Jeep Jalal
melaju mengikuti jeep yang dikendarai oleh Bayu. Jodha dan Nadia ikut serta
berada satu dengan Abangnya. Sesekali Jodha menoleh kebelakang dan tersenyum,
melihat mobil yang dikendarai oleh tuan mudanya. Jodha teringat ketika
majikannya itu memeluknya dengan gembira ketika dia mengatakan kalau dia saat
ini bukan milik siapa-siapa.
Ada perasaan
hangat mengalir dalam dadanya, bahkan ketika dia tau kalau tuan mudanya itu
mengikutinya dia merasa sangat senang. Apalagi selama seminggu itu sikap majikannya
begitu acuh kepadanya. Entah apa sebabnya. Jodha merasa kalau majikan mudanya
sudah kembali. Senyum tidak berhenti mengembang dari bibirnya.
“Aduh,
bisa-bisa krim anti aging nggak laku nih lama-lama.” Celetuk Nadia yang berada
di belakang Abangnya sambil memijat-mijat kedua pipinya. Sedangkan Jodha duduk
di samping Bayu.
Jodha
menoleh ke arah Nadia yang membuang muka ke arah luar. Sementara Bayu yang menyetir
hanya mengerutkan kening mendengar celetukan adiknya.
“Kamu kenapa
Nad?” tanya Jodha heran. Nadia tersenyum geli.
“Nggak kok.
Cuma mau bilang kalau krim anti aging lama-lama nggak kepakai lagi.” Masih
dengan rasa heran Jodha menatap Nadia yang sepertinya acuh saja.
“Emang
kenapa Nad?”
“Ya karena
emang nggak diperlukan sih, hanya dengan selalu tersenyum bahagia akan membuat
awet muda. Apalagi senyum untuk pujaan hati.” Sindir Nadia. Barulah Jodha
mengerti. Wajahnya memerah karena malu, namun Bayu terkekeh mengerti akan
ucapan adiknya itu.
“Kamu
ngomong apaan sih Nad?” tanya Jodha malu. Pipinya terasa panas. Nadia justru
tertawa terbahak-bahak.
“Ciee...itu
mukanya merah Bang, adikmu ini sudah jatuh cinta Bang. Oh, cinta.” Ucap Nadia
menggoyangkan bahu abangnya. Bayu tersenyum dan menoleh sekilas kearah Jodha
yang menyembunyikan rona wajahnya ke arah lain .
“Nggak usah
malu Jo, memang sudah saatnya kamu kenal cinta dan nggak usah malu mengakui
kalau kamu juga suka sama majikan kamu itu kan?” tanya Bayu dengan lembut.
Jodha hanya tersenyum malu.
“Aku...aku
masih nggak yakin Bang.” Nadia memutar bola matanya.
“Itu lagi
alasannya. Kurang cukup bukti apalagi Jo, hah? Apa kamu nggak lihat majikanmu
itu bela-belain jadi stalker hanya
untuk tahu kegiatanmu hari ini. Bahkan dia terlihat down banget ketika Abang bilang tunanganmu, dia kurang cemburu apa
coba?” kata Nadia mulai kesal.
“Dia...dia...
belum pernah bilang kalau dia suka sama aku Nad. Aku hanya takut, nanti malah
aku dibilang kegeeran lagi.” Bela Jodha. Wajar kalau Jodha tidak berani
berharap yang tidak-tidak kepada tuan mudanya itu, banyak hal yang berbeda yang
membuatnya tidak bisa percaya seratus persen dengan ucapan Nadia.
“Sekarang
aku tanya, kamu suka tidak sama Bang Bos?” Jodha kembali tersipu.
“Hm...gimana
ya? Aku bingung Nad.” Nadia berdecak.
“Aku cuma
tanya suka apa tidak, dan kamu hanya bilang iya atau tidak. Gitu aja kok susah
sih.” Gerutu Nadia. Bayu hanya tersenyum geli mendengar percakapan kedua
adiknya itu.
“Hm...suka
sih.” Jawab Jodha pelan.
“Naaah, gitu
kan enak. Sudah jelas nanti harus bagaimana kalau Bang Bos nembak kamu Jo.”
Kata Nadia memainkan kedua alisnya sambil tersenyum menggoda Jodha.
“Iya, tapi
apa mungkin?”
“Tenang saja
saudaraku sayang, aku yakin tidak lama lagi dia pasti akan mengutarakan
perasaannya kepadamu. Pegang omonganku.” Ucap Nadia dengan mantap. Jodha
mencibir.
“Sok tahu
kamu Nad.” Nadia terkekeh.
“Ya taulah.
Nadia gitu lo. Lihat saja. Apalagi bila dia lihat banyak anak-anak berada dekat
denganmu nanti di rumah mami, aku yakin dia kembali akan kebakaran jenggot.
Hahaha...” Nadia tergelak, Bayu hanya menggeleng melihat kelakuan adiknya itu
yang begitu bersemangat ingin menjodohkan Jodha dengan majikannya.
“Terus,
gimana dengan temannya majikanku itu Nad? Kayaknya dia naksir kamu deh.” Kata
Jodha membalikkan keadaan. Nadia hanya mengangkat bahu. Cuek.
“Emang
masalah buat aku? Yang naksir dia kok. Yang terserah dia lah. Kan hak dia suka
sama siapa?”
“Kalau dia
beneran suka sama kamu gimana Nad?” goda Jodha.
“Tanya sama
Abang tuh.” Todong Nadia.
“Gimana
Bang, kalau Man suka sama Nadia?” Bayu mengangkat bahu.
“Kenapa jadi
tanya ke Abang?”
“Yee, Abang
gimana nih. Kan sebagai Abang harusnya bisa menilai baik apa tidaknya laki-laki
yang suka sama adiknya.” Ucap Nadia dengan sewot. Bayu terkekeh.
“Dengar ya,
adik-adik Abang sayang. Siapapun laki-laki yang suka kepada kalian, Abang tidak
peduli selama kalian itu merasa nyaman dengannya. Hanya satu yang Abang pesan
untuk kalian, carilah laki-laki yang bersungguh-sungguh memperjuangkan cintanya
dan tidak pernah merendahkan wanita.” Jelas Bayu panjang lebar sambil matanya
fokus menyetir.
“Caranya
tahu gimana Bang?” tanya Nadia antusias dan diamini oleh anggukan Jodha.
“Ya lihat
bagaimana sikapnya dengan kalian dan juga dengan orang tuanya, terutama
Ibunya.” Jodha dan Nadia manggut-manggut.
“Gitu ya
Bang.” Bayu mengangguk, “jangan bilang kayak Abang?” todong Nadia. Bayu
terkekeh.
“Ya kalau
memang menurut kalian sifat Abang kayak gitu, kenapa nggak?” Nadia memutar
mulutnya.
“Ujung-ujungnya
memuji diri sendiri jadinya.” Gerutu Nadia. Bayu dan Jodha tertawa mendengarnya.
Jeep yang
mereka kendarai terus melaju menuju luar kota, namun sebelum sampai perbatasan
kota mereka berhenti disebuah komplek dengan pagar tembok yang memanjang
disepanjang pinggir jalan. Di pintu gerbang komplek tersebut terdapat nama
kebun wisata.
Aktivitas di
pintu gerbang tersebut lumayan ramai, bahkan mobil-mobil pun antri untuk masuk.
Beberapa petugas penjaga tiket dan penjaga pintu gerbang nampak sibuk
memeriksa. Maklumlah, setiap hari minggu atau setiap hari libur tempat itu
pasti ramai dikunjungi oleh orang-orang yang ingin sekedar melepas penat dari
berbagai macam kesibukan selama seminggu kerja.
Setelah
mengantri beberapa lama, akhirnya jeep Bayu dan di susul jeep Jalal masuk ke
area tersebut secara perlahan-lahan. Jalal dan Mansingh tidak henti-hentinya
terpesona melihat di sepanjang kiri kanan jalan masuk yang dibuat sebagai
taman, dengan ditanami rumput-rumput jepang yang terpelihara dengan baik. Di
beberapa tempat di tengah taman tersebut di tanami dengan pohon cemara kipas.
Bahkan beberapa macam bunga berbatang rendah dan menggerombol di bentuk
sedemikian rupa semakin menambah indahnya taman tersebut.
Tidak perlu
waktu lama untuk mereka menyusuri jalan masuk itu, sampailah disebuah bangunan
cafe dan resto dengan logo NB yang disatukan. Sebuah bangunan dengan konsep alam.
Bangunan tersebut terbagi menjadi dua bagian namun masih dalam satu bangunan.
Satu bagian dikemas dengan meja kursi yang tersusun rapi dan teratur. Bagian
yang satu lagi dibuat dengan konsep lesehan. Biasanya diperuntukkan untuk
pengunjung yang berkeluarga. Sedangkan di tengah-tengah ruangan tersebut
terdapat sebuah kolam buatan kecil lengkap dengan air mancur mini yang di
dalamnya terdapat beberapa jenis ikan koi.
Dinding-dinding
bangunan tersebut dilukis dengan wallpaper nature,
lantainya pun di buat seolah-olah menggunakan papan dari kayu agar terlihat
alami, sehingga berada di cafe dan resto tersebut terasa menikmati makan ditepi
hutan dan taman yang masih asri. Bahkan lampu-lampu yang tergantung dibikin
lebih kreatif dengan menggunakan bahan-bahan yang terbuat dari ranting kering
dan hiasan dari bambu. Masih di tengah bangunan dan searah dengan kolam mini,
dibangun sebuah panggung yang tidak terlalu tinggi yang diperuntukkan untuk band
musik ataupun hanya sekedar berkaraoke lewat organ tunggal agar bisa menghibur
para pengunjung.
Jalal dan
Mansingh terkesiap ketika masuk ke dalam cafe dan resto tersebut. Mereka
disambut dengan lantunan musik yang lembut dan menenangkan yang membuat betah
untuk di dengar. Meski terlihat lebih alami namun terkesan elegan karena di
konsep dengan apik dan teliti. Sementara Jodha, Bayu dan Nadia hanya
tersenyum melihat kedua orang tersebut
memandang takjub ke dalam cafe dan resto tersebut.
Dari arah dalam di samping panggung terdapat sebuah
pintu yang menghubungkan kebelakang bangunan, muncullah seseorang yang sudah
pernah Jalal lihat sebelumnya. Iya. Dia pernah bertemu dengan laki-laki itu di
mall seminggu yang lalu, seseorang yang sempat membuatnya
marah-marah karena cemburu. Dia adalah Todarmal.
Laki-laki itu mendatangi mereka. Jalal dan Mansingh tertinggal agak jauh dari
mereka bertiga. Todarmal bersalaman dengan Bayu dan saling berpelukan. Jalal dan Mansingh hanya
diam saja menyaksikan interaksi antara mereka. Bayu dan Todarmal nampak begitu
akrab. Bahkan mereka berbicara seperti sudah mengenal sangat lama. Setelah
menyalami dan memeluk Bayu, giliran Jodha dan Nadia yang dipeluk. Kali ini
Jalal tidak emosi seperti sebelumnya karena
dia berusaha untuk menekan rasa cemburu yang mungkin akan membuatnya semakin malu.
“Apa kabar Adik-Adik Abang nih?” kata Todar memeluk Jodha
dan Nadia di sisi kiri kanannya. Kedua
gadis itu tertawa.
“Baik dong Bang.” Jawab Nadia, diangguki oleh Jodha, “Abang
sendiri gimana kabarnya?” Todarmal tersenyum.
“Ya, seperti yang kalian lihat sekarang. Sehat.”
Jodha teringat dengan tuan mudanya. Sejak tadi dia
lupa karena bertemu dengan Todarmal, dia melirik ke arah Jalal dan Mansingh
yang masih menatap mereka dan melepaskan pelukkannya.
“Bang,” Todarmal menatap Jodha.
“Ya Jo.”
“Aku bawa teman nggak apa-apakan?” Todarmal tertawa.
“Emang kamu bawa berapa orang sih jadi nanya gitu?” Jodha
tersenyum.
“Nggak banyak sih, cuma dua orang aja.”
Todarmal kembali tertawa.
“Kirain se-truk.” Jodha terbahak.
“Ish Abang. Kalau se-truk mah, jauh-jauh hari aku
kasih surat pemberitahuan untuk booking tempat.” Todarmal ikut tertawa,
tangannya mampir di kepala Jodha dan mengacak rambut gadis itu.
“Sekarang mana temang kamu itu, biar Abang siapkan
makanannya. Kalian belum makankan?” kompak Jodha dan Nadia mengangguk.
“Iya Bang, laper nih. Sudah lama nggak makan masakan
Abang.” Ucap Nadia sambil nyengir.
“Iya deh. Tunggu aja ya
Nona.”
“Oke. Tapi nggak pake lama ya. Keburu lemes ntar nggak
bisa manggung deh.” Todarmal tertawa.
Jodha menarik tangan Todarmal ketempat tuan mudanya
dan Mansingh berdiri. Sementara
Nadia bersama Bayu mencari tempat duduk yang kosong yang bisa menampung mereka
berlima.
“Loh, bukannya kita sudah pernah ketemu?” tanya
Todarmal melihat Jalal.
Jalal mengangguk dan tersenyum malu.
“Iya Bang, tempo hari di mall sewaktu bersama Jodha.”
“Oh iya, aku baru ingat. Kamu yang majikan Jodha itu
kan? Yang sempat marah-marah waktu aku memeluk Jodha.” Wajah Jalal memerah
mendengar ucapan Todarmal. Dia merasa malu karena sudah mencemburui orang yang
salah. Jodha menyenggol tangan Todarmal.
“Ish, Abang apaan sih? Nggak usah mengungkit masa lalu
deh.” Todarmal tertawa.
“Iya, iya maaf. Ya sudah, kalian duduk aja. Abang
siapkan dulu ya makanan istimewa untuk tamu-tamu Abang.”
“Iya Bang.”
Todarmal pun berlalu meninggalkan mereka bertiga.
Jodha mengajak Jalal dan Mansingh bergabung di meja Bayu dan Nadia.
Saat itu pengunjung ramai. Namun kebanyakan mereka
adalah pengunjung kebun wisata yang sudah kelelahan berwisata ke kebun yang ada ditempat itu dan makan siang di
cafe dan resto NB. Menu makanan yang sederhana khas pedesaan namun di tata dengan
apik membuat makanan tersebut terlihat mewah. Ditambah rasanya yang lezat dan
suasana alami membuat pelanggannya cafe dan resto itu selalu ramai.
Jodha membawa Jalal dan Mansingh duduk bersama Bayu
dan Nadia. Mereka menggunakan meja bunda yang agak besar, sehingga meski mereka
berlima namun tidak terlihat sesak. Mansingh duduk di samping Bayu, di susul
Jalal dan Jodha. Sementara Nadia duduk di antara abangnya dan Jodha.
“Bagaimana menurut kalian tempat ini?” tanya Bayu
kepada Jalal dan Mansingh.
“Bagus Bang. Bikin betah.” Jawab Mansingh.
“Kalau menurutmu gimana Jalal?”
“Sama Bang. Suasananya menyenangkan. Aku baru tahu
kalau ada tempat seperti ini di sini.” Bayu tertawa. Nadia dan Jodha hanya
tersenyum mendengarnya, “oh ya Bang, Bang Todarmal itu kerja disini ya?” Bayu
mengangguk.
“Iya. Dia manager di sini. Selain mengawasi cafe dan
resto ini, dia juga mengawasi kebun wisata di belakang bangunan ini dan sebuah
grasstrack.” Mansingh dan Jalal kaget.
“Grasstrack?” ucap mereka berdua
bersamaan. Bayu menggangguk. Nadia mencebikkan
bibirnya, sedang Jodha hanya tersenyum geli.
“Iya. Kenapa?” keduanya menggeleng, “itu dulu tempat
Jodha dan Nadia sering berlatih balapan, dan yang melatih ya Todarmal itu.”
Jelas Bayu. Mansingh menatap kagum ke Nadia, namun yang di pandang malah
membuang muka ke arah lain. Begitu juga dengan Jalal, menoleh ke arah gadis
pujaannya dan berdecak kagum. Jodha hanya tersenyum seperti biasa, namun
pipinya sedikit memerah.
Baru saja Jalal ingin bicara tetapi tidak jadi karena
para waitress sudah mengantarkan
makanan untuk mereka. Beberapa menu seperti ayam bakar, ikan bakar, lengkap
dengan sambal dan lalapannya. Bahkan tahu tempe goreng pun tersedia. Untung tidak ada brokoli. Hehehe...
Mereka berlima menikmati makan siang itu dengan
nikmat. Jalal benar-benar merasakan suasana yang berbeda kali ini. Makan di
tempat seperti ini dan juga ditemani Inemnya beserta temannya membuat nafsu
makannya bertambah. Semua terasa lezat, padahal makanan seperti itu banyak saja
dicari disetiap sudut kota. Tetapi entah kenapa rasanya kali ini berbeda.
Mungkin hanya perasaan Jalal saja atau memang makanan itu enak. Dan Jalal tidak
memperdulikan hal itu. (Ya elah Bang, situ nggak peduli. Lah, disini authornya
dah ngeces nih sambil ngetik. Masa nggak kasihan sih Bang? Hehehe...).
Bayu dan ketiga
orang lainnya sudah selesai makan, hanya tinggal Nadia yang belum
selesai. Dia begitu menikmati ikan bakar dihadapannya. Dengan tangan masih
belepotan sambal, dia memakan ikan bakar itu dengan teliti. Satu persatu
tulang-tulang ikan tidak lolos dibersihkan dari mulutnya, tidak
diperdulikannya tatapan aneh dari teman-temannya, terlebih dari pemuda yang
terus menatapnya itu. Biar saja pikirnya, biar dia ilfeel kepadaku. Bathinnya.
Tetapi rupanya Mansingh bukannya jijik malah suka
melihat pemandangan di depan matanya. Seorang gadis yang tidak gengsi dengan keadaannya,
membuatnya begitu menikmati makanan di hadapannya itu dengan tenang.
“Bang,” panggil Mansingh kepada Bayu. Bayu mengalihkan
pandangannya dari Nadia ke arah Mansingh.
“Ya Man.” Mansingh menghembuskan nafas sebentar.
“Aku mau minta ijin sama Abang.” Bayu mengerutkan
keningnya, begitu juga dengan Jalal dan Jodha. Tetapi Nadia tetap fokus dengan
makanannya.
“Minta ijin?” Mansingh mengangguk, “kemana? Toilet?” Mansingh
menggeleng.
“Aku mau minta ijin sama Abang, agar aku bisa mendekati Nadia adik Abang.” Jawab Mansingh
mantap. Bayu sempat terkejut dengan permintaan Mansingh. Semua itu sungguh
diluar dugaannya. Bahkan
Jalal sebagai sahabatnya saja tidak menduga kalau Mansingh akan berkata seperti
itu.
Nadia yang mendengar ucapan Mansingh langsung
tersedak. Dengan cepat Jodha yang di sampingnya menyodorkan air minum sambil tersenyum geli. Setelah dirasa
cukup, dia meletakkan kembali
gelas tersebut dan menatap Mansingh dengan melotot. Namun Mansingh tidak
bereaksi apa-apa karena dia masih memandang ke arah Bayu untuk meminta jawaban.
“Kenapa kamu minta ijin segala Man?” tanya Bayu sambil
terkekeh.
“Itu karena aku sungguh-sungguh menyukai adik Abang. Dan aku ingin dengan
meminta ijin kepada Abang sebagai kakaknya sebagai bukti keseriusanku.”
“Tapi, Abang nggak menjamin Nadia akan menerima kamu
loh?” Mansingh tersenyum.
“Aku tahu itu Bang, dan Aku hanya butuh ijin dan
restumu saja karena aku akan berusaha sendiri menaklukan hatinya.” Kembali Bayu
terkekeh.
“Kamu ini Man, kenapa kamu bisa begitu yakin bisa
menyukai adik Abang yang usil ini, padahal kamu kan baru bertemu hari ini?”
tanya Bayu dengan tangan bersidekap. Mansingh tersenyum.
“Hubungan yang lama tidak bisa menjamin kita bisa suka
dengan orang kan Bang? Dan meski baru satu hari aku bertemu namun aku merasakan
nyaman dihati. Setidaknya aku mengatakan ini di hadapan Abang dan Nadia sebagai
bukti kalau aku tidak main-main dengan perasaanku.” Jawab Mansingh dengan
tenang sambil menatap Nadia. Gadis itu entah kenapa memilih menunduk dan diam,
tidak mau membalas tatapan Mansingh. Dia
menyibukkan diri membersihkan tangannya yang sudah selesai menikmati makanan
yang ada dihadapannya tadi.
Sementara itu, Jalal merasa tertampar dengan ucapan
Mansingh. Sahabatnya yang baru saja kenal
hari ini sudah dengan berani meminta ijin dengan Bayu untuk mendekati adiknya, yang seharusnya membuat laki-laki manapun akan takut
berhadapan dengan Abangnya. Tetapi nyatanya Mansingh tidak takut.
Mansingh saja berani terus apa kabar dengan
perasaannya kepada Inem? Hello... bisakah dia bersikap seperti Mansingh?
Padahal mereka sudah kenal berbulan-bulan dan tinggal
satu atap. Sedangkan Mansingh baru satu hari bertemu saja sudah berani.
Catat pemirsa. BARU SATU HARI.
Sejenak Bayu terdiam, di tatapnya pemuda yang ada
dihadapannya itu dengan seksama. Dia sempat merasa kagum dengan keberanian
Mansingh yang meski dia baru kenal namun Bayu bisa menilai kalau pemuda itu
adalah laki-laki yang baik. Setidaknya dia berani memulai suatu hubungan dengan
di ketahui oleh keluarga Nadia.
Meski Bayu tidak tahu apakah adiknya itu menerima atau
tidak tetapi biarlah mereka sendiri yang akan melakukannya. Dan Bayu sebagai
abangnya hanya mengarahkan mereka saja agar huhungan mereka menjadi hubungan
yang sehat.
Setelah
menghela nafas, Bayu akhirnya mengangguk.
“Baiklah.
Abang ijinkan kamu mendekati Nadia.” Mansingh tersenyum bahagia. Sementara
Nadia hanya melongo tidak percaya.
“Terima
kasih Bang.” Jawab Mansingh dengan gembira, Bayu mengangguk.
“Abang apaan
sih? Kenapa juga diijinkan?” ucap Nadia sewot, dia menatap Mansingh dengan
pandangan tidak suka. Namun, Mansingh hanya tersenyum dengan memainkan kedua
alisnya.
“Emangnya
kenapa Nad? Apa hak Abang melarang coba?”
“Kalau dia
macam-macam sama aku gimana Bang?” tanya Nadia masih dengan mulut manyun. Bayu malah terkekeh.
“Kalau dia
macam-macam ya tinggal kamu hajar aja, bereskan?” Mansingh jadi meringis
mendengarnya, sedangkan Jalal dan Jodha hanya tertawa.
“Heh, aku
tanya nih sama kamu.” Ucap Nadia dengan nada sedikit keras, “apa yang bisa kamu
banggain ke aku yang membuat kamu yakin kalau aku bisa suka sama kamu?” tanya
Nadia sambil bersidekap di depan dada, matanya menatap dengan tajam. Mansingh
tersenyum.
“Aku memang
tidak bisa karate seperti kamu Baby,” Nadia mendelik mendengar panggilan
Mansingh kepadanya, namun Mansingh tetap acuh saja. “tetapi aku punya cinta dan
ini...” katanya menepuk dadanya.
“Apa itu?”
“Disini. Di
dada ini sebagai tempat untukmu berbagi, untukmu menghilangkan segala
kegundahan, untukku memberikan rasa nyaman dan perlindungan. Aku tahu kamu kuat
secara fisik, tetapi kamu akan tetap memerlukan tempat untukmu mendapatkan
kekuatan disaat hatimu merasa rapuh.” Mendengar ucapan Mansingh, Jodha sampai
bertepuk tangan.
“Ciee...Mansingh
mendadak romantis nih.” Ledek Jodha. Bayu sampai menggelengkan kepala melihat
Mansingh.
“Nggak usah
sok tahu kamu. Kamu pikir aku bisa secepat itu suka sama kamu hanya dengar
mendengar ucapan gombalmu itu?” sentak Nadia. Mansingh hanya mengangkat bahu.
“Aku tidak
memaksa kamu percaya kepadaku untuk saat ini Baby. Aku akan membuktikannya perlahan-lahan, dan aku akan menunggu
saat kamu akan percaya kepadaku.”
“Terserah.” Sahut
Nadia akhirnya menyerah. Dia sampai tidak habis pikir, bagaimana bisa laki-laki
itu suka kepadanya begitu cepat. Dia kira aku wanita gampangan apa? Pikirnya.
“Sudah.
Nggak usah dibahas lagi. Itu bisa dibicarakan nanti saja.” Kata Bayu menengahi,
“sekarang kita lakukan tugas kita dulu, nanti keburu Abang pulang.” Kata Bayu
beranjak dari tempat duduknya. Abang tinggal dulu ya Jalal, Man.” Kedua
laki-laki itu mengangguk meski dengan wajah penasaran. Bayu meninggalkan meja
tersebut diikuti oleh Jodha dan Nadia. Jalal mencekal tangan Jodha, membuat
langkah gadis itu terhenti. Dia menoleh.
“Kenapa
Tuan?”
“Kamu mau
kemana Nem?” Jodha tersenyum.
“Perform.” Jawabnya singkat.
“Hah...”
“Tuan lihat
saja nanti ya.” Kata Jodha mengedipkan matanya. Jalal akhirnya melepaskan
cekalan tangannya dan membiarkan Jodha meninggalkan mereka berdua.
“Kira-kira
mereka ngapain ya Man?” tanya Jalal tidak sabar. Mansingh hanya tertawa.
“Mana aku
tahu Bos. Kan kita berdua juga baru saja disini.”
“Iya sih.”
Jawabnya pelan, tetapi kemudian Jalal menatap Mansingh dengan pandangan tidak
terbaca. Mansingh tersenyum miring.
“Gila Man,
aku salut sama kamu. Di depan Abangnya kamu terang-terangan bilang suka sama
Nadia. Gadis usil itu.” Mansingh tersenyum bangga.
“Ya iyalah.
Emangnya Bos. Cemen dan lelet.” Jalal mendengus kesal, “laki-laki itu, tidak
akan pernah takut di tolak Bos. Karena laki-laki itu ditakdirkan sebagai pejuang.
Jika sekarang Nadia menolakku, tetapi aku yakin suatu saat dia akan luluh
juga.” Jalal hanya tersenyum miris.
“Iya Man,
kamu benar. Aku memang pengecut. Tidak pernah berani memperjuangkan cintaku dan
hanya bisa berharap dia mengerti saja.” Sahut Jalal menghembuskan nafas.
Mansingh tersenyum melihat sahabatnya. Ditepuknya bahu Jalal dengan lembut.
“Sabar saja
Bos, aku yakin sepertinya Jodha pun punya perasaan yang sama denganmu. Hanya saja
sekarang bos harus yakinkan hati kalau Jodha itu hanya untukmu.” Jalal kembali
menatap wajah sahabatnya itu. Yah, meskipun Mansingh itu sering bertingkah
konyol dan membuatnya kesal, namun ucapanya itu ada benarnya juga. Jalal
mengangguk. Baru saja mulutnya ingin
berucap, dari arah panggung terdengar suara check sound yang dilakukan oleh
seorang perempuan. Mansingh dan Jalal terperangah ketika melihat diatas
panggung tersebut.
Yeah, Nadia
berdiri di depan mikrofon lengkap dengan stand yang tingginya sejajar dengan
gadis itu, sementara dikiri belakang Nadia ada seseorang yang sejak mereka
masuk tadi sudah berada di belakang keyboard, Bayu sudah berada diposisinya
memegang gitar akustik, dan yang mencengangkan untuk Jalal adalah Jodha berada
di belakang drum set dengan tangan siap memegang stick drum. Wow, Inemnya
berperan sebagai drummer.
Jalal hampir
tidak berkedip melihat Jodha yang tersenyum di belakang drum set itu kepadanya.
Jodha tahu cepat atau lambat tuan mudanya itu pasti akan mengetahui hobinya
yang satu ini.
“Selamat
siang para pengunjung NB cafe and resto semuanya, semoga di hari yang cerah ini
anda semua masih tetap bersemangat. Ijinkan siang ini kami ingin menyumbang
beberapa lagu untuk menghibur anda semua, dan semoga bisa menambah keceriaan
anda bersama keluarga.” Ucap Nadia dengan gayanya yang santai, senyumnya
mengembang di tengah tepuk tangan para pengunjung atas sambutannya.
Tidak lama
kemudian terdengar petikan gitar dari Bayu mengiringi lirik yang dinyanyikan
oleh Nadia, sedangkan Jodha masih berdiam diri di belakang drumnya. Sesekali
tangannya memutar stick dengan lincahnya.
Reaching a fever pitch and it's bringing me out the dark
Finally, I can see you crystal clear
Go head and sell me out and I'll lay your ship there
Suara empuk
Nadia terdengar mengalunkan lagu Rolling In The Deep milik Edele. Lagu yang
sering dinyanyikan oleh Jodha ketika dia sedang bekerja di rumah Jalal. Bibirnya
seakan menari lincah menyanyikan lagu tersebut. Mansingh bahkan sampai terpana
melihatnya. Gila, Nadia memang penuh kejutan.
Hentakan
pedal pada drum bass dari kaki Jodha pun mengiringi lirik lagu berikutnya.
See how I leave with every piece of you
Don't underestimate the things that I will do
There's a fire starting in my heart
Reaching a fever pitch and it's bring me out the dark
Suara drum bass
tersebut seakan terasa hingga menembus jantung Jalal. Sesekali Jodha tersenyum
untuknya. Seandainya bisa, Jalal ingin saat ini hanya dia sendiri yang melihat
bidadarinya memainkan drum dengan begitu mempesona itu, di luar tugasnya
sebagai orang yang bekerja di rumah orang tuanya. Sampai lagu berakhir pun
Jalal masih menatap Jodha dari mejanya. Dia bahkan lupa, apa tadi sempat
berkedip atau tidak ya. Ckck...
Selesai
membawakan lagu dari Edele, sekarang Nadia membawakan lagu asli dari Indonesia.
Ya, lagu dangdut yang berjudul Bete milik Manis Manja. Karena pengunjung
kebanyakan adalah orang-orang yang membawa keluarganya lengkap satu paket.
Entah mengapa rasanya lagu itu dirasakan Mansingh seperti menyindirnya. Karena
beberapa kali Nadia menyebut kata bete sambil meliriknya dengan sadis. Mansingh
sampai heran sendiri, kenapa gadis itu seperti benci sekali kepada dirinya. Apa
salahnya? Kurang cakep? Itukan bukan alasan untuk benci.
Aku bete sama kamu
Aku sebel sama kamu
Aku keki sama kamu
Aku bete bete bete!
Aku bete dicuekin
Aku sebel dibiarin
Aku keki dianggurin
Aku bete bete bete!
aaahhh bete
Kali ini
tanpa malu-malu Nadia bergerak dan bergoyang dengan lincah mengikuti musik
remix yang mereka bawakan. Tubuhnya begitu energik dan selalu semangat. Bahkan
Jodha yang hanya sebagai drummer pun ikut bergerak dengan luwes di kursinya,
sesekali dia ikut bernyanyi sebagai backsound sambil tersenyum. Sepertinya
mereka begitu menikmati kegiatan mereka kali ini. Bayu yang memegang gitar pun
tersenyum melihat adiknya yang begitu lepas saat mengakhiri lagu tersebut.
Setelah
membawakan beberapa lagu, Jodha pun kembali duduk di tempat mereka semula. Sedangkan
Bayu dan Nadia masih tertinggal di belakang. Jodha duduk di samping Jalal yang
terus menatapnya sejak tadi, membuat perempuan itu merasa jengah dipandangi
terus-terusan.
“Tuan kok
memandangi saya seperti itu terus sih?” tanya Jodha balik menatap tuan mudanya. Jalal tersenyum
miring.
“Kamu hebat
Nem. Aku nggak menyangka kamu begitu piawai memainkan benda itu.” Jodha
terkekeh.
“Tuan masih
ingatkan apa yang pernah saya ceritakan dulu, kalau saya sedang marah?”
“Maksudmu?”
“Hm...iya.
Inilah yang saya maksud. Awal mula saya suka main drum adalah ketika saya marah kepada seseorang dan tidak tahu
harus dilampiaskan kemana, dan Abang Bayu lah yang kemudian mengenalkan drum
ini kepada saya.” Jodha tertawa geli mengingat kenangannya dulu, “dulu saya
bahkan tidak tahu sama sekali tentang nada ketika menggunakan drum. Pokoknya
saya pukul saja sampai puas dan sampai perasaan saya lega. Abang bahkan tidak
pernah melarang. Tetapi lama-lama saya merasa senang dan akhirnya pelan-pelan
saya belajar menggunakan drum itu dengan benar.”
“Oh. Jadi
ini ya yang waktu itu kamu bilang kegiatan yang menguntungkan itu?” Jodha
mengangguk.
“Iya Tuan,
kan lumayan sekali manggung kita dapat bayaran. Seringkali bayaran Nadia,
Abang, dan juga Alex di berikan kepada saya. Mereka bilang kalau mereka hanya
ingin mengasah kemampuan saja, sedangkan saya memang membutuhkan uang jadinya
ya sering honornya masuk ke kantong saya.” Ucap Jodha sambil terkekeh, “saya
tidak tahu kalau tidak ada mereka, mungkin saya tidak akan pernah seperti ini. Dan
itu akan tetap saya ingat sampai saya mati kelak.” Ucap Jodha sambil tersenyum.
Tanpa sadar Jalal menggenggam tangan Jodha yang berada di atas meja membuat
jantung Jodha terasa berdetak lebih kencang. Sementara Mansingh yang sejak tadi
hanya diam mengalihkan pandangannya kepada Nadia yang sibuk bersama abangnya
berbincang dengan Todarmal.
“Terlepas
dari semua itu, tetap saja kamu hebat Nem. Aku salut sama kamu, jarang ada
wanita yang masih muda bisa bertahan bahkan bisa berprestasi seperti ini.” Puji
Jalal. Kali ini benar-benar tulus. Pipi Jodha memerah mendengar pujian Jalal.
“Tuan bisa
saja. Tidak ada yang istimewa Tuan, semua biasa-biasa saja.” Elak Jodha membuat
Jalal menggelengkan kepala melihatnya.
“Ehem...ehem...susah
ya nggak punya pasangan nih, bawaannya jadi obat nyamuk terus.” Sindir Mansingh
kembali menatap mereka berdua. Kontan saja Jalal melepaskan genggaman tangannya
dan tersenyum malu, “oh ya Jo, ngomong-ngomong tadi waktu kamu manggung ada
orang yang ngeliat kamu tanpa berkedip loh?”
“Masa Man?
Siapa?” tanya Jodha ingin tahu, sementara Jalal wajahnya sudah memerah. Kakinya
menendang kaki Mansingh pelan. Mansingh hanya tertawa.
“Kasih tau
nggak ya?” katany Mansingh mengedipkan matanya.
“Iya Man.
Kasih tahu aja siapa?” pinta Jodha. Sedangkan Jalal semakin salah tingkah, dia
melirik sadis ke arah Mansingh yang terus-terusan menggodanya.
“Nem, kamu
nggak ingin nambah minuman lagi nggak? Aku traktir deh.” Tanya Jalal
mengalihkan perhatian Jodha. Jodha hanya menatap tuan mudanya dengan heran,
kemudian menggelengkan kepalanya.
“Saya nggak
haus kok Tuan. Nggak usah saja.” Tolak Jodha dengan halus. Sementara tawa
Mansingh kembali terdengar. Jalal menggeram jengkel.
“Nggak jadi
deh Jo, ntar aku pulang naik taksi. Jadi nggak usah aja ya.” Ucap Mansing
tersenyum geli. Bibir Jodha mengerucut sebal.
“Yah Man,
kok gitu sih? Kan aku penasaran jadinya. Siapa tahu kalau aku tahu siapa dia,
aku bisa dekat dengannya.” Sahut Jodha yang entah kenapa ingin melihat reaksi
cemburu dari tuan mudanya, seperti yang dikatakan Nadia.
“Wah,
beneran Jo?” tanya Mansingh kembali bersemangat, Jodha mengangguk. “kamu nggak
apa-apa kalau nanti ada yang cemburu?” wajah Jalal kembali memerah, inginnya dia membungkam
mulut Mansingh dengan apa saja agar tidak lagi berkicau seperti itu.
“Cemburu?
Siapa yang cemburu Man? Gimana mau cemburu kalau yang suka aja nggak ada. Siapa
yang mau sama aku Man, aku kan hanya seorang pembantu.” Jawab Jodha pura-pura
sedih.
“Bodoh
sekali Jo, kalau ada yang nggak suka sama kamu hanya karena melihat kamu adalah
pembantu. Dan aku jamin, seandainya saja aku nggak duluan suka sama Nadia tentu
aku dengan senang hati suka sama kamu dan aku nikahin kamu saat ini juga.” Ucap
Mansingh berlagak polos. Jodha terkekeh mendengarnya. Dia menoleh kearah Jalal
yang hanya diam saja namun wajahnya merah.
“Tuan
kenapa? Tuan sakit?” Jalal menggeleng, sementara Mansingh hanya tertawa
cekakakan melihat ekspresi sahabatnya yang semakin membuatnya gemas, “tapi
wajah Tuan merah gitu?” tanya Jodha memegang pipi Jalal.
“Aku nggak
apa-apa Nem, sungguh.” Jodha menghela nafas.
Aku bete dicuekin
Aku sebel dibiarin
Aku keki dianggurin
Aku bete bete bete!
aaahhh bete
Mansingh bernyanyi menirukan lagu yang
dinyanyikan Nadia tadi sambil memegang dadanya, namun pandangannya terus
menatap kedepan. Jodha kembali tertawa geli melihat Mansingh ternyanyi.
Aku butuh perhatian, tapi tak kau hiraukan
Aku butuh kasih sayang, tapi tak kau berikan
Sumpah. Kali ini Jalal benar-benar
jengkel luar biasa kepada Mansingh, seandainya tidak ada Jodha mungkin Mansingh
sudah dia masukkin ke karung dan dibuang ke laut lepas saking nyinyirnya itu
mulut. Untunglah, tidak lama kemudian Nadia dan abangnya datang sehingga suasana
kembali seperti semula.
“Maaf ya, lama menunggu. Tadi masih ada
urusan dengan Todar.” Kata Bayu.
“Nggak apa-apa Bang, kami bisa menunggu
kok.” Jawab Mansingh, Jalal mencibir. Bayu tertawa.
“Oh ya, Abang mau pulang sekarang ya.
Jalal, Abang minta nitip kedua adik Abang ini. Soalnya ini buru-buru mau
kekantor.” Jalal mengangguk.
“Iya Bang, beres.” Jawab Jalal
bersemangat.
“Ingat. Jangan diapa-apain. Kembali
kerumah dalam keadaan utuh tidak kurang suatu apapun.”kelekar Bayu.
“Nggak salah Bang. Harusnya Abang
ngomong begitu sama mereka berdua noh, kami ini jangan di apa-apain. Kalau ada
apa-apa kan yang remuk kami, bukan mereka.” Sahut Jalal dengan muka memelas. Bayu
terkekeh.
“Iya deh, terserah aja. Pokoknya
antarkan saja mereka ya.”
“Siap Bang.” Bayu tersenyum dan
berpaling kepada Jodha dan Nadia.
“Abang pulang dulu ya, titip salam saja
buat Papi sama Mami. Abang nggak bisa kesana.” Keduanya mengangguk, Bayu
mengambil dompetnya dari saku celananya dan mengeluarkan beberapa lembar uang
seratusan ribu dan menyerahkannya kepada Nadia, “ini... buat beli oleh-oleh
ya.” Nadia mengambil uang tersebut dengan berseri.
“Oke Bang, tenang saja pesanan akan
sampai kok.”
“Ya sudah, kalau begitu Abang pergi dulu
ya.” Pamit Bayu kepada mereka berempat. Serentak mereka pun mengangguk.
“Iya Bang. Hati-hati.” Teriak Nadia,
tidak memperdulikan tatapan dari para pengunjung.
“Ayo Bang Bos kita pergi.” Kata Nadia
sudah siap berdiri.
“Kemana?” tanya Jalal penasaran.
“Ada deh, ntar biar Jodha aja yang
nyetir ya. Sini mana kuncinya?” tanya Nadia menengadahkan tangannya kepada
Jalal. Membuat pemuda itu hanya mendengus kesal, namun tangannya mengulurkan
kunci jeepnya dan dengan cepat disambar oleh Nadia, “ayo Jo, kita pergi.” Ajaknya.
Jodha pun berdiri dan melangkah mengikuti Nadia. Namun kemudian langkahnya
terhenti ketika menoleh kebelakang melihat kedua laki-laki itu hanya diam tidak
bergerak. Tangannya menggamit tangan Nadia. Gadis itu menoleh. Jodha menunjuk
dengan isyarat menggunakan mulutnya.
“Loh, kok bengong sih? Nggak ikut nih?” tanya
Nadia. Jalal menatapnya sebal, namun gadis itu tertawa geli.
“Yang punya mobil siapa, yang numpang
siapa?” gerutu Jalal, membuat Mansingh dan Jodha menggelengkan kepala.
“Yang punya mobil tetap kamu Bang Bos,
tetapi yang nyupirkan Jodha. Malah enak kan?” kembali Jalal mendengus.
“Ya sudah. Ayo.” Akhirnya Jalal
mengalah. Heh, biasanya Jodha yang mengalah kepadanya sekarang malah dia yang
mengalah kepada Nadia. Gadis itu benar-benar bisa membuatnya tidak berkutik
dihadapan Inemnya.
Akhirnya mereka berempat pun berjalan
menuju jeep Jalal di parkiran. Jodha langsung naik dibelakang kemudi, sedangkan
Nadia ketika akan naik dan duduk disamping Jodha lengan bajunya ditarik
Mansingh.
“Eits, baby duduknya dibelakang saja ya sama Abang Man.” Kata Mansingh
menepuk dadanya, “di depan biar Jodha sama Bang Bosnya aja ya.” Nadia menggeram
kesal.
“Heh, baby-baby. Aku sudah besar, bukan
bayi lagi tau.” Omel Nadia. Mansingh terkekeh.
“Iya tau, tetapi buatku kamu tetapi
seperti baby yang menggemaskan.” Kata
Mansingh mencubit kedua pipi Nadia, membuat gadis itu mencak-mencak tidak
karuan. Akhirnya dengan terpaksa dia duduk dibelakang Jodha dan disamping
Mansingh. Sementara Jalal duduk di depan, di kursi penumpang. Jodha
menggelengkan kepalanya, mau naik mobil saja harus bertengkar dulu.
Jeep perlahan meninggalkan tempat itu,
dan melaju kembali dengan tenang ke dalam kota.
“Kita kemana Jo?” tanya Mansingh.
“Nggak usah banyak tanya, ikut aja.” Sentak
Nadia yang disampingnya sebelum Jodha menjawab.
“Kok galak sih beb? Yang lembut gitu lo
ngomong sama Abang.” Goda Mansingh memainkan kedua alisnya membuat Nadia
berjengit geli.
“Nggak perlu lembut sama kamu, siapa
suruh suka sama aku.”
“Nggak ada yang nyuruh kok, aku sendiri yang
suka.” Jawab Mansingh santai. Tiba-tiba terlintas di pikiran Nadia akan
sesuatu. Dia memasukkan jari telunjuknya di hidung dan ngupil. Jalal yang tidak
sengaja menoleh kearah Nadia berseru kaget.
“Ya ampun, ini anak gadis kok nggak ada
sopan-sopannya ya.” Ucap Jalal sambil menggeleng kepala, namun Nadia cuek saja
sambil meneruskan kegiatannya, sedangkan Jodha tertawa melihat aksi Nadia yang
gokil itu.
“Biarin aja. Ngapain sopan-sopan sama
kalian berdua. NGGAK PERLU. Lagian kalau menyukai orang kan nggak cuma suka
sama kelebihannya tetapi juga kekurangannya.” Sahut Nadia acuh, dia masih terus
mengorek-ngorek hidungnya.
“Nggak apa-apa kok beb, bahkan kamu
kentut pun aku nggak ngelarang kok. Kan aku cinta sama kamu, jadinya semua
tentang kamu ya aku harus suka dong.” Jawab Mansingh dengan kalem, membuat
Nadia mati kutu. Triknya tidak berhasil membuat pemuda disampingnya itu ilfeel. Dengan mendengus, dia membuang
muka arah luar.
Di depan sebuah supermarket Jodha
menghentikan jeepnya.
“Tuan, tunggu sebentar ya. Kami mau
belanja sebentar untuk beli oleh-oleh.” Kata Jodha. Jalal mengangguk.
“Oke. Jangan lama ya.” Jodha mengangguk.
“Ayo Nad,” ajak Jodha kepada Nadia,
gadis itu pun keluar dan bersama-sama masuk ke dalam supermarket tersebut.
Tidak perlu waktu lama untuk menunggu,
mereka berdua sudah keluar dengan menenteng banyak kantong belanjaan.
“Banyak banget Jo belanjanya?” tanya
Mansingh. Jodha tersenyum.
“Iya nih, buat anak-anak Mami sama Papi
disana.”
“Oh gitu?” Mansingh mengangguk, bertanya pun percuma
karena keduanya kompak menyembunyikan tujuan mereka.
Mereka kembali berangkat, namun sebentar
kemudian mereka mampir disebuah restoran masakan padang. Keduanya turun.
“Mau makan lagi?” tanya Jalal kepada
Jodha. Jodha menggeleng.
“Nggak Tuan, kita mau beli makanan
sekalian nanti kita makan malam disana. Nggak apa-apa kan?” kata Jodha balik
tanya.
“Anything
for you.” Jawab Jalal sambil tersenyum, membuat gadis itu tersipu.
“Meleleh hati adek, Bang.” Celetuk Nadia
menambah rasa malu Jodha, membuat Mansingh mencubit pelan tangannya, “apaan
sih? Main cubit-cubit aja.” Gerutu Nadia.
“Kamu sih beb, mengganggu saja. Nggak
usah usil gitu sama mereka, usil sama Abang aja ya.” Goda Mansingh, membuat
Nadia melengos membuang muka, jengkel. Jalal dan Jodha hanya tertawa
melihatnya.
Jodha dan Nadia memasuki restoran
masakan padang tersebut, sedangkan Jalal dan Mansingh hanya menunggu di jeep
saja. Agak lama mereka menunggu sampai akhirnya kedua gadis itu keluar dengan
menenteng beberapa bungkusan plastik besar. Sepertinya agak berat. Mansingh
turun dari jeep dan mengambil bawaan Nadia.
“Perlu bantuan Jeng?” kata Mansingh
membuat Jodha terkekeh, namun Nadia sewot.
“Jang Jeng, Jang Jeng. Emang aku
ibu-ibu?” protes Nadia, seperti biasa Mansingh hanya cengengesan. Entah kenapa
dia begitu suka menggoda Nadia, wajah marahnya membuat Mansingh ingin lagi dan
ingin lagi menggodanya, “tuh bawa sana semua.” Ucapnya menyerahkan bungkusan
plastik besar yang dibawanya.
“Siap Jeng.” Kata Mansigh setengah
berlari untuk menghindari amukan gadis itu karena dia terus-terusan
menggodanya.
Setelah
meletakkan bungkusan yang dibeli tadi, mereka kembali melaju menuju tempat yang
hanya Jodha dan Nadia yang tahu. Hari mulai gelap, suara azan magrib pun
terdengar. Mereka singgah sebentar di masjid terdekat untuk sholat magrib, dan
kemudian melanjutkan perjalanan.
Tidak perlu waktu lama untuk mereka
sampai di tempat tujuan. Jodha memarkirkan jeep tuan mudanya di depan sebuah
rumah sederhana yang berada di dalam sebuah gang yang agak sempit, namun cukup
untuk dilewati oleh jeep yang dibawanya.
Sebuah rumah yang agak besar namun
terlihat sederhana terbuat dari beton setengah bangunan, dan setengahnya lagi
terbuat dari kayu. Dinding rumah itu di cat berwarna putih yang sudah mulai kusam,
namun di depan rumah tersebut berjejer polybag
tanaman sayuran seperti seperti cabe, terong, bahkan bayam dan kangkung juga
ada. Sedangkan diteras rumah terparkir beberapa buah sepeda. Tidak ada
kendaraan bermotor. Semua hanya sepeda. Pintu rumah terlihat tertutup, mungkin
karena hari mulai malam.
“Ayo Tuan, Man kita turun.” Ajak Jodha
ketika melihat tuan mudanya dan juga Mansingh bengong memandangi rumah yang
mereka datangi itu.
“Eh, iya.” Ucap Jalal tersadar.
Jodha dan Nadia membawa beberapa
bungkusan belanjaan mereka turun, sisanya di bawa oleh Jalal dan Mansingh. Jodha
mengetuk pintu, dan ketika pintu terbuka orang yang membukakan pintu langsung
memekik gembira.
“Mamiii... Papiii... Kak Jodha dan Kak
Nadia datang,” Nadia dan Jodha tersenyum senang.
Dari dalam rumah keluar beberapa orang anak
yang usianya beragam, sepertinya yang paling kecil masih sekolah dasar, dan
yang paling besar entah masih sekolah atau sudah lulus. Mereka menyambut Jodha
dan Nadia dengan gembira. Bergantian menyalami mereka berdua dan mengambil
barang bawaan yang ada ditangan kedua gadis itu.
Dari dalam rumah muncul dua sosok yang
disebut anak-anak itu mami dan papi menyambut Jodha dan Nadia. Mereka berdua ikut
gembira dengan kedatangan Jodha dan Nadia, dan memeluk keduanya. Hanya Jalal
dan Mansingh yang bengong ketika melihat kedua orang yang disebut-sebut sebagai
papi mami itu.
===TBC===
Tidak ada komentar:
Posting Komentar