Jalal
menggenggam erat tangan Jodha. Mereka berdua saling berpandangan dan tersenyum.
Dihadapan mereka berdua berdiri terhampar lembah yang luas. Hijaunya pemandangan
yang terlihat sangat menyejukkan mata, dengan disinari mentari pagi yang masih
bersinar malu-malu namun kehangatannya sangat terasa. Bahkan kehangatan itu
menelusuk ke dalam hati kedua insan yang sedang berbahagia.
Jodha
memejamkan matanya menikmati hangatnya mentari dan sejuknya udara. Aroma
kesegaran khas alam membuat hatinya tenang, bahkan tanpa dia sadari sudah cukup
lama dia memejamkan matanya. Sementara laki-laki disampingnya itu hanya
menatapnya tanpa berkedip, seakan takut pemandangan gadis yang memejamkan
matanya itu akan hilang seandainya dia mengedipkan matanya.
Perlahan
Jodha membuka matanya dan menoleh ke samping. Tersenyum kepada laki-laki yang
selalu menatapnya dengan penuh cinta. Jalal merasa hatinya terasa penuh dan
sesak. Betapa gadis pujaannya kini ada di depannya dengan senyuman yang teramat
menyejukkan jiwa.
Jalal
membalikkan badannya menghadap Jodha. Kedua tangannya memegang bahu gadis itu,
dan di tatapnya dalam-dalam wajah Jodha.
“Nem...,”
“Ya
Tuan...,”
“Aku cinta
sama kamu.” Jodha menunduk dengan wajah memerah.
Jalal menyentuh
dagunya dan mengangkat wajah Jodha. Gadis itu menatap Jalal dengan malu-malu.
“Saya juga
cinta sama Tuan.” Ucap Jodha kembali menunduk. Binar kebahagiaan terpancar di
wajah Jalal.
“Benarkah?”
Jodha mengangguk, “ucapkan sekali lagi Nem.” Pinta Jalal dengan penuh harap.
“Iya. Saya
juga cinta sama Tuan.”
Tak dapat
dibendung lagi kebahagiaan Jalal saat ini. Dilepaskannya pegangan tangannya
yang berada dibahu Jodha dan berbalik menghadap ke arah lembah seraya berteriak
kencang dengan gembira. Seakan semua rasa yang pernah menyakitkan hatinya
hilang sudah tanpa berbekas.
Setelah puas
berteriak, Jalal kembali menghadap ke arah Jodha dan melihat gadis itu
tersenyum malu-malu menatapnya. Dengan penuh kerinduan Jalal memeluk erat tubuh
Jodha. Diresapinya kebersamaannya mereka kali ini. Ah, dia tahu kalau dia
adalah orang yang paling bahagia hari ini. Bersama terbitnya mentari pagi,
begitu juga dengan cintanya seindah bias cahaya yang diberikan oleh matahari.
Jalal
melepaskan pelukannya dan kembali menatap wajah Jodha dengan kebahagiaan yang
tiada taranya. Senyumnya seakan enggan untuk hilang dari bibirnya.
“Kamu tahu
nggak Nem, apa beda kamu dengan matahari?” Jodha berpikir sejenak dan
menggeleng.
“Tidak tahu
Tuan.”
Jalal
menunjuk ke arah matahari, “kalau matahari bersinar untuk menerangi alam
setelah kegelapan dan memberikan
panasnya untuk kehidupan mahkluk dibumi,” Jalal berpaling lagi ke arah Jodha
dan memegang tangan kanan Jodha serta menempelkannya di dadanya, “kalau kamu
menerangi kegelapan hatiku dan memberikan kehangatan diseluruh syaraf
kehidupanku.” Jodha tersenyum malu mendengar ucapan dari tuan mudanya itu.
“Apa begitu
berartinya kehadiran saya buat Tuan?” tanya Jodha membuat Jalal mengangguk
cepat.
“Tentu saja
Nem, kamu sangat berarti dan sangat berharga untukku.” Kembali wajah Jodha
memerah. Dia menunduk menyembunyikan wajahnya.
“Nem...,”
panggil Jalal. Jodha mengangkat wajahnya dan menatap tuan mudanya yang sedang
memberikan senyuman paling indah dimatanya saat ini.
Perlahan
Jalal mendekatkan wajahnya ke wajah Jodha, dan gadis itu menanti dengan
berdebar apa yang akan dilakukan tuan mudanya itu. Semakin lama wajah Jalal
semakin mendekat, dan tatapan matanya terlihat menggelap berbeda dengan
biasanya. Jodha tidak sanggup membalas tatapan itu karena dia tidak mengerti
artinya, sehingga dia hanya memejamkan matanya dan menunggu apa yang akan
terjadi.
Sementara bibir
Jalal semakin dekat dengan bibir Jodha, dia pun memejamkan matanya menikmati
ciuman yang pertama kali untuk Inemnya itu. Dengan penuh nafsu dia melumat, dan
menggigit serta menyecap rasa manis bibir indah milik Jodha. Namun, keningnya
berkerut ketika yang dia rasakan bukan bibir yang lembut dan kenyal tetapi terasa
berserat dan kasar. Kenapa rasa bibir Inem jadi begini pikirnya? Dengan
penasaran Jalal membuka matanya.
Jalal
terbelalak kaget. Oh, astaga! Kemana bibir Inemnya yang lembut itu? Kenapa jadi
pinggiran guling yang di gigitnya. Bahkan pinggiran guling itu nampak berbekas dan
basah karena gigitannya. Sial! Jalal bangun dan mengumpat. Ternyata dia hanya bermimpi.
Double sial! Lagi-lagi dia kebawa
hayalannya sendiri. Dilemparkannya guling tidak bersalah yang sejak tadi
dipeluknya dengan erat kesembarang arah untuk membuang rasa kesalnya. Akhirnya
guling tersebut teronggok pasrah di sudut ruangan meratapi nasib karena
disalahkan oleh tuannya. Hahahaha....
Jalal duduk
di pinggir tempat tidur dan mengingat kembali mimpinya barusan. Semua terasa
nyata diingatannya. Sejenak dia melupakan rasa kesalnya dan berganti dengan
rasa bahagia. Meskipun hanya di mimpi tetapi dia merasa seolah-olah itu nyata.
“Inem...Inem.
Kau sudah merusak pikiranku Nem. Bahkan tidurku pun kau rusak. Tetapi tidak
mengapa, aku senang walaupun kamu cuma hadir dimimpiku saja. Aku yakin suatu
saat mimpiku akan menjadi kenyataan. Itu janjiku Nem.” gumam Jalal sambil
mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Setelah itu dia berjalan ke
kamar mandi untuk mandi dan membersihkan diri. Hari ini dia akan berangkat
lebih pagi. Ingin menemui kedua sahabatnya itu di apartemen mereka.
Jalal
memencet pasta gigi dan menaruhnya pada sikat gigi, dia mulai menggosok giginya
perlahan. Dipandanginya cermin yang ada di depannya itu. Sambil menyikat gigi
dia tersenyum menyeringai. Bahkan selesai menggosok gigi pun pandangannya tidak
terlepas dari cermin itu. Dipegangnya wajahnya dan diperhatikannya dengan
seksama, kemudian tersenyum miring.
“Kamu harus
bertanggungjawab Nem. Karena kamu sudah dengan berani-beraninya tinggal di
dalam hati dan pikiranku tanpa ku suruh. Bahkan kamu sudah mengganggu hari-hariku.”
Kata Jalal sambil tersenyum miring.
Kemudian dia
membasahi rambut dan tubuhnya dengan air hangat menggunakan shower. Bahkan disela-sela kucuran air
dari shower itu Jalal masih terbayang
ungkapan cintanya kepada Jodha. Pantesan gadis itu tidak menertawakan
perkataannya karena semua hanya mimpi. Coba seandainya ucapan itu di ungkapkan
dalam keadaan nyata, Jalal tidak bisa membayangkan wajah Jodha yang tertawa
kencang karena menganggapnya norak. Ck.
Selesai
mandi dan berpakaian Jalal keluar dari kamar menuju meja makan sambil
bersiul-siul gembira. Bahkan Papanya yang sedang membaca koran pun sampai
menurunkan korannya karena merasa heran dengan sikap anaknya pagi ini. Tetapi
kemudian dia hanya menggelengkan kepala dan kembali meneruskan kegiatan membaca
korannya.
Karena
memang belum jamnya sarapan maka meja makan pun nampak sepi. Hanya ada makanan
untuk sarapan saja yang tersedia, namun orang yang sarapan belum nampak. Jalal
ingin ke dapur bermaksud minta dibikinkan kopi hitam seperti biasa kepada Inem
atau Bi Ijah, namun langkahnya terhenti ketika melihat Jodha keluar dari
kamarnya. Dia tidak menyadari keberadaan tuan mudanya itu karena menutup pintu
kamar dalam keadaan menyamping. Jalal yang melihat itu tersenyum jahil.
“Hai Nem.”
Sapa Jalal. Jodha terkejut karena tiba-tiba saja tuan mudanya muncul di
hadapannya.
“Tuan kok
sudah ada disini? Tumben sudah bangun?” Jalal tersenyum.
“Kan
biasanya aku juga bangun pagi Nem. Cuma sekarang lebih pagi lagi.” kata Jalal
sambil mendekati Jodha yang masih berdiri menatapnya heran, “bikinkan aku kopi
hitam lagi ya buat sarapan.” Jodha mengangguk, “kamu cantik deh.” Kata Jalal
sambil mencolek dagu Jodha.
“Hah...!”
Jodha terbengong melihat tingkah tuan mudanya pagi ini. Terlihat agak...agak
genit bebek. Eh? Emang ada bebek genit? Ah, pokoknya begitulah. Tidak seperti
biasanya. Terlihat begitu bahagia. Ada apa ini sebenarnya? Pikir Jodha dengan
heran.
“Malah
bengong. Di minta tolong malah bengong.” Hardik Jalal akhirnya membuat Jodha
tersadar dari lamunannya. Dia tersenyum meringis.
“Eh, iya
Tuan. Maaf ya.” Kata Jodha salah tingkah, “ Iya deh, akan saya bikinkan. Tuan
tunggu aja di meja makan ya.” Jalal mengangguk.
“Oke. Aku
tunggu dan nggak pake lama.” Ucap Jalal kemudian, mengangguk.
“Iyaaa
Tuan.”
Jalal
tersenyum dan meninggalkan Jodha sambil bersiul-siul riang. Membuat Jodha
menggaruk kepala karena tidak mengerti, namun akhirnya dia melangkah menuju
dapur untuk membuatkan kopi pesanan tuan mudanya.
Jalal yang
sudah duduk di kursi makan menunggu pesanannya datang dengan bernyanyi pelan
dan memukul-mukul meja makan perlahan mengikuti lirik lagu yang dinyanyikannya.
Sementara kepalanya juga digerak-gerakkannya mengikuti irama pukulan di meja
tersebut. Kedua orang tuanya yang sedang berjalan mendekati meja makan pun
merasa heran dengan tingkah anaknya. Sambil duduk perlahan Pak Humayun dan Bu
Hamidah memperhatikan Jalal yang tersenyum melihat mereka berdua.
Tidak lama
kemudian Jodha datang membawakan kopi untuk tuan mudanya dan juga untuk
dirinya, kemudian duduk di sampingnya. Sedangkan sarapan untuk Pak Humayun dan
Bu Hamidah sudah tersedia di meja.
Jodha
memperhatikan wajah kedua majikannya yang nampak heran melihat tingkah anaknya
pagi ini. Persis seperti yang dia rasakan juga saat ini. Ada apa gerangan
dengan tuan mudanya. Diliriknya tuan mudanya yang nampak bingung melihat reaksi
orang tuanya dan juga Jodha.
“Ada apa Ma,
Pa?” tanya Jalal.
Bu Hamidah
sampai memiringkan kepalanya melihat anaknya, membuat Jalal ikut memiringkan
kepalanya memperhatikan mamanya. Sedangkan papanya melihat mereka berdua dengan
pandangan aneh. Jodha hanya bisa menunduk dan mengulum senyum melihat tingkah
lucu mama dan anaknya itu.
“Harusnya Mama
yang nanya sama kamu sayang?” Dahi Jalal berkerut.
“Nanya apa
Ma?”
“Kamu hari
ini kenapa? Sepertinya ada yang berubah bahagia banget ini?” wajah Jalal
memerah, dia melirik Jodha yang sedang menunduk sambil menyesap coklat panasnya
sambil tersenyum tertahan, dan Jalal tahu itu.
“Ah, nggak
apa-apa kok Ma? Seperti biasa aja. Mama aja kali baru melihatnya.”
“Oh ya?”
Jalal mengangguk.
“Emang
berapa hari ya Pa kita perginya? Perasaan sebelum kita pergi Jalal nggak ada
kayak begini deh?” tanya Bu Hamidah menoleh ke arah suaminya. Pak Humayun
mengangkat bahu.
“Entahlah
Ma, Papa juga nggak ngerti kenapa Jalal jadi aneh gitu?”
“Kok aku
dibilang aneh sih Pa?” ucap Jalal dengan wajah cemberut. Papanya tertawa pelan.
“Habisnya
kamu nggak biasanya kayak gini. Pasti ada sesuatu ya?” Jalal kembali tersenyum
jahil.
“Papa mau
tau aja apa mau tau banget?” tanya Jalal dengan menaik turunkan kedua alisnya.
“Hush!! kamu
ini. Papa kamu digituin?” hardik Bu Hamidah, kembali membuat Jalal cemberut.
“Ih, Mama
nggak asyik deh. Gitu aja marah.” Gerutu Jalal.
“Bukan gitu
sayang. Ngomong sama Papa kamu yang sopan dikit. Masa ngomongnya kayak sama
teman kamu yang sebaya sih?” Jalal memanyunkan bibirnya.
“Iya...iya
Ma. Nggak lagi deh.” Ucap Jalal sambil tersenyum dan kemudian menoleh ke arah
papanya, “ maaf ya Pa, aku dah kurang ajar sama Papa.” Papanya mengangguk.
“It’s Okey, Boy. No problem. Jawab Pak
Humayun tersenyum. Dalam hatinya dia begitu senang melihat anaknya terlihat
ceria. Hanya saja tidak bisa dia tunjukkan rasa bahagianya itu. Berbeda dengan
istrinya. Mamanya Jalal itu terlihat sekali kalau sedang bahagia. Ck. Wanita.
Wanita.
“Kamu kasih
makan apa sih dia Jo?” tanya Bu Hamidah menatap Jodha yang masih tertunduk
menikmati makanannya. Jodha, menghentikan kegiatannya dan mendongak melihat ke
arah majikannya. Dia mengerutkan keningnya. Kemudian menggeleng.
“Saya rasa
tidak pernah memasak makanan yang aneh-aneh Bu.” Jawab Jodha setelah berpikir
sejenak, “tapi saya rasa Tuan Muda berubah sejak dia patah...hhmmff.” ucapan
Jodha terhenti karena mulutnya di bekap oleh Jalal.
“Nggak ada
yang berubah kok Ma. Masih seperti biasa.” Mamanya menatap Jalal dengan heran.
“Kalau gitu
kenapa kamu menutup mulut Jodha seperti itu.” Jalal tersenyum meringis. Dia
kemudian melepaskan bekapannya.
“Nggak
apa-apa Ma. Ya kan Jo?” ucap Jalal setengah mendelik ke arah Jodha untuk
memberikan isyarat peringatan agar tidak berbicara macam-macam. Akhirnya Jodha
hanya mengangguk pelan seperti robot, “ya sudah Ma, Pa, aku berangkat dulu.” Kedua orang tuanya
mengangguk. Jalal pun bangkit dari duduknya dan mencium tangan kedua orang
tuanya dan kemudian dia melangkah untuk segera berangkat, sebelum pergi dari
meja makan dia masih sempat tersenyum miring melihat Jodha yang masih belum
hilang keheranannya terhadap majikan mudanya itu.
Sepanjang
perjalanan menuju apartemen kedua sahabatnya itu, Jalal menjalankan jeepnya
dengan riang. Sambil bersiul-siul dia mengikuti lagu yang sudah disetelnya
sejak tadi. Entahlah, mungkin karena bawaan mimpinya itu membuat suasana
hatinya begitu baik. Ah, mimpi itu bagai mood
booster buat Jalal. Sudah tidak sabar rasanya dia untuk segera bertemu
dengan kedua sahabatnya itu.
Sesampai di
apartemen sahabatnya Jalal segera turun dari jeepnya dan setengah berlari
menuju tempat Mansingh. Dia menekan bell dengan tidak sabar. Mansingh yang
membukakan pintu terbelalak kaget melihat sahabatnya itu sepanjang umurnya berteman
dengannya baru kali ini dia berkunjung sepagi ini. Sesaat Mansingh melihat ke
arah jam dindingnya, takut salah waktu. Bisa sajakan efek masih mengantuk dia
salah lihat jam, dikira masih jam 7 padahal sudah jam 11. Hahaha....
Tetapi,
ternyata dia tidak salah lihat jam dan tidak salah lihat sahabatnya itu. Memang
benar dia. Lengkap dan nyata. Bukan halusinasinya. Sesaat kemudian dia meringis
ketika dahinya di sentil Jalal.
“Nggak
dirumah, nggak disini semua pada bengong melihatku. Emang kenapa sih? Ada yang
aneh ya denganku.” Gerutu Jalal menghempaskan pantatnya di sofa.
“Banget.”
Jawab Mansingh asal.
“Heh?” Jalal
mendelik, sementara Mansingh hanya terkekeh, “anehnya dimana?” Mansingh memutar
bola matanya.
“Jelas aja
aneh Bos. Seumur-umur aku kenal sama Bos, baru kali ini melihat Bos sudah rapi
bertandang ke apartemenku dengan senyuman semanis madu membuat aku jadi nggak
ingin sarapan lagi saking manisnya. Kalau bukan aneh, apalagi namanya?” Jalal
tersenyum lebar.
“Oh. Itu
ternyata anehnya?” jawab Jalal terkekeh, “menurutku sih bukan aneh, tetapi
perubahan. Perubahan menuju yang lebih baik lagi.” Ucap Jalal dengan mantap.
Membuat Mansingh terpana mendengar ucapannya.
“Bos...Bos...aku
nggak salah dengarkan?” Tanya Mansingh mengorek-ngorek telinganya dengan jari
kelingkingnya. Jalal menghela nafas pasrah. Belum lagi Surya yang datang,
bisa-bisa sikapnya akan sama seperti Mansingh, “itu tadi apa Bos? Bos mau ikut
partai ya?” tanya Mansingh berlagak blo’on.
“Bukan. Mau
demo.” Membuat Mansingh tertawa terbahak-bahak. Pagi-pagi dia sudah disuguhkan
peristiwa langka. Sahabatnya ingin berubah lebih baik lagi. Patut di apresiasi.
Ck...diapresiasi katanya, kayak mau ngasih award
saja.
“Apa ini
karena cintamu sudah diterima oleh Jodha ya Bos? Jadinya Bos begitu senang
sekali, mengalahkan senangnya ketika mendapat undian.” Jalal mencebik bibirnya.
“Lah, kalau
undiannya cuma dapat kipas angin saja ya mana senang Man.” Mansingh terkekeh,
“lagian aku belum jadian kok sama Inem.” Mansingh menghentikan tawanya.
“Serius
Bos?” Jalal mengangguk, “terus, hari ini tadi kenapa? Sepertinya bahagia
sekali? Kalau bukan karena jadian terus apa dong?” tanya Mansingh penasaran.
Wajah Jalal
memerah, dan dia menutup wajahnya dengan bantal sofa. Membuat Mansingh kembali
melongo. Ini beneran Jalal sahabatnya bukan sih? Tingkahnya malu-malu kayak
anak TK begitu. Astaga. Bukan Jalal banget.
“Aku... duh,
gimana ngomongnya ya Man.” Jawab Jalal salah tingkah sambil mengusap
tengkuknya. Mansingh menggeleng, kemudian mengambil ponselnya dan menelpon
Surya yang berada di ruangan sebelahnya.
“Sur, sini
deh. Ada yang aneh nih sama si bos. Apa perlu dia di rukyah ya?” Jalal memukul
bantal sofa yang di pegangnya ke arah Mansingh membuat pemuda itu tertawa lagi
sambil menutup teleponnya.
Tidak lama
kemudian muncul Surya membuka pintu sendiri dengan wajah bantal khas bangun
tidur. Sambil mengucek matanya dia duduk dihadapan kedua sahabatnya itu.
Sesekali dia menguap dan bengong, karena nyawanya belum terkumpul semua sehabis
bangun tidur.
“Ada apa
sih? Main ribut aja. Masih pagi nih.” Kata Surya sambil kembali menguap. Jalal
mendecak, begitu juga dengan Man.
“Cuci muka
sana dulu Sur. Masih berapa persen lagi tuh nyawamu yang belum terkumpul?”
ledek Mansingh. Surya hanya memberikan senyum jokernya kepada kedua sahabatnya
sebelum akhirnya beranjak ke kamar mandi Mansingh untuk mencuci muka.
Tidak lama
kemudian dia sudah kembali dalam keadaan segar. Namun, masih terlihat
mengantuk. Dia duduk kembali di hadapan kedua sahabatnya itu.
“Man,
bikinin kopi dong. Masih ngantuk nih.” Pinta Surya. Mansingh mendengus.
“Kamu kayak
nggak tau aja disini aturannya seperti di supermarket. Slogannya “tamu adalah
pembantu” jadi kalau mau kopi atau yang lainnya ya cari dan bikin sendiri, atau
kalau mau makan masak sendiri. Oke?” ucap Mansingh tanpa berdosa membuat Surya
menggerutu karena memang dia sudah tahu akan hal itu namun akhirnya dia tetap
beranjak dari duduknya untuk membuat secangkir kopi pengusir kantuk.
Tidak lama
kemudian dia sudah datang membawa segelas kopi untuknya sendiri dan dengan
cueknya dia menyesap kopi tersebut perlahan. Kedua sahabatnya itu hanya melihat
saja kelakuannya dalam diam.
“Sekarang
gimana nih ceritanya sampai membangunkan aku pagi-pagi begini?” Jalal hanya
memutar bola matanya.
“Hari sudah
terang begini kamu bilang pagi-pagi? Kalau pagi-pagi itu harinya masih gelap
tau?” surya membulatkan matanya menatap Jalal.
“Oh ya?”
Jalal mengangguk, “tau darimana?” kembali Jalal mendecak.
“Makanya itu
Sur, yang aku bilang tadi aneh.” Kata Mansingh, “coba aja pikir, ngapain dia
pagi-pagi begini menurut dia sih sudah siang datang kemari dengan senyuman yang
aduhai. Untung saja aku laki-laki. Coba kalau aku perempuan, bisa-bisa aku
klepek-klepek dengan senyumnya.” Surya menoleh ke arah Jalal yang senyum-senyum
nggak jelas begitu.
“Ada apa
Bos? Kok sepertinya bahagia sekali pagi ini? Bos sudah jadian ya sama Jodha?”
tanya Surya penasaran, dan dianggukin
oleh Mansingh. Namun, Jalal menggeleng. Membuat keduanya semakin gemas
karena penasaran.
“Bukan itu
sih.”
“Terus?”
Akhirnya
dengan sedikit malu Jalal menceritakan kejadian sewaktu dia mabuk, kemudian di
gazebo sore kemarin sewaktu bersama Inemnya dan juga mimpinya.” Kedua
sahabatnya mendengarkan penuh perhatian, karena memang baru kali ini Jalal
menjadi aneh karena cinta.
“Kenapa nggak
sekalian di tembak aja sih Bos? Lelet banget jadi laki.” Gerutu Mansingh
setelah mendengar cerita dari Jalal.
“Ho’oh.”
Timpal Surya sambil kembali menyesap kopinya lagi. Jalal tersenyum.
“Aku pikir
belum saatnya. Tapi, ada yang aku yakini kalau dia juga sebenarnya sama seperti
yang aku rasakan. Buktinya, dia bahkan begitu perhatian kepadaku. Bahkan saat
aku marah dan sedih kemarin dia malah menyediakan pangkuannya untukku, bahkan
dia dengan sabar menghiburku. Kalau bukan karena dia juga mencintaiku terus apa
namanya? Apa iya ada teman sampai segitu perhatiannya dan bahkan segitu
detailnya dia tahu segalanya tentangku?” Mansingh dan Surya
mengangguk-anggukkan kepalanya, “hanya saja, mungkin dia belum menyadari
perasaannya itu. Jadi yang aku lakukan saat ini hanya bersabar dan mencari
waktu kapan yang tepat untukku mengatakan cintaku.”
“Yah,
terserah Bos ajalah. Tapi, jika suatu saat dia di sambar orang lain ya jangan
menyesal.” Jalal tersenyum.
“Itu tidak
akan terjadi Man, karena aku tidak akan membiarkan orang lain berada dekat
dengannya. Biar dia tahu kalau dia hanya milikku.” Jawab Jalal dengan mantap.
“Wah, wah, belum
jadi hak milik saja sudah sebegitu posesifnya,
apalagi jika sudah resmi bisa-bisa itu anak di kurung terus nih nggak boleh
keluar.” Kata Surya menggelengkan kepalanya.
“Biarin aja.
Kalau perlu aku pasang remote dan
kamera biar nanti bila ada laki-laki yang mendekatinya, aku tinggal pencet itu remote biar dia pulang sendiri.
Hahahaha...” ucap Jalal tergelak sendiri membuat kedua sahabatnya mendengus
kesal melihatnya, “sudah ah, ayo kita berangkat. Sudah siang nih.”
“Berangkat-berangkat.
Belum mandi nih Bos. Salahnya datang kepagian.” Omel Mansingh. Jalal hanya
terkekeh.
“Ya sudah,
cepetan mandinya. Aku tunggu.” Perintah Jalal. Akhirnya dengan berat hati
Mansingh dan Surya beranjak juga dari duduknya. Mansingh masuk kamarnya
sendiri, sedangkan Surya kembali ke ruangannya di sebelah. Sementara Jalal
duduk menunggu mereka sambil bermain dengan ponselnya. Sesekali dia melihat
foto-foto Jodha yang dia simpan di ponselnya. Dan semua foto itu tidak ada satu
pun yang Jodha tau. Seandainya dia tahu bagaimana ya? Jalal hanya tersenyum
membayangkannya.
Hanya perlu 10
menit untuk kedua sahabatnya itu mandi dan menyiapkan diri. Setelah itu kembali
lagi berkumpul agar bisa berangkat bareng.
“Cepat amat
mandinya?” kata Jalal menggelengkan kepalanya.
“Emangnya
kita perempuan Bos yang luluran dulu, terus spa dulu, terus berendam dulu, dan
terus terus yang lainnya dulu baru habis itu mandi. Belum lagi dandannya lama
dan ribet. Ckck...” ucap Mansingh sembari memasang sepatunya.
“Tapi Inem
nggak kok. Nggak seribet itu kelihatannya.” Bela Jalal.
“Inem
lagi...Inem lagi...dimana-mana tergambar dan terlihat hanya Inem. Apalagi di
kepala dan dihati, Inemnya sudah di tato permanen.” Sindir Mansingh. Kembali
Jalal terkekeh. Dia mengambil tas ranselnya dan keluar dari apartemen Mansingh
dan menghampiri Surya yang sudah menunggu di depan pintu ruangannya.
Mereka
bertiga pun akhirnya berangkat bareng, maksudnya Jalal berangkat sendiri dengan
jeepnya dan kedua sahabatnya itu berangkat dengan mobilnya sendiri. Kenapa
mereka tidak mau berangkat bareng satu mobil dengan Jalal? Hal itu karena
sahabatnya mereka itu sering tidak terduga orangnya, dan terkadang perkuliahan
belum selesai dia sudah pulang duluan. Sedang Mansingh dan Surya tidak berani
berbuat begitu, karena orang tua mereka bukan pemilik kampus.
Dan kembali
keheranan mereka berdua terjadi lagi. Hari ini Jalal mengikuti seluruh jadwal
perkuliahan dengan manis, tanpa bolos satu mata kuliah pun. Bahkan terlihat
begitu antusias mengikuti kegiatan belajar tersebut. Alhasil Mansingh dan Surya
lebih banyak memperhatikan Jalal daripada belajar. Hehehe...
Selepas
siang setelah mengikuti semua perkuliahan Jalal menyamperi gedung tempat Jodha
kuliah. Dia ingin mengajaknya jalan. Dari kejauhan dia melihat dosen pengajar
Jodha sudah keluar diikuti oleh para mahasiswa-mahasiswi yang sudah selesai
belajar. Dengan cepat Jalal berjalan mendekati pintu ruangan tersebut karena
dia tidak melihat Jodha keluar dari ruangan, begitu juga dengan sahabatnya
Zeenat.
Ketika
berada di dekat pintu, ternyata Jodha masih berkemas-kemas dan masih asyik
ngobrol dengan Zeenat. Dia tidak menyadari kalau tuan mudanya sudah menunggu di
depan pintu karena posisi dia menghadap kearah Zeenat dan membelakangi pintu. Namun, Zeenat yang
tidak sengaja melihat Jalal bersandar di pinggir pintu sambil melihat mereka
berdua menyenggol tangan Jodha dan
memberitahukan kepadanya dengan isyarat mata.
Refleks Jodha menoleh, dan matanya membulat ketika dia
melihat tuan mudanya sedang berdiri sambil bersidekap di depan pintu. Dengan
cepat Jodha menghampirinya.
“Tuan kok ada disini? Mau ketemu siapa?” tanya Jodha
dengan heran. Jalal tersenyum tipis.
“Mau ketemu kamu.” Jawab Jalal enteng. Dahi Jodha
mengkerut sedikit.
“Mau ketemu saya? Ada apa ya Tuan? Nggak biasanya. Kan
nanti juga bisa ketemu dirumah.” Jalal hanya cemberut mendapat pertanyaan
seperti itu.
“Emangnya nggak boleh ya ketemu selain dirumah?” sahut
Jalal setengah merajuk. Jodha terkekeh mendengarnya.
“Ya nggak gitu juga sih Tuan. Hanya tumben aja.” Jawab
Jodha sambil menggelengkan kepalanya, “ya sudah sekarang ada apa Tuan mau
ketemu sama saya?” Jalal tersenyum senang.
“Kita jalan yuk Nem. Temani aku.”
“Kemana?” jalal tersenyum lagi.
“Nyari sesuatu yang akan aku berikan buat seseorang.”
“Hah. Benarkah? Oke. Oke. Mau ngasih gebetan Tuan ya?”
tanya Jodha dengan gembira, Jalal mengangguk, “tapi, mamanya Tuan gimana? Kan
saya supirnya, gimana nanti beliau pulang?” kata Jodha dengan lesu.
“Kamu tenang aja, nanti aku yang bicara sama mama dan
nyuruh Mang Diman kesini buat nyupirin mobil Mama.”
“Ya, terserah Tuan sajalah. Gimana baiknya.” Kata Jodha
pasrah.
Jalal pun segera menelpon Mamanya, sedangkan Jodha kembali
ke bangkunya untuk mengambil tasnya dan pamitan dengan Zeenat sahabatnya.
Setelah menelpon mamanya Jalal pun segera menarik
tangan Jodha untuk menuju jeepnya. Tidak perduli gadis itu ngomel panjang
pendek karena tangannya ditarik-tarik dengan tidak sabar oleh tuan mudanya.
Selain itu juga, Jodha merasa risih sepanjang jalan diperhatikan oleh para
penghuni kampus. Namun, apa daya tembok di wajah tuan mudanya itu terlalu tebal
jadinya dia seperti berjalan di tempat yang sepi dimana
tidak ada
seorang pun yang kelihatan.
Jalal menyuruh Jodha duduk dikursi penumpang sedang
dia sendiri yang membawa mobilnya. Jodha pun terpaksa menuruti, karena dia juga
penasaran majikannya ingin membelikan gebetannya apa ya? Tiba-tiba saja Jodha
merasa sangat ingin tahu atau istilah
sekarang itu “kepo”.
“Kita mau kemana Tuan?” tanya Jodha. Jalal tersenyum.
“Nanti kamu juga akan tahu Nem.” Jawabnya singkat
membuat gadis itu terdiam.
Tak sampai beberapa lama Jalal membawa jeepnya di
parkiran sebuah mall besar, yang bahkan mungkin Jodha saja males memasukinya.
Bukan karena tidak ada yang bisa di beli hanya saja mall tersebut terlalu luas
bisa-bisa kaki Jodha patah kalau dipaksakan untuk ditelusuri semua. Setelah
turun dari mobil Jalal menggandeng tangan Jodha dengan cueknya. Jodha berusaha
untuk melepaskan tangan majikannya karena merasa tidak nyaman. Nanti gimana
kalau mereka bertemu gebetan tuan mudanya dan cemburu kepadanya? Bisa berabe
urusannya nanti.
Tapi, sekali lagi Jalal nampak tidak perduli. Dia
membawa Jodha masuk kesebuah toko yang menjual perlengkapan wanita. Jalan
nampak bingung memilih. Jodha hanya diam, tidak berani berkomentar. Sementara
pramuniaga yang mendampingi mereka sibuk menawarkan barang-barang yang sering
dicari oleh para pengunjung disitu. Setelah memutar-mutar beberapa lama
akhirnya Jalal bertanya kepada Jodha.
“Nem, bantuin dong pilihin hadiahnya.” Jodha melangkah
disisi majikannya dan ikut melihat-lihat.
“Hm, rencananya Tuan mau ngasih apa sih?” Jalal
berpikir sejenak. Kemudian menggeleng.
“Aku tidak tahu Nem.”
“Kok bisa?”
“Ya bisalah. Makanya aku bawa kamu kesini karena aku
nggak tahu harus ngasih apa.” Jodha tertawa.
“Biasanya Tuan ngasih apa sama perempuan yang Tuan
kencani?” Jalal tersipu malu. Beruntunglah Jodha tidak melihatnya karena dia
sibuk melihat-lihat barang yang ada disitu.
“Aku nggak pernah ngasih hadiah kok Nem.” Kata Jalal
pelan, namun tetap saja membuat Jodha menatapnyà dengan heran.
“Masa?” jalal mengangguk sambil tersenyum, “ah, saya
nggak percaya nih.” Jalal mengangkat bahunya.
“Ya terserah sih mau percaya atau nggak. Tapi, ya
begitu kenyataannya.”
“Terus selama ini gimana? Nggak mungkinkan Tuan sama
sekali nggak pernah memberikan sesuatu kepada pacar Tuan selama ini?”
“Iya sih, tapi aku biasanya hanya ngasih kartu kredit
dan nyuruh dia sendiri yang belanja sesuka hatinya.” Mulut Jodha membulat
membentuk huruf O.
“Kalau gitu mah pantes aja. Itu toh alasannya.” Jalal
terkekeh, “oke, akan saya bantu.”
Akhirnya setelah sekian lama mencari namun barang yang
tidak juga ditemukan dan juga Jodha sudah merasa capek harus berdiri terus dan
berjalan tanpa henti akhirnya dia mengusulkan untuk memberikan syal. Tanpa
pikir panjang Jalal pun menyetujui, dan menyuruh Jodha memilih warna yang
disukai. Alasannya selera perempuan tentang warna pasti hampir sama, padahal
dia ingin tahu saja warna kesukaan Jodha apa.
Jodha memilih warna hijau lembut. Warna kesukaannya.
Warna yang selalu membuatnya tenang. Meskipun tidak membelinya namun Jodha puas
memilih syal tersebut, seakan dia yang membeli syal itu untuk dirinya sendiri.
Jalal membeli syal yang ditunjukkan
sebanyak 2 buah, dan
memberikan salah satunya kepada Jodha. Tentu saja Jodha
menolak. Namun, sang tuan muda tidak kehilangan alasan. Katanya syal itu
sebagai ucapan terima kasih karena sudah dibantu memilihkan hadiah. Akhirnya
dengan terpaksa Jodha pun menerima syal tersebut meski di dalam hatinya ada
sedikit tidak rela karena warna syalnya sama dengan yang akan diberikan kepada
gebetan tuan mudanya.
Setelah membayar syal tersebut Jalal mengajak Jodha
makan di cafe yang ada di mall tersebut. Dia tahu kalau gadis itu tidak terlalu
berminat untuk berbelanja di mall ataupun cuma jalan-jalan saja.
“Kita pulang aja Tuan. Kan sudah dapat yang Tuan
inginkan.” Jalal menggeleng.
“Nggak. Kita makan dulu. Aku laper. Ayo.” Ajak Jalal
menarik tangan Jodha ke cafe terdekat. Dengan terpaksa akhirnya Jodha
mengikuti langkah Tuan mudanya. Namun sebelum masuk ke cafe tersebut Jodha di
panggil seseorang. Jodha menoleh, begitupula dengan Jalal.
“Jodhaa...!”
Nampak seorang pemuda berusia sekitar 27 tahun,
berpakaian santai membawa dua buah bungkusan plastik besar. Dan di belakang
pemuda itu berdiri dua orang pemuda tanggung yang mungkin masih SMU. Mereka
juga membawa bungkusan plastik sama seperti pemuda yang di depannya itu.
“Abang Todar.” Jodha memekik gembira dan melepaskan
genggaman tangan tuan mudanya itu serta berlari menghampiri pemuda yang
memanggilnya.
“Jodha. Apa kabar? Kamu kemana aja selama ini? Abang
kangen.” Kata pemuda bernama Todar meletakkan bungkusannya di lantai dan
memegang bahu Jodha. Gadis itu tersenyum gembira.
“Iya bang, aku juga kangen Abang. Sudah lama kita
nggak ketemu.” Ucap Jodha memeluk erat Todar. Sementara Jalal yang melihat
adegan itu hanya mengepalkan tangannya menahan emosi. Seenaknya saja laki-laki
itu memeluk Inemnya. Dia tidak terima.
Dengan langkah pasti Jalal menghampiri mereka berdua
dan menarik tangan Jodha. Membuat gadis itu memekik kaget.
“Tuan. Ada apa?” tanya Jodha bingung majikannya
menarik paksa dirinya dari pelukan Todar. Begitu juga dengan Todar, dia
mengerutkan keningnya merasa heran.
“Apa-apaan ini? Pake acara peluk-pelukan segala.
Ditempat umum lagi.” Bentak Jalal dengan raut wajah yang memerah. Todar
mengangkat sebelah alisnya dan menatap ke arah Jalal yang juga menatapnya
dengan emosi.
“Dia siapa Jo?” tanya Todar menyadarkan Jodha dari
kekagetannya akibat aksi tarikan tangannya oleh tuan mudanya.
“Dia...dia majikanku Bang. Aku kerja di rumahnya
selama ini.” Jawab Jodha merasa tidak enak dengan Bang Todar. Dan Todar pun
mengangguk. Dia mengulurkan tangannya.
“Kenalkan, namaku Todarmal. Abangnya Jodha.” Namun
Jalal diam saja. Jodha menyenggol tangan Jalal memberi isyarat agar menyambut
uluran tangan Abang Todar. Akhirnya dengan terpaksa dia menyambut uluran tangan
Todarmal dan menyalaminya.
“Jalal. Majikannya Jodha.” Jawab Jalal dengan singkat,
kemudian dia melepaskan tangannya dan kembali memegang tangan Jodha, membuat
gadis itu mendengus. Sedangkan Todarmal tersenyum melihat sikap Jalal.
Sepertinya dia mengerti arti sikap pemuda itu kepada Jodha.
“Hm...gitu ya. Maaf ya, kalau tadi aku memeluk Jodha
karena aku sudah menganggapnya adikku sendiri. Jadi
kamu tidak perlu cemburu.” Kata Todar langsung to the point mengena di sasarannya. Akibatnya raut wajah Jalal
berubah menjadi salah tingkah. Sedangkan Jodh hanya bengong tidak mengerti.
“Apa maksud Anda? aku tidak mengerti. Dan siapa yang
cemburu?” Tanya Jalal dengan wajah memerah karena malu.
“Oh, nggak cemburu ya? Maaf kalau aku salah. Ya sudah
Jo, Abang pulang dulu ya. Lain kali kita ketemu lagi. Abang masih kangen kamu.”
Ucap Todarmal sekali lagi memeluk Jodha. Kali ini dia mengecup kening Jodha
sembari melirik ke arah Jalal yang kembali terbakar cemburu. Todarmal sengaja
melakukan hal itu ingin mengetahui reaksi pemuda itu. Alhasil pancingannya
mengena. Wajah Jalal memerah karena menahan emosi kecemburuan yang begitu
besar. Tangannya terus mengepal agar dia tidak gelap mata menghajar laki-laki
yang sudah memeluk Inemnya itu. Todarmal hanya tertawa dalam hati melihat semua
itu.
“Iya Bang,
aku juga masih kangen Abang dan juga anak-anak. Nanti kapan-kapan aku main
kesana deh Bang.” Ucap Jodha dengan tersenyum. Todarmal mengangguk.
“Oke. Abang
tunggu ya.” Sahut Todarmal sambil tersenyum. Dia kembali meraih bungkusan
plastik yang dia letakkan di lantai tadi, dan melangkah melewati Jodha yang
masih menatap punggungnya diikuti oleh kedua remaja tanggung yang
dibelakangnya.
“Ayo.” Ajak
Jalal menarik tangan Jodha memasuki cafe.
“Tuan
apa-apaan sih tadi? Pake marah-marah segala.” Tanya Jodha dengan cemberut.
“Aku nggak
marah kok.” Elak Jalal, tetapi kemudian dia terdiam sebentar melihat ke arah
Jodha, “kamu kenapa Nem?” tanya Jalal ketika melihat Jodha mendekatkan wajahnya
sambil tersenyum miring.
“Nggak marah
ya?” Jalal mengangguk, “tapi?”
“Apa?”
“Bener Tuan cemburu?
Sama siapa?” pertanyaan Jodha membuat Jalal menjadi gelagapan.
“Ng...nggak
ada yang cemburu kok. Ngawur aja.” Jodha tersenyum menggoda dengan menaik
turunkan alisnya, “ciyuss...?” membuat Jalal menjauhkan wajah Jodha dengan
telapak tangannya karena merasa jengah.
“Nggak usah
sok imut deh Nem.” Jodha terkekeh.
“Tapi Tuan
suka kaaannn...?”
“Sudah.
Diem. Aku laper.” Jawab Jalal menarik tangan Jodha mencari tempat duduk yang
nyaman. Jodha pun mengikuti langkah tuan mudanya dengan tersenyum geli, “kamu pesan
apa Nem?” tanya Jalal melihat Jodha membolak-balikkan buku menu.
“Coffee
latte sama lava cake coklat.” Jalal mengerutkan keningnya.
“Kamu nggak
makan Nem? Sudah siang nih. Nggak laper?” Jodha menggeleng, “ nanti kamu sakit
lo. Kamu makan ya, makan kue sama kopinya nanti aja sehabis makan.” Kembali
Jodha menggeleng.
“Lagi nggak
pengen Tuan. Nanti aja kalau saya laper ya.” Gantian Jalal yang menggeleng.
“Nggak bisa.
Kamu harus makan.” Jodha hanya mendesah pasrah.
Jalal
memanggil waiter dan memesan makan
dua porsi. Sedangkan Jodha hanya diam cemberut saja. Dia masih jengkel dan memilih diam
saja.
Tidak lama kemudian pesenan mereka datang. Jalal
memesan steak komplit dua porsi,
dia sendiri memesan minuman orange jus dan air mineral untuk Jodha. Sementara
pesenan Jodha dia singkirkan lebih dahulu.
Jalal menyodorkan satu porsi
steak ke arah Jodha. Namun, dia hanya diam saja. Matanya melirik pesenannya
coffee latte dan lava cake coklat yang berada di dekat tuan mudanya. Karena
tidak diijinkan untuk memakannya terlebih dahulu. Melihat makanannya tidak
disentuh, akhirnya Jalal mengambil kembali makanan tersebut. Perlahan di
mengiris-iris daging steak tersebut menjadi
potongan-potongan kecil. Jodha hanya tersenyum dalam hati melihat tingkat tuan
mudanya. Akhirnya dia sadar juga kalau aku tidak ingin makan. Pikir Jodha.
Namun, kemudian senyumnya memudar ketika tuan mudanya
itu menyodorkan potongan steak itu menggunakan garpu ke arah mulutnya. Jodha
terpana.
“Buka mulutnya. Kamu harus makan.” Pinta Jalal sambil
tersenyum.
“Tuan, ini salah. Bukan seperti ini.” Kata Jodha
menggeleng.
“Apanya yang salah?” kata Jalal mengerutkan keningnya.
Tangannya masih memegang garpu yang digunakan untuk menyuap Jodha.
“Nggak pantas Tuan nyuapin saya.” Jawab Jodha sambil
menggeleng.
“Nggak usah mikir pantas atau tidak pantas. Cepet buka
mulutnya.” Perintah Jalal. Akhirnya dengan wajah ditekuk Jodha
membuka mulutnya menerima suapan dari tuan mudanya itu dan mengunyahnya pelan.
Jalal tersenyum senang melihatnya.
“Anak pinter.” Katanya sambil mengelus rambut Jodha,
membuat gadis itu mendengus pelan.
Satu persatu potongan steak untuk Jodha pun habis
juga, dan Jalal dengan telaten menyuapi Inemnya yang berulangkali
menolak namun tidak bisa berbuat apa-apa karena setiap kali dia menolak tuan
mudanya melotot tak terbantah.
Setelah
menyuapi Jodha, Jalal pun memakan makanannya. Sementara coffee latte dan lava
cake coklat yang di pesan Jodha akhirnya dia berikan juga. Jodha pun menerima
dengan senang hati. Melupakan sikap majikannya yang suka memaksa itu. Dia
begitu menikmati pesanannya. Coklat bo! Begitu asyiknya dia menikmati
makanannya sampai dia tidak sadar kalau tuan mudanya sesekali meliriknya.
“Nem...” panggil
Jalal ketika sudah selesai memakan makanannya. Jodha menatap tuan mudanya
“Ya...?”
“Laki-laki
tadi siapa?” Jodha tersenyum.
“Oh itu. Dia
Abang Todarmal. Biasa saya panggil dia Abang Todar. Saya sudah kenal lama
dengannya Tuan. Dia bagai Abang buat saya.” Jalal masih menatap Jodha yang
sudah menghentikan makannya, “Tuan masih ingatkan ketika saya cerita tentang
masa lalu saya?” Jalal mengangguk, “nah, Abang Todar adalah salah satu yang sangat
berjasa dalam hidup saya dan membantu disaat-saat saya dalam kesulitan. Dia
yang sering memberikan saya job ketika sering diadakan balapan, dan dia juga
yang sering melindungi saya dari laki-laki yang berusaha melecehkan saya.
Karena itu saya merasa sangat berhutang budi kepadanya.” Kata Jodha dengan mata
berkaca-kaca.
Jalal
mengangguk-angguk tanda mengerti. Menyesal dia sudah merasa cemburu dengan
laki-laki tadi, sekarang malah merasa iri. Kenapa tidak dari dulu saja bertemu
dengan Inemnya, agar dia bisa melindungi dan membantu gadis itu dalam
kesulitan.
“Aku minta
maaf ya Nem, sudah berprasangka buruk dengannya tadi.” Jodha tersenyum.
“Iya saya
Maafkan Tuan. Mungkin kedepannya akan ada banyak teman-teman saya diluar sana
yang bersikap seperti itu bila bertemu. Dan...saya minta Tuan tidak akan
bersikap seperti itu lagi ya.” Pinta Jodha.
“Tergantung.”
Sahut Jalal kembali cuek, Jodha mendengus pelan, “ah, sudahlah. Aku sudah
selesai, kita pulang dulu.” Kata Jalal sembari memanggil waiter dan membayar billnya.
Kemudian beranjak dari tempat duduknya keluar dari cafe tersebut di ikuti Jodha dari belakang.
“Kamu nggak
ingin belanja lagi, Nem?” Jodha
menggeleng. Jalal menghela nafas.
“Ya sudah,
kita pulang saja.” Jodha mengangguk. Mereka berdua pun keluar dari mall
tersebut. Baru saja mereka keluar dari pintu mall, kembali Jodha di panggil.
Hahaha...Jalal hanya bisa mendesah pasrah.
“Jodhaaa...”
terdengar suara perempuan memanggilnya dari pintu mall. Mereka berdua menoleh.
Jodha tersenyum senang melihat siapa
yang memanggilnya.
“Nadia...”
katanya sambil berlari menghampiri Nadia dengan senyum mengembang memanggilnya.
Seperti biasa mereka berdua berpelukan dengan gembira.
“Susah ya bawa
artis keluar. Banyak fans yang ingin foto sana foto sini, peluk sana peluk
sini.” Gumam Jalal sambil menghela nafas panjang melihat aksi kedua gadis
tersebut.
“Kamu
ngapain disini Jo? Kamu nggak kerja?” tanya Nadia ketika melepas pelukannya.
“Ini lagi
menemani majikanku. Tadi ada yang dicarinya.” Jelas Jodha.
“Oh ya?”
Jodha mengangguk, “mana majikanmu. Aku ingin kenal.” Kata Nadia celingak
celinguk dengan penasaran.
“Itu.” Jodha
menunjuk tuan mudanya yang sedang berdiri bersidekap sambil memandang mereka
berdua, “serius?” tanya Nadia tidak percaya. Jodha mengangguk.
“Iyalah.
Memangnya kenapa?” Nadia tersenyum miring.
“Ganteng
banget.” Jodha tertawa, “aku pikir dia pacarmu.” Ledek Nadia sambil memainkan
kedua alisnya untuk menggoda Jodha, membuat wajah Jodha bersemu merah.
“Bukan kok.
Dia majikanku. Dan dia bukan pacarku, dia juga sudah punya calon pacar tuh.”
“Benarkah?”
Jodha mengangguk.
“Aku tidak
percaya.”
“Terserah
sih kalau tidak percaya.”
“Kamu ini
pintar tapi bodoh Jo. Orang biasa juga tahu kalau dia itu naksir kamu. Nggak
lihat pandangannya nggak pernah lepas dari kamu sejak tadi.” Jodha terdiam
mendengar ucapan Nadia.
“Masa sih?
Tapi katanya dia punya calon pacar, makanya aku cuek saja.”
“Dasar kamu
ini, jadi perempuan emang nggak peka. Emang dia bilang siapa calon pacarnya?”
Jodha menggeleng, “dasar bodoh, bisa saja itu kamu Jo. Aku berani jamin. Atau perlu
kita coba. Hm...” goda Nadia kembali memainkan kedua alisnya sambil tersenyum.
“Nggak ah,
aku nggak berani Nad. Biar saja.” Elak Jodha. Jujur dia malu dan takut
berpikir macam-macam tentang tuan
mudanya itu.
“Nggak bisa.
Serahkan kepadaku. Ayo.” Kata Nadia menarik tangan Jodha berjalan menuju dimana
tuan mudanya berdiri. Setelah sampai, dengan penuh percaya diri Nadia langsung
bercerocos.
“Hai, Pak
Bos. Kenalkan saya Nadia. Temannya Jodha.” Kata Nadia mengulurkan tangannya
untuk salaman. Namun, Jalal hanya menatapnya dengan tajam.
“Pak Bos?
Emangnya aku bos kamu?” sahut Jalal dengan jutek. Nadia cengengesan dan menarik
kembali tangannya.
“Nggak sih,
cuma situ kan bosnya temanku ini jadinya ya aku panggil bos juga kan?” kata
Nadia menepuk bahu Jodha yang hanya diam saja.
“Nggak
boleh. Enak aja Pak Bos, Pak Bos. Aku belum bapak-bapak tau.” Jawab Jalal
sewot. Nadia terkikik membuat Jalal semakin geram. Sedangkan Jodha hanya
menggelengkan kepala melihat sahabatnya mengerjai tuan mudanya itu.
“Ya sudah,
aku panggil Bang Bos aja ya.” Kata Nadia dengan cueknya.
“Nggak boleh
ya nggak boleh. Jangan seenaknya saja. Mengerti!” Bentaknya. Namun Nadia
menggeleng dan senyum-senyum nggak jelas.
“Nggak. Aku
tetap manggil situ Bang Bos. Oke Bang Bos.” Kata Nadia mengedipkan matanya
kepada Jalal. Jodha terkekeh melihat tuan mudanya begitu jengkel dengan
kelakuan Nadia.
“Kamu ini
emang kepala batu ya. Nggak bisa dibilangin.” Kata Jalal dengan jengkel. Nadia
hanya tertawa.
“Eh, kurang
Bang Bos, selain emang kepala batu aku juga pake muka tembok. Jadi percuma
ngomong begitu. Hehehe...” akhirnya Jalal hanya bisa membuang nafas pasrah.
Semakin di marahi semakin gadis itu senang. Ck, kok ada ya manusia seperti ini,
“eh, ya sudah Jo. Aku pergi dulu ya. Oh ya, kamu dicari Abang Bayu tuh. Katanya
dia kangen sama kamu, dia pengen ngajak kamu latihan bareng minggu ini.” Ucap
Nadia sengaja melirik Jalal yang kembali wajahnya mengeras, membuat gadis itu
tertawa dalam hati.
“Iya Nad.
Bilang sama Abang, besok minggu aku kesana ya.”
“Oke, jangan
lupa kita juga live perform di tempat
biasa. Aku tunggu ya.” Jodha mengangguk, “see
you Bang Bos.” Ucap Nadia tersenyum jenaka sambil melambaikan tangannya
kepada Jalal yang diam tidak menjawab. Jodha hanya menggelengkan kepala melihat
tingkah Nadia, diliriknya tuan mudanya yang masih menatap jengkel ke arah Nadia
yang masuk kembali kedalam mall.
“Ayo Tuan
kita pulang.” Ajak Jodha. Jalal hanya diam tidak menyahut namun dia mengikuti
langkahnya Jodha menuju jeepnya.
Sepanjang
jalan Jalal hanya diam saja. Hari ini begitu banyak dia mengenal orang-orang
yang selalu berada dilingkungan gadis itu. Siapa lagi itu Bayu? Orang yang
disebutkan gadis aneh tadi. Dan latihan bareng? Apa maksudnya? Inemnya latihan
apa? Begitu banyak pertanyaan yang belum terjawab dalam benak Jalal yang
membuatnya pusing dan semakin penasaran ingin tahu.
Sementara
Jodha juga sibuk memikirkan ucapan Nadia tadi? Apa iya tuan mudanya itu memang
menyukai dirinya? Bila melihat tingkahnya sih sepertinya ucapan Nadia itu ada
benarnya. Tetapi apa mungkin? Dan tadi...tuan mudanya menyuapinya makan,
walaupun agak maksa tetapi bukankah itu pertanda kalau dia begitu perhatian
kepadanya. Dan syal itu? Siapa sebenarnya gadis yang diincar tuan mudanya itu?
Jodha jadi penasaran ingin tahu, apa gadis itu benar-benar ada atau itu hanya
akal-akalan tuan mudanya saja agar selalu dekat dengannya. Memikirkan itu Jodha
menjadi tertawa sendiri, betapa ge-ernya dia. Dan jika suatu saat gadis itu
bukan dirinya, mau ditaruh dimana mukanya. Hehehe...
===TBC===
Tidak ada komentar:
Posting Komentar