Maaf ya,
part kali ini ada terdapat iklan. Walaupun sebenarnya enggan untuk dimasukkan,
berhubung komisinya lumayan jadi ya akhirnya terpaksa deh dimasukkan untuk
operasional pembuatan ff ini. He...he.. Buat yang tidak suka iklannya tinggal
diskip aja, tapi terlebih dahulu baca dulu yee... untuk yang udah titip dan
pesan kemarin ini udah aku sampaikan. Jadi hutangku sudah lunas. Oke. Happy
reading all....
MIRACLE OF
LOVE
BY. SASA
Part. 14
“Jalal!”
Pak Humayun
segera bangkit dan menghampiri Jalal dan Jodha yang masih berdiri
memandanginya. Sesaat ditatapnya Jalal yang tampak berubah penampilannya. Dia tidak menyangka sebesar itu perubahan
pada anaknya. Dengan terharu dia memeluk Jalal yang masih belum berani bergerak.
Jalal
membalas pelukan ayahnya. Sedangkan Jodha hanya diam saja memandangi pertemuan
yang mengharukan antara ayah dan anak yang berbulan-bulan tidak pernah bertemu.
Humayun melepaskan pelukannya, dipegangnya kedua lengan Jalal sambil ditatapnya
sekali lagi. Seakan tidak percaya kalau itu adalah anaknya yang dulu tumbuh dengan
keadaan tidak terurus, kucel dan membosankan.
“Jalal, kau
tampak berbeda sekarang Nak.” Kata Humayun tersenyum lebar. Jalal dan Jodha
ikut tersenyum mendengarnya.
“Iya Pa,
ternyata disana menyenangkan. Bergaul dengan orang-orang yang tinggal didesa
dan dengan lingkungan alam yang damai membuatku merasa nyaman.”
“Syukurlah
kalau begitu, aku senang dengan perubahanmu ini Jalal.”
“Iya Pa,
terima kasih Pa.” Pandangan Humayun beralih kepada Jodha yang sedari tadi hanya
diam saja memperhatikan mereka.
“Selamat
datang menantuku yang cantik.” Kata Humayun melebarkan tangannya ingin memeluk
Jodha. Sesaat Jodha diam dan menatap Jalal yang menganggukkan kepalanya.
Akhirnya Jodha berlari dan berhambur kepelukan Humayun. Lelaki itu memeluk
Jodha seperti memeluk anaknya sendiri.
Jodha nampak
bahagia, dia tidak menyangka kalau akan disambut semanis itu oleh ayahnya
Jalal. Tak tahan lagi air matanya ikut mengalir berbaur dengan kebahagiaannya.
“Terima
kasih Papa, sudah mau menerimaku sebagai menantumu.” Kata Jodha lirih. Jalal
ikut terharu melihat keakraban ayah dan istrinya.
“Iya sayang,
siapa yang tidak ingin mempunyai menantu yang cantik sepertimu?” goda Pak
Humayun melepas pelukannya. “Hei,...sudahlah Jodha tidak usah menangis begitu.”
Jodha tersenyum malu sembari menghapus air matanya dengan punggung tangannya.
“Iya Pa,
maafkan aku.”
“Tidak ada
yang perlu dimaafkan, Jodha. Semua itu sudah menjadi takdir yang harus
dijalani. Dan Papa senang kalau akhirnya kalian berdua sudah mendapatkan banyak
pelajaran disana. Semoga saja apa yang kalian dapatkan disana bisa membuat
kalian berubah menjadi lebih baik. Khususnya dengan penampilan kalian sekarang,
Papa sungguh merasa terkejut, apa saja yang kalian lakukan disana sampai
hasilnya seperti ini.” Ucap Humayun masih dengan pandangan tidak percaya. “Ayo
sekarang kita duduk dulu.” Mereka melangkah menuju kursi tamu yang ada diruang
kerja tersebut. Jalal duduk disofa panjang bersama Ayahnya. Sedangkan Jodha duduk
di sofa depannya.
“Sekarang
apa rencana kalian selanjutnya ?” kamu tidak ingin pulang dulu kerumahmu
Jodha?” tanya Humayun. Jodha tidak segera menjawabnya. Dia nampak bimbang dan
hanya menatap Jalal minta bantuan.
“Rencananya
selama dua hari Jodha akan menginap disini, Pa. Karena memang jadwalnya kan
masih 2 hari lagi baru pulang.” Jawab Jalal, “bolehkan Pa?” tanya Jalal penuh
harap.
“Tentu saja boleh. Bukankah sekarang ini
adalah rumahmu juga, tinggallah disini selama kamu suka, Jodha.” Jawaban Humayun
memberikan kedamaian dihati keduanya.
“Terima
kasih Pa, semoga saja kehadiranku tidak membuat repot orang dirumah ini.” Jawab
Jodha tersenyum bahagia.
“Hei, tidak
ada yang direpotkan dengan kehadiran kamu disini. Kehadiranmu memberikan
suasana berbeda. Papa merasakan itu. Kamu tahu, sudah lama rumah ini terasa
hampa semenjak mamanya Jalal pergi meninggalkan rumah ini. Seolah cahaya rumah
ini juga meredup.” Sesaat Humayun berhenti, ada setitip air mata disudut
matanya. Diapun menyekanya dengan jarinya, “Papa melarikan perasaan itu kepada
pekerjaan yang tidak pernah ada habisnya Akhirnya yang paling merasakan
kehilangan adalah Jalal. Dia tumbuh tanpa ada kasih sayang dari kedua orang
tuanya membuatnya menjadi anak yang bebas tanpa aturan. Sampai akhirnya dia
terjebak kedalam narkoba. Dari situ Papa mulai sadar, namun dengan kesibukan
yang sangat menyita waktu membuat Papa tidak bisa memberikan banyak perhatian kepadanya.”
Kata Humayun menatap Jalal. Jalal melihat sinar penyesalan dimata Papanya.
“Sudahlah
Pa, tidak apa-apa. Aku tahu Papa menyayangiku sebenarnya. Dan aku bangga
mempunyai Papa sepertimu.” Humayun menepuk-nepuk bahu Jalal yang tersenyum
kepadanya.
“Terima
kasih, Jalal. Papa senang sekali melihatmu tersenyum. Senyum yang sudah lama Papa
rindukan selama ini darimu.” Kemudian Humayun menoleh kepada Jodha, “dan buatmu
Jodha, Papa mengucapkan terima kasih telah membuat Jalalku bisa tersenyum lagi.”
Kata Humayun. Jodha menjadi terharu.
“Iya Pa,
sama-sama. Aku juga ikut bahagia Pa.” Jodha beranjak dari duduknya menuju
Humayun dan memeluk ayah mertuanya. Jodha tidak merasa canggung lagi. Dia
merasa seperti memeluk ayahnya sendiri.
“Oh ya,
sekarang kalian mandi dan membersihkan diri dulu. Nanti Papa tunggu di meja
makan ya. Kita akan makan malam bersama.” Kata Humayun melepaskan pelukan
Jodha.
“Baik
Pa. Ayo Jo, aku tunjukin kamarnya.” Ajak Jalal menarik tangan Jodha. Jodha pun
mengikutinya. Meninggalkan Humayun yang masih tersenyum bahagia.
Jalal
membawa Jodha ke kamarnya untuk mandi dan membersihkan diri. Memasuki kamar
Jalal membuat Jodha merasakan sesuatu yang berbeda. Kamar itu besar sekali yang
dicat dengan nuansa biru laut. Ada ranjang besar yang diatasnya menempel
didinding sebuah poster salah satu penyanyi terkenal. Disudut ruangan terdapat
1 set komputer lengkap dengan aksesoris game. Disampingnya terdapat home
theatre yang cukup besar. Disudut ruangan lainnya terdapat lemari pakaian yang lumayan
besar dan juga sebuah lemari. Entah lemari apa.
“Apa yang kau
lihat Sayang? Inilah kamarku.” Kata Jalal memeluknya dari belakang. Jodha
tersenyum malu.
“Ternyata
kamarmu gambaran dirimu.”
“Maksudmu?”
Jalal mempererat pelukannya. Wajahnya dibenamkan di rambut Jodha dan menghirup
wangi dari rambut tersebut.
“Yaahh, pantas
saja kau pintar menyanyi dan main gitar ternyata kau mendapat inspirasi dari
dia ya?” kata Jodha menunjuk poster artis tadi.
“Hm.” jawab Jalal
tidak juga melepaskan wajahnya dari rambut Jodha. Dada Jodha kembali berdetak
kencang. Tidak dapat dipungkiri kehangatan kembali merasuk kedalam hatinya. Dilepaskannya
tangan Jalal yang memeluk pinggangnya dan berbalik menghadap Jalal yang tersenyum
nakal kepadanya.
Jodha
melingkarkan tangannya dileher Jalal, sedangkan tangan Jalal kembali memeluk
pinggangnya. Wajah mereka begitu dekat, masing-masing bisa merasakan nafas
hangat menerpa wajah mereka.
“Jodha
istriku, tinggallah disini, dekat dihatiku dan mataku. Rumah ini terlalu hampa
tanpa kehadiranmu.” Bisik Jalal. Jodha tersenyum manja.
“Benarkah?
tapi apa yang aku dapatkan kalau aku tinggal disini?” Ucap Jodha sedikit
menantang membuat Jalal menjadi gemas dibuatnya.
“Kau akan
mendapatkan ini.” Jalal dengan lembut mencium bibir yang menggemaskan itu.
Jodha sedikit kaget mendapatkan bibir jalal sudah mendarat dibibirnya. Namun
tidak lama kemudian dia pun membalas dan menikmatinya.
Keduanya
terengah-engah setelah cukup lama saling memagut. Jalal menatap wajah malu-malu
yang merona merah, dia sangat menikmatinya.
“Sudah ah,
aku ingin mandi dulu, Jalal. Kasihan nanti Papa kelamaan menunggu kita.” Kata
Jodha melepas pelukannya dan mendorong tubuh Jalal, “oh ya, aku pinjam handukmu
ya.” Jalal tersenyum dan membuka salah satu lemari untuk mengambil handuk dan
menyerahkannya kepada Jodha.
Jodha pun
segera menuju kamar mandi dan segera membersihkan tubuhnya yang terasa lengket
karena seharian dalam perjalanan. Terguyur air dingin membuatnya merasa sangat
segar. Hilang segala rasa penatnya.
Setelah
Jodha masuk kamar mandi, Jalal merebahkan tubuhnya di ranjang dengan kedua kaki
masih menjuntai di lantai. Kedua tangannya menyangga kepalanya dan matanya menatap
lurus kelangit-langit rumahnya. Terbayang kenangan 4 bulan yang lalu. Ada yang
berubah suasana dalam kamarnya. Terasa mimpi mengingat semuanya.
Sementara
Jodha yang selesai yang telah selesai mandi dan mengenakan pakaiannya, melihat
Jalal yang terbaring di ranjang dengan mata menatap plafon rumah perlahan
mendekatinya. Namun Jalal tidak menyadari kehadirannya karena terlalu asyik
dengan lamunannya. Baru ketika dia merasakan tangan Jodha yang menyentuh
tangannya barulah dia sadar bahwa Jodha sudah duduk didekatnya. Diapun bangkit
dan duduk disamping Jodha.
“Apa yang
kamu pikirkan?” tanya Jodha. Tangannya memegang pipi Jalal.
“Entahlah,
Sayang. Kamar ini masih seperti empat bulan yang lalu. Terasa bagai mimpi
rasanya apa yang telah kita jalani dan kembali kesini.” Desah Jalal, tangannya
memegang tangan Jodha yang masih menempel dipipinya. Di genggamnya dan kemudian
di ciumnya. Jodha tersenyum.
“Sudah ah,
mandi sana. Badanmu sudah bau tuh.” Kata Jodha sembari memencet hidungnya
sendiri. Jalal terkekeh.
“Bau-bau
beginikan tetap suamimu, dan kau sukakan dengan bauku?” goda Jalal mendekatkan keteknya
ke wajah Jodha. Jodha menjerit kecil, kembali tangannya memencet hidungnya
sendiri. Jalal tertawa kemudian mengeloyor pergi kekamar mandi.
Setelah
selesai mandi dan berganti pakaian, keduanya turun untuk makan malam. Tampak
Humayun sudah duduk disana menunggu mereka. Dihadapannya terhidang berbagai
macam hidangan yang sudah disiapkan Bi Inah dan belum tersentuh. Jalal segera
mengambil tempat dihadapan Ayahnya dan Jodha duduk disampingnya.
“Ayo,
silakan makan Jodha. Jangan malu-malu. Kau kan sudah menjadi bagian dari rumah
ini.” Kata Humayun seraya ingin mengambil nasi, namun buru-buru dicegah oleh
Jodha. Karena dia yang akan mengambilkan nasi dan lauknya untuk mertuanya.
Begitupun untuk Jalal. Dengan begitu dia merasa menjadi istri yang sesungguhnya.
Memikirkan itu membuatnya malu sekaligus bahagia.
Jalal senang
sekali melihat perlakuan Jodha terhadapnya dan Ayahnya. Ada rasa bangga dan
kagum dihati Jalal melihat Jodha yang terkadang lucu menyenangkan, terkadang
cerewet, terkadang konyol, kadang lebay, terkadang anggun seperti wanita
dewasa. Rumahnya terasa hangat dan menyenangkan. Suasana yang sudah lama tidak
pernah dia rasakan.
“Oh ya, Jo nanti
Papa akan menemui Ayahmu untuk membicarakan resepsi pernikahan kalian.” Jodha
yang mendengar itu langsung sumringah.
“Benarkah Pa?
terima kasih ya Pa.” Humayun mengangguk senang dan melanjutkan makannya. Jodha
makan dengan lahap dan nikmat. Kata-katanya mertuanya memberikan kebahagiaan
yang besar dihatinya.
Setelah
makan malam Humayun kembali masuk keruang kerjanya, sedangkan Jalal dan Jodha
kembali kekamar mereka. Jodha yang duduk bersandar di sandaran ranjang dan
Jalal berbaring dengan kepalanya diatas paha Jodha. Tangan Jodha membelai
rambut Jalal yang sudah dipotong rapi, sedangnya tangannya yang satu lagi
digenggam Jalal sesekali diciumnya. Keduanya tidak bisa menyembunyikan
kebahagiaannya.
“Jalal.”
“Ya
sayang...”
“Aku tidak
menyangka Papa akan menerimaku secepat ini?”
“Hm, dari
awal aku sudah yakin Papa pasti akan menerimamu.”
“Benarkah?
darimana kau yakin Papa pasti akan menerimaku?”
“Dari
pertama dia bertemu denganmu di dulu sewaktu kita akad nikah. Dari pandangannya
aku yakin dia menyukaimu. Dan terbukti kan sekarang dia dengan senang hati
menerimamu sebagai menantunya, sekarang tinggal orang tuamu, terlebih lagi
ibumu. Aku tidak yakin karena masa laluku yang sudah menyakitimu.” Jalal
mendesah panjang ketika teringat ibunya Jodha ketika di desa dulu. Pandangannya
yang begitu sengit kepadanya tersimpan kebencian yang teramat dalam. Jalal
memejamkan matanya mengingat hal itu. Tangan Jodha berhenti mengelus rambut
Jalal, sejenak dipandanginya wajah suaminya yang tampak resah. Perlahan Jodha
menundukkan wajahnya, dengan lembut diciumnya bibir Jalal sebentar untuk
memberi kekuatan. Jalal membuka matanya dan tersenyum.
“Sekarang tidak
usah dipikirkan dulu masalah itu, semoga saja nanti Papa bisa meluluhkan hati
Ibuku.” Ucap Jodha berusaha menenangkan hati Jalal. Walaupun sebenarnya hatinya
juga resah. Namun Jalal seperti merasakan apa yang dirasakan oleh Jodha. Diapun
bangkit duduk disamping Jodha, direngkuhnya tubuh Jodha kedalam pelukannya
setidaknya sedikit mengurangi keresahan mereka berdua. Tiba-tiba terlintas
sebuah ide di pikirannya.
“Oh ya
sayang, bagaimana kalau besok kita jalan-jalan. Kamu mau tidak ?” ajak Jalal.
Jodha langsung berbinar matanya mendengar Jalan-Jalan.
“Jalan-jalan
Sayang, boleh. Aku mau. Kita mau jalan kemana?”
“Aku ingin
mengajakmu jalan-jalan kepantai. Biasanya aku suka sekali lama-lama memandang
laut sendirian apalagi kalau sedang ada masalah.”
“Pantai? oke
sayang, aku mau. Aku juga senang sekali main kepantai.” Kata Jodha kegirangan
seperti anak kecil yang akan dibelikan mainan. Jalal tertawa melihat sifat asli
Jodha keluar lagi.
“Baiklah
kalau begitu, sekarang kita tidur dulu. Besok bangun pagi-pagi.” Kata Jalal
membelai rambut Jodha.
“Siap Bos!”
ucap Jodha dengan sikap menghormat. Kemudian dia membaringkan tubuhnya membelakangi
Jalal yang tersenyum melihat tingkah polahnya. Jalal ikut membaringkan tubuhnya
dan memeluk Jodha dari belakang. Jodha sangat senang tidur dengan posisi begitu
karena dia merasa damai dan terlindungi dalam pelukan suaminya.
~~~0000~~~
Pagipun
menjelang, setelah mandi dan sarapan mereka bersiap-siap untuk berangkat. Tidak
lupa membawa pakaian ganti. Mereka pamit dengan Bi Inah, karena Ayahnya Jalal
sudah berangkat terlebih dahulu ke kantor.
Setelah
menempuh perjalanan kurang lebih satu jam. Mereka pun sampai dipantai Ancol
yang tampak sepi. Bisa dimaklumi karena hari itu bukan hari libur. Dan Jalal
bersyukur tentang itu dengan begitu dia dan Jodha bisa leluasa menikmati
suasana tenang.
Keluar dari
mobil, Jodha tidak sabar untuk merasakan pasir putir menyentuh kakinya. Dengan
memakai kacamata hitam, celana pendek model aladin warna coklat, model ini
lebar dibagian atas dan diakhiri ban pada bagian paling bawah celana. Karena
berbahan kaos celana ini sangat nyaman digunakan juga lebih dingin, dan T-shirt
longgar berlengan pendek dia berlari mencapai garis pantai. Jalal menyusulnya
dengan berjalan santai dengan jeans pendek kesukaannya dengan kaos oblong
berwarna biru langit, tentu tidak lupa kacamata hitam bertengger diatas
hidungnya. Dia senang Jodha begitu menikmatinya. Setelah sampai digaris pantai,
Jodha langsung mencelupkan kaki di air laut. Air laut yang merendam kakinya
terasa menyenangkan ditambah ombak-ombak kecil yang sesekali datang menerpa
kakinya.
Setelah puas
merendam kaki, Jodha mengajak Jalal berjalan-jalan. Tangannya memegang
sendalnya begitupun dengan Jalal. Mereka berjalan bergandengan tangan, angin
laut mengibarkan rambut Jodha yang lumayan panjang. Setelah capek berjalan
mereka istirahat duduk dipasir putih itu sambil memandangi lautan luas
didepannya. Jodha menyelonjorkan kedua kakinya sedangkan Jalal duduk dengan
satu lututnya ditekuk, yang satunya diselonjorkan badanny agak di miringkan kebelakang bertumpu
dengan kedua tangannya sebagai penyangga.
“Benar ya,
berada disini menenangkan.” Kata Jodha, pandangannya tidak lepas memandang laut
dari balik kacamata hitamnya.
“Kau benar
Jodha, disinilah dulu aku sering duduk berlama-lama. Membuang segala
kesepianku. Terkadang aku duduk disini sampai sore hari dikala matahari
terbenam.” Sahut Jalal. Dia juga memandang laut didepan dengan tenang.
Dari
kejauhan nampak seorang gadis berjalan menghampiri mereka, kerudung dan roknya
yang lebar dan panjang tampak berkibar-kibar diterpa angin laut yang kencang.
Setelah sampai dia menyapa Jalal dan Jodha.
“Maaf, ini
benar Mbak Jodha dan Mas Jalal ya?” tanya gadis itu.
“Benar. Anda
siapa?” Jalal balik tanya. Sedangkan
Jodha hanya diam saja memperhatikan.
“Kenalkan
nama saya Sasa.” Jawab gadis itu, namun tidak mengulurkan tangannya. Mendengar
nama gadis itu Jalal menjadi sedikit kaget. Jodha yang melihatnya menjadi heran
dan sedikit cemburu.
“Oh iya
Sasa, ada yang bisa saya bantu?” Tanya Jalal setengah gugup dengan senyum yang
dimanis-maniskan. Jodha menjadi semakin heran dan cemburu saja, ada apa dengan
Jalal begitu.
“Ah, nggak
ini cuma mau menyampaikan salam dari anak-anak kost. Ada Mbak Sinta Rama nitip
salam katanya buat Mas dan Mbak. Ada juga teman saya Dwiiee Ariestini yang
minta disampaikan salamnya juga. Terus ada Nirwaa juga ingin kenalan, katanya
aku disuruh ngaku jadi kakaknya kalau ketemu Mas dan Mbak....upz...maaf mas keceplosan.
Sama itu Dek Endang sekalian minta tanda tangan Mas dan Mbak juga. Sekalian salam
dari seluruh anak-anak kost.” Kata Sasa menjelaskan panjang lebar sembari
mengeluarkan selembar kertas dan sebuah pulpen untuk tanda tangannya Jalal dan
Jodha.
Jalal
menerima kertas itu dan menandatangani kemudian di serahkan kepada Jodha untuk
menandatangani. Setelah selesai diserahkannya kembali kertas itu kepada Sasa
yang memandang mereka dengan tanpa ekpresi berlebihan.
“Oh iya Sasa,
katakan saja kepada mereka kami terima salamnya, dan kami juga titip salam
untuk anak-anak. Itu kertas yang ditandatangani apa tidak kekecilan mintanya,
kalau ada yang ukuran 2 x 1,5 meter
tidak apa-apa kami tandatangani sekalian dijadikan selimut biar kami selalu
dekat dengannya. Pokoknya untuk anak-anak kost apapun keinginan mereka akan
kami kabulkan, mau foto bareng, tanda tangan, titip salam terserah mereka mau
apa. Kecuali....” Jalal menggantungkan kalimatnya.
“kecuali apa
mas?” Tanya Sasa dengan penasaran.
“Kecuali
mandi bareng. Karena mandi bareng hanya untukku bersama Jodha saja.” Kata Jalal
menoleh kepada Jodha dan mengelus pipinya yang mulus. Jodha menjadi senang, dia
memandang Sasa dengan tersenyum bangga. Sedangkan yang dipandang hanya nyengir
saja.
“Baiklah
kalau begitu Mas, terima kasih ya. Nanti akan saya sampaikan.” Jalal tersenyum
manis. “Ya Tuhan, Jalal senyummu telah mengalihkan segala hutang-hutangku.”
Gumam hati Sasa melihat senyuman Jalal.
“Oke, terima
kasih kembali.” Jawab Jalal. Sedangkan Jodha hanya cemberut melihat gadis itu
terkesan cuek kepadanya. Gadis itupun berlalu meninggalkan mereka berdua. Jodha
masih cemberut. Jalal menoleh kepadanya.
“Jodha, kau
kenapa?”
“Siapa dia
Jalal, kenapa kau begitu akrab dengannya. Dulu saja atifa menggodamu, kau cuek
saja. Sedang ini malah kau tampak takut dan bersikap manis kepadanya.” Tanya
Jodha masih dengan hatinya yang kesal dan cemburu.
“Jo, kau
cemburu?” Jalal balik nanya
“Menurutmu?”
Jalal hanya
tertawa, sedangkan Jodha yang merasa kesal akhirnya bangkit dan berlari menuju
garis pantai dan terus berjalan menuju laut. Jalal yang terkejut atas tingkah
Jodha segera berlari mengejarnya. Pikirannya Jodha ingin bunuh diri karena
cemburunya yang berlebihan.
“Jodhaaa, apa
yang kau lakukan?” Teriak Jalal. Jodha hanya menoleh sebentar, kemudian terus berjalan
menuju laut dalam. Jalal yang mengejarnya berhasil menangkapnya ketika air
sudah sepinggang Jodha.
“Jodha, apa
yang kau lakukan? apa kau ingin bunuh diri?” tanya Jalal terengah-engah. Namun
Jodha hanya diam saja, “Jodha, jawab
aku! Apa maksudmu bersikap seperti ini?” akhirnya Jodha berbalik menghadap Jalal dan menatapnya
dengan tajam.
“Bodoh! kamu
pikir semudah itu aku bunuh diri.” Ucap Jodha menyentil dahi Jalal dengan
telujuknya. Namun wajahnya tanpa ekspresi.
“Ja...ja..jadi
ini apa maksudmu?” Ganti Jalal yang bingung dan heran. Jodha hanya mengangkat
bahunya.
“Aku hanya
ingin berenang saja, bukankah kita sudah membawa pakaian ganti.” Jawab Jodha
santai.
“Oh,
syukurlah kalau begitu. Kuharap kau tidak cemburu Jodha kepada gadis tadi.”
“Memangnya
kenapa? Apa tidak boleh aku cemburu kepadanya.”
“Tentu saja
tidak boleh, karena dia tidak mungkin jatuh cinta kepadaku. Dan begitupun aku
tidak mungkin jatuh cinta kepadanya.” Jodha semakin heran.
“Kenapa
tidak boleh?”
“Karena...karena..nasib
cinta kita ada ditangannya. Mudah saja kalau dia ingin menghancurkan hubungan
kita. Aku takut dia marah dan dia akan menghancurkan hubungan kita. Rasa
takutku lebih besar kepadanya dibandingkan rasa takutku kepada Ibumu. Jadi aku
mohon kau jangan cemburu lagi kepadanya ya. Please!”
Jalal menangkupkan tangannya didepan dada. Akhirnya Jodha pun tersenyum.
“Baiklah,
Jalal. Kalau begitu ceritanya aku juga takut. Aku tidak mau berpisah denganmu.”
Kata Jodha memeluk Jalal yang juga membalas memeluknya dengan tersenyum lega.
(maaf
pemirsa itu tadi cuma iklan lewat doang, jangan dianggap ya. Just Kidding.
He...he...he...).
Kembali
fokus..fokus..tralala.... ini lagi marsha ikut-ikutan bikin gagal fokus lagi.
~~~0000~~~
Sekembalinya
dari pantai membuat Jodha merasa senang. Wajahnya berseri-seri. Malam itu
mereka menghabiskan malam bersama dan bercinta untuk yang kedua kalinya. Karena
mereka tidak tahu besok apa yang akan terjadi.
Pagi minggu,
mereka sudah bangun. Berpakaian dengan rapi. Jodha menyiapkan ransel dengan
setengah hati. Hari ini mereka berdua akan kerumahnya. Jodha bingung, bagaimana
reaksi ibunya nanti. Setelah ranselnya siap, dia hanya duduk saja dipinggiran
ranjang. Sementara Jalal sedang keluar.
Tidak lama
kemudian Jalal masuk kekamar dan melihat Jodha sedang termenung. Dia mendekat
dan memeluk istrinya itu. Dia tahu apa yang istrinya pikirkan, karena dia juga merasakan
kegelisahan yang sama. Dikecupnya kening Jodha untuk memberinya sedikit
kekuatan. Setelah cukup lama akhirnya dia melepaskan pelukannya. Dan
menggandengnya keluar. Namun Jodha melepaskan tangannya. Jalal menoleh.
“Ya sudah
sayang, kalau kau ingin menenangkan diri dulu tidak apa-apa. Aku tunggu di bawah
ya.” Kata Jalal. Kemudian dia melangkah menuju pintu. Tiba-tiba saja Jodha yang
tadinya diam berlari dan memeluknya dari belakang. Sesaat Jalal hanya diam dan
menggenggam tangannya.
“Kau kenapa
sayang? Kau...” ucapan Jalal terputus
“Biarkan aku
memelukmu seperti ini untuk beberapa saat, Jalal. Ku mohon.” Jodha menyandarkan
kepalanya di punggung Jalal.
“Baiklah sayang.”
Setelah
beberapa lama akhirnya Jodha melepaskan pelukannya. Kini hatinya sudah mantap.
Apapun yang terjadi dia akan menghadapinya bersama Jalal. Keduanya tersenyum,
dengan bergandeng tangan akhirnya mereka melangkah keluar kamar dan siap untuk
pergi.
tbc
Tidak ada komentar:
Posting Komentar