Menu

Minggu, 14 Februari 2016

MIRACLE OF LOVE, PART. 14

Maaf ya, part kali ini ada terdapat iklan. Walaupun sebenarnya enggan untuk dimasukkan, berhubung komisinya lumayan jadi ya akhirnya terpaksa deh dimasukkan untuk operasional pembuatan ff ini. He...he.. Buat yang tidak suka iklannya tinggal diskip aja, tapi terlebih dahulu baca dulu yee... untuk yang udah titip dan pesan kemarin ini udah aku sampaikan. Jadi hutangku sudah lunas. Oke. Happy reading all....

MIRACLE OF LOVE
BY. SASA

Part. 14
“Jalal!”
Pak Humayun segera bangkit dan menghampiri Jalal dan Jodha yang masih berdiri memandanginya. Sesaat ditatapnya Jalal yang tampak berubah penampilannya.  Dia tidak menyangka sebesar itu perubahan pada anaknya. Dengan terharu dia memeluk Jalal yang masih belum berani bergerak.
Jalal membalas pelukan ayahnya. Sedangkan Jodha hanya diam saja memandangi pertemuan yang mengharukan antara ayah dan anak yang berbulan-bulan tidak pernah bertemu. Humayun melepaskan pelukannya, dipegangnya kedua lengan Jalal sambil ditatapnya sekali lagi. Seakan tidak percaya kalau itu adalah anaknya yang dulu tumbuh dengan keadaan tidak terurus, kucel dan membosankan.
“Jalal, kau tampak berbeda sekarang Nak.” Kata Humayun tersenyum lebar. Jalal dan Jodha ikut tersenyum mendengarnya.
“Iya Pa, ternyata disana menyenangkan. Bergaul dengan orang-orang yang tinggal didesa dan dengan lingkungan alam yang damai membuatku merasa nyaman.”
“Syukurlah kalau begitu, aku senang dengan perubahanmu ini Jalal.”
“Iya Pa, terima kasih Pa.” Pandangan Humayun beralih kepada Jodha yang sedari tadi hanya diam saja memperhatikan mereka.
“Selamat datang menantuku yang cantik.” Kata Humayun melebarkan tangannya ingin memeluk Jodha. Sesaat Jodha diam dan menatap Jalal yang menganggukkan kepalanya. Akhirnya Jodha berlari dan berhambur kepelukan Humayun. Lelaki itu memeluk Jodha seperti memeluk anaknya sendiri.
Jodha nampak bahagia, dia tidak menyangka kalau akan disambut semanis itu oleh ayahnya Jalal. Tak tahan lagi air matanya ikut mengalir berbaur dengan kebahagiaannya.
“Terima kasih Papa, sudah mau menerimaku sebagai menantumu.” Kata Jodha lirih. Jalal ikut terharu melihat keakraban ayah dan istrinya.
“Iya sayang, siapa yang tidak ingin mempunyai menantu yang cantik sepertimu?” goda Pak Humayun melepas pelukannya. “Hei,...sudahlah Jodha tidak usah menangis begitu.” Jodha tersenyum malu sembari menghapus air matanya dengan punggung tangannya.
“Iya Pa, maafkan aku.”
“Tidak ada yang perlu dimaafkan, Jodha. Semua itu sudah menjadi takdir yang harus dijalani. Dan Papa senang kalau akhirnya kalian berdua sudah mendapatkan banyak pelajaran disana. Semoga saja apa yang kalian dapatkan disana bisa membuat kalian berubah menjadi lebih baik. Khususnya dengan penampilan kalian sekarang, Papa sungguh merasa terkejut, apa saja yang kalian lakukan disana sampai hasilnya seperti ini.” Ucap Humayun masih dengan pandangan tidak percaya. “Ayo sekarang kita duduk dulu.” Mereka melangkah menuju kursi tamu yang ada diruang kerja tersebut. Jalal duduk disofa panjang bersama Ayahnya. Sedangkan Jodha duduk di sofa depannya.
“Sekarang apa rencana kalian selanjutnya ?” kamu tidak ingin pulang dulu kerumahmu Jodha?” tanya Humayun. Jodha tidak segera menjawabnya. Dia nampak bimbang dan hanya menatap Jalal minta bantuan.
“Rencananya selama dua hari Jodha akan menginap disini, Pa. Karena memang jadwalnya kan masih 2 hari lagi baru pulang.” Jawab Jalal, “bolehkan Pa?” tanya Jalal penuh harap.
 “Tentu saja boleh. Bukankah sekarang ini adalah rumahmu juga, tinggallah disini selama kamu suka, Jodha.” Jawaban Humayun memberikan kedamaian dihati keduanya.
“Terima kasih Pa, semoga saja kehadiranku tidak membuat repot orang dirumah ini.” Jawab Jodha tersenyum bahagia.
“Hei, tidak ada yang direpotkan dengan kehadiran kamu disini. Kehadiranmu memberikan suasana berbeda. Papa merasakan itu. Kamu tahu, sudah lama rumah ini terasa hampa semenjak mamanya Jalal pergi meninggalkan rumah ini. Seolah cahaya rumah ini juga meredup.” Sesaat Humayun berhenti, ada setitip air mata disudut matanya. Diapun menyekanya dengan jarinya, “Papa melarikan perasaan itu kepada pekerjaan yang tidak pernah ada habisnya Akhirnya yang paling merasakan kehilangan adalah Jalal. Dia tumbuh tanpa ada kasih sayang dari kedua orang tuanya membuatnya menjadi anak yang bebas tanpa aturan. Sampai akhirnya dia terjebak kedalam narkoba. Dari situ Papa mulai sadar, namun dengan kesibukan yang sangat menyita waktu membuat Papa tidak bisa memberikan banyak perhatian kepadanya.” Kata Humayun menatap Jalal. Jalal melihat sinar penyesalan dimata Papanya.
“Sudahlah Pa, tidak apa-apa. Aku tahu Papa menyayangiku sebenarnya. Dan aku bangga mempunyai Papa sepertimu.” Humayun menepuk-nepuk bahu Jalal yang tersenyum kepadanya.
“Terima kasih, Jalal. Papa senang sekali melihatmu tersenyum. Senyum yang sudah lama Papa rindukan selama ini darimu.” Kemudian Humayun menoleh kepada Jodha, “dan buatmu Jodha, Papa mengucapkan terima kasih telah membuat Jalalku bisa tersenyum lagi.” Kata Humayun. Jodha menjadi terharu.
“Iya Pa, sama-sama. Aku juga ikut bahagia Pa.” Jodha beranjak dari duduknya menuju Humayun dan memeluk ayah mertuanya. Jodha tidak merasa canggung lagi. Dia merasa seperti memeluk ayahnya sendiri.
“Oh ya, sekarang kalian mandi dan membersihkan diri dulu. Nanti Papa tunggu di meja makan ya. Kita akan makan malam bersama.” Kata Humayun melepaskan pelukan Jodha.
“Baik Pa.  Ayo Jo, aku tunjukin kamarnya.”  Ajak Jalal menarik tangan Jodha. Jodha pun mengikutinya. Meninggalkan Humayun yang masih tersenyum bahagia.
Jalal membawa Jodha ke kamarnya untuk mandi dan membersihkan diri. Memasuki kamar Jalal membuat Jodha merasakan sesuatu yang berbeda. Kamar itu besar sekali yang dicat dengan nuansa biru laut. Ada ranjang besar yang diatasnya menempel didinding sebuah poster salah satu penyanyi terkenal. Disudut ruangan terdapat 1 set komputer lengkap dengan aksesoris game. Disampingnya terdapat home theatre yang cukup besar. Disudut ruangan lainnya terdapat lemari pakaian yang lumayan besar dan juga sebuah lemari. Entah lemari apa.
“Apa yang kau lihat Sayang? Inilah kamarku.” Kata Jalal memeluknya dari belakang. Jodha tersenyum malu.
“Ternyata kamarmu gambaran dirimu.”
“Maksudmu?” Jalal mempererat pelukannya. Wajahnya dibenamkan di rambut Jodha dan menghirup wangi dari rambut tersebut.
“Yaahh, pantas saja kau pintar menyanyi dan main gitar ternyata kau mendapat inspirasi dari dia ya?” kata Jodha menunjuk poster artis tadi.
“Hm.” jawab Jalal tidak juga melepaskan wajahnya dari rambut Jodha. Dada Jodha kembali berdetak kencang. Tidak dapat dipungkiri kehangatan kembali merasuk kedalam hatinya. Dilepaskannya tangan Jalal yang memeluk pinggangnya dan berbalik menghadap Jalal yang tersenyum nakal kepadanya.
Jodha melingkarkan tangannya dileher Jalal, sedangkan tangan Jalal kembali memeluk pinggangnya. Wajah mereka begitu dekat, masing-masing bisa merasakan nafas hangat menerpa wajah mereka.
“Jodha istriku, tinggallah disini, dekat dihatiku dan mataku. Rumah ini terlalu hampa tanpa kehadiranmu.” Bisik Jalal. Jodha tersenyum manja.
“Benarkah? tapi apa yang aku dapatkan kalau aku tinggal disini?” Ucap Jodha sedikit menantang membuat Jalal menjadi gemas dibuatnya.
“Kau akan mendapatkan ini.” Jalal dengan lembut mencium bibir yang menggemaskan itu. Jodha sedikit kaget mendapatkan bibir jalal sudah mendarat dibibirnya. Namun tidak lama kemudian dia pun membalas dan menikmatinya.
Keduanya terengah-engah setelah cukup lama saling memagut. Jalal menatap wajah malu-malu yang merona merah, dia sangat menikmatinya.
“Sudah ah, aku ingin mandi dulu, Jalal. Kasihan nanti Papa kelamaan menunggu kita.” Kata Jodha melepas pelukannya dan mendorong tubuh Jalal, “oh ya, aku pinjam handukmu ya.” Jalal tersenyum dan membuka salah satu lemari untuk mengambil handuk dan menyerahkannya kepada Jodha.
Jodha pun segera menuju kamar mandi dan segera membersihkan tubuhnya yang terasa lengket karena seharian dalam perjalanan. Terguyur air dingin membuatnya merasa sangat segar. Hilang segala rasa penatnya.
Setelah Jodha masuk kamar mandi, Jalal merebahkan tubuhnya di ranjang dengan kedua kaki masih menjuntai di lantai. Kedua tangannya menyangga kepalanya dan matanya menatap lurus kelangit-langit rumahnya. Terbayang kenangan 4 bulan yang lalu. Ada yang berubah suasana dalam kamarnya. Terasa mimpi mengingat semuanya.
Sementara Jodha yang selesai yang telah selesai mandi dan mengenakan pakaiannya, melihat Jalal yang terbaring di ranjang dengan mata menatap plafon rumah perlahan mendekatinya. Namun Jalal tidak menyadari kehadirannya karena terlalu asyik dengan lamunannya. Baru ketika dia merasakan tangan Jodha yang menyentuh tangannya barulah dia sadar bahwa Jodha sudah duduk didekatnya. Diapun bangkit dan duduk disamping Jodha.
“Apa yang kamu pikirkan?” tanya Jodha. Tangannya memegang pipi Jalal.
“Entahlah, Sayang. Kamar ini masih seperti empat bulan yang lalu. Terasa bagai mimpi rasanya apa yang telah kita jalani dan kembali kesini.” Desah Jalal, tangannya memegang tangan Jodha yang masih menempel dipipinya. Di genggamnya dan kemudian di ciumnya. Jodha tersenyum.
“Sudah ah, mandi sana. Badanmu sudah bau tuh.” Kata Jodha sembari memencet hidungnya sendiri. Jalal terkekeh.
“Bau-bau beginikan tetap suamimu, dan kau sukakan dengan bauku?” goda Jalal mendekatkan keteknya ke wajah Jodha. Jodha menjerit kecil, kembali tangannya memencet hidungnya sendiri. Jalal tertawa kemudian mengeloyor pergi kekamar mandi.
Setelah selesai mandi dan berganti pakaian, keduanya turun untuk makan malam. Tampak Humayun sudah duduk disana menunggu mereka. Dihadapannya terhidang berbagai macam hidangan yang sudah disiapkan Bi Inah dan belum tersentuh. Jalal segera mengambil tempat dihadapan Ayahnya dan Jodha duduk disampingnya.
“Ayo, silakan makan Jodha. Jangan malu-malu. Kau kan sudah menjadi bagian dari rumah ini.” Kata Humayun seraya ingin mengambil nasi, namun buru-buru dicegah oleh Jodha. Karena dia yang akan mengambilkan nasi dan lauknya untuk mertuanya. Begitupun untuk Jalal. Dengan begitu dia merasa menjadi istri yang sesungguhnya. Memikirkan itu membuatnya malu sekaligus bahagia.
Jalal senang sekali melihat perlakuan Jodha terhadapnya dan Ayahnya. Ada rasa bangga dan kagum dihati Jalal melihat Jodha yang terkadang lucu menyenangkan, terkadang cerewet, terkadang konyol, kadang lebay, terkadang anggun seperti wanita dewasa. Rumahnya terasa hangat dan menyenangkan. Suasana yang sudah lama tidak pernah dia rasakan.
“Oh ya, Jo nanti Papa akan menemui Ayahmu untuk membicarakan resepsi pernikahan kalian.” Jodha yang mendengar itu langsung sumringah.
“Benarkah Pa? terima kasih ya Pa.” Humayun mengangguk senang dan melanjutkan makannya. Jodha makan dengan lahap dan nikmat. Kata-katanya mertuanya memberikan kebahagiaan yang besar dihatinya.
Setelah makan malam Humayun kembali masuk keruang kerjanya, sedangkan Jalal dan Jodha kembali kekamar mereka. Jodha yang duduk bersandar di sandaran ranjang dan Jalal berbaring dengan kepalanya diatas paha Jodha. Tangan Jodha membelai rambut Jalal yang sudah dipotong rapi, sedangnya tangannya yang satu lagi digenggam Jalal sesekali diciumnya. Keduanya tidak bisa menyembunyikan kebahagiaannya.
“Jalal.”
“Ya sayang...”
“Aku tidak menyangka Papa akan menerimaku secepat ini?”
“Hm, dari awal aku sudah yakin Papa pasti akan menerimamu.”
“Benarkah? darimana kau yakin Papa pasti akan menerimaku?”
“Dari pertama dia bertemu denganmu di dulu sewaktu kita akad nikah. Dari pandangannya aku yakin dia menyukaimu. Dan terbukti kan sekarang dia dengan senang hati menerimamu sebagai menantunya, sekarang tinggal orang tuamu, terlebih lagi ibumu. Aku tidak yakin karena masa laluku yang sudah menyakitimu.” Jalal mendesah panjang ketika teringat ibunya Jodha ketika di desa dulu. Pandangannya yang begitu sengit kepadanya tersimpan kebencian yang teramat dalam. Jalal memejamkan matanya mengingat hal itu. Tangan Jodha berhenti mengelus rambut Jalal, sejenak dipandanginya wajah suaminya yang tampak resah. Perlahan Jodha menundukkan wajahnya, dengan lembut diciumnya bibir Jalal sebentar untuk memberi kekuatan. Jalal membuka matanya dan tersenyum.
“Sekarang tidak usah dipikirkan dulu masalah itu, semoga saja nanti Papa bisa meluluhkan hati Ibuku.” Ucap Jodha berusaha menenangkan hati Jalal. Walaupun sebenarnya hatinya juga resah. Namun Jalal seperti merasakan apa yang dirasakan oleh Jodha. Diapun bangkit duduk disamping Jodha, direngkuhnya tubuh Jodha kedalam pelukannya setidaknya sedikit mengurangi keresahan mereka berdua. Tiba-tiba terlintas sebuah ide di pikirannya.
“Oh ya sayang, bagaimana kalau besok kita jalan-jalan. Kamu mau tidak ?” ajak Jalal. Jodha langsung berbinar matanya mendengar Jalan-Jalan.
“Jalan-jalan Sayang, boleh. Aku mau. Kita mau jalan kemana?”
“Aku ingin mengajakmu jalan-jalan kepantai. Biasanya aku suka sekali lama-lama memandang laut sendirian apalagi kalau sedang ada masalah.”
“Pantai? oke sayang, aku mau. Aku juga senang sekali main kepantai.” Kata Jodha kegirangan seperti anak kecil yang akan dibelikan mainan. Jalal tertawa melihat sifat asli Jodha keluar lagi.
“Baiklah kalau begitu, sekarang kita tidur dulu. Besok bangun pagi-pagi.” Kata Jalal membelai rambut Jodha.
“Siap Bos!” ucap Jodha dengan sikap menghormat. Kemudian dia membaringkan tubuhnya membelakangi Jalal yang tersenyum melihat tingkah polahnya. Jalal ikut membaringkan tubuhnya dan memeluk Jodha dari belakang. Jodha sangat senang tidur dengan posisi begitu karena dia merasa damai dan terlindungi dalam pelukan suaminya.

~~~0000~~~

Pagipun menjelang, setelah mandi dan sarapan mereka bersiap-siap untuk berangkat. Tidak lupa membawa pakaian ganti. Mereka pamit dengan Bi Inah, karena Ayahnya Jalal sudah berangkat terlebih dahulu ke kantor.
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih satu jam. Mereka pun sampai dipantai Ancol yang tampak sepi. Bisa dimaklumi karena hari itu bukan hari libur. Dan Jalal bersyukur tentang itu dengan begitu dia dan Jodha bisa leluasa menikmati suasana tenang.
Keluar dari mobil, Jodha tidak sabar untuk merasakan pasir putir menyentuh kakinya. Dengan memakai kacamata hitam, celana pendek model aladin warna coklat, model ini lebar dibagian atas dan diakhiri ban pada bagian paling bawah celana. Karena berbahan kaos celana ini sangat nyaman digunakan juga lebih dingin, dan T-shirt longgar berlengan pendek dia berlari mencapai garis pantai. Jalal menyusulnya dengan berjalan santai dengan jeans pendek kesukaannya dengan kaos oblong berwarna biru langit, tentu tidak lupa kacamata hitam bertengger diatas hidungnya. Dia senang Jodha begitu menikmatinya. Setelah sampai digaris pantai, Jodha langsung mencelupkan kaki di air laut. Air laut yang merendam kakinya terasa menyenangkan ditambah ombak-ombak kecil yang sesekali datang menerpa kakinya.
Setelah puas merendam kaki, Jodha mengajak Jalal berjalan-jalan. Tangannya memegang sendalnya begitupun dengan Jalal. Mereka berjalan bergandengan tangan, angin laut mengibarkan rambut Jodha yang lumayan panjang. Setelah capek berjalan mereka istirahat duduk dipasir putih itu sambil memandangi lautan luas didepannya. Jodha menyelonjorkan kedua kakinya sedangkan Jalal duduk dengan satu lututnya ditekuk, yang satunya diselonjorkan  badanny agak di miringkan kebelakang bertumpu dengan kedua tangannya sebagai penyangga.
“Benar ya, berada disini menenangkan.” Kata Jodha, pandangannya tidak lepas memandang laut dari balik kacamata hitamnya.
“Kau benar Jodha, disinilah dulu aku sering duduk berlama-lama. Membuang segala kesepianku. Terkadang aku duduk disini sampai sore hari dikala matahari terbenam.” Sahut Jalal. Dia juga memandang laut didepan dengan tenang.
Dari kejauhan nampak seorang gadis berjalan menghampiri mereka, kerudung dan roknya yang lebar dan panjang tampak berkibar-kibar diterpa angin laut yang kencang. Setelah sampai dia menyapa Jalal dan Jodha.
“Maaf, ini benar Mbak Jodha dan Mas Jalal ya?” tanya gadis itu.
“Benar. Anda  siapa?” Jalal balik tanya. Sedangkan Jodha hanya diam saja memperhatikan.
“Kenalkan nama saya Sasa.” Jawab gadis itu, namun tidak mengulurkan tangannya. Mendengar nama gadis itu Jalal menjadi sedikit kaget. Jodha yang melihatnya menjadi heran dan sedikit cemburu.
“Oh iya Sasa, ada yang bisa saya bantu?” Tanya Jalal setengah gugup dengan senyum yang dimanis-maniskan. Jodha menjadi semakin heran dan cemburu saja, ada apa dengan Jalal begitu.
“Ah, nggak ini cuma mau menyampaikan salam dari anak-anak kost. Ada Mbak Sinta Rama nitip salam katanya buat Mas dan Mbak. Ada juga teman saya Dwiiee Ariestini yang minta disampaikan salamnya juga. Terus ada Nirwaa juga ingin kenalan, katanya aku disuruh ngaku jadi kakaknya kalau ketemu Mas dan Mbak....upz...maaf mas keceplosan. Sama itu Dek Endang sekalian minta tanda tangan Mas dan Mbak juga. Sekalian salam dari seluruh anak-anak kost.” Kata Sasa menjelaskan panjang lebar sembari mengeluarkan selembar kertas dan sebuah pulpen untuk tanda tangannya Jalal dan Jodha.
Jalal menerima kertas itu dan menandatangani kemudian di serahkan kepada Jodha untuk menandatangani. Setelah selesai diserahkannya kembali kertas itu kepada Sasa yang memandang mereka dengan tanpa ekpresi berlebihan.
“Oh iya Sasa, katakan saja kepada mereka kami terima salamnya, dan kami juga titip salam untuk anak-anak. Itu kertas yang ditandatangani apa tidak kekecilan mintanya, kalau ada yang ukuran  2 x 1,5 meter tidak apa-apa kami tandatangani sekalian dijadikan selimut biar kami selalu dekat dengannya. Pokoknya untuk anak-anak kost apapun keinginan mereka akan kami kabulkan, mau foto bareng, tanda tangan, titip salam terserah mereka mau apa. Kecuali....” Jalal menggantungkan kalimatnya.
“kecuali apa mas?” Tanya Sasa dengan penasaran.
“Kecuali mandi bareng. Karena mandi bareng hanya untukku bersama Jodha saja.” Kata Jalal menoleh kepada Jodha dan mengelus pipinya yang mulus. Jodha menjadi senang, dia memandang Sasa dengan tersenyum bangga. Sedangkan yang dipandang hanya nyengir saja.
“Baiklah kalau begitu Mas, terima kasih ya. Nanti akan saya sampaikan.” Jalal tersenyum manis. “Ya Tuhan, Jalal senyummu telah mengalihkan segala hutang-hutangku.” Gumam hati Sasa melihat senyuman Jalal.
“Oke, terima kasih kembali.” Jawab Jalal. Sedangkan Jodha hanya cemberut melihat gadis itu terkesan cuek kepadanya. Gadis itupun berlalu meninggalkan mereka berdua. Jodha masih cemberut. Jalal menoleh kepadanya.
“Jodha, kau kenapa?”
“Siapa dia Jalal, kenapa kau begitu akrab dengannya. Dulu saja atifa menggodamu, kau cuek saja. Sedang ini malah kau tampak takut dan bersikap manis kepadanya.” Tanya Jodha masih dengan hatinya yang kesal dan cemburu.
“Jo, kau cemburu?” Jalal balik nanya
“Menurutmu?”
Jalal hanya tertawa, sedangkan Jodha yang merasa kesal akhirnya bangkit dan berlari menuju garis pantai dan terus berjalan menuju laut. Jalal yang terkejut atas tingkah Jodha segera berlari mengejarnya. Pikirannya Jodha ingin bunuh diri karena cemburunya yang berlebihan.
“Jodhaaa, apa yang kau lakukan?” Teriak Jalal. Jodha hanya menoleh sebentar, kemudian terus berjalan menuju laut dalam. Jalal yang mengejarnya berhasil menangkapnya ketika air sudah sepinggang Jodha.
“Jodha, apa yang kau lakukan? apa kau ingin bunuh diri?” tanya Jalal terengah-engah. Namun Jodha hanya diam saja,  “Jodha, jawab aku! Apa maksudmu bersikap seperti ini?” akhirnya  Jodha berbalik menghadap Jalal dan menatapnya dengan tajam.
“Bodoh! kamu pikir semudah itu aku bunuh diri.” Ucap Jodha menyentil dahi Jalal dengan telujuknya. Namun wajahnya tanpa ekspresi.
“Ja...ja..jadi ini apa maksudmu?” Ganti Jalal yang bingung dan heran. Jodha hanya mengangkat bahunya.
“Aku hanya ingin berenang saja, bukankah kita sudah membawa pakaian ganti.” Jawab Jodha santai.
“Oh, syukurlah kalau begitu. Kuharap kau tidak cemburu Jodha kepada gadis tadi.”
“Memangnya kenapa? Apa tidak boleh aku cemburu kepadanya.”
“Tentu saja tidak boleh, karena dia tidak mungkin jatuh cinta kepadaku. Dan begitupun aku tidak mungkin jatuh cinta kepadanya.” Jodha semakin heran.

“Kenapa tidak boleh?”
“Karena...karena..nasib cinta kita ada ditangannya. Mudah saja kalau dia ingin menghancurkan hubungan kita. Aku takut dia marah dan dia akan menghancurkan hubungan kita. Rasa takutku lebih besar kepadanya dibandingkan rasa takutku kepada Ibumu. Jadi aku mohon kau jangan cemburu lagi kepadanya ya. Please!” Jalal menangkupkan tangannya didepan dada. Akhirnya Jodha pun tersenyum.
“Baiklah, Jalal. Kalau begitu ceritanya aku juga takut. Aku tidak mau berpisah denganmu.” Kata Jodha memeluk Jalal yang juga membalas memeluknya dengan tersenyum lega.
(maaf pemirsa itu tadi cuma iklan lewat doang, jangan dianggap ya. Just Kidding. He...he...he...).
Kembali fokus..fokus..tralala.... ini lagi marsha ikut-ikutan bikin gagal fokus lagi.

~~~0000~~~

Sekembalinya dari pantai membuat Jodha merasa senang. Wajahnya berseri-seri. Malam itu mereka menghabiskan malam bersama dan bercinta untuk yang kedua kalinya. Karena mereka tidak tahu besok apa yang akan terjadi.
Pagi minggu, mereka sudah bangun. Berpakaian dengan rapi. Jodha menyiapkan ransel dengan setengah hati. Hari ini mereka berdua akan kerumahnya. Jodha bingung, bagaimana reaksi ibunya nanti. Setelah ranselnya siap, dia hanya duduk saja dipinggiran ranjang. Sementara Jalal sedang keluar.
Tidak lama kemudian Jalal masuk kekamar dan melihat Jodha sedang termenung. Dia mendekat dan memeluk istrinya itu. Dia tahu apa yang istrinya pikirkan, karena dia juga merasakan kegelisahan yang sama. Dikecupnya kening Jodha untuk memberinya sedikit kekuatan. Setelah cukup lama akhirnya dia melepaskan pelukannya. Dan menggandengnya keluar. Namun Jodha melepaskan tangannya. Jalal menoleh.
“Ya sudah sayang, kalau kau ingin menenangkan diri dulu tidak apa-apa. Aku tunggu di bawah ya.” Kata Jalal. Kemudian dia melangkah menuju pintu. Tiba-tiba saja Jodha yang tadinya diam berlari dan memeluknya dari belakang. Sesaat Jalal hanya diam dan menggenggam tangannya.
“Kau kenapa sayang? Kau...” ucapan Jalal terputus
“Biarkan aku memelukmu seperti ini untuk beberapa saat, Jalal. Ku mohon.” Jodha menyandarkan kepalanya di punggung Jalal.
 “Baiklah sayang.”
Setelah beberapa lama akhirnya Jodha melepaskan pelukannya. Kini hatinya sudah mantap. Apapun yang terjadi dia akan menghadapinya bersama Jalal. Keduanya tersenyum, dengan bergandeng tangan akhirnya mereka melangkah keluar kamar dan siap untuk pergi.


tbc

Tidak ada komentar:

Posting Komentar