Jalal
mendesah pasrah menerima hukumannya. Ini sangat mustahil. Bagaimana mungkin
seorang majikan bisa dihukum oleh pembantunya sendiri. Sepertinya hukum
sekarang terbalik ya, tajam keatas namun tumpul kebawah. Bukan seperti biasa
tajam kebawah namun tumpul keatas. Atau aturan hukum itu hanya berlaku untuknya
sendiri saja? Atau ini hanya mimpi? Kalau benar mimpi siapapun tolong bangunkan
dia sekarang juga, apa kata dunia orang ganteng dan kaya dihukum oleh orang
yang tidak punya kekuasaan apa-apa. Please
help me!.
“Tuan. Ayo,
kenapa bengong aja?” tanya Jodha ketika melihat Tuan Mudanya sedang menatap
dengan kosong objek yang akan menjadi hukumannya, “ini sudah saya siapkan
semuanya. Tuan tinggal mengerjakan saja.”
Jalal
kembali mendesah, kemudian menoleh ke arah Jodha dan menghampirinya. Di
pegangnya tangan Jodha membuat gadis itu mengerutkan keningnya karena heran.
“Nem, please aku minta maaf ya. Jangan suruh
aku mengerjakan ini. Aku kan belum pernah mengerjakannya, masa orang ganteng
dan kaya seperti aku harus capek-capek nyuci mobil sih? Ayolah Nem. Aku janji
nggak akan kurang ajar lagi deh sama kamu. Mau ya...ya...” rayu Jalal. Dia
memasang senyum yang paling manis yang dia bisa agar Jodha mengurungkan niatnya
untuk menyuruhnya mencuci mobil. Biarlah harga dirinya sekarang di pertaruhkan.
Namun,
sepertinya Jodha tidak bergeming. Dia menggeleng, “tidak bisa Tuan. Bagaimana
pun hukuman harus tetap dilaksanakan. Lagian hukumannya nggak berat kok. Cuma
nyuci mobil aja. Saya nggak nyuruh Tuan bersihin rumah, nyapu taman, belanja
kepasar atau yang paling ekstrim nyuci pakaian orang satu rumah. Tuan pilih
mana?” wajah Jalal ditekuk, dia masih tidak menyerah untuk merayu Jodha.
“Ya nggak
mau semuanya lah Nem. Apa gunanya kaya kalau semuanya aku kerjain sendiri?
nanti kamu aku traktir deh selama sebulan. Kamu ingin apa aku belikan ya?” Jodha
sudah ingin tertawa mendengar semua rayuan Jalal. Astaga, ini tuan mudanya
manjanya sudah kelewatan. Emangnya selama ini dia ngapain aja. Masa tidak ada
yang dikerjakannya sama sekali selain mabuk? Ckckckck....
“Maaf Tuan,
sekali lagi TIDAK BISA.” Ucap Jodha menegaskan. Tangannya mengambil spon dari
tempatnya, mengisi air di ember dan mencampurkannya sedikit dengan sabun.
Setelah itu diletakkannya dihadapan tuan mudanya yang berdiri masih dengan
wajah ditekuk entah berapa tekukan, “semuanya sudah saya siapkan, jadi tinggal
Tuan melaksanakan saja.”
“Tidak mau!
Itukan pekerjaanmu bukan pekerjaanku. Pokoknya tidak mau.” Jalal masih saja
tidak mau. Jodha tersenyum miring.
“Ya sudah
kalau begitu, aku tinggal manggil Ib......hhffppp....” belum selesai Jodha
bicara mulutnya sudah dibekap oleh tuan mudanya.
“Iya! Iya!
Akan aku kerjakan. Gitu aja ngadu. Dasar Inem!” sungut Jalal melepaskan bekapan
tangannya.
“Naaah, gitu
dong Tuan.” Ucap sambil Jodha tersenyum geli.
Akhirnya
dengan perasaan dongkol Jalal pun mengambil selang dan membuka keran kemudian menyemprotkan air ke mobil yang akan
dicucinya itu, setelah itu dia mengambil spon yang di berikan oleh Jodha tadi
dan mencelupkan di ember berisi air sabun. Perlahan diusapkannya spon tersebut
di kaca depan mobil. Sementara Jodha hanya memperhatikannya dengan berdiri agak
jauh, masih dengan senyuman di bibirnya. Ingin sekali dia tertawa melihat tuan
mudanya mencuci mobil dengan terpaksa.
“Eh, Tuan
sebentar.” Panggil Jodha. Jalal berhenti mengusapkan spon dan menoleh.
“Apa???”
sahutnya dengan ketus.
Jodha
mendekat, tangannya terulur ke arah wajah Jalal.
“Kalau lagi
kerja itu bibirnya harus tersenyum Tuan. Tidak boleh cemberut gitu nanti hasil
kerjanya tidak memuaskan.” Kata Jodha. Kedua pasang jempol dan telunjuknya
menarik ke atas sudut bibir Jalal sehingga membentuk sebuah senyuman, “nah,
kalau begini kan cakep. Hasilnya kerjaannya juga pasti secakep wajahnya yang
lagi tersenyum.” Ucap Jodha seraya mundur kembali. Tiba-tiba saja Jalal
tersenyum menyeringai.
“Jadi kamu
mengakui kalau aku cakep?” tanya Jalal menyorongkan tubuhnya ke arah Jodha dan
menaik turunkan kedua alisnya.
Karuan saja membuat
Jodha menjadi gelagapan mendengar ucapan Jalal. Sekejap wajahnya terasa hangat.
Dia tidak menyangka ucapannya menjadi senjata makan tuan.
“Bu...bukan
itu maksud saya Tuan.” Ucap Jodha mengalihkan rasa malunya. Jalal tersenyum
mengejek.
“Terus apa?
Dan kenapa wajahmu memerah begitu?” dengan cepat Jodha mendorong wajah Jalal
yang dekat dengan wajahnya sehingga lelaki itu kembali berdiri dengan tegak.
“Maksudnya
kalau kita selalu tersenyum sambil bekerja hati terasa ringan tidak terpaksa
melakukan pekerjaan. i..iya begitu.” Kata Jodha dengan sedikit gugup.
Kembali
Jalal menaikkan sebelah alisnya.
“Yakin?”
“Iyalah...”
Jalal mencibir, “sudah sana, terusin kerjaannya. Ntar nggak kelar-kelar.” Ucap
Jodha membalikkan tubuh Jalal dan mendorongnya. Jalal terkekeh. Meski hati
masih dongkol namun melihat wajah Jodha memerah membuat hatinya sedikit senang
dan terhibur.
Tetapi,
ketika mengerjakan tugasnya kembali wajahnya cemberut. Sepertinya pekerjaannya
masih lama baru selesai. Setelah menghela nafas sebentar dia melanjutkan lagi
pekerjaannya menyabuni mobil sedikit demi sedikit. Namun lagi-lagi Jodha
memanggilnya.
“Tuan..”
Jalal
menggeram kesal, tangannya mengepal. Kalau begini terus kapan kerjaannya akan
selesai.
“Apalagi
sih? Kalau manggil terus kapan kerjaanku akan selesai, Inem?” bentaknya. Jodha
tertawa geli.
“Tuan
kerjanya sambil bernyanyi ya, biar nggak kerasa cepat selesai.” Jalal
mendengus.
“Nggak mau!”
“Ayolah
Tuan, ini bagian dari hukuman.”
“Eh, Inem.
Kamu itu ingin menyuruh nyuci mobil apa mau dinyanyiin sih?”
“Ya memang
mau nyuruh Tuan nyuci mobil, tapi sambil bernyanyi juga.”
“Lama-lama
kamu jadi melunjak ya, awas aja kalau ini selesai akan ku balas kamu.” Ancam
Jalal dengan geram, lama-lama emosi juga dia. Jodha menggidik ngeri.
“Terserah
Tuan deh apapun akan saya terima, lagian Tuan kan majikanku, saya mah apa
atuh?” ucap Jodha pelan sambil mengusap dada dan pura-pura tersenyum sedih.
Melihat
senyum sedih Jodha membuat hati Jalal tidak tega juga. Ya, kata-katanya memang
kasar dan selalu menyakiti hati gadis itu.
“Ya sudah,
kamu mau aku nyanyi apa?’ tanyanya dengan nada melembut.
Sekejap
wajah Jodha menjadi cerah kembali, secerah langit sehabis diguyur hujan membuat
Jalal kembali mendecak kesal karna merasa tertipu. Itu gadis pintar banget aktingnya.
“Apa sajalah
Tuan, yang penting bukan lagu galau ya. Masa iya sambil kerja nyanyiannya lagu
sedih? Ya ada bukan nambah semangat tetapi malah bikin males.”
“Oke. Ada
lagi?”
Jodha
berkacak pinggang dengan sebelah tangannya, sedangkan sebelah tangannya mengetuk-ngetuk
dagunya dengan jari telunjuknya.
“Hm...ntar
nyanyinya agak keras ya, jangan cuma bisik-bisik. Biar yang dengar ikut
ketularan semangat.”
“Oke. Ada
lagi?”
Jodha
terkekeh sambil menggeleng.
“Sudah. Itu
saja.”
“Benar?”
“Iyaaaa
Tuan.”
“Awas nanti
panggil-panggil lagi.” Jodha mengangguk.
Jalal
akhirnya kembali melanjutkan pekerjaannya. Kali ini sambil bernyanyi.
Aku sayang
padamu
Aku cinta
padamu
Semua kan ku
lakukan
Demi
kebahagiaanmu
Demi
kebahagiaanmu
Demi
kebahagiaanmu
Jodha
terkikik geli mendengar tuan mudanya bernyanyi keras-keras. Tidak. Lebih
tepatnya teriak-teriak. Belum lagi kalimat “Demi kebahagiaanmu” yang di nyanyikan berulang-ulang sambil
meliriknya sadis seperti menyindir, seolah Jodha bahagia bisa menyiksa tuan
mudanya dan mungkin sekalian untuk melampiaskan rasa kesalnya kepada Jodha.
Tangannya bergerak cepat menyabuni bagian-bagian mobil. Jodha menutup mulutnya
agar ketawanya tidak terdengar, ntar yang ada tuan mudanya malah bertambah
marah.
Tak perlu
kau keluhkan
Walau rintangan
menghadang
Panas hujan
begini makanan sehari-hari
Kurela pergi
pagi pulang pagi
Hanya untuk
mengais rejeki
Doakan saja
aku pergi semoga pulang dompetku terisi
Kamu tak
perlu resah
Aku sedang
berusaha
Untuk
kebahagiaan kamu yang aku sayangi
Sayup-sayup
suara Jalal didengar oleh Mang Diman dan Bi Ijah dibelakang. Mereka berdua
mengintip dengan mulut menganga tidak percaya melihat majikannya yang sedang
mencuci mobil dan tidak jauh dari tempat itu berdiri Jodha dengan telapak
tangannya menutup mulutnya menahan ketawa. Keduanya saling pandang, sejurus
kemudian mereka berdua ikut terkikik geli. Apalagi melihat tuan mudanya nampak
frustasi.
Yah tentu
saja frustasi. Gimana enggak, sejak dari orok sampai dewasa tuan mudanya tidak
pernah mengerjakan pekerjaan apapun dirumahnya. Apalagi yang namanya mencuci
mobil. Semua pekerjaan dilakukan oleh Bi Ijah dan Mang Diman, dan tuan mudanya
itu hanya tinggal menyuruh dan menikmati saja.
“Itu benar
Tuan Muda, Mang? Nggak salah?” tanya Bi Ijah menggeleng-geleng tidak percaya.
“Iya Bi. Itu
benar Tuan Muda. Tapi kok bisa ya?”
“Bibi juga
tidak percaya Mang. Mimpi apa kita semalam ya melihat Tuan Muda nyuci mobil,
dan....dan...yang tidak bisa dipercaya itu Jodha kenapa hanya berdiri sambil
tertawa? Kenapa tidak membantu? Gimana nanti kalau Nyonya dan Tuan Besar
melihat?”
Mang Diman
diam sejenak sambil berpikir.
“Mamang kira
Nyonya sudah tahu Bi, tidak mungkin Tuan Muda begitu mudahnya mengerjakan
pekerjaan itu dengan sukarela. Bibi kan tahu sendiri Tuan Muda mana pernah mengerjakan
pekerjaan seperti itu. Iya, pasti Nyonya sudah tahu Bi dan pasti Nyonya juga
yang nyuruh.”
Bi Ijah
nampak manggut-manggut.
“Benar juga
ya Mang. Tapi melihat Tuan Muda begitu sepertinya lucu sekali.
Hihihi...”kembali Bi Ijah terkikik geli diikuti oleh Mang Diman.
Tidak
berbeda dari Bi Ijah dan Mang Diman, Bu Hamidah pun melihat dari balik kaca
jendela kamarnya. Dia menggelengkan kepalanya dan tersenyum geli melihat dua
anak manusia yang berada di bawah sana. Pemandangan yang kontras karena yang
satu sedang menahan ketawa sedangkan yang satunya bernyanyi-nyanyi sambil
berteriak seperti orang stres.
“Kenapa
tiba-tiba Jalal mau mencuci mobil mama?” tanya Pak Humayun tiba-tiba datang
tanpa di sadari oleh istrinya. Bu Hamidah menoleh.
“Loh, Papa
sudah pulang ya? Kok Mama nggak dengar?” Bu Hamidah balik nanya.
“Papa sudah
datang dari tadi Ma, dari depan dengar Jalal teriak-teriak begitu. Memangnya
ada apa dengannya?” tanya Pak Humayun meletakkan tasnya di atas meja. Bu
Hamidah tersenyum.
“Sepertinya
anakmu sudah mulai berubah Pa.” Jawab Bu Hamidah masih berdiri di dekat jendela
memperhatikan Jodha dan Jalal.
“Maksud
Mama?” tanya Pak Humayun sambil melepaskan jas dan dasinya, namun dia ikut
melongok ke bawah memperhatikan mereka
berdua. Bu Hamidah menatap suami dengan heran.
“Emang Papa
nggak nyadar ya beberapa hari ini Jalal terlihat manis sekali. Dia pulang
cepat, biasanya kan dia paling cepat pulang jam 10 malam. Sudah gitu dia bangun
pagi-pagi Pa. Sepertinya bukan Jalal banget deh.” Pak Humayun nampak berpikir.
Kemudian mengangguk-angguk.
“Iya benar
juga ya Ma. Biasanya dalam seminggu belum tentu sekali dua kali Papa bertemu
dengannya, sekarang sudah dua hari ini malah kita bisa makan bareng.”
“Nah itu dia
Pa. Kedatangan Jodha bisa membuat anakmu berubah lebih baik tanpa dia sadari.” Ucap
Bu Hamidah tersenyum melihat Jalal yang terdiam ketika Jodha memasang earphone ditelinganya. Entah Jodha
mengatakan apa yang pasti dia melihat Jalal tersenyum dan mulutnya komat-kamit
sambil meneruskan pekerjaannya, mungkin dia sedang mengikuti lirik lagu yang di
dengarnya.
“Iya Papa
merasa begitu. Papa merasa dia anak yang baik, polos, rajin dan dia bisa
menempatkan diri dalam keluarga ini.” sahut Pak Humayun sambil duduk di pinggir
tempat tidur. Bu Hamidah pun melangkah mendekati suaminya dan duduk
disampingnya.
“Papa benar.
Walaupun Jalal selalu berbicara kasar dengannya, namun Jodha tidak merasa takut
sedikit pun. Dia tidak rendah diri dengan keadaannya, bahkan dia tidak terlihat
tertarik sama sekali dengan anak kita. Sepertinya pesona Jalal luntur di
hadapan Jodha.”
Pak Humayun
terkekeh geli.
“Iya Ma,
akhirnya ada juga yang bisa melawan Jalal.”
“Papa tahu
nggak, tadi itu anakmu habis di tampar sama Jodha Pa.” Kata Bu Hamidah kembali
terkikik mengingat kejadian ketika dia memarahi Jalal, padahal dia hanya
berpura-pura marah agar anaknya terbiasa bertanggungjawab atas kesalahannya.
Pak Humayun
terkejut.
“Masa Ma?”
tanya Pak Humayun tidak percaya. Bu Hamidah mengangguk, “wah, kalau begitu kita
harus memberikan hadiah nih buat Jodha yang bisa membuat Jalal berubah.”
“Iya Pa,
harus itu.”
Mereka
berdua tertawa geli dan tersenyum senang.
Sementara
Jalal yang sudah menyelesaikan tugasnya menghembuskan nafas lega.
“Selesai
juga akhirnya. Capek banget.” Gumamnya sambil meluruskan pinggangnya. Tubuhnya
terasa letih sekali, dia menoleh ke tempat Jodha tadi berdiri namun yang dicari
tidak ada. Sambil mendecak kesal akhirnya dia melemparkan lap yang di pegangnya
sambil berlalu dan meninggalkan peralatan cucinya begitu saja, “biar Inem saja
yang membereskannya.” Kembali dia bergumam.
Akhirnya
Jalal pun berjalan menuju gazebo di
belakang rumah, tempat yang nyaman untuk beristirahat dan mengeringkan keringat
sehabis mencuci mobil tadi. Sesampainya di gazebo dia langsung membaringkan
tubuhnya begitu saja. Memejamkan matanya sambil mendengarkan lagu dari earphone milik Jodha. Ternyata lagu
koleksinya enak-enak buat di dengar. Pantesan Inemnya suka sekali menempelkan earphone itu di telinganya setiap hari.
Mau ngerjain apa saja earphonenya
tidak ketinggalan. Tanpa sadar bibirnya tersenyum, entah apa yang membuatnya
tersenyum. Ada rasa yang menyuruhnya untuk tersenyum mengingat kejadian yang
baru saja terjadi.
Tiba-tiba
Jalal merasa tangannya di pegang, refleks matanya terbuka. Terlihat Jodha datang
dengan membawakan sepiring risoles sayuran seperti kemarin dan segelas besar
minuman es lemon tea. Jalal pun melepaskan earphonenya
dan bangkit duduk bersandar di tiang gazebo.
“Saya tau
Tuan capek. Ini saya bawakan minuman dan camilan juga buat Tuan.” Kata Jodha
tersenyum ramah. Namun Jalal masih memasang wajah jutek.
“Kamu kemana
aja tadi? Enak banget meninggalkan aku sendirian kerja.” Jodha terkekeh. Dia
duduk di pinggir gazebo berhadapan dengan tuan mudanya.
“Saya nggak
kemana-mana kok Tuan, cuma bikinkan ini saja untuk Tuan.” Tunjuk Jodha ke arah
makanan dan minuman yang dibawanya. “Terima kasih ya sudah membantu pekerjaan
saya untuk besok pagi.” Jalal mendengus.
“Kesempatan.”
Desisnya. Jodha tersenyum.
“Ya, mumpung
ada kesempatan Tuan. Kapan lagi Tuan mau membantu pekerjaan saya kalau nggak
dipaksa seperti ini.” Jalal melotot.
“Kamu....!”
ah, sepertinya Jalal terlalu capek untuk berdebat lagi. Jodha tersenyum maklum.
“Saya sudah bikinkan
minuman untuk Tuan dan juga kue untuk mengganjal perut sebelum makan malam. Ayo
coba aja Tuan, buatan saya loh.” kata Jodha menyodorkan piring kue dan gelas
minuman ke arah Jalal.
Dengan
segera Jalal mengambil gelas minuman tersebut dan meminumnya hingga setengah,
setelah itu mencomot kue dari piring dan memakannya dengan cepat. Jodha hanya
bisa menggeleng melihatnya.
“Pelan-pelan
saja Tuan makannya. Nanti kesedak lo.” Kata Jodha memperingati tuan mudanya
yang makan dengan tergesa-gesa.
“Hm..” Jalal
tidak sempat menyahut, hanya bergumam saja.
“Tuan doyan
apa laper?”
“Laper.
Kenapa?”
“Pantes aja,
emang berapa hari tidak makan Tuan? Kok kayaknya semangat banget.” Jalal
melirik jengkel kearah Jodha yang menatapnya dengan tersenyum geli.
“Gara-gara
kamu bikin aku laper, Nem.” Ucapnya dengan mulut masih penuh dengan makanan.
“Tapi suka
kan sama kuenya?”
Jalal makan
sambil mengangguk-angguk, “boleh juga. Emangnya kamu bisa bikin apa saja, Nem?”
“Banyak juga
Tuan, soalnya kalau memasak itu memang sudah menjadi hobi saya.”
“Kalau
mencuci pakaian kamu juga bisa?” tanya Jalal menghabiskan kue terakhir dipiring
dan ditutup dengan meminum es lemon tea yang tadi di bikin Jodha sampai habis.
“Ya jelas
bisalah Tuan. Kalau cuma mencuci pakaian mah kecil. Beres-beres rumah juga saya
suka.” Jawab Jodha dengan bangga.
“Wah, kamu
memang berbakat ya.” Puji Jalal sambil tersenyum.
Jodha
mengerutkan keningnya. Tumben nih anak muji? Apa itu efek dari kecapekan akibat
dari nyuci mobil tadi? Pikirnya.
“Maksud
Tuan?” Jalal mesam-mesem.
“Kamu emang
berbakat dan pantas jadi pembantu, Inem. Hahahaha....” Jalal tergelak. Jodha
yang mengerucutkan mulutnya mendengar ucapan tuan mudanya yang tanpa perasaan
itu.
“Ck. Sudah
saya duga, tidak mungkin Tuan dengan tulus ikhlas memuji saya.” Jalal terkekeh.
“Lagian
kenapa juga aku harus mengerjakan semua itu. Untuk apa juga kekayaan Papa tuh?
Yang nggak akan habis dimakan oleh tujuh turunan.” Jodha mencibir mendengar
ucapan tuan mudanya, “sedangkan aku masih keturunan pertama dari papa, masih
ada enam keturunan lagi loh Nem untuk bisa menghabiskan kekayaan papa itu,
belum lagi universitas milik mama yang makin hari makin maju. Jadi untuk apa
repot-repot mengerjakan semua sendiri.” Jodha menggelengkan kepala mendengar
kesombongan tuan mudanya itu.
“Iya saya
tahu kekayaan papanya Tuan tidak habis tujuh turunan, tetapi bukan berarti Tuan
hanya diam dan berpangku tangan menikmati saja. Sebanyak apapun harta tetap
saja akan habis kalau tidak dijaga Tuan.”
“Setidaknya
untuk saat ini aku sedang menikmatinya Nem. Kapan lagi coba?” ucapnya tidak mau
kalah.
Jodha
menghela nafas kembali.
“Terserahlah.”
Jalal
terkekeh. Kembali dia membaringkan tubuhnya setelah kekenyangan. Dia memejamkan
matanya dan mengganjal kepalanya dengan kedua tangannya. Salah satu kakinya
ditekuk dan di tumpang oleh kaki lainnya.
“Tuan...”
panggil Jodha.
“Hm...”
Jalal masih
memejamkan matanya.
“Saya minta
maaf ya.”
“Untuk?”
Jodha
menghela nafas panjang.
“Untuk yang
tadi.”
“Hm..”
“Tuan marah
ya sama saya?”
“Tuh tau.”
“Sekali lagi
maaf ya Tuan, bukan masalah Tuan sanggup traktir saya atau tidak. Tapi ini
masalah prinsip. Seharusnya Tuan sebagai laki-laki harus bersikap gentleman menerima segala konsekuensi
akibat kesalahan Tuan sendiri. Akuilah kalau memang Tuan salah. Itu bukan untuk
mempermalukan harga diri Tuan tetapi malah menunjukkan kalau Tuan adalah seorang laki-laki yang bertanggung jawab dan
pantas untuk dihormati. Saya tahu Tuan pasti sanggup membelikan apa saja yang
saya inginkan, tetapi saya hanya ingin Tuan tahu sedikit saja rasanya menjadi
orang dibawah agar Tuan bisa bersyukur dengan keadaan Tuan saat ini dan tidak
memandang rendah orang lain. Saya juga tahu kalau saya hanyalah seorang
pembantu yang tidak ada artinya dimata Tuan, sama halnya seperti Mang Diman dan
Bi Ijah.” Kata Jodha sambil tersenyum.
Jalal masih
terdiam mendengar ucapan Jodha, hatinya tersentuh. Dalam hati dia mengakui
perkataan Jodha. Dia merasa memang keterlaluan, mungkin selama ini dia merasa
tidak ada yang menegur dan melawannya sehingga dia tidak sadar kalau selama ini
dia banyak menyakiti orang lain lewat perkataan dan tingkah lakunya.
Jodha diam
dan menatap wajah tuan mudanya yang masih terpejam. Namun Jalal pun masih belum
bersuara dan diam. suasana pun ikut menjadi hening. Masing-masing berkutat
dengan pikirannya sendiri. Jodha menghela nafas panjang.
“Ya sudah,
kalau begitu saya pamit permisi dulu Tuan. Maaf, bukan maksud saya ingin
menggurui Tuan. Sama sekali tidak ada niat dalam hati saya.” Ucap Jodha berdiri
sambil membereskan piring dan gelas bekas tuan mudanya. Dia berbalik
meninggalkan Jalal yang masih terbaring di gazebo. Namun, langkahnya terhenti
ketika mendengar suara memanggilnya.
“Nem..!”
Jodha
kembali berbalik menghadap Jalal.
“Ya Tuan.”
Jalal membuka
matanya dan bangkit untuk duduk, tangannya merogoh saku celananya untuk
mengambil i-pod dan juga earphone milik Jodha.
“Ini. Aku
kembalikan. Makasih.”
Jodha
mengangguk dan tersenyum tulus. Tangannya menjulur mengambil barang miliknya
itu.
“Sama-sama
Tuan. Saya permisi dulu.” Jalal mengangguk.
Akhirnya
Jodha pun berlalu meninggalkan tuan mudanya yang kembali membaringkan tubuhnya
dengan posisi seperti tadi namun matanya tidak terpejam. Untuk kesekian kalinya
dia tersenyum mengingat kejadian hari ini. Hatinya sedikit terketuk dengan
ucapan Jodha. Bukannya malas, hanya saja selama ini semua yang dilakukannya terlalu
mudah untuk dikerjakan. Sama sekali tidak ada tantangannya. Semua orang yang
mengenalnya pasti dengan sukarela untuk melakukan apapun segala keinginannya.
Satu lagi, jika uang sudah berkuasa apapun bisa dilakukan dengan mudah.
Tetapi kali
ini dia merasa kalah. Uang, kekayaan dan kekuasaannya bahkan wajah tampannya tidak
berlaku kepada gadis itu yang notabene
hanyalah seorang supir pribadi mamanya. Meskipun dia hanyalah seorang supir dan
bekerja untuk keluarganya tapi sepertinya gadis itu begitu menikmati
pekerjaannya. Dia tidak mengeluh sama sekali, dan seringkali dia melihat gadis
itu bersenandung sambil bekerja. Sedangkan dia, bisa bersenandung ceria hanya
kalau sedang mabuk. Ckckck....
“Kok
senyum-senyum sih sayang?” Jalal kaget melihat mamanya sudah berada di dekatnya
dan duduk disampingnya dengan tersenyum, “lagi senang ya? Hukumannya mau
ditambah lagi?” tanya mamanya dengan setengah mengejek. Jalal mendecak kesal.
“Nggak mau
Ma. Capek.” Bu Hamidah terkekeh.
“Capek kok
senyum-senyum sih?”
Jalal diam
saja. Dia memindahkan kepalanya di pangkuan mamanya. Bu Hamidah mengelus rambut
putranya dengan kasih sayang. Bagaimanapun keadaan anaknya kasih sayangnya
tidak akan pernah hilang.
“Ma...”
“Hm...”
“Mama tahu
nggak kenapa akhir-akhir ini aku senang dirumah.”
Bu Hamidah
mengerutkan keningnya, di tatapnya wajah Jalal yang terpejam menikmati elusan
tangan mamanya di kepalanya.
“Untuk
mengerjai Jodha kan?” tebak Bu Hamidah. Jalal terkekeh.
“Mama tau
aja.” Jawabnya enteng
Karuan saja
dahinya di sentil oleh oleh mamanya.
“Kamu tuh
ya, sampai kapan mau menjahili Jodha. Kasihan dia terus-terusan kamu ganggu.”
Jalal terbahak.
“Rasanya
menyenangkan Ma, melihat wajahnya cemberut dan kesal.” Ujar Jalal dengan mata
yang masih terpejam. Bu Hamidah tersenyum.
“Kamu suka
sama dia ya sayang?” godanya. Wajah Jalal seketika memerah dan membuka matanya.
Bu Hamidah tertawa.
“Nggak.
Siapa juga yang suka dengannya. Mama jangan asal tuduh ya.” Bu Hamidah
mengangkat sebelah alisnya.
“Benarkah?
Tapi kenapa wajahmu merah gitu? Hayo ngaku aja sama Mama.” Jalal melengos, malu
ketahuan kalau wajahnya memerah.
“Nggak ya
nggak Ma. Memangnya nggak ada yang lain apa yang bisa dijadikan pacarku.”
“Tapi, Jodha
beda lo sayang. Sangat beda jauh dengan gadis-gadis yang pernah dekat denganmu.
Dia tidak terlihat ingin menarik perhatianmu. Malah sepertinya kamu yang
tertarik sama dia.” Goda Bu Hamidah.
“Sudah ah
Ma.” Ucap Jalal tidak mau memperpanjang perdebatan dengan mamanya, yang pasti
dia akan semakin di goda oleh mamanya, “mungkin aku hanya merasa selama ini tidak
ada yang berani melawanku Ma, tidak ada yang berani membentakku dan menjawabku
dengan kasar. Mereka semua takut padaku. Jadi aku merasa semua itu membosankan,
sedangkan dengan In....eh Jodha.” hampir saja Jalal keceplosan lagi ketika
melihat mamanya melotot, “sedangkan dengan Jodha aku merasa mendapatkan
tantangan untuk menaklukannya. Iya memang dia menuruti segala keinginanku
tetapi sikapnya sangat berlawanan. Aku merasa mempunyai hiburan tersendiri Ma.”
Bu Hamidah tertawa mendengar curhat putranya.
“Ya tapi
jangan keterlaluan sayang. Kasihan dia. Sewaktu mama bertemu dengannya dia
sedang duduk di halte sambil menangis. Mama merasa kasihan dan mama mampir
menghampirinya. Ternyata dia salah satu mahasiswi di universitas milik mama
itu. Ketika Mama tanya kenapa dia tidak pulang, dia menggeleng tidak mau cerita.
Sepertinya dia kabur atau di usir dari rumah, karena dia membawa koper berisi
pakaiannya. Jadilah mama ajak dia tinggal dirumah kita. Awalnya dia tidak mau
kalau cuma-cuma saja, tapi kalau diberi pekerjaan dia mau. Akhirnya ya mama
kasih dia pekerjaan sebagai supir pribadi mama dan Mang Diman biar ngantar Papa
atau ngerawat kebun kita.”
Jalal
terdiam. Hatinya hampir tidak percaya kalau Inemnya yang nampak polos dan ceria
itu ternyata menyimpan cerita yang menyedihkan, walaupun mamanya tidak
memberitahukan cerita apa itu tetapi dia bisa menarik kesimpulan kalau
masalahnya pasti berat. Kalau tidak kenapa harus pergi dari rumah.” Tanpa sadar
Jalal menghela nafas panjang.
“Tetapi mama
suka dengan Jodha karena dia punya prinsip dan keinginan serta cita-cita yang
tinggi yang harus dia gapai dan dia berusaha keras berjuang dengan tangannya
sendiri. Seharusnya gadis seperti dia yang kamu dapatkan, sayang. Karena orang
seperti dia sangat mengerti dan menghargai apa arti perjuangan dan tidak pernah
meremehkan orang lain. Dia mencintai apa yang dia kerjakan sehingga semua
pekerjaan yang dia lakukan tidak terasa berat, dan bisa kamu lihat dia bekerja
dengan penuh semangat dan tidak pernah mengeluh, selalu tersenyum ceria.” Jalal
mengangguk.
“Iya Ma, aku
merasa kalah dengannya.” Bu Hamidah menggeleng.
“Tidak ada
yang kalah dan menang sayang. Semua tergantung pada diri kita masing-masing.
Tidak ada kata terlambat untuk kita mau belajar. Kamu juga bisa kok, dengan
segala fasiltas yang kamu miliki pasti dengan mudah bisa kamu capai.”
“Akan aku
coba Ma. Makasih ya.” Ucap Jalal bangkit dan mencium pipi mamanya. “aku mau
mandi dulu Ma. Habis keringatan.” Mamanya tersenyum dan mengangguk.
“Ya sudah
sana mandi. Nanti kita makan malam bareng lagi ya.”
“Oke Ma.”
Jawabnya sambil berjalan menjauh dari mamanya dan masuk kerumah.
=============000===========
Malam
harinya terulang kembali mereka makan bareng dengan posisi duduk berhadapan dan
Jodha masih duduk di dekat tuan mudanya. Majikannya sungguh ramah, membuatnya
merasa seperti makan dengan keluarganya sendiri. Namun, ada hal yang berbeda
dengan tuan mudanya. Kali ini dia lebih banyak diam, tidak secerewet biasanya.
Ada apa dengannya.
Sambil makan
Jodha memikirkan orang yang berada disampingnya itu yang sedang asyik makan.
Berulangkali Jodha melirik tuan mudanya dengan ekor matanya. Namun dia tidak
berani bertanya karena masih ada Pak Humayun dan Bu Hamidah.
Tiba-tiba
saja Jodha yang sedang asyik makan dikejutkan dengan tindakan Jalal yang
memindahkan makanan yang tidak disukainya ke piring Jodha sama seperti kemarin.
Jodha tidak protes apa-apa, tetapi kedua majikannya yang menatap Jalal dengan
heran.
“Jalal,
kenapa kamu pindahkan makanan kamu di piring Jodha?” Jalal nyengir.
“Nggak suka,
Pa?”
“Kalau nggak
suka kenapa dipindahkan kepiring orang lain?”
“Kan dia
suka Pa. Dia makan apa aja kok.” Kata Jalal membela diri.
“Tidak
apa-apa Pak, sayang kalau kebuang.” Ucap Jodha tidak enak dengan keadaan serba
salah itu. Bukan ingin membela tuan mudanya sih, tetapi biar keadaan cepat
kembali seperti sebelumnya. Pak Humayun menggeleng.
“Tetapi
tetap tidak sopan, Jalal. Itu bekas kamu. Harusnya kalau kamu tidak suka jangan
diambil. Papa tidak suka melihat kamu seperti itu. Sekarang kamu makan sampai
habis makanan kamu itu. jangan seenaknya membuang makanan. Ambil seperlunya
saja, hargai sedikit makanan. Masih banyak orang yang diluar sana yang tidak
bisa makan.” Ucap Pak Humayun dengan tegas. Jalal menunduk, sementara Bu
Hamidah dan Jodha hanya terdiam.
“Iya Pa.”
Jawab Jalal dengan pasrah. Hatinya sedikit ngeri melihat sayuran brokoli yang
dibencinya itu seolah-olah tertawa mengejeknya.
Jodha
sebenarnya tertawa dalam hati melihat tuan mudanya dimarahi oleh papanya,
tetapi dia merasa kasihan juga ketika harus dipaksa oleh papanya untuk
menghabiskan makanan yang tidak disukainya. Tapi Jodha bisa apa? Hanya bisa
diam dan berharap tuan mudanya baik-baik saja.
Sementara
Jalal berusaha memakan sayur brokoli dan tomat yang sangat tidak dia sukai
dengan ekspresi yang mengenaskan. Matanya merem-melek berusaha untuk menelan
makanan tersebut.
“Sial,
kenapa juga ini makanan selalu hadir tiap hari? Bisa nggak sih Bi Ijah masak
sehari aja yang nggak ada brokolinya. Pahit gini apa enaknya.” Gerutunya dalam
hati sambil menguyah cepat-cepat sambil menahan nafas dan setiap suapan makanan
yang di makannya harus di dorong oleh seteguk air agar cepat tertelan.
Hahahaha....kasihan...
Akhirnya
dengan susah payah termakan juga semua
makanan yang ada di piringnya.
Dia menghembuskan nafas lega. Namun sejurus kemudian dia berlari ke kamarnya
dan masuk ke kamar mandi untuk memuntahkan makanan yang di makan di closet.
Papanya hanya menggelengkan kepala melihatnya.
“Dasar anak
itu. Selalu saja bertingkah kekanakan.” gumamnya menggelengkan kepala sambil
meneruskan makannya. Sementara Bu Hamidah langsung berhenti makan dan berdiri
melangkah ke kamar Jalal. Sebelumnya di menoleh ke arah Jodha yang masih diam
tidak tahu harus berbuat apa.
“Jo, tolong
kamu bikinkan teh manis ya buat Jalal dan antarkan ke kamar. Ibu mau lihat dia
dulu.” Jodha mengangguk.
“Baik Bu.”
Jodha pun segera melaksanakan perintah Bu Hamidah untuk membikinkan secangkir
teh manis dan kemudian dia mengantarkan ke kamar tuan mudanya.
Sesampainya
di kamar Jalal, ragu-ragu dia mengetuk. Setelah terdengar suara yang
menyuruhnya masuk barulah Jodha membuka pintu dan masuk.
Dia melihat
tuan mudanya sedang duduk di pinggir tempat tidur sedang menunduk dia mendongak
dan menoleh ke arah Jodha, wajahnya nampak pucat, sedangkan Bu Hamidah duduk
disampingnya sambil mengelus punggung Jalal. Jodha hampir tertawa melihatnya. Ck.
Benar-benar anak mama.
“Bawa sini
Jo, tehnya.” Jodha memberikan gelas berisi teh manis untuk menetralisir rasa
brokoli yang terasa langu dan sedikit pahit, “ini sayang minum dulu biar rasa
pahitnya hilang.” Kata Bu Hamidah menyodorkan gelas teh kepada anaknya, dan
Jalal pun meminumnya sampai habis, “gimana? Masih terasa pahit?” Jalal
menggeleng tanpa sengaja dia melirik Jodha yang berusaha keras menahan
ketawanya.
“Apa kamu
ketawa? Senang melihat aku tersiksa?” tanya Jalal dengan ketus. Jodha
menggeleng sambil menunduk. Bukan takut, tetapi dia berusaha menahan dan
menyembunyikan rasa gelinya. Bu Hamidah hanya tersenyum melihat mereka berdua.
“Ya sudah
sayang, kamu istirahat saja. Mama sama Jodha keluar dulu ya.” Ucap Bu Hamidah
sambil berdiri.
“Iya Ma.”
Bu Hamidah
pun melangkah keluar dari kamar Jalal diikuti Jodha. Dia masih sempat melirik
tuan mudanya yang masih menatapnya dengan tatapan jengkel. Jodha bersorak dalam
hati. Rasain bisiknya.
==========0000========
Tidak terasa
sudah hampir sebulan Jodha tinggal dan bekerja di rumah Bu Hamidah. Dia sudah
mulai kuliah lagi dan belajar sungguh-sungguh agar targetnya untuk lulus kuliah
tercapai. Namun, penampilannya masih tetap sama ketika keluar dari rumah dan
majikannya pun tidak mempersoalkan masalah itu.
Hanya tuan
mudanya saja yang terkadang iseng mengejek penampilannya. Tidak. Itu bukan
iseng lagi tetapi sudah menjadi tugas rutin dari tuan mudanya. Sepertinya tuan
mudanya itu kalau sehari saja tidak mengejeknya dia pasti akan sakit karena
mulutnya gatal untuk mengeluarkan penyakitnya lewat ucapannya, tetapi semua itu
tidak terlalu dianggap oleh Jodha. Dia sudah mulai terbiasa dengan mulut pedas
dari tuan mudanya.
“Jo, hari
ini Ibu nggak ke kantor. Ibu sama Bapak mau ke luar kota untuk dua hari
kedepan.” Kata Bu Hamidah ketika mereka sedang sarapan bareng. Jodha
mengangguk.
“Iya Bu.”
“Kamu pakai
saja mobil ibu, nggak usah sungkan.” Kata Bu Hamidah lagi.
“Nggak Bu,
biar saya naik angkutan umum saja.” Bu Hamidah menggeleng.
“Jangan Jo,
sekarang rawan kejahatan. Nggak baik kamu bepergian sendirian, mana kamu perempuan
lagi. Pakai saja mobil ibu kalau kemana-mana. Lagian kan biasanya kamu yang
pakai, cuma bedanya ada atau tidak ada ibu saja kan?” bujuk Bu Hamidah
“Iya Jo,
tidak apa-apa kok kamu memakai mobil Ibu. Kan kamu sudah jadi bagian dari
keluarga ini.” Pak Humayun ikut membujuk, sedangkan anaknya hanya mencibir
sambil memakan sarapannya. Sekarang Jalal jarang bangun kesiangan, pagi-pagi
sudah bangun dan berangkat ke kampus tepat waktu. Tentu saja kedua orang tuanya
sangat senang. Meski baru berubah sedikit namun itu saja sudah membuat Pak
Humayun dan istrinya bahagia. Padahal dia bangun pagi-pagi hanya untuk
mengerjai Jodha yang setiap pagi mencuci dan membersihkan mobil mamanya.
Heh...dasar modus.
Jodha
menggeleng dan bersikeras untuk berangkat dengan menaiki angkutan umum, dia
sungguh merasa tidak enak. Terasa sudah diberi hati ingin minta jantung. Dan
dia tidak menginginkan hal itu.
“Bagaimana
kalau kamu ikut Jalal saja Jo?” tanya Pak Humayun yang membuat Jalal kesedak.
“Uhuk...uhuk....”
matanya memerah dan berair, dengan cepat dia meminum minumannya.
“Makanya
makannya pelan-pelan saja sayang. Nggak usah keburu-buru, malah kesedak kan?”
ucap Bu Hamidah dengan lembut.
“Gimana Jo?
mau nggak ikut Jalal saja ke kampus?” tawar Pak Humayun kembali. Jodha bimbang.
Disatu sisi dia tidak enak dengan tuan mudanya, namun disisi lain dia tidak
enak menolak perkataan Pak Humayun.
“Ng....apa
tidak merepotkan tuan muda, Pak?” tanya Jodha takut-takut sambil melirik Jalal
yang masih cuek disampingnya.
“Bagaimana
Jalal? mau tidak kalau Jodha ikut mobilmu ke kampus.” Jalal mengangkat bahu.
“Terserah.”
“Nah Jo, Jalal
mau. Nanti pulangnya kalau tidak bisa bareng Jalal kamu minta Mang Diman saja
yang jemput kamu ya. Kalau sekarang Mang Diman mau nganter Bapak sama Ibu ke
bandara dulu.” Jodha mengangguk.
“Iya Bu.”
“Ya sudah,
kalau begitu kami pergi dulu ya.”
Bu Hamidah
dan Pak Humayun berdiri mau meninggalkan meja makan. Jalal mencium tangan kedua
orang tuanya di susul oleh Jodha.
“Kalian
berdua yang akur ya selama dirumah. Dan kamu Jalal jangan sering mengganggu
Jodha.” pesan mamanya. Jalal nyengir.
“Nggak janji
Ma.” Jawabnya sambil melirik Jodha. Pak Humayun menggelengkan kepala melihat
tingkah anaknya itu.
“Kamu itu ya
nggak ada bosan-bosannya.” Jalal terkekeh. Kemudian Bu Hamidah berpaling kepada
Jodha. “kamu bilang saja Jo sama Bapak sama Ibu kalau Jalal mengganggu kamu.
Biar nanti kami yang menghukum dia lagi.” Jodha mengangguk.
“Iya Bu.”
“Ya sudah,
kami berangkat dulu ya.” Keduanya mengangguk.
Setelah kedua
orang tuanya berangkat, Jalal menyodorkan kunci mobilnya. Jodha menyambutnya
dengan heran.
“Apa ini
Tuan?” Jalal mendengus.
“Jimat.”
Jawab Jalal sambil memutar bola matanya. “ya kunci mobillah. Emangnya itu apa
menurutmu?”
“Bukan itu
maksudnya. Iya tahu kalau ini kunci mobil Tuan, tapi kenapa diberikan kepada
saya?” tanya Jodha tidak mengerti.
“Ya elah
Nem, masih saja tidak mengerti. Dasar oon.” Ucapnya sambil menoyor dahi Jodha
dengan seenaknya.
“Yee...oon-oon
begini juga banyak gunanya.” Gumam Jodha.
“Maksudnyaaaa,....
Inem yang polos, yang lugu tapi oon, kamu yang nyupirin mobilku. Ngerti?”
Barulah Jodha paham. Dia pikir mobil tuan
mudanya tidak boleh dipegang dan dipakai
oleh siapapun karena dia tidak pernah melihat seorangpun yang berani
mengendarai mobil jeep sangar itu, bahkan oleh teman-teman tuan mudanya.
Mobilnya saja sangar apalagi pemiliknya. Ck.
“Baiklah
kalau begitu. Berarti hari ini saya tetap bekerja.” Sahut Jodha dengan gembira.
“Kamu yakin
bisa mengendarai mobil itu Nem? Ntar malah nabrak gimana kamu ganti ruginya?
Kamu aja di jual belum tentu bisa seharga mobil itu.” todong Jalal sambil
nyengir. Dalam hati dia yakin bentar lagi itu gadis akan meledak dan akan
membuat suasana pagi akan panas.
Sebenarnya
memang Jodha merasa jengkel mendengar ucapan tuan mudanya, namun dia berusaha
untuk menahannya jangan sampai tuan mudanya itu bersorak gembira melihat dia
emosi. Tidak. Itu tidak boleh terjadi. Dia pun memasang raut wajah tidak
tersinggung.
“Tenang saja
Tuan. Itu bukan perkara sulit buat saya. Saya jamin kita akan tiba di kampus
dengan selamat.” Ucap Jodha sambil meninggalkan tuan mudanya yang masih dimeja
makan, dan langsung menuju mobil jeep tuannya yang masih terparkir di garasi.
Jalal yang
di tinggal segera buru-buru menghabiskan sarapannya dan setengah berlari
mengejar Jodha yang sudah duduk manis dibelakang kemudi.
“Darimana
kamu bisa nyetir mobil seperti ini Nem? Kan kamu saja tidak punya?” tanya Jalal
tidak yakin sambil memasang seat belt.
Jodha tersenyum meremehkan.
“Tenang saja
Tuan. Tidak pernah memiliki bukan berarti tidak bisakan? Santai saja, Tuan
hanya tinggal duduk manis dan nikmati perjalanannya.” Jawab Jodha sambil
menyunggingkan senyum misterius. Tiba-tiba saja Jalal merasakan perasaannya
tidak enak melihat senyuman Jodha.
Setelah keluar
dari pintu gerbang dan siap di belakang kemudi, Jodha menoleh dan tersenyum kepada
tuan mudanya.
“Sudah siap
Tuan?”
“Nggak usah
banyak omong deh Nem, bilang aja kalau nggak bisa. Aku kasih 15 menit untuk
sampai di kampus.” Tantang Jalal. Jodha tersenyum miring.
“Oke.”
Sesuatu yang
tidak pernah Jalal bayangkan tentang gadis yang ada disampingnya itu. Sesuatu
yang tidak pernah dia temui selama ini kepada perempuan manapun. Sikapnya
tenang dan senyumnya menghanyutkan namun,.... dia mampu mengendarai jeep Jalal
dengan lincah, gesit dan cepat. Dia tahu jalan pintas agar sampai di kampus dengan
cepat. Bayangkan, dia hanya dengan waktu 15 menit sudah sampai di parkiran kampus.
Dan tahu apa
yang terjadi??
Jalal sock
pemirsa. Bagaimana tidak, ketika jeepnya menyalip kendaraan lain jantungnya terasa
mau copot bahkan dia mengira bakal menyerempet pengendara lain. Dia masih
terdiam, kepalanya sedikit pusing. Jodha yang masih disampingnya menoleh.
“Tuan.....”
panggil Jodha, namun Jalal tidak menyahut. Wajahnya masih pucat. Jodha tertawa
geli melihatnya, “Tuan tidak apa-apa?” Jalal menoleh ke arahnya.
Diam.
Hening.
“Gila kamu
ya Nem, kamu ingin membunuh kita berdua hah? Kalau mau mati, mati aja sendiri
nggak usah bawa-bawa aku ngerti.” Bentak Jalal tiba-tiba saja emosi setelah
sadar dari sock nya. Jodha mengerucutkan bibirnya.
“Yee...salahnya
Tuan sendiri yang menantangku. Lagian, biasa aja kali. Masa baru segitu sudah
pucat sih? Nggak sesuai amat sama mobilnya. Harusnya Tuan noh naik bajaj aja
yang nggak bisa ngebut, biar bisa tidur di dalamnya.” Sindir Jodha.
“Heh, Inem.
Jangan asal bicara ya. Aku tuh nggak pantas naik bajaj, dasar bodoh. Kamu tuh
yang pantas. Enak aja bilang aku nggak pantas pake mobil ini. Itu karena bukan
aku yang nyetir, takut kenapa-kenapa dengan mobilku. Ngerti!” Jodha mengangkat
bahu.
“Terus tadi
kenapa menyuruhku yang nyetir? kenapa nggak Tuan aja? Memang enak sih mencari
kesalahan orang lain, kesalahan sendiri nggak kelihatan. Apa perlu aku bawakan
cermin biar Tuan bisa ngaca?” jawab Jodha sambil keluar dari mobil jeep Jalal
setelah menyerahkan kunci mobil itu, “ini aku kembalikan, nanti pulang aku naik
angkot saja. Susah punya majikan rese.” Kata Jodha sambil membanting pintu
mobil Jalal, sampai membuat pemiliknya terjengit.
Jodha
berjalan cepat ke arah ruangan tempat dia kuliah nanti. Hatinya masih jengkel dengan tuan mudanya
yang seenak jidat memarahinya.”dia pikir dia siapa? Mentang-mentang orang kaya,
bisa seenaknya marah tanpa perasaan kepada orang lain. Dasar. Apa perlu ku
setrika mulut kritingnya itu biar lurus dan tidak cerewet lagi.” Gerutunya
panjang pendek dalam hati. Wajahnya merah menahan emosi yang belum tersalurkan.
Rasanya jadi pengen menghajar orang, tetapi siapa yang dengan sukarela menjadi
samsaknya? Ingin menghajar tuan mudanya takut nanti kedua majikan marah. Jodha
mendesah. Menghela nafas berulang-ulang untuk mengeluarkan emosinya.
Tepat
sebelum dia masuk ke dalam kelas, tangannya dicekal seseorang. Tanpa menoleh
pun dia tahu siapa yang mencekalnya karena parfum khas dari orang itu sudah
sangat familiar baginya. Dan nafas orang itu nampak ngos-ngosan karena
mengejarnya.
“Apa lagi? Masih
belum puas marahnya?” tanya Jodha dengan nada sehalus mungkin. Namun dia tidak
berbalik menghadapi tuan mudanya. Dia masih jengkel melihat wajahnya.
“Nem...”
panggil Jalal dengan lembut. Jodha mengerutkan keningnya mendengar suara tuan
mudanya. Belum lagi tangannya masih dicekal. Jodha pun berbalik menghadap Jalal
yang terlihat cengar-cengir tanpa rasa bersalah sedikitpun.
“APA??”
“Ya elah
Nem, gitu aja marah. Biasa aja kali. Lagi PMS yaaa...” goda Jalal sambil menaik
turunkan alisnya.
“Eh, Tuan
dengar ya. Siapa yang tidak marah mendengar ucapan Tuan yang tidak disensor
sama sekali itu? saya punya hati Tuan, bisa merasakan sakit, kecewa. Hati saya
ini bukan tembok yang cuma diam saja dikata-katain dengan seenaknya.” Ucap Jodha
dengan geram. Dia sudah tidak peduli berapa puluh pasang mata melihat
pertengkaran mereka. Jalal hanya menggaruk-garuk kepala. Ada rasa bersalah
dalam hatinya mendengar ucapan Jodha.
“Iya deh,
aku minta maaf ya. Aku memang salah kok.” Pinta Jalal dengan tampang memelas.
Jodha menghela nafas panjang. Berusaha untuk bersabar menghadapi majikannya
yang super rese ini. untung majikan yang rese cuma satu, lah...kalau ketiganya
rese bagaimana jadinya dia?
“Ya sudah,
saya maafkan. Saya tau kok kalau saya ini tempat sampah. Tempat sampah makanan,
sampah ucapan dan juga sampah perasaan. Jadi wajar kalau Tuan melakukan apa
saja kepada saya dan saya tidak berhak untuk marah.” Ucap Jodha dengan lirih
membuat Jalal semakin tidak tega melihatnya.
“Jangan gitu
dong, Nem. Please!” kata Jalal sambil
mengguncang tangan Jodha.
“Ya sudah,
saya mau masuk kelas dulu Tuan.” Ucap Jodha sambil melepaskan cekalan tangan
tuan mudanya.
“Tapi janji
ya nanti kita pulang bareng.” Jodha mengangguk.
“Iya.”
“Ya sudah
sana masuk. Ntar aku hubungi kalau sudah mau pulang.” Kata Jalal sambil menepuk
pucuk kepala Jodha dengan pelan. Jodha mengangguk dan tersenyum tipis. Dia pun
berbalik dan masuk ke kelas, tidak perduli semua yang berada diruangan itu
melihatnya dengan tanda tanya akibat adegan mereka berdua tadi. Dia lelah untuk
menanggapi pandangan orang-orang.
Sementara
Jalal pun berlalu dari tempat itu dan menemui kedua sahabatnya yang sudah
menunggu di kantin kampus. Namun dia masih kepikiran dengan Inemnya. Sudah
berapa kali dia menyakiti hati gadis itu. Kenapa dengan mudahnya dia
mengeluarkan kata-kata yang kejam untuknya. Apa aku sudah menjadi psikopat yang
merasa bahagia ketika melihat orang yang di siksa merasa sakit? Oh tidak!.
===TBC===
Tidak ada komentar:
Posting Komentar