Menu

Jumat, 12 Februari 2016

BIARKAN AKU JATUH CINTA, PART. 4 (PELAJARAN KEHIDUPAN)


Jalal mendesah pasrah menerima hukumannya. Ini sangat mustahil. Bagaimana mungkin seorang majikan bisa dihukum oleh pembantunya sendiri. Sepertinya hukum sekarang terbalik ya, tajam keatas namun tumpul kebawah. Bukan seperti biasa tajam kebawah namun tumpul keatas. Atau aturan hukum itu hanya berlaku untuknya sendiri saja? Atau ini hanya mimpi? Kalau benar mimpi siapapun tolong bangunkan dia sekarang juga, apa kata dunia orang ganteng dan kaya dihukum oleh orang yang tidak punya kekuasaan apa-apa. Please help me!.
“Tuan. Ayo, kenapa bengong aja?” tanya Jodha ketika melihat Tuan Mudanya sedang menatap dengan kosong objek yang akan menjadi hukumannya, “ini sudah saya siapkan semuanya. Tuan tinggal mengerjakan saja.”
Jalal kembali mendesah, kemudian menoleh ke arah Jodha dan menghampirinya. Di pegangnya tangan Jodha membuat gadis itu mengerutkan keningnya karena heran.
“Nem, please aku minta maaf ya. Jangan suruh aku mengerjakan ini. Aku kan belum pernah mengerjakannya, masa orang ganteng dan kaya seperti aku harus capek-capek nyuci mobil sih? Ayolah Nem. Aku janji nggak akan kurang ajar lagi deh sama kamu. Mau ya...ya...” rayu Jalal. Dia memasang senyum yang paling manis yang dia bisa agar Jodha mengurungkan niatnya untuk menyuruhnya mencuci mobil. Biarlah harga dirinya sekarang di pertaruhkan.
Namun, sepertinya Jodha tidak bergeming. Dia menggeleng, “tidak bisa Tuan. Bagaimana pun hukuman harus tetap dilaksanakan. Lagian hukumannya nggak berat kok. Cuma nyuci mobil aja. Saya nggak nyuruh Tuan bersihin rumah, nyapu taman, belanja kepasar atau yang paling ekstrim nyuci pakaian orang satu rumah. Tuan pilih mana?” wajah Jalal ditekuk, dia masih tidak menyerah untuk merayu Jodha.
“Ya nggak mau semuanya lah Nem. Apa gunanya kaya kalau semuanya aku kerjain sendiri? nanti kamu aku traktir deh selama sebulan. Kamu ingin apa aku belikan ya?” Jodha sudah ingin tertawa mendengar semua rayuan Jalal. Astaga, ini tuan mudanya manjanya sudah kelewatan. Emangnya selama ini dia ngapain aja. Masa tidak ada yang dikerjakannya sama sekali selain mabuk? Ckckckck....
“Maaf Tuan, sekali lagi TIDAK BISA.” Ucap Jodha menegaskan. Tangannya mengambil spon dari tempatnya, mengisi air di ember dan mencampurkannya sedikit dengan sabun. Setelah itu diletakkannya dihadapan tuan mudanya yang berdiri masih dengan wajah ditekuk entah berapa tekukan, “semuanya sudah saya siapkan, jadi tinggal Tuan melaksanakan saja.”
“Tidak mau! Itukan pekerjaanmu bukan pekerjaanku. Pokoknya tidak mau.” Jalal masih saja tidak mau. Jodha tersenyum miring.
“Ya sudah kalau begitu, aku tinggal manggil Ib......hhffppp....” belum selesai Jodha bicara mulutnya sudah dibekap oleh tuan mudanya.
“Iya! Iya! Akan aku kerjakan. Gitu aja ngadu. Dasar Inem!” sungut Jalal melepaskan bekapan tangannya.
“Naaah, gitu dong Tuan.” Ucap sambil Jodha tersenyum geli.
Akhirnya dengan perasaan dongkol Jalal pun mengambil selang  dan membuka keran  kemudian menyemprotkan air ke mobil yang akan dicucinya itu, setelah itu dia mengambil spon yang di berikan oleh Jodha tadi dan mencelupkan di ember berisi air sabun. Perlahan diusapkannya spon tersebut di kaca depan mobil. Sementara Jodha hanya memperhatikannya dengan berdiri agak jauh, masih dengan senyuman di bibirnya. Ingin sekali dia tertawa melihat tuan mudanya mencuci mobil dengan terpaksa.
“Eh, Tuan sebentar.” Panggil Jodha. Jalal berhenti mengusapkan spon dan menoleh.
“Apa???” sahutnya dengan ketus.
Jodha mendekat, tangannya terulur ke arah wajah Jalal.
“Kalau lagi kerja itu bibirnya harus tersenyum Tuan. Tidak boleh cemberut gitu nanti hasil kerjanya tidak memuaskan.” Kata Jodha. Kedua pasang jempol dan telunjuknya menarik ke atas sudut bibir Jalal sehingga membentuk sebuah senyuman, “nah, kalau begini kan cakep. Hasilnya kerjaannya juga pasti secakep wajahnya yang lagi tersenyum.” Ucap Jodha seraya mundur kembali. Tiba-tiba saja Jalal tersenyum menyeringai.
“Jadi kamu mengakui kalau aku cakep?” tanya Jalal menyorongkan tubuhnya ke arah Jodha dan menaik turunkan kedua alisnya.
Karuan saja membuat Jodha menjadi gelagapan mendengar ucapan Jalal. Sekejap wajahnya terasa hangat. Dia tidak menyangka ucapannya menjadi senjata makan tuan.
“Bu...bukan itu maksud saya Tuan.” Ucap Jodha mengalihkan rasa malunya. Jalal tersenyum mengejek.
“Terus apa? Dan kenapa wajahmu memerah begitu?” dengan cepat Jodha mendorong wajah Jalal yang dekat dengan wajahnya sehingga lelaki itu kembali berdiri dengan tegak.
“Maksudnya kalau kita selalu tersenyum sambil bekerja hati terasa ringan tidak terpaksa melakukan pekerjaan. i..iya begitu.” Kata Jodha dengan sedikit gugup.
Kembali Jalal menaikkan sebelah alisnya.
“Yakin?”
“Iyalah...” Jalal mencibir, “sudah sana, terusin kerjaannya. Ntar nggak kelar-kelar.” Ucap Jodha membalikkan tubuh Jalal dan mendorongnya. Jalal terkekeh. Meski hati masih dongkol namun melihat wajah Jodha memerah membuat hatinya sedikit senang dan terhibur.
Tetapi, ketika mengerjakan tugasnya kembali wajahnya cemberut. Sepertinya pekerjaannya masih lama baru selesai. Setelah menghela nafas sebentar dia melanjutkan lagi pekerjaannya menyabuni mobil sedikit demi sedikit. Namun lagi-lagi Jodha memanggilnya.
“Tuan..”
Jalal menggeram kesal, tangannya mengepal. Kalau begini terus kapan kerjaannya akan selesai.
“Apalagi sih? Kalau manggil terus kapan kerjaanku akan selesai, Inem?” bentaknya. Jodha tertawa geli.
“Tuan kerjanya sambil bernyanyi ya, biar nggak kerasa cepat selesai.” Jalal mendengus.
“Nggak mau!”
“Ayolah Tuan, ini bagian dari hukuman.”
“Eh, Inem. Kamu itu ingin menyuruh nyuci mobil apa mau dinyanyiin sih?”
“Ya memang mau nyuruh Tuan nyuci mobil, tapi sambil bernyanyi juga.”
“Lama-lama kamu jadi melunjak ya, awas aja kalau ini selesai akan ku balas kamu.” Ancam Jalal dengan geram, lama-lama emosi juga dia. Jodha menggidik ngeri.
“Terserah Tuan deh apapun akan saya terima, lagian Tuan kan majikanku, saya mah apa atuh?” ucap Jodha pelan sambil mengusap dada dan pura-pura tersenyum sedih.
Melihat senyum sedih Jodha membuat hati Jalal tidak tega juga. Ya, kata-katanya memang kasar dan selalu menyakiti hati gadis itu.
“Ya sudah, kamu mau aku nyanyi apa?’ tanyanya dengan nada melembut.
Sekejap wajah Jodha menjadi cerah kembali, secerah langit sehabis diguyur hujan membuat Jalal kembali mendecak kesal karna merasa tertipu. Itu gadis pintar banget aktingnya.
“Apa sajalah Tuan, yang penting bukan lagu galau ya. Masa iya sambil kerja nyanyiannya lagu sedih? Ya ada bukan nambah semangat tetapi malah bikin males.”
“Oke. Ada lagi?”
Jodha berkacak pinggang dengan sebelah tangannya, sedangkan sebelah tangannya mengetuk-ngetuk dagunya dengan jari telunjuknya.
“Hm...ntar nyanyinya agak keras ya, jangan cuma bisik-bisik. Biar yang dengar ikut ketularan semangat.”
“Oke. Ada lagi?”
Jodha terkekeh sambil menggeleng.
“Sudah. Itu saja.”
“Benar?”
“Iyaaaa Tuan.”
“Awas nanti panggil-panggil lagi.” Jodha mengangguk.
Jalal akhirnya kembali melanjutkan pekerjaannya. Kali ini sambil bernyanyi.

Aku sayang padamu
Aku cinta padamu
Semua kan ku lakukan
Demi kebahagiaanmu
Demi kebahagiaanmu
Demi kebahagiaanmu

Jodha terkikik geli mendengar tuan mudanya bernyanyi keras-keras. Tidak. Lebih tepatnya teriak-teriak. Belum lagi kalimat “Demi kebahagiaanmu” yang di nyanyikan berulang-ulang sambil meliriknya sadis seperti menyindir, seolah Jodha bahagia bisa menyiksa tuan mudanya dan mungkin sekalian untuk melampiaskan rasa kesalnya kepada Jodha. Tangannya bergerak cepat menyabuni bagian-bagian mobil. Jodha menutup mulutnya agar ketawanya tidak terdengar, ntar yang ada tuan mudanya malah bertambah marah.

Tak perlu kau keluhkan
Walau rintangan menghadang
Panas hujan begini makanan sehari-hari

Kurela pergi pagi pulang pagi
Hanya untuk mengais rejeki
Doakan saja aku pergi semoga pulang dompetku terisi

Kamu tak perlu resah
Aku sedang berusaha
Untuk kebahagiaan kamu yang aku sayangi

Sayup-sayup suara Jalal didengar oleh Mang Diman dan Bi Ijah dibelakang. Mereka berdua mengintip dengan mulut menganga tidak percaya melihat majikannya yang sedang mencuci mobil dan tidak jauh dari tempat itu berdiri Jodha dengan telapak tangannya menutup mulutnya menahan ketawa. Keduanya saling pandang, sejurus kemudian mereka berdua ikut terkikik geli. Apalagi melihat tuan mudanya nampak frustasi.
Yah tentu saja frustasi. Gimana enggak, sejak dari orok sampai dewasa tuan mudanya tidak pernah mengerjakan pekerjaan apapun dirumahnya. Apalagi yang namanya mencuci mobil. Semua pekerjaan dilakukan oleh Bi Ijah dan Mang Diman, dan tuan mudanya itu hanya tinggal menyuruh dan menikmati saja.
“Itu benar Tuan Muda, Mang? Nggak salah?” tanya Bi Ijah menggeleng-geleng tidak percaya.
“Iya Bi. Itu benar Tuan Muda. Tapi kok bisa ya?”
“Bibi juga tidak percaya Mang. Mimpi apa kita semalam ya melihat Tuan Muda nyuci mobil, dan....dan...yang tidak bisa dipercaya itu Jodha kenapa hanya berdiri sambil tertawa? Kenapa tidak membantu? Gimana nanti kalau Nyonya dan Tuan Besar melihat?”
Mang Diman diam sejenak sambil berpikir.
“Mamang kira Nyonya sudah tahu Bi, tidak mungkin Tuan Muda begitu mudahnya mengerjakan pekerjaan itu dengan sukarela. Bibi kan tahu sendiri Tuan Muda mana pernah mengerjakan pekerjaan seperti itu. Iya, pasti Nyonya sudah tahu Bi dan pasti Nyonya juga yang nyuruh.”
Bi Ijah nampak manggut-manggut.
“Benar juga ya Mang. Tapi melihat Tuan Muda begitu sepertinya lucu sekali. Hihihi...”kembali Bi Ijah terkikik geli diikuti oleh Mang Diman.
Tidak berbeda dari Bi Ijah dan Mang Diman, Bu Hamidah pun melihat dari balik kaca jendela kamarnya. Dia menggelengkan kepalanya dan tersenyum geli melihat dua anak manusia yang berada di bawah sana. Pemandangan yang kontras karena yang satu sedang menahan ketawa sedangkan yang satunya bernyanyi-nyanyi sambil berteriak seperti orang stres.
“Kenapa tiba-tiba Jalal mau mencuci mobil mama?” tanya Pak Humayun tiba-tiba datang tanpa di sadari oleh istrinya. Bu Hamidah menoleh.
“Loh, Papa sudah pulang ya? Kok Mama nggak dengar?” Bu Hamidah balik nanya.
“Papa sudah datang dari tadi Ma, dari depan dengar Jalal teriak-teriak begitu. Memangnya ada apa dengannya?” tanya Pak Humayun meletakkan tasnya di atas meja. Bu Hamidah tersenyum.
“Sepertinya anakmu sudah mulai berubah Pa.” Jawab Bu Hamidah masih berdiri di dekat jendela memperhatikan Jodha dan Jalal.
“Maksud Mama?” tanya Pak Humayun sambil melepaskan jas dan dasinya, namun dia ikut melongok ke  bawah memperhatikan mereka berdua. Bu Hamidah menatap suami dengan heran.
“Emang Papa nggak nyadar ya beberapa hari ini Jalal terlihat manis sekali. Dia pulang cepat, biasanya kan dia paling cepat pulang jam 10 malam. Sudah gitu dia bangun pagi-pagi Pa. Sepertinya bukan Jalal banget deh.” Pak Humayun nampak berpikir. Kemudian mengangguk-angguk.
“Iya benar juga ya Ma. Biasanya dalam seminggu belum tentu sekali dua kali Papa bertemu dengannya, sekarang sudah dua hari ini malah kita bisa makan bareng.”
“Nah itu dia Pa. Kedatangan Jodha bisa membuat anakmu berubah lebih baik tanpa dia sadari.” Ucap Bu Hamidah tersenyum melihat Jalal yang terdiam ketika Jodha memasang earphone ditelinganya. Entah Jodha mengatakan apa yang pasti dia melihat Jalal tersenyum dan mulutnya komat-kamit sambil meneruskan pekerjaannya, mungkin dia sedang mengikuti lirik lagu yang di dengarnya.
“Iya Papa merasa begitu. Papa merasa dia anak yang baik, polos, rajin dan dia bisa menempatkan diri dalam keluarga ini.” sahut Pak Humayun sambil duduk di pinggir tempat tidur. Bu Hamidah pun melangkah mendekati suaminya dan duduk disampingnya.
“Papa benar. Walaupun Jalal selalu berbicara kasar dengannya, namun Jodha tidak merasa takut sedikit pun. Dia tidak rendah diri dengan keadaannya, bahkan dia tidak terlihat tertarik sama sekali dengan anak kita. Sepertinya pesona Jalal luntur di hadapan Jodha.”
Pak Humayun terkekeh geli.
“Iya Ma, akhirnya ada juga yang bisa melawan Jalal.”
“Papa tahu nggak, tadi itu anakmu habis di tampar sama Jodha Pa.” Kata Bu Hamidah kembali terkikik mengingat kejadian ketika dia memarahi Jalal, padahal dia hanya berpura-pura marah agar anaknya terbiasa bertanggungjawab atas kesalahannya.
Pak Humayun terkejut.
“Masa Ma?” tanya Pak Humayun tidak percaya. Bu Hamidah mengangguk, “wah, kalau begitu kita harus memberikan hadiah nih buat Jodha yang bisa membuat Jalal berubah.”
“Iya Pa, harus itu.”
Mereka berdua tertawa geli dan tersenyum senang.
Sementara Jalal yang sudah menyelesaikan tugasnya menghembuskan nafas lega.
“Selesai juga akhirnya. Capek banget.” Gumamnya sambil meluruskan pinggangnya. Tubuhnya terasa letih sekali, dia menoleh ke tempat Jodha tadi berdiri namun yang dicari tidak ada. Sambil mendecak kesal akhirnya dia melemparkan lap yang di pegangnya sambil berlalu dan meninggalkan peralatan cucinya begitu saja, “biar Inem saja yang membereskannya.” Kembali dia bergumam.
Akhirnya Jalal  pun berjalan menuju gazebo di belakang rumah, tempat yang nyaman untuk beristirahat dan mengeringkan keringat sehabis mencuci mobil tadi. Sesampainya di gazebo dia langsung membaringkan tubuhnya begitu saja. Memejamkan matanya sambil mendengarkan lagu dari earphone milik Jodha. Ternyata lagu koleksinya enak-enak buat di dengar. Pantesan Inemnya suka sekali menempelkan earphone itu di telinganya setiap hari. Mau ngerjain apa saja earphonenya tidak ketinggalan. Tanpa sadar bibirnya tersenyum, entah apa yang membuatnya tersenyum. Ada rasa yang menyuruhnya untuk tersenyum mengingat kejadian yang baru saja terjadi.
Tiba-tiba Jalal merasa tangannya di pegang, refleks matanya terbuka. Terlihat Jodha datang dengan membawakan sepiring risoles sayuran seperti kemarin dan segelas besar minuman es lemon tea. Jalal pun melepaskan earphonenya dan bangkit duduk bersandar di tiang gazebo.
“Saya tau Tuan capek. Ini saya bawakan minuman dan camilan juga buat Tuan.” Kata Jodha tersenyum ramah. Namun Jalal masih memasang wajah jutek.
“Kamu kemana aja tadi? Enak banget meninggalkan aku sendirian kerja.” Jodha terkekeh. Dia duduk di pinggir gazebo berhadapan dengan tuan mudanya.
“Saya nggak kemana-mana kok Tuan, cuma bikinkan ini saja untuk Tuan.” Tunjuk Jodha ke arah makanan dan minuman yang dibawanya. “Terima kasih ya sudah membantu pekerjaan saya untuk besok pagi.” Jalal mendengus.
“Kesempatan.” Desisnya. Jodha tersenyum.
“Ya, mumpung ada kesempatan Tuan. Kapan lagi Tuan mau membantu pekerjaan saya kalau nggak dipaksa seperti ini.” Jalal melotot.
“Kamu....!” ah, sepertinya Jalal terlalu capek untuk berdebat lagi. Jodha tersenyum maklum.
“Saya sudah bikinkan minuman untuk Tuan dan juga kue untuk mengganjal perut sebelum makan malam. Ayo coba aja Tuan, buatan saya loh.” kata Jodha menyodorkan piring kue dan gelas minuman ke arah Jalal.
Dengan segera Jalal mengambil gelas minuman tersebut dan meminumnya hingga setengah, setelah itu mencomot kue dari piring dan memakannya dengan cepat. Jodha hanya bisa menggeleng melihatnya.
“Pelan-pelan saja Tuan makannya. Nanti kesedak lo.” Kata Jodha memperingati tuan mudanya yang makan dengan tergesa-gesa.
“Hm..” Jalal tidak sempat menyahut, hanya bergumam saja.
“Tuan doyan apa laper?”
“Laper. Kenapa?”
“Pantes aja, emang berapa hari tidak makan Tuan? Kok kayaknya semangat banget.” Jalal melirik jengkel kearah Jodha yang menatapnya dengan tersenyum geli.
“Gara-gara kamu bikin aku laper, Nem.” Ucapnya dengan mulut masih penuh dengan makanan.
“Tapi suka kan sama kuenya?”
Jalal makan sambil mengangguk-angguk, “boleh juga. Emangnya kamu bisa bikin apa saja, Nem?”
“Banyak juga Tuan, soalnya kalau memasak itu memang sudah menjadi hobi saya.”
“Kalau mencuci pakaian kamu juga bisa?” tanya Jalal menghabiskan kue terakhir dipiring dan ditutup dengan meminum es lemon tea yang tadi  di bikin Jodha sampai habis.
“Ya jelas bisalah Tuan. Kalau cuma mencuci pakaian mah kecil. Beres-beres rumah juga saya suka.” Jawab Jodha dengan bangga.
“Wah, kamu memang berbakat ya.” Puji Jalal sambil tersenyum.
Jodha mengerutkan keningnya. Tumben nih anak muji? Apa itu efek dari kecapekan akibat dari nyuci mobil tadi? Pikirnya.
“Maksud Tuan?” Jalal mesam-mesem.
“Kamu emang berbakat dan pantas jadi pembantu, Inem. Hahahaha....” Jalal tergelak. Jodha yang mengerucutkan mulutnya mendengar ucapan tuan mudanya yang tanpa perasaan itu.
“Ck. Sudah saya duga, tidak mungkin Tuan dengan tulus ikhlas memuji saya.” Jalal terkekeh.
“Lagian kenapa juga aku harus mengerjakan semua itu. Untuk apa juga kekayaan Papa tuh? Yang nggak akan habis dimakan oleh tujuh turunan.” Jodha mencibir mendengar ucapan tuan mudanya, “sedangkan aku masih keturunan pertama dari papa, masih ada enam keturunan lagi loh Nem untuk bisa menghabiskan kekayaan papa itu, belum lagi universitas milik mama yang makin hari makin maju. Jadi untuk apa repot-repot mengerjakan semua sendiri.” Jodha menggelengkan kepala mendengar kesombongan tuan mudanya itu.
“Iya saya tahu kekayaan papanya Tuan tidak habis tujuh turunan, tetapi bukan berarti Tuan hanya diam dan berpangku tangan menikmati saja. Sebanyak apapun harta tetap saja akan habis kalau tidak dijaga Tuan.”
“Setidaknya untuk saat ini aku sedang menikmatinya Nem. Kapan lagi coba?” ucapnya tidak mau kalah.
Jodha menghela nafas kembali.
“Terserahlah.”
Jalal terkekeh. Kembali dia membaringkan tubuhnya setelah kekenyangan. Dia memejamkan matanya dan mengganjal kepalanya dengan kedua tangannya. Salah satu kakinya ditekuk dan di tumpang oleh kaki lainnya.
“Tuan...” panggil Jodha.
“Hm...”
Jalal masih memejamkan matanya.
“Saya minta maaf ya.”
“Untuk?”
Jodha menghela nafas panjang.
“Untuk yang tadi.”
“Hm..”
“Tuan marah ya sama saya?”
“Tuh tau.”
“Sekali lagi maaf ya Tuan, bukan masalah Tuan sanggup traktir saya atau tidak. Tapi ini masalah prinsip. Seharusnya Tuan sebagai laki-laki harus bersikap gentleman menerima segala konsekuensi akibat kesalahan Tuan sendiri. Akuilah kalau memang Tuan salah. Itu bukan untuk mempermalukan harga diri Tuan tetapi malah menunjukkan kalau Tuan adalah  seorang laki-laki yang bertanggung jawab dan pantas untuk dihormati. Saya tahu Tuan pasti sanggup membelikan apa saja yang saya inginkan, tetapi saya hanya ingin Tuan tahu sedikit saja rasanya menjadi orang dibawah agar Tuan bisa bersyukur dengan keadaan Tuan saat ini dan tidak memandang rendah orang lain. Saya juga tahu kalau saya hanyalah seorang pembantu yang tidak ada artinya dimata Tuan, sama halnya seperti Mang Diman dan Bi Ijah.” Kata Jodha sambil tersenyum.
Jalal masih terdiam mendengar ucapan Jodha, hatinya tersentuh. Dalam hati dia mengakui perkataan Jodha. Dia merasa memang keterlaluan, mungkin selama ini dia merasa tidak ada yang menegur dan melawannya sehingga dia tidak sadar kalau selama ini dia banyak menyakiti orang lain lewat perkataan dan tingkah lakunya.
Jodha diam dan menatap wajah tuan mudanya yang masih terpejam. Namun Jalal pun masih belum bersuara dan diam. suasana pun ikut menjadi hening. Masing-masing berkutat dengan pikirannya sendiri. Jodha menghela nafas panjang.
“Ya sudah, kalau begitu saya pamit permisi dulu Tuan. Maaf, bukan maksud saya ingin menggurui Tuan. Sama sekali tidak ada niat dalam hati saya.” Ucap Jodha berdiri sambil membereskan piring dan gelas bekas tuan mudanya. Dia berbalik meninggalkan Jalal yang masih terbaring di gazebo. Namun, langkahnya terhenti ketika mendengar suara memanggilnya.
“Nem..!”
Jodha kembali berbalik menghadap Jalal.
“Ya Tuan.”
Jalal membuka matanya dan bangkit untuk duduk, tangannya merogoh saku celananya untuk mengambil i-pod dan juga earphone milik Jodha.
“Ini. Aku kembalikan. Makasih.”
Jodha mengangguk dan tersenyum tulus. Tangannya menjulur mengambil barang miliknya itu.
“Sama-sama Tuan. Saya permisi dulu.” Jalal mengangguk.
Akhirnya Jodha pun berlalu meninggalkan tuan mudanya yang kembali membaringkan tubuhnya dengan posisi seperti tadi namun matanya tidak terpejam. Untuk kesekian kalinya dia tersenyum mengingat kejadian hari ini. Hatinya sedikit terketuk dengan ucapan Jodha. Bukannya malas, hanya saja selama ini semua yang dilakukannya terlalu mudah untuk dikerjakan. Sama sekali tidak ada tantangannya. Semua orang yang mengenalnya pasti dengan sukarela untuk melakukan apapun segala keinginannya. Satu lagi, jika uang sudah berkuasa apapun bisa dilakukan dengan mudah.
Tetapi kali ini dia merasa kalah. Uang, kekayaan dan kekuasaannya bahkan wajah tampannya tidak berlaku kepada gadis  itu yang notabene hanyalah seorang supir pribadi mamanya. Meskipun dia hanyalah seorang supir dan bekerja untuk keluarganya tapi sepertinya gadis itu begitu menikmati pekerjaannya. Dia tidak mengeluh sama sekali, dan seringkali dia melihat gadis itu bersenandung sambil bekerja. Sedangkan dia, bisa bersenandung ceria hanya kalau sedang mabuk. Ckckck....
“Kok senyum-senyum sih sayang?” Jalal kaget melihat mamanya sudah berada di dekatnya dan duduk disampingnya dengan tersenyum, “lagi senang ya? Hukumannya mau ditambah lagi?” tanya mamanya dengan setengah mengejek. Jalal mendecak kesal.
“Nggak mau Ma. Capek.” Bu Hamidah terkekeh.
“Capek kok senyum-senyum sih?”
Jalal diam saja. Dia memindahkan kepalanya di pangkuan mamanya. Bu Hamidah mengelus rambut putranya dengan kasih sayang. Bagaimanapun keadaan anaknya kasih sayangnya tidak akan pernah hilang.
“Ma...”
“Hm...”
“Mama tahu nggak kenapa akhir-akhir ini aku senang dirumah.”
Bu Hamidah mengerutkan keningnya, di tatapnya wajah Jalal yang terpejam menikmati elusan tangan mamanya di kepalanya.
“Untuk mengerjai Jodha kan?” tebak Bu Hamidah. Jalal terkekeh.
“Mama tau aja.” Jawabnya enteng
Karuan saja dahinya di sentil oleh oleh mamanya.
“Kamu tuh ya, sampai kapan mau menjahili Jodha. Kasihan dia terus-terusan kamu ganggu.” Jalal terbahak.
“Rasanya menyenangkan Ma, melihat wajahnya cemberut dan kesal.” Ujar Jalal dengan mata yang masih terpejam. Bu Hamidah tersenyum.
“Kamu suka sama dia ya sayang?” godanya. Wajah Jalal seketika memerah dan membuka matanya. Bu Hamidah tertawa.
“Nggak. Siapa juga yang suka dengannya. Mama jangan asal tuduh ya.” Bu Hamidah mengangkat sebelah alisnya.
“Benarkah? Tapi kenapa wajahmu merah gitu? Hayo ngaku aja sama Mama.” Jalal melengos, malu ketahuan kalau wajahnya memerah.
“Nggak ya nggak Ma. Memangnya nggak ada yang lain apa yang bisa dijadikan pacarku.”
“Tapi, Jodha beda lo sayang. Sangat beda jauh dengan gadis-gadis yang pernah dekat denganmu. Dia tidak terlihat ingin menarik perhatianmu. Malah sepertinya kamu yang tertarik sama dia.” Goda Bu Hamidah.
“Sudah ah Ma.” Ucap Jalal tidak mau memperpanjang perdebatan dengan mamanya, yang pasti dia akan semakin di goda oleh mamanya, “mungkin aku hanya merasa selama ini tidak ada yang berani melawanku Ma, tidak ada yang berani membentakku dan menjawabku dengan kasar. Mereka semua takut padaku. Jadi aku merasa semua itu membosankan, sedangkan dengan In....eh Jodha.” hampir saja Jalal keceplosan lagi ketika melihat mamanya melotot, “sedangkan dengan Jodha aku merasa mendapatkan tantangan untuk menaklukannya. Iya memang dia menuruti segala keinginanku tetapi sikapnya sangat berlawanan. Aku merasa mempunyai hiburan tersendiri Ma.” Bu Hamidah tertawa mendengar curhat putranya.
“Ya tapi jangan keterlaluan sayang. Kasihan dia. Sewaktu mama bertemu dengannya dia sedang duduk di halte sambil menangis. Mama merasa kasihan dan mama mampir menghampirinya. Ternyata dia salah satu mahasiswi di universitas milik mama itu. Ketika Mama tanya kenapa dia tidak pulang, dia menggeleng tidak mau cerita. Sepertinya dia kabur atau di usir dari rumah, karena dia membawa koper berisi pakaiannya. Jadilah mama ajak dia tinggal dirumah kita. Awalnya dia tidak mau kalau cuma-cuma saja, tapi kalau diberi pekerjaan dia mau. Akhirnya ya mama kasih dia pekerjaan sebagai supir pribadi mama dan Mang Diman biar ngantar Papa atau ngerawat kebun kita.”
Jalal terdiam. Hatinya hampir tidak percaya kalau Inemnya yang nampak polos dan ceria itu ternyata menyimpan cerita yang menyedihkan, walaupun mamanya tidak memberitahukan cerita apa itu tetapi dia bisa menarik kesimpulan kalau masalahnya pasti berat. Kalau tidak kenapa harus pergi dari rumah.” Tanpa sadar Jalal menghela nafas panjang.
“Tetapi mama suka dengan Jodha karena dia punya prinsip dan keinginan serta cita-cita yang tinggi yang harus dia gapai dan dia berusaha keras berjuang dengan tangannya sendiri. Seharusnya gadis seperti dia yang kamu dapatkan, sayang. Karena orang seperti dia sangat mengerti dan menghargai apa arti perjuangan dan tidak pernah meremehkan orang lain. Dia mencintai apa yang dia kerjakan sehingga semua pekerjaan yang dia lakukan tidak terasa berat, dan bisa kamu lihat dia bekerja dengan penuh semangat dan tidak pernah mengeluh, selalu tersenyum ceria.” Jalal mengangguk.
“Iya Ma, aku merasa kalah dengannya.” Bu Hamidah menggeleng.
“Tidak ada yang kalah dan menang sayang. Semua tergantung pada diri kita masing-masing. Tidak ada kata terlambat untuk kita mau belajar. Kamu juga bisa kok, dengan segala fasiltas yang kamu miliki pasti dengan mudah bisa kamu capai.”
“Akan aku coba Ma. Makasih ya.” Ucap Jalal bangkit dan mencium pipi mamanya. “aku mau mandi dulu Ma. Habis keringatan.” Mamanya tersenyum dan mengangguk.
“Ya sudah sana mandi. Nanti kita makan malam bareng lagi ya.”
“Oke Ma.” Jawabnya sambil berjalan menjauh dari mamanya dan masuk kerumah.

=============000===========

Malam harinya terulang kembali mereka makan bareng dengan posisi duduk berhadapan dan Jodha masih duduk di dekat tuan mudanya. Majikannya sungguh ramah, membuatnya merasa seperti makan dengan keluarganya sendiri. Namun, ada hal yang berbeda dengan tuan mudanya. Kali ini dia lebih banyak diam, tidak secerewet biasanya. Ada apa dengannya.
Sambil makan Jodha memikirkan orang yang berada disampingnya itu yang sedang asyik makan. Berulangkali Jodha melirik tuan mudanya dengan ekor matanya. Namun dia tidak berani bertanya karena masih ada Pak Humayun dan Bu Hamidah.
Tiba-tiba saja Jodha yang sedang asyik makan dikejutkan dengan tindakan Jalal yang memindahkan makanan yang tidak disukainya ke piring Jodha sama seperti kemarin. Jodha tidak protes apa-apa, tetapi kedua majikannya yang menatap Jalal dengan heran.
“Jalal, kenapa kamu pindahkan makanan kamu di piring Jodha?” Jalal nyengir.
“Nggak suka, Pa?”
“Kalau nggak suka kenapa dipindahkan kepiring orang lain?”
“Kan dia suka Pa. Dia makan apa aja kok.” Kata Jalal membela diri.
“Tidak apa-apa Pak, sayang kalau kebuang.” Ucap Jodha tidak enak dengan keadaan serba salah itu. Bukan ingin membela tuan mudanya sih, tetapi biar keadaan cepat kembali seperti sebelumnya. Pak Humayun menggeleng.
“Tetapi tetap tidak sopan, Jalal. Itu bekas kamu. Harusnya kalau kamu tidak suka jangan diambil. Papa tidak suka melihat kamu seperti itu. Sekarang kamu makan sampai habis makanan kamu itu. jangan seenaknya membuang makanan. Ambil seperlunya saja, hargai sedikit makanan. Masih banyak orang yang diluar sana yang tidak bisa makan.” Ucap Pak Humayun dengan tegas. Jalal menunduk, sementara Bu Hamidah dan Jodha hanya terdiam.
“Iya Pa.” Jawab Jalal dengan pasrah. Hatinya sedikit ngeri melihat sayuran brokoli yang dibencinya itu seolah-olah tertawa mengejeknya.
Jodha sebenarnya tertawa dalam hati melihat tuan mudanya dimarahi oleh papanya, tetapi dia merasa kasihan juga ketika harus dipaksa oleh papanya untuk menghabiskan makanan yang tidak disukainya. Tapi Jodha bisa apa? Hanya bisa diam dan berharap tuan mudanya baik-baik saja.
Sementara Jalal berusaha memakan sayur brokoli dan tomat yang sangat tidak dia sukai dengan ekspresi yang mengenaskan. Matanya merem-melek berusaha untuk menelan makanan tersebut.
“Sial, kenapa juga ini makanan selalu hadir tiap hari? Bisa nggak sih Bi Ijah masak sehari aja yang nggak ada brokolinya. Pahit gini apa enaknya.” Gerutunya dalam hati sambil menguyah cepat-cepat sambil menahan nafas dan setiap suapan makanan yang di makannya harus di dorong oleh seteguk air agar cepat tertelan. Hahahaha....kasihan...
Akhirnya dengan susah payah termakan juga semua  makanan  yang ada di piringnya. Dia menghembuskan nafas lega. Namun sejurus kemudian dia berlari ke kamarnya dan masuk ke kamar mandi untuk  memuntahkan makanan yang di makan di closet. Papanya hanya menggelengkan kepala melihatnya.
“Dasar anak itu. Selalu saja bertingkah kekanakan.” gumamnya menggelengkan kepala sambil meneruskan makannya. Sementara Bu Hamidah langsung berhenti makan dan berdiri melangkah ke kamar Jalal. Sebelumnya di menoleh ke arah Jodha yang masih diam tidak tahu harus berbuat apa.
“Jo, tolong kamu bikinkan teh manis ya buat Jalal dan antarkan ke kamar. Ibu mau lihat dia dulu.” Jodha mengangguk.
“Baik Bu.” Jodha pun segera melaksanakan perintah Bu Hamidah untuk membikinkan secangkir teh manis dan kemudian dia mengantarkan ke kamar tuan mudanya.
Sesampainya di kamar Jalal, ragu-ragu dia mengetuk. Setelah terdengar suara yang menyuruhnya masuk barulah Jodha membuka pintu dan masuk.
Dia melihat tuan mudanya sedang duduk di pinggir tempat tidur sedang menunduk dia mendongak dan menoleh ke arah Jodha, wajahnya nampak pucat, sedangkan Bu Hamidah duduk disampingnya sambil mengelus punggung Jalal. Jodha hampir tertawa melihatnya. Ck. Benar-benar anak mama.
“Bawa sini Jo, tehnya.” Jodha memberikan gelas berisi teh manis untuk menetralisir rasa brokoli yang terasa langu dan sedikit pahit, “ini sayang minum dulu biar rasa pahitnya hilang.” Kata Bu Hamidah menyodorkan gelas teh kepada anaknya, dan Jalal pun meminumnya sampai habis, “gimana? Masih terasa pahit?” Jalal menggeleng tanpa sengaja dia melirik Jodha yang berusaha keras menahan ketawanya.
“Apa kamu ketawa? Senang melihat aku tersiksa?” tanya Jalal dengan ketus. Jodha menggeleng sambil menunduk. Bukan takut, tetapi dia berusaha menahan dan menyembunyikan rasa gelinya. Bu Hamidah hanya tersenyum melihat mereka berdua.
“Ya sudah sayang, kamu istirahat saja. Mama sama Jodha keluar dulu ya.” Ucap Bu Hamidah sambil berdiri.
“Iya Ma.”
Bu Hamidah pun melangkah keluar dari kamar Jalal diikuti Jodha. Dia masih sempat melirik tuan mudanya yang masih menatapnya dengan tatapan jengkel. Jodha bersorak dalam hati. Rasain  bisiknya.
==========0000========

Tidak terasa sudah hampir sebulan Jodha tinggal dan bekerja di rumah Bu Hamidah. Dia sudah mulai kuliah lagi dan belajar sungguh-sungguh agar targetnya untuk lulus kuliah tercapai. Namun, penampilannya masih tetap sama ketika keluar dari rumah dan majikannya pun tidak mempersoalkan masalah itu.
Hanya tuan mudanya saja yang terkadang iseng mengejek penampilannya. Tidak. Itu bukan iseng lagi tetapi sudah menjadi tugas rutin dari tuan mudanya. Sepertinya tuan mudanya itu kalau sehari saja tidak mengejeknya dia pasti akan sakit karena mulutnya gatal untuk mengeluarkan penyakitnya lewat ucapannya, tetapi semua itu tidak terlalu dianggap oleh Jodha. Dia sudah mulai terbiasa dengan mulut pedas dari tuan mudanya.
“Jo, hari ini Ibu nggak ke kantor. Ibu sama Bapak mau ke luar kota untuk dua hari kedepan.” Kata Bu Hamidah ketika mereka sedang sarapan bareng. Jodha mengangguk.
“Iya Bu.”
“Kamu pakai saja mobil ibu, nggak usah sungkan.” Kata Bu Hamidah lagi.
“Nggak Bu, biar saya naik angkutan umum saja.” Bu Hamidah menggeleng.
“Jangan Jo, sekarang rawan kejahatan. Nggak baik kamu bepergian sendirian, mana kamu perempuan lagi. Pakai saja mobil ibu kalau kemana-mana. Lagian kan biasanya kamu yang pakai, cuma bedanya ada atau tidak ada ibu saja kan?” bujuk Bu Hamidah
“Iya Jo, tidak apa-apa kok kamu memakai mobil Ibu. Kan kamu sudah jadi bagian dari keluarga ini.” Pak Humayun ikut membujuk, sedangkan anaknya hanya mencibir sambil memakan sarapannya. Sekarang Jalal jarang bangun kesiangan, pagi-pagi sudah bangun dan berangkat ke kampus tepat waktu. Tentu saja kedua orang tuanya sangat senang. Meski baru berubah sedikit namun itu saja sudah membuat Pak Humayun dan istrinya bahagia. Padahal dia bangun pagi-pagi hanya untuk mengerjai Jodha yang setiap pagi mencuci dan membersihkan mobil mamanya. Heh...dasar modus.
Jodha menggeleng dan bersikeras untuk berangkat dengan menaiki angkutan umum, dia sungguh merasa tidak enak. Terasa sudah diberi hati ingin minta jantung. Dan dia tidak menginginkan hal itu.
“Bagaimana kalau kamu ikut Jalal saja Jo?” tanya Pak Humayun yang membuat Jalal kesedak.
“Uhuk...uhuk....” matanya memerah dan berair, dengan cepat dia meminum minumannya.
“Makanya makannya pelan-pelan saja sayang. Nggak usah keburu-buru, malah kesedak kan?” ucap Bu Hamidah dengan lembut.
“Gimana Jo? mau nggak ikut Jalal saja ke kampus?” tawar Pak Humayun kembali. Jodha bimbang. Disatu sisi dia tidak enak dengan tuan mudanya, namun disisi lain dia tidak enak menolak perkataan Pak Humayun.
“Ng....apa tidak merepotkan tuan muda, Pak?” tanya Jodha takut-takut sambil melirik Jalal yang masih cuek disampingnya.
“Bagaimana Jalal? mau tidak kalau Jodha ikut mobilmu ke kampus.” Jalal mengangkat bahu.
“Terserah.”
“Nah Jo, Jalal mau. Nanti pulangnya kalau tidak bisa bareng Jalal kamu minta Mang Diman saja yang jemput kamu ya. Kalau sekarang Mang Diman mau nganter Bapak sama Ibu ke bandara dulu.” Jodha mengangguk.
“Iya Bu.”
“Ya sudah, kalau begitu kami pergi dulu ya.”
Bu Hamidah dan Pak Humayun berdiri mau meninggalkan meja makan. Jalal mencium tangan kedua orang tuanya di susul oleh Jodha.
“Kalian berdua yang akur ya selama dirumah. Dan kamu Jalal jangan sering mengganggu Jodha.” pesan mamanya. Jalal nyengir.
“Nggak janji Ma.” Jawabnya sambil melirik Jodha. Pak Humayun menggelengkan kepala melihat tingkah anaknya itu.
“Kamu itu ya nggak ada bosan-bosannya.” Jalal terkekeh. Kemudian Bu Hamidah berpaling kepada Jodha. “kamu bilang saja Jo sama Bapak sama Ibu kalau Jalal mengganggu kamu. Biar nanti kami yang menghukum dia lagi.” Jodha mengangguk.
“Iya Bu.”
“Ya sudah, kami berangkat dulu ya.” Keduanya mengangguk.
Setelah kedua orang tuanya berangkat, Jalal menyodorkan kunci mobilnya. Jodha menyambutnya dengan heran.
“Apa ini Tuan?” Jalal mendengus.
“Jimat.” Jawab Jalal sambil memutar bola matanya. “ya kunci mobillah. Emangnya itu apa menurutmu?”
“Bukan itu maksudnya. Iya tahu kalau ini kunci mobil Tuan, tapi kenapa diberikan kepada saya?” tanya Jodha tidak mengerti.
“Ya elah Nem, masih saja tidak mengerti. Dasar oon.” Ucapnya sambil menoyor dahi Jodha dengan seenaknya.
“Yee...oon-oon begini juga banyak gunanya.” Gumam Jodha.
“Maksudnyaaaa,.... Inem yang polos, yang lugu tapi oon, kamu yang nyupirin mobilku. Ngerti?”
 Barulah Jodha paham. Dia pikir mobil tuan mudanya tidak boleh dipegang  dan dipakai oleh siapapun karena dia tidak pernah melihat seorangpun yang berani mengendarai mobil jeep sangar itu, bahkan oleh teman-teman tuan mudanya. Mobilnya saja sangar apalagi pemiliknya. Ck.
“Baiklah kalau begitu. Berarti hari ini saya tetap bekerja.” Sahut Jodha dengan gembira.
“Kamu yakin bisa mengendarai mobil itu Nem? Ntar malah nabrak gimana kamu ganti ruginya? Kamu aja di jual belum tentu bisa seharga mobil itu.” todong Jalal sambil nyengir. Dalam hati dia yakin bentar lagi itu gadis akan meledak dan akan membuat suasana pagi akan panas.
Sebenarnya memang Jodha merasa jengkel mendengar ucapan tuan mudanya, namun dia berusaha untuk menahannya jangan sampai tuan mudanya itu bersorak gembira melihat dia emosi. Tidak. Itu tidak boleh terjadi. Dia pun memasang raut wajah tidak tersinggung.
“Tenang saja Tuan. Itu bukan perkara sulit buat saya. Saya jamin kita akan tiba di kampus dengan selamat.” Ucap Jodha sambil meninggalkan tuan mudanya yang masih dimeja makan, dan langsung menuju mobil jeep tuannya yang masih terparkir di garasi.
Jalal yang di tinggal segera buru-buru menghabiskan sarapannya dan setengah berlari mengejar Jodha yang sudah duduk manis dibelakang kemudi.
“Darimana kamu bisa nyetir mobil seperti ini Nem? Kan kamu saja tidak punya?” tanya Jalal tidak yakin sambil memasang seat belt. Jodha tersenyum meremehkan.
“Tenang saja Tuan. Tidak pernah memiliki bukan berarti tidak bisakan? Santai saja, Tuan hanya tinggal duduk manis dan nikmati perjalanannya.” Jawab Jodha sambil menyunggingkan senyum misterius. Tiba-tiba saja Jalal merasakan perasaannya tidak enak melihat senyuman Jodha.
Setelah keluar dari pintu gerbang dan siap di belakang kemudi, Jodha menoleh dan tersenyum kepada tuan mudanya.
“Sudah siap Tuan?”
“Nggak usah banyak omong deh Nem, bilang aja kalau nggak bisa. Aku kasih 15 menit untuk sampai di kampus.” Tantang Jalal. Jodha tersenyum miring.
“Oke.”
Sesuatu yang tidak pernah Jalal bayangkan tentang gadis yang ada disampingnya itu. Sesuatu yang tidak pernah dia temui selama ini kepada perempuan manapun. Sikapnya tenang dan senyumnya menghanyutkan namun,.... dia mampu mengendarai jeep Jalal dengan lincah, gesit dan cepat. Dia tahu jalan pintas agar sampai di kampus dengan cepat. Bayangkan, dia hanya dengan waktu 15 menit sudah sampai di parkiran kampus.
Dan tahu apa yang terjadi??
Jalal sock pemirsa. Bagaimana tidak, ketika jeepnya menyalip kendaraan lain jantungnya terasa mau copot bahkan dia mengira bakal menyerempet pengendara lain. Dia masih terdiam, kepalanya sedikit pusing. Jodha yang masih disampingnya menoleh.
“Tuan.....” panggil Jodha, namun Jalal tidak menyahut. Wajahnya masih pucat. Jodha tertawa geli melihatnya, “Tuan tidak apa-apa?” Jalal menoleh ke arahnya.
Diam.
Hening.
“Gila kamu ya Nem, kamu ingin membunuh kita berdua hah? Kalau mau mati, mati aja sendiri nggak usah bawa-bawa aku ngerti.” Bentak Jalal tiba-tiba saja emosi setelah sadar dari sock nya. Jodha mengerucutkan bibirnya.
“Yee...salahnya Tuan sendiri yang menantangku. Lagian, biasa aja kali. Masa baru segitu sudah pucat sih? Nggak sesuai amat sama mobilnya. Harusnya Tuan noh naik bajaj aja yang nggak bisa ngebut, biar bisa tidur di dalamnya.” Sindir Jodha.
“Heh, Inem. Jangan asal bicara ya. Aku tuh nggak pantas naik bajaj, dasar bodoh. Kamu tuh yang pantas. Enak aja bilang aku nggak pantas pake mobil ini. Itu karena bukan aku yang nyetir, takut kenapa-kenapa dengan mobilku. Ngerti!” Jodha mengangkat bahu.
“Terus tadi kenapa menyuruhku yang nyetir? kenapa nggak Tuan aja? Memang enak sih mencari kesalahan orang lain, kesalahan sendiri nggak kelihatan. Apa perlu aku bawakan cermin biar Tuan bisa ngaca?” jawab Jodha sambil keluar dari mobil jeep Jalal setelah menyerahkan kunci mobil itu, “ini aku kembalikan, nanti pulang aku naik angkot saja. Susah punya majikan rese.” Kata Jodha sambil membanting pintu mobil Jalal, sampai membuat pemiliknya terjengit.
Jodha berjalan cepat ke arah ruangan tempat dia kuliah nanti.  Hatinya masih jengkel dengan tuan mudanya yang seenak jidat memarahinya.”dia pikir dia siapa? Mentang-mentang orang kaya, bisa seenaknya marah tanpa perasaan kepada orang lain. Dasar. Apa perlu ku setrika mulut kritingnya itu biar lurus dan tidak cerewet lagi.” Gerutunya panjang pendek dalam hati. Wajahnya merah menahan emosi yang belum tersalurkan. Rasanya jadi pengen menghajar orang, tetapi siapa yang dengan sukarela menjadi samsaknya? Ingin menghajar tuan mudanya takut nanti kedua majikan marah. Jodha mendesah. Menghela nafas berulang-ulang untuk mengeluarkan emosinya.
Tepat sebelum dia masuk ke dalam kelas, tangannya dicekal seseorang. Tanpa menoleh pun dia tahu siapa yang mencekalnya karena parfum khas dari orang itu sudah sangat familiar baginya. Dan nafas orang itu nampak ngos-ngosan karena mengejarnya.
“Apa lagi? Masih belum puas marahnya?” tanya Jodha dengan nada sehalus mungkin. Namun dia tidak berbalik menghadapi tuan mudanya. Dia masih jengkel melihat wajahnya.
“Nem...” panggil Jalal dengan lembut. Jodha mengerutkan keningnya mendengar suara tuan mudanya. Belum lagi tangannya masih dicekal. Jodha pun berbalik menghadap Jalal yang terlihat cengar-cengir tanpa rasa bersalah sedikitpun.
“APA??”
“Ya elah Nem, gitu aja marah. Biasa aja kali. Lagi PMS yaaa...” goda Jalal sambil menaik turunkan alisnya.
“Eh, Tuan dengar ya. Siapa yang tidak marah mendengar ucapan Tuan yang tidak disensor sama sekali itu? saya punya hati Tuan, bisa merasakan sakit, kecewa. Hati saya ini bukan tembok yang cuma diam saja dikata-katain dengan seenaknya.” Ucap Jodha dengan geram. Dia sudah tidak peduli berapa puluh pasang mata melihat pertengkaran mereka. Jalal hanya menggaruk-garuk kepala. Ada rasa bersalah dalam hatinya mendengar ucapan Jodha.
“Iya deh, aku minta maaf ya. Aku memang salah kok.” Pinta Jalal dengan tampang memelas. Jodha menghela nafas panjang. Berusaha untuk bersabar menghadapi majikannya yang super rese ini. untung majikan yang rese cuma satu, lah...kalau ketiganya rese bagaimana jadinya dia?
“Ya sudah, saya maafkan. Saya tau kok kalau saya ini tempat sampah. Tempat sampah makanan, sampah ucapan dan juga sampah perasaan. Jadi wajar kalau Tuan melakukan apa saja kepada saya dan saya tidak berhak untuk marah.” Ucap Jodha dengan lirih membuat Jalal semakin tidak tega melihatnya.
“Jangan gitu dong, Nem. Please!” kata Jalal sambil mengguncang tangan Jodha.
“Ya sudah, saya mau masuk kelas dulu Tuan.” Ucap Jodha sambil melepaskan cekalan tangan tuan mudanya.
“Tapi janji ya nanti kita pulang bareng.” Jodha mengangguk.
“Iya.”
“Ya sudah sana masuk. Ntar aku hubungi kalau sudah mau pulang.” Kata Jalal sambil menepuk pucuk kepala Jodha dengan pelan. Jodha mengangguk dan tersenyum tipis. Dia pun berbalik dan masuk ke kelas, tidak perduli semua yang berada diruangan itu melihatnya dengan tanda tanya akibat adegan mereka berdua tadi. Dia lelah untuk menanggapi pandangan orang-orang.
Sementara Jalal pun berlalu dari tempat itu dan menemui kedua sahabatnya yang sudah menunggu di kantin kampus. Namun dia masih kepikiran dengan Inemnya. Sudah berapa kali dia menyakiti hati gadis itu. Kenapa dengan mudahnya dia mengeluarkan kata-kata yang kejam untuknya. Apa aku sudah menjadi psikopat yang merasa bahagia ketika melihat orang yang di siksa merasa sakit? Oh tidak!.

===TBC===



Tidak ada komentar:

Posting Komentar