-sama menjadi medan positif. Kamu tau sendirikan, kalau medan positif
didekatnya dengan medan positif juga, yang ada akan saling berlawanan dan
menjauh. kami berdua sama-sama bawel, apa jadinya kalau sampai nikah dan punya
anak. Bisa-bisa anaknya nangis nggak ketahuan karena orang tuanya ribut mulu,
dan ntar juga orang ngiranya rumah kami sebagai pusat hiburan. Nggak pernah
sepi. Hahahaha....” keempat orang itu hanya menggelengkan kepala mendengar
ucapan Nadia, “tapi kalau kamu sama Bang Bos itu pas, magnet positif sama
negatif di dekatkan, akhirnya nempel deh. Nggak bisa dilepaskan lagi. Ya kan cinta?”
ucapnya cengengesan kembali menoleh
kearah Mansingh yang mengelus rambutnya dengan sayang sambil terkekeh.
“Lah, kamu sendiri gimana tuh? Perasaan, Man sama aktif tuh kayak kamu.” Mendadak Nadia tersipu malu.
Jalal tersenyum mengejek.
“Tuh kan, nggak bisa jawabkan?” bibir Nadia
manyun. Dia menoleh lagi ke arah Mansingh.
“Kita apa Bang?” Mansingh tersenyum.
“Nggak usah repot-repot nyari istilah Beb,
cukup kamu sebagai jantung dan aku urat nadi. Jadi, kalau urat nadi berhenti
berdenyut, maka jantung akan ikut berhenti berdetak. Begitu juga sebaliknya.”
Nadia mengangguk dengan tersenyum malu.
“Ciee...ada yang blushing tuh. Baru juga digituin
sama Man. Gimana kalau lebih ya.” Ejek Jalal. Puas dia sekarang bisa membalas
kejengkelannya kepada Nadia. Namun, gadis itu kembali cengar-cengir.
“Nggak masalah, yang penting nggak berlebihan
kayak Bang Bos.” Jalal hanya mencibir.
“Sudah, sudah.” Lerai Pak Bharmal
tersenyum lembut, “Om mau
kerja dulu ya Nad, kalian jalan-jalan saja dulu. Ntar siang kita masak rumput laut, sepulang
Om kerja ya.” Mata Nadia berbinar.
“Rumput laut Om?” Pak Bharmal mengangguk,
“asyik, iya Om. Ditunggu ya.” Pak Bharmal tersenyum.
“Iya. Nanti Om masakin buat kalian. Man, Om
berangkat dulu ya. Rani, Jalal, Ayah kerja dulu ya.” Mereka mengangguk.
“Iya Yah, sekalian nanti Rani mau menjenguk
makam Ibu.” Ayahnya mengangguk dan mengelus rambut Jodha.
“Iya. Ajak Jalal sekalian ya.”
“Iya Yah.” Pak Bharmal berangkat menuju kebun
rumput laut yang selama ini menjadi mata pencahariannya selama tinggal
dikampung itu bersama beberapa warga lainnya.
Selepas mandi, Jodha mengajak Jalal kemakam
Ibunya. Sedangkan Nadia dan Mansingh tidak ikut. Keduanya berencana menikmati
pantai itu lagi, melihat orang surfing dan menikmati makanan khas daerah yang
banyak dijual diwarung-warung makan sederhana yang banyak terdapat di daerah
tersebut.
Jodha dan Jalal hanya berjalan kaki menyusuri
jalan setapak dipinggir tebing yang curam. Karena jalan tersebut hanya bisa di
lewati satu orang saja, maka terpaksa keduanya berjalan beriringan dengan
pegangan tangan yang tidak dilepaskan. Jalal berjalan didepan, meski Jodha
ngotot ingin menunjukkan tempatnya dengan berjalan terlebih dahulu, tetapi
tetap saja tidak boleh oleh makhluk ganteng yang satu itu. Dari belakang juga
bisa kalau ingin menunjukkan tempatnya. Gitu katanya. Ya sudahlah, seperti
biasa Jodha hanya bisa mengalah.
Setelah berjalan kurang lebih setengah jam,
sampailah mereka berdua di tempat pemakaman umum. Hal itu terlihat dari
beberapa kuburan sederhana dan dengan papan nisan sederhana pula. Jodha segera
menuju makam ibunya. Dia masih ingat tempatnya, dan yang pasti adalah tempatnya
yang paling bersih, karena ayahnya rutin sekali membersihkan dan menaburi
dengan bunga-bunga segar dimakam Ibunya itu. Mereka berdua berdoa untuk ibunya
Jodha dengan khusyuk.
“Bu, ini Rani datang. Maafkan Rani ya Bu, tidak pernah menjenguk
ibu kesini lagi. Maafkan Rani yang hanya bisa ngirim doa saja dari kejauhan.
Makasih ya Bu, sudah mendoakan Rani. Rani sekarang bahagia Bu. Ayah sudah
kembali seperti dulu lagi, dan sebentar lagi Rani akan menikah. Ini Rani bawa
calon menantumu Bu, Restui Rani ya Bu. Rani sayang Ibu.” Ucap Jodha sembari
meneteskan air mata, dia rindu ibunya. Jalal merengkuh bahunya dan menepuknya
pelan untuk memberinya kekuatan. Jodha menyeka air matanya dan tersenyum.
Jalal melangkah sedikit agak dekat dengan nisan masih dalam posisi berjongkok.
“Hallo, Ibunya Inem.” Sapa Jalal. Jodha mencubit
pinggangnya. Dia menoleh.
“Ibuku tidak tahu siapa Inem.” Tegur Jodha. Jalal
menepuk dahinya.
“Oh iya lupa sayang. Maaf.” Jodha mengangguk, “Hallo
Ibu Airin calon mertuaku. Kenalkan namaku Jalalludin Muhammad Aryadeva. Walaupun Ibu mertua tidak ada
di dunia ini, tapi aku yakin Ibu mertua bisa melihatku dari sana.” Jodha
tersenyum geli melihat kekasihnya bicara seperti itu, “aku berterima kasih
kepada Ibu mertua yang sudah melahirkan seorang gadis yang cantik, baik hati,
pintar, mandiri, dan juga dia pandai memikat hatiku dan hati kedua orang
tuaku.” Jalal terus berbicara semaunya, seorang ibunya Jodha berada di
depannya. Jodha hanya bisa menggelengkan kepala melihatnya.
“Aku mencintainya Ibu mertua, aku juga
menyayanginya, restui kami ya. Semoga cinta kami berdua, seperti cintanya ayah
dan ibu mertua. Tidak lekang dimakan waktu. Aku janji, aku akan membahagiakannya.
Dia pantas untuk disayangi dan dibahagiakan, karena dia adalah gadis yang luar
biasa dan penuh semangat. Terima kasih Ibu Airin sudah mendidik dan mengajari
bidadari cantikku ini tentang arti kehidupan, sehingga dia juga mengajariku.
Besok kami akan kembali ke Jakarta, doakan kami dari sana ya Ibu mertua.” Kata Jalal.
Dia melepaskan segala unek-unek dalam hatinya, dan kini kesampaian untuk
berbicara langsung dimakan calon mertuanya.
Selesai berdoa, keduanya keluar dari area
pemakaman tersebut. Mereka tidak langsung pulang, tetapi berjalan-jalan dulu melihat perkampungan
ayahnya Jodha. Seperti layaknya perkampungan dipinggir pantai, mata pencaharian
masyarakatnya adalah nelayan dan petani rumput laut. Namun, masih menggunakan
cara tradisional karena memang tingkat pendidikan penduduknya masih rendah.
“Seandainya aku tinggal disini, aku pasti buka
tempat untuk mengajar anak-anak yang putus sekolah.” Desah Jodha melihat
anak-anak kecil berlarian menyambut para petani rumput laut datang menggunakan
perahu. Termasuk diantaranya, Pak Bharmal, ayah Jodha yang datang bersama
seorang temannya.
“Iya sayang, kamu benar. Disini aku merasa
beruntung sekali, bisa menikmati hidup tanpa bersusah payah.” Jodha tersenyum.
Matanya terus memandangi para petani rumput laut yang memindahkan hasil
panennya dari perahu ke daratan.
“Tapi ada yang sekarang jarang sekali kita
temui di kota.” Jalal menoleh kearah Jodha dengan kening berkerut. Heran.
“Apa itu sayang? Bukankah di kota segalanya
ada?” Jodha menggeleng. Dia menghela nafas panjang.
“Rasa persaudaraan dan kesenjangan sosial. Itu
yang sekarang sangat-sangat susah didapat dikota. Jarak antara orang kaya
dengan orang tidak mampu sangat jauh. Segalanya diukur dan dinilai dengan
uang.” Jalal mengangguk dan mengerti, “tapi disini, semuanya terasa hangat.
Tidak ada beban, semua masih menggunakan sistem gotong royong, dan kepekaan
sosial disini sangat terasa. Itu yang sangat susah dicari.”
“Iya sayang. Kamu benar. Aku baru merasakan hal
itu sekarang.”
Jodha tersenyum. Dia melambai ke arah ayahnya yang melihat ke arah mereka
berdua.
“Ayaaahh...”
panggilnya. Mereka berdua menghampiri
Pak Bharmal yang masih berdiri menunggu dengan wajah heran.
“Loh, kalian berdua
ngapain berada disini? Bukannya main bareng Man sama Nadia?” tanya Pak Bharmal
berjalan menuju sebuah pondok tempat mereka berteduh ketika datang dari kebun
rumput lautnya, diikuti oleh Jodha dan Jalal.
“Kami habis dari makam
Ibu, Yah. Setelah itu ya, kami ingin jalan-jalan saja. Kapan lagi bisa
jalan-jalan seperti ini.” Sahut Jodha. Mereka bertiga duduk di bangku panjang
dan lebar seperti yang ada dirumah ayahnya. Pak Bharmal tersenyum.
“Disini tidak ada ramai
seperti di Jakarta Rani, tidak ada yang istimewa.” Jodha menggeleng.
“Nggak kok Yah, disini
tenang. Warganya ramah. Mana lautnya bersih dan luas. Pengen sekali nanti kalau
bulan madu ingin main kesini lagi. Ya kan sayang?” Sahut Jalal, membuat Jodha
yang sudah ingin menjawab ucapan ayahnya tersipu malu, dia memukul pelan lengan
Jalal. Pak Bharmal tertawa melihat putrinya.
“Nggak usah malu Rani.
Wajar, namanya juga pengantin baru, pasti ingin bulan madu. Nggak masalah kalau
ingin kesini lagi. Tuh pondok ayah masih bisa dipakai lagi kalau main kesini.”
Goda Pak Bharmal, membuat wajah Jodha semakin merah.
“Iya nih Yah, putri ini
malunya luar biasa banget. Bilang sayang saja harus dipaksa dulu, itu juga
masih tersendat. Kayak keran air yang tersumbat.” Adu Jalal. Jodha
mengerucutkan bibirnya. Mulai tuh, calon menantu mengadu kepada calon mertua
mau nyari pembelaan. Pak Bharmal kembali
tertawa.
“Yah, harap dimaklumi saja
Jalal. Putri Ayah ini sangat polos. Dia tidak pernah menjalin hubungan cinta
dengan laki-laki manapun. Jadi kamu harus mengajarinya pelan-pelan, dia hanya
tahu bekerja dan belajar saja. Lagipula semenjak dia kenal dengan Nadia dan
Bayu, teman-temannya banyak laki-laki. Jadi wajar kalau dia menganggap semua
laki-laki itu sama saja.” Jalal mengangguk.
“Iya Yah, aku akan
mengajarinya pelan-pelan tentang cinta, sebagaimana dia juga banyak mengajariku
tentang arti kehidupan ini.” Pak Bharmal tersenyum.
“Ya sudah, ayo kita
pulang. Ayah sudah bawa lauk untuk kita makan siang nanti, ikan bakar dan sayur
rumput laut.” Kata Pak Bharmal menunjuk keranjang yang tergeletak di dekat
pondok tersebut. Jodha terlihat sangat senang sekali, dia lupa akan perasaan
malunya tadi.
“Iya Yah, ayo. Rani sudah
tidak sabar lagi ingin mencicipi ikan bakar dan sayur rumput lautnya.” Ucapnya
beranjak dari duduknya dan segera menenteng
keranjang tersebut, berjalan mendahului
ayah dan juga kekasihnya. Kedua lelaki yang mencintainya itu hanya bisa tersenyum
melihatnya.
Mereka kembali berjalan menyusuri pinggiran
tebing yang kanan kirinya terdapat tumbuhan semak-semak. Bagi Pak Bharmal hal
itu biasa saja, tapi bagi Jodha dan Jalal lumayan mengganggu, akibatnya mereka
berdua malah tertinggal dibelakang. Meski Jalal pernah belajar di akmil dan
dilatih di dalam hutan, tetapi tetap saja dia merasa sedikit ngeri, karena yang
mereka lewati itu adalah tebing tinggi, dan dibawah sana ombak besar menyambut
seandainya terjatuh.
“Aduuhh...” Jodha yang berjalan dibelakang Jalal
mengaduh, dengan cepat
Jalal dan Pak Bharmal menoleh ke belakang. Nampak Jodha terduduk memegang
kakinya sambil meringis kesakitan.
“Kamu kenapa Sayang?” tanya Jalal dengan panik.
Gadis itu masih meringis.
“Ta-tadi kesandung kayu itu.” Kata menunjuk
cabang kayu kering yang lumayan besar berada dipinggiran jalan tersebut. Pak
Bharmal segera memeriksa kaki Jodha. Dipegangnya pergelangan kaki putrinya itu.
Jodha kembali meringis.
“Kakimu terkilir Rani. Kamu bisa jalan?” tanya
Pak Bharmal.
“Aku coba dulu Yah,” jawab Jodha. Dia perlahan
berdiri dengan dibantu oleh ayahnya dan juga Jalal. Namun wajahnya meringis
kesakitan lagi. Dia menggeleng.
“Sakit Yah. Tapi bisa pelan-pelan saja.”
Katanya sambil berjalan tertatih-tatih. Jalal menghela nafas. Kalau berjalan
seperti ini, kapan sampainya? Pikirnya lagi. Tanpa pikir panjang dia berjongkok
menyodorkan punggungnya dihadapan kekasihnya itu. Jodha menatapnya dengan
heran.
“Ada apa Sa-yang?” tanyanya dengan kaku,
hadeh...kenapa masih susah ya? Jalal mendecak.
“Naik ke punggungku. Aku akan menggendongmu
sampai kerumah.” Jodha melongo, sedang ayahnya hanya tersenyum simpul.
“Hah. Nggak ah, nggak usah. Manja banget jadi
orang. Biar aku jalan sendiri saja. Aku masih kuat kok. Tenang saja.” Ini nih
yang bikin Jalal jengkel, sifat mandiri gadisnya mulai muncul. Tidak mau
menyusahkan orang lain, padahal dia sendiri memerlukan pertolongan.
“Kamu tinggal pilih, naik dipunggungku dengan
sukarela, atau ku gendong paksa di depan kayak pengantin baru?” desak Jalal.
Gantian Jodha yang jengkel. Bisa-bisanya disaat begini dia memberi pilihan.
Mana ayahnya senyum-senyum saja dari tadi.
“Ya sudah, Ayah duluan saja kalau begitu.” Kata
Pak Bharmal tanpa menunggu jawaban dari keduanya, langsung berjalan terlebih
dahulu. Meninggalkan Jodha yang terbengong menatap pungggung ayahnya yang mulai
menjauh.
“Ayo sayang, ini sudah siang loh. Emang kamu
mau menginap disini?” omel Jalal menoleh kebelakang melihat wajah gadis itu
yang masih bimbang.
“Ta-tapi...”
“Tapi apa? Apa perlu kupaksa? Aku nggak
main-main Sayang. Kalau aku menggendongmu di depan, jangan salahkan kalau
sambil jalan kamu ku cium.” Kata Jalal tersenyum menyeringai. Jodha langsung
pucat. Bukan takut untuk dicium, tetapi kalau dicium sambil jalan dan
dilihat orang bagaimana malunya. Akhirnya, dengan terpaksa dia menjulurkan kedua tangannya perlahan
karena rasa enggan, diatas bahu pemuda itu dan mengalungkan kedua tangannya di
leher Jalal dengan wajah memerah.
Jalal segera berdiri dan berjalan perlahan
dengan tersenyum senang. Akhirnya Inemnya mau juga digendong, walau harus
bertengkar dulu. Coba kalau perempuan lain, belum ditawar saja sudah merengek
minta digendong.
“Gitu kan enak, nggak pakai bertengkar
dulu.” Jodha tertawa pelan, “kamu
tahu nggak Nem, kalau laki-laki itu sangat senang kalau dibutuhkan. Apalagi
kalau yang meminta pertolongan itu orang yang dicintainya, dia pasti akan
berbuat apa saja untuk melindunginya.” Ucap Jalal.
“Masa?”
“Kok masa?” Jodha terkekeh.
“Ya karena aku belum tahu. Aku pikir laki-laki
akan menganggap perempuan seperti itu adalah perempuan yang manja dan
menyulitkan.”
“Tidak semua seperti itu Sayang, kamu berpikir
begitu karena kamu terbiasa mandiri. Justru ketika kamu membutuhkan aku dan
tidak mau jauh dariku, aku merasa sangat bahagia karena orang yang kucintai begitu
mengharapkan aku. Karena sekuat apapun perempuan, dia pasti akan
membutuhkan perlindungan dari seorang laki-laki. Mulai sekarang, apapun masalahmu, katakan saja,
jangan dipendam sendiri ya. Kamu punya aku untuk berlindung dan berkeluh kesah.” Jodha tersenyum
di balik bahu Jalal. Inikah rasanya bahagia itu?, ketika kau berada
sedekat ini dengan orang yang kau cintai, bagaimana rasanya? Masihkah dia malu
mengakui kalau apa yang laki-laki itu katakan benar?
“Kamu tau sayang...” ah,
akhirnya licin juga mulutnya mengucapkan kata sayang, Jalal tersenyum lebar
mendengarnya, “kali ini rasanya aku senang mendengar ucapanmu. Sejujurnya aku
merasa terharu. Makasih ya Tuan. Hehe...” ucap Jodha sambil terkekeh. Mulut
Jalal cemberut.
“Tuan lagi?”
“Lagi kangen pengen
manggil tuan. Jangan marah ya sayang.”
Ucap Jodha sambil terkekeh. Senyum Jalal mulai mengembang lagi.
“Baiklah, tapi jangan
memanggilnya dihadapan orang lain ya. Cukup saat kita berdua saja.”
“Iya deh Tuan.” Jalal
tertawa dan mempercepat langkahnya.
Sesampainya di pondok
ayahnya, Jalal menurunkan Jodha di bangku di depan rumah. Pak Bharmal yang
sudah duluan sampai, keluar dari dalam rumah dengan membawa sedikit minyak kelapa untuk memijat kaki putrinya yang
terkilir. Jodha sesekali meringis kesakitan ketika ayahnya memijat kakinya,
sedangkan Jalal hanya menatapnya dengan pandangan kasihan. Ingin membantu tetapi
tidak tahu harus berbuat apa.
Setelah beberapa saat kemudian, Jodha terlihat
nyaman. Tidak lagi meringis seperti awalnya. Jalal pun menarik nafas lega
melihatnya. Tidak lama kemudian, Nadia dan Mansingh datang menghampiri. Agak
terkejut juga mereka berdua melihat keadaan Jodha. Terlebih Nadia, tetapi
kemudian dia merasa tenang karena ternyata saudaranya itu tidak apa-apa.
Pak Bharmal memasak makan siang ikan laut bakar
dan sayur rumput laut, dan makan dengan semilir angin laut, membuat betah untuk
terus berlama-lama ditempat itu.
Keesokan harinya, Bayu datang menjemput mereka berempat. Saatnya kembali
ke Jakarta, semuanya berpamitan dengan ayahnya Jodha, yang berjanji akan menyusul
secepatnya.
****
Sore itu Ruqaiyah duduk sendirian di teras belakang rumah Surya. Moti
dan mamanya sedang keluar. Papanya belum pulang kerja. Sedangkan Surya entah
kemana. Pamit pagi ingin ke kampus katanya, namun sampai sekarang belum datang
juga, apa mungkin dia sekalian ke apartemennya langsung dan tidak kembali
kerumah orang tuanya lagi.
Sudah tiga hari ini Ruqayah bermalam di rumah itu, sekarang dia tidur
bareng Moti. Tentu saja Moti sangat senang sekali. Sebelum tidur mereka berdua
bercerita banyak, bahkan sampai larut malam. Kali ini Ruqayah merasa bebas dan ringan.
Kasih sayang dari keluarga barunya membuatnya sangat betah berlama-lama dirumah
itu.
Tapi, ada yang mengganjal dihatinya. Kenapa beberapa hari ini kakaknya
tidak pernah menghubunginya. Kemana dia. Apa dia terlalu sibuk sampai tidak
sempat menghubunginya. Yang membuatnya aneh adalah ponsel kakaknya itu tidak
aktif sama sekali. Kemana dia?
“Sedang mikirin apa Ruq?” tiba-tiba saja Surya datang dan duduk
dihadapan Ruqaiyah dengan membawa dua cangkir teh melati. Mencium aromanya saja
sudah membuat hati tenang. Ruqaiyah tersenyum.
“Nggak mikir apa-apa Sur.” Elaknya. Surya tertawa pelan, dia menyeruput
pelan tehnya.
“Benarkah?” Ruqaiyah mengangguk, “kamu bohongkan?” Ruqaiyah menunduk.
“Iya Sur, aku kangen kakakku. Sudah dua hari ini dia tidak pernah mencariku,
dan ketika aku menghubunginya, ponselnya tidak aktif.” Sahut Ruqaiyah terlihat
sedih.
“Apa kamu mau pulang kerumahmu? Aku akan mengantarkanmu kalau kamu mau.”
Ruqaiyah berpikir sejenak.
“Apa tidak apa-apa kalau kamu mengantarkan aku?” Surya tertawa lagi.
“Ya nggak apa-apa kok. Memangnya kenapa?” wajah Ruqaiyah sedikit
memerah.
“Ya siapa tahu ada yang cemburu, kalau aku pergi berdua denganmu.” Surya
tersenyum. Dia menggeleng.
“Tidak ada yang akan cemburu Ruq, karena memang aku ini lagi sendiri kok.
Tenang saja.” Jawab Surya santai.
“Kok kamu sendirian saja? Biasanya kan selalu bertiga?” akhirnya
Ruqaiyah memberanikan diri untuk bertanya. Surya mengangkat kedua alisnya.
“Maksudmu? Kamu ingin menanyakan tentang Jalal?” tebak Surya. Ruqaiyah
menjadi salah tingkah.
“Ng..nggak kok.” Jawabnya gugup. Dia menundukkan kepalanya. Surya
terkekeh sebentar sebelum akhirnya dia memasang wajah serius.
“Ruq, lupakan impianmu untuk mendapatkan Jalal, karena sebentar lagi dia
akan menikah.” Ucap Surya dengan tenang. Namun dihati Ruqaiyah seperti ada
sesuatu yang tajam menusuk ulu hatinya. Ternyata sakit sekali.
“Ja-Jalal akan menikah?” Surya mengangguk, “dengan siapa?”
“Jodha.” Mendadak raut wajah Ruqaiyah berubah geram. Dia merasa
dikalahkan oleh gadis sederhana itu. Apa menariknya dia sampai Jalal mau
menikahinya. Rupanya Surya mengerti apa yang dipikirkan perempuan di depannya
itu.
“Kamu tahu, apa yang membuat Jalal sampai tergila-gila kepadanya?” Ruqaiyah
menatap wajah Surya.
“Apa?”
“Pribadinya. Semangatnya. Juga kesederhanaannya. Dia gadis yang tabah
dan tangguh dan dia pantas mendapatkan cinta dari sahabatku. Ibunya meninggal
ketika dia masih SMP. Semenjak itu dia tidak pernah mendapatkan kasih sayang
dari ayahnya lagi. Dia bekerja keras membiayai hidupnya dan juga sekolahnya.”
Ruqaiyah menundukkan kepala mendengar ucapan Surya, dia merasa dirinya
terhempas keras ke dalam jurang yang dalam, Surya menggenggam tangannya, “maaf
Ruq, bukan aku ingin membandingkan dirimu dengan Jodha, tetapi karena kamu
sudah menjadi bagian dari keluargaku, maka
aku berkewajiban membawamu agar kamu tidak larut dalam kebencian.”
“A-aku memang tidak pantas untuk Jalal, Sur. Apalah artinya perempuan
rusak seperti aku ini, hanya akan membuat malu saja.” Ucap Ruqaiyah mengusap
air matanya yang menetes setelah mendengar semua pujian Surya terhadap gadis
yang dia benci itu. Surya tersenyum, dia menggelengkan kepalanya.
“Kamu salah Ruq, tidak ada yang bisa menilai pantas atau tidaknya seseorang.
Semua tergantung jodohnya. Aku mengatakan ini bukan untuk menjelek-jelekkan
kamu. Tidak ada orang yang sempurna. Tidak juga Jodha. Kamu bisa memperbaiki
diri, dan berusahalah menerima kenyataan. Buang kebencianmu. Dengan begitu
hidupmu akan tenang. Dan kamu ingatkan, ketika kamu menamparnya dulu?” Ruqaiyah
mengangguk, meski dengan rona malu, “apa dia membalas? Nggak kan?” Ruqaiyah
terdiam, “itu karena dia ingin agar kamu tidak semakin membencinya, hanya
karena cintamu tidak terbalaskan.” Surya terdiam sesaat, menunggu reaksi dari
Ruqaiyah.
“Aku tidak tahu, Sur. Rasanya mendengar orang yang kamu cintai akan
menikah dengan orang yang kamu benci rasanya menyakitkan.” Kata Ruqaiyah
memandang hampa ke arah kebun mamanya Surya.
“Kamu tahu bagaimana pendapatku tentang perasaanmu itu?” Ruqaiyah menoleh
kearah Surya yang tersenyum tipis kepadanya.
“Bagaimana?”
“Menurutku, perasaanmu itu bukan cinta tetapi sebuah obsesi semata.
Karena merasa kalah oleh seorang gadis sederhana seperti Jodha.” Ruqaiyah
terdiam, “kalau kamu mencintainya, kamu pasti akan merelakan Jalal bahagia
dengan pilihannya. Tidak akan ada gunanya kamu memaksa Jalal agar mencintaimu,
aku yakin itu akan semakin membuatmu sakit hati.”
“Terus, aku harus bagaimana sekarang Sur? Apa aku tidak pantas untuk
mendapatkan cinta yang tulus? Bahkan cinta dari keluarga selain kakakku juga
aku tidak pernah merasakannya. Lalu bagaimana aku harus bersikap?”
“Jangan menyerah, kamu hanya perlu membuka mata dan hati melihat orang
lain selain Jalal tentunya. Aku yakin kamu pasti akan menemukannya.”
“Baiklah. Aku akan mencobanya. Tapi, apa aku boleh minta tolong.” Tanya
Ruqaiyah dengan ragu-ragu. Surya tersenyum lembut.
“Mau minta tolong apa? Katakan saja.”
“Hm...bantu aku untuk melupakan Jalal ya.” Sahut Ruqaiyah malu-malu. Surya
tertawa pelan.
“Caranya?”
“Aku tidak tahu.”
“Hm. Baiklah, nanti kita pikirkan lagi. Tapi aku janji, aku akan
membantumu. Kamu tenang saja.” Jawab Surya, membuat Ruqaiyah tersenyum gembira.
“Makasih ya Sur. Kakak.” Ucap Ruqaiyah, wajahnya memerah ketika menyebut
kata kakak. Surya hanya tersenyum saja.
“Baiklah, ayo aku antar katanya ingin mencari Kakakmu.”
“Baiklah. Tunggu sebentar. Aku siap-siap dulu ya.” Surya mengangguk,
Ruqaiyah masuk kedalam rumah untuk bersiap-siap. Sesaat kemudian dia sudah siap
untuk pergi.
Keduanya pun berangkat menuju rumah Ruqaiyah. Namun, ketika sampai di
depan pagar rumah mewah tersebut, terdapat tulisan “rumah ini akan disita”. Keduanya saling pandang.
“Maksudnya apa Ruq, kok rumahmu akan disita?” tanya Surya heran.
Ruqaiyah menggeleng.
“Aku juga tidak tahu Sur. Ayo kita masuk.” Ajak Ruqaiyah.
“Emangnya tidak apa-apa kalau aku masuk?”
“Tidak apa-apa. Tapi maaf kalau Kakakku nanti agak galak dengan
laki-laki yang dekat denganku.” Surya tersenyum.
“Kalau itu tidak masalah. Pertama galak, lama-lama juga jinak.” Ruqaiyah
memukul lengannya pelan.
“Emang kamu kira Kakakku anjing, bisa jinak.” Surya terkekeh. Dia membuka
pintu mobil, begitu juga dengan Ruqaiyah.
Ruqaiyah menekan bel yang
ada dipagar. Tidak lama kemudian keluar seorang wanita paruh baya, mungkin seorang pembantu dirumahnya dan membukakan
pintu pagar untuk mereka.
“Kakak ada Bi?” tanya
Ruqayah ketika mereka masuk kerumah.
“Tidak ada Non. Sudah empat
hari ini Tuan tidak pernah pulang, dan baru Non saja yang datang.” Ruqaiyah mengerutkan
keningnya, “terus di depan ada tulisan akan disita apa maksudnya Bi? Siapa yang memasangnya?”
“I-itu...saya tidak tahu
Non, tiba-tiba saja dari kepolisian datang dan menggeledah rumah, setelah
keluar ya langsung memasang tulisan itu Non.”
“Menggeledah Bi?”
pembantunya mengangguk, “untuk apa?”
“Saya juga tidak tahu Non, mereka
tidak mengatakan apa-apa. Mungkin sebaiknya Non bertanya dengan Pak Birbal
saja. Karena kemarin dia bersama pak polisi itu, dan ditanyain juga kayaknya
Non.” Ruqaiyah semakin penasaran dan juga heran. Kenapa rumah mereka akan
disita. Apa salah mereka? Apa Kakaknya tersangkut masalah? Tapi dengan siapa?
Ruqaiyah semakin pusing.
“Ya sudah Bi, aku akan
tanya Paman Birbal nanti.”
“Iya Non.” Pembantunya
berbalik ke dapur lagi. Ruqaiyah menoleh ke arah Surya yang sejak tadi hanya
diam saja dan memperhatikannya. Dia menghela nafas panjang. Ada semacam
ketakutan dalam dirinya, kalau terjadi apa-apa dengan kakaknya. Tangannya
tiba-tiba gemetar, membayangkan hal yang tidak-tidak terjadi dengan saudaranya
itu. Surya mendekat, menggenggam tangan Ruqaiyah yang gemetar itu dan
membimbingnya duduk di sofa.
“Sur, Kakakku...?”
“Jangan berpikir yang
macam-macam dulu Ruq, coba kamu hubungi siapa tadi? Tanyakan keadaan yang
sebenarnya.” Ruqaiyah mengangguk. Masih dengan tangan yang gemetar, dia
mengambil ponsel dari tasnya dan menelpon seseorang seperti yang dikatakan
pembantunya tadi. Dia segera menyuruh orang tersebut segera datang.
Tidak perlu waktu lama
orang yang dihubungi pun datang. Ruqaiyah
langsung berdiri dan memberondonginya dengan serentetan pertanyaan.
“Paman, apa yang terjadi?
Kenapa rumah ini akan disita? Kakak kemana? Apa yang Kakak lakukan sampai rumah
ini disita?” Surya memegang bahunya.
“Tenang dulu Ruq, biarkan
Pamanmu duduk dulu.” Ajak Surya kepada Ruqaiyah yang nampak tidak sabar dan
emosi itu. Dengan terpaksa perempuan itu menuruti keinginan Surya. Dia duduk
kembali disofa, dan laki-laki yang disebut Ruqaiyah sebagai Paman Birbal itu juga
duduk di hadapannya. Wajahnya nampak lesu.
“Paman, ceritakan apa yang
telah terjadi?” laki-laki itu menghembuskan nafas panjang.
“Dia di tangkap empat hari
yang lalu di Pacitan.” Ruqaiyah dan Surya terkejut. Surya tentu saja terkejut
mendengar kata Pacitan. Dan sahabatnya itu juga berangkat ke Pacitan persis
waktunya seperti yang dikatakan oleh
pria di depannya itu.
“Ditangkap paman?” Pak
Birbal mengangguk, “kenapa?” pria itu tidak segera menjawab, tetapi menoleh
kearah Surya yang ikut menatapnya dengan penasaran, sepertinya pria tersebut
agak keberatan dengan kehadiran Surya.
“Tidak apa-apa Paman. Biar
Surya disini saja. Paman cerita saja.” Kata Ruqaiyah seolah mengerti arti
pandangan Pak Birbal. Akhirnya dengan berat hati dia menceritakan semuanya kalau Adam ditangkap karena
melakukan penganiayaan dan juga kekerasan terhadap seseorang yang
bernama Bharmal. Bahkan kakaknya itu dituduh melakukan pemerasan dengan jumlah
yang tidak main-main. Pak Birbal juga mengatakan siapa saja yang menuntut Adam
sampai sebanyak itu, tidak lain adalah Bayu, Jalal dan Jodha. Dan sekarang
kakaknya itu sudah ditahan di Polda Metro Jaya.
Ruqaiyah dan Surya
terperangah mendengarnya. Yang Surya sungguh tidak percaya adalah kalau
Ruqaiyah adalah adik dari orang yang sudah memeras ayahnya Jodha. Dia menatap
ke arah perempuan itu yang mulai menangis terisak-isak. Awalnya Surya
terpancing emosinya mendengar keterangan Pak Birbal, tetapi ketika
melihat Ruqaiyah yang terlihat shock, membuat dia tidak tega juga.
Iya, Ruq tidak salah. Dia
tidak tahu apa-apa. Yang salah adalah kakaknya, Adam. Tidak seharusnya dia ikut
memarahinya. Belum lagi reaksi kedua sahabatnya dan juga Jodha kalau tahu siapa
Ruqaiyah sebenarnya. Apa itu tidak akan membuat perempuan itu akan semakin
jatuh terpuruk. Setelah menghela nafas panjang beberapa kali, akhirnya Surya
merengkuh bahu Ruqaiyah dan memeluknya. Memberinya kekuatan agar bersabar.
Perempuan itu masih saja menangis.
“Dan, semua nomor rekening
Adam dan yang berhubungan dengannya juga diblokir Ruq. Bahkan diskotik dan rumah milik kalian juga ikut disita.
Kalian hanya diberi waktu seminggu untuk meninggalkan rumah ini. Maafkan
Paman tidak bisa membantu apa-apa, karena Paman juga bingung harus melakukan
apa.” Ruqaiyah melepaskan diri dari pelukan Surya.
“Maksud Paman? Semua rekeningku
juga ikut diblokir?” Pak Birbal mengangguk, Ruqaiyah tertunduk lesu. Air
matanya tak berhenti mengalir, “aku tidak punya apa-apa sekarang Sur. Aku
sendirian. Kakaaakk...”
Surya kembali memeluknya.
“Stt...jangan berkata begitu. Kamu masih punya
aku dan keluargaku. Bukankah kamu sudah menjadi bagian dari keluargaku?”
Ruqaiyah menggeleng.
“Tidak Sur, aku tidak ingin membuat keluargamu
repot dan malu ketika tahu kalau Kakakku adalah seorang penjahat. Apalagi Jalal, aku yakin
dia akan semakin membenciku. Sekarang kamu sudah tahu siapa aku dan keluargaku yang sebenarnya.
Aku tidak akan melarangmu kalau kamu ingin pergi. Pergilah, sebelum kamu terlibat
lebih jauh dengan masalahku.” Kata Ruqaiyah mendorong dada Surya yang
memeluknya. Namun Surya tetep bersikeras memeluknya. Dia tahu Ruqaiyah pasti
akan minder dengan keadaannya.
“Tidak Ruq, aku tidak akan meninggalkanmu. Biar
sekeras apa kamu menyuruhku. Aku yakin keluargaku pasti akan melakukan hal yang
sama denganku. Percayalah. Kita hadapi bersama ya.” Ucap Surya mengelus rambut
Ruqaiyah, perempuan itu mendongak menatap wajah Surya, masih dengan linangan
air matanya.
“Tapi bagaimana bila Jalal dan Jodha tahu kalau
kamu bersamaku, apa kamu tidak takut mereka akan membencimu juga?” Surya tersenyum lembut.
“Aku yakin Jodha tidak seperti yang kamu
takutkan. Kalau masalah Jalal, pasti pelan-pelan dia akan mau mengerti. Hanya
perlu waktu saja. Sabar ya.” Ruqaiyah mengangguk, dia kembali membenamkan
wajahnya didada Surya yang membuatnya tenang. Sementara Pak Birbal hanya bisa
menatap Ruqaiyah dengan kasihan. Bagaimana lagi?
Keesokan harinya, Ruqaiyah dengan ditemani
Surya menemui Adam di tahanan Polda Metro Jaya. Wajah Adam terlihat masih
lebam. Ruqaiyah menangis melihat kondisi kakaknya. Bahkan Surya ikut terenyuh
melihatnya. Inikah orang yang diceritakan Jalal dan Man waktu itu? Iya,
wajahnya terlihat keras. Entah mungkin karena mengalami kerasnya menjalani
hidup sampai membuatnya seperti itu.
“Kamu siapa?” tanya Adam kepada Surya dengan
tajam. Surya bingung mau menjawab apa. Kalau mengaku kakaknya, jelas Adam tidak
akan percaya. Mengaku teman adiknya, kenapa baru kali ini mereka bertemu.
“Aku kekasihnya Ruq, adikmu.” Sahut
Surya tanpa rasa takut sedikitpun. Ruqaiyah menoleh kearahnya.
“Hah?”
===TBC===
Tidak ada komentar:
Posting Komentar