“Tenanglah
Jodha.” Hibur Jalal.
“Tapi Jalal,
bagaimana aku bisa tenang kita di dalam hutan begini tidak tahu jalan keluar.
Lagian kenapa kita tadi harus masuk hutan segala, akhirnya kan malah tersesat." Gerutu Jodha
“Ya kalau
kamu mau balik lagi silakan, biar aku jalan sendiri."
“Bagaimana
aku bisa balik kalau jalan yang kita lewati tadi saja aku sudah lupa."
“Makanya
jangan cerewet, ikut saja..” Jodha pun akhirnya terdiam.
Jalal
mematahkan ranting pohon yang hidup dan lurus sekitar 50 cm dan membuang
daunnya. Ranting tersebut dipakai untuk memukul dan menghalau semak yang mereka
lalui. Tangan kanannya memegang ranting sedangkan tangan kirinya menggenggam
tangan Jodha yang sudah pasrah mau dibawa kemana.
Jalan yang
dilalui sebenarnya tidaklah terlalu lebat dengan semak, hanya saja karena sudah
malam membuat jalan terlihat agak susah dilewati. Jodha yang berjalan
dibelakang sesekali melirik kiri dan kanan, dengan hati yang diliputi
ketakutan.
“Jalaaall!” Tiba-tiba Jodha memeluk Jalal dari belakang, terasa tubuhnya gemetar karena
ketakutan. Jalal yang terkejut segera berbalik dan memeluknya untuk menenangkan
Jodha.
“Ada apa
Jodha? Kau kenapa?” Tanya Jalal lembut menenangkan.
“I...i..tu...” Tangan gemetar Jodha menunjuk kesebelah kiri namun matanya terpejam. Nampak
sepasang mata sedang menatap tajam kearah mereka. Jalal menoleh kearah yang
ditunjukkan oleh Jodha nampak seekor kucing hutan berwarna hitam sedang menatap
tajam kearah mereka, karena harinya gelap maka yang kelihatan cuma sepasang
matanya saja terlihat berkilat. Sejenak
dia nampak kaget tetapi kemudian dia tersenyum.
“Tidak apa
Jodha, coba kau lihat itu cuma kucing hutan saja. Tidak akan menggigitmu.” Kata
Jalal sambil tertawa.
Jodha
menoleh kearah kucing hutan yang sedang memandang mereka. Sedikit demi sedikit
ketakutannya berkurang. Perlahan Jodha melepaskan pelukannya sambil tersipu
malu.
“Maafkan aku
Jalal, aku sudah tidak bisa berpikir lagi karena ketakutan." Kata Jodha sambil
menunduk. Dia tidak berani memandang wajah Jalal, sedangkan Jalal hanya tersenyum.
“Tidak
apa-apa Jodha. Aku mengerti kok. Ayo kita jalan lagi ya. Jangan jauh-jauh dariku
nanti kalau ada kucing hutan lagi kamu kan bisa langsung memeluk aku." Goda
Jalal.
“Ah kamu
ini...” Kata Jodha memukul dada Jalal dengan lembut. Jalal tertawa, tangan
kirinya meraih tangan Jodha dan menarik untuk mengikuti langkahnya. Jodha
mengikutinya sambil tersenyum malu.
Langkah
mereka semakin dalam masuk ke hutan, mereka sudah tidak tahu lagi kemana arah
yang akan dituju hanya menggunakan perasaan saja dan juga dengan bantuan sinar
bulan yang masih bisa menembus sebagian dedaunan yang tumbuh diatas. Suara
binatang malam membuat suasana semakin mencekam.
Setelah
beberapa lama mereka berjalan, Jalal melihat sinar kelap-kelip banyak sekali.
Dengan penasaran dia segera mempercepat langkahnya, ternyata di hadapan mereka
kini adalah sebuah sungai yang lumayan besar. Airnya mengalir tenang. Sinar
bulan yang memantul membuat seolah cahaya yang berkelap kelip sehingga nampak
indah. Dipinggiran sungai tersebut terlihat bersih dari pepohonan besar dan
hanya ditumbuhi rumput kecil yang jarang-jarang.
“Jodha,
lihatlah ada sungai. Kita istirahat dulu ya." Jodha mengangguk senang karena
yang memang sudah dari tadi nampak lelah karena sudah berjalan jauh langsung
duduk meletakkan pantatnya ditanah. Meluruskan kakinya. Jalal duduk disamping
Jodha sambil meluruskan kakinya. Suasana hening, masing-masing belum berani
bicara.
“Ternyata
capek juga ya?” Jodha memecah keheningan. Jalal nyengir.
“Itu karena
kamu jarang jalan kaki. Masa cuma begitu saja kamu capek?” Jalal setengah
mengejek.
“Kamu kan
laki-laki tentu saja lebih kuat,” Jodha membela diri.
“Tetap saja
itu tidak bisa dijadikan alasan."
“Ya terserah
kamulah.” Jalal tersenyum.
Suasana
hening, keduanya memandang kilauan cahaya yang terpantul di air sungai.
Sesekali Jalal melempar benda-benda kecil ke air sungai, membuat cipratan air yang
terkena lemparannya. Sedangkan Jodha hanya duduk dan memperhatikan air sungai
yang mengalir tenang sambil memeluk lutut. Mereka hanya diam, tidak tahu harus
memulai berbicara apa. Mereka nampak canggung. Jodha pun berinisiatif untuk
mengawali pembicaraan.
“Jalal....!”
Jalal menoleh.
“Ya?”
“Ehm...kamu
sekarang tampak lebih kurus dari yang terakhir aku lihat." Jalal tertawa
hambar. “Bagaimana kabarmu sekarang?”
“Aku
baik-baik saja. Dan kau juga terlihat sangat berubah. Aku lebih suka melihatmu
yang dulu, yang cerewet, yang polos, dan.....” Jalal tidak melanjutkan
ucapannya.
“Dan
apa?” tanya Jodha sambil menoleh ke arah Jalal.
“Dan...dan....cantik." Jawab Jalal sambil menoleh menatap Jodha.
Jodha
langsung mengalihkan pandangannya ke depan sambil tersipu. Jalal memetik rumput
kecil yang ada didekatnya dan menggigitnya ujungnya kemudian merebahkan
tubuhnya ke tanah dan menopang kepalanya dengan kedua tangannya sambil mengunyah-ngunyah
pelan rumput tadi. Sedangkan Jodha masih dengan posisi semula.
“Kalau kau
menganggapku cantik kenapa dulu kau sering menggangguku, bahkan sampai-sampai
aku sering menangis karenamu?” Kembali Jodha menatap Jalal yang memandang lurus
keatas memandang bulan yang sedang tersenyum kepada mereka.
“Aku tidak
tahu kenapa aku lakukan itu. Mungkin karena aku sangat kecewa kepada ibuku
membuatku tidak bisa berfikir lagi, aku merasa sangat kesepian sehingga aku
melakukan hal-hal yang bisa membuatku terhibur. Apalagi saat aku melihat Ibumu
sangat memanjakanmu itu membuatku iri, sedangkan Ayahku tidak pernah mempunyai
waktu untukku." Jalal berhenti sejenak membuang nafas panjang. Nada suaranya
sedikit bergetar. Bola matanya sedikit berkilat-kilat karena ada setitik air
mata yang muncul. Jodha menjadi terharu dan iba melihatnya. Ada perasaan hangat
yang menyusup dihatinya.
“Aku juga
tahu kalau kau yang sudah melaporkan aku ketika aku dan teman-temanku pesta
sabu-sabu dibelakang sekolah. Sampai akhirnya aku dimasukkan ke pusat
rehabilitasi." Jodha terkejut
“Da-darimana kamu tahu kalau aku yang melaporkan kalian."
“Semula aku
tidak tahu, tapi setelah Ayahku mengurus surat kepindahanku seorang guru
menceritakannya kepada Ayahku."
“Terus apa
yang kamu lakukan di pusat rehabilitas itu?”
“Aku ikut
terapi disana, awalnya sangat berat namun akhirnya aku bisa sembuh karena Ayahku
dan juga Bi Inah tidak pernah berhenti memberikan semangat kepadaku. Dari
situlah aku mulai berpikir dan aku merasa bersalah kepadamu. Namun juga
bersyukur. Mungkin seandainya kamu tidak melaporkan aku, aku tidak akan seperti
ini."
“Apa
sekarang kau merasa bahagia?”
“Untuk saat
ini aku merasa sedikit tenang dan damai, aku ingin mewujudkan segala keinginan
Ayahku, hanya aku satu-satunya harapan Ayahku."
Jodha
mangut-mangut, dalam hatinya mengamini perkataan Jalal. Pandangannya beralih
kelangit dan menatap bintang-bintang yang bertaburan.
“Jalal, coba
kau lihat disana ada bintang jatuh." Kata Jodha sambil menunjuk langit.
“Cepatlah kau buat permohonan, kata orang apabila berdoa saat bintang jatuh
maka segala doanya akan terkabul." Kata Jodha sambil mengadahkan kedua
tangannya dengan mata terpejam. Terlihat sekali dia berdoa dengan khusuk.
Sementara Jalal kembali duduk bersila dengan kedua tangannya mengadah ke atas,
namun wajahnya menoleh menatap Jodha.
Lama
ditatapnya wajah itu, dinikmati setelah sekian lama dia tidak pernah melihatnya
lagi hatinya mulai berdetak kencang. Perlahan Jodha membuka matanya dan menyapu
kedua tangannya ke wajahnya. Melihat hal itu cepat-cepat Jalal mengalihkan
pandangannya agar tidak ketahuan kalau dia sedang memandang Jodha. Dia pun
menyapukan kedua tangannya kewajahnya seolah-olah dia juga ikut berdoa.
“Memangnya
apa doamu Jo?” Tanya Jalal. Jodha tersenyum.
“Rahasia!”
“Kok rahasia
sih?”
“Kalau
berdoa itu tidak harus dikasih tahu, cukup kita saja yang tahu, nanti malah
tidak terkabul." Jelas Jodha
“Iya dech.”
Jawab Jalal sambil garuk-garuk kepala.
Sesaat
kemudian Jodha bangkit dari duduknya, dan berjalan kesuatu arah. Jalal
mengikuti dengan pandangannya.
“Kau mau
kemana Jo?” Tanya Jalal dengan heran. Diapun ikut berdiri dan mengikuti Jodha.
“Stttt....lihatlah
Jalal. Indah sekali...”
Ternyata Jodha melihat kunang-kunang yang banyak.
Jodha yang baru pertama kali melihat kunang-kunang merasa takjub. Dia berusaha
menangkap binatang kecil itu namun selalu gagal. Jalal hanya tersenyum
membiarkan Jodha menikmati kebahagiaannya. Gadis itu nampak senang sekali. Dia
berlari-lari mengikuti kunang-kunang yang ingin ditangkapnya.
“Jalal,
lihatlah aku sudah menangkapnya." Kata Jodha memperlihatkan tangannya yang tertangkup
karena didalamnya terdapat kunang-kunang. “Waaahhh...., Jalal ini keren sekali.
Dia Jakarta tidak pernah ada yang seperti ini, lucu ya." Kata Jodha sambil
mempermainkan kunang-kunang yang ditangkapnya tadi sambil tertawa senang. Namun
tertawa itu berhenti karena tidak ada respon dari Jalal. Dia mendongakkan kepalanya
melihat Jalal. Dia heran melihat Jalal
menatapnya dengan mata yang berkaca-kaca.
“Jalal, kau
kenapa?” Jalal tidak menjawab, namun langsung memeluk Jodha. Jodha kaget,
tetapi akhirnya dia juga membalas pelukan Jalal.
“Kau kenapa
Jalal?” Sekali lagi Jodha bertanya.
“Aku senang
melihatmu tertawa seperti ini. Rasanya aku bahagia sekali. Tetaplah selalu
seperti ini." Kata Jalal mempererat pelukannya dan memejamkan matanya. Jodha tersenyum
dan matanya berkaca-kaca, meresapi moment tersebut. Terasa damai berada dalam
pelukan pemuda itu. Perlahan segala kebencian yang selama ini dia rasakan luruh
bersama linangan air mata kebahagiaan yang dia rasakan saat ini.
Setelah cukup
lama akhirnya Jalal melepaskan pelukannya.
“Ayo Jo,
kita teruskan perjalanan kita, siapa tahu kita bertemu penduduk biar
kita bisa menginap barang semalam." Ajak Jalal menggandeng tangan Jodha. Jodha
tersenyum. Terasa sekali genggaman tangan Jalal kali ini terasa hangat dan
menenangkan.
“Iya, semoga
saja ada perkampungan penduduk di dekat sini." Kata Jodha. Mereka berjalan
menyusuri pinggiran sungai searah arus air.
Setelah
berjalan cukup jauh akhirnya dari kejauhan terlihat rumah-rumah perkampungan.
Walaupun tanpa ada cahaya listrik namun dengan adanya sinar bulan perdesaan itu
terlihat jelas.
“Lihat Jo,
itu ada perkampungan. Ayo kita segera kesana, siapa tahu kita bisa menginap
disana." Kata Jalal sambil menarik tangan Jodha. Namun langkahnya terhenti ketika
merasa tidak ada respon dari Jodha.
Jalal
menoleh, dilihatnya Jodha sedang berdiri mematung.
“Ada apa Jodha?” Tanya Jalal dengan khawatir.
“Aku tidak
apa-apa. Hanya saja, bisakah kita berhenti sebentar. Aku capek banget.” Jawab
Jodha. Memang Jodha terlihat sangat lelah sekali setelah melalui perjalanan
yang cukup jauh.
“Hm....baiklah
kalau begitu, naiklah kepunggungku aku akan menggendongmu." Kata Jalal seraya
duduk berjongkok membelakangi Jodha.
“Tapi Jalal...” Jodha nampak ragu-ragu.
“Tidak
apa-apa, ayo naiklah." Kata Jalal menarik tangan Jodha ke arah bahunya.
Dengan ragu-ragu
perlahan Jodha menjulurkan kedua tangannya kebahu Jalal dan naik kepunggungnya.
Jalal pun segera menggendongnya. Perlahan Jalal pun mulai berjalan. Bibirnya
tidak berhenti tersenyum begitupun Jodha.
“Jalal...!”
“Hm...”
“Aku berat
ya ?”
“Iya.”
“Kalau
begitu turunkan aku, biar aku jalan kaki saja."
“Tidak
apa-apa. Aku masih sanggup menggendongmu walaupun 30 kilometer lagi. "
“Benarkah? terima kasih ya aku sudah merepotkanmu."
“Aku tidak
merasa direpotkan kok, aku sungguh sangat senang." Jodha tersenyum sambil
mempererat pelukan tangannya di leher Jalal. Hening.
“Jalal....!”
“Hm....”
“Apa kau
masih marah dan membenciku?”
“Aku tidak
tahu Jo."
“Kenapa kau
mengatakan begitu."
“Hmm....karena
yang kurasakan sekarang adalah rasa bahagia, sehingga aku tidak tahu apakah
masih ada perasaan marah dan benci itu sekarang dan aku ingin menikmati rasa
itu. Jadi, jangan kau ungkit lagi ya."
“Baiklah.”
“Kau ingat
Jo, waktu aku menarik kerudungmu sewaktu kamu berangkat mengaji dulu? Tanya
Jalal.
“Tentu saja
aku ingat, saat itu aku menangis dan tidak jadi mengaji. Dan akhirnya pulang
kerumah. Ibuku marah-marah dan ingin mencarimu tetapi aku larang padahal waktu
itu aku sangat kesal sekali kepadamu." Kenang Jodha. Jalal tersenyum tipis.
Ternyata
masa itu bilang diingat sekarang menjadi sangat lucu ya Jo, seandainya saja aku
tahu akhirnya akan seperti ini mungkin hal itu tidak akan terjadi. Maafin aku
ya Jo."
Jalal terus
berbicara, namun dia tertegun karena tidak ada jawaban dari Jodha. Ternyata
Jodha tertidur di gendongannya. Mungkin karena kelelahan membuat Jodha tidak
sanggup lagi menahan kantuknya. Jalal tersenyum sambil mempercepat langkahnya
menuju perkampungan penduduk.
Tidak lama
kemudian sampailah mereka di rumah yang pertama yang terbuat dari kayu dengan
atap dari daun rumbia (sejenis daun yang bisa digunakan untuk atap rumah). Di
depan rumah tersebut Jalal menyandarkan Jodha yang tertidur diteras rumah.
Sementara dia mengetuk pintu. Jodha yang tertidur pulas sama sekali tidak
terusik tidurnya. Jalal hanya bisa menggelengkan. Lalu melangkah menuju
pintu.
“Tok...tok...
Assalamu’alaikum...Permisi....” Jalal terus mengetuk namun tidak ada jawaban.
Dicobanya sekali lagi. Tetapi hasilnya sama saja. Diberanikan dirinya untuk
membuka pintu, perlahan pintu bisa dibuka karena kelihatannya tidak dikunci.
Suasana dalam rumah terlihat gelap, dengan bantuan cahaya handphone Jalal
masuk. Ternyata rumah tersebut kosong, agak kotor. Setelah diperiksa terdapat
pelita yang terbuat dari sumbu dengan bahan bakar minyak tanah. Jalal
menyalakan pelita tersebut dengan korek yang dibawanya (maklum perokok jadi
selalu bawa korek. hehehe...).
Dilihatnya
sekeliling, lumayanlah rumah tersebut untuk istirahat dan berteduh paling tidak
sampai besok pagi. Sebentar kemudian dibersihkannya ruangan tersebut seadanya,
bergegas dia keluar dan membopong tubuh Jodha masuk kerumah dan di sandarkannya
ke dinding. Sejenak dipandangi wajah polos Jodha, diberanikannya untuk membelai
pipinya yang halus. kemudian dia pun duduk disamping Jodha dengan kaki
diselonjorkan, tangannya memeluk bahu Jodha sedangkan kepala Jodha disandar di
bahunya sambil tersenyum sampai akhirnya diapun ikut memejamkan matanya.
TBC
Tidak ada komentar:
Posting Komentar