Menu

Jumat, 12 Februari 2016

BIARKAN AKU JATUH CINTA. PART. 19 (TUNGGU AKU KEMBALI)


Jalal dan kedua orang tuanya masih berada di meja makan. Kedua orang tuanya kembali menasehatinya untuk apa yang akan dilakukan disana kelak.
“Satu yang harus kamu ketahui Jalal, kalau kamu tidak lulus dengan penilaian mereka disana, maka kamu harus mengulang lagi.” Jalal hanya bisa melongo mendengarkan ucapan papanya, “jadi, berusahalah semampu yang kamu bisa untuk belajar. Kelak akan banyak yang bisa kamu dapatkan.” Jalal mengangguk.
“Iya Pa.”
“Kamu adalah satu-satunya penerus keturunan Papa Jalal, dipundakmu nanti akan Papa serahkan tanggungjawab yang besar untuk kamu pikul. Kamu yang akan menggantikan Papa melanjutkan perusahaan kita. Dan yang harus kamu ketahui, bahwa persaingan di dunia bisnis lebih kejam. Tetapi tidak bisa menghadapinya dengan emosi semata. Harus bisa berpikir dengan tenang. Bukan masalah bangkrut yang Papa takutkan, tetapi Papa memikirkan nasib karyawan yang sudah menggantungkan harapan mereka kepada perusahaan kita. Seandainya perusahaan Papa bangkrut, mereka makan apa? Papa nggak tega melihatnya.” Jalal menunduk. Yah, secara tidak langsung Papanya sudah meminta dia untuk berubah. Mungkin sudah saatnya bagi dia untuk belajar memikul tanggungjawab seperti yang kedua orang tuanya inginkan.
“Iya Pa. Aku janji akan belajar seperti yang Papa inginkan. Aku sadar, mungkin sudah saatnya aku berhenti untuk bermain-main.” Sahut Jalal lagi. Pak Humayun tersenyum. Begitu juga dengan istrinya. Dia bangkit dan menghampiri Jalal yang sudah berdiri dari kursinya. Pak Humayun memeluk Jalal dengan bangga. Matanya berkaca-kaca karena begitu senangnya. Begitu juga dengan Jalal, ada rasa haru dan bangga pada dirinya ketika Papanya memeluknya.
Dia tidak ingat kapan terakhir papanya memeluknya. Tapi yang dia ingat itu terjadi sudah lama sekali, apalagi mereka berdua sangat jarang bertemu. Kecuali dengan mamanya.
“Terima kasih Jalal, Papa bangga sama kamu. Maafkan jika selama ini Papa jarang memperhatikanmu dan sibuk dengan kerjaan Papa.” Kata Pak Humayun melepas pelukannya. Jalal dan juga mamanya tersenyum.
“Tidak apa-apa Pa, aku mengerti atas kesibukan Papa. Maafkan aku juga yang hanya bisa menghabiskan waktu dan uang dengan sesuatu yang tidak berguna.” Pak Humayun menepuk pundak Jalal pelan.
“Papa tidak merasa sia-sia membuang uang agar kamu bisa lebih baik lagi dari Papa. Uang masih bisa dicari lagi. Tapi kamu, harta Papa yang paling berharga selain Mama.” Jalal mengangguk.
“Jadi, Papa sama Mama merestui hubunganku dengan Jodha?” tanya Jalal dengan penuh harap. Kedua orang tuanya saling pandang dengan tersenyum.
“Bayu sudah menceritakan semua tentang Jodha, Papa sama Mama tidak melarang kamu menjalin hubungan dengannya. Hanya saja Papa berharap kalian bisa menjaga diri. Apalagi kalian tinggal serumah dan kami sering tidak ada, lebih banyak bahayanya. Mungkin akan lebih baik kalian menikah saja. Lebih aman.” Sahut Pak Humayun. Wajah Jalal memerah ketika mendengar ucapan papanya yang menyuruhnya menikah. Tetapi dia juga senang kalau orang tuanya merestui cintanya kepada Inemnya.
“Mungkin nanti jika kami lulus kuliah saja Pa. Aku yakin kalau sekarang Jodha pasti akan menolakku mentah-mentah. Karena dia ingin menemukan ayahnya terlebih dahulu. Makasih ya Pa, Ma sudah merestui cinta kami. Tapi, tolong jangan bilang sama dia kalau kita sudah membicarakan ini  ya Pa, Ma.” Pinta Jalal. Kedua orang tuanya menatap heran.
“Kenapa?”
“Aku takut dia akan pergi dari rumah ini Pa, karena sebelumnya dia memintaku berjanji untuk merahasiakan hubungan kami ini. Tidak sebelum dia lulus kuliah, tetapi dengan adanya peristiwa ini membuatku ingkar janji kepadanya.” Jelas Jalal. Kedua orang tuanya mengangguk, mengerti.
“Baiklah. Kami berjanji. Kami akan bersikap seperti biasa saja.” Jawab Papanya.
“Makasih ya Pa. Ma. Kalau gitu, aku pamit kembali kerumah sakit lagi ya.” Kedua orang tuanya mengangguk. Jalal mencium tangan kedua orang tuanya dengan gembira. Dia melangkah keluar dengan hati riang. Pak Humayun dan istrinya tersenyum melihat Jalal seperti itu. Keduanya kembali duduk dikursinya tadi.
“Benar kata Bayu tadi malam ya Pa, anak kita hanya perlu di bina dan di arahkan saja lagi. Mama senang sekali melihatnya, bahkan menerima syarat dari Papa tanpa protes.” Pak Humayun mengangguk.
=flashback=
Malam itu, setelah mengantar Jalal dan Mansingh kerumah sakit, Bayu menghubungi papanya Jalal bermaksud ingin menemuinya dan membicarakan hasil pembicaraan mereka dengan Adam. Jadi alasan Bayu kepada Nadia yang mengantuk itu hanya sekedar biar mereka berdua cepat keluar dari kamar inap Jodha.
Setibanya di rumah Jalal, Bayu dan Todarmal segera mengatakan maksud kedatangannya. Mereka berdua menceritakan apa yang telah mereka ketahui. Pak Humayun dan Bu Hamidah nampak terkejut mendengarnya. Tidak bisa di percaya, seseorang yang biasa seperti ayahnya Jodha bisa mempunyai hutang begitu banyak. Apalagi sampai ingin mengorbankan putrinya.
“Lalu rencanamu apa sekarang Bay?” tanya Pak Humayun, Bayu berpikir sejenak.
“Ya, mau tidak mau kita harus membantu Jodha Om. Kalau tidak, dia akan menjadi penebus hutang Ayahnya. Sedangkan dia adalah gadis yang disayangi oleh orang tua saya. Mereka akan marah kalau saya membiarkan ini terjadi, terlebih lagi Nadia. Dia sangat menyayangi gadis itu.” Pak Humayun mengangguk.
“Baiklah, biar Om yang bantu bayarkan. Om juga nggak akan membiarkan seseorang yang tidak berdosa seperti Jodha harus mendapatkan perlakuan tidak adil akibat kelakuan orang tuanya. Tidak apa-apa Om kehilangan uang segitu, apalagi sepertinya Jalal menyukai gadis itu.” Kembali Bayu berpikir lagi.
“Begini saja Om, saya punya ide.” Pak Humayun dan Bu Hamidah menatapnya dengan antusias.
“Apa idemu?”
“Begini, kemarin Om menyuruh Jalal untuk berlatihkan?” Pak Humayun mengangguk, “setelah saya dan Todar pikir-pikir, tidak akan mudah melatih Jalal dengan cepat. Ditambah lagi dengan kesibukan saya yang hanya bisa melatihnya seminggu sekali, selebihnya dia berlatih dengan Nadia. Sedangkan Om tahu sendiri bagaimana mereka berdua. Selalu bertengkar, alhasil latihannya akan sia-sia saja.”
“Lalu rencanamu?”
“Bagaimana kalau nanti Jalal meminta bantuan Om untuk membayarkan hutang Ayahnya Jodha, Om minta syarat kepadanya, yaitu dia harus mau mengikuti pelatihan dan pembinaan di akademi militer di Magelang.” Jelas Bayu. Pak Humayun dan Istrinya saling pandang.
“Pelatihan dan Pembinaan di akademi militer di Magelang?” Bayu mengangguk.
“Iya Om. Saya dengar dari teman saya yang juga pengajar disana, mereka menerima calon taruna kelas khusus. Dalam artian, mereka di gembleng secara militer namun bukan untuk menjadi prajurit. Tetapi lebih kepada pembentukan karakter dan kepribadian. Biasanya yang mengikuti pembinaan ini adalah dari anak-anak nakal, pemalas, mantan pecandu narkoba, dan yang selalu berbuat hal negatif lainnya.” Pak Humayun mengangguk. Dia tersenyum.
“Lalu berapa lama pelatihan itu berlangsung Bay?”
“Kurang lebih enam bulan Om. Tergantung prestasinya. Kalau menurut pengajar disana mereka memenuhi syarat untuk di lepas ke masyarakat, enam bulan sudah cukup. Tetapi bila belum memenuhi syarat maka masa pembinaan mereka akan di perpanjang lagi.”
“Lantas apa pengajaran yang mereka terima akan sama dengan siswa taruna militer?”
“Iya Om. Nanti akan disamakan pembelajarannya, karena para taruna tingkat satu kurikukumnya 60 persen pelajaran praktek militer, 40 persen ilmu militer dan sipil.  Disana akan dlilatih untuk mendapatkan kualitas mental kepribadian yang mencakup kejujuran, keadilan, disiplin, tanggungjawab, bekerjasama, kepedulian, loyalitas, dedikasi (pengabdian), keuletan, integritas (keteguhan), kepemimpinan, dan visioner (wawasan). Jadi nanti akan terlihat sikap mental mereka setelah digenjot dengan latihan sangat keras, apakah akan bertambah buas, liar, balas dendam kepada orang lain, ataukah akan menjadi manusia yang tangguh, pemaaf, dan berbudi luhur.” Pak Humayun mengangguk puas dengan penjelasan Bayu, “selain itu juga nanti setelah pendidikan mereka selesai, akan dilanjutkan dengan pelatihan yang mencakup konsep tentang leadership (kepemimpinan), skill (keterampilan/bakat), intelektual (kecerdasan pola pikir), intelegensi (kemampuan memecahkan masalah), dan juga sosialisasi (pengenalan) langsung dengan masyarakat. Karena seorang pemimpin itu tidak cuma mengerti masalah di dalam saja, tetapi juga bersinggungan langsung dengan masalah individu yang berbeda karakter.”
“Bagus sekali, Itu yang Om harapkan dari Jalal. Meski tidak harus menjadi tentara, tetapi sikap dan kepribadiannya mencerminkan sikap yang tegas, disiplin, tetapi juga lembut.”
“Iya Om, saya pikir sekaranglah waktu yang tepat untuk melakukan itu. Karena sekarang dia sangat membutuhkan bantuan Om.”
“Baiklah Bay. Om terima saran kamu.” Bayu dan Todarmal tersenyum senang, “jadi kapan Jalal akan berangkat kesana?”
“Setelah urusan dengan Adam selesai Om. Mungkin tiga hari lagi akan siap. Biar nanti saya yang akan mengantarkan kesana. Kalau perlu temannya juga bisa diajak kesana Om. Karena ini bagus buat mereka.”
“Oke. Nanti Om yang akan menyuruh mereka ikut.”
“Tapi saya minta Om jangan memberitahukan hal ini kepada Jalal ya Om, karena saya hanya ingin membantu dia saja.” Pak Humayun tersenyum.
“Kamu tenang saja Bay, biar Om yang atur semuanya. Dia tidak akan mengetahui hal ini.”
“Iya Om.”
=flashback end=
“Iya Ma, Papa juga senang melihat anak kita akhirnya bisa berpikir dewasa. Papa bersyukur disaat seperti ini Bayu datang memberikan jalan keluar untuk kita.” Ucap Pak Humayun seraya menghela nafas panjang. Terasa beban dihatinya sudah tercabut, ada rasa lega yang tidak terucap. Begitu juga dengan Bu Hamidah, dia merasakan seperti yang suaminya rasakan. Tidak mudah membina dan mendidik Jalal, terlebih dia sudah terbiasa dimanja oleh orang tuanya.
Sementara itu Jalal yang sudah berada di depan rumah sakit menghubungi Mansingh dan mengajaknya keluar. Dia ingin membicarakan keputusan papanya kepada sahabatnya itu. Tidak perlu menunggu waktu lama, Mansingh sudah muncul dan menghampiri Jalal yang masih berada di jeepnya. Setelah Mansingh masuk, Jalal segera memacu jeepnya ke arah apartemen sahabatnya itu.
Sesampainya di apartemen, keduanya menekan bell kamar Surya. Pintu terbuka setelah agak lama mereka menunggu. Rupanya sang pemilik baru saja bangun tidur.
“Hai bro, apa kabar? Aku kangen nih.” Ucap Mansingh memeluk Surya yang masih mengucek matanya. Surya kaget dan refleks melepaskan pelukan Mansingh. Jalal hanya tertawa melihatnya dan langsung duduk di sofa.
“Apaan sih Man? Geli tau, ntar orang melihatnya jadi berpikiran aneh-aneh.” Mansingh celangak-celinguk melihat sekeliling seperti mencari sesuatu.
“Mana ada orang. Cuma ada Bos saja tuh. Dia tidak mungkin berpikiran macam-macam.” Sahutnya terkekeh, “ah, dua hari nggak melihatmu rasanya bagai dua tahun yang berlalu. Rindu hati awak ne.”
“Hoek.” Surya pura-pura muntah, “ternyata nggak enak ya yang namanya morning sick.” Dia memijat pelipisnya, “kamu dikasih obat apa sih sama dokter disana? Bukannya yang sakit itu Jodha, kok yang geser otaknya malah kamu.” Mansingh tertawa kencang. Dia duduk di samping Jalal. 
“Tega banget kau menyakiti hatiku Sur. Sahabat macam apa itu?” ucap Mansingh pura-pura sedih. Surya mencibir.
“Bukannya kamu biasa disakiti Man? Hahahaha...” Mansingh mendelik, namun Surya tidak peduli, “sebentar, aku cuci muka dulu ya.” Tanpa menunggu jawaban dia masuk ke kamarnya.
Tidak perlu waktu lama, Surya sudah keluar dari kamarnya dengan wajah segar. Dia melangkah ke dapurnya untuk membuatkan secangkir kopi dan membawanya keluar. Dengan cueknya dia menyesap kopinya tanpa menawari kedua sahabatnya itu. Karena dia tahu kalau mereka pasti sudah sarapan.
“Terima kasih untuk tidak menawari kami kopi.” Ucap Mansingh sambil bersidekap. Surya terkekeh mendengarnya dan melihat keduanya menatap dirinya dengan pandangan jengkel.
“Sama-sama.” Jawabnya dengan santai. Mansingh mendengus jengkel, “salahnya nggak bawakan aku sarapan. Coba kalau bawa, kan bisa sarapan bareng. Maklum anak kost.” Ucapnya sambil terkekeh, “sekarang katakan, ada perlu apa pagi-pagi begini? Apa Jodha sudah keluar dari rumah sakit?” Jalal menggeleng.
“Belum. Tapi nanti sore sudah diperbolehkan pulang.”
“Terus sekarang kenapa kesini?” Jalal tersenyum.
“Aku ingin mengajak kalian...” keduanya menatap Jalal dengan penasaran.
“Kemana?” tanya mereka berdua bareng.
“Ikut pelatihan di akmil Magelang.”
“Apaa??” Jalal terkekeh melihat ekspresi melongo mereka berdua, “akmil? Akademi militer?” Jalal mengangguk.
“Iya. Kalian berdua disuruh Papaku ikut kesana. Karena aku akan berangkat kesana secepatnya.” Keduanya semakin tidak mengerti.
“Kenapa harus kami? Bukannya cuma bos aja yang disuruh?”
“Karena latihan ini bagus untuk menguji mental dan kepribadian kita.”
“Kenapa harus sekarang bos? Bukannya bos seharusnya memikirkan cara mendapatkan uang untuk tebusan hutang ayahnya Jodha?” tanya Mansingh.
“Justru itu Man. Karena Papaku mau membantuku membayar semua tebusan itu, maka aku harus mau menerima syarat ini darinya.” Jawab Jalal dengan bersemangat. Sementara Surya memandang keduanya bergantian dengan tatapan tidak mengerti.
“Kalian ngomong apa sih? Hutang? Tebusan? Tebusan apa?” Jalal dan Mansingh menepuk dahi. Lupa memberitahukan kejadian yang mereka alami tadi malam. 
Jalal dan Mansingh bergantian menceritakan semuanya. Surya tercengang mendengarnya.
“Gila! Ayah Jodha meminjam begitu banyak uang kepada rentenir? Apa Jodha tahu tentang masalah ini?” Jalal menggeleng, “kenapa?”
“Aku tidak ingin melihatnya bersedih Sur. Cukup sudah dia hidup menderita selama ini karena Ayahnya. Lagipula Papa mau membantuku, dengan syarat seperti yang aku katakan tadi. Setelah dipikir-pikir, ini semua untuk kebaikanku juga nantinya, dan semua itu hanyalah permintaan yang bersifat memaksa dari Papaku.” 
“Aku salut sama kamu Bos, mau melakukan apa saja untuk Jodha.” Ucap Mansingh dengan kagum.
“Awalnya aku berniat begitu Man, tapi setelah aku mendengar ucapan dari Papaku, ada benarnya juga mulai sekarang aku harus berubah. Apa salahnya aku mencoba mengikuti pelatihan itu. Bukankah Bang Bayu lulusan dari sana juga? Terlihatkan kalau dia begitu berkharisma, bisa mengontrol emosinya, tegas tetapi dia tidak kalah dalam pergaulan.” Mansingh dan Surya mengangguk-angguk mendengar penjelasan dari Jalal.
“Bagaimana kalau kita tidak kerasan disana Bos? Katanya disana kita di gembleng dengan keras.” Jalal mengendikkan bahunya.
“Aku tidak tahu Man. Yang penting aku jalani dulu saja. Masalah kerasan atau tidak itu nanti saja. Lagian Papaku sangat berharap aku akan berhasil kali ini. Setidaknya aku ingin membuat kedua orang tuaku bangga, setelah selama ini aku hanya bisa meminta dan menyusahkan mereka saja.”  Sahut Jalal mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Kedua sahabatnya saling pandang, “bagaimana? Kalian mau ikut tidak? Terutama kamu Man, apa tidak malu punya calon kakak ipar tentara, adiknya pintar karate, sedangkan kamu bisa apa? Hayoo? Masa nanti malah Nadia yang melindungi kamu?” tembak Jalal membuat Mansingh tidak bisa berkata apa-apa lagi. Wajahnya memerah. Akhirnya dia mengangguk.
“Baiklah Bos. Nanti aku bicarakan dengan orang tuaku dulu.”
“Oke, aku tunggu kabarnya besok.” Kembali Mansingh mengangguk, Jalal dan Mansingh menoleh ke arah Surya yang sudah mengerti arti tatapan mereka.
“Apa?”
Kamu ikut ya Sur?” pinta Jalal. Surya menggeleng.
“Maaf Bos, kali ini aku nggak ikutan. Aku nggak ada bakat disana.” Jalal memicingkan matanya menatap Surya yang seperti menghindari dari tatapannya.
“Kok tahu nggak ada bakat disana? Kan kita belum mencobanya?”
“Nggak ah Bos. Beneran. Kalian saja ya.”
“Nggak bisa. Pokoknya kamu juga harus ikut. Kan kita selalu bertiga. Masa nanti kami sukses kamu nggak.” Kata Mansingh berdiri dari tempat duduknya dan menghampiri Surya. Begitu juga dengan Jalal. Keduanya memegang tangan Surya di kiri-kanannya. Membuat Surya memberontak ingin melepaskan diri.
“Lepaskan. Kenapa sih kalian ini? Nggak usah memaksaku deh. Please.” pintanya. Mansingh mengangkat sebelah alisnya dan tersenyum miring kepada Jalal.
“Nggak akan. Sebelum kamu bilang ikut, nggak akan kami lepaskan. Bilang ikut dulu.” Paksa Jalal. Mansingh terkekeh.
“Nggak ya nggak Bos. Susah bener.”
“Bilang iya.” Seru Mansingh. Surya tetap menggeleng, “siap Bos?” tanyanya kepada Jalal. Jalal tersenyum dan menganguk.
“Siap Man.” Surya menatap mereka berdua bergantian.
“Kalian mau apa?”
“Ada deh. Mau tau aja apa mau tau banget?” Ucap Mansingh tersenyum geli, “terakhir kali kami tanya, kamu ikut apa nggak?” Surya tetap menggeleng, “oke. Karena itu yang kamu minta, jangan salahkan kami kalau kami lakukan ini,...” kata Mansingh serentak dengan Jalal menggelitik pinggang dan kaki Surya. Membuat pemuda itu menggeliat, tubuhnya melorot turun dari kursinya. Dia berteriak-teriak kegelian akibat gelitikan kedua sahabatnya itu.
“Aaarrggghh...geli tau. Bos, Man, hentikan.” Jeritnya tidak karuan. Kedua sahabatnya itu tetap tidak bergeming.
“Bilang ikut dulu baru kami berhenti.” Paksa Mansingh. Akhirnya dengan susah payah menahan geli, Surya pun mengangguk. Mereka berdua tersenyum dan menghentikan gelitikannya serta bertos ria. Dengan nafas tersengal-sengal akhirnya Surya duduk di lantai bersandar pada sofa. Jalal dan Mansingh tertawa melihat sahabatnya itu mengatur nafas.
“Makasih ya Sur. Kitakan teman, masa nggak setia kawan sih?” kata Mansingh.
“Teman ya teman Man, tapi nggak maksa juga kali. Kalian enak ikut latihan demi kekasih, lah aku demi apa coba?” ucap Surya dengan wajah cemberut.
“Demi...kian lah adanya. Hahahaha...” sahut Mansingh, Jalal ikut tergelak, “Tenang saja Sur, justru itu kamu mempersiapkan diri jika nanti bertemu dengan seseorang yang menarik hatimu, maka dia akan mudah tertarik kepadamu. Suer deh.” Surya hanya bisa menghela nafas panjang.
“Baiklah. Tapi nanti bantu aku untuk minta ijin dengan kedua orang tuaku ya.” Keduanya langsung mengiyakan.
“Tenang saja kalau masalah itu. Kami akan membantumu meminta ijin. Tapi, sekarang kami harus kembali ke rumah sakit dulu. Soalnya nanti sore Jodha harus pulang.”
“Baiklah, sampaikan salamku buat Jodha ya. Semoga cepat sembuh.” Jalal cemberut.
“Enak saja salam-salam. Dia milikku tau.” Surya memutar bola matanya. Mansingh malah terkikik geli.
“Ya ampun Bos, gitu aja cemburu. Mana mungkin aku menghianati teman sendiri. Aku kan cuma menghormatinya sebagai teman dan juga karena dia sedang sakit. Bukan karena aku cinta sama dia. Dasar.” Gerutu Surya.
“Ya siapa tahu kamu naksir dia.” Jawab Jalal tidak mau kalah.
“Boleh juga tuh. Siapa tahu Jodha mau sama aku.” Ejek Surya membuat Jalal melotot kepadanya, Mansingh mengelengkan kepala melihatnya.
“Sudahlah Bos, gitu aja kok jadi masalah. Nih, dengar ya. Sampai kapanpun kami tidak akan pernah mengambil  milik teman sendiri. Jadi Bos nggak usah khawatir deh. Tenang aja.” Surya tertawa melihat Jalal yang menghela nafas membuang rasa jengkelnya. Akhirnya Surya bisa membalas rasa jengkelnya tadi karena dipaksa ikut pelatihan oleh mereka berdua.
“Maaf deh Bos, becanda kok. Man benar, nggak mungkin kami menikung sahabat sendiri. Bos tenang aja deh.”  Jalal pun tersenyum. Dia tahu kalau sebenarnya juga Surya hanya bercanda saja, namun terkadang rasa cemburu yang dia miliki lebih besar daripada rasa percayanya meskipun itu kepada sahabatnya sendiri.
“Iya Sur. Aku juga minta maaf, sudah kelewatan.” Sahut Jalal dengan wajah menyesal.
“Sama-sama Bos. Ya sudah, sana pergi. Nanti dicariin lagi sama ayang-ayangnya.” Usir Surya menggoyangkan tangannya seperti mengusir ke arah mereka berdua.
“Ish dasar. Baru saja akur. Sudah  mulai lagi.” Gerutu Jalal, “ya sudah, ayo Man kita pergi saja. Sudah di usir sama yang punya apartemen nih.” Surya tergelak. Jalal beranjak  dari duduknya diikuti oleh Mansingh melangkah menuju pintu.
Mereka berdua pun akhirnya kembali ke rumah sakit dimana Jodha dan Nadia sudah menunggu.
“Lama amat Bang baru datang. Kemana aja?” todong Nadia yang duduk di sofa sambil menikmati camilannya sebungkus besar keripik kentang, ketika mereka masuk ke ruang inap Jodha. Mansingh tertawa, dia mendekati Nadia dan duduk disampingnya. Tangannya mengacak pelan rambut Nadia yang sedari tadi menunggu jawaban. Sementara Jalal duduk di pinggir ranjang, disamping Jodha, karena gadis itu juga sedang duduk santai menonton televisi.
“Ke apartemen dulu Beb. Menjenguk Surya. Siapa tahu dia kangen sama kita-kita karena lama tidak bertemu.” Jawab Mansingh tersenyum melihat Nadia menghentikan makan camilannya dan menatapnya dengan ekspresi geli, membuat Mansingh terkekeh, “kenapa menatap Abang begitu?” Nadia menggeleng.
“Abang nggak sakit kan?” katanya mengulurkan tangannya dan menempelkan punggung tangannya di dahi pemuda itu.
“Abang sehat kok. Sangat sehat malahan, karena ada kamu disamping Abang.” Nadia mencibir.
“Hm...mulai lagi deh.” Kembali Mansingh terkekeh. Dia membaringkan tubuhnya di sofa dan meletakkan kepalanya di pangkuan Nadia. Nadia kaget.
“Ya ampun Bang, kok pake tiduran kayak gini sih? Disitukan bisa.” Kata Nadia menunjuk sofa yang masih kosong. Namun Mansingh tidak bergeming, dia malah memejamkan matanya dan tersenyum.
“Sebentar aja Beb. Boleh ya?” Nadia tersenyum salah tingkah, apalagi ketika melihat Jalal dan Jodha tersenyum penuh arti kepadanya membuat pipinya merona tanpa bisa disembunyikan lagi.
“Y..ya sudah kalau begitu.” Jawabnya dengan kikuk. Dia meletakkan bungkusan camilan yang dipegangnya di atas meja.
Satu tangannya di genggam Man, sedangkan tangan satunya menjulur pelan mengusap kepala Mansingh, membuat senyum pemuda itu semakin lebar.
“Beb, kalau Abang pergi jauh nanti, kamu kangen Abang nggak?” gerakan tangan Nadia terhenti. Dia menatap lekat-lekat wajah Mansingh yang masih menyungging senyuman lebar dengan mata terpejam.
“Maksud Abang? Emangnya Abang mau pergi kemana? Kapan perginya? Berapa lama?” Mansingh terkekeh mendengar pertanyaan Nadia yang terkesan tidak sabar itu.
“Yah, jika suatu saat Abang pergi, Abang hanya ingin tau Bebeb  kangen nggak? Kalau kangenkan Abang pasti senang sekali.” Jalal menahan ketawa  mendengar ucapan Mansingh. Jodha menoleh ke arahnya dan memandangnya dengan heran.
“A-aku...” sahut Nadia tertahan. Mansingh membuka matanya dan menatap Nadia yang terlihat sedih, meski dia berusaha menyembunyikannya, “emang Abang mau pergi kemana?” tanyanya lirih. Mansingh mengulurkan tangannya dan mengusap pipi Nadia dengan lembut, ibu jarinya menari-nari diatas bibir indah gadis itu. Dia tersenyum.
“Abang,...” Mansingh terdiam sejenak, “Abang bersama Bang Bos dan Surya akan berangkat ke Magelang, ikut sekolah disana selama enam bulan Beb. Dan nanti akan diantar oleh Bang Bayu.” Nadia terdiam. Dia masih menatap wajah pemuda yang masih ada di pangkuannya dengan rasa tidak percaya. Benarkah? Dan..., kenapa?
Jodha kembali menoleh ke arah tuan mudanya yang menyunggingkan senyuman kepadanya. Tapi kenapa yang Jodha rasakan senyuman tuan mudanya itu terasa menyesakkan dada. Ada rasa tidak rela dalam hatinya. Bagaimana dia belajar mencintainya kalau orangnya sendiri tidak ada di dekatnya. Terdengar lagi suara Nadia, mengalihkan perhatian Jodha kepada Jalal yang sama-sama terdiam.
“Kenapa secepat ini Bang? Apa tidak bisa ditunda dulu?” tanya Nadia dengan suara tercekat, ada isak yang tertahan di tenggorokannya. Padahal dia baru saja mulai menyukai laki-laki ini dan merasa nyaman dengannya, tapi kenapa malah dia menjauh.
Mansingh bangkit dan duduk di samping Nadia, direngkuhnya tubuh gadis mungil itu ke dalam pelukannya. Nadia menurut dan diam saja. Dia juga sebenarnya tidak rela harus berjauhan dengan gadis kecilnya, yang sudah membuatnya jatuh hati sejak pertama kali melihatnya.
“Kamu ingatkan yang Abang ceritakan tadi malam?” bisik Mansingh agar tidak terdengar oleh Jodha, Nadia mengangguk. “Papanya mau membantu, tapi dengan syarat seperti tadi dan berangkat tidak lama lagi,” Nadia masih terdiam, “kalau kamu sayang dengan Jodha, tolong kamu jangan sedih ya Beb, Abang pergi. Enam bulan nggak lama kok.” Nadia menoleh ke arah Jodha yang menatapnya dengan wajah penasaran karena tidak bisa mendengar ucapan mereka berdua. Sementara Jalal hanya diam saja.
Nadia memejamkan matanya. Yah, tidak ada salahnya berkorban kali ini untuk saudara angkatnya itu. Selama ini dia selalu membuat orang lain bahagia, meski hatinya menderita. Mungkin ini saatnya buat Nadia untuk memberi sedikit pengorbanannya. Dia mengangguk. Mansingh tersenyum, di dekapnya dengan erat tubuh gadis kecilnya dan merekam dalam hati dan ingatannya akan semua hal tentang Nadia.
Sementara Jodha kembali melihat ke arah tuan mudanya yang bersandar di kepala ranjang dengan posisi miring menghadap Jodha, bertumpu pada siku tangan kanan diatas bantal untuk menahan tubuhnya. Kali ini pemuda itu hanya diam dan menatap Jodha lama seakan tidak pernah bosan. Senyumnya masih menghiasi bibirnya.
“Tuan.”
“Hm...”
“Apa benar yang di bilang Man tadi?” Jalal menoleh kearah Mansingh yang masih memeluk Nadia. Pemuda itu juga melihat kearahnya. Jalal kembali memandang Jodha yang menunggu jawaban darinya. Jalal mengangguk.
“Kenapa mendadak sekali tuan? Bukankah sebelumnya nggak ada rencana kan? Apa ini karena saya?” dalam hati Jalal sedikit terkejut mendengar ucapan Inemnya. Bagaimana dia bisa merasa seperti itu dengan tepat. Namun dia berusaha menyembunyikan keterkejutannya itu dengan kembali tersenyum.
“Bukan Sayaaaang.” Jodha melotot mendengar ucapan tuan mudanya, Jalal hanya terkekeh, “bukan karena kamu Nem. Tetapi Bang Bayu bilang kalau sekarang itu bertepatan dengan penerimaan siswa baru. Ketika Bang Bayu cerita tentang pendidikan disana yang bisa melatih mental dan kepribadian menjadi lebih baik, Papa tertarik ingin memasukkan aku kesana. Katanya biar aku bisa mandiri, nggak manja kayak sekarang ini.” Jelas Jalal dengan lancar. Dia menghembuskan nafas lega mendengar ucapannya sendiri.
“Tapi, tetap saja saya merasa ada yang janggal. Saya merasa ada yang aneh dengan keputusan papanya tuan secara mendadak ini. Apa ada yang tuan sembunyikan dari saya tentang tadi malam?” tembak Jodha, membuat Jalal sedikit gelagapan. Ini anak kok perasa banget sih. Pikir Jalal.
“Menyembunyikan apa sih Nem? Nggak ada yang disembunyikan kok. Percaya deh sama aku.”
“Tapi,...”
“Stt, sudah. Nggak usah pake tapi-tapi lagi. Oke?” meski dengan rasa masih penasaran, akhirnya Jodha mengangguk juga, “lukamu gimana Nem? Udah baikan?” tanya Jalal mengalihkan perhatian Jodha.
“Sudah Tuan. Kan saya bilang cuma luka kecil saja, nggak sebanding dengan perawatannya.” Jawab Jodha sambil terkekeh. Jalal ikut tersenyum.
“Nggak masalah. Sesekali menyenangkan calon isteri kan tidak apa-apa. Biar cepat sembuh. Goda Jalal. Jodha memukul tangannya pelan.
“Tuan selalu saja ngomong gitu. Nanti kalau papa sama mama Tuan dengar, sayakan bisa malu Tuan.” Jalal tertawa.
“Tapikan mereka nggak ada disini Nem. Jadi ngapain malu. Atau kamu pengen peluk aku kayak Nadia tuh.” Kata Jalal menunjuk Nadia seakan tidak mau melepas pelukannya dari Mansingh.
“Tuan bisa saja ngomong begitu. Bukannya Tuan yang biasanya pengen moduskan?”
“Kalau aku sih emang maunya gitu Nem. Hahahaha...” jawab Jalal tergelak, mau tidak mau membuat Jodha ikut tersenyum juga.
“Nanti kalau Tuan pergi, rumah pasti sepi. Apalagi mama sama papanya Tuan nggak ada juga, tambah sepi deh.”
“Iya. Nggak ada yang ngusilin kamu ya Nem?” Jodha mengangguk, “kamu suka banget aku usilin ya Nem?” kembali Jodha mengangguk, tapi kali ini lebih cepat.
Eh?
Kenapa jadi mengangguk lagi sih? Sial. Jodha menyesal mengangguk. Astaga! Kok kesannya malah kayak pengen banget di usilin lagi. Tapi terlambat, kekehan Jalal semakin lebar. Kok ya bisa hati sama kepalanya nggak sinkron. Kejadian di pantai itu terulang lagi. Jadi malah tambah memalukan saja.
“Ng-nggak kok Tuan.” Jalal mendecak sambil tersenyum.
“Nggak apanya? Kamu ngangguk gitu kok. Emang aku salah lihat? Biasakan hati sama mulut itu yang sesuai Nem. Biar nggak bingung.” Jodha tersipu malu, ketahuan isi hati yang sebenarnya oleh tuan mudanya. Memang susah menghadapi orang yang punya pengalaman dengan yang polos. Bisa saja sih sebenarnya Jalal mengorek habis-habisan tentang isi hati Inemnya itu, tetapi dia tidak mau melakukannya. Dia ingin gadis itu sedikit demi sedikit jujur mengungkapkan perasaannya dengan nyaman, tanpa terpaksa. Dan Jalal menikmatinya. Melihat Inemnya salah tingkah, tersipu malu dengan wajah memerah, bicara gugup, membuatnya terlihat sangat menggemaskan. Dan yang pasti merupakan hiburan tersendiri buat Jalal.
“Sa-saya...” ucapan Jodha terhenti keburu di potong oleh Jalal.
“Kok cuma saya aja Nem? Nggak ditambahin lagi hurufnya?” Jodha mengerutkan keningnya.
“Maksud Tuan?” Jalal terkekeh.
“Kok cuma saya saja? Nggak saya’ plus ‘ng. Sayaaaang gitu loh Yang. Hahahaha...” ucap Jalal tergelak. Mansingh sampai menggeleng kepala melihat sahabatnya.
“Ih, Tuan sudah dibilangin juga jangan manggil gitu malah bandel.” Gerutu Jodha.
“Kamu tahu aku kan Nem. Semakin kamu larang, maka aku semakin menyukainya.” Sahut Jalal kembali tertawa. Jodha hanya bisa mendesah pasrah. Gimana lagi? Yang ditegur itu majikannya, mana ada majikan nurut sama pembantu. Yang ada pembantu nurut sama majikan. Itu sudah menjadi hukum tidak tertulis. Emang mau disepak dari pekerjaan kalau nggak nurut? Tapi ini kan masalah hati, bukan masalah pekerjaan?
Pintu kamar di ketuk perlahan, kemudian terbuka. Nampak seorang dokter beserta perawatnya masuk menghampiri Jodha, diikuti oleh Bayu yang memakai pakaian seragam dinasnya dengan lengkap. Membuatnya nampak gagah dan berwibawa. Dengan segera Jalal turun dari ranjang dan berdiri disampingnya, dan Jodha segera menyandarkan tubuhnya di kepala ranjang.
“Selamat siang Nona Jodha.” Sapa Dokter tersebut dengan ramah.
“Selamat siang juga Dok.” Balas Jodha.
“Bagaimana keadaannya hari ini?” tanya dokter itu sembari memeriksa keadaan Jodha.
“Baik Dok. Tapi...”
“Tapi apa?” tanya Dokter tersebut sambil tersenyum tanpa menghentikan kegiatannya.
“Tapi saya ingin cepat pulang Dok, nggak betah disini.” Dokter itu tertawa pelan. Bayu ikut tersenyum mendengar ucapan Jodha, dia berdiri disamping Jalal. Sedangkan Mansingh duduk di sofa dan Nadia duduk di lantai dengan punggung bersandar di kaki Mansingh sambil menonton televisi.
“Tidak ada yang betah tinggal di rumah sakit Nona, kalau di hotel mungkin akan betah.” Berganti Jodha yang terkekeh.
“Bagaimana Dok?” tanya Bayu.
“Baik Pak. Sudah tidak apa-apa lagi. Tinggal masa menyembuhan saja.” Bayu mengangguk.
“Kapan saya boleh pulang Dok?” tanya Jodha.
“Sudah nggak sabar ya?”
“Iya dok.”
“Hari ini sudah bisa pulang. Kamu sudah sehat kok.”
“Saya kan memang nggak sakit Dok.” Sahut Jodha.
“Cerewet. Jawab mulu.” Omel Jalal akhirnya tidak tahan lagi. Jodha mengerucutkan bibirnya. Bayu dan dokter itu tertawa pelan.
“Ya sudah, kalau begitu saya permisi dulu. Nanti dua atau tiga hari lagi lukanya sudah sembuh.”
“Iya Dok. Terima kasih.” Ucap Jodha.
“Sama-sama Nona.” Dokter itu pun akhirnya pamit keluar bersama perawatnya. Jalal menatap Inemnya yang senyum-senyum dari tadi. Bibirnya mendecak. Ck. Itu anak kalau disuruh pulang senangnya minta ampun.
“Senang?” tanya Jalal dengan sedikit kesal. Jodha nyengir.
“Senanglah Tuan. Masa di suruh pulang saya nolak.”
“Ingat yang aku bilang tadi malam.” Jodha mengangguk, “awas kalau melanggar.” Ancam Jalal.
“Iyeeee...Tuan.” Bayu menggeleng kepala melihat Jalal menjadi super protective itu. Dia melangkah menuju sofa yang ada di sebelah Mansingh. Begitu juga dengan Jalal, dia duduk disamping Bayu. Hanya Jodha yang masih di ranjang. Dia hanya duduk diam mendengarkan pembicaraan mereka.
“Bang, kapan kita akan berangkat?” tanya Jalal begitu mereka sudah duduk. Semua mata terpusat kepada Bayu yang tersenyum mendengar pertanyaan Jalal.
“Kamu sudah siap Jalal?”
“Siap tidak siap harus siap Bang.” Bayu mengangguk, “nanti Man sama Surya juga ikut.” Bayu menoleh ke arah Mansingh.
“Oh ya?”
“Iya Bang.”
“Kamu juga sudah siap Man?” Mansingh mengangguk.
“Iya Bang, hanya saja belum memberitahukan hal ini kepada orang tua saja.”
“Baiklah. Dua hari lagi kita akan berangkat setelah urusan disini selesai. Kita berangkat menggunakan kereta api saja. Hitung-hitung memulai pelatihan dari hal kecil dulu. Kalian akan tiba disana seminggu sebelum para taruna yang sebenarnya datang. Akan ada yang khusus melatih kalian disana. Abang harap kalian harus mempersiapkan fisik dan mental. Abang bukan menakuti, tetapi ini sangat bagus untuk kalian. Terlebih kalian adalah laki-laki yang bakal memikul segala tanggungjawab yang besar di pundak kalian. Kalian akan merasakan manfaatnya setelah kalian selesai melakukan pelatihan.” Jelas Bayu panjang lebar kepada Jalal dan Mansingh. Keduanya hanya menganggukkan kepala.
“Nanti Bang Bos disana akan diajarkan masak, nyuci pakaian sendiri, setrika baju sendiri, apa-apa dilakukan sendiri. Nggak kayak sekarang, mau makan aja, Nem...makananku mana?, Nem,...bajuku mana?, Nem,...kopiku mana?” ledek Nadia. Bayu dan Mansingh terkekeh, sedangkan Jodha hanya tersenyum mendengarnya, “nanti kalau Bang Bos pulang, malah Jodha yang memohon-mohon minta disuruh sama Bang Bos, karena majikannya tidak perlu pembantu lagi. Hahahaha...” Nadia tertawa terbahak-bahak, membuat Jalal melempar bantal sofa ke arahnya. Tidak peduli ada Bayu disitu, Nadia malah meleletkan lidahnya ke arah Jalal.
“Kayak kamu bisa masak aja Nad?” balas Jalal lagi
“Bisa dong. Kata siapa tidak bisa?” Jalal mencibir.
“Masak air aja kali bisanya.” Ejek Jalal lagi. Nadia melebarkan matanya menatap ke arah Jalal.
“Kok Bang Bos tahu kalau aku cuma bisa masak air aja?” Jalal dibuatnya melongo mendengarnya.
“Jadi benar kamu nggak bisa masak Nad?” Nadia melirik kearah Mansingh yang mengangkat bahu sambil tersenyum melihatnya, “ya ampun. Hari gini anak perempuan nggak bisa masak. Capek deh.” Ledek Jalal menepuk keningnya. Nadia hanya bisa mengerucutkan bibirnya saja.
“Ih, Bang Bos nggak asyik deh. Aku kan nanti bisa belajar Bang.” Jalal masih tersenyum mengejek kearah Nadia.
“Sudah Beb. Nggak apa-apa kok. Nggak masalah belum bisa masak. Kita sama-sama belajar nanti.” Hibur Mansingh. Nadia mengangguk. Jalal terkekeh melihatnya. Sementara abangnya hanya tersenyum.
“Sudah, sudah, sekarang Abang mau balik ke kantor lagi. Kalian bersiap-siap saja untuk pulang. Administrasinya sudah Abang urus semuanya. Jadi kalian tinggal keluar saja. Nanti Abang hubungi kalau ada yang perlu dibicarakan lagi.” Kata Bayu berdiri dari tempat duduknya.
“Iya Bang.”
Bayu pun melangkah keluar dari ruangan itu untuk kembali ke kantornya. Sedangkan mereka bertiga berkemas untuk segera pulang. Sementara Jodha hanya bisa melihat mereka saja dengan duduk bersila di ditengah ranjangnya. Ingin melakukan apa saja tidak boleh sama bos kecilnya itu. Menyebalkan.
Setelah selesai berkemas, mereka pun pulang menjelang sore. Nadia dan Mansingh ikut pulang kerumah Jalal, karena dia berencana mengantarkan keduanya sekalian membawa uang yang akan dibayarkan untuk Adam kepada Bayu.
Setiba dirumah, mereka disambut oleh Bu Hamidah. Sedangkan Papanya Jalal belum pulang dari kantor.
“Kamu sudah pulang Jo. Ibu senang sekali.” Ucap Bu Hamidah memeluk Jodha dengan gembira. Jodha hanya tersenyum malu.
“I-iya Bu.”
“Bagaimana lukamu? Sudah sembuh?” tanya Bu Hamidah lagi ketika melepaskan pelukannya.
“Sudah mendingan Bu. Paling juga dua atau tiga hari lagi akan sembuh.”
“Syukurlah, Ibu senang mendengarnya. Ayo masuk sayang.” Bu Hamidah membimbing Jodha masuk ke rumah, membuat gadis itu canggung luar biasa. Sungguh sangat-sangat tidak nyaman sekali. Sakitnya biasa saja, tetapi perawatan dan perhatian majikannya sungguh sangat berlebihan menurutnya.
Jalal tersenyum bahagia melihat mamanya memeluk gadisnya, dia masuk kerumah mengikuti mamanya bersama Nadia dan Mansingh. Bi Ijah gembira menyambut Jodha sudah kembali kerumah. Bu Hamidah sampai mengantarkan Jodha sampai ke kamarnya bersama Nadia dan Bi Ijah, sedangkan Jalal mengajak Mansingh ke kamarnya.
“Kamu istirahat saja dulu Jo, jangan banyak bergerak. Biar cepat sembuh.” Nasehat Bu Hamidah duduk di samping Jodha, begitu juga dengan Nadia. Hanya Bi Ijah saja yang berdiri.
“Iya Bu. Sa-saya jadi nggak enak Bu.”
“Nggak enak gimana Jo?”
“Kok Ibu yang jadi melayani saya.” Bu Hamidah terkekeh.
“Tidak apa-apa Jo. Buat calon mantu apa sih yang nggak.” Jodha tertunduk malu.
“Asyeek...” sahut Nadia, “udah acc nih. Tinggal tandatangan sama stempelnya aja lagi. Jangan lama-lama ya Tan, habis Bang Bos kembali dari tugasnya, langsung aja kita makan-makan buat ngikat Jodha.”
“Benar Nad, Tante jadi nggak sabar nunggunya.” Nadia tertawa, Bu Hamidah berdiri, “ya sudah Jo, Ibu keluar dulu. Kamu istirahat saja. Nggak usah kerja dulu.” Jodha hanya bisa mengangguk pasrah. Nggak anak, nggak mamanya, sama saja. Bi Ijah hanya mengulum senyum melihat mereka bertiga. Dia ikut senang melihat majikannya menyayangi Jodha.
Setelah ketiganya keluar dari kamar, Jodha termenung. Memikirkan sikap majikannya tadi yang mengatakan dirinya sebagai calon menantu. Ah, pipi Jodha menghangat mengingatnya. Dia segera bangkit menuju kamar mandi untuk mandi dan membersihkan diri.
Malam harinya, Jalal sekeluarga makan malam bareng Nadia dan Mansingh. Seperti biasa jikalau ada Nadia, pastilah suasana akan menjadi rame. Dan anehnya, meskipun dia sudah mulai menyukai Mansingh tetapi tingkah lakunya tetap saja tidak berubah, seperti seorang yang ingin menjaga citra dirinya dihadapan orang yang disukai. Dan Mansingh juga tidak ingin berusaha untuk merubahnya, karena memang dia menyukai pribadi gadis itu yang ceria, cuek, dan blak-blakan.
Setelah makan malam, Jalal mengantar Nadia dan Mansingh pulang dengan membawa sebuah koper uang sebanyak 600 juta itu, tentu saja tanpa sepengetahuan Jodha. Begitu sampai dirumah Nadia, mereka berencana ingin ikut lagi kesana, namun Bayu tidak memperbolehkan.
“Tidak usah Jalal. Biar Abang sama Todar saja yang ngantar uang itu. Kamu sama Man pulang saja. Jangan khawatir, tidak akan terjadi apa-apa.”
“Tapi aku takut kalau mereka ingkar janji Bang.” Sahut Jalal. Bayu tersenyum.
“Tenanglah, mereka tidak akan berani berbuat gegabah. Abang juga sedang menyelidiki tentang mereka dan juga seluruh usaha yang dimiliki Adam. Sekalian juga Abang menyuruh orang untuk mencari informasi tentang ayahnya Jodha.” Jalal senang sekali mendengarnya.
“Iya Bang. Baguslah kalau begitu. Aku takut dia akan kembali mengganggu Jodha.”
“Abang tidak akan membiarkan itu terjadi, Abang akan mencari celah kesalahannya untuk mengirimnya kepenjara kalau dia melakukan hal itu.” Jalal mengangguk puas.
“Baiklah Bang, kalau begitu kami pulang dulu. Makasih banyak ya Bang, sudah mau membantu.”  Bayu menepuk bahu Jalal pelan.
“Tidak usah berterima kasih, bagaimana pun dia adik Abang juga. Abang akan berusaha semampu Abang untuk melindunginya.”
“Iya Bang.”
Akhirnya Jalal dan Mansingh pamit pulang. Karena Bayu dan Todarmal yang akan menemui Adam untuk membayarkan hutang Pak Bharmal, ayahnya Jodha.
***
Hari yang ditunggu pun datang sudah. Jalal, Mansingh, Surya akan berangkat ke Magelang menggunakan jalur kereta api yang memakan 12 jam perjalanan dari Jakarta ke Jogya. Sengaja Bayu mengajak ketiganya naik kereta api agar mereka sedikit demi sedikit mengurangi zona nyaman mereka selama ini. Antri tiket, menunggu di stasiun dan berdesakan masuk ke dalam gerbong adalah hal yang belum pernah mereka alami. Kecuali macet. Tentu saja, semua pasti pernah merasakan yang namanya macet. Apalagi Jakarta.
Nadia dan Jodha mengantar mereka berempat sampai di stasiun. Sebelum masuk ke dalam stasiun Jalal menggenggam erat tangan Jodha, begitu juga dengan Mansingh dan Nadia. Gadis itu bergayut manja di lengan laki-laki yang sebentar lagi akan meninggalkannya dalam jangka waktu yang lumayan lama. Karena Bayu melarang kedua gadis itu ikut menunggu mereka berangkat, jadilah mereka hanya pamitan di depan stasiun saja. (ah, berasa mengantar kekasih hati pergi ke medan perang. Wkwkwkwk....ingin sedih tapi malah ketawa. Ckck.).
Bayu dan Surya sudah masuk duluan ke dalam stasiun, kini tinggallah mereka berempat. Jalal memeluk erat tubuh Jodha. Gadis itu hanya terdiam. Meski banyak yang ingin diucapkannya, tetapi semua tertahan hanya sampai di tenggorokannya saja. Jalal merekam semua dalam hatinya, semua tentang Inemnya. Di hirupnya dalam-dalam aroma khas tubuh Jodha, kelak disana dia akan mengingat semuanya.
Setelah puas memeluk, Jalal menangkup wajah gadisnya dengan kedua tangannya. Keduanya saling berpandangan, saling menyimpan semua kenangan perpisahan kali ini dalam hati dan pikiran.
“Nem, tunggu aku ya.” Jodha mengangguk, “do’akan agar aku berhasil disana ya Nem, kangen aku selalu ya sayang.” Jodha ingin ketawa mendengarnya, tetapi tidak mampu. Dia hanya bisa mengangguk dan mengangguk. Jalal mencium kening Jodha, lamaaa...sampai gadis memejamkan matanya, meresapi  semuanya.
“Cepat kembali sa...yang...” ucap Jodha lirih antara malu, canggung, dan geli. Dia tertunduk, wajahnya memerah. Namun Jalal tersenyum kegirangan mendengar ucapan Jodha. Mansingh dan Nadia yang sedari tadi memandang keduanya, ikut tersenyum  melihat tingkah Jalal yang kegirangan. Jalal mengangguk. Di genggamnya kedua tangan Jodha dan di ciumnya berulangkali.
“Iya. Aku akan kembali secepatnya Inem sayang. Sabar ya.” Jodha mengangguk malu-malu. Kembali Jalal tersenyum.  Akhirnya dia pun melepaskan genggaman tangannya dan melangkah masuk ke stasiun tanpa menoleh kebelakang lagi. Begitu juga dengan Mansingh, meninggalkan kedua gadis itu yang hanya bisa memandang punggung mereka berdua sampai menghilang di tengah ramainya kesibukan di dalam stasiun tersebut.

===tbc===

Fiuh...akhirnya selesai juga. Buat yang baper silakan, atau mau ketawa kayak saya juga boleh. Hehehe...nantikan keseruan mereka bertiga ketika dalam masa pelatihan di part selanjutnya. Untuk next part jangan tanya Nadia sama Jodha ya. Karena itu full untuk Jalal cs saja. Hehe....makasih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar