Jalal dan kedua orang tuanya
masih berada di meja makan. Kedua orang tuanya kembali menasehatinya untuk apa
yang akan dilakukan disana kelak.
“Satu yang harus kamu ketahui Jalal, kalau kamu tidak
lulus dengan penilaian mereka disana, maka kamu harus mengulang lagi.” Jalal
hanya bisa melongo mendengarkan ucapan papanya, “jadi, berusahalah semampu yang
kamu bisa untuk belajar. Kelak akan banyak yang bisa kamu dapatkan.” Jalal
mengangguk.
“Iya Pa.”
“Kamu adalah satu-satunya penerus keturunan Papa
Jalal, dipundakmu nanti akan Papa serahkan tanggungjawab yang besar untuk kamu
pikul. Kamu yang akan menggantikan Papa melanjutkan perusahaan kita. Dan yang
harus kamu ketahui, bahwa persaingan di dunia bisnis lebih kejam. Tetapi tidak
bisa menghadapinya dengan emosi semata. Harus bisa berpikir dengan tenang.
Bukan masalah bangkrut yang Papa takutkan, tetapi Papa memikirkan nasib
karyawan yang sudah menggantungkan harapan mereka kepada perusahaan kita.
Seandainya perusahaan Papa bangkrut, mereka makan apa? Papa nggak tega
melihatnya.” Jalal menunduk. Yah, secara tidak langsung Papanya sudah meminta
dia untuk berubah. Mungkin sudah saatnya bagi dia untuk belajar memikul
tanggungjawab seperti yang kedua orang tuanya inginkan.
“Iya Pa. Aku janji akan belajar seperti yang Papa
inginkan. Aku sadar, mungkin sudah saatnya aku berhenti untuk bermain-main.”
Sahut Jalal lagi. Pak Humayun tersenyum. Begitu juga dengan istrinya. Dia
bangkit dan menghampiri Jalal yang sudah berdiri dari kursinya. Pak Humayun
memeluk Jalal dengan bangga. Matanya berkaca-kaca karena begitu senangnya.
Begitu juga dengan Jalal, ada rasa haru dan bangga pada dirinya ketika Papanya
memeluknya.
Dia tidak ingat kapan terakhir papanya memeluknya.
Tapi yang dia ingat itu terjadi sudah lama sekali, apalagi mereka berdua sangat
jarang bertemu. Kecuali dengan mamanya.
“Terima kasih Jalal, Papa bangga sama kamu. Maafkan
jika selama ini Papa jarang memperhatikanmu dan sibuk dengan kerjaan Papa.”
Kata Pak Humayun melepas pelukannya. Jalal dan juga mamanya tersenyum.
“Tidak apa-apa Pa, aku mengerti atas kesibukan Papa.
Maafkan aku juga yang hanya bisa menghabiskan waktu dan uang dengan sesuatu
yang tidak berguna.” Pak Humayun menepuk pundak Jalal pelan.
“Papa tidak merasa sia-sia membuang uang agar kamu
bisa lebih baik lagi dari Papa. Uang masih bisa dicari lagi. Tapi kamu, harta
Papa yang paling berharga selain Mama.” Jalal mengangguk.
“Jadi, Papa sama Mama merestui hubunganku dengan
Jodha?” tanya Jalal dengan penuh harap. Kedua orang tuanya saling pandang
dengan tersenyum.
“Bayu sudah menceritakan semua tentang Jodha, Papa
sama Mama tidak melarang kamu menjalin hubungan dengannya. Hanya saja Papa
berharap kalian bisa menjaga diri. Apalagi kalian tinggal serumah dan kami
sering tidak ada, lebih banyak bahayanya. Mungkin akan lebih baik kalian
menikah saja. Lebih aman.” Sahut Pak Humayun. Wajah Jalal memerah ketika
mendengar ucapan papanya yang menyuruhnya menikah. Tetapi dia juga senang kalau
orang tuanya merestui cintanya kepada Inemnya.
“Mungkin nanti jika kami lulus kuliah saja Pa. Aku
yakin kalau sekarang Jodha pasti akan menolakku mentah-mentah. Karena dia ingin
menemukan ayahnya terlebih dahulu. Makasih ya Pa, Ma sudah merestui cinta kami.
Tapi, tolong jangan bilang sama dia kalau kita sudah membicarakan ini ya Pa, Ma.” Pinta Jalal. Kedua orang tuanya
menatap heran.
“Kenapa?”
“Aku takut dia akan pergi dari rumah ini Pa, karena
sebelumnya dia memintaku berjanji untuk merahasiakan hubungan kami ini. Tidak
sebelum dia lulus kuliah, tetapi dengan adanya peristiwa ini membuatku ingkar
janji kepadanya.” Jelas Jalal. Kedua orang tuanya mengangguk, mengerti.
“Baiklah. Kami berjanji. Kami akan bersikap seperti
biasa saja.” Jawab Papanya.
“Makasih ya Pa. Ma. Kalau gitu, aku pamit kembali
kerumah sakit lagi ya.” Kedua orang tuanya mengangguk. Jalal mencium tangan
kedua orang tuanya dengan gembira. Dia melangkah keluar dengan hati riang. Pak
Humayun dan istrinya tersenyum melihat Jalal seperti itu. Keduanya kembali
duduk dikursinya tadi.
“Benar kata Bayu tadi malam ya Pa, anak kita hanya
perlu di bina dan di arahkan saja lagi. Mama senang sekali melihatnya, bahkan
menerima syarat dari Papa tanpa protes.” Pak Humayun mengangguk.
=flashback=
Malam itu, setelah
mengantar Jalal dan Mansingh kerumah sakit, Bayu menghubungi papanya Jalal
bermaksud ingin menemuinya dan membicarakan hasil pembicaraan mereka dengan
Adam. Jadi alasan Bayu kepada Nadia yang mengantuk itu hanya sekedar biar
mereka berdua cepat keluar dari kamar inap Jodha.
Setibanya di rumah
Jalal, Bayu dan Todarmal segera mengatakan maksud kedatangannya. Mereka berdua
menceritakan apa yang telah mereka ketahui. Pak Humayun dan Bu Hamidah nampak
terkejut mendengarnya. Tidak bisa di percaya, seseorang yang biasa seperti
ayahnya Jodha bisa mempunyai hutang begitu banyak. Apalagi sampai ingin
mengorbankan putrinya.
“Lalu rencanamu apa
sekarang Bay?” tanya Pak Humayun, Bayu berpikir sejenak.
“Ya, mau tidak mau
kita harus membantu Jodha Om. Kalau tidak, dia akan menjadi penebus hutang
Ayahnya. Sedangkan dia adalah gadis yang disayangi oleh orang tua saya. Mereka
akan marah kalau saya membiarkan ini terjadi, terlebih lagi Nadia. Dia sangat
menyayangi gadis itu.” Pak Humayun mengangguk.
“Baiklah, biar Om
yang bantu bayarkan. Om juga nggak akan membiarkan seseorang yang tidak berdosa
seperti Jodha harus mendapatkan perlakuan tidak adil akibat kelakuan orang
tuanya. Tidak apa-apa Om kehilangan uang segitu, apalagi sepertinya Jalal
menyukai gadis itu.” Kembali Bayu berpikir lagi.
“Begini saja Om, saya
punya ide.” Pak Humayun dan Bu Hamidah menatapnya dengan antusias.
“Apa idemu?”
“Begini, kemarin Om
menyuruh Jalal untuk berlatihkan?” Pak Humayun mengangguk, “setelah saya dan
Todar pikir-pikir, tidak akan mudah melatih Jalal dengan cepat. Ditambah lagi
dengan kesibukan saya yang hanya bisa melatihnya seminggu sekali, selebihnya
dia berlatih dengan Nadia. Sedangkan Om tahu sendiri bagaimana mereka berdua.
Selalu bertengkar, alhasil latihannya akan sia-sia saja.”
“Lalu rencanamu?”
“Bagaimana kalau
nanti Jalal meminta bantuan Om untuk membayarkan hutang Ayahnya Jodha, Om minta
syarat kepadanya, yaitu dia harus mau mengikuti pelatihan dan pembinaan di
akademi militer di Magelang.” Jelas Bayu. Pak Humayun dan Istrinya saling
pandang.
“Pelatihan dan
Pembinaan di akademi militer di Magelang?” Bayu mengangguk.
“Iya Om. Saya dengar
dari teman saya yang juga pengajar disana, mereka menerima calon taruna kelas
khusus. Dalam artian, mereka di gembleng secara militer namun bukan untuk
menjadi prajurit. Tetapi lebih kepada pembentukan karakter dan kepribadian.
Biasanya yang mengikuti pembinaan ini adalah dari anak-anak nakal, pemalas,
mantan pecandu narkoba, dan yang selalu berbuat hal negatif lainnya.” Pak
Humayun mengangguk. Dia tersenyum.
“Lalu berapa lama
pelatihan itu berlangsung Bay?”
“Kurang lebih enam
bulan Om. Tergantung prestasinya. Kalau menurut pengajar disana mereka memenuhi
syarat untuk di lepas ke masyarakat, enam bulan sudah cukup. Tetapi bila belum
memenuhi syarat maka masa pembinaan mereka akan di perpanjang lagi.”
“Lantas apa pengajaran
yang mereka terima akan sama dengan siswa taruna militer?”
“Iya Om. Nanti akan
disamakan pembelajarannya, karena para taruna tingkat satu kurikukumnya 60
persen pelajaran praktek militer, 40 persen ilmu militer dan sipil. Disana akan dlilatih untuk mendapatkan
kualitas mental kepribadian yang mencakup kejujuran, keadilan, disiplin,
tanggungjawab, bekerjasama, kepedulian, loyalitas, dedikasi (pengabdian), keuletan,
integritas (keteguhan), kepemimpinan, dan visioner (wawasan). Jadi nanti akan
terlihat sikap mental mereka setelah digenjot dengan latihan sangat keras,
apakah akan bertambah buas, liar, balas dendam kepada orang lain, ataukah akan
menjadi manusia yang tangguh, pemaaf, dan berbudi luhur.” Pak Humayun
mengangguk puas dengan penjelasan Bayu, “selain itu juga nanti setelah
pendidikan mereka selesai, akan dilanjutkan dengan pelatihan yang mencakup
konsep tentang leadership (kepemimpinan), skill (keterampilan/bakat),
intelektual (kecerdasan pola pikir), intelegensi (kemampuan memecahkan
masalah), dan juga sosialisasi (pengenalan) langsung
dengan masyarakat. Karena seorang pemimpin itu tidak cuma mengerti masalah di
dalam saja, tetapi juga bersinggungan langsung dengan masalah individu yang berbeda karakter.”
“Bagus sekali, Itu
yang Om harapkan dari Jalal. Meski tidak harus menjadi tentara, tetapi sikap
dan kepribadiannya mencerminkan sikap yang tegas, disiplin, tetapi juga
lembut.”
“Iya Om, saya pikir
sekaranglah waktu yang tepat untuk melakukan itu. Karena sekarang dia sangat
membutuhkan bantuan Om.”
“Baiklah Bay. Om
terima saran kamu.” Bayu dan Todarmal tersenyum senang, “jadi kapan Jalal akan
berangkat kesana?”
“Setelah urusan
dengan Adam selesai Om. Mungkin tiga hari lagi akan siap. Biar nanti saya yang
akan mengantarkan kesana. Kalau perlu temannya juga bisa diajak kesana Om.
Karena ini bagus buat mereka.”
“Oke. Nanti Om yang
akan menyuruh mereka ikut.”
“Tapi saya minta Om
jangan memberitahukan hal ini kepada Jalal ya Om, karena saya hanya ingin
membantu dia saja.” Pak Humayun tersenyum.
“Kamu tenang saja
Bay, biar Om yang atur semuanya. Dia tidak akan mengetahui hal ini.”
“Iya Om.”
=flashback
end=
“Iya Ma, Papa juga senang melihat anak kita akhirnya
bisa berpikir dewasa. Papa bersyukur disaat seperti ini Bayu datang memberikan
jalan keluar untuk kita.” Ucap Pak Humayun seraya menghela nafas panjang.
Terasa beban dihatinya sudah tercabut, ada rasa lega yang tidak terucap. Begitu
juga dengan Bu Hamidah, dia merasakan seperti yang suaminya rasakan. Tidak
mudah membina dan mendidik Jalal, terlebih dia sudah terbiasa dimanja oleh
orang tuanya.
Sementara itu Jalal yang sudah berada di depan rumah
sakit menghubungi Mansingh dan mengajaknya keluar. Dia ingin membicarakan
keputusan papanya kepada sahabatnya itu. Tidak perlu menunggu waktu lama,
Mansingh sudah muncul dan menghampiri Jalal yang masih berada di jeepnya.
Setelah Mansingh masuk, Jalal segera memacu jeepnya ke arah apartemen
sahabatnya itu.
Sesampainya di apartemen, keduanya menekan bell kamar
Surya. Pintu terbuka setelah agak lama mereka menunggu. Rupanya sang pemilik
baru saja bangun tidur.
“Hai bro, apa kabar? Aku kangen nih.” Ucap Mansingh
memeluk Surya yang masih mengucek matanya. Surya kaget dan refleks melepaskan
pelukan Mansingh. Jalal hanya tertawa melihatnya dan langsung duduk di sofa.
“Apaan sih Man? Geli tau, ntar orang melihatnya jadi
berpikiran aneh-aneh.” Mansingh celangak-celinguk melihat sekeliling seperti
mencari sesuatu.
“Mana ada orang. Cuma ada Bos saja tuh. Dia tidak
mungkin berpikiran macam-macam.” Sahutnya terkekeh, “ah, dua hari nggak
melihatmu rasanya bagai dua tahun yang berlalu. Rindu hati awak ne.”
“Hoek.” Surya pura-pura muntah, “ternyata nggak enak
ya yang namanya morning sick.” Dia memijat pelipisnya, “kamu dikasih obat apa
sih sama dokter disana? Bukannya yang sakit itu Jodha, kok yang geser otaknya
malah kamu.” Mansingh tertawa kencang. Dia duduk di samping Jalal.
“Tega banget kau menyakiti hatiku Sur. Sahabat macam
apa itu?” ucap Mansingh pura-pura sedih. Surya mencibir.
“Bukannya kamu biasa disakiti Man? Hahahaha...”
Mansingh mendelik, namun Surya tidak peduli, “sebentar, aku cuci muka dulu ya.”
Tanpa menunggu jawaban dia masuk ke kamarnya.
Tidak perlu waktu lama, Surya sudah keluar dari
kamarnya dengan wajah segar. Dia melangkah ke dapurnya untuk membuatkan secangkir
kopi dan membawanya keluar. Dengan cueknya dia menyesap kopinya tanpa menawari
kedua sahabatnya itu. Karena dia tahu kalau mereka pasti sudah sarapan.
“Terima kasih untuk tidak menawari kami kopi.” Ucap
Mansingh sambil bersidekap. Surya terkekeh mendengarnya dan melihat keduanya
menatap dirinya dengan pandangan jengkel.
“Sama-sama.” Jawabnya dengan santai. Mansingh
mendengus jengkel, “salahnya nggak bawakan aku sarapan. Coba kalau bawa, kan
bisa sarapan bareng. Maklum anak kost.” Ucapnya sambil terkekeh, “sekarang
katakan, ada perlu apa pagi-pagi begini? Apa Jodha sudah keluar dari rumah
sakit?” Jalal menggeleng.
“Belum. Tapi nanti sore sudah diperbolehkan pulang.”
“Terus sekarang kenapa kesini?” Jalal tersenyum.
“Aku ingin mengajak kalian...” keduanya menatap Jalal
dengan penasaran.
“Kemana?” tanya mereka berdua bareng.
“Ikut pelatihan di akmil Magelang.”
“Apaa??” Jalal terkekeh melihat ekspresi melongo
mereka berdua, “akmil? Akademi militer?”
Jalal mengangguk.
“Iya. Kalian berdua disuruh Papaku ikut kesana. Karena
aku akan berangkat kesana secepatnya.” Keduanya semakin tidak mengerti.
“Kenapa harus kami? Bukannya cuma bos aja yang disuruh?”
“Karena latihan ini bagus untuk menguji mental
dan kepribadian kita.”
“Kenapa harus sekarang bos? Bukannya bos seharusnya
memikirkan cara mendapatkan uang untuk tebusan hutang ayahnya Jodha?” tanya Mansingh.
“Justru itu
Man. Karena Papaku mau membantuku membayar semua tebusan itu, maka aku harus
mau menerima syarat ini darinya.” Jawab Jalal dengan bersemangat. Sementara Surya memandang keduanya
bergantian dengan tatapan tidak mengerti.
“Kalian
ngomong apa sih? Hutang? Tebusan? Tebusan apa?” Jalal dan Mansingh menepuk
dahi. Lupa memberitahukan kejadian yang mereka alami tadi malam.
Jalal dan
Mansingh bergantian menceritakan semuanya. Surya tercengang mendengarnya.
“Gila! Ayah
Jodha meminjam begitu banyak uang kepada rentenir? Apa Jodha tahu tentang
masalah ini?” Jalal menggeleng, “kenapa?”
“Aku tidak
ingin melihatnya bersedih Sur. Cukup sudah dia hidup menderita selama ini
karena Ayahnya. Lagipula Papa mau membantuku, dengan syarat seperti yang aku
katakan tadi. Setelah dipikir-pikir, ini semua untuk kebaikanku juga nantinya,
dan semua itu hanyalah permintaan yang bersifat memaksa dari Papaku.”
“Aku salut
sama kamu Bos, mau melakukan apa saja untuk Jodha.” Ucap Mansingh dengan kagum.
“Awalnya aku
berniat begitu Man, tapi setelah aku mendengar ucapan dari Papaku, ada benarnya
juga mulai sekarang aku harus berubah. Apa salahnya aku mencoba mengikuti
pelatihan itu. Bukankah Bang Bayu lulusan dari sana juga? Terlihatkan kalau dia
begitu berkharisma, bisa mengontrol emosinya, tegas tetapi dia tidak kalah
dalam pergaulan.” Mansingh dan Surya mengangguk-angguk mendengar penjelasan
dari Jalal.
“Bagaimana
kalau kita tidak kerasan disana Bos? Katanya disana kita di gembleng dengan
keras.” Jalal mengendikkan bahunya.
“Aku tidak
tahu Man. Yang penting aku jalani dulu saja. Masalah kerasan atau tidak itu
nanti saja. Lagian Papaku sangat berharap aku akan berhasil kali ini. Setidaknya
aku ingin membuat kedua orang tuaku bangga, setelah selama ini aku hanya bisa
meminta dan menyusahkan mereka saja.”
Sahut Jalal mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Kedua
sahabatnya saling pandang, “bagaimana? Kalian mau ikut tidak? Terutama kamu
Man, apa tidak malu punya calon kakak ipar tentara, adiknya pintar karate,
sedangkan kamu bisa apa? Hayoo? Masa nanti malah Nadia yang melindungi kamu?”
tembak Jalal membuat Mansingh tidak bisa berkata apa-apa lagi. Wajahnya
memerah. Akhirnya dia mengangguk.
“Baiklah
Bos. Nanti aku bicarakan dengan orang tuaku dulu.”
“Oke, aku
tunggu kabarnya besok.” Kembali Mansingh mengangguk, Jalal dan Mansingh menoleh ke arah
Surya yang
sudah mengerti arti tatapan mereka.
“Apa?”
“Kamu ikut ya Sur?” pinta Jalal. Surya
menggeleng.
“Maaf Bos,
kali ini aku nggak ikutan. Aku nggak ada bakat disana.” Jalal memicingkan
matanya menatap Surya yang seperti menghindari dari tatapannya.
“Kok tahu
nggak ada bakat disana? Kan kita belum mencobanya?”
“Nggak ah
Bos. Beneran. Kalian saja ya.”
“Nggak bisa.
Pokoknya kamu juga harus ikut. Kan kita selalu bertiga.
Masa nanti kami sukses kamu nggak.” Kata Mansingh berdiri dari tempat duduknya
dan menghampiri Surya. Begitu juga dengan Jalal. Keduanya memegang tangan Surya
di kiri-kanannya. Membuat Surya memberontak
ingin melepaskan diri.
“Lepaskan.
Kenapa sih kalian ini? Nggak usah memaksaku deh. Please.” pintanya. Mansingh mengangkat sebelah
alisnya dan tersenyum miring kepada Jalal.
“Nggak akan.
Sebelum kamu bilang ikut, nggak akan kami lepaskan. Bilang ikut dulu.” Paksa
Jalal. Mansingh terkekeh.
“Nggak ya
nggak Bos. Susah bener.”
“Bilang
iya.” Seru Mansingh. Surya tetap menggeleng, “siap Bos?” tanyanya kepada Jalal.
Jalal tersenyum dan menganguk.
“Siap Man.”
Surya menatap mereka berdua bergantian.
“Kalian mau
apa?”
“Ada deh.
Mau tau aja apa mau tau banget?” Ucap Mansingh tersenyum geli, “terakhir kali
kami tanya, kamu ikut apa nggak?” Surya tetap menggeleng, “oke. Karena itu yang
kamu minta, jangan salahkan kami kalau kami lakukan ini,...” kata Mansingh
serentak dengan Jalal menggelitik pinggang dan kaki Surya. Membuat pemuda itu
menggeliat, tubuhnya melorot turun dari kursinya. Dia
berteriak-teriak kegelian akibat gelitikan kedua sahabatnya itu.
“Aaarrggghh...geli
tau. Bos, Man, hentikan.” Jeritnya tidak karuan. Kedua sahabatnya itu tetap
tidak bergeming.
“Bilang ikut
dulu baru kami berhenti.” Paksa Mansingh. Akhirnya dengan susah payah menahan
geli, Surya pun mengangguk. Mereka berdua tersenyum dan menghentikan
gelitikannya serta bertos ria. Dengan nafas tersengal-sengal akhirnya Surya
duduk di lantai bersandar pada sofa. Jalal dan Mansingh tertawa melihat
sahabatnya itu mengatur nafas.
“Makasih ya
Sur. Kitakan teman, masa nggak setia kawan sih?” kata Mansingh.
“Teman ya
teman Man, tapi nggak maksa juga kali. Kalian enak ikut latihan demi kekasih,
lah aku demi apa coba?” ucap Surya dengan wajah cemberut.
“Demi...kian
lah adanya. Hahahaha...” sahut Mansingh, Jalal ikut tergelak, “Tenang saja Sur,
justru itu kamu mempersiapkan diri jika nanti bertemu dengan seseorang yang
menarik hatimu, maka dia akan mudah tertarik kepadamu. Suer deh.” Surya hanya
bisa menghela nafas panjang.
“Baiklah.
Tapi nanti bantu aku untuk minta ijin dengan kedua orang tuaku ya.” Keduanya
langsung mengiyakan.
“Tenang saja
kalau masalah itu. Kami akan membantumu meminta ijin. Tapi,
sekarang kami harus kembali ke rumah sakit dulu. Soalnya nanti sore Jodha harus pulang.”
“Baiklah,
sampaikan salamku buat Jodha ya. Semoga cepat sembuh.” Jalal cemberut.
“Enak saja
salam-salam. Dia milikku tau.” Surya memutar bola matanya. Mansingh malah
terkikik geli.
“Ya ampun
Bos, gitu aja cemburu. Mana mungkin aku menghianati teman sendiri. Aku kan cuma
menghormatinya sebagai teman dan juga karena dia sedang sakit. Bukan karena aku
cinta sama dia. Dasar.” Gerutu Surya.
“Ya siapa
tahu kamu naksir dia.” Jawab Jalal tidak mau kalah.
“Boleh juga
tuh. Siapa tahu Jodha mau sama aku.” Ejek Surya membuat Jalal melotot
kepadanya, Mansingh mengelengkan kepala melihatnya.
“Sudahlah
Bos, gitu aja kok jadi masalah. Nih, dengar ya. Sampai kapanpun kami tidak akan
pernah mengambil milik teman sendiri.
Jadi Bos nggak usah khawatir deh. Tenang aja.” Surya tertawa melihat Jalal yang
menghela nafas membuang rasa jengkelnya. Akhirnya Surya bisa membalas rasa
jengkelnya tadi karena dipaksa ikut pelatihan oleh mereka berdua.
“Maaf deh
Bos, becanda kok. Man benar, nggak mungkin kami menikung sahabat sendiri. Bos
tenang aja deh.” Jalal pun tersenyum.
Dia tahu kalau sebenarnya juga Surya hanya bercanda saja, namun terkadang rasa
cemburu yang dia miliki lebih besar daripada rasa percayanya meskipun itu
kepada sahabatnya sendiri.
“Iya Sur.
Aku juga minta maaf, sudah kelewatan.” Sahut Jalal dengan wajah menyesal.
“Sama-sama
Bos. Ya sudah, sana pergi. Nanti dicariin lagi sama ayang-ayangnya.” Usir Surya
menggoyangkan tangannya seperti mengusir ke arah mereka berdua.
“Ish dasar.
Baru saja akur. Sudah mulai lagi.”
Gerutu Jalal, “ya sudah, ayo Man kita pergi saja. Sudah di usir sama yang punya
apartemen nih.” Surya tergelak. Jalal beranjak
dari duduknya diikuti oleh Mansingh melangkah menuju pintu.
Mereka
berdua pun akhirnya kembali ke rumah sakit dimana Jodha dan Nadia sudah
menunggu.
“Lama amat Bang baru datang. Kemana aja?” todong Nadia
yang duduk di sofa sambil menikmati camilannya sebungkus besar keripik kentang,
ketika mereka masuk ke ruang inap Jodha. Mansingh tertawa, dia mendekati Nadia
dan duduk disampingnya. Tangannya mengacak pelan rambut Nadia yang sedari tadi
menunggu jawaban. Sementara Jalal duduk di pinggir ranjang, disamping Jodha,
karena gadis itu juga sedang duduk santai menonton televisi.
“Ke apartemen dulu Beb. Menjenguk Surya. Siapa tahu
dia kangen sama kita-kita karena lama tidak bertemu.” Jawab Mansingh tersenyum
melihat Nadia menghentikan makan camilannya dan menatapnya dengan ekspresi
geli, membuat Mansingh terkekeh, “kenapa menatap Abang begitu?” Nadia
menggeleng.
“Abang nggak sakit kan?” katanya mengulurkan tangannya
dan menempelkan punggung tangannya di dahi pemuda itu.
“Abang sehat kok. Sangat sehat malahan, karena ada
kamu disamping Abang.” Nadia mencibir.
“Hm...mulai lagi deh.” Kembali Mansingh terkekeh. Dia
membaringkan tubuhnya di sofa dan meletakkan kepalanya di pangkuan Nadia. Nadia
kaget.
“Ya ampun Bang, kok pake tiduran kayak gini sih?
Disitukan bisa.” Kata Nadia menunjuk sofa yang masih kosong. Namun Mansingh
tidak bergeming, dia malah memejamkan matanya dan tersenyum.
“Sebentar aja Beb. Boleh ya?” Nadia tersenyum salah
tingkah, apalagi ketika melihat Jalal dan Jodha tersenyum penuh arti kepadanya
membuat pipinya merona tanpa bisa disembunyikan lagi.
“Y..ya sudah kalau begitu.” Jawabnya dengan kikuk. Dia
meletakkan bungkusan camilan yang dipegangnya di atas meja.
Satu tangannya di genggam Man, sedangkan tangan
satunya menjulur pelan mengusap kepala Mansingh, membuat senyum pemuda itu
semakin lebar.
“Beb, kalau Abang pergi jauh nanti, kamu kangen Abang
nggak?” gerakan tangan Nadia terhenti. Dia menatap lekat-lekat wajah Mansingh
yang masih menyungging senyuman lebar dengan mata terpejam.
“Maksud Abang? Emangnya Abang mau pergi kemana? Kapan
perginya? Berapa lama?” Mansingh terkekeh mendengar pertanyaan Nadia yang
terkesan tidak sabar itu.
“Yah, jika suatu saat Abang pergi, Abang hanya ingin
tau Bebeb kangen nggak? Kalau kangenkan
Abang pasti senang sekali.” Jalal menahan ketawa mendengar ucapan Mansingh. Jodha menoleh ke
arahnya dan memandangnya dengan heran.
“A-aku...” sahut Nadia tertahan. Mansingh membuka
matanya dan menatap Nadia yang terlihat sedih, meski dia berusaha
menyembunyikannya, “emang Abang mau pergi kemana?” tanyanya lirih. Mansingh
mengulurkan tangannya dan mengusap pipi Nadia dengan lembut, ibu jarinya
menari-nari diatas bibir indah gadis itu. Dia tersenyum.
“Abang,...” Mansingh terdiam sejenak, “Abang bersama
Bang Bos dan Surya akan berangkat ke Magelang, ikut sekolah disana selama enam
bulan Beb. Dan nanti akan diantar oleh Bang Bayu.” Nadia terdiam. Dia masih
menatap wajah pemuda yang masih ada di pangkuannya dengan rasa tidak percaya.
Benarkah? Dan..., kenapa?
Jodha kembali menoleh ke arah tuan mudanya yang
menyunggingkan senyuman kepadanya. Tapi kenapa yang Jodha rasakan senyuman tuan
mudanya itu terasa menyesakkan dada. Ada rasa tidak rela dalam hatinya.
Bagaimana dia belajar mencintainya kalau orangnya sendiri tidak ada di
dekatnya. Terdengar lagi suara Nadia, mengalihkan perhatian Jodha kepada Jalal
yang sama-sama terdiam.
“Kenapa secepat ini Bang? Apa tidak bisa ditunda
dulu?” tanya Nadia dengan suara tercekat, ada isak yang tertahan di
tenggorokannya. Padahal dia baru saja mulai menyukai laki-laki ini dan merasa
nyaman dengannya, tapi kenapa malah dia menjauh.
Mansingh bangkit dan duduk di samping Nadia,
direngkuhnya tubuh gadis mungil itu ke dalam pelukannya. Nadia menurut dan diam
saja. Dia juga sebenarnya tidak rela harus berjauhan dengan gadis kecilnya,
yang sudah membuatnya jatuh hati sejak pertama kali melihatnya.
“Kamu ingatkan yang Abang ceritakan tadi malam?” bisik
Mansingh agar tidak terdengar oleh Jodha, Nadia mengangguk. “Papanya mau
membantu, tapi dengan syarat seperti tadi dan berangkat tidak lama lagi,” Nadia
masih terdiam, “kalau kamu sayang dengan Jodha, tolong kamu jangan sedih ya
Beb, Abang pergi. Enam bulan nggak lama kok.” Nadia menoleh ke arah Jodha yang
menatapnya dengan wajah penasaran karena tidak bisa mendengar ucapan mereka
berdua. Sementara Jalal hanya diam saja.
Nadia memejamkan matanya. Yah, tidak ada salahnya
berkorban kali ini untuk saudara angkatnya itu. Selama ini dia selalu membuat
orang lain bahagia, meski hatinya menderita. Mungkin ini saatnya buat Nadia
untuk memberi sedikit pengorbanannya. Dia mengangguk. Mansingh tersenyum, di
dekapnya dengan erat tubuh gadis kecilnya dan merekam dalam hati dan ingatannya
akan semua hal tentang Nadia.
Sementara Jodha kembali melihat ke arah tuan mudanya
yang bersandar di kepala ranjang dengan posisi miring menghadap Jodha, bertumpu
pada siku tangan kanan diatas bantal untuk menahan tubuhnya. Kali ini pemuda
itu hanya diam dan menatap Jodha lama seakan tidak pernah bosan. Senyumnya
masih menghiasi bibirnya.
“Tuan.”
“Hm...”
“Apa benar yang di bilang Man tadi?” Jalal menoleh
kearah Mansingh yang masih memeluk Nadia. Pemuda itu juga melihat kearahnya.
Jalal kembali memandang Jodha yang menunggu jawaban darinya. Jalal mengangguk.
“Kenapa mendadak sekali tuan? Bukankah sebelumnya
nggak ada rencana kan? Apa ini karena saya?” dalam hati Jalal sedikit terkejut
mendengar ucapan Inemnya. Bagaimana dia bisa merasa seperti itu dengan tepat.
Namun dia berusaha menyembunyikan keterkejutannya itu dengan kembali tersenyum.
“Bukan Sayaaaang.” Jodha melotot mendengar ucapan tuan
mudanya, Jalal hanya terkekeh, “bukan karena kamu Nem. Tetapi Bang Bayu bilang
kalau sekarang itu bertepatan dengan penerimaan siswa baru. Ketika Bang Bayu
cerita tentang pendidikan disana yang bisa melatih mental dan kepribadian
menjadi lebih baik, Papa tertarik ingin memasukkan aku kesana. Katanya biar aku
bisa mandiri, nggak manja kayak sekarang ini.” Jelas Jalal dengan lancar. Dia
menghembuskan nafas lega mendengar ucapannya sendiri.
“Tapi, tetap saja saya merasa ada yang janggal. Saya
merasa ada yang aneh dengan keputusan papanya tuan secara mendadak ini. Apa ada
yang tuan sembunyikan dari saya tentang tadi malam?” tembak Jodha, membuat
Jalal sedikit gelagapan. Ini anak kok
perasa banget sih. Pikir Jalal.
“Menyembunyikan apa sih Nem? Nggak ada yang
disembunyikan kok. Percaya deh sama aku.”
“Tapi,...”
“Stt, sudah. Nggak usah pake tapi-tapi lagi. Oke?”
meski dengan rasa masih penasaran, akhirnya Jodha mengangguk juga, “lukamu
gimana Nem? Udah baikan?” tanya Jalal
mengalihkan perhatian Jodha.
“Sudah Tuan. Kan saya bilang cuma luka kecil saja,
nggak sebanding dengan perawatannya.” Jawab Jodha sambil terkekeh. Jalal ikut
tersenyum.
“Nggak masalah. Sesekali menyenangkan calon isteri kan tidak apa-apa.
Biar cepat sembuh. Goda Jalal. Jodha memukul tangannya pelan.
“Tuan selalu saja ngomong gitu. Nanti kalau papa sama
mama Tuan dengar, sayakan bisa malu Tuan.” Jalal tertawa.
“Tapikan mereka nggak ada disini Nem. Jadi ngapain
malu. Atau kamu pengen peluk aku kayak Nadia tuh.” Kata Jalal menunjuk Nadia
seakan tidak mau melepas pelukannya dari Mansingh.
“Tuan bisa saja ngomong begitu. Bukannya Tuan yang biasanya
pengen
moduskan?”
“Kalau aku sih emang maunya gitu Nem. Hahahaha...”
jawab Jalal tergelak, mau tidak mau membuat Jodha ikut tersenyum juga.
“Nanti kalau Tuan pergi, rumah pasti sepi. Apalagi
mama sama papanya Tuan nggak ada juga, tambah sepi deh.”
“Iya. Nggak ada yang ngusilin kamu ya Nem?” Jodha
mengangguk, “kamu suka banget aku usilin ya Nem?” kembali Jodha mengangguk,
tapi kali ini lebih cepat.
Eh?
Kenapa jadi mengangguk lagi sih? Sial. Jodha menyesal
mengangguk. Astaga! Kok kesannya malah kayak pengen banget di usilin lagi. Tapi
terlambat, kekehan Jalal semakin lebar. Kok ya bisa hati sama kepalanya nggak
sinkron. Kejadian di pantai itu terulang
lagi. Jadi
malah tambah memalukan saja.
“Ng-nggak kok Tuan.” Jalal mendecak sambil tersenyum.
“Nggak apanya? Kamu ngangguk gitu kok. Emang aku salah lihat? Biasakan hati sama
mulut itu yang sesuai Nem. Biar nggak bingung.” Jodha tersipu malu, ketahuan
isi hati yang sebenarnya oleh tuan mudanya. Memang susah menghadapi orang yang
punya pengalaman dengan yang polos. Bisa saja sih
sebenarnya Jalal mengorek habis-habisan tentang isi hati Inemnya itu, tetapi dia
tidak mau melakukannya. Dia ingin gadis itu sedikit demi sedikit jujur
mengungkapkan perasaannya dengan nyaman, tanpa terpaksa. Dan Jalal
menikmatinya. Melihat Inemnya salah tingkah, tersipu malu dengan wajah memerah,
bicara gugup, membuatnya terlihat sangat menggemaskan. Dan yang pasti merupakan
hiburan tersendiri buat Jalal.
“Sa-saya...” ucapan
Jodha terhenti keburu di potong oleh Jalal.
“Kok cuma saya aja Nem? Nggak ditambahin lagi
hurufnya?” Jodha mengerutkan keningnya.
“Maksud Tuan?” Jalal terkekeh.
“Kok cuma saya saja? Nggak ‘saya’ plus ‘ng’. Sayaaaang gitu loh Yang. Hahahaha...” ucap Jalal tergelak.
Mansingh sampai menggeleng kepala melihat sahabatnya.
“Ih, Tuan sudah dibilangin juga jangan manggil gitu
malah bandel.” Gerutu Jodha.
“Kamu tahu aku kan Nem. Semakin kamu larang, maka aku
semakin menyukainya.” Sahut Jalal kembali tertawa. Jodha hanya bisa mendesah pasrah. Gimana lagi? Yang
ditegur itu majikannya, mana ada majikan nurut sama pembantu. Yang ada pembantu
nurut sama majikan. Itu sudah menjadi hukum tidak tertulis. Emang mau disepak dari pekerjaan kalau nggak
nurut? Tapi ini kan masalah hati, bukan masalah pekerjaan?
Pintu kamar
di ketuk perlahan, kemudian terbuka. Nampak seorang dokter beserta perawatnya
masuk menghampiri Jodha, diikuti oleh Bayu yang memakai pakaian seragam
dinasnya dengan lengkap. Membuatnya nampak gagah dan berwibawa. Dengan segera
Jalal turun dari ranjang dan berdiri disampingnya, dan Jodha segera
menyandarkan tubuhnya di kepala ranjang.
“Selamat
siang Nona Jodha.” Sapa Dokter tersebut dengan ramah.
“Selamat
siang juga Dok.” Balas Jodha.
“Bagaimana
keadaannya hari ini?” tanya dokter itu sembari memeriksa keadaan Jodha.
“Baik Dok.
Tapi...”
“Tapi apa?”
tanya Dokter tersebut sambil tersenyum tanpa menghentikan kegiatannya.
“Tapi saya
ingin cepat pulang Dok, nggak betah disini.” Dokter itu tertawa pelan. Bayu
ikut tersenyum mendengar ucapan Jodha, dia berdiri disamping Jalal. Sedangkan
Mansingh duduk di sofa dan Nadia duduk di lantai dengan punggung bersandar di
kaki Mansingh sambil menonton televisi.
“Tidak ada
yang betah tinggal di rumah sakit Nona, kalau di hotel mungkin akan betah.”
Berganti Jodha yang terkekeh.
“Bagaimana
Dok?” tanya Bayu.
“Baik Pak.
Sudah tidak apa-apa lagi. Tinggal masa menyembuhan saja.” Bayu mengangguk.
“Kapan saya
boleh pulang Dok?” tanya Jodha.
“Sudah nggak
sabar ya?”
“Iya dok.”
“Hari ini sudah
bisa pulang. Kamu sudah sehat kok.”
“Saya kan
memang nggak sakit Dok.” Sahut Jodha.
“Cerewet.
Jawab mulu.” Omel Jalal akhirnya tidak tahan lagi. Jodha mengerucutkan
bibirnya. Bayu dan dokter itu tertawa pelan.
“Ya sudah,
kalau begitu saya permisi dulu. Nanti dua atau tiga hari lagi lukanya sudah
sembuh.”
“Iya Dok.
Terima kasih.” Ucap Jodha.
“Sama-sama
Nona.” Dokter itu pun akhirnya pamit keluar bersama perawatnya. Jalal menatap
Inemnya yang senyum-senyum dari tadi. Bibirnya mendecak. Ck. Itu anak kalau
disuruh pulang senangnya minta ampun.
“Senang?”
tanya Jalal dengan sedikit kesal. Jodha nyengir.
“Senanglah
Tuan. Masa di suruh pulang saya nolak.”
“Ingat yang
aku bilang tadi malam.” Jodha mengangguk, “awas kalau melanggar.” Ancam Jalal.
“Iyeeee...Tuan.”
Bayu menggeleng kepala melihat Jalal menjadi super protective itu. Dia melangkah menuju sofa yang ada di sebelah
Mansingh. Begitu juga dengan Jalal, dia duduk disamping Bayu. Hanya Jodha yang
masih di ranjang. Dia hanya duduk diam mendengarkan pembicaraan mereka.
“Bang, kapan
kita akan berangkat?” tanya Jalal begitu mereka sudah duduk. Semua mata
terpusat kepada Bayu yang tersenyum mendengar pertanyaan Jalal.
“Kamu sudah
siap Jalal?”
“Siap tidak
siap harus siap Bang.” Bayu mengangguk, “nanti Man sama Surya juga ikut.” Bayu
menoleh ke arah Mansingh.
“Oh ya?”
“Iya Bang.”
“Kamu juga
sudah siap Man?” Mansingh mengangguk.
“Iya Bang,
hanya saja belum memberitahukan hal ini kepada orang tua saja.”
“Baiklah.
Dua hari lagi kita akan berangkat setelah urusan disini selesai. Kita berangkat
menggunakan kereta api saja. Hitung-hitung memulai pelatihan dari hal kecil
dulu. Kalian akan tiba disana seminggu sebelum para taruna yang sebenarnya
datang. Akan ada yang khusus melatih kalian disana. Abang harap kalian harus
mempersiapkan fisik dan mental. Abang bukan menakuti, tetapi ini sangat bagus
untuk kalian. Terlebih kalian adalah laki-laki yang bakal memikul segala
tanggungjawab yang besar di pundak kalian. Kalian akan merasakan manfaatnya
setelah kalian selesai melakukan pelatihan.” Jelas Bayu panjang lebar kepada
Jalal dan Mansingh. Keduanya hanya menganggukkan kepala.
“Nanti Bang
Bos disana akan diajarkan masak, nyuci pakaian sendiri, setrika baju sendiri,
apa-apa dilakukan sendiri. Nggak kayak sekarang, mau makan aja, Nem...makananku
mana?, Nem,...bajuku mana?, Nem,...kopiku mana?” ledek Nadia. Bayu dan Mansingh
terkekeh, sedangkan Jodha hanya tersenyum mendengarnya, “nanti kalau Bang Bos
pulang, malah Jodha yang memohon-mohon minta disuruh sama Bang Bos, karena
majikannya tidak perlu pembantu lagi. Hahahaha...” Nadia tertawa
terbahak-bahak, membuat Jalal melempar bantal sofa ke arahnya. Tidak peduli ada
Bayu disitu, Nadia malah meleletkan lidahnya ke arah Jalal.
“Kayak kamu
bisa masak aja Nad?” balas Jalal lagi
“Bisa dong.
Kata siapa tidak bisa?” Jalal mencibir.
“Masak air
aja kali bisanya.” Ejek Jalal lagi. Nadia melebarkan matanya menatap ke arah
Jalal.
“Kok Bang
Bos tahu kalau aku cuma bisa masak air aja?” Jalal dibuatnya melongo
mendengarnya.
“Jadi benar
kamu nggak bisa masak Nad?” Nadia melirik kearah Mansingh yang mengangkat bahu
sambil tersenyum melihatnya, “ya ampun. Hari gini anak perempuan nggak bisa
masak. Capek deh.” Ledek Jalal menepuk keningnya. Nadia hanya bisa
mengerucutkan bibirnya saja.
“Ih, Bang
Bos nggak asyik deh. Aku kan nanti bisa belajar Bang.” Jalal masih tersenyum
mengejek kearah Nadia.
“Sudah Beb.
Nggak apa-apa kok. Nggak masalah belum bisa masak. Kita sama-sama belajar
nanti.” Hibur Mansingh. Nadia mengangguk. Jalal terkekeh melihatnya. Sementara abangnya
hanya tersenyum.
“Sudah,
sudah, sekarang Abang mau balik ke kantor lagi. Kalian bersiap-siap saja untuk
pulang. Administrasinya sudah Abang urus semuanya. Jadi kalian tinggal keluar
saja. Nanti Abang hubungi kalau ada yang perlu dibicarakan lagi.” Kata Bayu
berdiri dari tempat duduknya.
“Iya Bang.”
Bayu pun
melangkah keluar dari ruangan itu untuk kembali ke kantornya. Sedangkan mereka
bertiga berkemas untuk segera pulang. Sementara Jodha hanya bisa melihat mereka
saja dengan duduk bersila di ditengah ranjangnya. Ingin melakukan apa saja
tidak boleh sama bos kecilnya itu. Menyebalkan.
Setelah
selesai berkemas, mereka pun pulang menjelang sore. Nadia dan Mansingh ikut pulang kerumah Jalal, karena dia berencana
mengantarkan keduanya sekalian membawa uang yang akan dibayarkan untuk Adam
kepada Bayu.
Setiba
dirumah, mereka disambut oleh Bu Hamidah. Sedangkan Papanya Jalal belum pulang
dari kantor.
“Kamu sudah
pulang Jo. Ibu senang sekali.” Ucap Bu Hamidah memeluk Jodha dengan gembira.
Jodha hanya tersenyum malu.
“I-iya Bu.”
“Bagaimana
lukamu? Sudah sembuh?” tanya Bu Hamidah lagi ketika melepaskan pelukannya.
“Sudah
mendingan Bu. Paling juga dua atau tiga hari lagi akan sembuh.”
“Syukurlah,
Ibu senang mendengarnya. Ayo masuk sayang.” Bu Hamidah membimbing Jodha masuk
ke rumah, membuat gadis itu canggung luar biasa. Sungguh sangat-sangat tidak
nyaman sekali. Sakitnya biasa saja, tetapi perawatan dan perhatian majikannya
sungguh sangat berlebihan menurutnya.
Jalal
tersenyum bahagia melihat mamanya memeluk gadisnya, dia masuk kerumah mengikuti
mamanya bersama Nadia dan Mansingh. Bi Ijah gembira menyambut Jodha sudah
kembali kerumah. Bu Hamidah sampai mengantarkan Jodha sampai ke kamarnya
bersama Nadia dan Bi Ijah, sedangkan Jalal mengajak Mansingh ke kamarnya.
“Kamu
istirahat saja dulu Jo, jangan banyak bergerak. Biar cepat sembuh.” Nasehat Bu
Hamidah duduk di samping Jodha, begitu juga dengan Nadia. Hanya Bi Ijah saja
yang berdiri.
“Iya Bu.
Sa-saya jadi nggak enak Bu.”
“Nggak enak
gimana Jo?”
“Kok Ibu yang
jadi melayani saya.” Bu Hamidah terkekeh.
“Tidak
apa-apa Jo. Buat calon mantu apa sih yang nggak.” Jodha tertunduk malu.
“Asyeek...”
sahut Nadia, “udah acc nih. Tinggal tandatangan sama stempelnya aja lagi.
Jangan lama-lama ya Tan, habis Bang Bos kembali dari tugasnya, langsung aja
kita makan-makan buat ngikat Jodha.”
“Benar Nad,
Tante jadi nggak sabar nunggunya.” Nadia tertawa, Bu Hamidah berdiri, “ya sudah
Jo, Ibu keluar dulu. Kamu istirahat saja. Nggak usah kerja dulu.” Jodha hanya
bisa mengangguk pasrah. Nggak anak, nggak mamanya, sama saja. Bi Ijah hanya
mengulum senyum melihat mereka bertiga. Dia ikut senang melihat majikannya
menyayangi Jodha.
Setelah
ketiganya keluar dari kamar, Jodha termenung. Memikirkan sikap majikannya tadi
yang mengatakan dirinya sebagai calon menantu. Ah, pipi Jodha menghangat
mengingatnya. Dia segera bangkit menuju kamar mandi untuk mandi dan
membersihkan diri.
Malam
harinya, Jalal sekeluarga makan malam bareng Nadia dan Mansingh. Seperti biasa
jikalau ada Nadia, pastilah suasana akan menjadi rame. Dan anehnya, meskipun
dia sudah mulai menyukai Mansingh tetapi tingkah lakunya tetap saja tidak
berubah, seperti
seorang yang ingin menjaga citra dirinya dihadapan orang yang disukai. Dan Mansingh juga tidak ingin berusaha untuk merubahnya, karena memang dia
menyukai pribadi gadis itu yang ceria, cuek, dan blak-blakan.
Setelah
makan malam, Jalal mengantar Nadia dan Mansingh pulang dengan membawa sebuah
koper uang sebanyak 600 juta itu, tentu saja tanpa sepengetahuan Jodha. Begitu sampai
dirumah Nadia, mereka berencana ingin ikut lagi kesana, namun Bayu tidak
memperbolehkan.
“Tidak usah
Jalal. Biar Abang sama Todar saja yang ngantar uang itu. Kamu sama Man pulang
saja. Jangan khawatir, tidak akan terjadi apa-apa.”
“Tapi aku
takut kalau mereka ingkar janji Bang.” Sahut Jalal. Bayu tersenyum.
“Tenanglah,
mereka tidak akan berani berbuat gegabah. Abang juga sedang menyelidiki tentang mereka dan juga seluruh usaha
yang dimiliki Adam. Sekalian juga Abang menyuruh orang untuk mencari informasi
tentang ayahnya Jodha.” Jalal senang sekali mendengarnya.
“Iya Bang.
Baguslah kalau begitu. Aku takut dia akan kembali mengganggu Jodha.”
“Abang tidak
akan membiarkan itu terjadi, Abang akan mencari celah kesalahannya untuk
mengirimnya kepenjara kalau dia melakukan hal itu.” Jalal mengangguk puas.
“Baiklah
Bang, kalau begitu kami pulang dulu. Makasih banyak ya Bang, sudah mau
membantu.” Bayu menepuk bahu Jalal
pelan.
“Tidak usah
berterima kasih, bagaimana pun dia adik Abang juga. Abang akan berusaha semampu
Abang untuk melindunginya.”
“Iya Bang.”
Akhirnya
Jalal dan Mansingh pamit pulang. Karena Bayu dan Todarmal yang akan menemui
Adam untuk membayarkan hutang Pak Bharmal, ayahnya Jodha.
***
Hari yang
ditunggu pun datang sudah. Jalal, Mansingh, Surya akan berangkat ke Magelang
menggunakan jalur kereta api yang memakan 12 jam perjalanan dari Jakarta ke
Jogya. Sengaja Bayu mengajak ketiganya naik kereta api agar mereka sedikit demi
sedikit mengurangi zona nyaman mereka selama ini. Antri tiket, menunggu di stasiun
dan berdesakan masuk ke dalam gerbong adalah hal yang belum pernah mereka
alami. Kecuali macet. Tentu saja, semua pasti pernah merasakan yang namanya
macet. Apalagi Jakarta.
Nadia dan Jodha mengantar mereka berempat
sampai di stasiun. Sebelum masuk ke dalam stasiun Jalal menggenggam erat tangan
Jodha, begitu juga dengan Mansingh dan Nadia. Gadis itu bergayut manja di
lengan laki-laki yang sebentar lagi akan
meninggalkannya dalam jangka waktu yang lumayan lama. Karena Bayu melarang
kedua gadis itu ikut menunggu mereka berangkat, jadilah mereka hanya pamitan di
depan stasiun saja. (ah, berasa
mengantar kekasih hati pergi ke medan perang. Wkwkwkwk....ingin sedih tapi
malah ketawa. Ckck.).
Bayu dan Surya sudah masuk duluan ke dalam
stasiun, kini tinggallah mereka berempat. Jalal memeluk erat tubuh Jodha. Gadis
itu hanya terdiam. Meski banyak yang ingin diucapkannya, tetapi semua tertahan
hanya sampai di tenggorokannya saja. Jalal merekam semua dalam hatinya, semua
tentang Inemnya. Di hirupnya dalam-dalam aroma khas tubuh Jodha, kelak disana
dia akan mengingat semuanya.
Setelah puas memeluk, Jalal menangkup wajah
gadisnya dengan kedua tangannya. Keduanya saling berpandangan, saling menyimpan
semua kenangan perpisahan kali ini dalam hati dan pikiran.
“Nem, tunggu aku ya.” Jodha mengangguk,
“do’akan agar aku berhasil disana ya Nem, kangen aku selalu ya sayang.” Jodha
ingin ketawa mendengarnya, tetapi tidak mampu. Dia hanya bisa mengangguk dan
mengangguk. Jalal mencium kening Jodha, lamaaa...sampai gadis memejamkan
matanya, meresapi semuanya.
“Cepat kembali sa...yang...” ucap Jodha lirih
antara malu, canggung, dan geli. Dia tertunduk, wajahnya memerah. Namun Jalal
tersenyum kegirangan mendengar ucapan Jodha. Mansingh dan Nadia yang sedari
tadi memandang keduanya, ikut tersenyum
melihat tingkah Jalal yang kegirangan. Jalal mengangguk. Di genggamnya
kedua tangan Jodha dan di ciumnya berulangkali.
“Iya. Aku akan kembali secepatnya Inem
sayang. Sabar ya.” Jodha mengangguk malu-malu. Kembali Jalal tersenyum. Akhirnya dia pun melepaskan genggaman
tangannya dan melangkah masuk ke stasiun tanpa menoleh kebelakang lagi. Begitu
juga dengan Mansingh, meninggalkan kedua gadis itu yang hanya bisa memandang punggung mereka berdua sampai
menghilang di tengah ramainya kesibukan di dalam stasiun tersebut.
===tbc===
Fiuh...akhirnya selesai juga. Buat yang baper
silakan, atau mau ketawa kayak saya juga boleh. Hehehe...nantikan keseruan
mereka bertiga ketika dalam masa pelatihan di part selanjutnya. Untuk next part
jangan tanya Nadia sama Jodha ya. Karena itu full untuk Jalal cs saja.
Hehe....makasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar