Menu

Jumat, 12 Februari 2016

BIARKAN AKU JATUH CINTA, PART. 3 (JANGAN COBA-COBA)


“APAAA?”
Jodha berteriak kesal, tetapi lagi-lagi teriakan itu hanya sampai di tenggorokannya saja . Tidak ada nyali untuk mengeluarkannya meski sebesar apapun rasa kesalnya. Apalagi kedua majikannya sedang berada di antara mereka. Jodha hanya bisa mendesah pelan untuk mendinginkan rasa panas dikepalanya. Sementara Jalal masih memakan sarapannya dengan santai tanpa rasa berdosa sedikitpun, hatinya senang melihat wajah Jodha yang nampak kesal.
Memang sih kalau dilihat penampilan Jodha yang memakai celana panjang jeans agak ketat, dengan jaket army  yang ngepres dibadan meski agak panjang hingga setengah dari pahanya dan dengan kerah yang dikancing menutupi leher sehingga kulit putihnya semakin terlihat bersinar karena kontras dengan pakaiannya yang serba gelap, rambut panjang Jodha di gelung dan dimasukkan kedalam topi, memakai sepatu casual, serta ditangannya memegang kacamata hitam, belum lagi earphone yang menjulur keluar dari dalam kerah jaketnya membuatnya memang terlihat seperti seorang bodyguard women. Sedangkan wajahnya dipoles dengan sentuhan bedak tipis dan bibirnya di olesin lipgloss pink membuatnya terlihat seksi.
“Apa perlu saya ganti pakaian Bu?” tanya Jodha. Bu Hamidah tersenyum dan menggeleng kepada Jodha. “Tapi nanti saya dikira bodyguard beneran gimana Bu?”
Bu Hamidah dan Pak Humayun tertawa, sedangkan Jalal hanya memasang wajah sinis padahal dalam hatinya dia tertawa.
“Nggak apa-apa kok Jo, penampilan kamu keren kok. Malahan kalau memang kamu seorang bodyguard sungguhan juga Ibu nggak keberatan. Dengan senang hati malahan.” Ucap Bu Hamidah menghibur Jodha.
“Saya takut nanti Ibu malu dengan kehadiran saya?”
“Nggak akan Jo. Untuk apa Ibu malu? Sudah, kamu tenang aja, nggak usah di ambil hati perkataan Jalal tadi ya.” Kata Bu Hamidah mengelus tangan Jodha dengan lembut. Jodha pun mengangguk.
“Benar Jo, jadilah dirimu sendiri. Selama kamu berpenampilan yang sopan kami tidak akan melarangmu. Mungkin Jalal takut kalau kamu berpakaian seperti itu nanti akan ada yang menyaingi dia yang terlihat macho.” Ucap Pak Humayun.
Kembali Pak Humayun tergelak, begitu juga dengan istrinya. Jodha hanya tersenyum geli. Sedangkan Tuan Mudanya hanya cemberut.
“Ya sudah Jo, ayo kita berangkat. Nanti Ibu telat.” Ajak Bu Hamidah. Jodha mengangguk.
“Baik Bu.”
Mereka berdua pun akhirnya berangkat. sebelum menstarter mobilnya Jodha memakai kacamatanya yang memang membuatnya kelihatan macho sekaligus seksi. Namun dia tidak peduli. Memang ada alasan kenapa dia harus berpenampilan seperti itu. Untuk saat ini dia masih belum bisa memberikan alasannya kepada siapapun termasuk Bu Hamidah.
“Kamu nggak kuliah Jo?” tanya Bu Hamidah ketika sedang berhenti di lampu merah.
“Hm...nggak Bu. Mungkin selama seminggu ini saya akan ijin nggak ngikutin perkuliahan Bu.”
“Kenapa? Jangan sampai kerjaan kamu membuat kuliah kamu terbengkalai. Ibu nggak pernah memaksa kamu kerja selain ngantar Ibu lo.” Ucap Bu Hamidah menatap Jodha yang berada di depannya itu. Tanpa menoleh Jodha mengangguk.
“Iya Bu, hanya ada sedikit masalah saja.”
“Baiklah kalau begitu. Kamu kalau ada masalah cerita sama Ibu, Ibu siap kok bantu kamu. Jangan sungkan.” Ucapan Rektornya itu membuat Jodha menggigit bibir menahan haru. Masih ada orang yang peduli kepadanya.
“Iya Bu, makasih.”
Bu Hamidah tersenyum.
“Ibu Senang kamu tinggal dirumah Ibu, sudah lama Ibu ingin punya anak perempuan. Soalnya Jalal sekarang jarang ada dirumah, sudah nggak bisa diharapin. Dia lebih memilih bersama teman-temannya daripada menemenin ibu dirumah. Begitu juga dengan papanya, terkadang harus keluar kota karena tuntutan pekerjaan sehingga sehabis pulang kerja ibu sering merasa kesepian.” Kata Bu Hamidah terlihat sendu.
Jodha terdiam, dia bisa mengerti perasaan majikannya karena hampir sama dengan yang dia alami dulu sewaktu dirumahnya.
“Nggak apa-apa kan kalau nanti Ibu akan sering minta ditemani sama kamu?”
Jodha kembali mengangguk dan tersenyum.
“Nggak apa-apa Bu, Ibu bilang saja, dengan senang hati akan saya temani.” Bu Hamidah tersenyum.
“Baiklah.”
Lampu pun sudah berganti dengan warna hijau, Jodha menjalankan mobilnya dengan kecepatan sedang. Ini pengalaman baru baginya membawakan mobil semewah ini, jadi dia harus hati-hati mengemudikannya.
Setelah tiga puluh menit kemudian mereka pun sampai di universitas, Jodha memarkirkan mobilnya di tempat khusus untuk parkiran para pejabat universitas. Setelah mematikan mesin, dia membuka pintu mobil dengan cepat ketika melihat Bu Hamidah bersiap-siap untuk keluar.
“Biar saya bukakan pintunya Bu.” Pinta Jodha.
“Nggak usah Jo, sudah kayak pejabat saja pake dibukain segala.” Jawab Bu Hamidah sambil terkekeh.
“Kan memang tugas saya Bu. Mau ya Bu.” Kata Jodha memaksa.
Bu Hamidah pun mengalah, dia mengangguk. Dengan langkah ringan Jodha membukakan pintu mobil untuk Bu Hamidah. Sebelum keluar Bu Hamidah menyerahkan beberapa lembar uang untuk keperluan Jodha dan juga untuk mengisi bbm.
Awalnya Jodha menolak namun Bu Hamidah bersikeras memberikannya, akhirnya dengan terpaksa Jodha menerimanya.
“Sekarang kamu mau kemana Jo?” tanya Bu Hamidah sebelum melangkah masuk kedalam gedung.
“Saya ingin ke fakultas Bu, buat ngurus ijin saya.” Bu Hamidah manggut-manggut, “oh iya, Ibu nanti saya tunggu disini atau bagaimana?”
“Kalau kamu ada keperluan kamu boleh tinggal aja Jo, nanti kalau saya ingin pulang kamu saya telpon ya.”
“Baik Bu. Kalau begitu saya permisi dulu.” Pamit Jodha
“Baiklah.”
 Bu Hamidah melangkah masuk kedalam gedung yang terdapat kantornya sebagai rektor, sedangkan Jodha melangkah menuju fakultas untuk meminta ijin tidak masuk kuliah kepada dosennya.
Peristiwa tadi dan juga penampilan Jodha tidak lepas dari perhatian para mahasiswa dan segenap penghuni universitas yang kebetulan melihatnya. Bisik-bisik pun terjadi. Namun Jodha tidak memperdulikannya dan terus melangkah melewati orang-orang yang menatapnya dengan penasaran termasuk kedua sahabat Jalal yaitu Mansingh dan Surya.
Mansingh dengan mulut ternganga melihat Jodha yang keluar dari belakang kemudi dan membukakan pintu untuk rektornya. Siapa dia? Duh....mana cakep banget. Namun terlihat misterius.
“Sur, kok Jalal tidak pernah cerita mamanya punya sopir cantik sih?” tanya Mansingh tanpa mengalihkan pandangannya kepada Jodha yang mulai menghilang memasuki gedung fakultas.
“Iya, biasanya Mang Diman yang mengantar. Kok sekarang sudah ganti. Apa Mang Diman sudah pensiun?” Mansingh mengangkat bahu tanda dia juga tidak tahu.
“Ntar kalau ketemu kita interogasi dia, sayang banget tuh cewek di anggurin.” Surya menoyor kepala Mansingh.
“Kamu pikir makanan, dianggurin?” Mansingh hanya cengengesan mendengar ucapan Surya.
“Ya maaf, habis cakep banget sih.” Surya hanya menggelengkan kepala melihat sahabatnya seperti itu.
“Ya sudah kita kuliah dulu, ntar jam sepuluh Jalal baru datang kalau kamu mau interogasi.”
“Oke. Ayo.”
Mereka berdua pun masuk kelas untuk mengikuti perkuliahan, mereka bertiga sebenarnya mengambil jurusan yang sama dan jadwal kuliah yang sama, namun Jalal lebih banyak bolosnya daripada rajinnya. Mungkin karena dia adalah anak dari pemilik universitas jadi para dosen pengajar tidak berani berbuat apa-apa selain membiarkannya.
Seperti dugaan sebelumnya Jalal muncul di kampusnya dengan membawakan mobil jeep Wrangler Renegade warna hitam kesayangannya yang mempunyai tampang sangar, sangat menunjang penampilan Jalal semakin keren. Bahkan tidak jarang tanpa diminta para mahasiswi langsung mengerubunginya seperti pembeli mengerubungi tukang obat. Hahaha....
Hari ini pun terjadi seperti itu, Jalal datang dengan segala pesonanya membuat para fansnya hanya dengan sekali kedip matanya langsung meleleh. Mansingh dan Surya yang melihat kedatangan Jalal langsung menyongsongnya dengan terburu-buru menghalau para gadis yang ingin mendekati Jalal.
“Maaf ya ladies-ladies, hari ini arjunanya kami pinjam. Ada urusan penting.” seru Mansingh sambil menarik tangan Jalal. Sementara para fansnya yang kecewa hanya berteriak “huuuuu” saja.  
Jalal yang ditarik tangannya oleh Mansingh bersungut-sungut, dengan diikuti Surya dari belakang namun Mansing tidak peduli tetap menggeretnya sampai di kantin kampus.
“Apaan sih Man, pake tarik-tarik segala?” tanya Jalal setelah duduk dengan tenang. Mansingh dan Surya duduk dihadapannya yang terhalang oleh meja.
“Bos, kok  nggak pernah cerita kalau supir mamanya bos cakep banget.” Jalal sedikit kaget, mereka sudah tahu.
“Hah...”
Mansingh mendengus.
“Kok ekpresinya kayak gitu sih Bos?” tanya Man melihat Jalal ekpresinya seperti orang bengong.
“Eh, apa? Kamu nanya apa Man?” Jalal balik tanya untuk mengusir rasa malunya.
“Yah, si bos pake bengong segala. Ganteng-ganteng bengong.” Runtuk Man. Sedangkan Surya hanya terdiam, karena memang Man yang lebih tertarik untuk bertanya, “nama supirnya siapa bos?” Jalal menatap Man dengan tajam.
“Memang kenapa?”
“Nggak kenapa-kenapa sih, Cuma pengen tahu aja. Siapa tahu bisa kenalan.” Goda Mansingh. Sepertinya Jalal tertarik dengan gadis itu.
“Namanya Inem.” Jawab Jalal kalem.
“Hah? Inem?” ucap Mansingh dan Surya bersamaan, “yang bener bos? Nggak becandakan?” tanya Mansingh sekali lagi. Mereka berdua tertawa terbahak-bahak, “Masa cantik-cantik namanya Inem sih bos?”
“Ya begitulah.” Lagi-lagi Jalal menjawab dengan santai, tangannya mencomot gorengan yang ada di atas meja tersebut dan memakannya dengan santai.
“Masa sih bos? Aku boleh nanya sendiri nggak bos?” tanya Mansingh kembali memancing.
“Nggak boleh!” jawab Jalal dengan sewot. Mansingh dan Surya kembali ketawa.
“Kamu suka dia kan bro?” tebak Surya. Dari gelagat Jalal sih sepertinya begitu.
“Siapa juga yang suka? Dia itu bawel banget. Sakit telingaku mendengarnya, sok akrab begitu sama orang.” Mansingh memajukan tubuhnya dan mendekati Jalal untuk menatap Jalal lebih dekat, membuat Jalal merasa jengah, “kamu kenapa Man?” tanya  Jalal mendorong wajah Man dengan telapak tangannya sehingga pemuda itu kembali terduduk.
“Kamu bohong kan? Hayo ngaku?” desak Man. Jalal kembali mendengus kesal.
“Iya. Inem itu aku sendiri yang memberinya nama? Puas?” Mansingh menggeleng.
“Belum. Terus namanya siapa?” Jalal mengangkat bahunya.
“Entah. Aku lupa. Lebih enak memanggilnya Inem, trus melihat wajah kesalnya karena tidak berani membalasku rasanya menyenangkan.” Ucap Jalal sambil tertawa kecil. Pandangannya tertuju pada piring kue di depannya namun pikirannya mengingat kejadian pagi tadi. Entah kenapa melihat gadis itu kesal wajahnya terlihat menggemaskan. Membuatnya ingin lagi dan ingin lagi mengerjainya.
Melihat tingkah Jalal seperti itu membuat kedua sahabatnya saling berpandangan, kemudian keduanya tersenyum penuh arti. Jalal yang tersadar dari lamunannya menatap keduanya dengan pandangan penuh tanda tanya.
“Kalian berdua kenapa tersenyum begitu?” serentak keduanya menggeleng.
“Nggak apa-apa bos.” Jawab Mansingh dengan senyum dikulum. Jalal mendecak.
“Ya sudah, ayo kita masuk kelas.” Kata Jalal berdiri dan melangkah untuk membayar kue yang dimakannya tadi dan keluar menuju kelasnya diikuti oleh kedua sahabatnya.
Sementara itu Jodha yang sudah menyelesaikan urusannya di kampus memutuskan untuk pulang kerumah sambil menunggu panggilan dari majikannya. Sengaja dia memilih jalan yang melewati rumahnya dulu. Dia rindu ingin kembali bertemu dengan ayahnya. Sedang apa ayahnya sekarang?
Jodha menghentikan diseberang jalan tidak jauh dari rumahnya. Namun dia tidak keluar dari mobil, hanya menatap rumah itu dari kejauhan. Berkali-kali dia mengusap air matanya, kacamata hitamnya dilepas dan pandangannya tidak lepas dari rumahnya yang terlihat sepi dengan pintu rumah tertutup.
“Ayah, ayah sedang apa sekarang? Apa masih mengingatku? Aku rindu ayah. Aku nggak peduli apapun keadaan ayah, asalkan ayah tidak membenciku. Maafkan aku ayah, maafkan aku.” ucapnya tersedu-sedu dan menangkup wajahnya di atas setir dengan dialasi kedua punggung tangannya. Bisa kau bayangkan rasanya disuruh menjauh dari kehidupan orang yang kau cintai. Sakit.
Setelah emosinya mereda, Jodha menghapus air matanya dan memperbaiki penampilannya yang sedikit sembab. Kembali dipasangkannya kacamata hitamnya untuk menutupi matanya yang sedikit bengkak karena menangis tadi. Perlahan dia pun segera meninggalkan rumahnya untuk pulang ketempat majikannya.
Sore harinya Jalal pulang kerumah mendapati mamanya sudah pulang dari kantornya sedang duduk santai sambil membaca buku di gazebo belakang rumah di temani secangkir teh dan sepiring camilan berupa risoles sayuran. Di depan gazebo itu terdapat kolam ikan koi kesayangan papanya.
“Sore Ma.”  Kata Jalal mencium tangan mamanya. Mamanya menatapnya heran, “kenapa mama melihatku seperti itu?”
“Kok tumben kamu pulang cepat sayang? Biasanya pulang malam.” Jalal tersenyum, tangannya mengambil cemilan di piring dan menggigitnya.
“Memangnya nggak boleh aku pulang cepat ma?” mamanya tertawa.
“Bukan nggak boleh sayang, mama malah senang sekali. Kalau bisa kamu pulang tiap hari seperti ini, jadi mama tidak kesepian.” Jalal cengar-cengir saja.
 “Iya deh ma, nanti aku akan sering-sering pulang cepat.” Ucap Jalal sambil meminum teh mamanya sampai habis. Bu Hamidah hanya menggeleng melihat kelakuan anaknya.
“Minta bikinkan sama Bi Ijah sana, masa punya mama juga dihabisin.” Jalal memasang tampang tidak bersalah.
“Maaf ma. Haus.”
“Sejak kapan kamu suka minum teh, Jalal?” tanya mamanya heran. Tidak biasanya anaknya minum teh, biasanya suka kopi hitam kalau nggak minuman yang bikin mabuk. Tapi kali ini ada apa dengan anaknya?
“Sejak hari ini ma. Kenapa? Nggak boleh?” Bu Hamidah menggeleng.
“Ya boleh banget. Apalagi kalau kamu sudah tidak mabuk lagi. Mama paling tidak suka kamu pulang-pulang mabuk. Apa untungnya sih seperti itu?” cecar Bu Hamidah namun dengan suara yang lembut. Dia memang tidak bisa berkata keras dengan anak semata wayang itu.
“Ya nggak ada sih ma. Cuma suka aja.” Jalal bangkit dari duduknya dan mengambil pelet ikan dan menghamburnya sedikit di atas kolam. Sebentar saja pelet tersebut habis disambar ikan. Jalal tertawa senang melihatnya.
Tidak sengaja Bu Hamidah melihat Jodha sedang menyapu dedaunan kering yang jatuh di taman samping rumah. Anak itu tidak bisa diam rupanya. Pikir Bu Hamidah.
“Jodha..” panggilnya. Jodha menoleh kearah Bu Hamidah, begitu juga dengan Jalal menoleh kearah Ibunya sebentar namun kemudian berpaling ke arah Jodha yang mendekati mamanya.
“Ya Bu. Ada yang bisa saya bantu?” tanya Jodha dengan sopan. Matanya sempat melirik sekilas tuan mudanya sedang menatapnya.
“Bisa bikinkan saya secangkir teh lagi Jo? teh saya habis ini?” Jodha mengangguk.
“Baik Bu.”
“Buatkan untukku satu juga, Nem?” ucap Jalal. Bu Hamidah memandang putranya dengan heran.
“Nem? Kok kamu memanggil Jodha dengan panggilan Nem?”
“Mati aku.” runtuk Jalal dalam hati, “eh ma...maksudku Jodha ma. Iya Jodha hehehe....” jawab Jalal sambil cengengesan. Tangannya mengusap-usap tengkuknya. Sementara Jodha tertawa dalam hati melihat tuan mudanya itu salah tingkah.
“Emang Nem itu apa?” tanya Bu Hamidah bertanya entah kepada siapa. Namun matanya menatap kedua orang di depannya dengan bergantian. Tidak ada yang menjawab, Jalal dan Jodha hanya saling pandang membuat Bu Hamidah bertanya kepada Jodha, “memangnya nama kamu cuma Jodha saja Jo?” Jodha menggeleng.
“Nggak Bu, masih ada nama panjang lainnya. Hanya saja tidak ada kata Inemnya?” jawab Jodha takut-takut sambil menunduk, matanya diam-diam melirik tuan mudanya yang sudah melotot ke arahnya.
“Apaa?? Inem?”
“I...iya Bu.”
“Darimana nama itu Jo?” tanya Bu Hamidah menyelidik. Sementara wajah Jalal sudah nampak pucat.
“Rasain tuh ketahuan.” Teriak bathin Jodha dengan gembira, “da...dari tuan muda Bu.” Lemaslah sudah rasa tubuh Jalal mendengar ucapan Jodha.
“Dasar ember. Awas kamu.” Ucap Jalal dalam hati, matanya menatap tajam ke arah Jodha yang masih tertunduk takut-takut di hadapan mamanya.
“Jalal, kenapa kamu berlaku tidak sopan seperti itu? mama sama papa  tidak pernah mengajarkan kamu memanggil orang yang tidak dengan namanya sendiri. jangan mentang-mentang kamu berada di atas jadi kamu berlaku sesukamu. Hormati orang lain, maka kamu akan dihormati juga.” Jalal memutar bola matanya, “ayo minta maaf sama Jodha.” ucap Bu Hamidah dengan tegas. Dia tidak senang anaknya menjadi sombong dan merendahkan orang lain.
“Tapi ma,..” mamanya menggeleng.
“Tidak ada tapi-tapi. Minta maaf sekarang. Atau segala fasilitas yang kamu punya mama tarik semua selama sebulan.” Jalal membelalak mendengar ancaman mamanya.
“Jangan dong ma. Terus aku nanti gimana?” rengek Jalal kepada mamanya.
Jodha yang melihat semua itu hanya bisa mengulum senyumnya dan tertawa dalam hati, “dasar anak manja.”
“Makanya itu, cepat minta maaf sebelum mama berubah pikiran.” Jalal akhirnya mengalah setelah melihat ekpresi mamanya menjadi sedikit menakutkan. Dia melangkah mendekati Jodha dan mengulurkan tangannya kepada Jodha.
“Maafin aku.” ucapnya dengan ketus. Jodha mengangguk, namun masih menunduk.
“Kamu itu niat nggak sih minta maaf Jalal? gimana Jodha mau memaafkan kamu kalau sikapmu seperti itu.” lagi-lagi suara mamanya menginterupsi tingkah lakunya, dan Jalal hanya bisa menghela nafas.
“Maafin aku ya Jo, aku salah. Mau ya maafin aku.” ucap Jalal sambil tersenyum lebar yang dipaksa, lebih mirip seperti orang lagi kebelet sedang meringis-ringis. Jodha merasa perut dan mulutnya kejang akibat menahan rasa geli melihat tingkah tuan mudanya seperti itu.
“Iya Tuan, saya maafkan.” Akhirnya keluar juga kata-kata dari mulut Jodha. Dia menyambut uluran tangan tuan mudanya.
“Tuh kan ma, aku sudah dimaafkan. Sudah selesaikan?” mamanya mengangguk.
“Ya sudah, jangan diulangi lagi. Mama nggak segan-segan menghukum kamu kalau berbuat seperti itu lagi biarpun kamu anak mama.”
“Iya ma.” Jawab Jalal dengan setengah hati, dan duduk di samping mamanya sambil memandang ikan-ikan dalam kolam, hatinya masih tidak terima. Dia masih dendam dengan Jodha yang sudah mempermalukannya.
“Ya sudah Jo, kamu bikinkan teh tadi ya.”
“Baik Bu.” Ucap Jodha sambil berlalu.
Sesampainya di dapur Jodha langsung tertawa terbahak-bahak mengeluarkan rasa gelinya setelah dengan susah payah tadi dia menahannya. Bi Ijah yang melihatnya hanya mengerutkan kening merasa heran.
“Kamu kenapa Jo?” tanya Bi Ijah melihat Jodha memegang perutnya sambil membungkuk karena tertawa dengan wajahnya nampak merah dan matanya berair.
Masih dengan tertawanya yang membuat nafasnya tersengal-sengal, Jodha menceritakan tuan mudanya yang dimarahi mamanya. Akhirnya Bi Ijah ikut tertawa.
“Coba tadi Bibi lihat wajahnya, ya ampun Bi kata orang sekarang itu istilahnya “ngenes” hahaha...” kembali mereka berdua tertawa.
“Sudah...sudah cukup ketawanya Jo, sekarang kamu mau ngapain bawa cangkir segala?” tanya Bi Ijah melihat Jodha memegang cangkir dari tadi.
“Iya Bi, ini juga sudah berhenti.” Ucap Jodha meski senyum lebarnya masih terpasang di bibirnya, “tadi ibu sama tuan muda minta dibikinkan teh lagi.”
“Tuan Muda minta dibikinkan teh?” tanya Bi Ijah heran. Jodha mengangguk.
“Iya. Kenapa Bi? Ada yang aneh ya?”
“Jelas aja aneh Jo, seumur-umur Tuan Muda itu tidak pernah minum teh. Kok ini tiba-tiba minta di bikinkan teh. Aneh?” kata Bi Ijah menggaruk kepalanya.
“Ya biar aja Bi, itu lebih baik daripada dia minum minuman beralkohol yang bikin mabuk.”
“Iya sih. Ya sudahlah kalau begitu.” Jodha terkekeh. Diapun dengan sigap membuatkan minuman untuk majikannya itu.
Sesampainya di tempat tadi, Jodha masih melihat wajah Tuan Mudanya nampak sewot. Kembali dia tersenyum geli. Setelah mengantarkan pesanan majikannya Jodha kembali melanjutkan pekerjaannya menyapu taman.
Tidak berbeda dengan istrinya, Pak Humayun pun tidak kalah herannya melihat anaknya dari sore sudah tenang dirumah. Seperti tidak ada niat ingin keluar bersama temang-temannya seperti yang biasa dia lakukan selama ini. Bahkan mereka bisa makan malam bareng, sesuatu yang sangat jarang terjadi. Biasanya suami istri itu hanya makan malam berdua, sedangkan anaknya entah kemana.
“Kok tumben kamu nggak keluar Jalal?” tanya papanya. Jalal yang duduk di seberang meja berhadapan dengan orang tuanya mengangkat bahu sambil terus menikmati makanannya.
“Lagi nggak pengen aja. Kenapa Pa?”
“Tidak apa-apa sih. Papa cuma senang aja. Kita kan jarang-jarang bisa makan malam bersama.” Jalal makan sambil mengangguk-angguk, “apalagi kalau setiap hari begini.” Bu Hamidah tersenyum mendengar ucapan suaminya.
Tidak lama kemudian datang Bi Ijah mengantarkan lagi minuman yang dipesan majikannya.
“Ini Nya, jus jeruknya.”
“Iya Bi, makasih ya.” Bi Ijah mengangguk, “oh iya Bi, Jodha kemana?”
“Ada Nya, sedang dibelakang bantu saya beres-beres.”Bu Hamidah mengangguk.
“Hm....tolong panggilkan dia Bi?”
“Baik Nya.” Bi Ijah pun segera undur diri dan berlalu kebelakang untuk memanggil Jodha. tidak lama kemudian Jodha datang menghampiri majikannya. Diam-diam Jalal menatapnya tajam, masih dendam dia. Jodha hanya bisa mendesah pasrah melihat tuan mudanya itu menatapnya dengan tatapan tidak suka. Dan Bu Hamidah melihat hal itu, bibirnya tersenyum.
“Ada yang bisa saya bantu Bu?” tanya Jodha dengan sopan.
“Kamu temani kami makan Jo?” jawab Bu Hamidah tanpa basa-basi. Jodha dan Jalal sama-sama terbelalak mendengar ucapan Bu Hamidah.
“Ta...tapi...sa...saya...” Jodha menjadi gugup. Apalagi melihat tatapan melotot dari tuan mudanya.
“Nggak apa-apa Jo, ayo duduk tuh di samping Jalal.” tunjuk Bu Hamidah malah menyuruh.
“Tapi Bu, biar saya makan di belakang saja nanti.” Bu Hamidah menggeleng.
“Ibu tidak terima penolakan.” Akhirnya dengan sangat terpaksa Jodha duduk di dekat tuan mudanya. Dia merasakan hawa yang berbeda berada disamping tuan mudanya. Tentu saja bukan hawa yang menyenangkan, tetapi hawa yang mencekam. Berada disamping tuan mudanya bukanlah hal yang menyenangkan, namun sepertinya Bu Hamidah sengaja membuat keduanya berada di kondisi tidak nyaman itu, Pak Humayun pun tidak mempersoalkan bahkan dengan rela hati ikut tersenyum melihat keduanya terlihat canggung.
“Ayo Jo, pilih makanan yang kamu suka. Nggak usah canggung, anggap saja kamu makan bersama keluargamu.” Ucap Pak Humayun tersenyum ramah.
Duh....beda banget ya dengan anaknya. Benar nggak sih tuan mudanya itu keturunan langsung dari Pak Humayun? Kok anaknya nyebelin banget, sudah gitu sok kecakepan. Hadeh, tolong do’akan aku ibu biar nih mahkluk nggak bikin aku senewen terus. Bisik hati Jodha.
“I..iya Pak.”
Jodha mulai mengambil makanan yang berada di dekatnya saja, masih belum terbiasa makan bareng majikannya jadinya dia tidak berani untuk pilih-pilih makanan.
“Kamu sengaja ya bikin aku malu dihadapan papa sama mamaku?” bisik Jalal yang tiba-tiba mendekatkan wajahnya kepada Jodha.
Jodha menoleh dan mengerutkan keningnya, kemudian menggeleng.
“Jalal. Biarkan Jodha makan dengan tenang. Ngobrolnya nanti saja.” kata Pak Humayun membuat keduanya tersentak dan refleks kembali pada posisi semula. Bu Hamidah yang melihat hanya menyembunyikan senyumnya sambil menikmati makanannya.
Selesai makan Pak Humayun dan Bu Hamidah segera bangkit meninggalkan meja makan, tinggallah mereka berdua yang masih menikmati makan dengan diam. Jodha melirik piring Jalal yang menyisakan sayuran brokoli dan tomat di pinggir piringnya.
“Tuan...” panggil Jodha tanpa sadar.
“Hm....”
Jalal hanya mendehem tanpa menoleh.
“Kenapa sayurannya nggak dimakan? Kan sehat, sayang banget kalau dibuang.” Jalal menghentikan makannya dan menoleh ke arah Jodha.
“Kenapa? Kamu mau? Aku nggak suka makan sayur ini, bau.”
“Ya sudah sini biar saya aja yang makan. Sayang kalau dibuang. Mubazir.” Jodha memang merasakan kerasnya hidup yang kekurangan membuatnya merasa sayang kalau makanan dibuang sia-sia.
Jalal segera memindahkan sayurannya ke piring Jodha. Dia sedikit meringis melihat Jodha makan sayuran itu dengan lahab. Sejenak dia lupa akan permusuhannya. Dia begitu menikmati pemandangan yang ada di sampingnya itu. menyenangkan melihat gadis itu makan dengan tenang dan lahab (cieee...yang mulai akur. Hahahaha....).
Jodha yang merasa tidak nyaman diperhatikan oleh tuannya berpaling memandang Jalal dengan sedikit heran.
“Kenapa Tuan menatap saya seperti itu?”  
Jalal tersenyum remeh dan menggeleng.
“Tidak apa-apa, hanya merasa aneh aja ada cewek makannya kayak kambing. Sayuran pahit gitu kok dimakan.” Ucapnya tanpa rasa bersalah.
“Sabar Jodha.” hibur bathin Jodha. Berulang kali dia menghela nafas panjang untuk membuang kekesalan hatinya, “nggak apa-apa kok tuan, lagian kambing juga jarang sakit karena sering makan sayuran walau jarang mandi.” Jawab Jodha sambil memasang senyum terpaksanya, dia mulai berusaha untuk bisa menerima kata-kata yang menyakitkan di telinga dari tuan mudanya itu.
“Kok tahu kambing jarang mandi? Kamu pernah mengembala kambing ya Nem?” bisik Jalal. rupanya usilnya masih tersisa banyak, hanya saja sekarang harus diam-diam agar tidak ketahuan mamanya.
“Iya. Apa Tuan mau saya gembalakan juga?” jawab Jodha dengan kesal sambil berdiri dan membereskan piring makannya.
Jalal terkekeh, puas hatinya melihat gadis itu kesal.
“Nggak mau. Kan kamu yang kambingnya kenapa kamu yang ingin jadi gembala saya?” lagi-lagi mulut Jalal mengalir kata-kata yang memang sengaja ingin membuat Jodha senewen setengah mati, “eh, kamu mau kemana Nem?” tanya Jalal ketika melihat Jodha ingin menjauh dari meja makan. Tanpa sadar tangannya mencekal tangan Jodha.
Jodha mendelik, dia tidak peduli lagi sopan santun dengan tuan mudanya itu yang sungguh keterlaluan itu.
“Ingin ketemu sama ibu.”
“Kenapa? Ada urusan apa sama mama? Mau ngadu lagi?” tuduh Jalal, bibir Jodha saling menekan sehingga membentuk garis lurus.
“Bukan. Mau minta ijin menghajar anaknya yang mulutnya tidak pake filter. Biar beberapa hari mulutnya bisa istirahat untuk tidak sembarangan bicara.” Ucap Jodha dengan geram.
Jalal tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan Jodha. Lucu sekali. Tanpa berkata apa-apa lagi namun masih dengan kekehannya dia berlalu meninggalkan Jodha yang masih berdiri di dekat meja makan. Dia masuk ke kamarnya dengan tersenyum senang. Membanting tubuhnya di atas tempat tidur. Kepalanya di sangga menggunakan kedua tangannya yang saling direkatkan satu sama lain. Kaki kirinya di taruh diatas kaki kanannya. Matanya menatap langit-langit kamar dengan tersenyum. Masih terbayang wajah kesal supir mamanya tadi.
“Inem...Inem...” ucapnya sambil tersenyum.
Entah berapa lama dia tersenyum dalam posisi seperti itu, yang jelas bangun-bangun hari sudah pagi. Dan kejadian kemarin terjadi lagi. Gadis itu kembali mencuci mobil mamanya bersama Mang Diman. Namun kali ini dia hanya memandang dari kamarnya. Belum ada niat ingin mengerjainya. Apalagi melihat gadis itu begitu menikmati pekerjaannya, sama seperti sebelumnya earphone yang tidak pernah ketinggalan dari telinganya.
Seharian Jalal hanya diisi dengan melamun dan melamun memikirkan keinginannya untuk mengerjai Inemnya. Kedua sahabatnya hanya menggelengkan kepala melihat bosnya seperti hilang dari peredaran dunia, terkadang senyum-senyum tidak jelas sendiri seakan menganggap tidak ada orang yang berada di sekelilingnya. Bahkan saat kuliah pun dia hanya melamun dan menatap dosennya dengan pandangan kosong.
Dia yang biasanya bersemangat ketika di kerubungi para gadis-gadis sekarang seperti kekurangan minatnya karena sekarang hati dan pikirannya dipenuhi oleh gadis yang sekarang bekerja di rumahnya itu.
Seperti kemarin jam 4 sore Jalal pulang, ketika Surya dan Mansingh mengajaknya untuk hang out seperti biasanya dia tidak menanggapinya. Keinginannya hanya ingin pulang dan pulang. Ketika masuk ke dalam rumah dia melihat Inemnya sedang bersih-bersih menggunakan kemoceng. Sekejap Jalal tersenyum melihatnya.
“Kamu lagi ngapain Nem?” Jodha mendengus tanpa menoleh.
“Lagi masak!” jawabnya dengan ketus, “ya lagi bersih-bersih lah Tuan. Emangnya terlihat lagi ngapain?”
“Ya elah Nem, ngomongnya kok judes banget. Yang punya rumah siapa sih?” Jodha menoleh ke arah Jalal dengan pandangan sengit.
“Salahnya Tuan ngomongnya nggak pake rem. Nabrak terus. Jadi jangan harap saya akan sopan.” Ucap Jodha dengan cuek, tangannya masih terus bekerja, “anda sopan saya segan.” Jalal terkekeh.
“Kok kayak iklan Nem? Anda sopan saya segan. ” ucap Jalal dengan santainya. Jodha tidak menanggapinya hanya menoleh sekilas. Dia terus saja bekerja, membuat Jalal menjadi kesal di acuhkan. Dia mendekati Jodha dan tanpa sengaja tangannya menyentuh pantat Jodha agak keras membuat gadis itu refleks berbalik  dan.......
PLAAK!!!
Telapak tangan Jodha mendarat dengan mulus di pipi tuan mudanya, Jalal meringis ketika merasakan perih di pipinya. Emosinya mulai menguasai dirinya. Namun Jodha terlihat tenang-tenang saja.
“Heh, Inem. Kurang ajar, kamu berani-beraninya menamparku. Kamu jangan seenaknya ya mentang-mentang orang tuaku menyayangi kamu.” Jodha tersenyum mengejek.
“Siapa juga yang seenaknya Tuan? Biarpun saya cuma pembantu tetapi saya tidak terima kalau Tuan macam-macam kepada saya. Tuan boleh berbuat apa saja kepada orang lain, tetapi jangan harap itu berlaku buat saya. Saya tidak peduli siapapun Tuan, saya hanya tidak ingin direndahkan. Tuan mau memecat saya? Silakan. Saya tidak takut.” Ucap Jodha dengan berani.
Baru saja Jalal ingin membuka mulut ingin menjawab ketika terdengar suara mamanya menyela percakapan mereka.
“Ada apa ini Jalal? kenapa pipimu merah begitu?” tanya Bu Hamidah menyentuh pipi anaknya.
Jalal tertawa dalam hati. “Mampus kamu Nem.” Sedangkan Jodha hanya menunduk, tidak berani melihat majikannya.
“Habis di tampar sama dia tuh Ma?” ucap Jalal dengan isyarat matanya menunjuk ke arah Jodha. sekilas Bu Hamidah melihat Jodha yang menunduk.
“Maafkan saya Bu.” Bu Hamidah menghela nafas. Kemudian menatap anaknya.
“Apa yang kamu lakukan sampai Jodha menamparmu?”
“A..aku...hanya tidak sengaja menyentuh pantatnya saja Ma.” Jawab Jalal dengan lirih. Seketika wajah Bu Hamidah berubah mengeras.
“Hm....bagus. Begitu kelakuanmu. Mama sudah bilang, mama sama papa tidak pernah mengajarkan kamu untuk bertindak tidak sopan. Apalagi kepada perempuan. Mama pun akan bersikap seperti Jodha terhadap laki-laki yang seperti itu. Sekali lagi jangan pernah memandang rendah perempuan bagaimanapun keadaannya. Mengerti?” bentak Bu Hamidah.
“Iya Ma. Maafin aku.” jawab Jalal dengan menunduk. Tidak berani melihat wajah marah mamanya.
“Sesuai janji mama kemarin, maka mama akan menghukum kamu karena sudah bertindak kurang ajar. Dan sekarang untuk hukumannya mama serahkan sama Jodha yang menghukum kamu.” Serentak Jalal dan Jodha mendongak ke arah Bu Hamidah.
“Ta...tapi Ma...” Bu Hamidah menggeleng.
“Tidak ada tapi-tapi lagi seperti kemarin.” Wajah Jalal langsung di tekuk
“Tapi Bu, saya tidak berhak menghukum Tuan Muda.” Ucap Jodha. Walau bagaimanapun dia tidak enak juga dengan Bu Hamidah. Mana ada pembantu menghukum majikannya. Udah kebalik kali dunia ini kalau itu terjadi.
Bu Hamidah tersenyum lembut kepada Jodha.
“Nggak apa-apa Jo, jangan merasa sungkan. Ini anak memang sekali-sekali harus ada yang melawannya. Selama ini dia terbiasa dilayani. Makanya sekarang kamu Ibu serahkan tugas itu.” ucap Bu Hamidah sambil melirik Jalal yang sudah mulai pucat, “hukuman yang mendidik.” Bisik Bu Hamidah di telinga Jodha.
Seketika wajah Jodha berubah cerah. Senyumnya terbit mendengar bisikan dari majikannya. Dia pun mengangguk.
“Baik Bu. Akan saya laksanakan.” Bu Hamidah tersenyum puas.
“Bagus. Kalau Jalal melawan kamu bilang saja sama saya, biar nanti saya dan papanya yang akan menghukumnya.” Jalal semakin ngeri melihat senyum penuh kemenangan di wajah Jodha, tetapi dimata Jalal senyum itu terlihat begitu menyeramkan.
“Baik Bu.” Bu Hamidah meninggalkan mereka berdua.
“Sial, kenapa sekarang gadis ini menjadi menyeramkan sih?” gumam Jalal sambil menggidik ngeri.


===TBC===

Tidak ada komentar:

Posting Komentar