Hari Minggu.
Pagi-pagi Jodha sudah melakukan rutinitasnya seperti biasa. Berhubung hari
minggu jadi dia lebih banyak waktunya kosong dan sepertinya majikannya Bu
Hamidah tidak pergi kemana-mana. Sedangkan Pak Humayun sedang berada diluar
kota.
Seperti
biasa saat sarapan pun masih tetap di jam yang sama, namun mereka hanya berdua
saja. Jalal nampak belum turun dari kamarnya. Jodha ingin menanyakan tentang
tuan mudanya namun sungkan. Dia hanya menikmati sarapannya dengan diam,
sedangkan Bu Hamidah juga sepertinya sedang asyik sendiri. Sampai akhirnya Jodha
pun tidak sabar ingin mengetahui keadaan tuan mudanya itu, bagaimana pun juga
dia ikut andil atas penderitaan laki-laki itu.
“Mm...bagaimana
keadaan Tuan Muda Bu?” akhirnya Jodha bertanya juga. Bu Hamidah tersenyum.
“Sepertinya
baik Jo. Kenapa?” Jodha menggeleng dan tertunduk.
“Tidak
apa-apa Bu, saya hanya merasa bersalah saja. Harusnya Tuan tidak seperti itu.
ini semua gara-gara saya.”
“Tidak usah
merasa bersalah gitu Jo, sebagai laki-laki itu hal yang wajar kok Ibu rasa.
Lagian kan nggak parah-parah amat tuh. Sesekali wajah anak Ibu di bikin bonyok
nggak apa-apa kok, masa ganteng terus.” kata Bu Hamidah sambil tergelak. Jodha
hanya bisa melongo. Baru kali ini dia melihat seorang ibu begitu senang anaknya
babak belur. Jodha hanya bisa menggeleng dalam hati.
“Kenapa Ibu
sepertinya tidak sedih sama sekali melihat Tuan Muda begitu?” tanya Jodha
dengan rasa penasarannya. Kembali Bu Hamidah tersenyum.
“Siapa sih
orang tua yang senang anaknya di hajar seperti itu? nggak ada Jo. Hanya saja,
dengan begitu Jalal akan bisa menjadi lebih dewasa. Dari kecil dia sudah biasa
dihormati dan dilayani, tidak ada yang bisa membantah keinginannya. Tetapi
sekarang dia berani berkelahi untuk membela kamu. Itu artinya dia sudah mau
berjuang untuk mendapatkan keinginannya meski itu sulit.” Jodha terdiam
mencerna perkataan majikannya itu. Bu Hamidah hanya tersenyumnya, “coba kamu
bangunkan Jalal, Jo. Masa jam segini masih tidur aja. Mentang-mentang hari
libur.” Jodha berpikir sebentar. Ada rasa sungkan dihatinya memasuki kamar
majikan mudanya itu sendirian.
“Tapi
Bu,...” Bu Hamidah menatap Jodha yang nampak ragu-ragu.
“Tapi apa..?”
“Ng...saya
nggak enak Bu masuk kamar Tuan sendirian.” Bu Hamidah tertawa.
“Emang kamu
mau ngapain disana?” wajah Jodha memerah karena malu, “sudah, sana bangunin.
Lagian kalau di macam-macam hajar aja.” Kata Bu Hamidah tersenyum lebar.
“Baik Bu.”
Akhirnya Jodha pun menuruti keinginan Bu Hamidah untuk membangunkan tuan
mudanya itu.
Sesampai di
depan pintu, dengan ragu-ragu dia mengetuk. Tetapi tidak ada jawaban, sampai
berulangkali dia berbuat seperti itu. Akhirnya dengan nekat dia membuka pintu
kamar tuannya. Nampaklah Jalal sedang terlelap dengan wajahnya yang masih
terlihat lebam. Namun masih terlihat tampan meski di sana sini masih membiru.
“Tuan...Tuan....”
panggil Jodha. Namun, Jalal masih tidak bergeming. Jodha mendekati tuan mudanya
berniat ingin mengguncang bahunya. Tapi, ternyata dia mengerutkan keningnya
melihat butiran keringat muncul di dahinya. Padahal pendingin udara masih
hidup.
Dengan
tangan gemetar dia menempelkan telapak tangannya di dahi tuan mudanya itu,
sebentar kemudian dia kaget karena dahi tuan mudanya itu panas. Pantas saja
dahinya berkeringat.
Dengan
segera Jodha keluar dan turun dari kamar tuan mudanya untuk memberitahukan hal
itu kepada majikannya Bu Hamidah. Ternyata majikannya sudah tidak ada di ruang
makan. Hanya ada Bi Ijah sedang membereskan bekas sarapan majikannya.
“Bi, Ibu
kemana?” tanya Jodha dengan nafas ngos-ngosan. Bi Ijah melihatnya dengan heran.
“Kamu kenapa
Jo?” Jodha menelan ludah dengan susah payah.
“Tuan Muda
badannya panas Bi. Gimana ini? Aku takut ini akibat tadi malam.” Bi Ijah kaget.
“Tuan sakit
Jo?” Jodha mengangguk.
“Makanya aku nyari Ibu Bi.”
“Waduh, Ibu
baru aja keluar sama Mang Diman Jo habis dapat telepon dari temannya katanya.”
Jodha menepuk dahinya.
“Gimana ini
Bi? Aku bingung. Apa kita telpon Ibu dan panggilin dokter?” tanya Jodha dengan
panik.
“Kita telpon Ibu saja Jo, mungkin kita dapat
solusinya.” Jodha pun akhirnya mengangguk.
Dengan
segera Jodha menelpon majikannya dan mengatakan kalau tuan mudanya badannya
panas. Selesai menelpon majikannya Bi Ijah menatap Jodha dengan penuh tanda
tanya.
“Gimana Jo?
Apa kata nyonya?” Jodha menghela nafas panjang.
“Disuruh
ngompres katanya, sekalian bikinin bubur setelah itu disuruh minum obat yang
dikasihkan oleh dokter tadi malam.” Bi Ijah mengangguk.
“ Ya udah
kalau begitu, kamu kerjain perintah Nyonya tadi Jo.” Jodha mengangguk.
“Iya Bi.”
Dengan
segera Jodha mengambil air hangat dan handuk untuk mengompres tuan mudanya,
sedangkan Bi Ijah membuat bubur untuk dimakan nanti.
Sesampainya
di kamar Jalal, Jodha segera duduk di pinggir tempat tidur dan menempelkan
handuk basah di dahi majikan mudanya.
Jalal membuka
matanya perlahan ketika dia merasa ada sesuatu yang menempel di dahinya.
Pandangannya tertumbuk pada wajah tegang milik Inemnya yang sepertinya sedang
gelisah melihatnya. Jalal sedikit menarik sudut bibirnya ke atas melihat
pemandangan itu. Ada rasa senang ketika melihat gadis itu terlihat mencemaskan
dirinya.
“Tuan nggak
apa-apa?” tanya Jodha, dia nampak cemas.
“Aku kenapa
Nem?” Jalal balik nanya, dia memegang handuk basah di kepalanya.
“Tuan tadi
badannya panas. Saya cemas. Mungkin ini akibat tadi malam?” Jalal malah
tersenyum.
“Benarkah
kamu cemas sama aku?” Jodha mengangguk cepat. Kembali Jalal tersenyum jahil.
“Kalau gitu
hari ini kamu temani aku ya. Aku beginikan gara-gara membela kamu. Ya kan?”
kata Jalal tersenyum penuh modus. Jodha yang polos hanya bisa mengangguk karena
dia merasa bersalah juga.
“Baiklah
Tuan, saya akan menemani Tuan hari ini.” Jalal kembali tersenyum puas.
“Bagus. Aku
pegang janjimu.”
“Iyaaaa
Tuan.”
Jalal
memejamkan matanya, namun bibirnya tersenyum senang. Ah, kalau begini akan
menyenangkan di temani Inem. Meskipun harus sakit dulu tidaklah mengapa buat
Jalal. Dia merasakan Inem mengganti handuk kompres di dahinya. Membenarkan selimutnya. Kemudian
bangkit mematikan AC dan membuka jendela kamar agar sirkulasi udara lancar.
Tidak lama
kemudian Bi Ijah datang mengantarkan bubur buat majikannya dan meletakkannya di
nakas dekat tempat tidur tuan mudanya.
“Ini Jo,
udah bibi bikinkan buburnya.” Jodha melangkah mendekati Bi Ijah.
“Tapi, Tuan
sedang tidur Bi. Nggak enak aku membangunkannya.” Kata Jodha seraya
memperhatikan tuan mudanya yang tertidur.
“Tapi, ini
nggak enak dimakan dingin Jo. Nggak apa-apa dibangunkan sekarang aja sekalian
minum obatnya.” Jodha diam beberapa saat sampai akhirnya dia mengangguk.
“Iya deh Bi,
aku bangunkan.”
“Ya sudah
kalau begitu Bibi keluar dulu ya.”
“Iya Bi.”
“Bi Ijah pun
segera keluar dari kamar Jalal. Sementara Jodha duduk kembali di pinggir tempat
tidur dan membangunkan tuan mudanya.
“Tuan...Tuan....bangun
sebentar.” Jodha menggoyangkan pelan tangan Jalal.
Jalal
membuka matanya.
“Apa sih
Nem? Kenapa dibangunkan lagi. Dingin tau.” Omelnya sambil meringkuk di dalam
selimut. Jodha hanya bisa menggeleng. Sakit aja tuan mudanya masih bisa
mengomelinya apalagi saat sehat.
“Tuan makan dulu
ya, habis itu minum obat, baru setelah itu Tuan tidur lagi. Mau ya?” bujuk
Jodha. Jalal menggeleng.
“Nggak mau.
Mulutku rasanya pahit.”
“Pantesan
keluar kata-kata beracun.” Gumam Jodha.
“Apa kamu
bilang?” tanya Jalal sambil melotot. Jodha menggeleng sambil tersenyum.
“Nggak
apa-apa Tuan. Ayolah, makan dikiiit aja ya dan minum obat biar mulutnya nggak
pahit lagi.” Jalal akhirnya menghela nafas.
“Ya sudah.
Tapi suapin. Badanku rasanya remuk
semua. Sakit untuk digerakin.” Jodha terkekeh.
“Yaaahh, gimana
mau jadi jagoan kalau sekali tendang aja udah langsung sakit begini.” Jalal
sewot.
“Aku kan
nggak pernah berkelahi Nem. Jadi wajar aja jadi begini.” Jodha tersenyum. Dia
sègera membenarkan bantal tuan mudanya agar pemuda itu bisa duduk bersandar. Jalal
yang merasakan aroma khas dari tubuh Jodha karena begitu dekatnya dia merasakan
ketenangan, bahkan mencium aroma parfumnya saja membuat hati bahagia.
Perlahan
Jodha menyendokkan bubur tersebut dan meniupnya sebentar sebelum menyuapkan
kepada tuan mudanya. Begitu berulang kali dengan telatten. Jalal memperhatikan
itu semua dengan seksama. Bahkan Jalal merasa beruntung bisa sakit dan di
layani oleh Inem.
Tidak terasa
bubur itu pun habis, Jodha tersenyum senang walaupun tuan mudanya itu harus
dibujuk seperti anak kecil dulu untuk makan. Jodha kemudian memberikan obat
yang diberikan oleh dokter tadi malam dan Jalal pun beringsut duduk untuk
meminum obat, kemudian berbaring kembali.
“Nah,
sekarang Tuan tidur lagi ya.” Kata Jodha kembali membenarkan selimut tuan mudanya.
Sedangkan Jalal memperhatikan segala gerak gerik Jodha dengan matanya.
“Kamu mau
kemana?” tanya Jalal ketika Jodha sudah bersiap-siap ingin keluar dari kamar.
Jodha menatapnya bingung.
“Mau keluar
Tuan. Kenapa?”
“Disini
saja. Temani aku. Katanya mau menemaniku hari ini?” Jodha mikir sebentar.
“Tapikan
Tuan harus tidur. Masa saya harus menemani Tuan tidur disini dan nggak
ngapa-ngapain?” Jalal tersenyum.
“Sini. Duduk
sini.” Katanya melambaikan tangan memanggil Jodha untuk duduk di pinggir tempat
tidur dekat kepalanya. Jodha terpaksa mendekat dan duduk seperti permintaan tuannya.
Tangan Jodha dipegang oleh Jalal dan telapak tangan itu di taruhnya di dahinya
sendiri, “biasanya kalau aku sakit mama selalu nyanyikan aku lagu pengantar
tidur, sekarang karena mama nggak ada dan aku sakit juga juga karena kamu makanya kamu harus nyanyikan untukku.” Ucap
Jalal sambil tersenyum. Tangannya masih menggenggam tangan Jodha yang berada di
atas dahinya itu.
“Saya harus
nyanyikan apa Tuan?” jawab Jodha bingung. Jalal mengendikkan bahunya.
“Terserah
kamu saja, yang penting bisa buat aku tertidur.” Jodha berpikir sejenak, dan
mengangguk.
“Baiklah,
semoga suara saya bukan malah bikin Tuan susah tidur ya kalau nggak enak.”
Jalal tertawa kecil.
“Nggak akan
Nem, dan satu lagi kamu harus tetap disini sampai aku terbangun.” Jodha
mendengus kesal.
“Terus saya
ngapain disini sementara Tuan tidur?”
“Terserah.”
“Kalau
ketahuan Ibu nanti gimana Tuan. Nanti beliau marah sama saya.” Jalal terkekeh.
“Tidak akan.
Aku jamin.”
Jodha
menghela nafas panjang, kemudian menganggguk.
“Baiklah
Tuan.” Jalal kembali tersenyum.
Jodha
menarik nafas panjang sebelum bernyanyi dan mengalunlah dari bibirnya lagu Soja Mere Kanhaiya. Jalal memperhatikan
bibir Jodha yang terus bergerak menyanyikan lagu tersebut. Suaranya lumayan
juga, betah untuk di dengar. (saya juga bisa Bang nyanyikan lagu tidur untuk
Abang, saya jamin Abang akan langsung tertidur juga tetapi tertidur selamanya. Hahahaha....#plak
tepuk jidat authornya)
Entah karena
pengaruh obat atau karena lagu pengantar tidur akhirnya Jalal tertidur juga.
Jodha menghela nafas melihat tuan mudanya sudah tertidur. “kalau begini aku
memang benar-benar baby sitter namanya.” Gumam Jodha sambil tertawa pelan.
Diperhatikannya
baik-baik wajah tuan mudanya yang seringkali membuatnya kesal. Tapi kalau sudah
begini wajahnya nampak mempesona, begitu damai. Tak salah memang kalau dia
berjuluk playboy. Hati Jodha berdesir ketika perlahan jarinya menelusuri setiap
inchi wajah majikannya. Dia tahu kalau dia sudah bertindak kurang ajar, namun
jangan salahkan pikirannya yang tidak menyuruh berhenti. Salahkan hati dan
tangannya yang masih penasaran. Siapa coba yang tadi menyuruhnya memegang dahinya,
jadinya kan tangan Jodha jadi ketagihan ingin megang lagi dan lagi.
Hahahaha......
Satu jam
sudah berlalu, tetapi tuan mudanya masih terlelap tidur. Main ponsel sudah
puas, melihat-lihat kamar tuannya juga sudah bosan. Jodha bingung mau ngapain.
Rasanya ingin dia tinggalkan saja tetapi dia sudah janji akan menemani tuannya
sampai terbangun, selain itu lebih karena tanggungjawabnya saja. Akhirnya dia
duduk dilantai dan menyandarkan tubuhnya
di sisi tempat tidur, lama kelamaan dia mengantuk juga dan akhirnya tertidur
menyusul tuan mudanya.
Selepas
siang Jalal terbangun. Badannya terasa lebih segar dan lebih baik meski
wajahnya masih terasa agak sakit dan bengkak. Perlahan dia turun dari tempat
tidur untuk mandi dan membersihkan diri. Tidak enak bajunya terasa lengket oleh
keringat. Tapi, begitu kakinya menyentuh lantai, matanya tertumbuk pada sosok
yang tertidur di lantai bersandar pada ranjangnya.
Jalal
teringat sebelum tidur tadi menyuruh Inemnya untuk menungguinya tidur sampai
dia terbangun. Dia tersenyum melihat Inemnya tidur. Bergegas dia masuk ke kamar
mandi untuk membersihkan diri dan dengan buru-buru dia keluar dari kamar mandi
dan berpakaian. Setelah siap dia duduk disamping Jodha bersandar di pinggir
ranjangnya. Perlahan kepala Jodha dia sandarkan di bahunya dan diapun hanya
duduk diam menunggu gadis itu bangun. Tidak lupa dia mengabadikan keadaan
mereka berdua seperti itu menggunakan kamera ponselnya. Jalal tersenyum senang
dan dia menikmati moment itu. Kapan lagi bisa berduaan begini dalam keadaan
biasa, bisa-bisa dia ditertawakan habis-habisan oleh Inem.
Setengah jam
berlalu, Jodha terbangun dan membuka matanya, kemudian dia menggeliat dengan
enaknya. Belum selesai dia menggeliat dan menurunkan tangannya, dia terkejut
saat tidak sengaja melihat kesamping. Tuan mudanya sedang menatapnya dengan
tajam. Dia tersenyum meringis karena merasa bersalah.
“Tuan sudah
bangun ya?” tanya Jodha basa-basi, “maaf saya ikut ketiduran.”
“Siapa suruh
kamu ikut tidur hah? Aku kan nyuruh kamu nungguin bukan ikut tidur.” Bentak
Jalal. Wajah Jodha langsung berubah, tiba-tiba saja dia ikutan emosi. Jalal
yang melihatnya ingin tertawa sekencang-kencangnya melihat pancingannya
berhasil. Senangnyaaa.....
“Eh Tuan,
denger ya. Sudah syukur saya menuruti keinginan Tuan untuk menungguin Tuan
tidur meskipun akhirnya saya ketiduran juga. Itu karena saya tidak punya
kerjaan apa-apa sambil menunggu Tuan tidur. Dan sekarang malah membentak, dasar
tidak tahu terima kasih. Tahu gitu sudah saya tinggalin dari tadi.” Ucap Jodha agak
keras. Dia tidak perduli kalau tuan mudanya itu semakin marah padanya. Dia
bangkit dan berdiri bermaksud melangkah ingin meninggalkan tuan mudanya yang
kembali rese itu.
“Mau
kemana?” tanya Jalal memegang tangan Jodha.
“Keluar.”
Jawabnya dengan ketus. Jalal tersenyum.
“Katanya
berjanji ingin menemaniku seharian Nem, masa sekarang kamu tinggalkan begitu
aja sih?”kata Jalal dengan lembut. Jodha
masih cemberut.
“Salahnya
Tuan selalu saja membuat hati saya kesal, nggak bisa ya Tuan kalau ngomong itu yang
manis dan enak di dengar jadinya yang diajak bicara itu tidak merasa terpaksa
dan dengan senang hati melayani keinginan Tuan.” Keluh Jodha tanpa sadar air
matanya menetes perlahan karena emosi
yang menggumpal namun tidak bisa di keluarkan. Jalal menjadi iba dan
merasa bersalah, tidak biasanya begini. Biasanya dia melawan tapi tanpa air
mata. Apa memang kali ini dia yang terlaluan?
“Iya Nem,
maaf ya. Sudah, duduk disini lagi. Jangan nangis dong.” Kata Jalal menarik tangan Jodha untuk
duduk kembali disampingnya, Jodha menghapus air matanya dengan kasar dan duduk
disamping tuan mudanya, “susah ya jadi perempuan dikit-dikit nangis, liat film
sedih nangis, liat orang nangis juga ikut nangis, apa-apa nangis.” Goda Jalal.
Reflek Jodha menatap Tuannya dengan tajam.
“Siapa
bilang cuma perempuan saja yang suka menangis, laki-laki pun banyak menangis,
Cuma gengsi aja untuk mengakuinya.” Ejek Jodha.
“Aku nggak
kok.” Sahut Jalal dengan cepat.
“Apa Tuan
tidak pernah menangis?” Jalal menggeleng, “yang bener?” Jalal mengangguk, “saya
tidak percaya.”
“Ya terserah
sih kalau tidak percaya.”
“Seumur
hidup tidak pernah menangis?” Jalal mengangguk lagi, “BO-HONG.” Jalal mengendikkan bahunya.
“Terserah
sih. Aku kan nggak maksa kamu percaya.”
“Emangnya
Tuan ketika lahir nggak nangis? Oh, berarti Tuan ketika lahir langsung ketawa
atau lagi bengong liatin orang-orang yang ada ditempat Ibunya Tuan melahirkan
ya? Hahahaha....” kata Jodha dengan tidak dapat menahan ketawanya, “hallo
Mama,...aku dah lahir nih, gimana Ma? Aku nggak nangis kan? Aku kan laki-laki
Ma, nggak boleh nangis.” Kata Jodha disela-sela ketawanya mau nggak mau membuat
Jalal ikut tertawa karena merasa kalah berdebat dengan Inemnya.
Dengan cepat
Jalal menggelitik pinggang Jodha yang sudah membuatnya kalah. Selalu saja kalau
sudah berdebat dengan gadis itu, Jalal selalu kalah. Memang ya, perempuan itu
SELALU BENAR. Karena perempuan itu emang tugasnya untuk ngomong dan laki-laki
itu tugasnya untuk berpikir. Makanya laki-laki sering BENAR kalau sudah
berpikir tetapi sering kalah kalau sudah berbicara dengan perempuan. Hahahaha.....(curhat
nih)
Jodha yang
digelitik pinggangnya refleks menggeliat nggak karuan, sambil tertawa geli
bahkan nafasnya tersengal-sengal karena geli dan tertawa.
“Ampun Tuan,
geli tau. Hahaha....” Jalal menggeleng, sambil terus mengelitik Jodha.
“Janji dulu
nggak akan pernah ngomong kaya gitu lagi?” Jodha dengan cepat mengangguk.
“Iya, saya
janji. Nggak akan ngomong kayak gitu lagi, tetapi ngomong yang lain lagi. hahaha...”
“Oh, masih
menantang kamu rupanya.”
“Nggak kok
Tuan, beneran. Suer.” Jalal akhirnya melepaskan gelitikannya dan memperhatikan
gadis itu tersengal-sengal akibat tertawa karena kegelian. Jalal akhirnya tersenyum
melihat gadis pujaannya bisa tertawa, dia akui tadi memang dia tidak
benar-benar marah hanya ingin menggodanya seperti biasa.
“Gimana? Mau
lagi?” Jodha menggeleng, sambil tertawa kecil.
“Nggak. Geli
tau.”
“Makanya,
jangan ngomong sembarang. Tau sendiri kan akibatnya.” Jodha mengibaskan
tangannya di udara.
“Halah...bilang
aja emang Tuan nggak bisa berdebat lagi. Ya kan?” Jalal mendengus kasar. Karena
memang begitu adanya, “baiklah, aku akan membuktikan kalau Tuan juga bisa
menangis.” Kata Jodha dengan mantap. Jalal menyipitkan matanya menatap Jodha.
“Caranya?”
Jodha tersenyum miring.
“Tenang
saja. Jangan panggil namaku Inem kalau tidak bisa membuat Tuan menangis.
Masalah caranya tidak usah dipikirkan, yang penting menangiskan?” Jalal
berpikir sebentar, lalu mengangguk.
“Hm...boleh
deh. Kita lihat saja apa kamu sanggup bikin aku menangis.”
“Oke. Kalau
saya menang saya dapat apa?” tantang Jodha. Kembali Jalal berpikir.
“Terserah. Kamu minta apapun akan aku
berikan.”
“Baiklah.
Saya setuju.”
“Dan, kalau
kamu kalah aku dapat apa?” tanya Jalal. Jodha tersenyum.
“Apapun yang
Tuan inginkan, selama saya mampu akan saya berikan.” Jalal tersenyum.
“Deal.”
Akhirnya mereka pun tertawa bersama.
Beberapa
saat kemudian. Hening.
“Nem...”
Jodha menoleh.
“Ya Tuan.”
“Aku laper.”
“Terus?”
Jalal cemberut.
“Ya pengen
makanlah. Apalagi?” Jodha terkekeh.
“Ternyata
nggak sia-sia ya tadi malam aku ngomong
sama siapa itu namanya....? hm....oh iya Syehnaz kalau aku ini memang baby
sitter Tuan. Hehehe....” Jalal diam menatap Jodha yang masih terkekeh sambil
menunduk. Sadar tidak ada respon dari tuannya dia mendongak. Dia ikut terdiam.
“Nem...?”
“Ya..”
“Kamu...kamu
suka laki-laki yang bagaimana?” Jodha mengerutkan keningnya.
“Kenapa Tuan
bertanya seperti itu?” Jalal masih menatap Jodha membuat gadis itu sedikit
berdebar dan merasa hampir tenggelam dalam pesona mata tuannya yang tajam itu.
“Jawab aja
Nem. Kamu suka yang bagaimana? Dan apa selama ini ada yang sudah menyatakan
cinta kepadamu?” Jodha mengalihkan pandangannya ke arah lain.
“Saya tidak
berani mengatakan suka kepada laki-laki yang bagaimana Tuan, tapi saya hanya
berharap bisa mendapatkan laki-laki yang cintanya seperti cinta Ayah kepada Ibu
saya. Cinta yang tidak pernah luntur walaupun sudah tidak ada lagi orangnya
hidup di dunia ini. Meski cara Ayah saya salah untuk melupakan cintanya kepada
Ibu, tapi setidaknya dia memiliki kesetiaan yang tidak mudah goyah. Bahkan saat
Ibu sakit, Ayahlah yang lebih banyak merawat Ibu. Ketika saya menanyakan hal
itu kepada Ayah.....” Jodha berpaling ke arah Jalal, “Tuan tahu apa kata Ayah
ketika itu?” Jalal menggeleng, “katanya
cinta tidak hanya menerima disaat senang dan bahagia saja, tetapi cinta juga
harus memberi disaat sakit dan sedih. Bertahun-tahun Ayah menerima cinta dan
kebahagiaan dari Ibu Kamu, dan sekarang saatnya lah Ayah memberikan kebahagiaan
juga kepada Ibu Kamu disaat dia tidak berdaya lagi. Setidaknya jika suatu saat
penyakit itu membawa ibu kamu pergi, dia tidak akan pergi dengan sedih dan menyesal
tetapi pergi dengan senyum bahagia.” Ucap Jodha dengan lirih. Dia menunduk.
Jalal
mengangkat dagu Jodha. Gadis itu tersenyum.
“Tuan tenang
saja, saya tidak menangis kok. Karena kata-kata itu selalu terngiang di telinga
saya. Dan saya hanya berharap suatu saat saat akan mendapatkan seorang pengeran
yang benar-benar bisa merebut hati saya.” Jodha melihat kearah Jalal, “mungkin
saya terlalu sombong ya Tuan tentang diri saya.” Jalal menggeleng tetap tidak
bersuara, “ah, kenapa jadi mellow begini ya.” Ucap Jodha sambil tertawa kecil,
“katanya Tuan laper, ayo saya temani makan.” Ajak Jodha, namun Jalal masih
belum bergerak.
“Nem..”
“Ya..”
“Aku yakin
suatu saat kamu pasti akan menemukan laki-laki seperti yang kamu inginkan itu,
dan aku juga berharap suatu saat kamu akan bahagia.” Ucap Jalal sambil
tersenyum. Berat rasanya dia ingin mengungkapkan segala perasaannya saat ini. Padahal
waktu dan keadaannya sangat mendukung, namun entah mengapa Jalal merasa kurang
percaya diri. Rasanya seperti menelan ludah tetapi tersangkut di tenggorokan.
Jodha ikut tersenyum.
“Iya Tuan,
aamiinn.... saya harap Tuan juga bisa mendapatkan seseorang seperti yang Tuan
inginkan saat ini. Meski saya tidak tahu siapa dia. Seseorang yang bisa membuat
Tuan jatuh cinta yang sesungguhnya. Seseorang yang bisa merubah Tuan menjadi
lebih baik lagi. Saya tahu tidak pantas buat saya berkata seperti ini, tetapi
anggaplah ucapan ini sebagai ucapan seorang teman yang peduli bukan sebagai
seorang bawahan kepada atasannya.” Jalal terkekeh. Dia menggenggam tangan
Jodha. Jodha hanya diam saja.
“Tentu saja.
Selama ini aku tidak pernah menganggapmu sebagai pembantu atau apalah, aku
menganggapmu sebagai teman, bahkan lebih.” Jodha mengangkat sebelah alisnya.
“Benarkah?”
Jalal mengangguk, “oh, so sweet.” Kata Jodha sambil terkekeh. Jalal segera
menyentil dahinya membuatnya meringis, “ ih Tuan mah begitu, main sentil aja.”
Katanya sambil mengusap-usap dahinya.
“Salahnya
kamu kalau ngomong selalu meledekku.” Kata Jalal dengan sewot.
“Aciee...gitu
aja marah. Jangan marah-marah Tuan, ntar gagal kencan lagi nih sama pujaan
hati.” Goda Jodha sambil menyenggolkan bahunya ke bahu Jalal. Akhirnya Jalal
hanya bisa tersenyum tipis.
“Udah ah,
yuk kita makan. Aku sudah laper.” Ajak Jalal berdiri menarik tangan Jodha. Dan
gadis itupun ikut berdiri. Mereka berdua akhirnya keluar dari kamar tersebut
dan turun untuk makan. Sepanjang jalan Jalal merangkul bahu Jodha dengan
santainya. Sebenarnya Jodha merasa risih diperlakukan seperti itu namun Jalal
berkilah katanya sebagai teman dia harus mau dirangkul seperti itu. Akhirnya
Jodha pun pasrah saja. Padahal tuan mudanya itu menahan senyum kebahagiaan
karena bisa memeluk dirinya.
Awal yang
bagus, meski baru sebagai teman tetapi mereka sudah bisa dekat seperti itu
nanti lama-lama juga dia akan memberanikan diri untuk mengungkapkan segala
perasaannya. Setidaknya saat ini Jalal ingin berusaha untuk memperbaiki citra
dirinya dalam pandangan gadis itu. Dia tidak ingin Inemnya menganggap dia
sebagai playboy lagi. Dan dia juga ingin menunjukkan kalau dirinya pantas untuk
menjadi seseorang yang berarti dalam kehidupan gadis itu.
Sesampainya
di meja makan, Jalal tertunduk lesu melihat makanan yang tersedia disana. Jodha
menatapnya heran.
“Kenapa
Tuan? Katanya tadi laper kenapa ekspresinya seperti itu?” Jalal memutar
matanya.
“Kamu nggak
liat apa isi masakannya.” Jodha memperhatikan semua yang ditunjukkan oleh tuan
mudanya itu, “itu ada brokoli, itu juga ada, yang itu juga ada.” Katanya
menunjuk beberapa menu yang terdapat brokoli. Jodha terkikik geli.
“Ya sudah,
gimana kalau saya yang masakin buat Tuan.” Tawar Jodha sambil tersenyum, wajah
Jalal langsung bersinar cerah.
“Boleh, oke
deh kamu masak ya Nem. Ingat jangan sampai ada brokoli lagi.” Jodha mengangguk.
“Baiklah,
tapi bantu saya ya biar cepet matang.” Senyum Jalal memudar, tetapi tidak lama
kemudian dia tersenyum kembali. Bukankah ini kesempatan bagus untuk lebih dekat
dengan Inemnya. Kapan lagi kan seharian ini mereka berdua terus.
“Oke, aku
akan bantu.” Kata Jalal sambil beranjak dari duduknya dan melangkah masuk ke
dapur. Jodha hanya tersenyum sambil menggelengkan kepalanya dan mengikuti
langkah tuannya yang melangkah terlebih dahulu, “kita masak apa Nem?” tanya
Jalal ketika melihat Jodha membuka kulkas dan mengeluarkan ayam, sekotak santan
instan dan beberapa rempah masak lainnya. Jodha berpikir sejenak.
“Hm...kita
memasak chicken braised in coconut milk
Tuan.” Jalal berseru kagum.
“Wuiihh,
kamu hebat Nem, bisa memasak masakan eropa. Namanya aja pakai bahasa Inggris” Katanya sambil berdecak, sedangkan Jodha
hanya tersenyum dikulum.
“Nggak hebat
kok Tuan, biasa aja.”
“Tapi, itu
hebat Nem. Jarang-jarang lo ada orang yang bisa membuat masakan seperti itu.”
jodha hanya mesam-mesem saja.
“Ya sudah,
jadi bantu nggak nih?” tanya Jodha mengalihkan rasa gelinya. Jalal kebingungan.
“Aku bantu
apa Nem? Ini kan bukan kerjaan laki-laki.”
“Siapa
bilang? Banyak tuh chef-chef yang yang laki-laki, dan mereka tidak merasa malu
sedikitpun. Malah terlihat bangga. Dan menurut saya laki-laki bisa masak itu
keren, macho dan ketampanannya meningkat beratus-ratus kali.” Kata Jodha
berusaha mengompori majikannya. Dan sudah pasti hasilnya sangat memuaskan.
Majikannya menjadi bersemangat mendengar ucapan dari Inemnya.
“Apa nih
yang bisa aku bantu?” tanya Jalal bersemangat. Jodha menyodorkan bawang merah.
“Apa ini
Nem?” tanyanya heran. Dipegangnya bawang merah tersebut sembari diputar-putar.
“Itu namanya
bawang merah Tuan, caranya di kupas begini?” kata Jodha memperagakan cara
mengupas bawang merah secara perlahan. Jalal mengangguk dan mulai mengupas
bawang. Sementara Jodha membersihkan ayam dan menyiapkan bumbu lain.
Baru satu
butir bawang merah yang di kupas oleh Jalal, matanya sudah terasa perih.
Semakin ditahan semakin perih. Kemudian tanpa sadar jari-jarinya yang tadi
memegang bawang tersebut di gosokkannya kematanya, alhasil matanya semakin
perih dan mengeluarkan air mata.
“Nem, kok
mataku perih? Kenapa bawang ini bisa bikin perih mataku sih?” Jodha menoleh
kearah Jalal dan tersenyum.
“Ya ampun,
kok sambil menangis begitu Tuan? Masa ngupas bawang merah aja bisa nangis?
Segitu bahagianya membantu saya ya?” goda Jodha. Membuat Jalal mencak-mencak
nggak karuan.
“Pokoknya
kamu harus tanggung jawab, mataku jadi perih ini.” kata Jalal semakin
menggosokkan matanya.
“Yeeayy,...akhirnya
saya bisa membuat Tuan menangis. Ayo mana janjinya?”
“Janji
apaan?” Jodha mencebikkan bibirnya.
“Katanya
kalau aku bisa bikin Tuan menangis Tuan akan memberikan apapun yang aku minta.
Dan sekarang aku menang, kenapa tuan jadi lupa janjinya?”
“Iya..iya...janjiku
akan aku tepati, tetapi tolongin dong gimana nih mataku perih.” Jodha akhirnya
merasa kasihan juga.
“Baiklah
Tuan, sini saya bantu.” Ditariknya tangan tuan mudanya perlahan ke arah sink dan menyuruhnya untuk membilas
wajahnya dengan air kran. Jalal pun menurut. Setelah membilas wajahnya beberapa
kali akhirnya matanya tidak terasa perih lagi.
“Kamu
sengaja ya bikin saya menangis seperti tadi?” tuduh Jalal, Jodha mengangguk dan
melanjutkan pekerjaan tuan mudanya tadi mengupas bawang. Jalal hanya
memperhatikan saja dengan berdiri agak jauh dari Jodha. “akalmu ada-ada saja.”
Gerutu Jalal. Jodha tertawa.
“Loh,
bukannya tadi terserah saya dengan cara apapun yang penting Tuan menangis. Ya
kan?” ucap Jodha sambil memblender bumbu yang di gunakan untuk memasak ayamnya
tadi. Jalal mendecak. Lagi-lagi dia kalah.
“Baiklah. Sekarang kamu mau minta apa?”
kembali Jodha tersenyum.
“Nanti saja
Tuan. Ada saatnya saya akan menagihnya, yang penting sekarang Tuan berjanji
akan mengabulkannya suatu saat nanti.”
“Baiklah,
aku janji.” Jodha tersenyum puas.
Tidak
memakan waktu lama, akhirnya masakan Jodha pun matang. Jalal mengerutkan
keningnya melihat hasil masakan Jodha. Seperti mengingat-ngingat. Jodha hanya
bisa tertawa tertahan melihat ekspresi tuan mudanya itu.
“Kok, aku
seperti pernah melihat masakan ini Nem?” katanya ketika sudah terhidang di
meja.
“Tentu saja.
Ini namanya Opor Ayam kalau bahasa Indonesianya dan nama Inggrisnya chicken braised in coconut milk.
Hehehe...” ucap Jodha tanpa rasa bersalah. Jalal hanya tersenyum masam karena
sudah dikerjai oleh Inemnya.
“Bilang kek
dari tadi kalau ini opor ayam, nggak usah pake gaya bahasa Inggris segala?”
gerutu Jalal membuat Jodha tertawa lagi. Dia mengambilkan nasi untuk tuan
mudanya dan juga opor ayam hasil masakannya tadi kemudian duduk disamping tuan
mudanya seperti biasanya, “seperti dilayani istri.” Celetuk Jalal. Jodha
senyum.
“Yeah, anggap
saja kita latihan. Ya kan Tuan?” Jalal mengangguk, “bagaimana Tuan rasanya?”
“Enak juga
Nem. Kamu memang pintar masak ya.” Puji Jalal tulus.
“Ada tuh
caranya biar masakan saya lebih enak lagi Tuan. Bahkan masakan siapapun pasti
enak. Saya jamin.” Kata Jodha tersenyum menyeringai.
“Caranya?”
“Gampang.
Tuan tinggal jangan makan apapun selama dua hari selain minum air putih.
Setelah itu jamin makanan apapun akan terasa enak di lidah Tuan. Hahahaha...”
kata Jodha sambil tergelak. Jalal cemberut namun tetap melanjutkan makanya.
“Itu karena
lapar bukan karena enak tau. Dasar Inem.” Gerutu Jalal. Jodha tersenyum melihat
tuan mudanya makan dengan lahap. Dia hanya memandang Jalal makan dengan
bertopang dagu. Pemandangan di depannya itu terlalu asyik untuk dilewatkan. Semakin
hari rasanya Jodha semakin mengenal sisi lain tuan mudanya itu. Dia tidaklah
seseram ucapannya yang sering menyakitkan hati, mungkin dia selama ini hanya
merasa kesepian meski orang tuanya menyayanginya tetapi lebih sering dia lalui
dengan kesendirian. Dan benar kata Bi Ijah, sekarang tuan muda itu lebih sering
tersenyum dan tertawa sikapnya juga terasa lebih hangat. Ah, semoga akan selalu
seperti ini. Jodha selalu berharap senyum tuan mudanya akan selalu berkembang
seperti itu. Melihatnya saja Jodha merasa bahagia.
========0000========
Seminggu
telah berlalu. Setelah meminta ijin dengan majikannya Jodha pergi kerumah Nadia
dengan menumpang taksi, meski Bu Hamidah berulangkali menyuruhnya untuk
menggunakan mobil yang ada dirumah itu namun di tolak oleh Jodha. Dia merasa
tidak pantas. Dan hari ini Jodha tidak sempat pamitan dengan tuan mudanya
karena tuan mudanya sudah berangkat duluan entah kemana.
Taksi yang
membawa Jodha berhenti di depan rumah yang terlihat mentereng disebuah komplek
perumahan elite, terlihat yang mempunyai rumah disitu bukanlah orang
sembarangan. Hanya orang-orang yang mempunyai uang nganggur saja bisa membeli
perumahan itu.
Jodha
menekan bel. Tidak lama kemudian muncullah sosok yang selama ini dia rindukan.
“Jodhaaaa.....”
teriak Nadia seraya memeluk Jodha dengan erat, “aku kira kamu tidak akan datang
Jo karena ku pikir majikanmu tidak akan mengijinkanmu keluar.” Jodha terkekeh.
Dia pun membalas pelukan gadis itu.
Gadis yang umurnya hampir sama dengannya namun dengan penampilan lebih tomboy
dari Jodha. Kalau dilihat wajah dan perawakannya mirip artis Maudy Ayunda namun
versi tomboynya. Meski rambutnya panjang sepunggung, kulitnya putih bersih dan
matanya bersinar jenaka membuat siapa saja betah untuk menatap dan berbicara
dengannya, termasuk Jodha.
“Nggak kok,
aku kan sudah janji minggu kemarin mau datang. Dan masalah majikanku, tenang
saja mereka sangat baik kok. Asalkan kita minta ijinnya baik-baik.”
“Syukurlah
kalau begitu Jo.” kata Nadia melepas pelukannya.
“Abang mana?
Kak Salima? Rahim? Ayah? Ibu?” tanya Jodha beruntun membuat Nadia memutar bola
matanya.
“Perlu ya,
dijawab pertanyaan itu?” kembali Jodha tertawa.
“Iyalah, kan
aku sudah lama tidak bertemu.”
“Aku kira
kamu tidak ingat lagi sama kami.” Ucap Nadia setengah merajuk.
“Nggak dong.
Mana mungkin aku bisa lupa. Makanya sekarang aku datang kesini karena aku
kangen.” Nadia menatap Jodha dengan tajam dan Jodha mengerti arti tatapan itu.
dia tersenyum.
“Iya...iya...aku
akan cerita. Tapi, pas ada Abang saja ya. Karena tidak ada siaran ulang.” Nadia
cemberut.
“Sialan.
Sombong bener sekarang ya, mentang-mentang sudah bekerja.” Jodha tertawa. Dia
masuk kedalam rumah tanpa disuruh, karena memang dia sudah terbiasa seperti
itu. Ya, itu adalah rumah orang tua angkat Jodha. Merekalah yang selalu
mendukung Jodha meski lebih banyak mendukung secara tidak langsung, karena
Jodha tidak akan mau menerima bantuan mereka yang bersifat materi. Katanya
hanya akan membuatnya lemah dan tidak mandiri.
Di dapur
Jodha melihat seorang wanita sedang mengatur meja makan ditemani oleh dua orang
asisten rumah tangga. Dia menoleh ketika Jodha mendekatinya. Sinar kegembiraan
nampak di wajahnya.
“Jodha...
kamu kemana aja sayang? Kok lama tidak ada kabar beritanya.” Tanya Salima sambil
memeluk erat Jodha.
“Panjang
ceritanya Kak, nanti saja aku ceritanya.” Salima melepaskan pelukannya. “Abang
sama Rahim mana?”
“Abang kamu
masih di kantor, Rahim ikut Ayah sama Ibu keluar.” Jodha mengangguk.
“Kamu makan siang
disini ya, sudah lama kamu tidak makan bareng disini.” Kembali Jodha
mengangguk.
“Iya Kak.
Boleh, aku juga sudah kangen dengan masakan Kakak.” Wanita anggun itu tertawa
pelan.
“Hallo
Abang. Cepat pulang. Ini Jodha sudah dirumah. Dia tidak mau cerita kalau Abang
belum pulang.” Tiba-tiba saja Nadia masuk kedapur sambil menelpon Abangnya,
“Oke, nggak pake lama ya keburu Jodha pulang. Nanti Abang tanggungjawab kalau
dia belum cerita apa-apa gara-gara Abang.” Jodha dan Salima tertawa melihat
Nadia yang berbicara tanpa rasa berdosa itu.
“Nanti kalau
kerjaan Abang terbengkalai gimana Nad, kamu ini maksa banget sih? Aku kan belum
pulang juga?” Protes Jodha. Nadia nyengir.
“Biarin.
Kalau nunggu Abang pulang tepat waktu akan lama, dan aku sudah tidak sabar lagi
ingin mendengar cerita.” Jawab Nadia dengan cuek. Jodha menggeleng melihat sahabatnya
itu.
Tidak sampai
setengah jam sejak Nadia Abangnya, terdengar suara deru mesin mobil berhenti di
depan rumah. Nadia langsung sumringah. Dia beranjak ke dari tempat duduknya dan
melangkah setengah berlari ke depan untuk membukakan pintu untuk abangnya.
Namun, sebelum itu dia berhenti sejenak dan menoleh ke arah Jodha.
Nadia
mendekatkan wajahnya kepada Jodha dengan tangan menunjuk, “kamu siap-siap
menerima hukuman dari Abang. Karena kamu sudah membuat dia pusing selama kamu
pergi tanpa kabar. Hehehe....” ucap Nadia sambil terkekeh dia berjalan dengan
riang. Jodha hanya tersenyum meringis. Membayangkan Abangnya pasti marah
kepadanya. Tapi, ya sudahlah. Gimana lagi semua sudah terjadi. Salima hanya
tersenyum melihat keduanya.
Dan yang
ditunggu-tunggu pun akhirnya muncul juga. Abang yang tunggu Nadia akhirnya
muncul, seorang laki-laki bertubuh tinggi tegap berusia sekitar 30-an memakai
pakaian dinas TNI Angkatan Darat. Berkulit coklat khas Indonesia, wajahnya
nampak berwibawa dengan tatapan tajam mengintimidasi menatap Jodha dengan wajah
garang. Sementara dibelakangnya Nadia terkikik geli sambil menutup mulutnya.
Jodha hanya bisa tersenyum meringis merasa bersalah.
“Masih ingat
juga kamu dengan kami? Abang pikir kamu sudah lupa?” sindir laki-laki itu.
Jodha menggaruk kepalanya. Dia bangkit dari duduknya dan menghampiri Abangnya.
“Eh, ada
Abang Bayu. Apa kabar Bang? Kapten kita makin cakep aja nih.” Rayu Jodha menatap
geli Abangnya sambil merangkul lengan laki-laki itu. Kembali Nadia dan Salima
tertawa melihat Jodha merayu Abangnya agar tidak marah. Jodha melirik
kebelakang ke arah Nadia, dan dia mengucapkan kata “MAMPUS” tanpa suara dan
Jodha hanya bisa nyengir tanpa bisa membalas.
“Nggak usah
banyak ngomong, cepat bilang kenapa kamu tidak pernah memberi kabar kepada kami
selama ini? Abang cari kerumah kamu tidak ada, bahkan rumah kamu selalu
tertutup. Kemana aja kamu selama ini hah?” bentak Bayu. Jodha tahu kalau
abangnya itu tidak benar-benar marah, tetapi lebih kepada khawatir tentang
dirinya.
“Yee...Abang.
Sabar dulu napa? Ganti pakaian dulu sana biar santai, aku jadi merasa
tersanjung nih cerita di dengar sama Abang dengan pakaian dinas. Berasa jadi
informan.” Bayu mendecak.
“Kamu tuh
ya, sudah bikin kami serumah khawatir tau.” Kata Bayu sembari menyentil hidung
Jodha. Tangannya yang kekar merangkul bahu gadis itu yang hanya sebahunya saja.
Jodha terkekeh.
“Aku tau
Bang. Maaf ya dah bikin Abang sekeluarga khawatir. Tapi, tenang aja aku kan
bisa menjaga diri Bang. Tidak ada yang bisa melawan preman kayak aku ini.” kata
Jodha dengan bangga.
“Jangan sombong,
bagaimanapun kamu ini wanita, sekuat-kuatnya kamu tetap akan lebih kuat lagi
laki-laki, apalagi sekarang kamu pasti tidak pernah berlatih lagi.” Jodha
nyengir.
“Eh, iya
Bang. Abang tau aja.” Bayu mendengus.
“Udah
kelihatan dari muka kamu.” Jodha terkekeh, “ya sudah, Abang ganti baju dulu.
Habis makan kamu cerita biar santai.”
“Oke Bang.
Siap Kapten.” Kata Jodha sambil berdiri menghormat. Bayu tersenyum sambil
mengacak rambut Jodha. Diapun melangkah menuju kamarnya untuk berganti pakaian.
Jodha bergabung dengan Salima dan Nadia duduk menunggu Bayu turun dari kamarnya
untuk makan bersama.
Tidak lama kemudian
Bayu pun turun dan bergabung dengan mereka, dan mereka pun makan dalam diam.
Hanya terdengar dentingan sendok garpu yang beradu diatas piring. Begitulah
tata tertib makan bersama dirumah Nadia.
Bayu adalah
kakak kandung dari Nadia. Ayah mereka adalah pensiunan Letnan Jenderal TNI AD,
dan sekarang profesi itu di lanjutkan oleh Bayu yang sekarang dengan pangkat
Kapten. Sedangkan Salima adalah istri dari Bayu dan berarti juga kakak ipar
Nadia. Mereka mempunyai seorang anak laki-laki yang bernama Rahim yang masih
berusia 5 tahun.
Jodha merasa
beruntung bisa masuk dalam keluarga besar Nadia, banyak pengalaman dan motivasi
yang dia dapatkan selama dia mengenal keluarga angkatnya yang secara tulus
menerimanya dengan tangan terbuka. Bahkan mereka tidak pernah meremehkan
kehidupan Jodha dan ayahnya yang berantakan. Justru setiap kali Jodha mendapat
masalah, dikeluarga inilah dia selalu mendapatkan dukungan.
Setelah makan
siang bersama, mereka berkumpul di ruang keluarga. Jodha pun akhirnya
menceritakan semua kejadian yang dia alami sejak dia di usir oleh ayahnya, di
ajak kerja di rumah rektornya sendiri, dan pertemuannya dengan Adam dulu.
Bayu nampak
manggut-manggut mendengar ucapan Jodha,
begitu pun Nadia dengan Salima. Tidak banyak yang mereka ucapkan.
“Terus,
kenapa kamu tidak langsung kesini Jo?” tanya Salima akhirnya.
“Saat itu
aku bingung Kak, juga merasa sedih. Mungkin seandainya aku tidak ketemu dengan
Bu Hamidah waktu itu, aku juga akan kesini.”
“Sekarang
kamu nggak mau tinggal disini Jo?” tanya Nadia dengan wajah cemberut. Jodha
tertawa. Dirangkulnya Nadia yang duduk disamping.
“Bukan nggak
mau Nad, aku kan juga ingin mandiri. Ingin merasakan kerja sendiri. Nanti juga
aku akan sering-sering main kesini.”
“Selalu saja
alasannya seperti itu. Lagian kalau kamu disini aku kan ada teman, kita bisa
latihan bareng, berangkat kuliah bareng, dan kita bisa hang out bareng.” Kata
Nadia asal nyeplos.
“Ehem...ehem...”
terdengar suara deheman yang menyadarkan perkataan Nadia. Jodha hanya terkikik
geli.
“Jadi kamu
ingin hang out ya Nad?” tanya Bayu sambil mendelik tajam ke arah adiknya. Nadia
hanya cengengesan mendapat delikan dari Abangnya.
“Nggak kok
Bang, maksudku biar Jodha mau tinggal disini.” Memang Bayu termasuk Abang yang
posesif dan protective untuk urusan adiknya. Termasuk kepada Jodha yang sudah
dianggapnya sebagai adik sendiri. Jodha terkekeh.
“Nggak ada
gunanya kegiatan seperti itu. Mending kamu lanjutin latihan kamu daripada
melakukan kegiatan yang tidak ada manfaatnya.” Ucap Bayu dengan tegas. Tidak
ada kata lain buat Nadia membantahnya selain mengiyakan saja.
Hari
beranjak sore, saatnya untuk Jodha kembali ketempat majikannya. Seharian ini
Jodha merasa bahagia bertemu kembali dengan keluarga angkatnya. Bahkan sebelum
dia pulang disudah diberikan oleh-oleh berupa wejengan dari kedua orang tua
angkatnya. Bahkan Bayu yang mengantarkannya pulang pun ikut menceramahinya
sepanjang jalan. Dan sekali lagi, tidak ada yang bisa diucapkan Jodha selain
mengiyakan saja, sama halnya dengan Nadia.
Setibanya di
rumah Bu Hamidah, rumah masih nampak sepi. Hanya ada Bi Ijah dan Mang Diman.
Majikannya belum ada yang datang semua, dan Jodha pun bersyukur akan hal itu
setidaknya dia tidak akan merasa tidak enak karena datang terlambat. Bahkan
tuan mudanya pun belum nampak batang hidungnya.
=======0000=======
Setelah berbicara
dengan Bu Hamidah dan meminta ijin setiap hari minggu dia pergi kerumah
keluarga angkatnya, majikannya itu mengijinkan asalkan semua kerjaannya sudah beres.
Tentu saja Jodha menyanggupinya. Dan begitulah setiap hari minggu Jodha pergi
kerumah orang tua angkatnya tanpa sepengetahuan tuan mudanya.
Minggu
pertama dan kedua, Jalal masih bisa memakluminya namun minggu-minggu berikutnya
Jalal yang penasaran pun akhirnya bertanya. Namun Jodha tidak pernah mau
memberitahukan kemana tujuannya. Bahkan terkadang Jalal yang terlebih dahulu
tiba dirumah dibandingkan Jodha. Jalal merasa sedikit kehilangan, padahal dia
menginginkan bisa menghabiskan waktu seharian bersama Inemnya pada hari minggu.
Sampai suatu
hari minggu ketika Jalal sore itu sedang duduk dibalkon kamarnya, dia melihat
sebuah mobil jeep berhenti di depan rumahnya. Pagar rumahnya yang tidak terlalu
tinggi membuatnya bisa melihat siapa yang datang, dan Jalal bisa melihat
Inemnya turun dari mobil jeep tersebut bersama seorang laki-laki yang duduk di
belakang kemudi.
Sesaat
kemudian laki-laki itu memeluk Jodha dengan erat dan mencium keningnya, sebelum
pergi malah dia mengelus rambut gadis itu dengan sayang. Jalal yang melihat
semua adegan itu hanya bisa memandang dalam diam.
Siapa dia?
Siapa laki-laki yang sudah memeluk gadis pujaannya itu? apakah Inemnya sudah
punya seseorang dihatinya? Apalagi bila dilihat dari postur tubuh laki-laki itu
yang tegap, menambah nilai lebihnya dimata Jalal. Rasa apa ini? inikah yang
dinamakan cemburu? Rasa membuat ingin marah ketika melihat orang kau cintai
sedang dipeluk oleh laki-laki lain? Ya, rasanya ingin marah dan marah.
Jalal hanya
terduduk lemas. Hilang sudah harapannya untuk meraih hati gadis itu. Tiba-tiba
saja dia menjadi minder dengan dirinya sendiri. Apa yang bisa dia bangggakan
kepada gadis itu? ketampanannya kah? Huh, masih banyak yang lebih tampan
darinya. Ataukah kekayaannya? Bisa jadi laki-laki tadi lebih kaya darinya. Nyatanya
Inemnya tersenyum bahagia di peluk oleh laki-laki tadi. Jalal merasa sesak
dalam dadanya. Inikah namanya patah hati? Dia bahkan belum mengungkapkan
perasaannya. Ya, patah hati sebelum ditolak. Kalian tahu apa rasanya. SAKIT dan NYESEK.
===TBC===
Tidak ada komentar:
Posting Komentar