Menu

Jumat, 12 Februari 2016

BIARKAN AKU JATUH CINTA. PART. 9 (INIKAH CEMBURU)


Hari Minggu. Pagi-pagi Jodha sudah melakukan rutinitasnya seperti biasa. Berhubung hari minggu jadi dia lebih banyak waktunya kosong dan sepertinya majikannya Bu Hamidah tidak pergi kemana-mana. Sedangkan Pak Humayun sedang berada diluar kota.

Seperti biasa saat sarapan pun masih tetap di jam yang sama, namun mereka hanya berdua saja. Jalal nampak belum turun dari kamarnya. Jodha ingin menanyakan tentang tuan mudanya namun sungkan. Dia hanya menikmati sarapannya dengan diam, sedangkan Bu Hamidah juga sepertinya sedang asyik sendiri. Sampai akhirnya Jodha pun tidak sabar ingin mengetahui keadaan tuan mudanya itu, bagaimana pun juga dia ikut andil atas penderitaan laki-laki itu.

“Mm...bagaimana keadaan Tuan Muda Bu?” akhirnya Jodha bertanya juga. Bu Hamidah tersenyum.

“Sepertinya baik Jo. Kenapa?” Jodha menggeleng dan tertunduk.

“Tidak apa-apa Bu, saya hanya merasa bersalah saja. Harusnya Tuan tidak seperti itu. ini semua gara-gara saya.”

“Tidak usah merasa bersalah gitu Jo, sebagai laki-laki itu hal yang wajar kok Ibu rasa. Lagian kan nggak parah-parah amat tuh. Sesekali wajah anak Ibu di bikin bonyok nggak apa-apa kok, masa ganteng terus.” kata Bu Hamidah sambil tergelak. Jodha hanya bisa melongo. Baru kali ini dia melihat seorang ibu begitu senang anaknya babak belur. Jodha hanya bisa menggeleng dalam hati.

“Kenapa Ibu sepertinya tidak sedih sama sekali melihat Tuan Muda begitu?” tanya Jodha dengan rasa penasarannya. Kembali Bu Hamidah tersenyum.

“Siapa sih orang tua yang senang anaknya di hajar seperti itu? nggak ada Jo. Hanya saja, dengan begitu Jalal akan bisa menjadi lebih dewasa. Dari kecil dia sudah biasa dihormati dan dilayani, tidak ada yang bisa membantah keinginannya. Tetapi sekarang dia berani berkelahi untuk membela kamu. Itu artinya dia sudah mau berjuang untuk mendapatkan keinginannya meski itu sulit.” Jodha terdiam mencerna perkataan majikannya itu. Bu Hamidah hanya tersenyumnya, “coba kamu bangunkan Jalal, Jo. Masa jam segini masih tidur aja. Mentang-mentang hari libur.” Jodha berpikir sebentar. Ada rasa sungkan dihatinya memasuki kamar majikan mudanya itu sendirian.

“Tapi Bu,...” Bu Hamidah menatap Jodha yang nampak ragu-ragu.

“Tapi apa..?”

“Ng...saya nggak enak Bu masuk kamar Tuan sendirian.” Bu Hamidah tertawa.

“Emang kamu mau ngapain disana?” wajah Jodha memerah karena malu, “sudah, sana bangunin. Lagian kalau di macam-macam hajar aja.” Kata Bu Hamidah tersenyum lebar.

“Baik Bu.” Akhirnya Jodha pun menuruti keinginan Bu Hamidah untuk membangunkan tuan mudanya itu.

Sesampai di depan pintu, dengan ragu-ragu dia mengetuk. Tetapi tidak ada jawaban, sampai berulangkali dia berbuat seperti itu. Akhirnya dengan nekat dia membuka pintu kamar tuannya. Nampaklah Jalal sedang terlelap dengan wajahnya yang masih terlihat lebam. Namun masih terlihat tampan meski di sana sini masih membiru.

“Tuan...Tuan....” panggil Jodha. Namun, Jalal masih tidak bergeming. Jodha mendekati tuan mudanya berniat ingin mengguncang bahunya. Tapi, ternyata dia mengerutkan keningnya melihat butiran keringat muncul di dahinya. Padahal pendingin udara masih hidup.

Dengan tangan gemetar dia menempelkan telapak tangannya di dahi tuan mudanya itu, sebentar kemudian dia kaget karena dahi tuan mudanya itu panas. Pantas saja dahinya berkeringat.

Dengan segera Jodha keluar dan turun dari kamar tuan mudanya untuk memberitahukan hal itu kepada majikannya Bu Hamidah. Ternyata majikannya sudah tidak ada di ruang makan. Hanya ada Bi Ijah sedang membereskan bekas sarapan majikannya.

“Bi, Ibu kemana?” tanya Jodha dengan nafas ngos-ngosan. Bi Ijah melihatnya dengan heran.

“Kamu kenapa Jo?” Jodha menelan ludah dengan susah payah.

“Tuan Muda badannya panas Bi. Gimana ini? Aku takut ini akibat tadi malam.” Bi Ijah kaget.

“Tuan sakit Jo?” Jodha mengangguk.

 “Makanya aku nyari Ibu Bi.”

“Waduh, Ibu baru aja keluar sama Mang Diman Jo habis dapat telepon dari temannya katanya.” Jodha menepuk dahinya.

“Gimana ini Bi? Aku bingung. Apa kita telpon Ibu dan panggilin dokter?” tanya Jodha dengan panik.

“Kita telpon Ibu saja Jo, mungkin kita dapat solusinya.” Jodha pun akhirnya mengangguk.                 

Dengan segera Jodha menelpon majikannya dan mengatakan kalau tuan mudanya badannya panas. Selesai menelpon majikannya Bi Ijah menatap Jodha dengan penuh tanda tanya.

“Gimana Jo? Apa kata nyonya?” Jodha menghela nafas panjang.

“Disuruh ngompres katanya, sekalian bikinin bubur setelah itu disuruh minum obat yang dikasihkan oleh dokter tadi malam.” Bi Ijah mengangguk.

“ Ya udah kalau begitu, kamu kerjain perintah Nyonya tadi Jo.” Jodha mengangguk.

“Iya Bi.”

Dengan segera Jodha mengambil air hangat dan handuk untuk mengompres tuan mudanya, sedangkan Bi Ijah membuat bubur untuk dimakan nanti.

Sesampainya di kamar Jalal, Jodha segera duduk di pinggir tempat tidur dan menempelkan handuk basah di dahi majikan mudanya.

Jalal membuka matanya perlahan ketika dia merasa ada sesuatu yang menempel di dahinya. Pandangannya tertumbuk pada wajah tegang milik Inemnya yang sepertinya sedang gelisah melihatnya. Jalal sedikit menarik sudut bibirnya ke atas melihat pemandangan itu. Ada rasa senang ketika melihat gadis itu terlihat mencemaskan dirinya.

“Tuan nggak apa-apa?” tanya Jodha, dia nampak  cemas.

“Aku kenapa Nem?” Jalal balik nanya, dia memegang handuk basah di kepalanya.

“Tuan tadi badannya panas. Saya cemas. Mungkin ini akibat tadi malam?” Jalal malah tersenyum.

“Benarkah kamu cemas sama aku?” Jodha mengangguk cepat. Kembali Jalal tersenyum jahil.
“Kalau gitu hari ini kamu temani aku ya. Aku beginikan gara-gara membela kamu. Ya kan?” kata Jalal tersenyum penuh modus. Jodha yang polos hanya bisa mengangguk karena dia merasa bersalah juga.

“Baiklah Tuan, saya akan menemani Tuan hari ini.” Jalal kembali tersenyum puas.

“Bagus. Aku pegang janjimu.”

“Iyaaaa Tuan.”

Jalal memejamkan matanya, namun bibirnya tersenyum senang. Ah, kalau begini akan menyenangkan di temani Inem. Meskipun harus sakit dulu tidaklah mengapa buat Jalal. Dia merasakan Inem mengganti handuk kompres di  dahinya. Membenarkan selimutnya. Kemudian bangkit mematikan AC dan membuka jendela kamar agar sirkulasi udara lancar.

Tidak lama kemudian Bi Ijah datang mengantarkan bubur buat majikannya dan meletakkannya di nakas dekat tempat tidur tuan mudanya.

“Ini Jo, udah bibi bikinkan buburnya.” Jodha melangkah mendekati Bi Ijah.

“Tapi, Tuan sedang tidur Bi. Nggak enak aku membangunkannya.” Kata Jodha seraya memperhatikan tuan mudanya yang tertidur.

“Tapi, ini nggak enak dimakan dingin Jo. Nggak apa-apa dibangunkan sekarang aja sekalian minum obatnya.” Jodha diam beberapa saat sampai akhirnya dia mengangguk.

“Iya deh Bi, aku bangunkan.”

“Ya sudah kalau begitu Bibi keluar dulu ya.”

“Iya Bi.”

“Bi Ijah pun segera keluar dari kamar Jalal. Sementara Jodha duduk kembali di pinggir tempat tidur dan membangunkan tuan mudanya.

“Tuan...Tuan....bangun sebentar.” Jodha menggoyangkan pelan tangan Jalal.

Jalal membuka matanya.

“Apa sih Nem? Kenapa dibangunkan lagi. Dingin tau.” Omelnya sambil meringkuk di dalam selimut. Jodha hanya bisa menggeleng. Sakit aja tuan mudanya masih bisa mengomelinya apalagi saat sehat.

“Tuan makan dulu ya, habis itu minum obat, baru setelah itu Tuan tidur lagi. Mau ya?” bujuk Jodha. Jalal menggeleng.

“Nggak mau. Mulutku rasanya pahit.”

“Pantesan keluar kata-kata beracun.” Gumam Jodha.

“Apa kamu bilang?” tanya Jalal sambil melotot. Jodha menggeleng sambil tersenyum.

“Nggak apa-apa Tuan. Ayolah, makan dikiiit aja ya dan minum obat biar mulutnya nggak pahit lagi.” Jalal akhirnya menghela nafas.

“Ya sudah. Tapi  suapin. Badanku rasanya remuk semua. Sakit untuk digerakin.” Jodha terkekeh.

“Yaaahh, gimana mau jadi jagoan kalau sekali tendang aja udah langsung sakit begini.” Jalal sewot.

“Aku kan nggak pernah berkelahi Nem. Jadi wajar aja jadi begini.” Jodha tersenyum. Dia sègera membenarkan bantal tuan mudanya agar pemuda itu bisa duduk bersandar. Jalal yang merasakan aroma khas dari tubuh Jodha karena begitu dekatnya dia merasakan ketenangan, bahkan mencium aroma parfumnya saja membuat hati bahagia.

Perlahan Jodha menyendokkan bubur tersebut dan meniupnya sebentar sebelum menyuapkan kepada tuan mudanya. Begitu berulang kali dengan telatten. Jalal memperhatikan itu semua dengan seksama. Bahkan Jalal merasa beruntung bisa sakit dan di layani oleh Inem.

Tidak terasa bubur itu pun habis, Jodha tersenyum senang walaupun tuan mudanya itu harus dibujuk seperti anak kecil dulu untuk makan. Jodha kemudian memberikan obat yang diberikan oleh dokter tadi malam dan Jalal pun beringsut duduk untuk meminum obat, kemudian berbaring kembali.

“Nah, sekarang Tuan tidur lagi ya.” Kata Jodha kembali membenarkan selimut tuan mudanya. Sedangkan Jalal memperhatikan segala gerak gerik Jodha dengan matanya.

“Kamu mau kemana?” tanya Jalal ketika Jodha sudah bersiap-siap ingin keluar dari kamar. Jodha menatapnya bingung.

“Mau keluar Tuan. Kenapa?”

“Disini saja. Temani aku. Katanya mau menemaniku hari ini?” Jodha mikir sebentar.

“Tapikan Tuan harus tidur. Masa saya harus menemani Tuan tidur disini dan nggak ngapa-ngapain?” Jalal tersenyum.

“Sini. Duduk sini.” Katanya melambaikan tangan memanggil Jodha untuk duduk di pinggir tempat tidur dekat kepalanya. Jodha terpaksa mendekat dan duduk seperti permintaan tuannya. Tangan Jodha dipegang oleh Jalal dan telapak tangan itu di taruhnya di dahinya sendiri, “biasanya kalau aku sakit mama selalu nyanyikan aku lagu pengantar tidur, sekarang karena mama nggak ada dan aku sakit juga juga karena kamu  makanya kamu harus nyanyikan untukku.” Ucap Jalal sambil tersenyum. Tangannya masih menggenggam tangan Jodha yang berada di atas dahinya itu.

“Saya harus nyanyikan apa Tuan?” jawab Jodha bingung. Jalal mengendikkan bahunya.

“Terserah kamu saja, yang penting bisa buat aku tertidur.” Jodha berpikir sejenak, dan mengangguk.

“Baiklah, semoga suara saya bukan malah bikin Tuan susah tidur ya kalau nggak enak.” Jalal tertawa kecil.

“Nggak akan Nem, dan satu lagi kamu harus tetap disini sampai aku terbangun.” Jodha mendengus kesal.

“Terus saya ngapain disini sementara Tuan tidur?”

“Terserah.”

“Kalau ketahuan Ibu nanti gimana Tuan. Nanti beliau marah sama saya.” Jalal terkekeh.

“Tidak akan. Aku jamin.”

Jodha menghela nafas panjang, kemudian menganggguk.

“Baiklah Tuan.” Jalal kembali tersenyum.

Jodha menarik nafas panjang sebelum bernyanyi dan mengalunlah dari bibirnya lagu Soja Mere Kanhaiya. Jalal memperhatikan bibir Jodha yang terus bergerak menyanyikan lagu tersebut. Suaranya lumayan juga, betah untuk di dengar. (saya juga bisa Bang nyanyikan lagu tidur untuk Abang, saya jamin Abang akan langsung tertidur juga tetapi tertidur selamanya. Hahahaha....#plak tepuk jidat authornya)

Entah karena pengaruh obat atau karena lagu pengantar tidur akhirnya Jalal tertidur juga. Jodha menghela nafas melihat tuan mudanya sudah tertidur. “kalau begini aku memang benar-benar baby sitter namanya.” Gumam Jodha sambil tertawa pelan.

Diperhatikannya baik-baik wajah tuan mudanya yang seringkali membuatnya kesal. Tapi kalau sudah begini wajahnya nampak mempesona, begitu damai. Tak salah memang kalau dia berjuluk playboy. Hati Jodha berdesir ketika perlahan jarinya menelusuri setiap inchi wajah majikannya. Dia tahu kalau dia sudah bertindak kurang ajar, namun jangan salahkan pikirannya yang tidak menyuruh berhenti. Salahkan hati dan tangannya yang masih penasaran. Siapa coba yang tadi menyuruhnya memegang dahinya, jadinya kan tangan Jodha jadi ketagihan ingin megang lagi dan lagi. Hahahaha......

Satu jam sudah berlalu, tetapi tuan mudanya masih terlelap tidur. Main ponsel sudah puas, melihat-lihat kamar tuannya juga sudah bosan. Jodha bingung mau ngapain. Rasanya ingin dia tinggalkan saja tetapi dia sudah janji akan menemani tuannya sampai terbangun, selain itu lebih karena tanggungjawabnya saja. Akhirnya dia duduk dilantai dan  menyandarkan tubuhnya di sisi tempat tidur, lama kelamaan dia mengantuk juga dan akhirnya tertidur menyusul tuan mudanya.

Selepas siang Jalal terbangun. Badannya terasa lebih segar dan lebih baik meski wajahnya masih terasa agak sakit dan bengkak. Perlahan dia turun dari tempat tidur untuk mandi dan membersihkan diri. Tidak enak bajunya terasa lengket oleh keringat. Tapi, begitu kakinya menyentuh lantai, matanya tertumbuk pada sosok yang tertidur di lantai bersandar pada ranjangnya.

Jalal teringat sebelum tidur tadi menyuruh Inemnya untuk menungguinya tidur sampai dia terbangun. Dia tersenyum melihat Inemnya tidur. Bergegas dia masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan dengan buru-buru dia keluar dari kamar mandi dan berpakaian. Setelah siap dia duduk disamping Jodha bersandar di pinggir ranjangnya. Perlahan kepala Jodha dia sandarkan di bahunya dan diapun hanya duduk diam menunggu gadis itu bangun. Tidak lupa dia mengabadikan keadaan mereka berdua seperti itu menggunakan kamera ponselnya. Jalal tersenyum senang dan dia menikmati moment itu. Kapan lagi bisa berduaan begini dalam keadaan biasa, bisa-bisa dia ditertawakan habis-habisan oleh Inem.

Setengah jam berlalu, Jodha terbangun dan membuka matanya, kemudian dia menggeliat dengan enaknya. Belum selesai dia menggeliat dan menurunkan tangannya, dia terkejut saat tidak sengaja melihat kesamping. Tuan mudanya sedang menatapnya dengan tajam. Dia tersenyum meringis karena merasa bersalah.

“Tuan sudah bangun ya?” tanya Jodha basa-basi, “maaf saya ikut ketiduran.”

“Siapa suruh kamu ikut tidur hah? Aku kan nyuruh kamu nungguin bukan ikut tidur.” Bentak Jalal. Wajah Jodha langsung berubah, tiba-tiba saja dia ikutan emosi. Jalal yang melihatnya ingin tertawa sekencang-kencangnya melihat pancingannya berhasil. Senangnyaaa.....

“Eh Tuan, denger ya. Sudah syukur saya menuruti keinginan Tuan untuk menungguin Tuan tidur meskipun akhirnya saya ketiduran juga. Itu karena saya tidak punya kerjaan apa-apa sambil menunggu Tuan tidur. Dan sekarang malah membentak, dasar tidak tahu terima kasih. Tahu gitu sudah saya tinggalin dari tadi.” Ucap Jodha agak keras. Dia tidak perduli kalau tuan mudanya itu semakin marah padanya. Dia bangkit dan berdiri bermaksud melangkah ingin meninggalkan tuan mudanya yang kembali rese itu.

“Mau kemana?” tanya Jalal memegang tangan Jodha.

“Keluar.” Jawabnya dengan ketus. Jalal tersenyum.

“Katanya berjanji ingin menemaniku seharian Nem, masa sekarang kamu tinggalkan begitu aja sih?”kata Jalal dengan lembut.  Jodha masih cemberut.

“Salahnya Tuan selalu saja membuat hati saya kesal, nggak bisa ya Tuan kalau ngomong itu yang manis dan enak di dengar jadinya yang diajak bicara itu tidak merasa terpaksa dan dengan senang hati melayani keinginan Tuan.” Keluh Jodha tanpa sadar air matanya menetes perlahan karena emosi  yang menggumpal namun tidak bisa di keluarkan. Jalal menjadi iba dan merasa bersalah, tidak biasanya begini. Biasanya dia melawan tapi tanpa air mata. Apa memang kali ini dia yang terlaluan?

“Iya Nem, maaf ya. Sudah, duduk disini lagi. Jangan nangis  dong.” Kata Jalal menarik tangan Jodha untuk duduk kembali disampingnya, Jodha menghapus air matanya dengan kasar dan duduk disamping tuan mudanya, “susah ya jadi perempuan dikit-dikit nangis, liat film sedih nangis, liat orang nangis juga ikut nangis, apa-apa nangis.” Goda Jalal. Reflek Jodha menatap Tuannya dengan tajam.

“Siapa bilang cuma perempuan saja yang suka menangis, laki-laki pun banyak menangis, Cuma gengsi aja untuk mengakuinya.” Ejek Jodha.

“Aku nggak kok.” Sahut Jalal dengan cepat.

“Apa Tuan tidak pernah menangis?” Jalal menggeleng, “yang bener?” Jalal mengangguk, “saya tidak percaya.”

“Ya terserah sih kalau tidak percaya.”

“Seumur hidup tidak pernah menangis?” Jalal mengangguk lagi, “BO-HONG.”  Jalal mengendikkan bahunya.

“Terserah sih. Aku kan nggak maksa kamu percaya.”

“Emangnya Tuan ketika lahir nggak nangis? Oh, berarti Tuan ketika lahir langsung ketawa atau lagi bengong liatin orang-orang yang ada ditempat Ibunya Tuan melahirkan ya? Hahahaha....” kata Jodha dengan tidak dapat menahan ketawanya, “hallo Mama,...aku dah lahir nih, gimana Ma? Aku nggak nangis kan? Aku kan laki-laki Ma, nggak boleh nangis.” Kata Jodha disela-sela ketawanya mau nggak mau membuat Jalal ikut tertawa karena merasa kalah berdebat dengan Inemnya.

Dengan cepat Jalal menggelitik pinggang Jodha yang sudah membuatnya kalah. Selalu saja kalau sudah berdebat dengan gadis itu, Jalal selalu kalah. Memang ya, perempuan itu SELALU BENAR. Karena perempuan itu emang tugasnya untuk ngomong dan laki-laki itu tugasnya untuk berpikir. Makanya laki-laki sering BENAR kalau sudah berpikir tetapi sering kalah kalau sudah berbicara dengan perempuan. Hahahaha.....(curhat nih)

Jodha yang digelitik pinggangnya refleks menggeliat nggak karuan, sambil tertawa geli bahkan nafasnya tersengal-sengal karena geli dan tertawa.

“Ampun Tuan, geli tau. Hahaha....” Jalal menggeleng, sambil terus mengelitik Jodha.

“Janji dulu nggak akan pernah ngomong kaya gitu lagi?” Jodha dengan cepat mengangguk.

“Iya, saya janji. Nggak akan ngomong kayak gitu lagi, tetapi ngomong yang lain lagi. hahaha...”

“Oh, masih menantang kamu rupanya.”

“Nggak kok Tuan, beneran. Suer.” Jalal akhirnya melepaskan gelitikannya dan memperhatikan gadis itu tersengal-sengal akibat tertawa karena kegelian. Jalal akhirnya tersenyum melihat gadis pujaannya bisa tertawa, dia akui tadi memang dia tidak benar-benar marah hanya ingin menggodanya seperti biasa.

“Gimana? Mau lagi?” Jodha menggeleng, sambil tertawa kecil.

“Nggak. Geli tau.”

“Makanya, jangan ngomong sembarang. Tau sendiri kan akibatnya.” Jodha mengibaskan tangannya di udara.

“Halah...bilang aja emang Tuan nggak bisa berdebat lagi. Ya kan?” Jalal mendengus kasar. Karena memang begitu adanya, “baiklah, aku akan membuktikan kalau Tuan juga bisa menangis.” Kata Jodha dengan mantap. Jalal menyipitkan matanya menatap Jodha.

“Caranya?” Jodha tersenyum miring.

“Tenang saja. Jangan panggil namaku Inem kalau tidak bisa membuat Tuan menangis. Masalah caranya tidak usah dipikirkan, yang penting menangiskan?” Jalal berpikir sebentar, lalu mengangguk.

“Hm...boleh deh. Kita lihat saja apa kamu sanggup bikin aku menangis.”

“Oke. Kalau saya menang saya dapat apa?” tantang Jodha. Kembali Jalal berpikir.

“Terserah. Kamu minta apapun akan aku berikan.”              

“Baiklah. Saya setuju.”

“Dan, kalau kamu kalah aku dapat apa?” tanya Jalal. Jodha tersenyum.

“Apapun yang Tuan inginkan, selama saya mampu akan saya berikan.” Jalal tersenyum.

“Deal.” Akhirnya mereka pun tertawa bersama.

Beberapa saat kemudian. Hening.

“Nem...” Jodha menoleh.

“Ya Tuan.”

“Aku laper.”

“Terus?” Jalal cemberut.

“Ya pengen makanlah. Apalagi?” Jodha terkekeh.

“Ternyata nggak sia-sia ya  tadi malam aku ngomong sama siapa itu namanya....? hm....oh iya Syehnaz kalau aku ini memang baby sitter Tuan. Hehehe....” Jalal diam menatap Jodha yang masih terkekeh sambil menunduk. Sadar tidak ada respon dari tuannya dia mendongak. Dia ikut terdiam.

“Nem...?”

“Ya..”

“Kamu...kamu suka laki-laki yang bagaimana?” Jodha mengerutkan keningnya.

“Kenapa Tuan bertanya seperti itu?” Jalal masih menatap Jodha membuat gadis itu sedikit berdebar dan merasa hampir tenggelam dalam pesona mata tuannya yang tajam itu.

“Jawab aja Nem. Kamu suka yang bagaimana? Dan apa selama ini ada yang sudah menyatakan cinta kepadamu?” Jodha mengalihkan pandangannya ke arah lain.

“Saya tidak berani mengatakan suka kepada laki-laki yang bagaimana Tuan, tapi saya hanya berharap bisa mendapatkan laki-laki yang cintanya seperti cinta Ayah kepada Ibu saya. Cinta yang tidak pernah luntur walaupun sudah tidak ada lagi orangnya hidup di dunia ini. Meski cara Ayah saya salah untuk melupakan cintanya kepada Ibu, tapi setidaknya dia memiliki kesetiaan yang tidak mudah goyah. Bahkan saat Ibu sakit, Ayahlah yang lebih banyak merawat Ibu. Ketika saya menanyakan hal itu kepada Ayah.....” Jodha berpaling ke arah Jalal, “Tuan tahu apa kata Ayah ketika itu?” Jalal menggeleng, “katanya cinta tidak hanya menerima disaat senang dan bahagia saja, tetapi cinta juga harus memberi disaat sakit dan sedih. Bertahun-tahun Ayah menerima cinta dan kebahagiaan dari Ibu Kamu, dan sekarang saatnya lah Ayah memberikan kebahagiaan juga kepada Ibu Kamu disaat dia tidak berdaya lagi. Setidaknya jika suatu saat penyakit itu membawa ibu kamu pergi, dia tidak akan pergi dengan sedih dan menyesal tetapi pergi dengan senyum bahagia.” Ucap Jodha dengan lirih. Dia menunduk.

Jalal mengangkat dagu Jodha. Gadis itu tersenyum.

“Tuan tenang saja, saya tidak menangis kok. Karena kata-kata itu selalu terngiang di telinga saya. Dan saya hanya berharap suatu saat saat akan mendapatkan seorang pengeran yang benar-benar bisa merebut hati saya.” Jodha melihat kearah Jalal, “mungkin saya terlalu sombong ya Tuan tentang diri saya.” Jalal menggeleng tetap tidak bersuara, “ah, kenapa jadi mellow begini ya.” Ucap Jodha sambil tertawa kecil, “katanya Tuan laper, ayo saya temani makan.” Ajak Jodha, namun Jalal masih belum bergerak.

“Nem..”

“Ya..”

“Aku yakin suatu saat kamu pasti akan menemukan laki-laki seperti yang kamu inginkan itu, dan aku juga berharap suatu saat kamu akan bahagia.” Ucap Jalal sambil tersenyum. Berat rasanya dia ingin mengungkapkan segala perasaannya saat ini. Padahal waktu dan keadaannya sangat mendukung, namun entah mengapa Jalal merasa kurang percaya diri. Rasanya seperti menelan ludah tetapi tersangkut di tenggorokan. Jodha ikut tersenyum.

“Iya Tuan, aamiinn.... saya harap Tuan juga bisa mendapatkan seseorang seperti yang Tuan inginkan saat ini. Meski saya tidak tahu siapa dia. Seseorang yang bisa membuat Tuan jatuh cinta yang sesungguhnya. Seseorang yang bisa merubah Tuan menjadi lebih baik lagi. Saya tahu tidak pantas buat saya berkata seperti ini, tetapi anggaplah ucapan ini sebagai ucapan seorang teman yang peduli bukan sebagai seorang bawahan kepada atasannya.” Jalal terkekeh. Dia menggenggam tangan Jodha. Jodha hanya diam saja.

“Tentu saja. Selama ini aku tidak pernah menganggapmu sebagai pembantu atau apalah, aku menganggapmu sebagai teman, bahkan lebih.” Jodha mengangkat sebelah alisnya.

“Benarkah?” Jalal mengangguk, “oh, so sweet.” Kata Jodha sambil terkekeh. Jalal segera menyentil dahinya membuatnya meringis, “ ih Tuan mah begitu, main sentil aja.” Katanya sambil mengusap-usap dahinya.

“Salahnya kamu kalau ngomong selalu meledekku.” Kata Jalal dengan sewot.

“Aciee...gitu aja marah. Jangan marah-marah Tuan, ntar gagal kencan lagi nih sama pujaan hati.” Goda Jodha sambil menyenggolkan bahunya ke bahu Jalal. Akhirnya Jalal hanya bisa tersenyum tipis.

“Udah ah, yuk kita makan. Aku sudah laper.” Ajak Jalal berdiri menarik tangan Jodha. Dan gadis itupun ikut berdiri. Mereka berdua akhirnya keluar dari kamar tersebut dan turun untuk makan. Sepanjang jalan Jalal merangkul bahu Jodha dengan santainya. Sebenarnya Jodha merasa risih diperlakukan seperti itu namun Jalal berkilah katanya sebagai teman dia harus mau dirangkul seperti itu. Akhirnya Jodha pun pasrah saja. Padahal tuan mudanya itu menahan senyum kebahagiaan karena bisa memeluk dirinya.

Awal yang bagus, meski baru sebagai teman tetapi mereka sudah bisa dekat seperti itu nanti lama-lama juga dia akan memberanikan diri untuk mengungkapkan segala perasaannya. Setidaknya saat ini Jalal ingin berusaha untuk memperbaiki citra dirinya dalam pandangan gadis itu. Dia tidak ingin Inemnya menganggap dia sebagai playboy lagi. Dan dia juga ingin menunjukkan kalau dirinya pantas untuk menjadi seseorang yang berarti dalam kehidupan gadis itu.

Sesampainya di meja makan, Jalal tertunduk lesu melihat makanan yang tersedia disana. Jodha menatapnya heran.

“Kenapa Tuan? Katanya tadi laper kenapa ekspresinya seperti itu?” Jalal memutar matanya.

“Kamu nggak liat apa isi masakannya.” Jodha memperhatikan semua yang ditunjukkan oleh tuan mudanya itu, “itu ada brokoli, itu juga ada, yang itu juga ada.” Katanya menunjuk beberapa menu yang terdapat brokoli. Jodha terkikik geli.

“Ya sudah, gimana kalau saya yang masakin buat Tuan.” Tawar Jodha sambil tersenyum, wajah Jalal langsung bersinar cerah.

“Boleh, oke deh kamu masak ya Nem. Ingat jangan sampai ada brokoli lagi.” Jodha mengangguk.

“Baiklah, tapi bantu saya ya biar cepet matang.” Senyum Jalal memudar, tetapi tidak lama kemudian dia tersenyum kembali. Bukankah ini kesempatan bagus untuk lebih dekat dengan Inemnya. Kapan lagi kan seharian ini mereka berdua terus.

“Oke, aku akan bantu.” Kata Jalal sambil beranjak dari duduknya dan melangkah masuk ke dapur. Jodha hanya tersenyum sambil menggelengkan kepalanya dan mengikuti langkah tuannya yang melangkah terlebih dahulu, “kita masak apa Nem?” tanya Jalal ketika melihat Jodha membuka kulkas dan mengeluarkan ayam, sekotak santan instan dan beberapa rempah masak lainnya. Jodha berpikir sejenak.

“Hm...kita memasak chicken braised in coconut milk Tuan.” Jalal berseru kagum.

“Wuiihh, kamu hebat Nem, bisa memasak masakan eropa. Namanya aja pakai bahasa Inggris”  Katanya sambil berdecak, sedangkan Jodha hanya tersenyum dikulum.

“Nggak hebat kok Tuan, biasa aja.”

“Tapi, itu hebat Nem. Jarang-jarang lo ada orang yang bisa membuat masakan seperti itu.” jodha hanya mesam-mesem saja.

“Ya sudah, jadi bantu nggak nih?” tanya Jodha mengalihkan rasa gelinya. Jalal kebingungan.

“Aku bantu apa Nem? Ini kan bukan kerjaan laki-laki.”

“Siapa bilang? Banyak tuh chef-chef yang yang laki-laki, dan mereka tidak merasa malu sedikitpun. Malah terlihat bangga. Dan menurut saya laki-laki bisa masak itu keren, macho dan ketampanannya meningkat beratus-ratus kali.” Kata Jodha berusaha mengompori majikannya. Dan sudah pasti hasilnya sangat memuaskan. Majikannya menjadi bersemangat mendengar ucapan dari Inemnya.

“Apa nih yang bisa aku bantu?” tanya Jalal bersemangat. Jodha menyodorkan bawang merah.

“Apa ini Nem?” tanyanya heran. Dipegangnya bawang merah tersebut sembari diputar-putar.

“Itu namanya bawang merah Tuan, caranya di kupas begini?” kata Jodha memperagakan cara mengupas bawang merah secara perlahan. Jalal mengangguk dan mulai mengupas bawang. Sementara Jodha membersihkan ayam dan menyiapkan bumbu lain.

Baru satu butir bawang merah yang di kupas oleh Jalal, matanya sudah terasa perih. Semakin ditahan semakin perih. Kemudian tanpa sadar jari-jarinya yang tadi memegang bawang tersebut di gosokkannya kematanya, alhasil matanya semakin perih dan mengeluarkan air mata.

“Nem, kok mataku perih? Kenapa bawang ini bisa bikin perih mataku sih?” Jodha menoleh kearah Jalal dan tersenyum.

“Ya ampun, kok sambil menangis begitu Tuan? Masa ngupas bawang merah aja bisa nangis? Segitu bahagianya membantu saya ya?” goda Jodha. Membuat Jalal mencak-mencak nggak karuan.

“Pokoknya kamu harus tanggung jawab, mataku jadi perih ini.” kata Jalal semakin menggosokkan matanya.

“Yeeayy,...akhirnya saya bisa membuat Tuan menangis. Ayo mana janjinya?”

“Janji apaan?” Jodha mencebikkan bibirnya.

“Katanya kalau aku bisa bikin Tuan menangis Tuan akan memberikan apapun yang aku minta. Dan sekarang aku menang, kenapa tuan jadi lupa janjinya?”

“Iya..iya...janjiku akan aku tepati, tetapi tolongin dong gimana nih mataku perih.” Jodha akhirnya merasa kasihan juga.

“Baiklah Tuan, sini saya bantu.” Ditariknya tangan tuan mudanya perlahan ke arah sink dan menyuruhnya untuk membilas wajahnya dengan air kran. Jalal pun menurut. Setelah membilas wajahnya beberapa kali akhirnya matanya tidak terasa perih lagi.

“Kamu sengaja ya bikin saya menangis seperti tadi?” tuduh Jalal, Jodha mengangguk dan melanjutkan pekerjaan tuan mudanya tadi mengupas bawang. Jalal hanya memperhatikan saja dengan berdiri agak jauh dari Jodha. “akalmu ada-ada saja.” Gerutu Jalal. Jodha tertawa.

“Loh, bukannya tadi terserah saya dengan cara apapun yang penting Tuan menangis. Ya kan?” ucap Jodha sambil memblender bumbu yang di gunakan untuk memasak ayamnya tadi. Jalal mendecak. Lagi-lagi dia kalah.

“Baiklah. Sekarang kamu mau minta apa?” kembali Jodha tersenyum.          

“Nanti saja Tuan. Ada saatnya saya akan menagihnya, yang penting sekarang Tuan berjanji akan mengabulkannya suatu saat nanti.”

“Baiklah, aku janji.” Jodha tersenyum puas.

Tidak memakan waktu lama, akhirnya masakan Jodha pun matang. Jalal mengerutkan keningnya melihat hasil masakan Jodha. Seperti mengingat-ngingat. Jodha hanya bisa tertawa tertahan melihat ekspresi tuan mudanya itu.

“Kok, aku seperti pernah melihat masakan ini Nem?” katanya ketika sudah terhidang di meja.

“Tentu saja. Ini namanya Opor Ayam kalau bahasa Indonesianya dan nama Inggrisnya chicken braised in coconut milk. Hehehe...” ucap Jodha tanpa rasa bersalah. Jalal hanya tersenyum masam karena sudah dikerjai oleh Inemnya.

“Bilang kek dari tadi kalau ini opor ayam, nggak usah pake gaya bahasa Inggris segala?” gerutu Jalal membuat Jodha tertawa lagi. Dia mengambilkan nasi untuk tuan mudanya dan juga opor ayam hasil masakannya tadi kemudian duduk disamping tuan mudanya seperti biasanya, “seperti dilayani istri.” Celetuk Jalal. Jodha senyum.

“Yeah, anggap saja kita latihan. Ya kan Tuan?” Jalal mengangguk, “bagaimana Tuan rasanya?”

“Enak juga Nem. Kamu memang pintar masak ya.” Puji Jalal tulus.

“Ada tuh caranya biar masakan saya lebih enak lagi Tuan. Bahkan masakan siapapun pasti enak. Saya jamin.” Kata Jodha tersenyum menyeringai.

“Caranya?”

“Gampang. Tuan tinggal jangan makan apapun selama dua hari selain minum air putih. Setelah itu jamin makanan apapun akan terasa enak di lidah Tuan. Hahahaha...” kata Jodha sambil tergelak. Jalal cemberut namun tetap melanjutkan makanya.

“Itu karena lapar bukan karena enak tau. Dasar Inem.” Gerutu Jalal. Jodha tersenyum melihat tuan mudanya makan dengan lahap. Dia hanya memandang Jalal makan dengan bertopang dagu. Pemandangan di depannya itu terlalu asyik untuk dilewatkan. Semakin hari rasanya Jodha semakin mengenal sisi lain tuan mudanya itu. Dia tidaklah seseram ucapannya yang sering menyakitkan hati, mungkin dia selama ini hanya merasa kesepian meski orang tuanya menyayanginya tetapi lebih sering dia lalui dengan kesendirian. Dan benar kata Bi Ijah, sekarang tuan muda itu lebih sering tersenyum dan tertawa sikapnya juga terasa lebih hangat. Ah, semoga akan selalu seperti ini. Jodha selalu berharap senyum tuan mudanya akan selalu berkembang seperti itu. Melihatnya saja Jodha merasa bahagia.

========0000========

Seminggu telah berlalu. Setelah meminta ijin dengan majikannya Jodha pergi kerumah Nadia dengan menumpang taksi, meski Bu Hamidah berulangkali menyuruhnya untuk menggunakan mobil yang ada dirumah itu namun di tolak oleh Jodha. Dia merasa tidak pantas. Dan hari ini Jodha tidak sempat pamitan dengan tuan mudanya karena tuan mudanya sudah berangkat duluan entah kemana.

Taksi yang membawa Jodha berhenti di depan rumah yang terlihat mentereng disebuah komplek perumahan elite, terlihat yang mempunyai rumah disitu bukanlah orang sembarangan. Hanya orang-orang yang mempunyai uang nganggur saja bisa membeli perumahan itu.

Jodha menekan bel. Tidak lama kemudian muncullah sosok yang selama ini dia rindukan.

“Jodhaaaa.....” teriak Nadia seraya memeluk Jodha dengan erat, “aku kira kamu tidak akan datang Jo karena ku pikir majikanmu tidak akan mengijinkanmu keluar.” Jodha terkekeh. Dia pun  membalas pelukan gadis itu. Gadis yang umurnya hampir sama dengannya namun dengan penampilan lebih tomboy dari Jodha. Kalau dilihat wajah dan perawakannya mirip artis Maudy Ayunda namun versi tomboynya. Meski rambutnya panjang sepunggung, kulitnya putih bersih dan matanya bersinar jenaka membuat siapa saja betah untuk menatap dan berbicara dengannya, termasuk Jodha.

“Nggak kok, aku kan sudah janji minggu kemarin mau datang. Dan masalah majikanku, tenang saja mereka sangat baik kok. Asalkan kita minta ijinnya baik-baik.”

“Syukurlah kalau begitu Jo.” kata Nadia melepas pelukannya.

“Abang mana? Kak Salima? Rahim? Ayah? Ibu?” tanya Jodha beruntun membuat Nadia memutar bola matanya.

“Perlu ya, dijawab pertanyaan itu?” kembali Jodha tertawa.

“Iyalah, kan aku sudah lama tidak bertemu.”

“Aku kira kamu tidak ingat lagi sama kami.” Ucap Nadia setengah merajuk.

“Nggak dong. Mana mungkin aku bisa lupa. Makanya sekarang aku datang kesini karena aku kangen.” Nadia menatap Jodha dengan tajam dan Jodha mengerti arti tatapan itu. dia tersenyum.

“Iya...iya...aku akan cerita. Tapi, pas ada Abang saja ya. Karena tidak ada siaran ulang.” Nadia cemberut.

“Sialan. Sombong bener sekarang ya, mentang-mentang sudah bekerja.” Jodha tertawa. Dia masuk kedalam rumah tanpa disuruh, karena memang dia sudah terbiasa seperti itu. Ya, itu adalah rumah orang tua angkat Jodha. Merekalah yang selalu mendukung Jodha meski lebih banyak mendukung secara tidak langsung, karena Jodha tidak akan mau menerima bantuan mereka yang bersifat materi. Katanya hanya akan membuatnya lemah dan tidak mandiri.

Di dapur Jodha melihat seorang wanita sedang mengatur meja makan ditemani oleh dua orang asisten rumah tangga. Dia menoleh ketika Jodha mendekatinya. Sinar kegembiraan nampak di wajahnya.

“Jodha... kamu kemana aja sayang? Kok lama tidak ada kabar beritanya.” Tanya Salima sambil memeluk erat Jodha.

“Panjang ceritanya Kak, nanti saja aku ceritanya.” Salima melepaskan pelukannya. “Abang sama Rahim mana?”

“Abang kamu masih di kantor, Rahim ikut Ayah sama Ibu keluar.” Jodha mengangguk.

“Kamu makan siang disini ya, sudah lama kamu tidak makan bareng disini.” Kembali Jodha mengangguk.

“Iya Kak. Boleh, aku juga sudah kangen dengan masakan Kakak.” Wanita anggun itu tertawa pelan.

“Hallo Abang. Cepat pulang. Ini Jodha sudah dirumah. Dia tidak mau cerita kalau Abang belum pulang.” Tiba-tiba saja Nadia masuk kedapur sambil menelpon Abangnya, “Oke, nggak pake lama ya keburu Jodha pulang. Nanti Abang tanggungjawab kalau dia belum cerita apa-apa gara-gara Abang.” Jodha dan Salima tertawa melihat Nadia yang berbicara tanpa rasa berdosa itu.

“Nanti kalau kerjaan Abang terbengkalai gimana Nad, kamu ini maksa banget sih? Aku kan belum pulang juga?” Protes Jodha. Nadia nyengir.

“Biarin. Kalau nunggu Abang pulang tepat waktu akan lama, dan aku sudah tidak sabar lagi ingin mendengar cerita.” Jawab Nadia dengan cuek. Jodha menggeleng melihat sahabatnya itu.

Tidak sampai setengah jam sejak Nadia Abangnya, terdengar suara deru mesin mobil berhenti di depan rumah. Nadia langsung sumringah. Dia beranjak ke dari tempat duduknya dan melangkah setengah berlari ke depan untuk membukakan pintu untuk abangnya. Namun, sebelum itu dia berhenti sejenak dan menoleh ke arah Jodha.

Nadia mendekatkan wajahnya kepada Jodha dengan tangan menunjuk, “kamu siap-siap menerima hukuman dari Abang. Karena kamu sudah membuat dia pusing selama kamu pergi tanpa kabar. Hehehe....” ucap Nadia sambil terkekeh dia berjalan dengan riang. Jodha hanya tersenyum meringis. Membayangkan Abangnya pasti marah kepadanya. Tapi, ya sudahlah. Gimana lagi semua sudah terjadi. Salima hanya tersenyum melihat keduanya.

Dan yang ditunggu-tunggu pun akhirnya muncul juga. Abang yang tunggu Nadia akhirnya muncul, seorang laki-laki bertubuh tinggi tegap berusia sekitar 30-an memakai pakaian dinas TNI Angkatan Darat. Berkulit coklat khas Indonesia, wajahnya nampak berwibawa dengan tatapan tajam mengintimidasi menatap Jodha dengan wajah garang. Sementara dibelakangnya Nadia terkikik geli sambil menutup mulutnya. Jodha hanya bisa tersenyum meringis merasa bersalah.

“Masih ingat juga kamu dengan kami? Abang pikir kamu sudah lupa?” sindir laki-laki itu. Jodha menggaruk kepalanya. Dia bangkit dari duduknya dan menghampiri Abangnya.

“Eh, ada Abang Bayu. Apa kabar Bang? Kapten kita makin cakep aja nih.” Rayu Jodha menatap geli Abangnya sambil merangkul lengan laki-laki itu. Kembali Nadia dan Salima tertawa melihat Jodha merayu Abangnya agar tidak marah. Jodha melirik kebelakang ke arah Nadia, dan dia mengucapkan kata “MAMPUS” tanpa suara dan Jodha hanya bisa nyengir tanpa bisa membalas.

“Nggak usah banyak ngomong, cepat bilang kenapa kamu tidak pernah memberi kabar kepada kami selama ini? Abang cari kerumah kamu tidak ada, bahkan rumah kamu selalu tertutup. Kemana aja kamu selama ini hah?” bentak Bayu. Jodha tahu kalau abangnya itu tidak benar-benar marah, tetapi lebih kepada khawatir tentang dirinya.

“Yee...Abang. Sabar dulu napa? Ganti pakaian dulu sana biar santai, aku jadi merasa tersanjung nih cerita di dengar sama Abang dengan pakaian dinas. Berasa jadi informan.” Bayu mendecak.

“Kamu tuh ya, sudah bikin kami serumah khawatir tau.” Kata Bayu sembari menyentil hidung Jodha. Tangannya yang kekar merangkul bahu gadis itu yang hanya sebahunya saja. Jodha terkekeh.

“Aku tau Bang. Maaf ya dah bikin Abang sekeluarga khawatir. Tapi, tenang aja aku kan bisa menjaga diri Bang. Tidak ada yang bisa melawan preman kayak aku ini.” kata Jodha dengan bangga.

“Jangan sombong, bagaimanapun kamu ini wanita, sekuat-kuatnya kamu tetap akan lebih kuat lagi laki-laki, apalagi sekarang kamu pasti tidak pernah berlatih lagi.” Jodha nyengir.

“Eh, iya Bang. Abang tau aja.” Bayu mendengus.

“Udah kelihatan dari muka kamu.” Jodha terkekeh, “ya sudah, Abang ganti baju dulu. Habis makan kamu cerita biar santai.”

“Oke Bang. Siap Kapten.” Kata Jodha sambil berdiri menghormat. Bayu tersenyum sambil mengacak rambut Jodha. Diapun melangkah menuju kamarnya untuk berganti pakaian. Jodha bergabung dengan Salima dan Nadia duduk menunggu Bayu turun dari kamarnya untuk makan bersama.

Tidak lama kemudian Bayu pun turun dan bergabung dengan mereka, dan mereka pun makan dalam diam. Hanya terdengar dentingan sendok garpu yang beradu diatas piring. Begitulah tata tertib makan bersama dirumah Nadia.

Bayu adalah kakak kandung dari Nadia. Ayah mereka adalah pensiunan Letnan Jenderal TNI AD, dan sekarang profesi itu di lanjutkan oleh Bayu yang sekarang dengan pangkat Kapten. Sedangkan Salima adalah istri dari Bayu dan berarti juga kakak ipar Nadia. Mereka mempunyai seorang anak laki-laki yang bernama Rahim yang masih berusia 5 tahun.

Jodha merasa beruntung bisa masuk dalam keluarga besar Nadia, banyak pengalaman dan motivasi yang dia dapatkan selama dia mengenal keluarga angkatnya yang secara tulus menerimanya dengan tangan terbuka. Bahkan mereka tidak pernah meremehkan kehidupan Jodha dan ayahnya yang berantakan. Justru setiap kali Jodha mendapat masalah, dikeluarga inilah dia selalu mendapatkan dukungan.

Setelah makan siang bersama, mereka berkumpul di ruang keluarga. Jodha pun akhirnya menceritakan semua kejadian yang dia alami sejak dia di usir oleh ayahnya, di ajak kerja di rumah rektornya sendiri, dan pertemuannya dengan Adam dulu.

Bayu nampak manggut-manggut mendengar ucapan  Jodha, begitu pun Nadia dengan Salima. Tidak banyak yang mereka ucapkan.

“Terus, kenapa kamu tidak langsung kesini Jo?” tanya Salima akhirnya.

“Saat itu aku bingung Kak, juga merasa sedih. Mungkin seandainya aku tidak ketemu dengan Bu Hamidah waktu itu, aku juga akan kesini.”

“Sekarang kamu nggak mau tinggal disini Jo?” tanya Nadia dengan wajah cemberut. Jodha tertawa. Dirangkulnya Nadia yang duduk disamping.

“Bukan nggak mau Nad, aku kan juga ingin mandiri. Ingin merasakan kerja sendiri. Nanti juga aku akan sering-sering main kesini.”

“Selalu saja alasannya seperti itu. Lagian kalau kamu disini aku kan ada teman, kita bisa latihan bareng, berangkat kuliah bareng, dan kita bisa hang out bareng.” Kata Nadia asal nyeplos.

“Ehem...ehem...” terdengar suara deheman yang menyadarkan perkataan Nadia. Jodha hanya terkikik geli.

“Jadi kamu ingin hang out ya Nad?” tanya Bayu sambil mendelik tajam ke arah adiknya. Nadia hanya cengengesan mendapat delikan dari Abangnya.

“Nggak kok Bang, maksudku biar Jodha mau tinggal disini.” Memang Bayu termasuk Abang yang posesif dan protective untuk urusan adiknya. Termasuk kepada Jodha yang sudah dianggapnya sebagai adik sendiri. Jodha terkekeh.

“Nggak ada gunanya kegiatan seperti itu. Mending kamu lanjutin latihan kamu daripada melakukan kegiatan yang tidak ada manfaatnya.” Ucap Bayu dengan tegas. Tidak ada kata lain buat Nadia membantahnya selain mengiyakan saja.

Hari beranjak sore, saatnya untuk Jodha kembali ketempat majikannya. Seharian ini Jodha merasa bahagia bertemu kembali dengan keluarga angkatnya. Bahkan sebelum dia pulang disudah diberikan oleh-oleh berupa wejengan dari kedua orang tua angkatnya. Bahkan Bayu yang mengantarkannya pulang pun ikut menceramahinya sepanjang jalan. Dan sekali lagi, tidak ada yang bisa diucapkan Jodha selain mengiyakan saja, sama halnya dengan Nadia.

Setibanya di rumah Bu Hamidah, rumah masih nampak sepi. Hanya ada Bi Ijah dan Mang Diman. Majikannya belum ada yang datang semua, dan Jodha pun bersyukur akan hal itu setidaknya dia tidak akan merasa tidak enak karena datang terlambat. Bahkan tuan mudanya pun belum nampak batang hidungnya.

=======0000=======

Setelah berbicara dengan Bu Hamidah dan meminta ijin setiap hari minggu dia pergi kerumah keluarga angkatnya, majikannya itu mengijinkan asalkan semua kerjaannya sudah beres. Tentu saja Jodha menyanggupinya. Dan begitulah setiap hari minggu Jodha pergi kerumah orang tua angkatnya tanpa sepengetahuan tuan mudanya.

Minggu pertama dan kedua, Jalal masih bisa memakluminya namun minggu-minggu berikutnya Jalal yang penasaran pun akhirnya bertanya. Namun Jodha tidak pernah mau memberitahukan kemana tujuannya. Bahkan terkadang Jalal yang terlebih dahulu tiba dirumah dibandingkan Jodha. Jalal merasa sedikit kehilangan, padahal dia menginginkan bisa menghabiskan waktu seharian bersama Inemnya pada hari minggu.

Sampai suatu hari minggu ketika Jalal sore itu sedang duduk dibalkon kamarnya, dia melihat sebuah mobil jeep berhenti di depan rumahnya. Pagar rumahnya yang tidak terlalu tinggi membuatnya bisa melihat siapa yang datang, dan Jalal bisa melihat Inemnya turun dari mobil jeep tersebut bersama seorang laki-laki yang duduk di belakang kemudi.

Sesaat kemudian laki-laki itu memeluk Jodha dengan erat dan mencium keningnya, sebelum pergi malah dia mengelus rambut gadis itu dengan sayang. Jalal yang melihat semua adegan itu hanya bisa memandang dalam diam.

Siapa dia? Siapa laki-laki yang sudah memeluk gadis pujaannya itu? apakah Inemnya sudah punya seseorang dihatinya? Apalagi bila dilihat dari postur tubuh laki-laki itu yang tegap, menambah nilai lebihnya dimata Jalal. Rasa apa ini? inikah yang dinamakan cemburu? Rasa membuat ingin marah ketika melihat orang kau cintai sedang dipeluk oleh laki-laki lain? Ya, rasanya ingin marah dan marah.

Jalal hanya terduduk lemas. Hilang sudah harapannya untuk meraih hati gadis itu. Tiba-tiba saja dia menjadi minder dengan dirinya sendiri. Apa yang bisa dia bangggakan kepada gadis itu? ketampanannya kah? Huh, masih banyak yang lebih tampan darinya. Ataukah kekayaannya? Bisa jadi laki-laki tadi lebih kaya darinya. Nyatanya Inemnya tersenyum bahagia di peluk oleh laki-laki tadi. Jalal merasa sesak dalam dadanya. Inikah namanya patah hati? Dia bahkan belum mengungkapkan perasaannya. Ya, patah hati sebelum ditolak. Kalian tahu apa rasanya. SAKIT dan NYESEK.


===TBC===

Tidak ada komentar:

Posting Komentar