Seminggu
sebelum pulang :
Malam itu
sehabis sholat Isya Jalal ingin berkunjung ke tempat Pak Syarif dan
bersilahturrahim menjelang detik-detik kepulangan mereka. Setidaknya dia ingin
menunjukkan rasa terima kasihnya kepada keluarga Pak Syarif yang telah banyak
membantunya selama ini. Ketika ingin pamit kepada Jodha, dia malah ngotot
pengen ikut. Entah kenapa ketika ada urusan Jalal yang berhubungan dengan Pak
Syarif, Jodha menjadi sensitif sekali. Akhirnya Jalal mengalah, jadilah mereka
berdua pergi kerumah Pak Syarif.
Sesampainya
dirumah Pak Syarif ternyata keluarga itu belum tidur. Karena pintu rumahnya
masih terbuka.
“Assalamu’alaikum...” Jalal mengucapkan salam.
“Wa’alaikum
salam." Terdengar jawaban dari dalam rumah. Terlihat Pak Syarif keluar. “Eh,
Nak Jalal dan Nak Jodha. Ayo masuk, tumben malam-malam begini main kesini?”
“Iya Pak,
tidak ada apa-apa. Cuma ingin main saja.” Jawab Jalal. Jalal masuk diikuti
Jodha. Mereka duduk diruang tamu.
“Ibu lagi
dimana, Pak?” Tanya Jodha celingukan.
“Oh itu,
Ibu lagi di dapur bersama Atifa. Coba kamu lihat saja, Nak Jodha." Mendengar
nama Atifa darah Jodha menjadi berdesir. Sepertinya dia sangat alergi sekali
mendengar nama itu.
Jodha
melangkah ke dapur, sementara Jalal dan Pak Syarif asyik berbincang. Benar saja di dapur terlihat Bu Javeda sedang
memarut sesuatu. Sementara Atifa sedang mencuci piring di sumur belakang rumah setelah
makan malam mereka. Jodha mendekati Bu Javeda.
“Lagi
ngapain, Bu?” Tanya Jodha duduk didekat Bu Javeda.
“Eh, Nak
Jodha. Tumben kesini malam-malam? Sendirian kesini?”
“Enggak Bu, tadi
bersama Jalal. Itu sedang ngobrol sama Bapak di depan."
“Oh
begitu?" Bu Javeda melanjutkan pekerjaan memarutnya. Jodha menjadi tertarik
melihatnya.
“Ini apa,
Bu?” tanya Jodha melihat benda berbentuk umbi dan akar-akaran yang sedang
diparut oleh Bu Javeda.
“Ini mau
bikin ramuan buat Bapak untuk menambah stamina biar tidak gampang sakit." Kata
Bu Javeda.
“Memangnya
untuk perempuan tidak ada ya Bu?”
“Sebenarnya
ini juga bisa diminum oleh perempuan, cuma pemakaiannya ya.....gak sama dengan
yang diminum oleh laki-laki." Jelas Bu Javeda.
“Memangnya
kenapa, Bu?” Jodha semakin tertarik mendengarnya
“Segala
sesuatu yang berlebihan pasti hasilnya juga tidak akan baik, Jodha. Kalau
sekedar untuk menghangatkan dan menguatkan stamina saja cukup minum satu gelas
kecil saja. Kalau lebih dari itu tidak ditanggung efeknya, apalagi untuk orang
yang belum berkeluarga sangat dilarang minum banyak." Bu Javeda menjelaskan
panjang lebar.
“Memangnya
apa efeknya, Bu kalau diminum berlebihan?” Tanya Jodha tidak mengerti. Bu javeda menoleh kepadanya dan tersenyum.
“Kamu ini sudah
nikah tetapi masih belum mengerti juga?” Tanya Bu Javeda. Jodha tersenyum malu.
“Ini kalau minum secara berlebihan akan sama akibatnya seperti orang minum obat
perangsang." Jodha menutup mulutnya dengan tangannya saking kagetnya. Bu Javeda
hanya tertawa melihat reaksi Jodha. Dia melanjutkan memeras hasil parutannya dalam
sebuah gelas besar yang nanti akan dibagi-bagi lagi.
“Oh iya,
nanti kamu berikan juga buat Jalal ya, biar tidak mudah masuk angin dan tidak
cepat capek, kamu juga boleh minum kalau mau, tetapi sebelumnya diencerkan dulu
dengan air biasa. Jangan diberi yang masih kental."
“Iya Bu." Kata Jodha sambil duduk menunggu Bu Javeda selesai memeras.
Pintu
belakang terbuka, terlihat Atifa masuk. Sesaat dia agak kaget melihat Jodha
sedang duduk diamben bersama Ibunya. Namun kemudian dia tersenyum dan melangkah
mendekati Jodha. Sementara Jodha yang melihat Atifa, kembali muncul rasa tidak
sukanya. Namun dia berusaha menahan perasaannya itu. Jodha merasa tidak enak dengan Bu Javeda yang sudah terlalu baik
kepada mereka.
“Hai, Jodha.”Sapa
Atifa, “tumben kamu kesini? Sama siapa? Sama Jalal ya?” Cerocos Atifa duduk
disamping Jodha.
“Hm, iya Tifa. Jalalnya lagi ngobrol sama Bapak tuh di depan."
“Oo...begitu? Hm, ngomong-ngomong kamu sudah berapa bulan nikah, Jo? apa sudah ada
hasilnya?” Tanya Atifa tanpa rasa bersalah.
“Ma-maksudmu apa?”
“Masa kamu
tidak mengerti maksudku, Jo? ringkasnya kamu sudah hamil apa belum?” Kata Atifa
tanpa basa basi lagi.
DEGH.....terasa
mendapat pukulan dalam hatinya. Ada rasa perih dihatinya dengan pertanyaan
Atifa. “Aku...aku...” Jodha dengan susah payah mengeluarkan kata-katanya. Atifa
tersenyum sinis melihat ekspresi Jodha.
“Sudah, sudah. Jangan
dianggap Jodha pertanyaan Atifa itu." Bu Javeda menyela sebelum Atifa bicara.
“Kamu jangan seperti itu Atifa, tidak sopan kamu menanyakan hal yang seperti
itu." tegur Bu Javeda. Sementara Atifa hanya cengengesan saja ditegur Ibunya.
“Biasanya
wanita yang tidak bisa mempunyai keturunan akan ditinggalkan oleh suaminya loh, untuk
mencari wanita yang bisa memberinya keturunan. Semoga saja kamu tidak seperti
itu Jodha." Kata Atifa yang membuat telinga Jodha menjadi panas. Ingin rasanya
dia menyobek mulut Atifa yang sepertinya ingin memanas-manasi Jodha. Untung
saja dia masih ingat dia berada dimana. Atifa melirik Jodha yang tampak kesal sekali.
Dia tertawa senang dan bangkit melangkah menuju kamarnya.
“Sudah,
Jodha. Tidak usah didengarkan kata-kata Atifa. Biasa mulutnya ceplas ceplos
begitu." Kata Bu Javeda sembari meletakkan gelas hasil perasannya didekat
Jodha. “Oh ya, Jo. kamu anterkan kedepan ya buat Bapak dan juga buat Jalal.
Ingat, jangan lupa encerin dulu. Jangan kental-kental. ibu mencuci tangan dulu
sekalian membuang sampahnya." Kata Bu Javeda memperlihatkan ampas hasil perasan
tadi dan melangkah keluar dari pintu belakang.
“Iya, Bu.
Akan saya antarkan." Jawab Jodha. Sesaat dia menatap tangannya yang sudah
memegang gelas besar yang berisi minuman tersebut, tiba-tiba muncul ide gila di
benaknya. kembali terngiang-ngiang kata-kata Atifa yang mengatakan kalau wanita
yang tidak bisa memberikan keturunan maka akan ditinggal oleh suaminya. Dia
sungguh tidak rela kalau Jalal akan meninggalkannya. Apalagi sekarang dia sudah
terlanjur cinta setengah mati kepada Jalal. Tidak. Tidak, itu tidak akan
terjadi.
Kemudian
Jodha menuangkan minuman itu kedalam gelas kosong dalam keadaan kental tanpa
dicampur lagi dengan air biasa langsung direguknya sampai habis. Emosinya yang
masih belum hilang membuatnya tidak begitu merasakan rasa dari minuman itu.
Yang ada dibenaknya dia harus minum minuman itu sampai habis.
Setelah itu
dia menuangkan untuk Pak Syarif dan Jalal. Di gelas pak syarif Jodha campurkan
dengan air biasa supaya encer. Sedangkan
untuk Jalal tidak dicampurkan sama sekali, sama halnya seperti yang dia minum
tadi masih kental. Kemudian dia mengantarkan kedepan, sambil berjalan Jodha
menyunggingkan senyum penuh misteri. Dengan hati-hati dia meletakkan gelas
minuman itu didepan Jalal dan Pak Syarif. Tanpa curiga Jalal meminum minuman
tersebut. Jodha tersenyum dalam hati melihat Jalal minum minuman itu sampai
habis.
Setengah jam
berlalu, Jodha mulai merasakan efek dari minuman itu. Dia mulai gelisah.
Tubuhnya terasa mulai panas, namun tetap ditahannya. Sementara Jalal yang masih
asyik ngobrol dengan Pak Syarif meliriknya dengan heran.
“Kamu kenapa
Jo?” tanya Jalal melihat Jodha yang tampak gelisah.
“Ehm...aku
mengantuk sekali nih." Kata Jodha berbohong.
“ Ya sudah
kalau begitu, kita pulang ya.” Jodha mengangguk.
“Kami permisi
pulang dulu Pak.” Jalal pamit pulang kepada Pak Syarif. Sedangkan Jodha masuk
kerumah dan pamit kepada Bu Javeda.
“Iya, Nak
Jalal. Hati-hati ya. Ini sudah malam."
“Iya, Pak.
Permisi. Assalamu’alaikum."
“Wa’alaikum
salam...” Jawab Pak Syarif melepas mereka di depan pintu.
Mereka pun
pulang, Jodha berjalan dengan tergesa-gesa ingin segera sampai dirumahnya.
Jalal merasa heran dengan sikap Jodha, namun dia memakluminya. Mungkin dia
memang benar mengantuk pikirnya. Sesampai dirumah Jodha segera membersihkan
diri dan masuk ke kamar. Cepat-cepat dia berbaring dan menutup tubuhnya dengan
selimut. Jantungnya berdebar keras, berkali-kali ditekannya dadanya dengan
telapak tangannya untuk meredakan debaran itu. Namun tak kunjung berhenti.
Tubuhnya terasa makin panas. Jodha menjadi bingung dan panik. Namun dia masih
bisa bertahan, dia tidak ingin Jalal curiga kepadanya. Dihembuskannya nafasnya
berkali-kali mengimbangi debaran jantungnya.
Tak lama
kemudian, Jalal masuk kamar dan menutup pintu. Jodha terkejut karena Jalal
masuk tanpa memakai baju dan bertelanjang dada serta memakai celana pendek.
Melihat tubuh polos Jalal, membuat otak Jodha mulai berfantasi kemana-mana. Apalagi
melihat tubuh itu semakin hari semakin berisi membuat Jalal nampak begitu
seksi. Jodha semakin tidak tahan, dia menahan segala gejolak-gejolak yang ingin
segera di keluarkan. Dia mengeluh, menahan siksaan gairahnya sendiri.
“Jalal,
kenapa kau melepaskan pakaianmu. Bukankah cuacanya sangat dingin." Tanya Jodha
sedikit menguji Jalal. Jalal duduk disamping Jodha yang terbaring di
kasur.
”Entahlah, Jo. aku tidak tahu tubuhku rasanya panas. Tidak biasanya
seperti ini.” Kata Jalal menyandarkan tubuhnya kedinding.
Jodha
melirik wajah Jalal, tampak wajahnya memerah dan tegang. Pelan-pelan Jodha menarik
tangan Jalal dan memintanya berbaring. Jalal menurut. Namun dia hanya berbaring
telentang saja dan menaruh tangannya didahi. Jodha tahu kalau Jalal berjuang
menahan hasratnya. Jodha sebenarnya agak takut, namun dia sudah bertekad dan
sudah terlanjur tidak bisa dicegah lagi.
“Jalal...” Panggil Jodha dengan suara bergetar. Namun Jalal tidak bergeming, masih dengan
posisinya. “Jalal...” sekali lagi Jodha memanggil, kali ini tangannya memegang
tangan Jalal dan menurunkan dari dahinya.
Jalal menoleh,
dilihatnya mata Jodha yang menatapnya dengan pandangan sayu dan bibirnya
gemetar. Perlahan Jalal mendekatkan wajahnya, sekarang dia sudah tidak bisa
berpikir lagi untuk menahan segala hasrat terpendamnya yang susah payah
ditahannya sedari tadi.
Tangan Jalal
menelusup dirambut Jodha, dikecupnya kening Jodha agak lama, mata, kedua pipi, sedikit
dikecupnya ujung hidung Jodha, lalu akhirnya mampir di bibir Jodha yang gemetar
dan pasrah. Perlahan Jalal melumat bibir itu dengan lembut, namun kemudian dia
merasakan bibir gemetar Jodha berubah panas dan bergairah. Ditelusurinya setiap
bagian yang dilewati bibir dan lidahnya. Nafas mereka pun mulai memburu. Dengan
nafas tersengal-sengal Jalal akhirnya menarik wajahnya menjauh dari wajah
Jodha, ditatapnya wajah itu yang juga menatapnya dengan sayu.
“Aku
mencintaimu, Jodha. Bolehkah?” bisik Jalal Jodha. Jodha mengangguk. Jalal
membelai wajah Jodha, kemudian di kecupnya kembali bibir lembut itu sebentar,
dagunya. Turun keleher, lidah Jalal mulai menari-nari membuat Jodha mendesah
nikmat dan geli. Jalal semakin berani.
Jalal
menyingkap selimut yang menutupi tubuh Jodha dan dengan perlahan pakaian yang
menempel ditubuh Jodha dan tubuhnya sudah hilang entah kemana. Lidah dan bibir
Jalal terus menelusuri setiap jengkal tubuh Jodha, tangannya membelai lembut
setiap bagian yang dilewatinya membuat Jodha menggelinjang tidak karuan.
Sentuhan-sentuhan Jalal membuat saraf-saraf Jodha bereaksi membuat sensasi
liar. Berkali-kali dia menggigit bibirnya. Sentuhan itu semakin turun kebawah
desahan Jodha semakin keras dan intens semakin membuat Jalal bergairah.
Tubuh Jodha
bergetar, kedua tangannya mencengkram kasur yang tampak berantakan. Kepala Jalal yang sudah berada diantara kedua pahanya
membuat Jodha menggigit bibir bawahnya menahan lahar panas yang mendesak untuk
keluar. Jodha menarik Jalal keatasnya.
“Lakukanlah.”
Bisiknya pelan. Jalal menatap Jodha memastikan kebenaran kata-katanya. Jodha
mengangguk. Jalal menarik selimut dan menutupi tubuh mereka berdua. Perlahan
dia menunaikan tugasnya sebagai suami, Jodha menjerit kecil namun Jalal segera
mencium bibirnya. Tampak setetes air mata mengalir disudut matanya. Setelah
beberapa lama Jodha mulai terbiasa dan sudah tidak merasakan kesakitan lagi,
yang tertinggal hanyalah kenikmatan. Kamar kecil itu pun menjadi saksi
penyatuan jiwa mereka.
Jalal pun
terkulai lemas diatas tubuh Jodha. Nafas memburu, keringat bercucuran membasahi
tubuh mereka. Jalal mencium kening Jodha. Kembali ditatapnya wajah yang sangat
dicintainya itu dengan mesra.
“Kau
menyesal Sayang sudah menyerahkannya kepadaku?” Bisik Jalal. Jodha menggeleng
dan tersenyum manis.
“Aku tidak
menyesal, Jalal. Aku bahkan bahagia menyerahkan apa yang paling berharga kepada
orang yang aku cintai. Kuharap kau tidak akan menyia-nyiakan segala yang sudah
aku lakukan dan aku berikan untukmu." Jalal tersenyum, kemudian memindahkan
tubuhnya kesamping Jodha dan menaruh kepala Jodha di lengannya. Tangan satunya
ditempelkan di pipi Jodha.
“Malam ini
aku sangat bahagia akhirnya aku bisa memilikimu seutuhnya, Sayang. Aku janji
tidak akan menyia-nyiakanmu. Kau adalah milikku yang paling berharga. Aku tidak
akan melepaskanmu walau apapun yang terjadi, kau hanya milikku, Jodha."
“Terima
kasih Jalal, kata-katamu menyejukkan hatiku. Aku ingin selamanya bersamamu
seperti ini." Keduanya berpelukan dalam kehangatan.
“Oh ya, Jo.
seminggu lagi kita akan balik ke Jakarta. Tidak terasa ya., tadi Pak Syarif
bilang tidak usah harus menunggu sampai seminggu kalau ingin kembali ke Jakarta.
Besok juga bisa, Beliau mengijinkan." Mendengar itu Jodha membalikkan tubuhnya
membelakangi Jalal, namun kepalanya masih tetap diatas lengan Jalal. Jalal
memeluknya dari belakang. “Kenapa kau diam, Sayang? bukankah menyenangkan bisa
kembali lagi kerumah. Hm?” Tanya Jalal. Jodha menatap lurus kedepan dengan
pandangan setengah menerawang.
“Itu artinya
kita tidak bisa seperti ini lagi kan?” Jalal tersenyum. Dia mengerti kegalauan
hati Jodha.
“Siapa
bilang ? kita akan selalu bersama bahkan lebih dari disini."
“Tapi kan
kamu tahu bagaimana sikap Ibuku, dia sangat menentang hubungan kita. Aku tidak
mau nanti dia akan memaksa kita berpisah."
“Tidak akan,
Sayang. Ini tugas kita berdua untuk meyakinkan Ibumu. Aku yakin kekuatan cinta kita akan
membuka matanya untuk merestui hubungan ini. Dan nanti setibanya di Jakarta selain
meneruskan kuliahku sampai akhir aku juga akan belajar untuk meneruskan bisnis
Ayahku. Karena sekarang aku sudah mempunyai keluarga sendiri dan tentu saja
suatu saat Ayahku akan segera menyerahkan tanggungjawab itu kepadaku. Inilah
saatnya aku harus memulai semuanya. Kuharap kau juga seperti itu, Sayang. Kita
harus buktikan kepada Ibumu kalau kita berdua mampu mandiri."
“Itu artinya
Kau tidak punya banyak waktu untukku, Jalal?” Ucap Jodha setengah merajuk.
“Kalau begitu lebih enak disini saja." Jalal tersenyum mencium tengkuk Jodha,
membuat gadis itu menggelinjang geli.
“Suatu saat
kalau kau mau kita bisa kembali kesini, kita bisa liburan lagi. Apalagi
keluarga Pak Syarif sudah seperti keluarga sendiri." Jodha mendesah panjang.
“Hm, baiklah,
tapi kau harus berjanji untuk memperjuangkan cinta kita dihadapan Ibuku." Pinta
Jodha
“Tentu
Sayang, tanpa kau memintapun akan aku lakukan apapun caranya." Jodha tersenyum.
Perlahan dia memejamkan matanya dan tidur dalam pelukan Jalal. Terasa damai
tidurnya kali ini karena ini pertama kalinya dia tidur dalam pelukan suami
tercintanya.
Keesokan
harinya Jodha bangun, perlahan dibukanya matanya. Dirasakannya sebuah tangan memeluk
tubuhnya, dan kepalanya masih berbantalkan lengan Jalal. Sesaat dikumpulkannya
ingatan kejadian tadi malam. Dia tersenyum malu bila ingat ide gilanya sewaktu
di rumah Pak Syarif yang membuat dia dan Jalal lepas kontrol, namun akhirnya
mereka menikmati juga.
Secara
perlahan tangan Jalal yang memeluk tubuhnya digeser, kemudian bangkit dan
bermaksud menutup tubuhnya yang polos ketika tangan Jalal kembali memeluknya.
Alhasil tubuhnya kembali terbaring, ternyata Jalal sudah bangun namun dia tidak
bergerak.
“Kau mau
kemana sayang?” Tanya Jalal dengan mata masih tertutup.
“Aku mau
mandi Jalal, biarkan aku membersihkan diri dulu." Kata Jodha berusaha
menyingkirkan kembali tangan Jalal dari tubuhnya. Namun pelukan Jalal semakin
erat. Akhirnya diapun pasrah dan membiarkan Jalal memeluk dirinya.
“Nanti saja,
sayang. Biarkan aku memelukmu seperti ini dulu."
“Apa tanganmu
tidak pegal sayang dari tadi malam tanganmu menyangga kepalaku terus?”
“Ini bukan
apa-apa sayang, lebih dari inipun aku rela." Jodha membalikkan badannya
menghadap ke Jalal. Tanpa sengaja dadanya yang polos menyentuh dada Jalal
membuat darahnya kembali berdesir. Jalal membuka matanya tersenyum melihat
Jodha yang tampak malu-malu. Wajahnya tampak lucu. Diciumnya kening Jodha, dan
tersenyum.
“Ayolah
Sayang, biarkan aku mandi dulu ya?” pinta Jodha, takut keseret lagi dalam
hasratnya.
“Apa kau
tidak ingin mengulanginya lagi sayang?” goda Jalal. Jodha semakin malu.
“Hm...aku...aku....”
tanpa diduga oleh Jalal, Jodha menggulingkan tubuhnya menjauhi Jalal dan
langsung bangkit mengambil pakaiannya langsung keluar menuju kamar mandi. Jalal
yang tidak sempat menangkap tubuh Jodha hanya tertawa geli melihat Jodha yang
keluar kamar dengan keadaan polos. Dia tersenyum bahagia membayangkan kejadian
tadi malam, dia tidak menduga akan seberani itu dan ternyata Jodha tidak
menolaknya.
Jodha yang
sudah selesai mandi namun masih menggunakan handuk yang menutupi tubuhnya
sebatas dada dan dengan rambut yang
masih terbungkus handuk memasuki kamar ketika dilihatnya Jalal masih berbaring dengan
kedua tangannya menyangga kepalanya dengan mata tertutup serta selimut yang
menutupi tubuhnya sebatas dada. Entah kenapa Jodha menjadi sangat malu
melihatnya, wajah merona merah. Pelan-pelan dia mendekati Jalal bermaksud untuk
membangunkannya.
“Jalal, ayo
bangun. Mandi dulu sana.” kata Jodha menepuk lembut pipi Jalal. Jalal membuka
matanya. Dilihatnya tubuh Jodha hanya terbungkus handuk sedang menatapnya
malu-malu. Jalal bangkit dengan senyum menyeringai melihat Jodha berpakaian
seperti itu. Otomatis selimut yang ada diatas tubuhnya melorot kebawah, memperlihatkan
tubuh polosnya. Jodha langsung histeris menutup matanya.
“Jalal, apa
yang lakukan ? cepat pakai pakaianmu? apa kau tidak malu?” kata Jodha masih
menutup matanya.
“Kenapa
Jodha ? kenapa harus ditutup matamu? Bukankah kau sudah melihatku begini tadi
malam?” Kata Jalal tertawa sambil mengambil handuknya dan melilitnya dipinggangnya.
Kemudian melangkah keluar. Jodha mendengar langkah Jalal keluar akhirnya
menurunkan tangannya dan membuka matanya. Akhirnya dia bisa bernafas dengan
lega.
~~~0000~~~
Dua hari
kemudian Jalal dan Jodha bersiap-siap karena keesokan harinya mereka akan
kembali ke Jakarta. Pak Syarif yang akan mengantar mereka sampai ke kota
terdekat setelah itu melanjutkan perjalanan mereka ke Jakarta.
Sengaja
Jalal mengajak Jodha pulang lebih awal karena dia akan membawa isterinya
menginap dirumahnya sekaligus ingin mengajak Jodha jalan-jalan terlebih dahulu
setelah sekian lama terkurung jauh dari keramaian kota.
Keesokan
harinya mereka pun pamit dengan Bu Javeda, Atifa, Maya serta penduduk desa yang
selama ini begitu baik kepada mereka. Entah kapan mereka akan bisa melihat lagi
semua yang ada disitu. Sejenak Jodha dan Jalal melihat sekeliling dan merekam
dalam memori mereka untuk kenangan yang tidak akan terlupakan dimana ditempat
inilah awal cinta dan hati mereka bersatu.
Akhirnya
mereka melambaikan tangan kepada warga desa yang melepasnya dan melangkah
dengan bergandengan tangan mengikuti langkah Pak Syarif yang sudah berjalan
terlebih dahulu sebagai penunjuk jalan.
tbc
Tidak ada komentar:
Posting Komentar