Menu

Jumat, 12 Februari 2016

MIRACLE OF LOVE, PART. 12


Seminggu sebelum pulang :
Malam itu sehabis sholat Isya Jalal ingin berkunjung ke tempat Pak Syarif dan bersilahturrahim menjelang detik-detik kepulangan mereka. Setidaknya dia ingin menunjukkan rasa terima kasihnya kepada keluarga Pak Syarif yang telah banyak membantunya selama ini. Ketika ingin pamit kepada Jodha, dia malah ngotot pengen ikut. Entah kenapa ketika ada urusan Jalal yang berhubungan dengan Pak Syarif, Jodha menjadi sensitif sekali. Akhirnya Jalal mengalah, jadilah mereka berdua pergi kerumah Pak Syarif.
Sesampainya dirumah Pak Syarif ternyata keluarga itu belum tidur. Karena pintu rumahnya masih terbuka.
“Assalamu’alaikum...” Jalal mengucapkan salam.
“Wa’alaikum salam." Terdengar jawaban dari dalam rumah. Terlihat Pak Syarif keluar. “Eh, Nak Jalal dan Nak Jodha. Ayo masuk, tumben malam-malam begini main kesini?”
“Iya Pak, tidak ada apa-apa. Cuma ingin main saja.” Jawab Jalal. Jalal masuk diikuti Jodha. Mereka duduk diruang tamu.
“Ibu lagi dimana, Pak?” Tanya Jodha celingukan.
“Oh itu, Ibu lagi di dapur bersama Atifa. Coba kamu lihat saja, Nak Jodha." Mendengar nama Atifa darah Jodha menjadi berdesir. Sepertinya dia sangat alergi sekali mendengar nama itu.
Jodha melangkah ke dapur, sementara Jalal dan Pak Syarif asyik berbincang.  Benar saja di dapur terlihat Bu Javeda sedang memarut sesuatu. Sementara Atifa sedang mencuci piring di sumur belakang rumah setelah makan malam mereka. Jodha mendekati Bu Javeda.
“Lagi ngapain, Bu?” Tanya Jodha duduk didekat Bu Javeda.
“Eh, Nak Jodha. Tumben kesini malam-malam? Sendirian kesini?”
“Enggak Bu, tadi bersama Jalal. Itu sedang ngobrol sama Bapak di depan."
“Oh begitu?" Bu Javeda melanjutkan pekerjaan memarutnya. Jodha menjadi tertarik melihatnya.
“Ini apa, Bu?” tanya Jodha melihat benda berbentuk umbi dan akar-akaran yang sedang diparut oleh Bu Javeda.
“Ini mau bikin ramuan buat Bapak untuk menambah stamina biar tidak gampang sakit." Kata Bu Javeda.
“Memangnya untuk perempuan tidak ada ya Bu?”
“Sebenarnya ini juga bisa diminum oleh perempuan, cuma pemakaiannya ya.....gak sama dengan yang diminum oleh laki-laki." Jelas Bu Javeda.
“Memangnya kenapa, Bu?” Jodha semakin tertarik mendengarnya
“Segala sesuatu yang berlebihan pasti hasilnya juga tidak akan baik, Jodha. Kalau sekedar untuk menghangatkan dan menguatkan stamina saja cukup minum satu gelas kecil saja. Kalau lebih dari itu tidak ditanggung efeknya, apalagi untuk orang yang belum berkeluarga sangat dilarang minum banyak." Bu Javeda menjelaskan panjang lebar.
“Memangnya apa efeknya, Bu kalau diminum berlebihan?” Tanya Jodha tidak mengerti. Bu javeda menoleh kepadanya dan tersenyum.
“Kamu ini sudah nikah tetapi masih belum mengerti juga?” Tanya Bu Javeda. Jodha tersenyum malu. “Ini kalau minum secara berlebihan akan sama akibatnya seperti orang minum obat perangsang." Jodha menutup mulutnya dengan tangannya saking kagetnya. Bu Javeda hanya tertawa melihat reaksi Jodha. Dia melanjutkan memeras hasil parutannya dalam sebuah gelas besar yang nanti akan dibagi-bagi lagi.
“Oh iya, nanti kamu berikan juga buat Jalal ya, biar tidak mudah masuk angin dan tidak cepat capek, kamu juga boleh minum kalau mau, tetapi sebelumnya diencerkan dulu dengan air biasa. Jangan diberi yang masih kental."
“Iya Bu." Kata Jodha sambil duduk menunggu Bu Javeda selesai memeras.
Pintu belakang terbuka, terlihat Atifa masuk. Sesaat dia agak kaget melihat Jodha sedang duduk diamben bersama Ibunya. Namun kemudian dia tersenyum dan melangkah mendekati Jodha. Sementara Jodha yang melihat Atifa, kembali muncul rasa tidak sukanya. Namun dia berusaha menahan perasaannya itu. Jodha merasa tidak  enak dengan Bu Javeda yang sudah terlalu baik kepada mereka.
“Hai, Jodha.”Sapa Atifa, “tumben kamu kesini? Sama siapa? Sama Jalal ya?” Cerocos Atifa duduk disamping Jodha.
“Hm, iya Tifa. Jalalnya lagi ngobrol sama Bapak tuh di depan."
“Oo...begitu? Hm, ngomong-ngomong kamu sudah berapa bulan nikah, Jo? apa sudah ada hasilnya?” Tanya Atifa tanpa rasa bersalah.
“Ma-maksudmu apa?”
“Masa kamu tidak mengerti maksudku, Jo? ringkasnya kamu sudah hamil apa belum?” Kata Atifa tanpa basa basi lagi.
DEGH.....terasa mendapat pukulan dalam hatinya. Ada rasa perih dihatinya dengan pertanyaan Atifa. “Aku...aku...” Jodha dengan susah payah mengeluarkan kata-katanya. Atifa tersenyum sinis melihat ekspresi Jodha.
“Sudah, sudah. Jangan dianggap Jodha pertanyaan Atifa itu." Bu Javeda menyela sebelum Atifa bicara. “Kamu jangan seperti itu Atifa, tidak sopan kamu menanyakan hal yang seperti itu." tegur Bu Javeda. Sementara Atifa hanya cengengesan saja ditegur Ibunya.
“Biasanya wanita yang tidak bisa mempunyai keturunan akan ditinggalkan oleh suaminya loh, untuk mencari wanita yang bisa memberinya keturunan. Semoga saja kamu tidak seperti itu Jodha." Kata Atifa yang membuat telinga Jodha menjadi panas. Ingin rasanya dia menyobek mulut Atifa yang sepertinya ingin memanas-manasi Jodha. Untung saja dia masih ingat dia berada dimana. Atifa melirik Jodha yang tampak kesal sekali. Dia tertawa senang dan bangkit melangkah menuju kamarnya.
“Sudah, Jodha. Tidak usah didengarkan kata-kata Atifa. Biasa mulutnya ceplas ceplos begitu." Kata Bu Javeda sembari meletakkan gelas hasil perasannya didekat Jodha. “Oh ya, Jo. kamu anterkan kedepan ya buat Bapak dan juga buat Jalal. Ingat, jangan lupa encerin dulu. Jangan kental-kental. ibu mencuci tangan dulu sekalian membuang sampahnya." Kata Bu Javeda memperlihatkan ampas hasil perasan tadi dan melangkah keluar dari pintu belakang.
“Iya, Bu. Akan saya antarkan." Jawab Jodha. Sesaat dia menatap tangannya yang sudah memegang gelas besar yang berisi minuman tersebut, tiba-tiba muncul ide gila di benaknya. kembali terngiang-ngiang kata-kata Atifa yang mengatakan kalau wanita yang tidak bisa memberikan keturunan maka akan ditinggal oleh suaminya. Dia sungguh tidak rela kalau Jalal akan meninggalkannya. Apalagi sekarang dia sudah terlanjur cinta setengah mati kepada Jalal. Tidak. Tidak, itu tidak akan terjadi.
Kemudian Jodha menuangkan minuman itu kedalam gelas kosong dalam keadaan kental tanpa dicampur lagi dengan air biasa langsung direguknya sampai habis. Emosinya yang masih belum hilang membuatnya tidak begitu merasakan rasa dari minuman itu. Yang ada dibenaknya dia harus minum minuman itu sampai habis.
Setelah itu dia menuangkan untuk Pak Syarif dan Jalal. Di gelas pak syarif Jodha campurkan dengan air biasa supaya encer.  Sedangkan untuk Jalal tidak dicampurkan sama sekali, sama halnya seperti yang dia minum tadi masih kental. Kemudian dia mengantarkan kedepan, sambil berjalan Jodha menyunggingkan senyum penuh misteri. Dengan hati-hati dia meletakkan gelas minuman itu didepan Jalal dan Pak Syarif. Tanpa curiga Jalal meminum minuman tersebut. Jodha tersenyum dalam hati melihat Jalal minum minuman itu sampai habis.
Setengah jam berlalu, Jodha mulai merasakan efek dari minuman itu. Dia mulai gelisah. Tubuhnya terasa mulai panas, namun tetap ditahannya. Sementara Jalal yang masih asyik ngobrol dengan Pak Syarif meliriknya dengan heran.
“Kamu kenapa Jo?” tanya Jalal melihat Jodha yang tampak gelisah.
“Ehm...aku mengantuk sekali nih." Kata Jodha berbohong.
“ Ya sudah kalau begitu, kita pulang ya.” Jodha mengangguk.
“Kami permisi pulang dulu Pak.” Jalal pamit pulang kepada Pak Syarif. Sedangkan Jodha masuk kerumah dan pamit kepada Bu Javeda.
“Iya, Nak Jalal. Hati-hati ya. Ini sudah malam."
“Iya, Pak. Permisi. Assalamu’alaikum."
“Wa’alaikum salam...” Jawab Pak Syarif melepas mereka di depan pintu.
Mereka pun pulang, Jodha berjalan dengan tergesa-gesa ingin segera sampai dirumahnya. Jalal merasa heran dengan sikap Jodha, namun dia memakluminya. Mungkin dia memang benar mengantuk pikirnya. Sesampai dirumah Jodha segera membersihkan diri dan masuk ke kamar. Cepat-cepat dia berbaring dan menutup tubuhnya dengan selimut. Jantungnya berdebar keras, berkali-kali ditekannya dadanya dengan telapak tangannya untuk meredakan debaran itu. Namun tak kunjung berhenti. Tubuhnya terasa makin panas. Jodha menjadi bingung dan panik. Namun dia masih bisa bertahan, dia tidak ingin Jalal curiga kepadanya. Dihembuskannya nafasnya berkali-kali mengimbangi debaran jantungnya.
Tak lama kemudian, Jalal masuk kamar dan menutup pintu. Jodha terkejut karena Jalal masuk tanpa memakai baju dan bertelanjang dada serta memakai celana pendek. Melihat tubuh polos Jalal, membuat otak Jodha mulai berfantasi kemana-mana. Apalagi melihat tubuh itu semakin hari semakin berisi membuat Jalal nampak begitu seksi. Jodha semakin tidak tahan, dia menahan segala gejolak-gejolak yang ingin segera di keluarkan. Dia mengeluh, menahan siksaan gairahnya sendiri.
“Jalal, kenapa kau melepaskan pakaianmu. Bukankah cuacanya sangat dingin." Tanya Jodha sedikit menguji Jalal. Jalal duduk disamping Jodha yang terbaring di kasur.
”Entahlah, Jo. aku tidak tahu tubuhku rasanya panas. Tidak biasanya seperti ini.” Kata Jalal menyandarkan tubuhnya kedinding.
Jodha melirik wajah Jalal, tampak wajahnya memerah dan tegang. Pelan-pelan Jodha menarik tangan Jalal dan memintanya berbaring. Jalal menurut. Namun dia hanya berbaring telentang saja dan menaruh tangannya didahi. Jodha tahu kalau Jalal berjuang menahan hasratnya. Jodha sebenarnya agak takut, namun dia sudah bertekad dan sudah terlanjur tidak bisa dicegah lagi.
“Jalal...” Panggil Jodha dengan suara bergetar. Namun Jalal tidak bergeming, masih dengan posisinya. “Jalal...” sekali lagi Jodha memanggil, kali ini tangannya memegang tangan Jalal dan menurunkan dari dahinya.
Jalal menoleh, dilihatnya mata Jodha yang menatapnya dengan pandangan sayu dan bibirnya gemetar. Perlahan Jalal mendekatkan wajahnya, sekarang dia sudah tidak bisa berpikir lagi untuk menahan segala hasrat terpendamnya yang susah payah ditahannya sedari tadi.
Tangan Jalal menelusup dirambut Jodha, dikecupnya kening Jodha agak lama, mata, kedua pipi, sedikit dikecupnya ujung hidung Jodha, lalu akhirnya mampir di bibir Jodha yang gemetar dan pasrah. Perlahan Jalal melumat bibir itu dengan lembut, namun kemudian dia merasakan bibir gemetar Jodha berubah panas dan bergairah. Ditelusurinya setiap bagian yang dilewati bibir dan lidahnya. Nafas mereka pun mulai memburu. Dengan nafas tersengal-sengal Jalal akhirnya menarik wajahnya menjauh dari wajah Jodha, ditatapnya wajah itu yang juga menatapnya dengan sayu.
“Aku mencintaimu, Jodha. Bolehkah?” bisik Jalal Jodha. Jodha mengangguk. Jalal membelai wajah Jodha, kemudian di kecupnya kembali bibir lembut itu sebentar, dagunya. Turun keleher, lidah Jalal mulai menari-nari membuat Jodha mendesah nikmat dan geli. Jalal semakin berani.
Jalal menyingkap selimut yang menutupi tubuh Jodha dan dengan perlahan pakaian yang menempel ditubuh Jodha dan tubuhnya sudah hilang entah kemana. Lidah dan bibir Jalal terus menelusuri setiap jengkal tubuh Jodha, tangannya membelai lembut setiap bagian yang dilewatinya membuat Jodha menggelinjang tidak karuan. Sentuhan-sentuhan Jalal membuat saraf-saraf Jodha bereaksi membuat sensasi liar. Berkali-kali dia menggigit bibirnya. Sentuhan itu semakin turun kebawah desahan Jodha semakin keras dan intens semakin membuat Jalal bergairah.
Tubuh Jodha bergetar, kedua tangannya mencengkram kasur yang tampak berantakan. Kepala  Jalal yang sudah berada diantara kedua pahanya membuat Jodha menggigit bibir bawahnya menahan lahar panas yang mendesak untuk keluar. Jodha menarik Jalal keatasnya.
“Lakukanlah.” Bisiknya pelan. Jalal menatap Jodha memastikan kebenaran kata-katanya. Jodha mengangguk. Jalal menarik selimut dan menutupi tubuh mereka berdua. Perlahan dia menunaikan tugasnya sebagai suami, Jodha menjerit kecil namun Jalal segera mencium bibirnya. Tampak setetes air mata mengalir disudut matanya. Setelah beberapa lama Jodha mulai terbiasa dan sudah tidak merasakan kesakitan lagi, yang tertinggal hanyalah kenikmatan. Kamar kecil itu pun menjadi saksi penyatuan jiwa mereka.
Jalal pun terkulai lemas diatas tubuh Jodha. Nafas memburu, keringat bercucuran membasahi tubuh mereka. Jalal mencium kening Jodha. Kembali ditatapnya wajah yang sangat dicintainya itu dengan mesra.
“Kau menyesal Sayang sudah menyerahkannya kepadaku?” Bisik Jalal. Jodha menggeleng dan tersenyum manis.
“Aku tidak menyesal, Jalal. Aku bahkan bahagia menyerahkan apa yang paling berharga kepada orang yang aku cintai. Kuharap kau tidak akan menyia-nyiakan segala yang sudah aku lakukan dan aku berikan untukmu." Jalal tersenyum, kemudian memindahkan tubuhnya kesamping Jodha dan menaruh kepala Jodha di lengannya. Tangan satunya ditempelkan di pipi Jodha.
“Malam ini aku sangat bahagia akhirnya aku bisa memilikimu seutuhnya, Sayang. Aku janji tidak akan menyia-nyiakanmu. Kau adalah milikku yang paling berharga. Aku tidak akan melepaskanmu walau apapun yang terjadi, kau hanya milikku, Jodha."
“Terima kasih Jalal, kata-katamu menyejukkan hatiku. Aku ingin selamanya bersamamu seperti ini." Keduanya berpelukan dalam kehangatan.
“Oh ya, Jo. seminggu lagi kita akan balik ke Jakarta. Tidak terasa ya., tadi Pak Syarif bilang tidak usah harus menunggu sampai seminggu kalau ingin kembali ke Jakarta. Besok juga bisa, Beliau mengijinkan." Mendengar itu Jodha membalikkan tubuhnya membelakangi Jalal, namun kepalanya masih tetap diatas lengan Jalal. Jalal memeluknya dari belakang. “Kenapa kau diam, Sayang? bukankah menyenangkan bisa kembali lagi kerumah. Hm?” Tanya Jalal. Jodha menatap lurus kedepan dengan pandangan setengah menerawang.
“Itu artinya kita tidak bisa seperti ini lagi kan?” Jalal tersenyum. Dia mengerti kegalauan hati Jodha.
“Siapa bilang ? kita akan selalu bersama bahkan lebih dari disini."
“Tapi kan kamu tahu bagaimana sikap Ibuku, dia sangat menentang hubungan kita. Aku tidak mau nanti dia akan memaksa kita berpisah."
“Tidak akan, Sayang. Ini tugas kita berdua untuk meyakinkan  Ibumu. Aku yakin kekuatan cinta kita akan membuka matanya untuk merestui hubungan ini. Dan nanti setibanya di Jakarta selain meneruskan kuliahku sampai akhir aku juga akan belajar untuk meneruskan bisnis Ayahku. Karena sekarang aku sudah mempunyai keluarga sendiri dan tentu saja suatu saat Ayahku akan segera menyerahkan tanggungjawab itu kepadaku. Inilah saatnya aku harus memulai semuanya. Kuharap kau juga seperti itu, Sayang. Kita harus buktikan kepada Ibumu kalau kita berdua mampu mandiri."
“Itu artinya Kau tidak punya banyak waktu untukku, Jalal?” Ucap Jodha setengah merajuk. “Kalau begitu lebih enak disini saja." Jalal tersenyum mencium tengkuk Jodha, membuat gadis itu menggelinjang geli.
“Suatu saat kalau kau mau kita bisa kembali kesini, kita bisa liburan lagi. Apalagi keluarga Pak Syarif sudah seperti keluarga sendiri." Jodha mendesah panjang.
“Hm, baiklah, tapi kau harus berjanji untuk memperjuangkan cinta kita dihadapan Ibuku." Pinta Jodha
“Tentu Sayang, tanpa kau memintapun akan aku lakukan apapun caranya." Jodha tersenyum. Perlahan dia memejamkan matanya dan tidur dalam pelukan Jalal. Terasa damai tidurnya kali ini karena ini pertama kalinya dia tidur dalam pelukan suami tercintanya.
Keesokan harinya Jodha bangun, perlahan dibukanya matanya. Dirasakannya sebuah tangan memeluk tubuhnya, dan kepalanya masih berbantalkan lengan Jalal. Sesaat dikumpulkannya ingatan kejadian tadi malam. Dia tersenyum malu bila ingat ide gilanya sewaktu di rumah Pak Syarif yang membuat dia dan Jalal lepas kontrol, namun akhirnya mereka menikmati juga.
Secara perlahan tangan Jalal yang memeluk tubuhnya digeser, kemudian bangkit dan bermaksud menutup tubuhnya yang polos ketika tangan Jalal kembali memeluknya. Alhasil tubuhnya kembali terbaring, ternyata Jalal sudah bangun namun dia tidak bergerak.
“Kau mau kemana sayang?” Tanya Jalal dengan mata masih tertutup.
“Aku mau mandi Jalal, biarkan aku membersihkan diri dulu." Kata Jodha berusaha menyingkirkan kembali tangan Jalal dari tubuhnya. Namun pelukan Jalal semakin erat. Akhirnya diapun pasrah dan membiarkan Jalal memeluk dirinya.
“Nanti saja, sayang. Biarkan aku memelukmu seperti ini dulu."
“Apa tanganmu tidak pegal sayang dari tadi malam tanganmu menyangga kepalaku terus?”
“Ini bukan apa-apa sayang, lebih dari inipun aku rela." Jodha membalikkan badannya menghadap ke Jalal. Tanpa sengaja dadanya yang polos menyentuh dada Jalal membuat darahnya kembali berdesir. Jalal membuka matanya tersenyum melihat Jodha yang tampak malu-malu. Wajahnya tampak lucu. Diciumnya kening Jodha, dan tersenyum.
“Ayolah Sayang, biarkan aku mandi dulu ya?” pinta Jodha, takut keseret lagi dalam hasratnya.
“Apa kau tidak ingin mengulanginya lagi sayang?” goda Jalal. Jodha semakin malu.
“Hm...aku...aku....” tanpa diduga oleh Jalal, Jodha menggulingkan tubuhnya menjauhi Jalal dan langsung bangkit mengambil pakaiannya langsung keluar menuju kamar mandi. Jalal yang tidak sempat menangkap tubuh Jodha hanya tertawa geli melihat Jodha yang keluar kamar dengan keadaan polos. Dia tersenyum bahagia membayangkan kejadian tadi malam, dia tidak menduga akan seberani itu dan ternyata Jodha tidak menolaknya.
Jodha yang sudah selesai mandi namun masih menggunakan handuk yang menutupi tubuhnya sebatas dada dan  dengan rambut yang masih terbungkus handuk memasuki kamar ketika dilihatnya Jalal masih berbaring dengan kedua tangannya menyangga kepalanya dengan mata tertutup serta selimut yang menutupi tubuhnya sebatas dada. Entah kenapa Jodha menjadi sangat malu melihatnya, wajah merona merah. Pelan-pelan dia mendekati Jalal bermaksud untuk membangunkannya.
“Jalal, ayo bangun. Mandi dulu sana.” kata Jodha menepuk lembut pipi Jalal. Jalal membuka matanya. Dilihatnya tubuh Jodha hanya terbungkus handuk sedang menatapnya malu-malu. Jalal bangkit dengan senyum menyeringai melihat Jodha berpakaian seperti itu. Otomatis selimut yang ada diatas tubuhnya melorot kebawah, memperlihatkan tubuh polosnya. Jodha langsung histeris menutup matanya.
“Jalal, apa yang lakukan ? cepat pakai pakaianmu? apa kau tidak malu?” kata Jodha masih menutup matanya.
“Kenapa Jodha ? kenapa harus ditutup matamu? Bukankah kau sudah melihatku begini tadi malam?” Kata Jalal tertawa sambil mengambil handuknya dan melilitnya dipinggangnya. Kemudian melangkah keluar. Jodha mendengar langkah Jalal keluar akhirnya menurunkan tangannya dan membuka matanya. Akhirnya dia bisa bernafas dengan lega.

~~~0000~~~

Dua hari kemudian Jalal dan Jodha bersiap-siap karena keesokan harinya mereka akan kembali ke Jakarta. Pak Syarif yang akan mengantar mereka sampai ke kota terdekat setelah itu melanjutkan perjalanan mereka ke Jakarta.
Sengaja Jalal mengajak Jodha pulang lebih awal karena dia akan membawa isterinya menginap dirumahnya sekaligus ingin mengajak Jodha jalan-jalan terlebih dahulu setelah sekian lama terkurung jauh dari keramaian kota.
Keesokan harinya mereka pun pamit dengan Bu Javeda, Atifa, Maya serta penduduk desa yang selama ini begitu baik kepada mereka. Entah kapan mereka akan bisa melihat lagi semua yang ada disitu. Sejenak Jodha dan Jalal melihat sekeliling dan merekam dalam memori mereka untuk kenangan yang tidak akan terlupakan dimana ditempat inilah awal cinta dan hati mereka bersatu.
Akhirnya mereka melambaikan tangan kepada warga desa yang melepasnya dan melangkah dengan bergandengan tangan mengikuti langkah Pak Syarif yang sudah berjalan terlebih dahulu sebagai penunjuk jalan.


tbc

Tidak ada komentar:

Posting Komentar