“APAAA?”
Jodha
berteriak kesal, tetapi lagi-lagi teriakan itu hanya sampai di tenggorokannya
saja . Tidak ada nyali untuk mengeluarkannya meski sebesar apapun rasa
kesalnya. Apalagi kedua majikannya sedang berada di antara mereka. Jodha hanya
bisa mendesah pelan untuk mendinginkan rasa panas dikepalanya. Sementara Jalal
masih memakan sarapannya dengan santai tanpa rasa berdosa sedikitpun, hatinya
senang melihat wajah Jodha yang nampak kesal.
Memang sih
kalau dilihat penampilan Jodha yang memakai celana panjang jeans agak ketat,
dengan jaket army yang ngepres dibadan
meski agak panjang hingga setengah dari pahanya dan dengan kerah yang dikancing
menutupi leher sehingga kulit putihnya semakin terlihat bersinar karena kontras
dengan pakaiannya yang serba gelap, rambut panjang Jodha di gelung dan
dimasukkan kedalam topi, memakai sepatu casual, serta ditangannya memegang
kacamata hitam, belum lagi earphone
yang menjulur keluar dari dalam kerah jaketnya membuatnya memang terlihat
seperti seorang bodyguard women.
Sedangkan wajahnya dipoles dengan sentuhan bedak tipis dan bibirnya di olesin lipgloss pink membuatnya terlihat seksi.
“Apa perlu
saya ganti pakaian Bu?” tanya Jodha. Bu Hamidah tersenyum dan menggeleng kepada
Jodha. “Tapi nanti saya dikira bodyguard
beneran gimana Bu?”
Bu Hamidah
dan Pak Humayun tertawa, sedangkan Jalal hanya memasang wajah sinis padahal
dalam hatinya dia tertawa.
“Nggak
apa-apa kok Jo, penampilan kamu keren kok. Malahan kalau memang kamu seorang bodyguard sungguhan juga Ibu nggak
keberatan. Dengan senang hati malahan.” Ucap Bu Hamidah menghibur Jodha.
“Saya takut
nanti Ibu malu dengan kehadiran saya?”
“Nggak akan
Jo. Untuk apa Ibu malu? Sudah, kamu tenang aja, nggak usah di ambil hati
perkataan Jalal tadi ya.” Kata Bu Hamidah mengelus tangan Jodha dengan lembut.
Jodha pun mengangguk.
“Benar Jo,
jadilah dirimu sendiri. Selama kamu berpenampilan yang sopan kami tidak akan
melarangmu. Mungkin Jalal takut kalau kamu berpakaian seperti itu nanti akan
ada yang menyaingi dia yang terlihat macho.”
Ucap Pak Humayun.
Kembali Pak
Humayun tergelak, begitu juga dengan istrinya. Jodha hanya tersenyum geli.
Sedangkan Tuan Mudanya hanya cemberut.
“Ya sudah
Jo, ayo kita berangkat. Nanti Ibu telat.” Ajak Bu Hamidah. Jodha mengangguk.
“Baik Bu.”
Mereka
berdua pun akhirnya berangkat. sebelum menstarter mobilnya Jodha memakai
kacamatanya yang memang membuatnya kelihatan macho sekaligus seksi. Namun dia
tidak peduli. Memang ada alasan kenapa dia harus berpenampilan seperti itu. Untuk
saat ini dia masih belum bisa memberikan alasannya kepada siapapun termasuk Bu
Hamidah.
“Kamu nggak
kuliah Jo?” tanya Bu Hamidah ketika sedang berhenti di lampu merah.
“Hm...nggak
Bu. Mungkin selama seminggu ini saya akan ijin nggak ngikutin perkuliahan Bu.”
“Kenapa?
Jangan sampai kerjaan kamu membuat kuliah kamu terbengkalai. Ibu nggak pernah
memaksa kamu kerja selain ngantar Ibu lo.” Ucap Bu Hamidah menatap Jodha yang
berada di depannya itu. Tanpa menoleh Jodha mengangguk.
“Iya Bu,
hanya ada sedikit masalah saja.”
“Baiklah
kalau begitu. Kamu kalau ada masalah cerita sama Ibu, Ibu siap kok bantu kamu.
Jangan sungkan.” Ucapan Rektornya itu membuat Jodha menggigit bibir menahan
haru. Masih ada orang yang peduli kepadanya.
“Iya Bu,
makasih.”
Bu Hamidah
tersenyum.
“Ibu Senang
kamu tinggal dirumah Ibu, sudah lama Ibu ingin punya anak perempuan. Soalnya Jalal
sekarang jarang ada dirumah, sudah nggak bisa diharapin. Dia lebih memilih
bersama teman-temannya daripada menemenin ibu dirumah. Begitu juga dengan
papanya, terkadang harus keluar kota karena tuntutan pekerjaan sehingga sehabis
pulang kerja ibu sering merasa kesepian.” Kata Bu Hamidah terlihat sendu.
Jodha
terdiam, dia bisa mengerti perasaan majikannya karena hampir sama dengan yang
dia alami dulu sewaktu dirumahnya.
“Nggak
apa-apa kan kalau nanti Ibu akan sering minta ditemani sama kamu?”
Jodha
kembali mengangguk dan tersenyum.
“Nggak
apa-apa Bu, Ibu bilang saja, dengan senang hati akan saya temani.” Bu Hamidah
tersenyum.
“Baiklah.”
Lampu pun
sudah berganti dengan warna hijau, Jodha menjalankan mobilnya dengan kecepatan
sedang. Ini pengalaman baru baginya membawakan mobil semewah ini, jadi dia
harus hati-hati mengemudikannya.
Setelah tiga
puluh menit kemudian mereka pun sampai di universitas, Jodha memarkirkan mobilnya
di tempat khusus untuk parkiran para pejabat universitas. Setelah mematikan
mesin, dia membuka pintu mobil dengan cepat ketika melihat Bu Hamidah
bersiap-siap untuk keluar.
“Biar saya
bukakan pintunya Bu.” Pinta Jodha.
“Nggak usah
Jo, sudah kayak pejabat saja pake dibukain segala.” Jawab Bu Hamidah sambil
terkekeh.
“Kan memang
tugas saya Bu. Mau ya Bu.” Kata Jodha memaksa.
Bu Hamidah
pun mengalah, dia mengangguk. Dengan langkah ringan Jodha membukakan pintu
mobil untuk Bu Hamidah. Sebelum keluar Bu Hamidah menyerahkan beberapa lembar
uang untuk keperluan Jodha dan juga untuk mengisi bbm.
Awalnya
Jodha menolak namun Bu Hamidah bersikeras memberikannya, akhirnya dengan
terpaksa Jodha menerimanya.
“Sekarang
kamu mau kemana Jo?” tanya Bu Hamidah sebelum melangkah masuk kedalam gedung.
“Saya ingin
ke fakultas Bu, buat ngurus ijin saya.” Bu Hamidah manggut-manggut, “oh iya,
Ibu nanti saya tunggu disini atau bagaimana?”
“Kalau kamu
ada keperluan kamu boleh tinggal aja Jo, nanti kalau saya ingin pulang kamu
saya telpon ya.”
“Baik Bu.
Kalau begitu saya permisi dulu.” Pamit Jodha
“Baiklah.”
Bu Hamidah melangkah masuk kedalam gedung yang
terdapat kantornya sebagai rektor, sedangkan Jodha melangkah menuju fakultas
untuk meminta ijin tidak masuk kuliah kepada dosennya.
Peristiwa
tadi dan juga penampilan Jodha tidak lepas dari perhatian para mahasiswa dan
segenap penghuni universitas yang kebetulan melihatnya. Bisik-bisik pun terjadi.
Namun Jodha tidak memperdulikannya dan terus melangkah melewati orang-orang
yang menatapnya dengan penasaran termasuk kedua sahabat Jalal yaitu Mansingh
dan Surya.
Mansingh
dengan mulut ternganga melihat Jodha yang keluar dari belakang kemudi dan membukakan
pintu untuk rektornya. Siapa dia? Duh....mana cakep banget. Namun terlihat
misterius.
“Sur, kok Jalal
tidak pernah cerita mamanya punya sopir cantik sih?” tanya Mansingh tanpa
mengalihkan pandangannya kepada Jodha yang mulai menghilang memasuki gedung
fakultas.
“Iya,
biasanya Mang Diman yang mengantar. Kok sekarang sudah ganti. Apa Mang Diman
sudah pensiun?” Mansingh mengangkat bahu tanda dia juga tidak tahu.
“Ntar kalau
ketemu kita interogasi dia, sayang banget tuh cewek di anggurin.” Surya menoyor
kepala Mansingh.
“Kamu pikir
makanan, dianggurin?” Mansingh hanya cengengesan mendengar ucapan Surya.
“Ya maaf,
habis cakep banget sih.” Surya hanya menggelengkan kepala melihat sahabatnya
seperti itu.
“Ya sudah
kita kuliah dulu, ntar jam sepuluh Jalal baru datang kalau kamu mau interogasi.”
“Oke. Ayo.”
Mereka
berdua pun masuk kelas untuk mengikuti perkuliahan, mereka bertiga sebenarnya
mengambil jurusan yang sama dan jadwal kuliah yang sama, namun Jalal lebih
banyak bolosnya daripada rajinnya. Mungkin karena dia adalah anak dari pemilik
universitas jadi para dosen pengajar tidak berani berbuat apa-apa selain
membiarkannya.
Seperti
dugaan sebelumnya Jalal muncul di kampusnya dengan membawakan mobil jeep Wrangler
Renegade warna hitam kesayangannya yang mempunyai tampang sangar, sangat
menunjang penampilan Jalal semakin keren. Bahkan tidak jarang tanpa diminta
para mahasiswi langsung mengerubunginya seperti pembeli mengerubungi tukang
obat. Hahaha....
Hari ini pun
terjadi seperti itu, Jalal datang dengan segala pesonanya membuat para fansnya
hanya dengan sekali kedip matanya langsung meleleh. Mansingh dan Surya yang
melihat kedatangan Jalal langsung menyongsongnya dengan terburu-buru menghalau
para gadis yang ingin mendekati Jalal.
“Maaf ya
ladies-ladies, hari ini arjunanya kami pinjam. Ada urusan penting.” seru
Mansingh sambil menarik tangan Jalal. Sementara para fansnya yang kecewa hanya
berteriak “huuuuu” saja.
Jalal yang
ditarik tangannya oleh Mansingh bersungut-sungut, dengan diikuti Surya dari
belakang namun Mansing tidak peduli tetap menggeretnya sampai di kantin kampus.
“Apaan sih
Man, pake tarik-tarik segala?” tanya Jalal setelah duduk dengan tenang.
Mansingh dan Surya duduk dihadapannya yang terhalang oleh meja.
“Bos, kok nggak pernah cerita kalau supir mamanya bos
cakep banget.” Jalal sedikit kaget, mereka sudah tahu.
“Hah...”
Mansingh
mendengus.
“Kok
ekpresinya kayak gitu sih Bos?” tanya Man melihat Jalal ekpresinya seperti
orang bengong.
“Eh, apa?
Kamu nanya apa Man?” Jalal balik tanya untuk mengusir rasa malunya.
“Yah, si bos
pake bengong segala. Ganteng-ganteng bengong.” Runtuk Man. Sedangkan Surya
hanya terdiam, karena memang Man yang lebih tertarik untuk bertanya, “nama
supirnya siapa bos?” Jalal menatap Man dengan tajam.
“Memang
kenapa?”
“Nggak
kenapa-kenapa sih, Cuma pengen tahu aja. Siapa tahu bisa kenalan.” Goda
Mansingh. Sepertinya Jalal tertarik dengan gadis itu.
“Namanya
Inem.” Jawab Jalal kalem.
“Hah? Inem?”
ucap Mansingh dan Surya bersamaan, “yang bener bos? Nggak becandakan?” tanya
Mansingh sekali lagi. Mereka berdua tertawa terbahak-bahak, “Masa cantik-cantik
namanya Inem sih bos?”
“Ya
begitulah.” Lagi-lagi Jalal menjawab dengan santai, tangannya mencomot gorengan
yang ada di atas meja tersebut dan memakannya dengan santai.
“Masa sih
bos? Aku boleh nanya sendiri nggak bos?” tanya Mansingh kembali memancing.
“Nggak
boleh!” jawab Jalal dengan sewot. Mansingh dan Surya kembali ketawa.
“Kamu suka
dia kan bro?” tebak Surya. Dari gelagat Jalal sih sepertinya begitu.
“Siapa juga
yang suka? Dia itu bawel banget. Sakit telingaku mendengarnya, sok akrab begitu
sama orang.” Mansingh memajukan tubuhnya dan mendekati Jalal untuk menatap
Jalal lebih dekat, membuat Jalal merasa jengah, “kamu kenapa Man?” tanya Jalal mendorong wajah Man dengan telapak
tangannya sehingga pemuda itu kembali terduduk.
“Kamu bohong
kan? Hayo ngaku?” desak Man. Jalal kembali mendengus kesal.
“Iya. Inem
itu aku sendiri yang memberinya nama? Puas?” Mansingh menggeleng.
“Belum.
Terus namanya siapa?” Jalal mengangkat bahunya.
“Entah. Aku
lupa. Lebih enak memanggilnya Inem, trus melihat wajah kesalnya karena tidak
berani membalasku rasanya menyenangkan.” Ucap Jalal sambil tertawa kecil.
Pandangannya tertuju pada piring kue di depannya namun pikirannya mengingat
kejadian pagi tadi. Entah kenapa melihat gadis itu kesal wajahnya terlihat
menggemaskan. Membuatnya ingin lagi dan ingin lagi mengerjainya.
Melihat
tingkah Jalal seperti itu membuat kedua sahabatnya saling berpandangan,
kemudian keduanya tersenyum penuh arti. Jalal yang tersadar dari lamunannya
menatap keduanya dengan pandangan penuh tanda tanya.
“Kalian
berdua kenapa tersenyum begitu?” serentak keduanya menggeleng.
“Nggak
apa-apa bos.” Jawab Mansingh dengan senyum dikulum. Jalal mendecak.
“Ya sudah,
ayo kita masuk kelas.” Kata Jalal berdiri dan melangkah untuk membayar kue yang
dimakannya tadi dan keluar menuju kelasnya diikuti oleh kedua sahabatnya.
Sementara
itu Jodha yang sudah menyelesaikan urusannya di kampus memutuskan untuk pulang
kerumah sambil menunggu panggilan dari majikannya. Sengaja dia memilih jalan
yang melewati rumahnya dulu. Dia rindu ingin kembali bertemu dengan ayahnya.
Sedang apa ayahnya sekarang?
Jodha
menghentikan diseberang jalan tidak jauh dari rumahnya. Namun dia tidak keluar
dari mobil, hanya menatap rumah itu dari kejauhan. Berkali-kali dia mengusap
air matanya, kacamata hitamnya dilepas dan pandangannya tidak lepas dari
rumahnya yang terlihat sepi dengan pintu rumah tertutup.
“Ayah, ayah
sedang apa sekarang? Apa masih mengingatku? Aku rindu ayah. Aku nggak peduli
apapun keadaan ayah, asalkan ayah tidak membenciku. Maafkan aku ayah, maafkan
aku.” ucapnya tersedu-sedu dan menangkup wajahnya di atas setir dengan dialasi
kedua punggung tangannya. Bisa kau bayangkan rasanya disuruh menjauh dari
kehidupan orang yang kau cintai. Sakit.
Setelah
emosinya mereda, Jodha menghapus air matanya dan memperbaiki penampilannya yang
sedikit sembab. Kembali dipasangkannya kacamata hitamnya untuk menutupi matanya
yang sedikit bengkak karena menangis tadi. Perlahan dia pun segera meninggalkan
rumahnya untuk pulang ketempat majikannya.
Sore harinya
Jalal pulang kerumah mendapati mamanya sudah pulang dari kantornya sedang duduk
santai sambil membaca buku di gazebo belakang rumah di temani secangkir teh dan
sepiring camilan berupa risoles sayuran. Di depan gazebo itu terdapat kolam
ikan koi kesayangan papanya.
“Sore
Ma.” Kata Jalal mencium tangan mamanya.
Mamanya menatapnya heran, “kenapa mama melihatku seperti itu?”
“Kok tumben
kamu pulang cepat sayang? Biasanya pulang malam.” Jalal tersenyum, tangannya
mengambil cemilan di piring dan menggigitnya.
“Memangnya
nggak boleh aku pulang cepat ma?” mamanya tertawa.
“Bukan nggak
boleh sayang, mama malah senang sekali. Kalau bisa kamu pulang tiap hari
seperti ini, jadi mama tidak kesepian.” Jalal cengar-cengir saja.
“Iya deh ma, nanti aku akan sering-sering
pulang cepat.” Ucap Jalal sambil meminum teh mamanya sampai habis. Bu Hamidah
hanya menggeleng melihat kelakuan anaknya.
“Minta
bikinkan sama Bi Ijah sana, masa punya mama juga dihabisin.” Jalal memasang
tampang tidak bersalah.
“Maaf ma.
Haus.”
“Sejak kapan
kamu suka minum teh, Jalal?” tanya mamanya heran. Tidak biasanya anaknya minum
teh, biasanya suka kopi hitam kalau nggak minuman yang bikin mabuk. Tapi kali
ini ada apa dengan anaknya?
“Sejak hari
ini ma. Kenapa? Nggak boleh?” Bu Hamidah menggeleng.
“Ya boleh
banget. Apalagi kalau kamu sudah tidak mabuk lagi. Mama paling tidak suka kamu
pulang-pulang mabuk. Apa untungnya sih seperti itu?” cecar Bu Hamidah namun
dengan suara yang lembut. Dia memang tidak bisa berkata keras dengan anak
semata wayang itu.
“Ya nggak
ada sih ma. Cuma suka aja.” Jalal bangkit dari duduknya dan mengambil pelet
ikan dan menghamburnya sedikit di atas kolam. Sebentar saja pelet tersebut
habis disambar ikan. Jalal tertawa senang melihatnya.
Tidak
sengaja Bu Hamidah melihat Jodha sedang menyapu dedaunan kering yang jatuh di
taman samping rumah. Anak itu tidak bisa diam rupanya. Pikir Bu Hamidah.
“Jodha..”
panggilnya. Jodha menoleh kearah Bu Hamidah, begitu juga dengan Jalal menoleh
kearah Ibunya sebentar namun kemudian berpaling ke arah Jodha yang mendekati
mamanya.
“Ya Bu. Ada
yang bisa saya bantu?” tanya Jodha dengan sopan. Matanya sempat melirik sekilas
tuan mudanya sedang menatapnya.
“Bisa
bikinkan saya secangkir teh lagi Jo? teh saya habis ini?” Jodha mengangguk.
“Baik Bu.”
“Buatkan
untukku satu juga, Nem?” ucap Jalal. Bu Hamidah memandang putranya dengan
heran.
“Nem? Kok
kamu memanggil Jodha dengan panggilan Nem?”
“Mati aku.”
runtuk Jalal dalam hati, “eh ma...maksudku Jodha ma. Iya Jodha hehehe....”
jawab Jalal sambil cengengesan. Tangannya mengusap-usap tengkuknya. Sementara
Jodha tertawa dalam hati melihat tuan mudanya itu salah tingkah.
“Emang Nem
itu apa?” tanya Bu Hamidah bertanya entah kepada siapa. Namun matanya menatap
kedua orang di depannya dengan bergantian. Tidak ada yang menjawab, Jalal dan
Jodha hanya saling pandang membuat Bu Hamidah bertanya kepada Jodha, “memangnya
nama kamu cuma Jodha saja Jo?” Jodha menggeleng.
“Nggak Bu,
masih ada nama panjang lainnya. Hanya saja tidak ada kata Inemnya?” jawab Jodha
takut-takut sambil menunduk, matanya diam-diam melirik tuan mudanya yang sudah
melotot ke arahnya.
“Apaa??
Inem?”
“I...iya
Bu.”
“Darimana
nama itu Jo?” tanya Bu Hamidah menyelidik. Sementara wajah Jalal sudah nampak
pucat.
“Rasain tuh ketahuan.”
Teriak bathin Jodha dengan gembira, “da...dari tuan muda Bu.” Lemaslah sudah
rasa tubuh Jalal mendengar ucapan Jodha.
“Dasar
ember. Awas kamu.” Ucap Jalal dalam hati, matanya menatap tajam ke arah Jodha
yang masih tertunduk takut-takut di hadapan mamanya.
“Jalal,
kenapa kamu berlaku tidak sopan seperti itu? mama sama papa tidak pernah mengajarkan kamu memanggil orang
yang tidak dengan namanya sendiri. jangan mentang-mentang kamu berada di atas
jadi kamu berlaku sesukamu. Hormati orang lain, maka kamu akan dihormati juga.”
Jalal memutar bola matanya, “ayo minta maaf sama Jodha.” ucap Bu Hamidah dengan
tegas. Dia tidak senang anaknya menjadi sombong dan merendahkan orang lain.
“Tapi ma,..”
mamanya menggeleng.
“Tidak ada
tapi-tapi. Minta maaf sekarang. Atau segala fasilitas yang kamu punya mama
tarik semua selama sebulan.” Jalal membelalak mendengar ancaman mamanya.
“Jangan dong
ma. Terus aku nanti gimana?” rengek Jalal kepada mamanya.
Jodha yang
melihat semua itu hanya bisa mengulum senyumnya dan tertawa dalam hati, “dasar
anak manja.”
“Makanya
itu, cepat minta maaf sebelum mama berubah pikiran.” Jalal akhirnya mengalah
setelah melihat ekpresi mamanya menjadi sedikit menakutkan. Dia melangkah
mendekati Jodha dan mengulurkan tangannya kepada Jodha.
“Maafin
aku.” ucapnya dengan ketus. Jodha mengangguk, namun masih menunduk.
“Kamu itu
niat nggak sih minta maaf Jalal? gimana Jodha mau memaafkan kamu kalau sikapmu
seperti itu.” lagi-lagi suara mamanya menginterupsi tingkah lakunya, dan Jalal
hanya bisa menghela nafas.
“Maafin aku
ya Jo, aku salah. Mau ya maafin aku.” ucap Jalal sambil tersenyum lebar yang
dipaksa, lebih mirip seperti orang lagi kebelet sedang meringis-ringis. Jodha
merasa perut dan mulutnya kejang akibat menahan rasa geli melihat tingkah tuan
mudanya seperti itu.
“Iya Tuan,
saya maafkan.” Akhirnya keluar juga kata-kata dari mulut Jodha. Dia menyambut
uluran tangan tuan mudanya.
“Tuh kan ma,
aku sudah dimaafkan. Sudah selesaikan?” mamanya mengangguk.
“Ya sudah,
jangan diulangi lagi. Mama nggak segan-segan menghukum kamu kalau berbuat
seperti itu lagi biarpun kamu anak mama.”
“Iya ma.”
Jawab Jalal dengan setengah hati, dan duduk di samping mamanya sambil memandang
ikan-ikan dalam kolam, hatinya masih tidak terima. Dia masih dendam dengan
Jodha yang sudah mempermalukannya.
“Ya sudah
Jo, kamu bikinkan teh tadi ya.”
“Baik Bu.”
Ucap Jodha sambil berlalu.
Sesampainya
di dapur Jodha langsung tertawa terbahak-bahak mengeluarkan rasa gelinya
setelah dengan susah payah tadi dia menahannya. Bi Ijah yang melihatnya hanya
mengerutkan kening merasa heran.
“Kamu kenapa
Jo?” tanya Bi Ijah melihat Jodha memegang perutnya sambil membungkuk karena
tertawa dengan wajahnya nampak merah dan matanya berair.
Masih dengan
tertawanya yang membuat nafasnya tersengal-sengal, Jodha menceritakan tuan
mudanya yang dimarahi mamanya. Akhirnya Bi Ijah ikut tertawa.
“Coba tadi
Bibi lihat wajahnya, ya ampun Bi kata orang sekarang itu istilahnya “ngenes”
hahaha...” kembali mereka berdua tertawa.
“Sudah...sudah
cukup ketawanya Jo, sekarang kamu mau ngapain bawa cangkir segala?” tanya Bi
Ijah melihat Jodha memegang cangkir dari tadi.
“Iya Bi, ini
juga sudah berhenti.” Ucap Jodha meski senyum lebarnya masih terpasang di
bibirnya, “tadi ibu sama tuan muda minta dibikinkan teh lagi.”
“Tuan Muda
minta dibikinkan teh?” tanya Bi Ijah heran. Jodha mengangguk.
“Iya. Kenapa
Bi? Ada yang aneh ya?”
“Jelas aja
aneh Jo, seumur-umur Tuan Muda itu tidak pernah minum teh. Kok ini tiba-tiba
minta di bikinkan teh. Aneh?” kata Bi Ijah menggaruk kepalanya.
“Ya biar aja
Bi, itu lebih baik daripada dia minum minuman beralkohol yang bikin mabuk.”
“Iya sih. Ya
sudahlah kalau begitu.” Jodha terkekeh. Diapun dengan sigap membuatkan minuman
untuk majikannya itu.
Sesampainya
di tempat tadi, Jodha masih melihat wajah Tuan Mudanya nampak sewot. Kembali
dia tersenyum geli. Setelah mengantarkan pesanan majikannya Jodha kembali
melanjutkan pekerjaannya menyapu taman.
Tidak
berbeda dengan istrinya, Pak Humayun pun tidak kalah herannya melihat anaknya
dari sore sudah tenang dirumah. Seperti tidak ada niat ingin keluar bersama
temang-temannya seperti yang biasa dia lakukan selama ini. Bahkan mereka bisa
makan malam bareng, sesuatu yang sangat jarang terjadi. Biasanya suami istri
itu hanya makan malam berdua, sedangkan anaknya entah kemana.
“Kok tumben
kamu nggak keluar Jalal?” tanya papanya. Jalal yang duduk di seberang meja
berhadapan dengan orang tuanya mengangkat bahu sambil terus menikmati
makanannya.
“Lagi nggak
pengen aja. Kenapa Pa?”
“Tidak
apa-apa sih. Papa cuma senang aja. Kita kan jarang-jarang bisa makan malam
bersama.” Jalal makan sambil mengangguk-angguk, “apalagi kalau setiap hari
begini.” Bu Hamidah tersenyum mendengar ucapan suaminya.
Tidak lama
kemudian datang Bi Ijah mengantarkan lagi minuman yang dipesan majikannya.
“Ini Nya,
jus jeruknya.”
“Iya Bi,
makasih ya.” Bi Ijah mengangguk, “oh iya Bi, Jodha kemana?”
“Ada Nya,
sedang dibelakang bantu saya beres-beres.”Bu Hamidah mengangguk.
“Hm....tolong
panggilkan dia Bi?”
“Baik Nya.”
Bi Ijah pun segera undur diri dan berlalu kebelakang untuk memanggil Jodha.
tidak lama kemudian Jodha datang menghampiri majikannya. Diam-diam Jalal menatapnya
tajam, masih dendam dia. Jodha hanya bisa mendesah pasrah melihat tuan mudanya
itu menatapnya dengan tatapan tidak suka. Dan Bu Hamidah melihat hal itu,
bibirnya tersenyum.
“Ada yang
bisa saya bantu Bu?” tanya Jodha dengan sopan.
“Kamu temani
kami makan Jo?” jawab Bu Hamidah tanpa basa-basi. Jodha dan Jalal sama-sama
terbelalak mendengar ucapan Bu Hamidah.
“Ta...tapi...sa...saya...”
Jodha menjadi gugup. Apalagi melihat tatapan melotot dari tuan mudanya.
“Nggak
apa-apa Jo, ayo duduk tuh di samping Jalal.” tunjuk Bu Hamidah malah menyuruh.
“Tapi Bu,
biar saya makan di belakang saja nanti.” Bu Hamidah menggeleng.
“Ibu tidak
terima penolakan.” Akhirnya dengan sangat terpaksa Jodha duduk di dekat tuan
mudanya. Dia merasakan hawa yang berbeda berada disamping tuan mudanya. Tentu
saja bukan hawa yang menyenangkan, tetapi hawa yang mencekam. Berada disamping
tuan mudanya bukanlah hal yang menyenangkan, namun sepertinya Bu Hamidah
sengaja membuat keduanya berada di kondisi tidak nyaman itu, Pak Humayun pun
tidak mempersoalkan bahkan dengan rela hati ikut tersenyum melihat keduanya
terlihat canggung.
“Ayo Jo,
pilih makanan yang kamu suka. Nggak usah canggung, anggap saja kamu makan
bersama keluargamu.” Ucap Pak Humayun tersenyum ramah.
Duh....beda
banget ya dengan anaknya. Benar nggak sih tuan mudanya itu keturunan langsung
dari Pak Humayun? Kok anaknya nyebelin banget, sudah gitu sok kecakepan. Hadeh,
tolong do’akan aku ibu biar nih mahkluk nggak bikin aku senewen terus. Bisik
hati Jodha.
“I..iya
Pak.”
Jodha mulai
mengambil makanan yang berada di dekatnya saja, masih belum terbiasa makan
bareng majikannya jadinya dia tidak berani untuk pilih-pilih makanan.
“Kamu
sengaja ya bikin aku malu dihadapan papa sama mamaku?” bisik Jalal yang
tiba-tiba mendekatkan wajahnya kepada Jodha.
Jodha menoleh
dan mengerutkan keningnya, kemudian menggeleng.
“Jalal.
Biarkan Jodha makan dengan tenang. Ngobrolnya nanti saja.” kata Pak Humayun
membuat keduanya tersentak dan refleks kembali pada posisi semula. Bu Hamidah
yang melihat hanya menyembunyikan senyumnya sambil menikmati makanannya.
Selesai makan
Pak Humayun dan Bu Hamidah segera bangkit meninggalkan meja makan, tinggallah
mereka berdua yang masih menikmati makan dengan diam. Jodha melirik piring
Jalal yang menyisakan sayuran brokoli dan tomat di pinggir piringnya.
“Tuan...”
panggil Jodha tanpa sadar.
“Hm....”
Jalal hanya
mendehem tanpa menoleh.
“Kenapa
sayurannya nggak dimakan? Kan sehat, sayang banget kalau dibuang.” Jalal
menghentikan makannya dan menoleh ke arah Jodha.
“Kenapa?
Kamu mau? Aku nggak suka makan sayur ini, bau.”
“Ya sudah
sini biar saya aja yang makan. Sayang kalau dibuang. Mubazir.” Jodha memang
merasakan kerasnya hidup yang kekurangan membuatnya merasa sayang kalau makanan
dibuang sia-sia.
Jalal segera
memindahkan sayurannya ke piring Jodha. Dia sedikit meringis melihat Jodha makan
sayuran itu dengan lahab. Sejenak dia lupa akan permusuhannya. Dia begitu
menikmati pemandangan yang ada di sampingnya itu. menyenangkan melihat gadis
itu makan dengan tenang dan lahab (cieee...yang mulai akur. Hahahaha....).
Jodha yang
merasa tidak nyaman diperhatikan oleh tuannya berpaling memandang Jalal dengan sedikit
heran.
“Kenapa Tuan
menatap saya seperti itu?”
Jalal
tersenyum remeh dan menggeleng.
“Tidak
apa-apa, hanya merasa aneh aja ada cewek makannya kayak kambing. Sayuran pahit
gitu kok dimakan.” Ucapnya tanpa rasa bersalah.
“Sabar
Jodha.” hibur bathin Jodha. Berulang kali dia menghela nafas panjang untuk
membuang kekesalan hatinya, “nggak apa-apa kok tuan, lagian kambing juga jarang
sakit karena sering makan sayuran walau jarang mandi.” Jawab Jodha sambil
memasang senyum terpaksanya, dia mulai berusaha untuk bisa menerima kata-kata
yang menyakitkan di telinga dari tuan mudanya itu.
“Kok tahu
kambing jarang mandi? Kamu pernah mengembala kambing ya Nem?” bisik Jalal.
rupanya usilnya masih tersisa banyak, hanya saja sekarang harus diam-diam agar
tidak ketahuan mamanya.
“Iya. Apa
Tuan mau saya gembalakan juga?” jawab Jodha dengan kesal sambil berdiri dan
membereskan piring makannya.
Jalal
terkekeh, puas hatinya melihat gadis itu kesal.
“Nggak mau.
Kan kamu yang kambingnya kenapa kamu yang ingin jadi gembala saya?” lagi-lagi
mulut Jalal mengalir kata-kata yang memang sengaja ingin membuat Jodha senewen
setengah mati, “eh, kamu mau kemana Nem?” tanya Jalal ketika melihat Jodha
ingin menjauh dari meja makan. Tanpa sadar tangannya mencekal tangan Jodha.
Jodha
mendelik, dia tidak peduli lagi sopan santun dengan tuan mudanya itu yang
sungguh keterlaluan itu.
“Ingin
ketemu sama ibu.”
“Kenapa? Ada
urusan apa sama mama? Mau ngadu lagi?” tuduh Jalal, bibir Jodha saling menekan
sehingga membentuk garis lurus.
“Bukan. Mau
minta ijin menghajar anaknya yang mulutnya tidak pake filter. Biar beberapa hari mulutnya bisa istirahat untuk tidak
sembarangan bicara.” Ucap Jodha dengan geram.
Jalal
tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan Jodha. Lucu sekali. Tanpa berkata
apa-apa lagi namun masih dengan kekehannya dia berlalu meninggalkan Jodha yang
masih berdiri di dekat meja makan. Dia masuk ke kamarnya dengan tersenyum
senang. Membanting tubuhnya di atas tempat tidur. Kepalanya di sangga
menggunakan kedua tangannya yang saling direkatkan satu sama lain. Kaki kirinya
di taruh diatas kaki kanannya. Matanya menatap langit-langit kamar dengan
tersenyum. Masih terbayang wajah kesal supir mamanya tadi.
“Inem...Inem...”
ucapnya sambil tersenyum.
Entah berapa
lama dia tersenyum dalam posisi seperti itu, yang jelas bangun-bangun hari
sudah pagi. Dan kejadian kemarin terjadi lagi. Gadis itu kembali mencuci mobil
mamanya bersama Mang Diman. Namun kali ini dia hanya memandang dari kamarnya.
Belum ada niat ingin mengerjainya. Apalagi melihat gadis itu begitu menikmati
pekerjaannya, sama seperti sebelumnya earphone
yang tidak pernah ketinggalan dari telinganya.
Seharian
Jalal hanya diisi dengan melamun dan melamun memikirkan keinginannya untuk
mengerjai Inemnya. Kedua sahabatnya hanya menggelengkan kepala melihat bosnya
seperti hilang dari peredaran dunia, terkadang senyum-senyum tidak jelas
sendiri seakan menganggap tidak ada orang yang berada di sekelilingnya. Bahkan saat
kuliah pun dia hanya melamun dan menatap dosennya dengan pandangan kosong.
Dia yang
biasanya bersemangat ketika di kerubungi para gadis-gadis sekarang seperti
kekurangan minatnya karena sekarang hati dan pikirannya dipenuhi oleh gadis
yang sekarang bekerja di rumahnya itu.
Seperti
kemarin jam 4 sore Jalal pulang, ketika Surya dan Mansingh mengajaknya untuk hang out seperti biasanya dia tidak
menanggapinya. Keinginannya hanya ingin pulang dan pulang. Ketika masuk ke
dalam rumah dia melihat Inemnya sedang bersih-bersih menggunakan kemoceng.
Sekejap Jalal tersenyum melihatnya.
“Kamu lagi
ngapain Nem?” Jodha mendengus tanpa menoleh.
“Lagi
masak!” jawabnya dengan ketus, “ya lagi bersih-bersih lah Tuan. Emangnya terlihat
lagi ngapain?”
“Ya elah
Nem, ngomongnya kok judes banget. Yang punya rumah siapa sih?” Jodha menoleh ke
arah Jalal dengan pandangan sengit.
“Salahnya
Tuan ngomongnya nggak pake rem. Nabrak terus. Jadi jangan harap saya akan
sopan.” Ucap Jodha dengan cuek, tangannya masih terus bekerja, “anda sopan saya
segan.” Jalal terkekeh.
“Kok kayak
iklan Nem? Anda sopan saya segan. ” ucap Jalal dengan santainya. Jodha tidak
menanggapinya hanya menoleh sekilas. Dia terus saja bekerja, membuat Jalal
menjadi kesal di acuhkan. Dia mendekati Jodha dan tanpa sengaja tangannya menyentuh
pantat Jodha agak keras membuat gadis itu refleks berbalik dan.......
PLAAK!!!
Telapak
tangan Jodha mendarat dengan mulus di pipi tuan mudanya, Jalal meringis ketika
merasakan perih di pipinya. Emosinya mulai menguasai dirinya. Namun Jodha
terlihat tenang-tenang saja.
“Heh, Inem.
Kurang ajar, kamu berani-beraninya menamparku. Kamu jangan seenaknya ya
mentang-mentang orang tuaku menyayangi kamu.” Jodha tersenyum mengejek.
“Siapa juga
yang seenaknya Tuan? Biarpun saya cuma pembantu tetapi saya tidak terima kalau
Tuan macam-macam kepada saya. Tuan boleh berbuat apa saja kepada orang lain,
tetapi jangan harap itu berlaku buat saya. Saya tidak peduli siapapun Tuan,
saya hanya tidak ingin direndahkan. Tuan mau memecat saya? Silakan. Saya tidak
takut.” Ucap Jodha dengan berani.
Baru saja
Jalal ingin membuka mulut ingin menjawab ketika terdengar suara mamanya menyela
percakapan mereka.
“Ada apa ini
Jalal? kenapa pipimu merah begitu?” tanya Bu Hamidah menyentuh pipi anaknya.
Jalal
tertawa dalam hati. “Mampus kamu Nem.” Sedangkan Jodha hanya menunduk, tidak
berani melihat majikannya.
“Habis di
tampar sama dia tuh Ma?” ucap Jalal dengan isyarat matanya menunjuk ke arah
Jodha. sekilas Bu Hamidah melihat Jodha yang menunduk.
“Maafkan
saya Bu.” Bu Hamidah menghela nafas. Kemudian menatap anaknya.
“Apa yang
kamu lakukan sampai Jodha menamparmu?”
“A..aku...hanya
tidak sengaja menyentuh pantatnya saja Ma.” Jawab Jalal dengan lirih. Seketika
wajah Bu Hamidah berubah mengeras.
“Hm....bagus.
Begitu kelakuanmu. Mama sudah bilang, mama sama papa tidak pernah mengajarkan
kamu untuk bertindak tidak sopan. Apalagi kepada perempuan. Mama pun akan
bersikap seperti Jodha terhadap laki-laki yang seperti itu. Sekali lagi jangan
pernah memandang rendah perempuan bagaimanapun keadaannya. Mengerti?” bentak Bu
Hamidah.
“Iya Ma.
Maafin aku.” jawab Jalal dengan menunduk. Tidak berani melihat wajah marah
mamanya.
“Sesuai
janji mama kemarin, maka mama akan menghukum kamu karena sudah bertindak kurang
ajar. Dan sekarang untuk hukumannya mama serahkan sama Jodha yang menghukum
kamu.” Serentak Jalal dan Jodha mendongak ke arah Bu Hamidah.
“Ta...tapi
Ma...” Bu Hamidah menggeleng.
“Tidak ada
tapi-tapi lagi seperti kemarin.” Wajah Jalal langsung di tekuk
“Tapi Bu,
saya tidak berhak menghukum Tuan Muda.” Ucap Jodha. Walau bagaimanapun dia
tidak enak juga dengan Bu Hamidah. Mana ada pembantu menghukum majikannya. Udah
kebalik kali dunia ini kalau itu terjadi.
Bu Hamidah
tersenyum lembut kepada Jodha.
“Nggak apa-apa
Jo, jangan merasa sungkan. Ini anak memang sekali-sekali harus ada yang
melawannya. Selama ini dia terbiasa dilayani. Makanya sekarang kamu Ibu
serahkan tugas itu.” ucap Bu Hamidah sambil melirik Jalal yang sudah mulai
pucat, “hukuman yang mendidik.” Bisik Bu Hamidah di telinga Jodha.
Seketika
wajah Jodha berubah cerah. Senyumnya terbit mendengar bisikan dari majikannya.
Dia pun mengangguk.
“Baik Bu.
Akan saya laksanakan.” Bu Hamidah tersenyum puas.
“Bagus.
Kalau Jalal melawan kamu bilang saja sama saya, biar nanti saya dan papanya
yang akan menghukumnya.” Jalal semakin ngeri melihat senyum penuh kemenangan di
wajah Jodha, tetapi dimata Jalal senyum itu terlihat begitu menyeramkan.
“Baik Bu.”
Bu Hamidah meninggalkan mereka berdua.
“Sial,
kenapa sekarang gadis ini menjadi menyeramkan sih?” gumam Jalal sambil
menggidik ngeri.
===TBC===
Tidak ada komentar:
Posting Komentar