Menu

Jumat, 12 Februari 2016

BIARKAN AKU JATUH CINTA. PART. 11 (PENASARAN)


Jalal menggenggam erat tangan Jodha. Mereka berdua saling berpandangan dan tersenyum. Dihadapan mereka berdua berdiri terhampar lembah yang luas. Hijaunya pemandangan yang terlihat sangat menyejukkan mata, dengan disinari mentari pagi yang masih bersinar malu-malu namun kehangatannya sangat terasa. Bahkan kehangatan itu menelusuk ke dalam hati kedua insan yang sedang  berbahagia.
Jodha memejamkan matanya menikmati hangatnya mentari dan sejuknya udara. Aroma kesegaran khas alam membuat hatinya tenang, bahkan tanpa dia sadari sudah cukup lama dia memejamkan matanya. Sementara laki-laki disampingnya itu hanya menatapnya tanpa berkedip, seakan takut pemandangan gadis yang memejamkan matanya itu akan hilang seandainya dia mengedipkan matanya.
Perlahan Jodha membuka matanya dan menoleh ke samping. Tersenyum kepada laki-laki yang selalu menatapnya dengan penuh cinta. Jalal merasa hatinya terasa penuh dan sesak. Betapa gadis pujaannya kini ada di depannya dengan senyuman yang teramat menyejukkan jiwa.
Jalal membalikkan badannya menghadap Jodha. Kedua tangannya memegang bahu gadis itu, dan di tatapnya dalam-dalam wajah Jodha.
“Nem...,”
“Ya Tuan...,”
“Aku cinta sama kamu.” Jodha menunduk dengan wajah memerah.
Jalal menyentuh dagunya dan mengangkat wajah Jodha. Gadis itu menatap Jalal dengan malu-malu.
“Saya juga cinta sama Tuan.” Ucap Jodha kembali menunduk. Binar kebahagiaan terpancar di wajah Jalal.
“Benarkah?” Jodha mengangguk, “ucapkan sekali lagi Nem.” Pinta Jalal dengan penuh harap.
“Iya. Saya juga cinta sama Tuan.”
Tak dapat dibendung lagi kebahagiaan Jalal saat ini. Dilepaskannya pegangan tangannya yang berada dibahu Jodha dan berbalik menghadap ke arah lembah seraya berteriak kencang dengan gembira. Seakan semua rasa yang pernah menyakitkan hatinya hilang sudah tanpa berbekas.
Setelah puas berteriak, Jalal kembali menghadap ke arah Jodha dan melihat gadis itu tersenyum malu-malu menatapnya. Dengan penuh kerinduan Jalal memeluk erat tubuh Jodha. Diresapinya kebersamaannya mereka kali ini. Ah, dia tahu kalau dia adalah orang yang paling bahagia hari ini. Bersama terbitnya mentari pagi, begitu juga dengan cintanya seindah bias cahaya yang diberikan oleh matahari.
Jalal melepaskan pelukannya dan kembali menatap wajah Jodha dengan kebahagiaan yang tiada taranya. Senyumnya seakan enggan untuk hilang dari bibirnya.
“Kamu tahu nggak Nem, apa beda kamu dengan matahari?” Jodha berpikir sejenak dan menggeleng.
“Tidak tahu Tuan.”
Jalal menunjuk ke arah matahari, “kalau matahari bersinar untuk menerangi alam setelah  kegelapan dan memberikan panasnya untuk kehidupan mahkluk dibumi,” Jalal berpaling lagi ke arah Jodha dan memegang tangan kanan Jodha serta menempelkannya di dadanya, “kalau kamu menerangi kegelapan hatiku dan memberikan kehangatan diseluruh syaraf kehidupanku.” Jodha tersenyum malu mendengar ucapan dari tuan mudanya itu.
“Apa begitu berartinya kehadiran saya buat Tuan?” tanya Jodha membuat Jalal mengangguk cepat.
“Tentu saja Nem, kamu sangat berarti dan sangat berharga untukku.” Kembali wajah Jodha memerah. Dia menunduk menyembunyikan wajahnya.
“Nem...,” panggil Jalal. Jodha mengangkat wajahnya dan menatap tuan mudanya yang sedang memberikan senyuman paling indah dimatanya saat ini.
Perlahan Jalal mendekatkan wajahnya ke wajah Jodha, dan gadis itu menanti dengan berdebar apa yang akan dilakukan tuan mudanya itu. Semakin lama wajah Jalal semakin mendekat, dan tatapan matanya terlihat menggelap berbeda dengan biasanya. Jodha tidak sanggup membalas tatapan itu karena dia tidak mengerti artinya, sehingga dia hanya memejamkan matanya dan menunggu apa yang akan terjadi.
Sementara bibir Jalal semakin dekat dengan bibir Jodha, dia pun memejamkan matanya menikmati ciuman yang pertama kali untuk Inemnya itu. Dengan penuh nafsu dia melumat, dan menggigit serta menyecap rasa manis bibir indah milik Jodha. Namun, keningnya berkerut ketika yang dia rasakan bukan bibir yang lembut dan kenyal tetapi terasa berserat dan kasar. Kenapa rasa bibir Inem jadi begini pikirnya? Dengan penasaran Jalal membuka matanya.
Jalal terbelalak kaget. Oh, astaga! Kemana bibir Inemnya yang lembut itu? Kenapa jadi pinggiran guling yang di gigitnya. Bahkan pinggiran guling itu nampak berbekas dan basah karena gigitannya. Sial! Jalal bangun dan mengumpat. Ternyata dia hanya bermimpi. Double sial! Lagi-lagi dia kebawa hayalannya sendiri. Dilemparkannya guling tidak bersalah yang sejak tadi dipeluknya dengan erat kesembarang arah untuk membuang rasa kesalnya. Akhirnya guling tersebut teronggok pasrah di sudut ruangan meratapi nasib karena disalahkan oleh tuannya. Hahahaha....
Jalal duduk di pinggir tempat tidur dan mengingat kembali mimpinya barusan. Semua terasa nyata diingatannya. Sejenak dia melupakan rasa kesalnya dan berganti dengan rasa bahagia. Meskipun hanya di mimpi tetapi dia merasa seolah-olah itu nyata.
“Inem...Inem. Kau sudah merusak pikiranku Nem. Bahkan tidurku pun kau rusak. Tetapi tidak mengapa, aku senang walaupun kamu cuma hadir dimimpiku saja. Aku yakin suatu saat mimpiku akan menjadi kenyataan. Itu janjiku Nem.” gumam Jalal sambil mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Setelah itu dia berjalan ke kamar mandi untuk mandi dan membersihkan diri. Hari ini dia akan berangkat lebih pagi. Ingin menemui kedua sahabatnya itu di apartemen mereka.
Jalal memencet pasta gigi dan menaruhnya pada sikat gigi, dia mulai menggosok giginya perlahan. Dipandanginya cermin yang ada di depannya itu. Sambil menyikat gigi dia tersenyum menyeringai. Bahkan selesai menggosok gigi pun pandangannya tidak terlepas dari cermin itu. Dipegangnya wajahnya dan diperhatikannya dengan seksama, kemudian tersenyum miring.
“Kamu harus bertanggungjawab Nem. Karena kamu sudah dengan berani-beraninya tinggal di dalam hati dan pikiranku tanpa ku suruh. Bahkan kamu sudah mengganggu hari-hariku.” Kata Jalal sambil tersenyum miring.
Kemudian dia membasahi rambut dan tubuhnya dengan air hangat menggunakan shower. Bahkan disela-sela kucuran air dari shower itu Jalal masih terbayang ungkapan cintanya kepada Jodha. Pantesan gadis itu tidak menertawakan perkataannya karena semua hanya mimpi. Coba seandainya ucapan itu di ungkapkan dalam keadaan nyata, Jalal tidak bisa membayangkan wajah Jodha yang tertawa kencang karena menganggapnya norak. Ck.
Selesai mandi dan berpakaian Jalal keluar dari kamar menuju meja makan sambil bersiul-siul gembira. Bahkan Papanya yang sedang membaca koran pun sampai menurunkan korannya karena merasa heran dengan sikap anaknya pagi ini. Tetapi kemudian dia hanya menggelengkan kepala dan kembali meneruskan kegiatan membaca korannya.
Karena memang belum jamnya sarapan maka meja makan pun nampak sepi. Hanya ada makanan untuk sarapan saja yang tersedia, namun orang yang sarapan belum nampak. Jalal ingin ke dapur bermaksud minta dibikinkan kopi hitam seperti biasa kepada Inem atau Bi Ijah, namun langkahnya terhenti ketika melihat Jodha keluar dari kamarnya. Dia tidak menyadari keberadaan tuan mudanya itu karena menutup pintu kamar dalam keadaan menyamping. Jalal yang melihat itu tersenyum jahil.
“Hai Nem.” Sapa Jalal. Jodha terkejut karena tiba-tiba saja tuan mudanya muncul di hadapannya.
“Tuan kok sudah ada disini? Tumben sudah bangun?” Jalal tersenyum.
“Kan biasanya aku juga bangun pagi Nem. Cuma sekarang lebih pagi lagi.” kata Jalal sambil mendekati Jodha yang masih berdiri menatapnya heran, “bikinkan aku kopi hitam lagi ya buat sarapan.” Jodha mengangguk, “kamu cantik deh.” Kata Jalal sambil mencolek dagu Jodha.
“Hah...!” Jodha terbengong melihat tingkah tuan mudanya pagi ini. Terlihat agak...agak genit bebek. Eh? Emang ada bebek genit? Ah, pokoknya begitulah. Tidak seperti biasanya. Terlihat begitu bahagia. Ada apa ini sebenarnya? Pikir Jodha dengan heran.
“Malah bengong. Di minta tolong malah bengong.” Hardik Jalal akhirnya membuat Jodha tersadar dari lamunannya. Dia tersenyum meringis.
“Eh, iya Tuan. Maaf ya.” Kata Jodha salah tingkah, “ Iya deh, akan saya bikinkan. Tuan tunggu aja di meja makan ya.” Jalal mengangguk.
“Oke. Aku tunggu dan nggak pake lama.” Ucap Jalal kemudian, mengangguk.
“Iyaaa Tuan.”
Jalal tersenyum dan meninggalkan Jodha sambil bersiul-siul riang. Membuat Jodha menggaruk kepala karena tidak mengerti, namun akhirnya dia melangkah menuju dapur untuk membuatkan kopi pesanan tuan mudanya.  
Jalal yang sudah duduk di kursi makan menunggu pesanannya datang dengan bernyanyi pelan dan memukul-mukul meja makan perlahan mengikuti lirik lagu yang dinyanyikannya. Sementara kepalanya juga digerak-gerakkannya mengikuti irama pukulan di meja tersebut. Kedua orang tuanya yang sedang berjalan mendekati meja makan pun merasa heran dengan tingkah anaknya. Sambil duduk perlahan Pak Humayun dan Bu Hamidah memperhatikan Jalal yang tersenyum melihat mereka berdua.
Tidak lama kemudian Jodha datang membawakan kopi untuk tuan mudanya dan juga untuk dirinya, kemudian duduk di sampingnya. Sedangkan sarapan untuk Pak Humayun dan Bu Hamidah sudah tersedia di meja.
Jodha memperhatikan wajah kedua majikannya yang nampak heran melihat tingkah anaknya pagi ini. Persis seperti yang dia rasakan juga saat ini. Ada apa gerangan dengan tuan mudanya. Diliriknya tuan mudanya yang nampak bingung melihat reaksi orang tuanya dan juga Jodha.
“Ada apa Ma, Pa?” tanya Jalal.
Bu Hamidah sampai memiringkan kepalanya melihat anaknya, membuat Jalal ikut memiringkan kepalanya memperhatikan mamanya. Sedangkan papanya melihat mereka berdua dengan pandangan aneh. Jodha hanya bisa menunduk dan mengulum senyum melihat tingkah lucu mama dan anaknya itu.
“Harusnya Mama yang nanya sama kamu sayang?” Dahi Jalal berkerut.
“Nanya apa Ma?”
“Kamu hari ini kenapa? Sepertinya ada yang berubah bahagia banget ini?” wajah Jalal memerah, dia melirik Jodha yang sedang menunduk sambil menyesap coklat panasnya sambil tersenyum tertahan, dan Jalal tahu itu.
“Ah, nggak apa-apa kok Ma? Seperti biasa aja. Mama aja kali baru melihatnya.”
“Oh ya?” Jalal mengangguk.
“Emang berapa hari ya Pa kita perginya? Perasaan sebelum kita pergi Jalal nggak ada kayak begini deh?” tanya Bu Hamidah menoleh ke arah suaminya. Pak Humayun mengangkat bahu.
“Entahlah Ma, Papa juga nggak ngerti kenapa Jalal jadi aneh gitu?”
“Kok aku dibilang aneh sih Pa?” ucap Jalal dengan wajah cemberut. Papanya tertawa pelan.
“Habisnya kamu nggak biasanya kayak gini. Pasti ada sesuatu ya?” Jalal kembali tersenyum jahil.
“Papa mau tau aja apa mau tau banget?” tanya Jalal dengan menaik turunkan kedua alisnya.
“Hush!! kamu ini. Papa kamu digituin?” hardik Bu Hamidah, kembali membuat Jalal cemberut.
“Ih, Mama nggak asyik deh. Gitu aja marah.” Gerutu Jalal.
“Bukan gitu sayang. Ngomong sama Papa kamu yang sopan dikit. Masa ngomongnya kayak sama teman kamu yang sebaya sih?” Jalal memanyunkan bibirnya.
“Iya...iya Ma. Nggak lagi deh.” Ucap Jalal sambil tersenyum dan kemudian menoleh ke arah papanya, “ maaf ya Pa, aku dah kurang ajar sama Papa.” Papanya mengangguk.
It’s Okey, Boy. No problem. Jawab Pak Humayun tersenyum. Dalam hatinya dia begitu senang melihat anaknya terlihat ceria. Hanya saja tidak bisa dia tunjukkan rasa bahagianya itu. Berbeda dengan istrinya. Mamanya Jalal itu terlihat sekali kalau sedang bahagia. Ck. Wanita. Wanita.
“Kamu kasih makan apa sih dia Jo?” tanya Bu Hamidah menatap Jodha yang masih tertunduk menikmati makanannya. Jodha, menghentikan kegiatannya dan mendongak melihat ke arah majikannya. Dia mengerutkan keningnya. Kemudian menggeleng.
“Saya rasa tidak pernah memasak makanan yang aneh-aneh Bu.” Jawab Jodha setelah berpikir sejenak, “tapi saya rasa Tuan Muda berubah sejak dia patah...hhmmff.” ucapan Jodha terhenti karena mulutnya di bekap oleh Jalal.
“Nggak ada yang berubah kok Ma. Masih seperti biasa.” Mamanya menatap Jalal dengan heran.
“Kalau gitu kenapa kamu menutup mulut Jodha seperti itu.” Jalal tersenyum meringis. Dia kemudian melepaskan bekapannya.
“Nggak apa-apa Ma. Ya kan Jo?” ucap Jalal setengah mendelik ke arah Jodha untuk memberikan isyarat peringatan agar tidak berbicara macam-macam. Akhirnya Jodha hanya mengangguk pelan seperti robot, “ya sudah Ma, Pa,  aku berangkat dulu.” Kedua orang tuanya mengangguk. Jalal pun bangkit dari duduknya dan mencium tangan kedua orang tuanya dan kemudian dia melangkah untuk segera berangkat, sebelum pergi dari meja makan dia masih sempat tersenyum miring melihat Jodha yang masih belum hilang keheranannya terhadap majikan mudanya itu.
Sepanjang perjalanan menuju apartemen kedua sahabatnya itu, Jalal menjalankan jeepnya dengan riang. Sambil bersiul-siul dia mengikuti lagu yang sudah disetelnya sejak tadi. Entahlah, mungkin karena bawaan mimpinya itu membuat suasana hatinya begitu baik. Ah, mimpi itu bagai mood booster buat Jalal. Sudah tidak sabar rasanya dia untuk segera bertemu dengan kedua sahabatnya itu.
Sesampai di apartemen sahabatnya Jalal segera turun dari jeepnya dan setengah berlari menuju tempat Mansingh. Dia menekan bell dengan tidak sabar. Mansingh yang membukakan pintu terbelalak kaget melihat sahabatnya itu sepanjang umurnya berteman dengannya baru kali ini dia berkunjung sepagi ini. Sesaat Mansingh melihat ke arah jam dindingnya, takut salah waktu. Bisa sajakan efek masih mengantuk dia salah lihat jam, dikira masih jam 7 padahal sudah jam 11. Hahaha....
Tetapi, ternyata dia tidak salah lihat jam dan tidak salah lihat sahabatnya itu. Memang benar dia. Lengkap dan nyata. Bukan halusinasinya. Sesaat kemudian dia meringis ketika dahinya di sentil Jalal.
“Nggak dirumah, nggak disini semua pada bengong melihatku. Emang kenapa sih? Ada yang aneh ya denganku.” Gerutu Jalal menghempaskan pantatnya di sofa.
“Banget.” Jawab Mansingh asal.
“Heh?” Jalal mendelik, sementara Mansingh hanya terkekeh, “anehnya dimana?” Mansingh memutar bola matanya.
“Jelas aja aneh Bos. Seumur-umur aku kenal sama Bos, baru kali ini melihat Bos sudah rapi bertandang ke apartemenku dengan senyuman semanis madu membuat aku jadi nggak ingin sarapan lagi saking manisnya. Kalau bukan aneh, apalagi namanya?” Jalal tersenyum lebar.
“Oh. Itu ternyata anehnya?” jawab Jalal terkekeh, “menurutku sih bukan aneh, tetapi perubahan. Perubahan menuju yang lebih baik lagi.” Ucap Jalal dengan mantap. Membuat Mansingh terpana mendengar ucapannya.
“Bos...Bos...aku nggak salah dengarkan?” Tanya Mansingh mengorek-ngorek telinganya dengan jari kelingkingnya. Jalal menghela nafas pasrah. Belum lagi Surya yang datang, bisa-bisa sikapnya akan sama seperti Mansingh, “itu tadi apa Bos? Bos mau ikut partai ya?” tanya Mansingh berlagak blo’on.
“Bukan. Mau demo.” Membuat Mansingh tertawa terbahak-bahak. Pagi-pagi dia sudah disuguhkan peristiwa langka. Sahabatnya ingin berubah lebih baik lagi. Patut di apresiasi. Ck...diapresiasi katanya, kayak mau ngasih award saja.
“Apa ini karena cintamu sudah diterima oleh Jodha ya Bos? Jadinya Bos begitu senang sekali, mengalahkan senangnya ketika mendapat undian.” Jalal mencebik bibirnya.
“Lah, kalau undiannya cuma dapat kipas angin saja ya mana senang Man.” Mansingh terkekeh, “lagian aku belum jadian kok sama Inem.” Mansingh menghentikan tawanya.
“Serius Bos?” Jalal mengangguk, “terus, hari ini tadi kenapa? Sepertinya bahagia sekali? Kalau bukan karena jadian terus apa dong?” tanya Mansingh penasaran.
Wajah Jalal memerah, dan dia menutup wajahnya dengan bantal sofa. Membuat Mansingh kembali melongo. Ini beneran Jalal sahabatnya bukan sih? Tingkahnya malu-malu kayak anak TK begitu. Astaga. Bukan Jalal banget.
“Aku... duh, gimana ngomongnya ya Man.” Jawab Jalal salah tingkah sambil mengusap tengkuknya. Mansingh menggeleng, kemudian mengambil ponselnya dan menelpon Surya yang berada di ruangan sebelahnya.
“Sur, sini deh. Ada yang aneh nih sama si bos. Apa perlu dia di rukyah ya?” Jalal memukul bantal sofa yang di pegangnya ke arah Mansingh membuat pemuda itu tertawa lagi sambil menutup teleponnya.
Tidak lama kemudian muncul Surya membuka pintu sendiri dengan wajah bantal khas bangun tidur. Sambil mengucek matanya dia duduk dihadapan kedua sahabatnya itu. Sesekali dia menguap dan bengong, karena nyawanya belum terkumpul semua sehabis bangun tidur.
“Ada apa sih? Main ribut aja. Masih pagi nih.” Kata Surya sambil kembali menguap. Jalal mendecak, begitu juga dengan Man.
“Cuci muka sana dulu Sur. Masih berapa persen lagi tuh nyawamu yang belum terkumpul?” ledek Mansingh. Surya hanya memberikan senyum jokernya kepada kedua sahabatnya sebelum akhirnya beranjak ke kamar mandi Mansingh untuk mencuci muka.
Tidak lama kemudian dia sudah kembali dalam keadaan segar. Namun, masih terlihat mengantuk. Dia duduk kembali di hadapan kedua sahabatnya itu.
“Man, bikinin kopi dong. Masih ngantuk nih.” Pinta Surya. Mansingh mendengus.
“Kamu kayak nggak tau aja disini aturannya seperti di supermarket. Slogannya “tamu adalah pembantu” jadi kalau mau kopi atau yang lainnya ya cari dan bikin sendiri, atau kalau mau makan masak sendiri. Oke?” ucap Mansingh tanpa berdosa membuat Surya menggerutu karena memang dia sudah tahu akan hal itu namun akhirnya dia tetap beranjak dari duduknya untuk membuat secangkir kopi pengusir kantuk.
Tidak lama kemudian dia sudah datang membawa segelas kopi untuknya sendiri dan dengan cueknya dia menyesap kopi tersebut perlahan. Kedua sahabatnya itu hanya melihat saja kelakuannya dalam diam.
“Sekarang gimana nih ceritanya sampai membangunkan aku pagi-pagi begini?” Jalal hanya memutar bola matanya.
“Hari sudah terang begini kamu bilang pagi-pagi? Kalau pagi-pagi itu harinya masih gelap tau?” surya membulatkan matanya menatap Jalal.
“Oh ya?” Jalal mengangguk, “tau darimana?” kembali Jalal mendecak.
“Makanya itu Sur, yang aku bilang tadi aneh.” Kata Mansingh, “coba aja pikir, ngapain dia pagi-pagi begini menurut dia sih sudah siang datang kemari dengan senyuman yang aduhai. Untung saja aku laki-laki. Coba kalau aku perempuan, bisa-bisa aku klepek-klepek dengan senyumnya.” Surya menoleh ke arah Jalal yang senyum-senyum nggak jelas begitu.
“Ada apa Bos? Kok sepertinya bahagia sekali pagi ini? Bos sudah jadian ya sama Jodha?” tanya Surya penasaran, dan dianggukin  oleh Mansingh. Namun, Jalal menggeleng. Membuat keduanya semakin gemas karena penasaran.
“Bukan itu sih.”
“Terus?”
Akhirnya dengan sedikit malu Jalal menceritakan kejadian sewaktu dia mabuk, kemudian di gazebo sore kemarin sewaktu bersama Inemnya dan juga mimpinya.” Kedua sahabatnya mendengarkan penuh perhatian, karena memang baru kali ini Jalal menjadi aneh karena cinta.
“Kenapa nggak sekalian di tembak aja sih Bos? Lelet banget jadi laki.” Gerutu Mansingh setelah mendengar cerita dari Jalal.
“Ho’oh.” Timpal Surya sambil kembali menyesap kopinya lagi. Jalal tersenyum.
“Aku pikir belum saatnya. Tapi, ada yang aku yakini kalau dia juga sebenarnya sama seperti yang aku rasakan. Buktinya, dia bahkan begitu perhatian kepadaku. Bahkan saat aku marah dan sedih kemarin dia malah menyediakan pangkuannya untukku, bahkan dia dengan sabar menghiburku. Kalau bukan karena dia juga mencintaiku terus apa namanya? Apa iya ada teman sampai segitu perhatiannya dan bahkan segitu detailnya dia tahu segalanya tentangku?” Mansingh dan Surya mengangguk-anggukkan kepalanya, “hanya saja, mungkin dia belum menyadari perasaannya itu. Jadi yang aku lakukan saat ini hanya bersabar dan mencari waktu kapan yang tepat untukku mengatakan cintaku.”
“Yah, terserah Bos ajalah. Tapi, jika suatu saat dia di sambar orang lain ya jangan menyesal.” Jalal tersenyum.
“Itu tidak akan terjadi Man, karena aku tidak akan membiarkan orang lain berada dekat dengannya. Biar dia tahu kalau dia hanya milikku.” Jawab Jalal dengan mantap.
“Wah, wah, belum jadi hak milik saja sudah sebegitu posesifnya, apalagi jika sudah resmi bisa-bisa itu anak di kurung terus nih nggak boleh keluar.” Kata Surya menggelengkan kepalanya.
“Biarin aja. Kalau perlu aku pasang remote dan kamera biar nanti bila ada laki-laki yang mendekatinya, aku tinggal pencet itu remote biar dia pulang sendiri. Hahahaha...” ucap Jalal tergelak sendiri membuat kedua sahabatnya mendengus kesal melihatnya, “sudah ah, ayo kita berangkat. Sudah siang nih.”
“Berangkat-berangkat. Belum mandi nih Bos. Salahnya datang kepagian.” Omel Mansingh. Jalal hanya terkekeh.  
“Ya sudah, cepetan mandinya. Aku tunggu.” Perintah Jalal. Akhirnya dengan berat hati Mansingh dan Surya beranjak juga dari duduknya. Mansingh masuk kamarnya sendiri, sedangkan Surya kembali ke ruangannya di sebelah. Sementara Jalal duduk menunggu mereka sambil bermain dengan ponselnya. Sesekali dia melihat foto-foto Jodha yang dia simpan di ponselnya. Dan semua foto itu tidak ada satu pun yang Jodha tau. Seandainya dia tahu bagaimana ya? Jalal hanya tersenyum membayangkannya.
Hanya perlu 10 menit untuk kedua sahabatnya itu mandi dan menyiapkan diri. Setelah itu kembali lagi berkumpul agar bisa berangkat bareng.
“Cepat amat mandinya?” kata Jalal menggelengkan kepalanya.
“Emangnya kita perempuan Bos yang luluran dulu, terus spa dulu, terus berendam dulu, dan terus terus yang lainnya dulu baru habis itu mandi. Belum lagi dandannya lama dan ribet. Ckck...” ucap Mansingh sembari memasang sepatunya.
“Tapi Inem nggak kok. Nggak seribet itu kelihatannya.” Bela Jalal.
“Inem lagi...Inem lagi...dimana-mana tergambar dan terlihat hanya Inem. Apalagi di kepala dan dihati, Inemnya sudah di tato permanen.” Sindir Mansingh. Kembali Jalal terkekeh. Dia mengambil tas ranselnya dan keluar dari apartemen Mansingh dan menghampiri Surya yang sudah menunggu di depan pintu ruangannya.
Mereka bertiga pun akhirnya berangkat bareng, maksudnya Jalal berangkat sendiri dengan jeepnya dan kedua sahabatnya itu berangkat dengan mobilnya sendiri. Kenapa mereka tidak mau berangkat bareng satu mobil dengan Jalal? Hal itu karena sahabatnya mereka itu sering tidak terduga orangnya, dan terkadang perkuliahan belum selesai dia sudah pulang duluan. Sedang Mansingh dan Surya tidak berani berbuat begitu, karena orang tua mereka bukan pemilik kampus.
Dan kembali keheranan mereka berdua terjadi lagi. Hari ini Jalal mengikuti seluruh jadwal perkuliahan dengan manis, tanpa bolos satu mata kuliah pun. Bahkan terlihat begitu antusias mengikuti kegiatan belajar tersebut. Alhasil Mansingh dan Surya lebih banyak memperhatikan Jalal daripada belajar. Hehehe...
Selepas siang setelah mengikuti semua perkuliahan Jalal menyamperi gedung tempat Jodha kuliah. Dia ingin mengajaknya jalan. Dari kejauhan dia melihat dosen pengajar Jodha sudah keluar diikuti oleh para mahasiswa-mahasiswi yang sudah selesai belajar. Dengan cepat Jalal berjalan mendekati pintu ruangan tersebut karena dia tidak melihat Jodha keluar dari ruangan, begitu juga dengan sahabatnya Zeenat.
Ketika berada di dekat pintu, ternyata Jodha masih berkemas-kemas dan masih asyik ngobrol dengan Zeenat. Dia tidak menyadari kalau tuan mudanya sudah menunggu di depan pintu karena posisi dia menghadap kearah Zeenat dan membelakangi pintu. Namun, Zeenat yang tidak sengaja melihat Jalal bersandar di pinggir pintu sambil melihat mereka berdua menyenggol tangan Jodha  dan memberitahukan kepadanya dengan isyarat mata.
Refleks Jodha menoleh, dan matanya membulat ketika dia melihat tuan mudanya sedang berdiri sambil bersidekap di depan pintu. Dengan cepat Jodha menghampirinya.
“Tuan kok ada disini? Mau ketemu siapa?” tanya Jodha dengan heran. Jalal tersenyum tipis.
“Mau ketemu kamu.” Jawab Jalal enteng. Dahi Jodha mengkerut sedikit.
“Mau ketemu saya? Ada apa ya Tuan? Nggak biasanya. Kan nanti juga bisa ketemu dirumah.” Jalal hanya cemberut mendapat pertanyaan seperti itu.
“Emangnya nggak boleh ya ketemu selain dirumah?” sahut Jalal setengah merajuk. Jodha terkekeh mendengarnya.
“Ya nggak gitu juga sih Tuan. Hanya tumben aja.” Jawab Jodha sambil menggelengkan kepalanya, “ya sudah sekarang ada apa Tuan mau ketemu sama saya?” Jalal tersenyum senang.
“Kita jalan yuk Nem. Temani aku.”
“Kemana?” jalal tersenyum lagi.
“Nyari sesuatu yang akan aku berikan buat seseorang.”
“Hah. Benarkah? Oke. Oke. Mau ngasih gebetan Tuan ya?” tanya Jodha dengan gembira, Jalal mengangguk, “tapi, mamanya Tuan gimana? Kan saya supirnya, gimana nanti beliau pulang?” kata Jodha dengan lesu.
“Kamu tenang aja, nanti aku yang bicara sama mama dan nyuruh Mang Diman kesini buat nyupirin mobil Mama.”
“Ya, terserah Tuan sajalah. Gimana baiknya.” Kata Jodha pasrah.
Jalal pun segera menelpon Mamanya, sedangkan Jodha kembali ke bangkunya untuk mengambil tasnya dan pamitan dengan Zeenat sahabatnya.
Setelah menelpon mamanya Jalal pun segera menarik tangan Jodha untuk menuju jeepnya. Tidak perduli gadis itu ngomel panjang pendek karena tangannya ditarik-tarik dengan tidak sabar oleh tuan mudanya. Selain itu juga, Jodha merasa risih sepanjang jalan diperhatikan oleh para penghuni kampus. Namun, apa daya tembok di wajah tuan mudanya itu terlalu tebal jadinya dia seperti berjalan di tempat yang sepi dimana tidak ada seorang pun yang kelihatan.
Jalal menyuruh Jodha duduk dikursi penumpang sedang dia sendiri yang membawa mobilnya. Jodha pun terpaksa menuruti, karena dia juga penasaran majikannya ingin membelikan gebetannya apa ya? Tiba-tiba saja Jodha merasa  sangat ingin tahu atau istilah sekarang itu “kepo”.
“Kita mau kemana Tuan?” tanya Jodha. Jalal tersenyum.
“Nanti kamu juga akan tahu Nem.” Jawabnya singkat membuat gadis itu terdiam.
Tak sampai beberapa lama Jalal membawa jeepnya di parkiran sebuah mall besar, yang bahkan mungkin Jodha saja males memasukinya. Bukan karena tidak ada yang bisa di beli hanya saja mall tersebut terlalu luas bisa-bisa kaki Jodha patah kalau dipaksakan untuk ditelusuri semua. Setelah turun dari mobil Jalal menggandeng tangan Jodha dengan cueknya. Jodha berusaha untuk melepaskan tangan majikannya karena merasa tidak nyaman. Nanti gimana kalau mereka bertemu gebetan tuan mudanya dan cemburu kepadanya? Bisa berabe urusannya nanti.
Tapi, sekali lagi Jalal nampak tidak perduli. Dia membawa Jodha masuk kesebuah toko yang menjual perlengkapan wanita. Jalan nampak bingung memilih. Jodha hanya diam, tidak berani berkomentar. Sementara pramuniaga yang mendampingi mereka sibuk menawarkan barang-barang yang sering dicari oleh para pengunjung disitu. Setelah memutar-mutar beberapa lama akhirnya Jalal bertanya kepada Jodha.
“Nem, bantuin dong pilihin hadiahnya.” Jodha melangkah disisi majikannya dan ikut melihat-lihat.
“Hm, rencananya Tuan mau ngasih apa sih?” Jalal berpikir sejenak. Kemudian menggeleng.
“Aku tidak tahu Nem.”
“Kok bisa?”
“Ya bisalah. Makanya aku bawa kamu kesini karena aku nggak tahu harus ngasih apa.” Jodha tertawa.
“Biasanya Tuan ngasih apa sama perempuan yang Tuan kencani?” Jalal tersipu malu. Beruntunglah Jodha tidak melihatnya karena dia sibuk melihat-lihat barang yang ada disitu.
“Aku nggak pernah ngasih hadiah kok Nem.” Kata Jalal pelan, namun tetap saja membuat Jodha menatapnyà dengan heran.
“Masa?” jalal mengangguk sambil tersenyum, “ah, saya nggak percaya nih.” Jalal mengangkat bahunya.
“Ya terserah sih mau percaya atau nggak. Tapi, ya begitu kenyataannya.”
“Terus selama ini gimana? Nggak mungkinkan Tuan sama sekali nggak pernah memberikan sesuatu kepada pacar Tuan selama ini?”
“Iya sih, tapi aku biasanya hanya ngasih kartu kredit dan nyuruh dia sendiri yang belanja sesuka hatinya.” Mulut Jodha membulat membentuk huruf O.
“Kalau gitu mah pantes aja. Itu toh alasannya.” Jalal terkekeh, “oke, akan saya bantu.”
Akhirnya setelah sekian lama mencari namun barang yang tidak juga ditemukan dan juga Jodha sudah merasa capek harus berdiri terus dan berjalan tanpa henti akhirnya dia mengusulkan untuk memberikan syal. Tanpa pikir panjang Jalal pun menyetujui, dan menyuruh Jodha memilih warna yang disukai. Alasannya selera perempuan tentang warna pasti hampir sama, padahal dia ingin tahu saja warna kesukaan Jodha apa.
Jodha memilih warna hijau lembut. Warna kesukaannya. Warna yang selalu membuatnya tenang. Meskipun tidak membelinya namun Jodha puas memilih syal tersebut, seakan dia yang membeli syal itu untuk dirinya sendiri. Jalal membeli syal yang ditunjukkan  sebanyak 2 buah, dan memberikan salah satunya kepada Jodha. Tentu saja Jodha menolak. Namun, sang tuan muda tidak kehilangan alasan. Katanya syal itu sebagai ucapan terima kasih karena sudah dibantu memilihkan hadiah. Akhirnya dengan terpaksa Jodha pun menerima syal tersebut meski di dalam hatinya ada sedikit tidak rela karena warna syalnya sama dengan yang akan diberikan kepada gebetan tuan mudanya.
Setelah membayar syal tersebut Jalal mengajak Jodha makan di cafe yang ada di mall tersebut. Dia tahu kalau gadis itu tidak terlalu berminat untuk berbelanja di mall ataupun cuma jalan-jalan saja.
“Kita pulang aja Tuan. Kan sudah dapat yang Tuan inginkan.” Jalal menggeleng.
“Nggak. Kita makan dulu. Aku laper. Ayo.” Ajak Jalal menarik tangan Jodha ke cafe terdekat. Dengan terpaksa akhirnya Jodha mengikuti langkah Tuan mudanya. Namun sebelum masuk ke cafe tersebut Jodha di panggil seseorang. Jodha menoleh, begitupula dengan Jalal.
“Jodhaa...!”
Nampak seorang pemuda berusia sekitar 27 tahun, berpakaian santai membawa dua buah bungkusan plastik besar. Dan di belakang pemuda itu berdiri dua orang pemuda tanggung yang mungkin masih SMU. Mereka juga membawa bungkusan plastik sama seperti pemuda yang di depannya itu.
“Abang Todar.” Jodha memekik gembira dan melepaskan genggaman tangan tuan mudanya itu serta berlari menghampiri pemuda yang memanggilnya.
“Jodha. Apa kabar? Kamu kemana aja selama ini? Abang kangen.” Kata pemuda bernama Todar meletakkan bungkusannya di lantai dan memegang bahu Jodha. Gadis itu tersenyum gembira.
“Iya bang, aku juga kangen Abang. Sudah lama kita nggak ketemu.” Ucap Jodha memeluk erat Todar. Sementara Jalal yang melihat adegan itu hanya mengepalkan tangannya menahan emosi. Seenaknya saja laki-laki itu memeluk Inemnya. Dia tidak terima.
Dengan langkah pasti Jalal menghampiri mereka berdua dan menarik tangan Jodha. Membuat gadis itu memekik kaget.
“Tuan. Ada apa?” tanya Jodha bingung majikannya menarik paksa dirinya dari pelukan Todar. Begitu juga dengan Todar, dia mengerutkan keningnya merasa heran.
“Apa-apaan ini? Pake acara peluk-pelukan segala. Ditempat umum lagi.” Bentak Jalal dengan raut wajah yang memerah. Todar mengangkat sebelah alisnya dan menatap ke arah Jalal yang juga menatapnya dengan emosi.
“Dia siapa Jo?” tanya Todar menyadarkan Jodha dari kekagetannya akibat aksi tarikan tangannya oleh tuan mudanya.
“Dia...dia majikanku Bang. Aku kerja di rumahnya selama ini.” Jawab Jodha merasa tidak enak dengan Bang Todar. Dan Todar pun mengangguk. Dia mengulurkan tangannya.
“Kenalkan, namaku Todarmal. Abangnya Jodha.” Namun Jalal diam saja. Jodha menyenggol tangan Jalal memberi isyarat agar menyambut uluran tangan Abang Todar. Akhirnya dengan terpaksa dia menyambut uluran tangan Todarmal dan menyalaminya.
“Jalal. Majikannya Jodha.” Jawab Jalal dengan singkat, kemudian dia melepaskan tangannya dan kembali memegang tangan Jodha, membuat gadis itu mendengus. Sedangkan Todarmal tersenyum melihat sikap Jalal. Sepertinya dia mengerti arti sikap pemuda itu kepada Jodha.
“Hm...gitu ya. Maaf ya, kalau tadi aku memeluk Jodha karena aku sudah menganggapnya adikku sendiri. Jadi kamu tidak perlu cemburu.” Kata Todar langsung to the point mengena di sasarannya. Akibatnya raut wajah Jalal berubah menjadi salah tingkah. Sedangkan Jodh hanya bengong tidak mengerti.
“Apa maksud Anda? aku tidak mengerti. Dan siapa yang cemburu?” Tanya Jalal dengan wajah memerah karena malu.
“Oh, nggak cemburu ya? Maaf kalau aku salah. Ya sudah Jo, Abang pulang dulu ya. Lain kali kita ketemu lagi. Abang masih kangen kamu.” Ucap Todarmal sekali lagi memeluk Jodha. Kali ini dia mengecup kening Jodha sembari melirik ke arah Jalal yang kembali terbakar cemburu. Todarmal sengaja melakukan hal itu ingin mengetahui reaksi pemuda itu. Alhasil pancingannya mengena. Wajah Jalal memerah karena menahan emosi kecemburuan yang begitu besar. Tangannya terus mengepal agar dia tidak gelap mata menghajar laki-laki yang sudah memeluk Inemnya itu. Todarmal hanya tertawa dalam hati melihat semua itu.
“Iya Bang, aku juga masih kangen Abang dan juga anak-anak. Nanti kapan-kapan aku main kesana deh Bang.” Ucap Jodha dengan tersenyum. Todarmal mengangguk.
“Oke. Abang tunggu ya.” Sahut Todarmal sambil tersenyum. Dia kembali meraih bungkusan plastik yang dia letakkan di lantai tadi, dan melangkah melewati Jodha yang masih menatap punggungnya diikuti oleh kedua remaja tanggung yang dibelakangnya.
“Ayo.” Ajak Jalal menarik tangan Jodha memasuki cafe.
“Tuan apa-apaan sih tadi? Pake marah-marah segala.” Tanya Jodha dengan cemberut.
“Aku nggak marah kok.” Elak Jalal, tetapi kemudian dia terdiam sebentar melihat ke arah Jodha, “kamu kenapa Nem?” tanya Jalal ketika melihat Jodha mendekatkan wajahnya sambil tersenyum miring.
“Nggak marah ya?” Jalal mengangguk, “tapi?”
“Apa?”
“Bener Tuan cemburu? Sama siapa?” pertanyaan Jodha membuat Jalal menjadi gelagapan.
“Ng...nggak ada yang cemburu kok. Ngawur aja.” Jodha tersenyum menggoda dengan menaik turunkan alisnya, “ciyuss...?” membuat Jalal menjauhkan wajah Jodha dengan telapak tangannya karena merasa jengah.
“Nggak usah sok imut deh Nem.” Jodha terkekeh.
“Tapi Tuan suka kaaannn...?”
“Sudah. Diem. Aku laper.” Jawab Jalal menarik tangan Jodha mencari tempat duduk yang nyaman. Jodha pun mengikuti langkah tuan mudanya dengan tersenyum geli, “kamu pesan apa Nem?” tanya Jalal melihat Jodha membolak-balikkan buku menu.
“Coffee latte sama lava cake coklat.” Jalal mengerutkan keningnya.
“Kamu nggak makan Nem? Sudah siang nih. Nggak laper?” Jodha menggeleng, “ nanti kamu sakit lo. Kamu makan ya, makan kue sama kopinya nanti aja sehabis makan.” Kembali Jodha menggeleng.
“Lagi nggak pengen Tuan. Nanti aja kalau saya laper ya.” Gantian Jalal yang menggeleng.
“Nggak bisa. Kamu harus makan.” Jodha hanya mendesah pasrah.
Jalal memanggil waiter dan memesan makan dua porsi. Sedangkan Jodha hanya diam cemberut saja. Dia masih jengkel dan memilih diam saja.
Tidak lama kemudian pesenan mereka datang. Jalal memesan steak komplit dua porsi, dia sendiri memesan minuman orange jus dan air mineral untuk Jodha. Sementara pesenan Jodha dia singkirkan lebih dahulu.
Jalal menyodorkan satu porsi steak ke arah Jodha. Namun, dia hanya diam saja. Matanya melirik pesenannya coffee latte dan lava cake coklat yang berada di dekat tuan mudanya. Karena tidak diijinkan untuk memakannya terlebih dahulu. Melihat makanannya tidak disentuh, akhirnya Jalal mengambil kembali makanan tersebut. Perlahan di mengiris-iris daging steak tersebut menjadi potongan-potongan kecil. Jodha hanya tersenyum dalam hati melihat tingkat tuan mudanya. Akhirnya dia sadar juga kalau aku tidak ingin makan. Pikir Jodha.
Namun, kemudian senyumnya memudar ketika tuan mudanya itu menyodorkan potongan steak itu menggunakan garpu ke arah mulutnya. Jodha terpana.
“Buka mulutnya. Kamu harus makan.” Pinta Jalal sambil tersenyum.
“Tuan, ini salah. Bukan seperti ini.” Kata Jodha menggeleng.
“Apanya yang salah?” kata Jalal mengerutkan keningnya. Tangannya masih memegang garpu yang digunakan untuk menyuap Jodha.
“Nggak pantas Tuan nyuapin saya.” Jawab Jodha sambil menggeleng.
“Nggak usah mikir pantas atau tidak pantas. Cepet buka mulutnya.” Perintah Jalal. Akhirnya dengan wajah ditekuk Jodha membuka mulutnya menerima suapan dari tuan mudanya itu dan mengunyahnya pelan. Jalal tersenyum senang melihatnya.
“Anak pinter.” Katanya sambil mengelus rambut Jodha, membuat gadis itu mendengus pelan.
Satu persatu potongan steak untuk Jodha pun habis juga, dan Jalal dengan telaten menyuapi Inemnya yang berulangkali menolak namun tidak bisa berbuat apa-apa karena setiap kali dia menolak tuan mudanya melotot tak terbantah.
Setelah menyuapi Jodha, Jalal pun memakan makanannya. Sementara coffee latte dan lava cake coklat yang di pesan Jodha akhirnya dia berikan juga. Jodha pun menerima dengan senang hati. Melupakan sikap majikannya yang suka memaksa itu. Dia begitu menikmati pesanannya. Coklat bo! Begitu asyiknya dia menikmati makanannya sampai dia tidak sadar kalau tuan mudanya sesekali meliriknya.
“Nem...” panggil Jalal ketika sudah selesai memakan makanannya. Jodha menatap tuan mudanya
“Ya...?”
“Laki-laki tadi siapa?” Jodha tersenyum.
“Oh itu. Dia Abang Todarmal. Biasa saya panggil dia Abang Todar. Saya sudah kenal lama dengannya Tuan. Dia bagai Abang buat saya.” Jalal masih menatap Jodha yang sudah menghentikan makannya, “Tuan masih ingatkan ketika saya cerita tentang masa lalu saya?” Jalal mengangguk, “nah, Abang Todar adalah salah satu yang sangat berjasa dalam hidup saya dan membantu disaat-saat saya dalam kesulitan. Dia yang sering memberikan saya job ketika sering diadakan balapan, dan dia juga yang sering melindungi saya dari laki-laki yang berusaha melecehkan saya. Karena itu saya merasa sangat berhutang budi kepadanya.” Kata Jodha dengan mata berkaca-kaca.
Jalal mengangguk-angguk tanda mengerti. Menyesal dia sudah merasa cemburu dengan laki-laki tadi, sekarang malah merasa iri. Kenapa tidak dari dulu saja bertemu dengan Inemnya, agar dia bisa melindungi dan membantu gadis itu dalam kesulitan.
“Aku minta maaf ya Nem, sudah berprasangka buruk dengannya tadi.” Jodha tersenyum.
“Iya saya Maafkan Tuan. Mungkin kedepannya akan ada banyak teman-teman saya diluar sana yang bersikap seperti itu bila bertemu. Dan...saya minta Tuan tidak akan bersikap seperti itu lagi ya.” Pinta Jodha.
“Tergantung.” Sahut Jalal kembali cuek, Jodha mendengus pelan, “ah, sudahlah. Aku sudah selesai, kita pulang dulu.” Kata Jalal sembari memanggil waiter dan membayar billnya. Kemudian beranjak dari tempat duduknya keluar dari cafe tersebut di ikuti Jodha dari belakang.
“Kamu nggak ingin belanja lagi, Nem?”  Jodha menggeleng. Jalal menghela nafas.
“Ya sudah, kita pulang saja.” Jodha mengangguk. Mereka berdua pun keluar dari mall tersebut. Baru saja mereka keluar dari pintu mall, kembali Jodha di panggil. Hahaha...Jalal hanya bisa mendesah pasrah.
“Jodhaaa...” terdengar suara perempuan memanggilnya dari pintu mall. Mereka berdua menoleh. Jodha  tersenyum senang melihat siapa yang memanggilnya.
“Nadia...” katanya sambil berlari menghampiri Nadia dengan senyum mengembang memanggilnya. Seperti biasa mereka berdua berpelukan dengan gembira.
“Susah ya bawa artis keluar. Banyak fans yang ingin foto sana foto sini, peluk sana peluk sini.” Gumam Jalal sambil menghela nafas panjang melihat aksi kedua gadis tersebut.
“Kamu ngapain disini Jo? Kamu nggak kerja?” tanya Nadia ketika melepas pelukannya.
“Ini lagi menemani majikanku. Tadi ada yang dicarinya.” Jelas Jodha.
“Oh ya?” Jodha mengangguk, “mana majikanmu. Aku ingin kenal.” Kata Nadia celingak celinguk dengan penasaran.
“Itu.” Jodha menunjuk tuan mudanya yang sedang berdiri bersidekap sambil memandang mereka berdua, “serius?” tanya Nadia tidak percaya. Jodha mengangguk.
“Iyalah. Memangnya kenapa?” Nadia tersenyum miring.
“Ganteng banget.” Jodha tertawa, “aku pikir dia pacarmu.” Ledek Nadia sambil memainkan kedua alisnya untuk menggoda Jodha, membuat wajah Jodha bersemu merah.
“Bukan kok. Dia majikanku. Dan dia bukan pacarku, dia juga sudah punya calon pacar tuh.”
“Benarkah?” Jodha mengangguk.
“Aku tidak percaya.”
“Terserah sih kalau tidak percaya.”
“Kamu ini pintar tapi bodoh Jo. Orang biasa juga tahu kalau dia itu naksir kamu. Nggak lihat pandangannya nggak pernah lepas dari kamu sejak tadi.” Jodha terdiam mendengar ucapan Nadia.
“Masa sih? Tapi katanya dia punya calon pacar, makanya aku cuek saja.”
“Dasar kamu ini, jadi perempuan emang nggak peka. Emang dia bilang siapa calon pacarnya?” Jodha menggeleng, “dasar bodoh, bisa saja itu kamu Jo. Aku berani jamin. Atau perlu kita coba. Hm...” goda Nadia kembali memainkan kedua alisnya sambil tersenyum.
“Nggak ah, aku nggak berani Nad. Biar saja.” Elak Jodha. Jujur dia malu dan takut berpikir  macam-macam tentang tuan mudanya itu.
“Nggak bisa. Serahkan kepadaku. Ayo.” Kata Nadia menarik tangan Jodha berjalan menuju dimana tuan mudanya berdiri. Setelah sampai, dengan penuh percaya diri Nadia langsung bercerocos.
“Hai, Pak Bos. Kenalkan saya Nadia. Temannya Jodha.” Kata Nadia mengulurkan tangannya untuk salaman. Namun, Jalal hanya menatapnya dengan tajam.
“Pak Bos? Emangnya aku bos kamu?” sahut Jalal dengan jutek. Nadia cengengesan dan menarik kembali tangannya.
“Nggak sih, cuma situ kan bosnya temanku ini jadinya ya aku panggil bos juga kan?” kata Nadia menepuk bahu Jodha yang hanya diam saja.
“Nggak boleh. Enak aja Pak Bos, Pak Bos. Aku belum bapak-bapak tau.” Jawab Jalal sewot. Nadia terkikik membuat Jalal semakin geram. Sedangkan Jodha hanya menggelengkan kepala melihat sahabatnya mengerjai tuan mudanya itu.
“Ya sudah, aku panggil Bang Bos aja ya.” Kata Nadia dengan cueknya.
“Nggak boleh ya nggak boleh. Jangan seenaknya saja. Mengerti!” Bentaknya. Namun Nadia menggeleng dan senyum-senyum nggak jelas.
“Nggak. Aku tetap manggil situ Bang Bos. Oke Bang Bos.” Kata Nadia mengedipkan matanya kepada Jalal. Jodha terkekeh melihat tuan mudanya begitu jengkel dengan kelakuan Nadia.
“Kamu ini emang kepala batu ya. Nggak bisa dibilangin.” Kata Jalal dengan jengkel. Nadia hanya tertawa.
“Eh, kurang Bang Bos, selain emang kepala batu aku juga pake muka tembok. Jadi percuma ngomong begitu. Hehehe...” akhirnya Jalal hanya bisa membuang nafas pasrah. Semakin di marahi semakin gadis itu senang. Ck, kok ada ya manusia seperti ini, “eh, ya sudah Jo. Aku pergi dulu ya. Oh ya, kamu dicari Abang Bayu tuh. Katanya dia kangen sama kamu, dia pengen ngajak kamu latihan bareng minggu ini.” Ucap Nadia sengaja melirik Jalal yang kembali wajahnya mengeras, membuat gadis itu tertawa dalam hati.
“Iya Nad. Bilang sama Abang, besok minggu aku kesana ya.”
“Oke, jangan lupa kita juga live perform di tempat biasa. Aku tunggu ya.” Jodha mengangguk, “see you Bang Bos.” Ucap Nadia tersenyum jenaka sambil melambaikan tangannya kepada Jalal yang diam tidak menjawab. Jodha hanya menggelengkan kepala melihat tingkah Nadia, diliriknya tuan mudanya yang masih menatap jengkel ke arah Nadia yang masuk kembali kedalam mall.
“Ayo Tuan kita pulang.” Ajak Jodha. Jalal hanya diam tidak menyahut namun dia mengikuti langkahnya Jodha menuju jeepnya.
Sepanjang jalan Jalal hanya diam saja. Hari ini begitu banyak dia mengenal orang-orang yang selalu berada dilingkungan gadis itu. Siapa lagi itu Bayu? Orang yang disebutkan gadis aneh tadi. Dan latihan bareng? Apa maksudnya? Inemnya latihan apa? Begitu banyak pertanyaan yang belum terjawab dalam benak Jalal yang membuatnya pusing dan semakin penasaran ingin tahu.
Sementara Jodha juga sibuk memikirkan ucapan Nadia tadi? Apa iya tuan mudanya itu memang menyukai dirinya? Bila melihat tingkahnya sih sepertinya ucapan Nadia itu ada benarnya. Tetapi apa mungkin? Dan tadi...tuan mudanya menyuapinya makan, walaupun agak maksa tetapi bukankah itu pertanda kalau dia begitu perhatian kepadanya. Dan syal itu? Siapa sebenarnya gadis yang diincar tuan mudanya itu? Jodha jadi penasaran ingin tahu, apa gadis itu benar-benar ada atau itu hanya akal-akalan tuan mudanya saja agar selalu dekat dengannya. Memikirkan itu Jodha menjadi tertawa sendiri, betapa ge-ernya dia. Dan jika suatu saat gadis itu bukan dirinya, mau ditaruh dimana mukanya. Hehehe...


===TBC===

Tidak ada komentar:

Posting Komentar