Menu

Jumat, 12 Februari 2016

MIRACLE OF LOVE, PART. 5


“Tenanglah Jodha.” Hibur Jalal.
“Tapi Jalal, bagaimana aku bisa tenang kita di dalam hutan begini tidak tahu jalan keluar. Lagian kenapa kita tadi harus masuk hutan segala, akhirnya kan malah tersesat." Gerutu Jodha
“Ya kalau kamu mau balik lagi silakan, biar aku jalan sendiri."
“Bagaimana aku bisa balik kalau jalan yang kita lewati tadi saja aku sudah lupa."
“Makanya jangan cerewet, ikut saja..” Jodha pun akhirnya terdiam.
Jalal mematahkan ranting pohon yang hidup dan lurus sekitar 50 cm dan membuang daunnya. Ranting tersebut dipakai untuk memukul dan menghalau semak yang mereka lalui. Tangan kanannya memegang ranting sedangkan tangan kirinya menggenggam tangan Jodha yang sudah pasrah mau dibawa kemana.
Jalan yang dilalui sebenarnya tidaklah terlalu lebat dengan semak, hanya saja karena sudah malam membuat jalan terlihat agak susah dilewati. Jodha yang berjalan dibelakang sesekali melirik kiri dan kanan, dengan hati yang diliputi ketakutan.
“Jalaaall!” Tiba-tiba Jodha memeluk Jalal dari belakang, terasa tubuhnya gemetar karena ketakutan. Jalal yang terkejut segera berbalik dan memeluknya untuk menenangkan Jodha.
“Ada apa Jodha? Kau kenapa?” Tanya Jalal lembut menenangkan.
“I...i..tu...” Tangan gemetar Jodha menunjuk kesebelah kiri namun matanya terpejam. Nampak sepasang mata sedang menatap tajam kearah mereka. Jalal menoleh kearah yang ditunjukkan oleh Jodha nampak seekor kucing hutan berwarna hitam sedang menatap tajam kearah mereka, karena harinya gelap maka yang kelihatan cuma sepasang matanya saja terlihat berkilat.  Sejenak dia nampak kaget tetapi kemudian dia tersenyum.
“Tidak apa Jodha, coba kau lihat itu cuma kucing hutan saja. Tidak akan menggigitmu.” Kata Jalal sambil tertawa.
Jodha menoleh kearah kucing hutan yang sedang memandang mereka. Sedikit demi sedikit ketakutannya berkurang. Perlahan Jodha melepaskan pelukannya sambil tersipu malu.
“Maafkan aku Jalal, aku sudah tidak bisa berpikir lagi karena ketakutan." Kata Jodha sambil menunduk. Dia tidak berani memandang wajah Jalal, sedangkan Jalal hanya tersenyum.
“Tidak apa-apa Jodha. Aku mengerti kok. Ayo kita jalan lagi ya. Jangan jauh-jauh dariku nanti kalau ada kucing hutan lagi kamu kan bisa langsung memeluk aku." Goda Jalal.
“Ah kamu ini...” Kata Jodha memukul dada Jalal dengan lembut. Jalal tertawa, tangan kirinya meraih tangan Jodha dan menarik untuk mengikuti langkahnya. Jodha mengikutinya sambil tersenyum malu.
Langkah mereka semakin dalam masuk ke hutan, mereka sudah tidak tahu lagi kemana arah yang akan dituju hanya menggunakan perasaan saja dan juga dengan bantuan sinar bulan yang masih bisa menembus sebagian dedaunan yang tumbuh diatas. Suara binatang malam membuat suasana semakin mencekam.
Setelah beberapa lama mereka berjalan, Jalal melihat sinar kelap-kelip banyak sekali. Dengan penasaran dia segera mempercepat langkahnya, ternyata di hadapan mereka kini adalah sebuah sungai yang lumayan besar. Airnya mengalir tenang. Sinar bulan yang memantul membuat seolah cahaya yang berkelap kelip sehingga nampak indah. Dipinggiran sungai tersebut terlihat bersih dari pepohonan besar dan hanya ditumbuhi rumput kecil yang jarang-jarang.
“Jodha, lihatlah ada sungai. Kita istirahat dulu ya." Jodha mengangguk senang karena yang memang sudah dari tadi nampak lelah karena sudah berjalan jauh langsung duduk meletakkan pantatnya ditanah. Meluruskan kakinya. Jalal duduk disamping Jodha sambil meluruskan kakinya. Suasana hening, masing-masing belum berani bicara.
“Ternyata capek juga ya?” Jodha memecah keheningan. Jalal  nyengir.
“Itu karena kamu jarang jalan kaki. Masa cuma begitu saja kamu capek?” Jalal setengah mengejek.
“Kamu kan laki-laki tentu saja lebih kuat,” Jodha membela diri.
“Tetap saja itu tidak bisa dijadikan alasan."
“Ya terserah kamulah.” Jalal tersenyum.
Suasana hening, keduanya memandang kilauan cahaya yang terpantul di air sungai. Sesekali Jalal melempar benda-benda kecil ke air sungai, membuat cipratan air yang terkena lemparannya. Sedangkan Jodha hanya duduk dan memperhatikan air sungai yang mengalir tenang sambil memeluk lutut. Mereka hanya diam, tidak tahu harus memulai berbicara apa. Mereka nampak canggung. Jodha pun berinisiatif untuk mengawali pembicaraan.
“Jalal....!” Jalal menoleh.
“Ya?”
“Ehm...kamu sekarang tampak lebih kurus dari yang terakhir aku lihat." Jalal tertawa hambar. “Bagaimana kabarmu sekarang?”
“Aku baik-baik saja. Dan kau juga terlihat sangat berubah. Aku lebih suka melihatmu yang dulu, yang cerewet, yang polos, dan.....” Jalal tidak melanjutkan ucapannya.
“Dan apa?” tanya Jodha sambil menoleh ke arah Jalal.
“Dan...dan....cantik." Jawab Jalal sambil menoleh menatap Jodha.
Jodha langsung mengalihkan pandangannya ke depan sambil tersipu. Jalal memetik rumput kecil yang ada didekatnya dan menggigitnya ujungnya kemudian merebahkan tubuhnya ke tanah dan menopang kepalanya dengan kedua tangannya sambil mengunyah-ngunyah pelan rumput tadi. Sedangkan Jodha masih dengan posisi semula.
“Kalau kau menganggapku cantik kenapa dulu kau sering menggangguku, bahkan sampai-sampai aku sering menangis karenamu?” Kembali Jodha menatap Jalal yang memandang lurus keatas memandang bulan yang sedang tersenyum kepada mereka.
“Aku tidak tahu kenapa aku lakukan itu. Mungkin karena aku sangat kecewa kepada ibuku membuatku tidak bisa berfikir lagi, aku merasa sangat kesepian sehingga aku melakukan hal-hal yang bisa membuatku terhibur. Apalagi saat aku melihat Ibumu sangat memanjakanmu itu membuatku iri, sedangkan Ayahku tidak pernah mempunyai waktu untukku." Jalal berhenti sejenak membuang nafas panjang. Nada suaranya sedikit bergetar. Bola matanya sedikit berkilat-kilat karena ada setitik air mata yang muncul. Jodha menjadi terharu dan iba melihatnya. Ada perasaan hangat yang menyusup dihatinya.
“Aku juga tahu kalau kau yang sudah melaporkan aku ketika aku dan teman-temanku pesta sabu-sabu dibelakang sekolah. Sampai akhirnya aku dimasukkan ke pusat rehabilitasi." Jodha terkejut 
“Da-darimana kamu tahu kalau aku yang melaporkan kalian."
“Semula aku tidak tahu, tapi setelah Ayahku mengurus surat kepindahanku seorang guru menceritakannya kepada Ayahku."
“Terus apa yang kamu lakukan di pusat rehabilitas itu?”
“Aku ikut terapi disana, awalnya sangat berat namun akhirnya aku bisa sembuh karena Ayahku dan juga Bi Inah tidak pernah berhenti memberikan semangat kepadaku. Dari situlah aku mulai berpikir dan aku merasa bersalah kepadamu. Namun juga bersyukur. Mungkin seandainya kamu tidak melaporkan aku, aku tidak akan seperti ini."
“Apa sekarang kau merasa bahagia?”
“Untuk saat ini aku merasa sedikit tenang dan damai, aku ingin mewujudkan segala keinginan Ayahku, hanya aku satu-satunya harapan Ayahku."
Jodha mangut-mangut, dalam hatinya mengamini perkataan Jalal. Pandangannya beralih kelangit dan menatap bintang-bintang yang bertaburan.
“Jalal, coba kau lihat disana ada bintang jatuh." Kata Jodha sambil menunjuk langit. “Cepatlah kau buat permohonan, kata orang apabila berdoa saat bintang jatuh maka segala doanya akan terkabul." Kata Jodha sambil mengadahkan kedua tangannya dengan mata terpejam. Terlihat sekali dia berdoa dengan khusuk. Sementara Jalal kembali duduk bersila dengan kedua tangannya mengadah ke atas, namun wajahnya menoleh menatap Jodha.
Lama ditatapnya wajah itu, dinikmati setelah sekian lama dia tidak pernah melihatnya lagi hatinya mulai berdetak kencang. Perlahan Jodha membuka matanya dan menyapu kedua tangannya ke wajahnya. Melihat hal itu cepat-cepat Jalal mengalihkan pandangannya agar tidak ketahuan kalau dia sedang memandang Jodha. Dia pun menyapukan kedua tangannya kewajahnya seolah-olah dia juga ikut berdoa.
“Memangnya apa doamu Jo?” Tanya Jalal. Jodha tersenyum.
“Rahasia!”
“Kok rahasia sih?”
“Kalau berdoa itu tidak harus dikasih tahu, cukup kita saja yang tahu, nanti malah tidak terkabul." Jelas Jodha
“Iya dech.” Jawab Jalal sambil garuk-garuk kepala.
Sesaat kemudian Jodha bangkit dari duduknya, dan berjalan kesuatu arah. Jalal mengikuti dengan pandangannya.
“Kau mau kemana Jo?” Tanya Jalal dengan heran. Diapun ikut berdiri dan mengikuti Jodha.
“Stttt....lihatlah Jalal. Indah sekali...” 
Ternyata Jodha melihat kunang-kunang yang banyak. Jodha yang baru pertama kali melihat kunang-kunang merasa takjub. Dia berusaha menangkap binatang kecil itu namun selalu gagal. Jalal hanya tersenyum membiarkan Jodha menikmati kebahagiaannya. Gadis itu nampak senang sekali. Dia berlari-lari mengikuti kunang-kunang yang ingin ditangkapnya. 
“Jalal, lihatlah aku sudah menangkapnya." Kata Jodha memperlihatkan tangannya yang tertangkup karena didalamnya terdapat kunang-kunang. “Waaahhh...., Jalal ini keren sekali. Dia Jakarta tidak pernah ada yang seperti ini, lucu ya." Kata Jodha sambil mempermainkan kunang-kunang yang ditangkapnya tadi sambil tertawa senang. Namun tertawa itu berhenti karena tidak ada respon dari Jalal. Dia mendongakkan kepalanya melihat Jalal.  Dia heran melihat Jalal menatapnya dengan mata yang berkaca-kaca.
“Jalal, kau kenapa?” Jalal tidak menjawab, namun langsung memeluk Jodha. Jodha kaget, tetapi akhirnya dia juga membalas pelukan Jalal.
“Kau kenapa Jalal?” Sekali lagi Jodha bertanya.
“Aku senang melihatmu tertawa seperti ini. Rasanya aku bahagia sekali. Tetaplah selalu seperti ini." Kata Jalal mempererat pelukannya dan memejamkan matanya. Jodha tersenyum dan matanya berkaca-kaca, meresapi moment tersebut. Terasa damai berada dalam pelukan pemuda itu. Perlahan segala kebencian yang selama ini dia rasakan luruh bersama linangan air mata kebahagiaan yang dia rasakan saat ini.
Setelah cukup lama akhirnya Jalal melepaskan pelukannya. 
“Ayo Jo, kita teruskan perjalanan kita, siapa tahu kita bertemu penduduk biar kita bisa menginap barang semalam." Ajak Jalal menggandeng tangan Jodha. Jodha tersenyum. Terasa sekali genggaman tangan Jalal kali ini terasa hangat dan menenangkan.
“Iya, semoga saja ada perkampungan penduduk di dekat sini." Kata Jodha. Mereka berjalan menyusuri pinggiran sungai searah arus air.
Setelah berjalan cukup jauh akhirnya dari kejauhan terlihat rumah-rumah perkampungan. Walaupun tanpa ada cahaya listrik namun dengan adanya sinar bulan perdesaan itu terlihat jelas.
“Lihat Jo, itu ada perkampungan. Ayo kita segera kesana, siapa tahu kita bisa menginap disana." Kata Jalal sambil menarik tangan Jodha. Namun langkahnya terhenti ketika merasa tidak ada respon dari Jodha.
Jalal menoleh, dilihatnya Jodha sedang berdiri mematung.
“Ada apa Jodha?” Tanya Jalal dengan khawatir.  
“Aku tidak apa-apa. Hanya saja, bisakah kita berhenti sebentar. Aku capek banget.” Jawab Jodha. Memang Jodha terlihat sangat lelah sekali setelah melalui perjalanan yang cukup jauh.
“Hm....baiklah kalau begitu, naiklah kepunggungku aku akan menggendongmu." Kata Jalal seraya duduk berjongkok membelakangi Jodha.
 “Tapi Jalal...” Jodha nampak ragu-ragu.
“Tidak apa-apa, ayo naiklah." Kata Jalal menarik tangan Jodha ke arah bahunya.
Dengan ragu-ragu perlahan Jodha menjulurkan kedua tangannya kebahu Jalal dan naik kepunggungnya. Jalal pun segera menggendongnya. Perlahan Jalal pun mulai berjalan. Bibirnya tidak berhenti tersenyum begitupun Jodha.
“Jalal...!”
“Hm...”
“Aku berat ya ?”
“Iya.”
“Kalau begitu turunkan aku, biar aku jalan kaki saja."
“Tidak apa-apa. Aku masih sanggup menggendongmu walaupun 30 kilometer lagi. "
“Benarkah? terima kasih ya aku sudah merepotkanmu."
“Aku tidak merasa direpotkan kok, aku sungguh sangat senang." Jodha tersenyum sambil mempererat pelukan tangannya di leher Jalal. Hening.
“Jalal....!”
“Hm....”
“Apa kau masih marah dan membenciku?”
“Aku tidak tahu Jo."
“Kenapa kau mengatakan begitu."
“Hmm....karena yang kurasakan sekarang adalah rasa bahagia, sehingga aku tidak tahu apakah masih ada perasaan marah dan benci itu sekarang dan aku ingin menikmati rasa itu. Jadi, jangan kau ungkit lagi ya."
“Baiklah.”
“Kau ingat Jo, waktu aku menarik kerudungmu sewaktu kamu berangkat mengaji dulu? Tanya Jalal.
“Tentu saja aku ingat, saat itu aku menangis dan tidak jadi mengaji. Dan akhirnya pulang kerumah. Ibuku marah-marah dan ingin mencarimu tetapi aku larang padahal waktu itu aku sangat kesal sekali kepadamu." Kenang Jodha. Jalal tersenyum tipis.
Ternyata masa itu bilang diingat sekarang menjadi sangat lucu ya Jo, seandainya saja aku tahu akhirnya akan seperti ini mungkin hal itu tidak akan terjadi. Maafin aku ya Jo."
Jalal terus berbicara, namun dia tertegun karena tidak ada jawaban dari Jodha. Ternyata Jodha tertidur di gendongannya. Mungkin karena kelelahan membuat Jodha tidak sanggup lagi menahan kantuknya. Jalal tersenyum sambil mempercepat langkahnya menuju perkampungan penduduk.
Tidak lama kemudian sampailah mereka di rumah yang pertama yang terbuat dari kayu dengan atap dari daun rumbia (sejenis daun yang bisa digunakan untuk atap rumah). Di depan rumah tersebut Jalal menyandarkan Jodha yang tertidur diteras rumah. Sementara dia mengetuk pintu. Jodha yang tertidur pulas sama sekali tidak terusik tidurnya. Jalal hanya  bisa menggelengkan. Lalu melangkah menuju pintu.
“Tok...tok... Assalamu’alaikum...Permisi....” Jalal terus mengetuk namun tidak ada jawaban. Dicobanya sekali lagi. Tetapi hasilnya sama saja. Diberanikan dirinya untuk membuka pintu, perlahan pintu bisa dibuka karena kelihatannya tidak dikunci. Suasana dalam rumah terlihat gelap, dengan bantuan cahaya handphone Jalal masuk. Ternyata rumah tersebut kosong, agak kotor. Setelah diperiksa terdapat pelita yang terbuat dari sumbu dengan bahan bakar minyak tanah. Jalal menyalakan pelita tersebut dengan korek yang dibawanya (maklum perokok jadi selalu bawa korek. hehehe...).

Dilihatnya sekeliling, lumayanlah rumah tersebut untuk istirahat dan berteduh paling tidak sampai besok pagi. Sebentar kemudian dibersihkannya ruangan tersebut seadanya, bergegas dia keluar dan membopong tubuh Jodha masuk kerumah dan di sandarkannya ke dinding. Sejenak dipandangi wajah polos Jodha, diberanikannya untuk membelai pipinya yang halus. kemudian dia pun duduk disamping Jodha dengan kaki diselonjorkan, tangannya memeluk bahu Jodha sedangkan kepala Jodha disandar di bahunya sambil tersenyum sampai akhirnya diapun ikut memejamkan matanya.

TBC

Tidak ada komentar:

Posting Komentar