Menu

Jumat, 12 Februari 2016

BIARKAN AKU JATUH CINTA, PART. 1 (PERTEMUAN)

Aku bukan ingin mencintai karena nama dan kekayaan. Aku hanya ingin cinta yang sederhana, tidak rumit dan nyaman. Karena itu aku jaga hatiku agar tidak mudah luruh terhadap segala rayuan. Aku hanya ingin mencari yang benar-benar tulus, bukan hanya cinta sesaat. (Jodha)
   Ijinkan aku untuk masuk lebih dalam lagi di hatimu. Ijinkan aku memberikan rasa nyaman di pikiranmu dan ijinkan aku melabuhkan cintaku dihatimu. Sikapmu yang berbeda membuatku ingin lebih dan lebih lagi untuk tahu perasaanmu yang sesungguhnya kepadaku. Namun kau dingin. Kau memasang pagar tembok yang tinggi di sekelilingmu. Biarkan aku jatuh cinta kepadamu, agar aku bisa menghangatkan hati dan cintamu. (Jalal).

=======================000====================

Jodha menghela nafas panjang. Matanya menatap bangunan di hadapannya itu. Dia masih diam belum bergerak sama sekali. Masih ragu-ragu untuk melangkah masuk kedalam bangunan tersebut. Wanita yang diikutinya itu sudah melangkah lebih dahulu, namun kemudian berhenti dan dia berbalik menghadap kebelakang.
“Kok belum turun Jo? ayo masuk. Nggak apa-apa kok.”
Jodha tersenyum dan mengangguk. Akhirnya dia membuka pintu mobil dan turun melangkah mengikuti wanita yang di depannya itu sambil menyeret koper yang dibawanya.
Wanita itu tersenyum, dia menggandeng tangan Jodha masuk kedalam rumah. Jodha hanya diam dan mengikuti langkah wanita itu dengan sedikit canggung.
“Silakan duduk dulu Jo.” ucap wanita itu kepada Jodha menunjuk sofa di ruang tamu, dia juga menghempaskan pantatnya di sofa di samping Jodha.
“Makasih Bu Hamidah.” Sahut Jodha dengan sungkan. Bu Hamidah tersenyum.
“Tidak usah sungkan, Jo. Santai aja. Anggap rumah kamu sendiri ya sayang.” Bu Hamidah mengusap bahu Jodha yang masih tertunduk malu.
“Baik Bu.”
“Jangan seperti itu, Jo, angkat wajah kamu dan lihat Ibu. Anggap saja Ibu ini orang tua kamu sendiri, setiap masalah itu pasti ada jalan keluarnya sayang. Kuncinya hanya satu, bersabar. Jangan buru-buru mengambil keputusan. Yang penting sekarang kamu istirahat dulu, tenangkan pikiran kamu. Nanti Ibu kenalkan dengan suami Ibu dan anak Ibu.” Jodha mengangguk.
“Iya Bu. Terima kasih sudah mau menampung saya dan mau mempekerjakan saya. Saya tidak tahu harus berterima kasih dengan cara apa.” Bu Hamidah kembali tersenyum. Tangannya menggenggam tangan Jodha yang berada di atas pahanya.
“Nggak usah seperti itu. Ibu senang wanita sepertimu yang punya pendirian dan kemauan yang kuat. Sekarang kamu istirahat dulu, nanti Bi Ijah menunjukkan kamar kamu.” Bu Hamidah memanggil nama pembantunya. Dengan sigap Bi Ijah datang.
“Ada apa Nyonya?” tanya Bi Ijah dengan sopan.
“Ini ada Jodha, nanti dia kerja sebagai sopir saya. Tolong tunjukkan kamar dia ya Bi.”
 “Baik Nyonya.” Bi Ijah mengangguk kemudian menatap Jodha dan tersenyum dengan lembut, “mari saya antar Nak Jodha.” Jodha mengangguk dan berdiri.
“Iya Bi. Maaf Bu, saya permisi dulu ya.”
“Iya Jo, istirahat ya.”
“Baik Bu.”
Jodha pun melangkah mengikuti Bi Ijah menuju kamarnya. Hamidah menatap punggung Jodha dengan tatapan kasihan. Dia menghela nafas, kemudian berdiri dan melangkah menuju kamarnya.
“Nah, Nak Jodha ini kamarnya. Semoga betah ya, walaupun agak kecil. Kalau ada apa-apa panggil Bibi aja ya, Bibi ada di dapur.” Ucap Bi Ijah mempersilakan Jodha masuk ke kamarnya.
“Makasih ya Bi. Ini bagus juga kamarnya Bi. Tenang aja, saya akan betah kok.” Sahut Jodha dengan senyum tulus.
“Sama-sama Nak Jodha, kalau begitu Bibi ke dapur dulu ya.”
“Panggil Jojo aja Bi, biar lebih akrab.”
“Baiklah Jo, Bibi permisi dulu ya.”
“Ya Bi.” Bi Ijah pun keluar dari kamar Jodha untuk melanjutkan pekerjaannya di dapur.
Sejenak Jodha memperhatikan kamarnya, kamar dengan warna cat hijau yang lembut, seperti warna kesukaannya. Kebetulan sekali gumamnya. Kamarnya tidak terlalu besar, kira-kira ukuran tiga kali tiga meter saja. Jodha tertawa, mana ada kamar pembantu yang luas. Mimpi. Sesaat dia menggeleng menertawakan pikirannya sendiri dan mengalihkan pandangannya ke arah ke arah tempat tidur single bed dengan nakas kecil di sebelahnya, sebuah lemari pakaian ukuran sedang dan sebuah meja belajar di sampingnya. Lumayan pikirnya.
Jodha beralih ke jendela di dekat tempat tidurnya dan melangkah membuka daun jendela tersebut, seketika hatinya terasa sejuk melihat pemandangan di luar jendela kamarnya. Sebuah kebun, atau lebih tepatnya sebuah taman. Atau mungkin jua kombinasi keduanya, karena selain terdapat tanaman bunga juga terdapat beberapa tanaman apotik hidup, beberapa pohon mangga dan belimbing yang sedang berbuah lebat. Jodha menelan ludah melihat buah-buah yang menggiurkan itu. Namun dia segera berbalik dan menjauhi jendela itu untuk membuang rasa ingin memetik buah-buahan yang berada di luar.
Segera saja Jodha mulai membereskan barang-barangnya di tempat yang sudah di sediakan, karena barangnya hanya sedikit jadi pekerjaannya lebih cepat. Dia melangkah ke tempat tidurnya dan membaringkan tubuhnya, lumayan capek meskipun perutnya merasa lapar.  Ingin memejamkan matanya namun pikirannya masih simpang siur, pertemuannya dengan majikannya Bu Hamidah tadi siang. Walaupun Bu Hamidah tidak mau dia dianggap majikan, tetapi tetap saja Jodha merasa seperti itu.

=flashback=

Jodha melangkah tidak tahu arah, dia hanya mengikuti kemana kakinya melangkah sambil menyeret kopernya perlahan-lahan. Di wajahnya masih tersisa bekas air mata, hidungnya masih terlihat merah. Masih teringat dengan jelas perkataan ayahnya yang sudah dengan tega mengusirnya hanya karena dia menolak perjodohan yang diberikan kepadanya.
“Sekarang pilih Jodha, menerima perjodohan itu atau pergi dari rumah ini. jangan pernah lagi menginjakkan kakimu disini. Detik kau menolak perjodohan ini detik itu juga kau bukan anakku lagi.” Bentak Bharmal ayah Jodha.
Jodha hanya bisa menangis, dia tidak rela harus menikah dengan laki-laki pilihan ayahnya. Seorang laki-laki br*****k, suka gonta-ganti pasangan, dan suka mempermainkan wanita. Hanya karena ayahnya berhutang dengan laki-laki itu maka dengan seenaknya dia meminta Jodha menjadi istrinya. Sedangkan Jodha masih ingin melanjutkan kuliahnya yang tinggal sedikit lagi, ingin berkarier dulu dan merasakan bagaimana rasanya di dunia kerja.
“Tapi Ayah, Adam itu bukan laki-laki yang baik. Apa ayah tega menyerahkan aku kepada laki-laki yang tidak bertanggungjawab seperti dia hanya karena uang? Apa bedanya ayah dengan g**m* yang menjualku hanya demi uang? Aku tidak mau ayah, tolong.” Jodha menangis terisak-isak. Hatinya pedih, dimana rasa sayang ayahnya yang dulu tulus.
Seandainya ibunya masih ada, tentu dia mempunyai seseorang tempatnya berbagi. Namun kini dia hanya sendiri menanggung semua beban hatinya. Dia sudah tidak sanggup lagi.
“Ayah tidak menjualmu. Ayah hanya ingin kau tidak kekurangan apapun. Adam itu kaya, tujuh turunan tidak akan habis dan kamu tidak perlu memikirkan biaya hidupmu yang semakin hari semakin berat. Harusnya kamu bersyukur masih ada orang yang mau denganmu dan ingin mengangkatmu sebagai istri. INGAT, SEBAGAI ISTRI, BUKAN sebagai simpanan.” Ucap Bharmal masih dengan emosi yang memuncak. Kekesalannya bertambah melihat anaknya menolak laki-laki pilihannya mentah-mentah.
“Aku tidak butuh harta ayah, aku hanya ingin memiliki seseorang yang tulus menyayangiku. Aku hanya ingin bahagia dengan laki-laki pilihanku sendiri. Tapi saat ini aku belum siap untuk menikah Ayah, Aku mohon ayah, mengertilah.” Ucap Jodha sambil memeluk kaki ayahnya yang berdiri berkacak pinggang dan menatapnya dengan tajam.
“Tidak. Kamu yang harus mengerti Jodha. Apalagi yang kamu kejar? Apa? Impian apalagi selain dari kekayaan, hah?” sembur Bharmal. Dia tidak bergeming sedikit pun. Hatinya masih membatu.
“Impian tidak harus dengan kekayaan harta Yah, tetapi lebih ke hati. Aku hanya ingin meraih impianku dengan bahagia.” Jodha masih terus berusaha memberikan pengertian kepada ayahnya.
“Halah...impian apa itu? pokoknya ayah tidak mau tahu. Terima perjodohan ini atau pergi dari sini. Pilihan ada padamu.” Bentak Bharmal lagi. Tangannya melepas paksa tangan Jodha yang memeluk kakinya, meninggalkan gadis itu yang masih terduduk dan menangis sesunggukan. Air matanya sudah tidak bisa dibendung lagi, dari tadi mengalir terus menerus. Hatinya pedih.
Dia harus membuat keputusan. Jodha menyayangi ayahnya, meskipun ayahnya sering membentaknya, sering memarahinya, bahkan tidak jarang memukulnya disaat ayahnya sedang mabuk. Semenjak ibunya meninggal, perilaku ayahnya menjadi berubah. Tidak ada lagi seorang ayah yang lembut, pengertian, yang selalu tersenyum, dan sekarang menjadi seorang ayah yang brutal seolah tidak mengenalnya lagi.
Bergegas Jodha masuk kekamar dan mengambil pakaiannya dari dalam lemari serta memasukkannya kedalam koper, begitu juga dengan surat-surat penting dan juga buku-buku kuliahnya, laptop dan keperluan lainnya. Jodha bertekad walaupun dia tidak tahu harus pergi kemana dan bagaimana nanti hidupnya, dia harus bisa lulus dari kuliahnya.
Setelah selesai packing, Jodha menulis sebuah surat kepada ayahnya. Bagaimanapun dia tetap seorang ayah baginya. Ayah yang disayanginya.
Buat Ayah.
Maaf Ayah, aku pergi. Bukan maksudku untuk tidak mematuhi keinginan ayah, namun untuk kali ini aku mohon pengertian ayah atas keinginanku. Aku sayang dengan Ayah melebihi apapun di dunia ini, tetapi aku tidak bisa memaksa diriku untuk menerima perjodohan ini.
Jangan lupa untuk selalu makan makanan yang sehat ya Yah, jangan tidur terlalu malam, jangan mabuk lagi, seandainya suatu hari Ayah diberi jodoh lagi, carilah pengganti Ibu ya. Pasti Ibu akan bahagia dari sana melihat Ayah juga bahagia.
Maafkan anakmu yang tidak berguna ini ayah, aku doakan semoga ayah diberi kesehatan, umur panjang dan kebahagiaan. Dan semoga suatu hari nanti kita bisa bertemu dengan keadaan yang lebih baik. Maafkan atas segala kesalahanku Ayah.
Salam sayang dari Putrimu.
Jodha
Jodha melipat suratnya dan meletakkannya di atas mejanya. Perlahan dia melangkah meninggalkan kamarnya. Sesaat di depan pintu kamar Ayahnya dia berdiri, ingin pamit namun dia tidak berani. Akhirnya dia berjalan keluar tanpa pamit dengan ayahnya.
Sebelum berjalan meninggalkan rumahnya, sekali lagi dia memandang lama-lama rumah yang banyak menyimpan kenangan selama 22 tahun hidupnya. Ingin merekam semua yang ada dalam pandangannya itu sebagai bekalnya nanti. Masih terbayang kenangan itu begitu manis, senyum ibunya, senyum ayahnya dan juga kebersamaan mereka. Semua itu akan selalu dia kenang sepanjang hidupnya.
“Jodha pamit Yah, jaga diri Ayah baik-baik.” Bisiknya sampai akhirnya dia melangkah meninggalkan tempat itu.
Jodha terus berjalan menyusuri trotoar, dia tidak tahu harus kemana. Satu jam, dua jam, dia masih terus berjalan dan hari terus menjelang siang. Jodha tidak tahu berapa lama dia berjalan menyeret kopernya karena kakinya hanya melangkah sedangkan pikirannya masih tertuju kepada ayah dan rumahnya. Masih memikirkan benar apa tidak keputusannya untuk menjauh, sungguh dia tidak tega meninggalkan ayahnya namun apa daya keadaan tidak memungkinkan.
Tidak terasa di depannya terdapat sebuah halte yang nampak sepi. Jodha segera mempercepat langkahnya. Kakinya terasa capek karena terlalu lama berjalan. Jodha duduk dan menyandarkan tubuhnya di bangku panjang yang terdapat di halte tersebut. Kopernya di letakkan di dekat kakinya. Matanya terpejam, kembali air matanya mengalir lagi tanpa dapat dia tahan.
Entah berapa lama dia  duduk di halte tersebut, perutnya terasa lapar dan tenggorokannya terasa haus, namun dia tidak punya uang sepeserpun. Bahkan pagi tadi saja dia belum sempat masak keburu ayahnya berbicara tentang perjodohan itu. Jodha mengangkat kedua kakinya ke atas bangku panjang tersebut dan menekuknya sehingga dia bisa memeluk kedua kakinya dan menenggelamkan wajahnya diantara kedua lututnya. Tubuhnya bergetar menahan tangis, di tambah perutnya yang lapar membuat tubuhnya terasa lemas.
Jodha merasakan tangan seseorang diatas pundaknya. Dia mendongak dan melihat ke arah orang yang menyentuhnya. Dia terpana. Seorang wanita paruh baya berdiri memandangnya dengan senyuman lembut dan tangannya memegang pundaknya. Bukan itu yang membuat dia terpana, tetapi karena dia mengenal wanita itu.
Haa...tentu saja dia mengenal wanita itu. Dia adalah Bu Hamidah, seorang Rektor di kampusnya.
“Kamu kenapa? Dan....kenapa kamu menangis di sini sendirian?” tanya Bu Hamidah lembut. Jodha buru-buru menghapus air matanya. Walaupun itu tidak mengurangi sembab di wajahnya. Dia menggeleng, “sepertinya aku pernah melihatmu. Tapi dimana ya?” katanya sambil berpikir sejenak, “apa kau salah satu mahasiswi di universitasku?” tebak Bu Hamidah.
“I...iya Bu.” Jodha mengangguk malu, dia menurunkan kakinya dan kembali menunduk. Bu Hamidah tersenyum dan duduk di samping Jodha.
“Namamu siapa dan jurusan apa?”
“Nama saya Jodha Bu, jurusan Sastra Indonesia semester enam.” Bu Hamidah mengangguk.
“Hm....sebentar lagi lulus ya?” Jodha tersenyum kecil, dia masih segan dengan rektornya itu meskipun orangnya ramah, “oh ya, kamu kenapa disini sendirian? Nggak pulang?”
Senyum Jodha menghilang lagi. Bu Hamidah melihat mendung di wajah Jodha, entah kenapa dia merasa iba dan simpati kepadanya. Apalagi dia salah satu mahasiswi di universitas miliknya. Dia merasa ikut bertanggung jawab.
“Sa....saya...tidak bisa pulang kerumah Bu.” Jawab Jodha dengan terbata-bata, berusaha menahan tangisnya lagi.
Bu Hamidah terhenyak mendengarnya.
“Kenapa?”
Jodha hanya bisa menggeleng. Bu Hamidah tersenyum. Dia paham dan dia tidak memaksa Jodha untuk bicara. Dia tahu, pasti berat beban gadis itu ketika memutuskan meninggalkan rumahnya,
“Ya sudah, tidak apa-apa kalau kamu belum sanggup untuk cerita. Sekarang kamu mau kemana?” kembali Jodha menggeleng, “bagaimana kalau kamu ikut kerumahku saja.” Tawarnya lagi.
Jodha kaget, dengan cepat dia menoleh ke arah rektornya itu.
“Ta...tapi saya tidak ingin merepotkan Ibu.”
“Kamu tidak merepotkan Jodha, saya senang malahan dan kalau kamu mau nanti aku akan usahakan beasiswa untukmu. Bagaimana?” bujuk Bu Hamidah. Jodha berpikir sejenak.
“Maaf Bu, kalau cuma-cuma saya tidak mau. Saya tidak ingin merepotkan keluarga Ibu.” Jawab Jodha bersikeras menolak tawaran Bu Hamidah. Dia merasa tidak nyaman. Dirinya tidak dibiasakan meminta belas kasihan orang lain. Setidaknya itu yang telah diajarkan oleh kedua orang tuanya dulu.
Bu Hamidah menghela nafas dan berpikir.
“Baiklah kalau begitu. Bagaimana kalau kamu aku kasih pekerjaan?” mata Jodha nampak berbinar mendengar ucapan Bu Hamidah.
“Mau Bu, saya mau kalau ada pekerjaan.” Ucapnya dengan gembira. Bu Hamidah ikut gembira melihatnya.
“Kamu mau kerja apa?”
“Apa saja Bu, jadi pembantu rumah tangga juga saya mau.” Bu Hamidah terkekeh.
“Masa cantik-cantik begini jadi pembantu?” canda Bu Hamidah. Jodha menunduk malu. Wajahnya memerah karena tersipu.
“Ibu bisa aja. Tidak apa-apa Bu, pekerjaan apa saja saya terima asalkan halal dan saya bisa melanjutkan kuliah saya sampai selesai.” Bu Hamidah mengangguk. Kembali dia berpikir. Sesaat kemudian dia tersenyum cerah.
“Hm...apa kamu bisa nyetir Jodha?” Jodha mengangguk cepat.
“Bisa Bu, bisa. Dan saya punya sim juga.”
“Baiklah kalau begitu. Saya akan beri kamu pekerjaan sebagai sopir pribadi saya. Bagaimana?”
“Iya Bu, saya mau. Terima kasih Bu.” Ucap Jodha dengan gembira. Berulang kali dia mencium tangan Bu Hamidah sebagai tanda terima kasih.
“Ya sudah kalau begitu kamu ikut saya kerumah, nanti kamu tinggal disana. Selain kamu mengantarkan saya, kamu juga bisa leluasa kuliah. Ayo, ikut ibu kerumah.” Kata Bu Hamidah berdiri dan melangkah menuju sebuah mobil yang berhenti tidak jauh dari halte bersama seorang supir. Sebuah mobil mpv mewah bermerk Alphard keluaran terbaru nampak nongkrong dengan anggun dan dengan warna yang menyilaukan mata dan menyilaukan dunia.
Jodha menelan ludah. Seumur-umur dia belum pernah menaiki mobil yang berharga dengan hitungan M itu. Meskipun dirumahnya juga memiliki mobil, namun tetap saja mobil dirumahnya untuk ukuran standart keluarga menengah. Sedangkan ini? hah... Jodha menjadi takut untuk memegangnya. Takut lecet. Hehehe....
Akhirnya Jodha mengikuti Bu Hamidah masuk kedalam mobil tersebut untuk ikut pulang kerumah Bu Rektornya dan juga majikannya.

=flashback end=

“Jo...Jo...bangun. Sudah sore.” Jodha merasa bahunya di guncang. Dia membuka matanya, terlihat Bi Ijah berdiri sambil tersenyum menatapnya.
“Ah, aku ketiduran ya Bi?” kata Jodha bangkit dari tidurnya, selanjutnya merenggangkan otot-ototnya dengan menggeliat. Enak banget.
“Iya Jo, tadi mau Bibi bangunin tapi Nyonya melarang.” Jodha kaget.
“Jadi...jadi Ibu tadi nanya Bi?” Bi Ijah mengangguk, “aduh. Mati aku, belum kerja apa-apa sudah molor duluan.” Sungut Jodha menepuk jidatnya. Bi Ijah tertawa.
“Nggak apa-apa Jo, Nyonya mengerti kok. Makanya tadi dia tidak bangunin kamu. Ya sudah kamu mandi dulu. Tuh di ajak makan malam bersama dengan keluarga Nyonya.” Jodha mengangguk.
“Iya Bi.” Katanya sambil bangkit berdiri ingin melangkah masuk ke kamar mandi. Namun kemudian dia berhenti mendadak dan berbalik menghadap Bi Ijah yang sudah mau keluar dari kamar Jodha, “eh Bi, apa tadi? Ibu ngajak aku makan malam bersama keluarganya?” Bi Ijah mengangguk, Jodha nampak sock. Bi Ijah heran.
“Kenapa Jo? kok seperti melihat hantu gitu?”
“Nggak Bi. Aku merasa tidak pantas saja Bi makan bareng mereka. Kan Ibu majikanku juga.” Jawab Jodha sambil mengusap tengkuknya. Bi Ijah tersenyum.
“Nggak apa-apa Jo, itu artinya Ibu menganggap kamu sebagai keluarganya. Sudah, tenang saja. Keluarga ibu ramah kok, kecuali.....?” ucapan Bi Ijah terhenti.
“Kecuali apa Bi?” tanya Jodha heran.
“Kecuali Tuan Muda. Orangnya rada-rada susah sih.” Jodha mengerutkan keningnya.
“Susah bagaimana Bi?”
“Nanti kamu tahu sendiri kok. Lagian orangnya sekarang nggak ada dirumah. Sering pulang malam. Biasalah playboy cap teri.” Ucap Bi Ijah terkikik geli membuat Jodha jadi penasaran.
“Hm...jadi penasaran nih.” Ucap Jodha sambil mengetuk-ngetuk dagunya sambil berpikir.
“Kalau penasaran tunggu aja nanti malam pas dia datang. Kamu akan tahu sendiri orangnya bagaimana.” Kata Bi Ijah masih dengan senyuman lebarnya.
“Baiklah kalau begitu, Bi. Ya sudah aku mandi dulu ya.” Ucapnya sambil melangkah masuk ke kamar mandi.
Setelah mandi Jodha berinisiatif membantu Bi Ijah di dapur. Biarpun kerjaannya sebagai sopir pribadi Bu Hamidah, namun dia tidak ingin berpangku tangan. Dia terbiasa dirumahnya untuk melakukan berbagai macam pekerjaan rumah tangga termasuk memasak yang sudah menjadi hobinya. Meskipun Bi Ijah melarangnya, namun Jodha bersikeras untuk membantunya. Badannya sakit kalau dibiarkan tidur terlalu lama katanya. Akhirnya Bi Ijah hanya membiarkan saja Jodha membantunya. Disamping itu Bi Ijah merasa senang mendapat teman baru, meski usia Bi Ijah sudah berkepala empat namun dia merasa senang dengan Jodha. Begitupun Jodha, dia merasa seperti dengan ibunya sendiri, Bi Ijah yang ramah dan bersahabat.
Malam harinya Jodha di ajak makan malam bersama oleh Bu Hamidah dan suaminya Humayun. Awalnya Jodha menolak karena merasa tidak enak, namun Bu Hamidah memaksa lagipula itu makan malam pertama mereka anggap saja sebagai perkenalan. Akhirnya dengan berat hati Jodha menyanggupi untuk makan malam bersama mereka. Ternyata suami istri itu sangat ramah. Jodha merasa sangat beruntung bisa bertemu dengan keluarga ini.
Selesai makan malam Jodha kembali ke kamarnya duduk bersandar di atas tempat tidur dan bersandar di kepala ranjang, dia membaca novel kesayangannya. Meskipun sudah berulang kali dibacanya bahkan sampai hapal isinya namun dia masih betah dan sangat suka mengulangnya. Tiba-tiba terdengar suara bel rumah. Jodha menghentikan kegiatannya dan melihat jam di hpnya sudah menunjukkan pukul 10 malam. Bergegas dia bangkit dari tempat tidurnya dan berjalan membuka pintu, ternyata Bi Ijah sudah ada di depan pintu kamarnya.
“Sepertinya Tuan Muda sudah datang, Jo. Kamu saja yang bukain pintunya. Selamat kenalan.” Goda Bi Ijah sambil senyum-senyum tidak jelas. Jodha menjadi heran. Namun dia akhirnya hanya mengangkat bahu dan berjalan ke depan untuk membukakan pintu.
Bel masih terus berbunyi. Jodha menggerutu panjang pendek mendengar bel yang sepertinya dipencet dengan tidak sabar itu. Ketika pintu terbuka, dia hanya berdiri mematung memandangi seorang pria yang juga berdiri kaget ketika melihatnya.

“Hai cantik.” Jodha terkejut,

~~~TBC~~~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar