Menu

Jumat, 12 Februari 2016

BIARKAN AKU JATUH CINTA. PART. 13 (GADIS PANGGUNG)


Jeep Jalal melaju mengikuti jeep yang dikendarai oleh Bayu. Jodha dan Nadia ikut serta berada satu dengan Abangnya. Sesekali Jodha menoleh kebelakang dan tersenyum, melihat mobil yang dikendarai oleh tuan mudanya. Jodha teringat ketika majikannya itu memeluknya dengan gembira ketika dia mengatakan kalau dia saat ini bukan milik siapa-siapa.
Ada perasaan hangat mengalir dalam dadanya, bahkan ketika dia tau kalau tuan mudanya itu mengikutinya dia merasa sangat senang. Apalagi selama seminggu itu sikap majikannya begitu acuh kepadanya. Entah apa sebabnya. Jodha merasa kalau majikan mudanya sudah kembali. Senyum tidak berhenti mengembang dari bibirnya.
“Aduh, bisa-bisa krim anti aging nggak laku nih lama-lama.” Celetuk Nadia yang berada di belakang Abangnya sambil memijat-mijat kedua pipinya. Sedangkan Jodha duduk di samping Bayu.
Jodha menoleh ke arah Nadia yang membuang muka ke arah luar. Sementara Bayu yang menyetir hanya mengerutkan kening mendengar celetukan adiknya.
“Kamu kenapa Nad?” tanya Jodha heran. Nadia tersenyum geli.
“Nggak kok. Cuma mau bilang kalau krim anti aging lama-lama nggak kepakai lagi.” Masih dengan rasa heran Jodha menatap Nadia yang sepertinya acuh saja.
“Emang kenapa Nad?”
“Ya karena emang nggak diperlukan sih, hanya dengan selalu tersenyum bahagia akan membuat awet muda. Apalagi senyum untuk pujaan hati.” Sindir Nadia. Barulah Jodha mengerti. Wajahnya memerah karena malu, namun Bayu terkekeh mengerti akan ucapan adiknya itu.
“Kamu ngomong apaan sih Nad?” tanya Jodha malu. Pipinya terasa panas. Nadia justru tertawa terbahak-bahak.
“Ciee...itu mukanya merah Bang, adikmu ini sudah jatuh cinta Bang. Oh, cinta.” Ucap Nadia menggoyangkan bahu abangnya. Bayu tersenyum dan menoleh sekilas kearah Jodha yang menyembunyikan rona wajahnya ke arah lain .
“Nggak usah malu Jo, memang sudah saatnya kamu kenal cinta dan nggak usah malu mengakui kalau kamu juga suka sama majikan kamu itu kan?” tanya Bayu dengan lembut. Jodha hanya tersenyum malu.
“Aku...aku masih nggak yakin Bang.” Nadia memutar bola matanya.
“Itu lagi alasannya. Kurang cukup bukti apalagi Jo, hah? Apa kamu nggak lihat majikanmu itu bela-belain jadi stalker hanya untuk tahu kegiatanmu hari ini. Bahkan dia terlihat down banget ketika Abang bilang tunanganmu, dia kurang cemburu apa coba?” kata Nadia mulai kesal.
“Dia...dia... belum pernah bilang kalau dia suka sama aku Nad. Aku hanya takut, nanti malah aku dibilang kegeeran lagi.” Bela Jodha. Wajar kalau Jodha tidak berani berharap yang tidak-tidak kepada tuan mudanya itu, banyak hal yang berbeda yang membuatnya tidak bisa percaya seratus persen dengan ucapan Nadia.
“Sekarang aku tanya, kamu suka tidak sama Bang Bos?” Jodha kembali tersipu.
“Hm...gimana ya? Aku bingung Nad.” Nadia berdecak.
“Aku cuma tanya suka apa tidak, dan kamu hanya bilang iya atau tidak. Gitu aja kok susah sih.” Gerutu Nadia. Bayu hanya tersenyum geli mendengar percakapan kedua adiknya itu.
“Hm...suka sih.” Jawab Jodha pelan.
“Naaah, gitu kan enak. Sudah jelas nanti harus bagaimana kalau Bang Bos nembak kamu Jo.” Kata Nadia memainkan kedua alisnya sambil tersenyum menggoda Jodha.
“Iya, tapi apa mungkin?”
“Tenang saja saudaraku sayang, aku yakin tidak lama lagi dia pasti akan mengutarakan perasaannya kepadamu. Pegang omonganku.” Ucap Nadia dengan mantap. Jodha mencibir.
“Sok tahu kamu Nad.” Nadia terkekeh.
“Ya taulah. Nadia gitu lo. Lihat saja. Apalagi bila dia lihat banyak anak-anak berada dekat denganmu nanti di rumah mami, aku yakin dia kembali akan kebakaran jenggot. Hahaha...” Nadia tergelak, Bayu hanya menggeleng melihat kelakuan adiknya itu yang begitu bersemangat ingin menjodohkan Jodha dengan majikannya.
“Terus, gimana dengan temannya majikanku itu Nad? Kayaknya dia naksir kamu deh.” Kata Jodha membalikkan keadaan. Nadia hanya mengangkat bahu. Cuek.
“Emang masalah buat aku? Yang naksir dia kok. Yang terserah dia lah. Kan hak dia suka sama siapa?”
“Kalau dia beneran suka sama kamu gimana Nad?” goda Jodha.
“Tanya sama Abang tuh.” Todong Nadia.
“Gimana Bang, kalau Man suka sama Nadia?” Bayu mengangkat bahu.
“Kenapa jadi tanya ke Abang?”
“Yee, Abang gimana nih. Kan sebagai Abang harusnya bisa menilai baik apa tidaknya laki-laki yang suka sama adiknya.” Ucap Nadia dengan sewot. Bayu terkekeh.
“Dengar ya, adik-adik Abang sayang. Siapapun laki-laki yang suka kepada kalian, Abang tidak peduli selama kalian itu merasa nyaman dengannya. Hanya satu yang Abang pesan untuk kalian, carilah laki-laki yang bersungguh-sungguh memperjuangkan cintanya dan tidak pernah merendahkan wanita.” Jelas Bayu panjang lebar sambil matanya fokus menyetir.
“Caranya tahu gimana Bang?” tanya Nadia antusias dan diamini oleh anggukan Jodha.
“Ya lihat bagaimana sikapnya dengan kalian dan juga dengan orang tuanya, terutama Ibunya.” Jodha dan Nadia manggut-manggut.
“Gitu ya Bang.” Bayu mengangguk, “jangan bilang kayak Abang?” todong Nadia. Bayu terkekeh.
“Ya kalau memang menurut kalian sifat Abang kayak gitu, kenapa nggak?” Nadia memutar mulutnya.
“Ujung-ujungnya memuji diri sendiri jadinya.” Gerutu Nadia. Bayu dan Jodha tertawa mendengarnya.
Jeep yang mereka kendarai terus melaju menuju luar kota, namun sebelum sampai perbatasan kota mereka berhenti disebuah komplek dengan pagar tembok yang memanjang disepanjang pinggir jalan. Di pintu gerbang komplek tersebut terdapat nama kebun wisata.
Aktivitas di pintu gerbang tersebut lumayan ramai, bahkan mobil-mobil pun antri untuk masuk. Beberapa petugas penjaga tiket dan penjaga pintu gerbang nampak sibuk memeriksa. Maklumlah, setiap hari minggu atau setiap hari libur tempat itu pasti ramai dikunjungi oleh orang-orang yang ingin sekedar melepas penat dari berbagai macam kesibukan selama seminggu kerja.
Setelah mengantri beberapa lama, akhirnya jeep Bayu dan di susul jeep Jalal masuk ke area tersebut secara perlahan-lahan. Jalal dan Mansingh tidak henti-hentinya terpesona melihat di sepanjang kiri kanan jalan masuk yang dibuat sebagai taman, dengan ditanami rumput-rumput jepang yang terpelihara dengan baik. Di beberapa tempat di tengah taman tersebut di tanami dengan pohon cemara kipas. Bahkan beberapa macam bunga berbatang rendah dan menggerombol di bentuk sedemikian rupa semakin menambah indahnya taman tersebut.
Tidak perlu waktu lama untuk mereka menyusuri jalan masuk itu, sampailah disebuah bangunan cafe dan resto dengan logo NB yang disatukan. Sebuah bangunan dengan konsep alam. Bangunan tersebut terbagi menjadi dua bagian namun masih dalam satu bangunan. Satu bagian dikemas dengan meja kursi yang tersusun rapi dan teratur. Bagian yang satu lagi dibuat dengan konsep lesehan. Biasanya diperuntukkan untuk pengunjung yang berkeluarga. Sedangkan di tengah-tengah ruangan tersebut terdapat sebuah kolam buatan kecil lengkap dengan air mancur mini yang di dalamnya terdapat beberapa jenis ikan koi.
Dinding-dinding bangunan tersebut dilukis dengan wallpaper nature, lantainya pun di buat seolah-olah menggunakan papan dari kayu agar terlihat alami, sehingga berada di cafe dan resto tersebut terasa menikmati makan ditepi hutan dan taman yang masih asri. Bahkan lampu-lampu yang tergantung dibikin lebih kreatif dengan menggunakan bahan-bahan yang terbuat dari ranting kering dan hiasan dari bambu. Masih di tengah bangunan dan searah dengan kolam mini, dibangun sebuah panggung yang tidak terlalu tinggi yang diperuntukkan untuk band musik ataupun hanya sekedar berkaraoke lewat organ tunggal agar bisa menghibur para pengunjung.
Jalal dan Mansingh terkesiap ketika masuk ke dalam cafe dan resto tersebut. Mereka disambut dengan lantunan musik yang lembut dan menenangkan yang membuat betah untuk di dengar. Meski terlihat lebih alami namun terkesan elegan karena di konsep dengan apik dan teliti. Sementara Jodha, Bayu dan Nadia hanya tersenyum  melihat kedua orang tersebut memandang takjub ke dalam cafe dan resto tersebut.
Dari arah dalam di samping panggung terdapat sebuah pintu yang menghubungkan kebelakang bangunan, muncullah seseorang yang sudah pernah Jalal lihat sebelumnya. Iya. Dia pernah bertemu dengan laki-laki itu di mall seminggu yang lalu, seseorang yang sempat membuatnya marah-marah karena cemburu. Dia adalah Todarmal.
Laki-laki itu mendatangi mereka. Jalal dan Mansingh tertinggal agak jauh dari mereka bertiga. Todarmal bersalaman dengan Bayu dan saling berpelukan. Jalal dan Mansingh hanya diam saja menyaksikan interaksi antara mereka. Bayu dan Todarmal nampak begitu akrab. Bahkan mereka berbicara seperti sudah mengenal sangat lama. Setelah menyalami dan memeluk Bayu, giliran Jodha dan Nadia yang dipeluk. Kali ini Jalal tidak emosi seperti  sebelumnya karena dia berusaha untuk menekan rasa cemburu yang mungkin akan membuatnya semakin malu.
“Apa kabar Adik-Adik Abang nih?” kata Todar memeluk Jodha dan Nadia di sisi kiri kanannya. Kedua gadis itu tertawa.
“Baik dong Bang.” Jawab Nadia, diangguki oleh Jodha, “Abang sendiri gimana kabarnya?” Todarmal tersenyum.
“Ya, seperti yang kalian lihat sekarang. Sehat.”
Jodha teringat dengan tuan mudanya. Sejak tadi dia lupa karena bertemu dengan Todarmal, dia melirik ke arah Jalal dan Mansingh yang masih menatap mereka dan melepaskan pelukkannya.
“Bang,” Todarmal menatap Jodha.
“Ya Jo.”
“Aku bawa teman nggak apa-apakan?” Todarmal tertawa.
“Emang kamu bawa berapa orang sih jadi nanya gitu?” Jodha tersenyum.
“Nggak banyak sih, cuma dua orang aja.” Todarmal kembali tertawa.
“Kirain se-truk.” Jodha terbahak.
“Ish Abang. Kalau se-truk mah, jauh-jauh hari aku kasih surat pemberitahuan untuk booking tempat.” Todarmal ikut tertawa, tangannya mampir di kepala Jodha dan mengacak rambut  gadis itu.
“Sekarang mana temang kamu itu, biar Abang siapkan makanannya. Kalian belum makankan?” kompak Jodha dan Nadia mengangguk.
“Iya Bang, laper nih. Sudah lama nggak makan masakan Abang.” Ucap Nadia sambil nyengir.
“Iya deh. Tunggu aja ya Nona.”
“Oke. Tapi nggak pake lama ya. Keburu lemes ntar nggak bisa manggung deh.” Todarmal tertawa.
Jodha menarik tangan Todarmal ketempat tuan mudanya dan Mansingh berdiri. Sementara Nadia bersama Bayu mencari tempat duduk yang kosong yang bisa menampung mereka berlima.
“Loh, bukannya kita sudah pernah ketemu?” tanya Todarmal melihat Jalal.
Jalal mengangguk dan tersenyum malu.
“Iya Bang, tempo hari di mall sewaktu bersama Jodha.”
“Oh iya, aku baru ingat. Kamu yang majikan Jodha itu kan? Yang sempat marah-marah waktu aku memeluk Jodha.” Wajah Jalal memerah mendengar ucapan Todarmal. Dia merasa malu karena sudah mencemburui orang yang salah. Jodha menyenggol tangan Todarmal.
“Ish, Abang apaan sih? Nggak usah mengungkit masa lalu deh.” Todarmal tertawa.
“Iya, iya maaf. Ya sudah, kalian duduk aja. Abang siapkan dulu ya makanan istimewa untuk tamu-tamu Abang.”
“Iya Bang.”
Todarmal pun berlalu meninggalkan mereka bertiga. Jodha mengajak Jalal dan Mansingh bergabung di meja Bayu dan Nadia.
Saat itu pengunjung ramai. Namun kebanyakan mereka adalah pengunjung kebun wisata yang sudah kelelahan berwisata ke kebun yang ada ditempat itu dan makan siang di cafe dan resto NB. Menu makanan yang sederhana khas pedesaan namun di tata dengan apik membuat makanan tersebut terlihat mewah. Ditambah rasanya yang lezat dan suasana alami membuat pelanggannya cafe dan resto itu selalu ramai.
Jodha membawa Jalal dan Mansingh duduk bersama Bayu dan Nadia. Mereka menggunakan meja bunda yang agak besar, sehingga meski mereka berlima namun tidak terlihat sesak. Mansingh duduk di samping Bayu, di susul Jalal dan Jodha. Sementara Nadia duduk di antara abangnya dan Jodha.
“Bagaimana menurut kalian tempat ini?” tanya Bayu kepada Jalal dan Mansingh.
“Bagus Bang. Bikin betah.” Jawab Mansingh.
“Kalau menurutmu gimana Jalal?”
“Sama Bang. Suasananya menyenangkan. Aku baru tahu kalau ada tempat seperti ini di sini.” Bayu tertawa. Nadia dan Jodha hanya tersenyum mendengarnya, “oh ya Bang, Bang Todarmal itu kerja disini ya?” Bayu mengangguk.
“Iya. Dia manager di sini. Selain mengawasi cafe dan resto ini, dia juga mengawasi  kebun wisata di belakang bangunan ini dan sebuah grasstrack.” Mansingh dan Jalal kaget.
“Grasstrack?” ucap mereka berdua bersamaan. Bayu menggangguk. Nadia mencebikkan bibirnya, sedang Jodha hanya tersenyum geli.
“Iya. Kenapa?” keduanya menggeleng, “itu dulu tempat Jodha dan Nadia sering berlatih balapan, dan yang melatih ya Todarmal itu.” Jelas Bayu. Mansingh menatap kagum ke Nadia, namun yang di pandang malah membuang muka ke arah lain. Begitu juga dengan Jalal, menoleh ke arah gadis pujaannya dan berdecak kagum. Jodha hanya tersenyum seperti biasa, namun pipinya sedikit memerah.
Baru saja Jalal ingin bicara tetapi tidak jadi karena para waitress sudah mengantarkan makanan untuk mereka. Beberapa menu seperti ayam bakar, ikan bakar, lengkap dengan sambal dan lalapannya. Bahkan tahu tempe goreng pun tersedia. Untung tidak ada brokoli. Hehehe...
Mereka berlima menikmati makan siang itu dengan nikmat. Jalal benar-benar merasakan suasana yang berbeda kali ini. Makan di tempat seperti ini dan juga ditemani Inemnya beserta temannya membuat nafsu makannya bertambah. Semua terasa lezat, padahal makanan seperti itu banyak saja dicari disetiap sudut kota. Tetapi entah kenapa rasanya kali ini berbeda. Mungkin hanya perasaan Jalal saja atau memang makanan itu enak. Dan Jalal tidak memperdulikan hal itu. (Ya elah Bang, situ nggak peduli. Lah, disini authornya dah ngeces nih sambil ngetik. Masa nggak kasihan sih Bang? Hehehe...).
Bayu dan ketiga  orang lainnya sudah selesai makan, hanya tinggal Nadia yang belum selesai. Dia begitu menikmati ikan bakar dihadapannya. Dengan tangan masih belepotan sambal, dia memakan ikan bakar itu dengan teliti. Satu persatu tulang-tulang ikan tidak lolos dibersihkan dari mulutnya, tidak diperdulikannya tatapan aneh dari teman-temannya, terlebih dari pemuda yang terus menatapnya itu. Biar saja pikirnya, biar dia ilfeel kepadaku. Bathinnya.
Tetapi rupanya Mansingh bukannya jijik malah suka melihat pemandangan di depan matanya. Seorang gadis yang tidak gengsi dengan keadaannya, membuatnya begitu menikmati makanan di hadapannya itu dengan tenang.
“Bang,” panggil Mansingh kepada Bayu. Bayu mengalihkan pandangannya dari Nadia ke arah Mansingh.
“Ya Man.” Mansingh menghembuskan nafas sebentar.
“Aku mau minta ijin sama Abang.” Bayu mengerutkan keningnya, begitu juga dengan Jalal dan Jodha. Tetapi Nadia tetap fokus dengan makanannya.
“Minta ijin?” Mansingh mengangguk, “kemana? Toilet?” Mansingh menggeleng.
“Aku mau minta ijin sama Abang, agar aku bisa mendekati Nadia adik Abang.” Jawab Mansingh mantap. Bayu sempat terkejut dengan permintaan Mansingh. Semua itu sungguh diluar dugaannya. Bahkan Jalal sebagai sahabatnya saja tidak menduga kalau Mansingh akan berkata seperti itu.
Nadia yang mendengar ucapan Mansingh langsung tersedak. Dengan cepat Jodha yang di sampingnya menyodorkan air minum sambil tersenyum geli. Setelah dirasa cukup, dia meletakkan kembali gelas tersebut dan menatap Mansingh dengan melotot. Namun Mansingh tidak bereaksi apa-apa karena dia masih memandang ke arah Bayu untuk meminta jawaban.
“Kenapa kamu minta ijin segala Man?” tanya Bayu sambil terkekeh.
“Itu karena aku sungguh-sungguh  menyukai adik Abang. Dan aku ingin dengan meminta ijin kepada Abang sebagai kakaknya sebagai bukti keseriusanku.”
“Tapi, Abang nggak menjamin Nadia akan menerima kamu loh?” Mansingh tersenyum.
“Aku tahu itu Bang, dan Aku hanya butuh ijin dan restumu saja karena aku akan berusaha sendiri menaklukan hatinya.” Kembali Bayu terkekeh.
“Kamu ini Man, kenapa kamu bisa begitu yakin bisa menyukai adik Abang yang usil ini, padahal kamu kan baru bertemu hari ini?” tanya Bayu dengan tangan bersidekap. Mansingh tersenyum.
“Hubungan yang lama tidak bisa menjamin kita bisa suka dengan orang kan Bang? Dan meski baru satu hari aku bertemu namun aku merasakan nyaman dihati. Setidaknya aku mengatakan ini di hadapan Abang dan Nadia sebagai bukti kalau aku tidak main-main dengan perasaanku.” Jawab Mansingh dengan tenang sambil menatap Nadia. Gadis itu entah kenapa memilih menunduk dan diam, tidak mau membalas tatapan Mansingh. Dia menyibukkan diri membersihkan tangannya yang sudah selesai menikmati makanan yang ada dihadapannya tadi.
Sementara itu, Jalal merasa tertampar dengan ucapan Mansingh. Sahabatnya yang baru saja kenal hari ini sudah dengan berani meminta ijin dengan Bayu untuk mendekati adiknya, yang seharusnya membuat laki-laki manapun akan takut berhadapan dengan Abangnya. Tetapi nyatanya Mansingh tidak takut.
Mansingh saja berani terus apa kabar dengan perasaannya kepada Inem? Hello... bisakah dia bersikap seperti Mansingh? Padahal mereka sudah kenal berbulan-bulan dan tinggal satu atap. Sedangkan Mansingh baru satu hari bertemu saja sudah berani. Catat pemirsa. BARU SATU HARI.
Sejenak Bayu terdiam, di tatapnya pemuda yang ada dihadapannya itu dengan seksama. Dia sempat merasa kagum dengan keberanian Mansingh yang meski dia baru kenal namun Bayu bisa menilai kalau pemuda itu adalah laki-laki yang baik. Setidaknya dia berani memulai suatu hubungan dengan di ketahui oleh keluarga Nadia.
Meski Bayu tidak tahu apakah adiknya itu menerima atau tidak tetapi biarlah mereka sendiri yang akan melakukannya. Dan Bayu sebagai abangnya hanya mengarahkan mereka saja agar huhungan mereka menjadi hubungan yang sehat.
Setelah menghela nafas, Bayu akhirnya mengangguk.
“Baiklah. Abang ijinkan kamu mendekati Nadia.” Mansingh tersenyum bahagia. Sementara Nadia hanya melongo tidak percaya.
“Terima kasih Bang.” Jawab Mansingh dengan gembira, Bayu mengangguk.
“Abang apaan sih? Kenapa juga diijinkan?” ucap Nadia sewot, dia menatap Mansingh dengan pandangan tidak suka. Namun, Mansingh hanya tersenyum dengan memainkan kedua alisnya.
“Emangnya kenapa Nad? Apa hak Abang melarang coba?”
“Kalau dia macam-macam sama aku gimana Bang?” tanya Nadia masih dengan mulut manyun.  Bayu malah terkekeh.
“Kalau dia macam-macam ya tinggal kamu hajar aja, bereskan?” Mansingh jadi meringis mendengarnya, sedangkan Jalal dan Jodha hanya tertawa.
“Heh, aku tanya nih sama kamu.” Ucap Nadia dengan nada sedikit keras, “apa yang bisa kamu banggain ke aku yang membuat kamu yakin kalau aku bisa suka sama kamu?” tanya Nadia sambil bersidekap di depan dada, matanya menatap dengan tajam. Mansingh tersenyum.
“Aku memang tidak bisa karate seperti kamu Baby,” Nadia mendelik mendengar panggilan Mansingh kepadanya, namun Mansingh tetap acuh saja. “tetapi aku punya cinta dan ini...” katanya menepuk dadanya.
“Apa itu?”
“Disini. Di dada ini sebagai tempat untukmu berbagi, untukmu menghilangkan segala kegundahan, untukku memberikan rasa nyaman dan perlindungan. Aku tahu kamu kuat secara fisik, tetapi kamu akan tetap memerlukan tempat untukmu mendapatkan kekuatan disaat hatimu merasa rapuh.” Mendengar ucapan Mansingh, Jodha sampai bertepuk tangan.
“Ciee...Mansingh mendadak romantis nih.” Ledek Jodha. Bayu sampai menggelengkan kepala melihat Mansingh.
“Nggak usah sok tahu kamu. Kamu pikir aku bisa secepat itu suka sama kamu hanya dengar mendengar ucapan gombalmu itu?” sentak Nadia. Mansingh hanya mengangkat bahu.
“Aku tidak memaksa kamu percaya kepadaku untuk saat ini Baby. Aku akan membuktikannya perlahan-lahan, dan aku akan menunggu saat kamu akan percaya kepadaku.”
“Terserah.” Sahut Nadia akhirnya menyerah. Dia sampai tidak habis pikir, bagaimana bisa laki-laki itu suka kepadanya begitu cepat. Dia kira aku wanita gampangan apa? Pikirnya.
“Sudah. Nggak usah dibahas lagi. Itu bisa dibicarakan nanti saja.” Kata Bayu menengahi, “sekarang kita lakukan tugas kita dulu, nanti keburu Abang pulang.” Kata Bayu beranjak dari tempat duduknya. Abang tinggal dulu ya Jalal, Man.” Kedua laki-laki itu mengangguk meski dengan wajah penasaran. Bayu meninggalkan meja tersebut diikuti oleh Jodha dan Nadia. Jalal mencekal tangan Jodha, membuat langkah gadis itu terhenti. Dia menoleh.
“Kenapa Tuan?”
“Kamu mau kemana Nem?” Jodha tersenyum.
Perform.” Jawabnya singkat.
“Hah...”
“Tuan lihat saja nanti ya.” Kata Jodha mengedipkan matanya. Jalal akhirnya melepaskan cekalan tangannya dan membiarkan Jodha meninggalkan mereka berdua.
“Kira-kira mereka ngapain ya Man?” tanya Jalal tidak sabar. Mansingh hanya tertawa.
“Mana aku tahu Bos. Kan kita berdua juga baru saja disini.”
“Iya sih.” Jawabnya pelan, tetapi kemudian Jalal menatap Mansingh dengan pandangan tidak terbaca. Mansingh tersenyum miring.
“Gila Man, aku salut sama kamu. Di depan Abangnya kamu terang-terangan bilang suka sama Nadia. Gadis usil itu.” Mansingh tersenyum bangga.
“Ya iyalah. Emangnya Bos. Cemen dan lelet.” Jalal mendengus kesal, “laki-laki itu, tidak akan pernah takut di tolak Bos. Karena laki-laki itu ditakdirkan sebagai pejuang. Jika sekarang Nadia menolakku, tetapi aku yakin suatu saat dia akan luluh juga.” Jalal hanya tersenyum miris.
“Iya Man, kamu benar. Aku memang pengecut. Tidak pernah berani memperjuangkan cintaku dan hanya bisa berharap dia mengerti saja.” Sahut Jalal menghembuskan nafas. Mansingh tersenyum melihat sahabatnya. Ditepuknya bahu Jalal dengan lembut.
“Sabar saja Bos, aku yakin sepertinya Jodha pun punya perasaan yang sama denganmu. Hanya saja sekarang bos harus yakinkan hati kalau Jodha itu hanya untukmu.” Jalal kembali menatap wajah sahabatnya itu. Yah, meskipun Mansingh itu sering bertingkah konyol dan membuatnya kesal, namun ucapanya itu ada benarnya juga. Jalal mengangguk.  Baru saja mulutnya ingin berucap, dari arah panggung terdengar suara check sound yang dilakukan oleh seorang perempuan. Mansingh dan Jalal terperangah ketika melihat diatas panggung tersebut.
Yeah, Nadia berdiri di depan mikrofon lengkap dengan stand yang tingginya sejajar dengan gadis itu, sementara dikiri belakang Nadia ada seseorang yang sejak mereka masuk tadi sudah berada di belakang keyboard, Bayu sudah berada diposisinya memegang gitar akustik, dan yang mencengangkan untuk Jalal adalah Jodha berada di belakang drum set dengan tangan siap memegang stick drum. Wow, Inemnya berperan sebagai drummer.
Jalal hampir tidak berkedip melihat Jodha yang tersenyum di belakang drum set itu kepadanya. Jodha tahu cepat atau lambat tuan mudanya itu pasti akan mengetahui hobinya yang satu ini.
“Selamat siang para pengunjung NB cafe and resto semuanya, semoga di hari yang cerah ini anda semua masih tetap bersemangat. Ijinkan siang ini kami ingin menyumbang beberapa lagu untuk menghibur anda semua, dan semoga bisa menambah keceriaan anda bersama keluarga.” Ucap Nadia dengan gayanya yang santai, senyumnya mengembang di tengah tepuk tangan para pengunjung atas sambutannya.
Tidak lama kemudian terdengar petikan gitar dari Bayu mengiringi lirik yang dinyanyikan oleh Nadia, sedangkan Jodha masih berdiam diri di belakang drumnya. Sesekali tangannya memutar stick dengan lincahnya.

There's a fire starting in my heart
Reaching a fever pitch and it's bringing me out the dark
Finally, I can see you crystal clear
Go head and sell me out and I'll lay your ship there

Suara empuk Nadia terdengar mengalunkan lagu Rolling In The Deep milik Edele. Lagu yang sering dinyanyikan oleh Jodha ketika dia sedang bekerja di rumah Jalal. Bibirnya seakan menari lincah menyanyikan lagu tersebut. Mansingh bahkan sampai terpana melihatnya. Gila, Nadia memang penuh kejutan.
Hentakan pedal pada drum bass dari kaki Jodha pun mengiringi lirik lagu berikutnya.

See how I leave with every piece of you
Don't underestimate the things that I will do
There's a fire starting in my heart
Reaching a fever pitch and it's bring me out the dark

Suara drum bass tersebut seakan terasa hingga menembus jantung Jalal. Sesekali Jodha tersenyum untuknya. Seandainya bisa, Jalal ingin saat ini hanya dia sendiri yang melihat bidadarinya memainkan drum dengan begitu mempesona itu, di luar tugasnya sebagai orang yang bekerja di rumah orang tuanya. Sampai lagu berakhir pun Jalal masih menatap Jodha dari mejanya. Dia bahkan lupa, apa tadi sempat berkedip atau tidak ya. Ckck...
Selesai membawakan lagu dari Edele, sekarang Nadia membawakan lagu asli dari Indonesia. Ya, lagu dangdut yang berjudul Bete milik Manis Manja. Karena pengunjung kebanyakan adalah orang-orang yang membawa keluarganya lengkap satu paket. Entah mengapa rasanya lagu itu dirasakan Mansingh seperti menyindirnya. Karena beberapa kali Nadia menyebut kata bete sambil meliriknya dengan sadis. Mansingh sampai heran sendiri, kenapa gadis itu seperti benci sekali kepada dirinya. Apa salahnya? Kurang cakep? Itukan bukan alasan untuk benci.

Aku bete sama kamu
Aku sebel sama kamu
Aku keki sama kamu
Aku bete bete bete!

Aku bete dicuekin
Aku sebel dibiarin
Aku keki dianggurin
Aku bete bete bete!
aaahhh bete

Kali ini tanpa malu-malu Nadia bergerak dan bergoyang dengan lincah mengikuti musik remix yang mereka bawakan. Tubuhnya begitu energik dan selalu semangat. Bahkan Jodha yang hanya sebagai drummer pun ikut bergerak dengan luwes di kursinya, sesekali dia ikut bernyanyi sebagai backsound sambil tersenyum. Sepertinya mereka begitu menikmati kegiatan mereka kali ini. Bayu yang memegang gitar pun tersenyum melihat adiknya yang begitu lepas saat mengakhiri lagu tersebut.
Setelah membawakan beberapa lagu, Jodha pun kembali duduk di tempat mereka semula. Sedangkan Bayu dan Nadia masih tertinggal di belakang. Jodha duduk di samping Jalal yang terus menatapnya sejak tadi, membuat perempuan itu merasa jengah dipandangi terus-terusan.
“Tuan kok memandangi saya seperti itu terus sih?” tanya Jodha  balik menatap tuan mudanya. Jalal tersenyum miring.
“Kamu hebat Nem. Aku nggak menyangka kamu begitu piawai memainkan benda itu.” Jodha terkekeh.
“Tuan masih ingatkan apa yang pernah saya ceritakan dulu, kalau saya sedang marah?”
“Maksudmu?”
“Hm...iya. Inilah yang saya maksud. Awal mula saya suka main drum adalah ketika  saya marah kepada seseorang dan tidak tahu harus dilampiaskan kemana, dan Abang Bayu lah yang kemudian mengenalkan drum ini kepada saya.” Jodha tertawa geli mengingat kenangannya dulu, “dulu saya bahkan tidak tahu sama sekali tentang nada ketika menggunakan drum. Pokoknya saya pukul saja sampai puas dan sampai perasaan saya lega. Abang bahkan tidak pernah melarang. Tetapi lama-lama saya merasa senang dan akhirnya pelan-pelan saya belajar menggunakan drum itu dengan benar.”
“Oh. Jadi ini ya yang waktu itu kamu bilang kegiatan yang menguntungkan itu?” Jodha mengangguk.
“Iya Tuan, kan lumayan sekali manggung kita dapat bayaran. Seringkali bayaran Nadia, Abang, dan juga Alex di berikan kepada saya. Mereka bilang kalau mereka hanya ingin mengasah kemampuan saja, sedangkan saya memang membutuhkan uang jadinya ya sering honornya masuk ke kantong saya.” Ucap Jodha sambil terkekeh, “saya tidak tahu kalau tidak ada mereka, mungkin saya tidak akan pernah seperti ini. Dan itu akan tetap saya ingat sampai saya mati kelak.” Ucap Jodha sambil tersenyum. Tanpa sadar Jalal menggenggam tangan Jodha yang berada di atas meja membuat jantung Jodha terasa berdetak lebih kencang. Sementara Mansingh yang sejak tadi hanya diam mengalihkan pandangannya kepada Nadia yang sibuk bersama abangnya berbincang dengan Todarmal.
“Terlepas dari semua itu, tetap saja kamu hebat Nem. Aku salut sama kamu, jarang ada wanita yang masih muda bisa bertahan bahkan bisa berprestasi seperti ini.” Puji Jalal. Kali ini benar-benar tulus. Pipi Jodha memerah mendengar pujian Jalal.
“Tuan bisa saja. Tidak ada yang istimewa Tuan, semua biasa-biasa saja.” Elak Jodha membuat Jalal menggelengkan kepala melihatnya.
“Ehem...ehem...susah ya nggak punya pasangan nih, bawaannya jadi obat nyamuk terus.” Sindir Mansingh kembali menatap mereka berdua. Kontan saja Jalal melepaskan genggaman tangannya dan tersenyum malu, “oh ya Jo, ngomong-ngomong tadi waktu kamu manggung ada orang yang ngeliat kamu tanpa berkedip loh?”
“Masa Man? Siapa?” tanya Jodha ingin tahu, sementara Jalal wajahnya sudah memerah. Kakinya menendang kaki Mansingh pelan. Mansingh hanya tertawa.
“Kasih tau nggak ya?” katany Mansingh mengedipkan matanya.
“Iya Man. Kasih tahu aja siapa?” pinta Jodha. Sedangkan Jalal semakin salah tingkah, dia melirik sadis ke arah Mansingh yang terus-terusan menggodanya.
“Nem, kamu nggak ingin nambah minuman lagi nggak? Aku traktir deh.” Tanya Jalal mengalihkan perhatian Jodha. Jodha hanya menatap tuan mudanya dengan heran, kemudian menggelengkan kepalanya.
“Saya nggak haus kok Tuan. Nggak usah saja.” Tolak Jodha dengan halus. Sementara tawa Mansingh kembali terdengar. Jalal menggeram jengkel.
“Nggak jadi deh Jo, ntar aku pulang naik taksi. Jadi nggak usah aja ya.” Ucap Mansing tersenyum geli. Bibir Jodha mengerucut sebal.
“Yah Man, kok gitu sih? Kan aku penasaran jadinya. Siapa tahu kalau aku tahu siapa dia, aku bisa dekat dengannya.” Sahut Jodha yang entah kenapa ingin melihat reaksi cemburu dari tuan mudanya, seperti yang dikatakan Nadia.
“Wah, beneran Jo?” tanya Mansingh kembali bersemangat, Jodha mengangguk. “kamu nggak apa-apa kalau nanti ada yang cemburu?”  wajah Jalal kembali memerah, inginnya dia membungkam mulut Mansingh dengan apa saja agar tidak lagi berkicau seperti itu.
“Cemburu? Siapa yang cemburu Man? Gimana mau cemburu kalau yang suka aja nggak ada. Siapa yang mau sama aku Man, aku kan hanya seorang pembantu.” Jawab Jodha pura-pura sedih.
“Bodoh sekali Jo, kalau ada yang nggak suka sama kamu hanya karena melihat kamu adalah pembantu. Dan aku jamin, seandainya saja aku nggak duluan suka sama Nadia tentu aku dengan senang hati suka sama kamu dan aku nikahin kamu saat ini juga.” Ucap Mansingh berlagak polos. Jodha terkekeh mendengarnya. Dia menoleh kearah Jalal yang hanya diam saja namun wajahnya merah.
“Tuan kenapa? Tuan sakit?” Jalal menggeleng, sementara Mansingh hanya tertawa cekakakan melihat ekspresi sahabatnya yang semakin membuatnya gemas, “tapi wajah Tuan merah gitu?” tanya Jodha memegang pipi Jalal.
“Aku nggak apa-apa Nem, sungguh.” Jodha menghela nafas.

Aku bete dicuekin
Aku sebel dibiarin
Aku keki dianggurin
Aku bete bete bete!
aaahhh bete

Mansingh bernyanyi menirukan lagu yang dinyanyikan Nadia tadi sambil memegang dadanya, namun pandangannya terus menatap kedepan. Jodha kembali tertawa geli melihat Mansingh ternyanyi.

Aku butuh perhatian, tapi tak kau hiraukan
Aku butuh kasih sayang, tapi tak kau berikan

Sumpah. Kali ini Jalal benar-benar jengkel luar biasa kepada Mansingh, seandainya tidak ada Jodha mungkin Mansingh sudah dia masukkin ke karung dan dibuang ke laut lepas saking nyinyirnya itu mulut. Untunglah, tidak lama kemudian Nadia dan abangnya datang sehingga suasana kembali seperti semula.
“Maaf ya, lama menunggu. Tadi masih ada urusan dengan Todar.” Kata Bayu.
“Nggak apa-apa Bang, kami bisa menunggu kok.” Jawab Mansingh, Jalal mencibir. Bayu tertawa.
“Oh ya, Abang mau pulang sekarang ya. Jalal, Abang minta nitip kedua adik Abang ini. Soalnya ini buru-buru mau kekantor.” Jalal mengangguk.
“Iya Bang, beres.” Jawab Jalal bersemangat.
“Ingat. Jangan diapa-apain. Kembali kerumah dalam keadaan utuh tidak kurang suatu apapun.”kelekar Bayu.
“Nggak salah Bang. Harusnya Abang ngomong begitu sama mereka berdua noh, kami ini jangan di apa-apain. Kalau ada apa-apa kan yang remuk kami, bukan mereka.” Sahut Jalal dengan muka memelas. Bayu terkekeh.
“Iya deh, terserah aja. Pokoknya antarkan saja mereka ya.”
“Siap Bang.” Bayu tersenyum dan berpaling kepada Jodha dan Nadia.
“Abang pulang dulu ya, titip salam saja buat Papi sama Mami. Abang nggak bisa kesana.” Keduanya mengangguk, Bayu mengambil dompetnya dari saku celananya dan mengeluarkan beberapa lembar uang seratusan ribu dan menyerahkannya kepada Nadia, “ini... buat beli oleh-oleh ya.” Nadia mengambil uang tersebut dengan berseri.
“Oke Bang, tenang saja pesanan akan sampai kok.”
“Ya sudah, kalau begitu Abang pergi dulu ya.” Pamit Bayu kepada mereka berempat. Serentak mereka pun mengangguk.
“Iya Bang. Hati-hati.” Teriak Nadia, tidak memperdulikan tatapan dari para pengunjung.
“Ayo Bang Bos kita pergi.” Kata Nadia sudah siap berdiri.
“Kemana?” tanya Jalal penasaran.
“Ada deh, ntar biar Jodha aja yang nyetir ya. Sini mana kuncinya?” tanya Nadia menengadahkan tangannya kepada Jalal. Membuat pemuda itu hanya mendengus kesal, namun tangannya mengulurkan kunci jeepnya dan dengan cepat disambar oleh Nadia, “ayo Jo, kita pergi.” Ajaknya. Jodha pun berdiri dan melangkah mengikuti Nadia. Namun kemudian langkahnya terhenti ketika menoleh kebelakang melihat kedua laki-laki itu hanya diam tidak bergerak. Tangannya menggamit tangan Nadia. Gadis itu menoleh. Jodha menunjuk dengan isyarat menggunakan mulutnya.
“Loh, kok bengong sih? Nggak ikut nih?” tanya Nadia. Jalal menatapnya sebal, namun gadis itu tertawa geli.
“Yang punya mobil siapa, yang numpang siapa?” gerutu Jalal, membuat Mansingh dan Jodha menggelengkan kepala.
“Yang punya mobil tetap kamu Bang Bos, tetapi yang nyupirkan Jodha. Malah enak kan?” kembali Jalal mendengus.
“Ya sudah. Ayo.” Akhirnya Jalal mengalah. Heh, biasanya Jodha yang mengalah kepadanya sekarang malah dia yang mengalah kepada Nadia. Gadis itu benar-benar bisa membuatnya tidak berkutik dihadapan Inemnya.
Akhirnya mereka berempat pun berjalan menuju jeep Jalal di parkiran. Jodha langsung naik dibelakang kemudi, sedangkan Nadia ketika akan naik dan duduk disamping Jodha lengan bajunya ditarik Mansingh.
“Eits, baby duduknya dibelakang saja ya sama Abang Man.” Kata Mansingh menepuk dadanya, “di depan biar Jodha sama Bang Bosnya aja ya.” Nadia menggeram kesal.
“Heh, baby-baby. Aku sudah besar, bukan bayi lagi tau.” Omel Nadia. Mansingh terkekeh.
“Iya tau, tetapi buatku kamu tetapi seperti baby yang menggemaskan.” Kata Mansingh mencubit kedua pipi Nadia, membuat gadis itu mencak-mencak tidak karuan. Akhirnya dengan terpaksa dia duduk dibelakang Jodha dan disamping Mansingh. Sementara Jalal duduk di depan, di kursi penumpang. Jodha menggelengkan kepalanya, mau naik mobil saja harus bertengkar dulu.
Jeep perlahan meninggalkan tempat itu, dan melaju kembali dengan tenang ke dalam kota.
“Kita kemana Jo?” tanya Mansingh.
“Nggak usah banyak tanya, ikut aja.” Sentak Nadia yang disampingnya sebelum Jodha menjawab.
“Kok galak sih beb? Yang lembut gitu lo ngomong sama Abang.” Goda Mansingh memainkan kedua alisnya membuat Nadia berjengit geli.
“Nggak perlu lembut sama kamu, siapa suruh suka sama aku.”
“Nggak ada yang nyuruh kok, aku sendiri yang suka.” Jawab Mansingh santai. Tiba-tiba terlintas di pikiran Nadia akan sesuatu. Dia memasukkan jari telunjuknya di hidung dan ngupil. Jalal yang tidak sengaja menoleh kearah Nadia berseru kaget.
“Ya ampun, ini anak gadis kok nggak ada sopan-sopannya ya.” Ucap Jalal sambil menggeleng kepala, namun Nadia cuek saja sambil meneruskan kegiatannya, sedangkan Jodha tertawa melihat aksi Nadia yang gokil itu.
“Biarin aja. Ngapain sopan-sopan sama kalian berdua. NGGAK PERLU. Lagian kalau menyukai orang kan nggak cuma suka sama kelebihannya tetapi juga kekurangannya.” Sahut Nadia acuh, dia masih terus mengorek-ngorek hidungnya.
“Nggak apa-apa kok beb, bahkan kamu kentut pun aku nggak ngelarang kok. Kan aku cinta sama kamu, jadinya semua tentang kamu ya aku harus suka dong.” Jawab Mansingh dengan kalem, membuat Nadia mati kutu. Triknya tidak berhasil membuat pemuda disampingnya itu ilfeel. Dengan mendengus, dia membuang muka arah luar.
Di depan sebuah supermarket Jodha menghentikan jeepnya.
“Tuan, tunggu sebentar ya. Kami mau belanja sebentar untuk beli oleh-oleh.” Kata Jodha. Jalal mengangguk.
“Oke. Jangan lama ya.” Jodha mengangguk.
“Ayo Nad,” ajak Jodha kepada Nadia, gadis itu pun keluar dan bersama-sama masuk ke dalam supermarket tersebut.
Tidak perlu waktu lama untuk menunggu, mereka berdua sudah keluar dengan menenteng banyak kantong belanjaan.
“Banyak banget Jo belanjanya?” tanya Mansingh. Jodha tersenyum.
“Iya nih, buat anak-anak Mami sama Papi disana.”
“Oh gitu?”  Mansingh mengangguk, bertanya pun percuma karena keduanya kompak menyembunyikan tujuan mereka.
Mereka kembali berangkat, namun sebentar kemudian mereka mampir disebuah restoran masakan padang. Keduanya turun.
“Mau makan lagi?” tanya Jalal kepada Jodha. Jodha menggeleng.
“Nggak Tuan, kita mau beli makanan sekalian nanti kita makan malam disana. Nggak apa-apa kan?” kata Jodha balik tanya.
Anything for you.” Jawab Jalal sambil tersenyum, membuat gadis itu tersipu.
“Meleleh hati adek, Bang.” Celetuk Nadia menambah rasa malu Jodha, membuat Mansingh mencubit pelan tangannya, “apaan sih? Main cubit-cubit aja.” Gerutu Nadia.
“Kamu sih beb, mengganggu saja. Nggak usah usil gitu sama mereka, usil sama Abang aja ya.” Goda Mansingh, membuat Nadia melengos membuang muka, jengkel. Jalal dan Jodha hanya tertawa melihatnya.
Jodha dan Nadia memasuki restoran masakan padang tersebut, sedangkan Jalal dan Mansingh hanya menunggu di jeep saja. Agak lama mereka menunggu sampai akhirnya kedua gadis itu keluar dengan menenteng beberapa bungkusan plastik besar. Sepertinya agak berat. Mansingh turun dari jeep dan mengambil bawaan Nadia.
“Perlu bantuan Jeng?” kata Mansingh membuat Jodha terkekeh, namun Nadia sewot.
“Jang Jeng, Jang Jeng. Emang aku ibu-ibu?” protes Nadia, seperti biasa Mansingh hanya cengengesan. Entah kenapa dia begitu suka menggoda Nadia, wajah marahnya membuat Mansingh ingin lagi dan ingin lagi menggodanya, “tuh bawa sana semua.” Ucapnya menyerahkan bungkusan plastik besar yang dibawanya.
“Siap Jeng.” Kata Mansigh setengah berlari untuk menghindari amukan gadis itu karena dia terus-terusan menggodanya.
 Setelah meletakkan bungkusan yang dibeli tadi, mereka kembali melaju menuju tempat yang hanya Jodha dan Nadia yang tahu. Hari mulai gelap, suara azan magrib pun terdengar. Mereka singgah sebentar di masjid terdekat untuk sholat magrib, dan kemudian melanjutkan perjalanan.
Tidak perlu waktu lama untuk mereka sampai di tempat tujuan. Jodha memarkirkan jeep tuan mudanya di depan sebuah rumah sederhana yang berada di dalam sebuah gang yang agak sempit, namun cukup untuk dilewati oleh jeep yang dibawanya.
Sebuah rumah yang agak besar namun terlihat sederhana terbuat dari beton setengah bangunan, dan setengahnya lagi terbuat dari kayu. Dinding rumah itu di cat berwarna putih yang sudah mulai kusam, namun di depan rumah tersebut berjejer polybag tanaman sayuran seperti seperti cabe, terong, bahkan bayam dan kangkung juga ada. Sedangkan diteras rumah terparkir beberapa buah sepeda. Tidak ada kendaraan bermotor. Semua hanya sepeda. Pintu rumah terlihat tertutup, mungkin karena hari mulai malam.
“Ayo Tuan, Man kita turun.” Ajak Jodha ketika melihat tuan mudanya dan juga Mansingh bengong memandangi rumah yang mereka datangi itu.
“Eh, iya.” Ucap Jalal tersadar.
Jodha dan Nadia membawa beberapa bungkusan belanjaan mereka turun, sisanya di bawa oleh Jalal dan Mansingh. Jodha mengetuk pintu, dan ketika pintu terbuka orang yang membukakan pintu langsung memekik gembira.
“Mamiii... Papiii... Kak Jodha dan Kak Nadia datang,” Nadia dan Jodha tersenyum senang.
Dari dalam rumah keluar beberapa orang anak yang usianya beragam, sepertinya yang paling kecil masih sekolah dasar, dan yang paling besar entah masih sekolah atau sudah lulus. Mereka menyambut Jodha dan Nadia dengan gembira. Bergantian menyalami mereka berdua dan mengambil barang bawaan yang ada ditangan kedua gadis itu.
Dari dalam rumah muncul dua sosok yang disebut anak-anak itu mami dan papi menyambut Jodha dan Nadia. Mereka berdua ikut gembira dengan kedatangan Jodha dan Nadia, dan memeluk keduanya. Hanya Jalal dan Mansingh yang bengong ketika melihat kedua orang yang disebut-sebut sebagai papi mami itu.


===TBC===

Tidak ada komentar:

Posting Komentar