Menu

Jumat, 12 Februari 2016

BIARKAN AKU JATUH CINTA. PART. 22 (LAMARAN)

============0000============

Seperti biasa, sebelum melakukan pekerjaannya dipagi hari, Jodha melakukan rutinitasnya yaitu jogging keliling komplek selama kurang lebih satu jam. Pagi ini dia juga akan melakukan kegiatan tersebut.
Sebelum berlari dia melakukan pemanasan terlebih dahulu di depan rumah. Karena hari masih gelap, udara terasa segar. Berulangkali Jodha menghirup udara dengan bebasnya dan masuk ke dalam paru-parunya.
“Hai Cinta.” Jodha terkejut mendengar sapaan seseorang di belakangnya. Dengan cepat dia menoleh kebelakang. Ternyata tuan mudanya berlari-lari kecil di tempat sambil tersenyum kepadanya. Tuannya itu memakai celana training pendek selutut, sama seperti dirinya dengan baju olahraga tanpa lengan. Memakai sepatu jogging lengkap dengan jam tangan sekaligus alat pengukur kecepatan detak jantung. Tidak lupa headset melekat di telinganya. Tanpa sadar Jodha menelan ludah menatap mahkluk mempesona yang ada dihadapannya.
“Tu-Tuan mau kemana?” Jalal menghentikan kegiatannya. Jodha merutuki mulutnya yang bertanya tanpa dipikir terlebih dahulu. Tentu saja mau jogginglah, sama halnya dirimu. Kenapa kamu jadi aneh begini  Jodha? Rutuk bathinnya.
Jalal tertawa pelan, dia berjalan mendekati Jodha dan menjawil hidung gadis itu, “tentu saja mau ikut jogging sayang, bareng kamu.” Jodha tersenyum malu, “ayo, kita jalan sekarang, nanti keburu siang loh.” Ucap Jalal menarik lembut tangan Jodha dan mengajaknya keluar dari gerbang rumahnya.  Jodha mengikutinya tuan mudanya dari belakang.
Setelah menutup pintu pagar, mereka berdua mulai berlari perlahan-lahan. Sesekali Jodha melirik mahkluk tampan di sampingnya itu dengan diam-diam. Ya ampun, setelah setahun lebih dia melakukan jogging sendirian selama ini, baru sekarang dia merasa senang, merasa bahagia, merasa ringan, melakukan olahraga tersebut tanpa merasa berat.
Pemuda itu sama sekali tidak terlihat lelah, meski keringatnya sudah mengalir membasahi  dahinya dan sekujur tubuhnya, membuat tubuhnya terlihat seksi. Jalal  semakin bersemangat berlari. Staminanya benar-benar kuat kali ini. Jalal bahkan berkali-kali harus menunggu Jodha yang kadang tertinggal di belakangnya.
“Jogging Neng Jo?” sapa warga yang mereka  lewati.
“Iya Bu, mumpung masih pagi.” Jodha dengan ramah membalas sapaan mereka. Karena dia sudah terbiasa bertemu dengan mereka hampir tiap pagi, jadi dia tidak merasa risih. Beberapa orang menatap Jalal yang juga tersenyum kearah mereka.
“Sama siapa Neng? Pacarnya ya?” goda ibu-ibu komplek kepada Jodha. Sesaat Jodha melirik tuan mudanya yang juga menatap dirinya sambil tersenyum menunggu jawaban.
“I-iya Bu.” Jawab Jodha dengan wajah memerah. Karuan saja ibu-ibu tersebut meledeknya, membuatnya semakin tersipu.
“Wah Neng Jo, pacarnya cakep banget tuh. Ibu juga mau.” Jalal terkekeh melihat ekspresi Inemnya yang salah tingkah. Dia segera mendekati gadis itu dan merangkul bahunya.
“Maaf ya Ibu-Ibu, kami permisi. Mau ngelanjutin joggingnya dulu. Nanti keburu siang. Kasihan pacar saya kecapekan.” Ucap Jalal memamerkan senyum manisnya. Mereka mengangguk ramah sambil tersenyum, “ayo Sayang kita lari lagi.” Jodha mengangguk dengan wajah memerah.
“Hati-hati ya Neng Jo, yang akur sama pacarnya ya.” Seru ibu-ibu tersebut ketika mereka mulai berlari menjauh. Jodha melambaikan tangan dan tersenyum.
“Kelihatannya cintaku lagi bahagia pagi ini?” goda Jalal di sela-sela larinya. Jodha hanya meliriknya sebentar sambil menyembunyikan senyumnya, dia terus berlari. Bajunya nampak basah oleh keringat, “kok diam sih sayang?” sambung Jalal lagi.
“Saya harus menjawab apa Tuan? Saya ya seperti yang Tuan lihat sekarang ini.” Jalal terkekeh.
“Ya jawab aja, iya Sayang. Aku bahagia banget pagi ini bisa jogging bareng cintaku, soalnya sudah lama nggak pernah ketemu. Gitu loh Yang.” Ucap Jalal dengan pedenya. Seketika Jodha menghentikan larinya, dan tertawa terpingkal-pingkal. Jalal juga menghentikan larinya, namun wajahnya cemberut. Dengan bersidekap dia menatap Jodha yang masih memegang perutnya karena tertawa. Beberapa orang yang melewati mereka berdua, nampak heran melihat Jodha yang tertawa.
“Masih lama tertawanya?” sindir Jalal kepada Jodha yang masih berusaha untuk menyudahi tawanya. Ya ampun, kata-kata tuan mudanya itu loh, gila. Geliii...
Dia, disuruh ngucapin kayak gitu. Hm...makasih aja. Kayaknya dia harus dibikin mabuk dulu deh baru bisa ngucapin, biar lupa. Hahahaha...
“Iya, ini sudah mau selesai kok Tuan. Hehehe..” ucap Jodha masih cengengesan. Jalal kembali berlari, namun dia diam saja. Memang susah ngajarin Inemnya untuk romantis, selalu saja ditertawakan. Masa iya sampai nanti dia akan seperti itu. Sesekali kan boleh saja memanggil dengan panggilan sayang. Masa dipanggil ‘tuan” terus. Ntar kalau mereka sudah menikah, apa kata orang istrinya memanggilnya dengan nama tuan? Dikira dia nikahin budak apa? Ckck, dasar Inem.
“Tuan kok diam saja sih?” Jalal tidak menjawab, dia terus memikirkan bagaimana caranya agar Inemnya mau memanggilnya dengan panggilan sayang, bukan tuan. Jodha mensejajarkan langkahnya dengan langkah tuan mudanya yang masih diam itu, “saya minta maaf ya Tuan. Saya nggak bermaksud untuk meledek Tuan, tapikan Tuan tahu sendiri kalau saya nggak bisa seperti itu.” Jalal berhenti berlari. Dia memasang raut wajah datar. Jodha pun ikut berhenti. Kini mereka berdua berdiri saling berhadapan.
“Tapikan bisa Nem, sesekali manggil sayang buat nyenangin hatiku. Apa salahnya sih? Walaupun cinta itu tidak di ukur dari kata-kata, tetapi sesekalikan masa nggak bisa sama sekali? Oke, aku nggak minta banyak. Cuma kamu manggil aku ‘sayang’ aja bukan Tuan. Kesannya nanti malah kayak aku pacaran sama budak saja. Terpaksa gitu. Gimana nanti kalau kita menikah. Masa manggilnya tetap Tuan?” Jalal mengeluarkan semua uneg-unegnya. Dia tidak peduli walau itu di pinggir jalan dan jadi tontonan orang-orang.
Jodha terdiam. Dalam hatinya dia mengakui kebenaran ucapan tuan mudanya. Tapi, rasanya sangat sulit mengubah kebiasaan yang sudah melekat erat dalam dirinya. Melihat wajah pemuda itu yang begitu mengharapkan ucapan sayangnya, membuat Jodha merasa tidak enak. Iya, apa salahnya sesekali memanggilnya dengan ucapan sayang. Kan cuma sesekali. Bukan lebay kayak tuan mudanya itu yang setiap waktu. Hehehe....
Jodha mengangguk, “baiklah Tuan, saya akan mencobanya. Tapi, beri saya waktu untuk belajar. Jangan paksa saya sekarang ya.” Bujuk Jodha. Wajah Jalal melembut, dia tersenyum senang.
“Iya. Aku tunggu. Tapi, jangan lama-lama. Ntar keburu karatan hatiku kalau kelamaan. Akukan perlu energi penyemangat tiap hari Nem, dari bibirmu yang manis itu.” Jodha tersipu malu, dia menonjok pelan lengan tuan mudanya itu. Jalal terkekeh, dirangkulnya bahu gadisnya.
Kini mereka berdua hanya berjalan kaki saja. Perjalanan mereka lebih jauh dari rute yang biasa Jodha lewati. Jalal malah membawa gadis itu menuju taman kota, dimana biasanya setiap pagi banyak orang-orang yang melakukan olahraga ditempat itu.
Setelah berlari beberapa putaran mereka berdua beristirahat duduk di bangku taman.  Jodha menenggak minuman dari botol yang selalu dibawanya. Ingin menawarkan tuan mudanya, tapi ada rasa sungkan. Kan ada bekasnya minum. Tetapi tak apalah, dicoba saja. Tidak mau ya sudah. Tidak masalah.
“Tuan mau minum?” tawar Jodha. Jalal yang sedang asyik melihat orang-orang yang sedang olahraga di taman itu menoleh. Dia mengangguk.
“Boleh.”
“Tapi,...” Jodha ragu-ragu.
“Kenapa?” tanya Jalal dengan heran.
“Tapi, ini bekas saya tadi Tuan. Maaf saya lupa nggak menawarkan Tuan duluan.” Jawab Jodha dengan tidak enak. Seketika Jalal tersenyum menyeringai.
“Nggak apa-apa sayang. Aku malah suka minum dari wadah bekasmu.” Ucap Jalal mengambil botol minuman tersebut dari tangan Jodha dan menenggak minuman tersebut sampai habis. Jodha hanya memandangnya dengan tatapan heran.
“Kok Tuan nggak jijik sih, minum di wadah bekas saya?” Jalal menoleh kearah Jodha dan kembali tersenyum, tangannya mengacak lembut rambut gadis itu yang diikat ekor kuda tersebut.
“Kenapa harus jijik sayang. Kan itu bukan bekas orang lain. Justru aku senang sekali, karena aku merasa sedang mencium bibirmu lagi.” Bisik Jalal dengan tersenyum miring. Raut wajah Jodha langsung memerah seperti biasa.
“Tuan ih, mesum gitu. Ini tempat umum Tuan.” Jalal terkekeh.
“Kemarin waktu aku cium kamu di bibir, kamu kok nggak bilang aku mesum sayang. Kenapa sekarang waktu aku minum di bekas bibirmu kamu bilang mesum?” goda Jalal lagi. Ah, dia senang sekali melihat gadisnya menahan malu.
“Aaahh..., Tuan. Kenapa diungkit-ungkit lagi sih? Saya jadi malu banget nih.” Ucap Jodha menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Sungguh dia malu karena tuan mudanya mengungkit peristiwa kemarin. Ya ampun, dimana dia bisa menyembunyikan wajahnya itu. Tawa Jalal semakin keras, Inemnya terlihat semakin menggemaskan. Tangannya merengkuh  bahu Jodha dan menyandarkan di dadanya. Gadis itu akhirnya hanya bisa menurut untuk menyembunyikan wajahnya yang merah. Hahahaha...
Setelah bisa menguasai perasaannya, Jodha akhirnya melepaskan pelukan tuan mudanya dengan malu-malu. Jalal mengubah posisi duduknya menghadap ke arah Jodha dengan kaki sebelahnya dilipat diatas bangku taman, tangannya menyandar di sandaran bangku.
“Coba sekarang latihan Nem.” Bujuknya. Jodha menatapnya heran.
“Latihan apa Tuan?” Jalal berdecak, “masa lupa sih sayang? Itu tadi waktu dijalan. Kamu belajar manggil sayang.”
“Oh itu.” Jodha mengangguk pelan, “tapi jangan disini Tuan.” Elaknya.
“Terus dimana?”
“Dirumah.” Jawab Jodha singkat. Jalal menggeleng.
“Disini saja. Dirumah atau dimana kan sama aja Nem. Mau belajar nanti apa sekarang juga nggak ada bedanya. Ya kan?”
“Tapi...”
“Nggak ada tapi-tapi lagi. Kamu, kalau nggak dipaksa pasti lupa.” Jodha terkekeh,  “ayo mulai bilang.”
Jodha memejamkan matanya sebentar,  menarik nafas panjang, kemudian menghembuskannya, mulutnya sudah terbuka. Siap untuk mengucapkan kata sayang, namun ketika pandangannya beradu dengan tuan mudanya yang sudah menunggu ucapan darinya, mendadak lidahnya terasa kelu. Mulut yang sudah terbuka, kini tertutup lagi. Susah sekali. Hahahaha...
“Ayo Nem, mana?” desak Jalal.
“Ih Tuan, sabar sedikit kenapa? Ini lagi usaha nih.” Gerutu Jodha. Jalal sebenarnya mati-matian menahan ketawa melihat Inemnya yang berusaha keras menuruti keinginannya, “Tuan jangan liatin saya dong, ntar malah gugup. Jadinya nggak bisa ngomong.” Jalal mengangguk.
“Oke. Aku akan menghadap ke depan aja.” Ucap Jalal merubah posisinya menyamping dari Jodha. Dia memperhatikan orang-orang yang lalu lalang dihadapan mereka. Tetapi telinga mendengar gumaman Inemnya yang berulangkali menyebutkan kata ‘sayang’ meski samar-samar seperti orang sedang menghapal. Perutnya terasa hampir meledak karena harus menahan ketawa, ya ampun. Segitu susahnya ya, padahal cuma satu kata saja. Ck.
Ketika merasa sudah bisa mengucapkan kata itu, Jodha membalikkan badannya menghadap tuan mudanya meski pemuda itu tidak memperhatikan dirinya, namun ketika mulutnya sudah terbuka, lagi-lagi lidahnya kelu. Kata yang rasanya sudah berada di ujung lidah, kok begitu ingin diucapkan malah tenggelam dan tidak terdengar suaranya. Jodha kembali merutuki dirinya yang begitu susah sekali untuk romantis.
“Gimana Nem? Sudah bisa belum?” tanya Jalal menoleh ke arah Jodha. Gadis itu tersenyum meringis.
“Hee...belum Tuan. Susah sekali sih? Nanti lagi ya? Kita pulang aja sekarang.” Bujuk Jodha. Namun Jalal menggeleng. Bibir Jodha mengerucut. Emang susah tuh majikan sekaligus kekasihnya, ehem...Jodha jadi merona ketika pikirannya mengatakan kalau disamping itu adalah kekasihnya. Tapi kapan jadiannya ya. Kok dengan pedenya dia bilang kekasih. Kembali Jodha menggelengkan kepalanya akibat pikiran ngelanturnya itu.
“Nggak bisa. Pokoknya kita nggak akan pulang sampai kamu bisa bilang sayang sama aku.” Jodha mendecak. Ini nih yang nggak bisa di ubah, sifat pemaksanya itu yang bikin gregetan.
Kembali Jalal duduk menghadap Jodha, “sekarang ikutin aku ngomong.” Jodha mengangguk, “Sa...”
Jodha menuruti.
“Sa...”
“Yang...”
“Yang.”
“Sayang. Gitu. Coba ulangi.”
Jodha membuka mulutnya, dan kembali ketika dia menatap mata tuan mudanya yang juga menatapnya, lidahnya kembali kelu, “sayang,ucapnya. Tapi hanya dalam hati. Hahahaha.... Dia menunduk. Jalal menghembuskan nafas panjang. Susah memang. Jalal menjadi kasihan juga melihatnya. Dia tersenyum, disentuhnya ujung dagu gadisnya, membuat Jodha mendongak menatapnya.
“Ya sudah, nggak apa Sayang. Aku akan berusaha mengerti. Tapi, aku minta kamu nggak berhenti mencoba ya.” Jodha mengangguk. Ada rasa bersalah dalam hatinya. Dia gagal kali ini membuat majikannya senang.
“Iya. Makasih.”
“Kamu tau Nem, setiap kata sayang yang kamu ucapkan, mempunyai arti dan makna yang mendalam buatku. Karena aku tahu, untuk kamu mengucapkan kata itu perlu perjuangan. Dan ketika kamu sudah mengucapkannya, maka aku yakin kata itu benar-benar keluar dari hatimu. Itulah kenapa aku bahagia sekali mendengar ucapan kata sayang darimu, walaupun jarang. Aku merasa dihargai, merasa sangat disayangi. Bukan cuma sekedar kata tanpa makna.” Ucap Jalal menggenggam tangan Inemnya. Jodha hanya bisa terperangah mendengarnya. Jadi begitu ya, kenapa tuan mudanya memaksanya untuk mengucapkan kata itu meski dia tahu itu sulit.
Sebegitu berartinya kata “sayang” untuk laki-laki yang ada dihadapannya ini. Baru kali ini Jodha mendengar pemikiran orang tentang perasaan sayang.  Dia bener-benar meleleh mendengar semua ungkapan dari tuan mudanya itu. Membuatnya merasa ingin sekali meneteskan air mata karena merasa terharu, ya Tuhan, laki-laki ini....
Inilah sisi lain dari sifat tuan mudanya, ketika dia benar-benar menyayangi, maka dia akan melakukan apapun untuk orang dia sayangi itu. Dan mungkin karena itulah Bang Bayu dan Nadia tidak pernah melarangnya berhubungan dengan tuan mudanya meski awalnya sifatnya terlihat slenge’an dan playboy, karena mereka bisa menilai bagaimana sifat tuan mudanya yang sesungguhnya.
“Iya sa...yang. aku mengerti, maafkan bila selama ini aku belum bisa memahamimu.” Ucap Jodha pelan tanpa sadar karena terbawa keharuan yang merasuk dalam perasaannya. Namun Jalal mendengar dengan jelas semua kata-kata itu. Beberapa saat dia hanya terdiam, speechless. Itu tadi? Kata-kata itu, terdengar indah di telinganya.
Dia.
Inemnya.
Bilang sayang.
Terus pakai “aku”, bukan “saya”. Tidak ada kata “tuan” tapi “kamu”.
Oh Tuhan. Terima kasih.
Akhirnya.
Dengan wajah berseri dan kebahagiaan yang meluap-luap, Jalal mencium tangan Jodha yang di genggamnya sejak tadi.
“Makasih sayang. Makasih. Aku tahu, kamu pasti bisa ngucapinnya ke aku. Aku tau kamu pasti sangat sayang sama aku.” Ucap Jalal dengan gembira. Hatinya sungguh senang. Tidak bisa digambarkannya dengan kata-kata lagi. Giliran Jodha yang bengong. Ini tuan mudanya kenapa jadi senang begitu, bukannya tadi dia nampak kesal?
“Tuan kenapa?” tanya Jodha dengan heran. Jalal masih tersenyum. Kali ini dia tidak marah dipanggil tuan lagi. Dia tahu semua akan mengalir dengan sendirinya. Ucapan Inem tadi yang tanpa dia sadari sudah membuktikannya..
“Tidak apa-apa Sayang. Kita pulang yuk. Sudah siang.” Jodha mengangguk, mereka berdua beranjak dari tempat duduknya dan berjalan kaki kembali kerumah. Tidak peduli keringat kembali membasahi tubuh mereka karena jarak rumah dengan taman kota tadi lumayan jauh. Namun bagi keduanya, semakin jauh jarak tersebut maka akan semakin bagus. Itu artinya mereka bisa berjalan bersama lebih lama lagi. Hahahaha....
Sepanjang jalan Jalal kembali bercerita tentang pengalamannya selama di akmil yang belum  dia ceritakan. Jodha menanggapinya dengan antusias. Sesekali mereka berdua tertawa bersama sambil bergandengan tangan, tanpa mereka menyadari banyak pasang mata menatap keduanya dengan iri melihat kebahagiaan mereka. Yah, bahagia itu sederhana saja. Meski hanya berjalan kaki, namun bersama dengan orang yang dicintai membuat kebahagianan itu menjadi berlipat.
Begitu sampai dirumah, terlihat Pak Humayun dan Bu Hamidah sedang sarapan. Melihat keduanya datang bersama-sama membuat kedua orang tua Jalal saling pandang. Apalagi melihat raut wajah mereka berdua walaupun lelah namun terlihat bahagia.
“Pagi Ma, pagi Pa.” Sapa Jalal
“Pagi sayang, pagi Jo. Kalian darimana?” tanya Bu Hamidah dengan lembut. Jodha menunduk, namun Jalal tersenyum senang.
“Habis jogging Ma, keliling komplek sampai taman kota.”
“Taman kota?” Jalal mengangguk sambil tersenyum, sedangkan Jodha tersipu malu, “kamu sengaja ya sayang bawa Jodha kesana?” sindir mamanya. Namun Jalal cuek saja.
“Yah, nggak apa-apa kali Ma. Sekalian kencan. Hahahaha...” kedua orang tuanya hanya menggeleng, “ya sudah Ma, Pa, aku sama Jodha mau mandi dulu ya. Gerah nih.”
“Iya sudah sana. Tapi jangan mandi bareng ya.” Sindir mamanya lagi. Jalal mengangkat sebelah alisnya mendengar ucapan mamanya. Sedangkan Jodha bingung tidak mengerti.
“Oh, tenang aja Ma, kami mandi bareng kok.” Jawab Jalal dengan santai. Jodha kaget.
“Hah? Tuan....” dia mencubit tangan tuan mudanya, sedangkan Jalal hanya terkekeh saja mengusap tangannya.
“Tenang Sayang, maksudku kita mandi bareng, aku di kamarku dan kamu di kamarmu. Kan bareng, karena kita baru datang. Masa kayak gitu kamu mau langsung sarapan? Hm?” duh, Jodha jadi malu sendiri.
“Maafkan saya Tuan, sudah berpikir yang tidak-tidak.” Kembali Jalal tertawa.
“Tidak apa-apa Sayang, mikir yang tidak-tidaknya buat nanti saja. Kalau sudah halal. Oke?” Jalal kembali menggoda gadis disampingnya itu. Sudah bisa dipastikan, wajah gadis itu pasti merona karena malu.
“Jalal sudah, itu Jodha tambah malu kamu gituin. Sudah sana mandi. Ntar keburu jamuran nanti badan kamu.” Kata mamanya sambil terkekeh. Keduanya ikut tertawa.
“Iya Ma.” Namun ketika mereka akan berlalu dari tempat itu, Bu Hamidah kembali memanggil Jodha karena teringat sesuatu.
“Jo.” Jodha berbalik. Begitu juga dengan Jalal.
“Ya Bu.”
“Setelah ini nanti kamu temani Ibu belanja ya.” Jodha mengangguk, tanpa bertanya.
“Iya Bu.”
“Emang ada acara apa Ma?” tanya Jalal heran. Mamanya tersenyum.
“Nggak ada acara apa-apa kok Sayang, Papamu cuma pengen makan malam bareng Mas Pram dan keluarganya, juga sama kedua temanmu itu. Yah, hitung-hitung syukuran karena kalian sudah berhasil menjalani pendidikan selama di Magelang.” Keduanya mengangguk.
“Oh gitu. Iya deh Ma. Tapi, ngomong-ngomong aku boleh ikut nggak Ma?”
“Ikut kemana sayang? Belanja?” Jalal mengangguk, “yang benar sayang? Kamu nggak malu nanti belanja bareng Mama?” Jalal menggeleng.
“Nggak Ma. Aku nggak malu kok. Waktu pelatihan kemarin, aku malah belanja ikan sama sayuran untuk makan kami di pasar tradisional yang becek dan pagi-pagi.” Sahut Jalal dengan cuek. Ketiga orang yang berada di tempat itu, memandang Jalal dengan wajah tidak percaya.
“Wah, bagus dong kalau begitu. Ya sudah mandi dulu sana, habis itu sarapan dan kita berangkat ke pasar. Tugas kita ringan sekarang Jo, ada tukang angkat-angkat nanti di belakang.” Kata Bu Hamidah sambil tertawa, Jodha pun ikut tertawa.
“Nggak masalah. Demi cinta, apa sih yang nggak? Ya kan Sayang?” ucap Jalal dengan santainya mengacak rambut Jodha dan berlalu menuju kamarnya sambil bersiul senang., meninggalkan ketiga orang yang dicintainya itu yang masih memandang punggungnya dengan tercengang. Tidak lama Jodha pun permisi ke kamarnya, untuk mandi dan membersihkan diri.
“Duh Pa, anak kita kok sekarang tambah manis ya. Mama senang banget Pa.” Ucap Bu Hamidah menggenggam tangan suaminya yang berada diatas meja dengan ekpresi kesenangan. Pak Humayun tersenyum.
“Sepertinya memang harus dipercepat Ma, pernikahan mereka. Papa takut terjadi yang tidak-tidak nantinya kalau kelamaan.” Istrinya mengangguk.
“Papa benar. Lebih cepat lebih baik. Sekalian nanti malam saja Pa, dibilangin. Mumpung ada Mas Pram dan keluarganya. Kita lamar Jodha sama mereka saja. Kan mereka keluarga angkatnya, bisa saja menjadi walinya nanti.”
“Iya Ma, benar. Sekalian saja nanti malam kita tanya mereka berdua.” Bu Hamidah mengangguk.
“Iya Pa. Boleh juga tuh.”
***
Siangnya mereka bertiga berangkat ke pasar swalayan untuk berbelanja. Kali ini Jalal yang mengemudi. Jodha berada disampingnya, sedangkan mamanya berada di belakang. Mereka menuju supermarket besar yang menjual semua keperluan yang mereka cari.
Setelah memarkirkan mobil mamanya, mereka bertiga langsung menuju tempat yang menjual barang keperluan untuk acara nanti malam. Bu Hamidah dan Jodha berjalan berdampingan, sedangkan Jalal berjalan pelan mengikuti keduanya dengan mendorong troli.
“Kita masak apa Bu, nanti malam?” tanya Jodha ketika melihat majikannya sedang sibuk memilih-milih daging. Bu Hamidah berpikir sejenak.
“Masak apa ya Jo? Yang praktis, nggak ribet tapi enak.” Jodha jadi ikutan berpikir juga. Sementara Jalal dibelakang mereka berdua mesam-mesem saja, sebelah tangannya memegang troli, sedangkan sebelah tangannya memilih daging dengan cepat tanpa kedua wanita itu tahu.
“Apa ya Bu, saya juga bingung.” Sahut Jodha sambil menggeleng, “saya sih terserah Ibu saja. Makan apa saja nggak pernah nolak.” Bu Hamidah tertawa.
“Kalau untuk kamu sih nggak masalah Jo,  tapi ini untuk orang banyak. Sesekali kita masak yang agak berbeda dari biasanya.” Jodha terdiam, namun matanya masih terus melihat-lihat bahan makanan yang ada di depan mereka, “apa perlu kita tanya Jalal aja ya Jo, siapa tahu dia bisa ngasih solusi mau masak apa?” tawar Bu Hamidah. Jodha mengangguk.
“Iya Bu. Boleh juga tuh. Mungkin Tuan ingin dimasakin sesuatu untuk acara nanti.” Sahut Jodha. Keduanya berpaling ke belakang dimana Jalal berada. Namun alangkah terkejutnya mereka melihat troli Jalal sudah terisi setengahnya dengan bahan makanan yang mereka berdua diskusikan tadi. Sementara Jalal hanya memandang keduanya yang terkejut dengan tersenyum lebar.
“Sayang, kamu ngapain ini?” tanya Bu Hamidah. Jalal tertawa sambil mengangkat bahunya.
“Katanya bingung mau masak apa untuk nanti malam Ma, ya sudah aku ambil daging steak ini saja. Kita bikin steak barbeque saja Ma, sama bikin sop buntut ya (ini mah, authornya yang suka. Hehe), kita bakar di halaman belakang saja waktu mereka datang, kalau sop buntutnya biar aku saja yang masak. Aku sudah belajar waktu sosialisasi dulu. Semoga saja enak. Mama sama Jodha bikin camilan saja ya.” Ucap Jalal tanpa rasa bersalah karena sudah membuat kedua wanita yang dicintainya itu hanya bisa bengong mendengar semua ucapannya.
Kejutan demi kejutan yang di berikan oleh Jalal kepada mereka. Orang yang biasanya rewel dengan makanan, kini malah bisa memasak? Ah, becanda kali. Pikir Jodha. Tetapi melihat raut serius di wajah tuan mudanya itu, membuat Jodha mau tidak mau harus menerima kenyataan kalau pemuda itu memang benar-benar ingin memasak.
“Yang bener Sayang? Kamu nggak becandakan?” tanya Bu Hamidah masih tidak percaya. Jalal hanya terkekeh.
“Yah, terserah Mama sih kalau nggak percaya. Tapi, ntar kalau sudah sampai dirumah aku akan buktikan. Kalau untuk steak barbeque sih aku memang belum pernah memasaknya Ma, tapi kalau sop buntut sih, pernah sekali. Dan anak-anak nggak pernah protes tuh, enak aja katanya. Nggak tau beneran enak atau nggak mau bikin yang masak jadi ngambek.”  Jodha dan Bu Hamidah mau tidak mau ikut tertawa.
“Ya ampun Sayang, kamu bener-bener bikin kejutan buat kami. Mama bangga sama kamu. Ayo kita lengkapi belanjaannya. Iya, biar mama sama Jodha yang bikin camilannya nanti. Ya kan Jo?” Jodha mengangguk.
“Iya Bu.” Jawab Jodha yang sejak tadi hanya terdiam mendengarkan mama dan anak itu bicara. Kini kedua wanita itu memilih bahan untuk membuat camilan, untuk dihidangkan nanti. Sedangkan Jalal yang sudah selesai memilih bahan masakannya hanya mengikuti mereka saja dari belakang.
Selesai berbelanja bahan masakan, Bu Hamidah mengajak Jodha ke sebuah butik yang masih berada di lokasi yang sama. Awalnya Jodha berpikir kalau majikannya itu yang ingin membeli untuk dirinya sendiri, makanya dengan langkah ringan dia mengikuti wanita itu, tetapi dugaannya salah. Karena ketika mereka memasuki butik tersebut, Bu Hamidah langsung mencarikannya gaun. Tentu saja Jodha menolak. Kenapa jadi dia dibelikan.
“Ayo Jo, kamu pilih gaunnya yang mana yang kamu suka?” tanya Bu Hamidah.
“Sa-saya Bu?” tunjuk Jodha kepada dirinya sendiri. Bu Hamidah mengangguk.
“Iya. Siapa lagi? Masa buat Jalal?” sahutnya sambil terkekeh.
“Tapi, saya lagi nggak perlu gaun Bu.” Tolak Jodha.
“Buat nanti malam Jo, biarkan sesekali Ibu belikan gaun buat kamu. Kan kamu calon mantu Ibu, nggak masalah kan?” duh, gimana nolaknya nih?  Jodha jadi tidak enak, “apa ini Jo?” tanya Bu Hamidah mengambil sebuah longdress berwarna peach dan memberikannya kepada Jodha. Dengan berat hati, gadis itu menerimanya dan mematut-matut di depan cermin. Namun, dia menelan ludah ketika melihat harga yang tertera di gaun tersebut. Nolnya ada enam digit pemirsa. Entah di depannya ada angka berapa. Hanya untuk satu gaun saja. Tidak. Dia tidak bisa menerimanya.
“Gimana Jo, kamu suka nggak sama gaun itu?” tanya Bu Hamidah dengan lembut. Jodha tersenyum meringis.
“I-itu... kemahalan buat saya, Bu.” Jawab Jodha dengan polosnya. Bu Hamidah tertawa kencang. Dia menggelengkan kepala melihat calon menantunya itu. Bagaimana bisa dia membiarkan gadis ini pergi dari keluarganya, kalau sifatnya yang tidak serakah dan sederhana membuat dirinya semakin menyayangi dan ingin cepat-cepat mengikatnya dengan Jalal, anaknya.
“Sesekali kan tidak apa-apa, Sayang. Bukan masalah harganya, tetapi Ibu senang kalau kali ini kamu mau menerima pemberian Ibu. Ayolah, terima saja. Atau kamu mau memilih sendiri gaunnya? Kita kasih kejutan buat Jalal ya nanti malam.” kata Bu Hamidah. Karena saat itu Jalal sedang menunggu mereka di mobil.
“Iya deh Bu. Tapi satu saja ya.” Bu Hamidah mengangguk senang.
“Baiklah. Satu. Nggak masalah.” Sahut Bu Hamidah bersemangat sekali. Akhirnya Jodha mulai memilih-milih gaun yang menurutnya bagus, simple, tapi tidak mahal. Tapi, mana ada gaun di butik yang harganya murah? Di pasar kaget noh yang murah. Untuk harga satu gaun dibutik itu, bisa untuk memborong gaun di pasar kaget beserta lapak dan penjualnya. Hahahaha....
Tidak perlu waktu lama untuk menentukan pilihannya. Dia bukan orang yang suka bertele-tele, apalagi dalam hal memilih pakaian. Nggak perlu tiap jahitannya ditelusuri untuk melihat apakah ada jahitannya yang putus, atau keluar dari jalurnya atau sedikit robek, dan tetek bengek lainnya yang memakan waktu lama. Buat Jodha itu sangat membosankan. Mending dia disuruh nyapu, ngepel, nyuci, atau... tidur sekalian.
Gaun yang dipilih Jodha adalah gaun selutut yang melebar kebawah berwarna hijau lembut, dengan sabuk putih sebagai pemanis. Sedikit renda di bawah leher, berlengan pendek. Harganya juga tidak semahal gaun yang lainnya. Dengan puas, dia menunjukkan kepada majikannya itu. Bu Hamidah mengangguk, dia juga nampaknya setuju dengan pilihan Jodha.
Setelah membayar, mereka berdua keluar dari butik tersebut dan kembali ke mobil dimana Jalal sudah menunggu dari tadi.
“Nyari apa Ma di butik?” tanya Jalal sambil mengemudi membawa mobilnya keluar dari parkiran.
“Nyari gaunlah Sayang. Emang mau nyari apa dibutik?”
“Iya tahu nyari gaun Ma, tapi buat siapa?”
“Buat Mamalah. Emang kamu kira buat siapa Sayang?” tanya Bu Hamidah sambil terkekeh. Jodha ikut tersenyum mendengarnya.
“Emang Jodha nggak mama belikan ya? Masa Mama aja yang beli?”
“Loh, Jodha kan sudah punya calon suami. Biar calon suaminya saja yang belikan. Masa Mama yang harus belikan?” sahut Bu Hamidah sambil terkekeh. Jodha menahan ketawa mendengar Bu Hamidah membohongi putranya. Jalal menghela nafas. Tangan sebelahnya menggenggam tangan Jodha yang berada di atas pahanya. Jodha menoleh.
“Sabar ya Sayang, nanti kalau aku sudah bisa menghasilkan uang sendiri, aku akan belikan untukmu gaun yang paling bagus dan paling indah.” Ucap Jalal lembut. Bu Hamidah terkikik geli mendengar ucapan anaknya. Jodha hanya bisa mengangguk sambil tersenyum menahan ketawa.
Setiba dirumah mereka segera berbenah. Bi Ijah tidak kalah sibuknya. Jalal yang sudah siap dengan seragam dinas dapur yaitu apron juga sibuk menyiapkan steak yang akan dibakar nanti malam. Dengan panduan resep dari ponsel yang berada di atas meja pantry tidak jauh darinya, dia mulai membumbui daging steak tersebut dengan garam, lada hitam, rosemary, dan sedikit minyak zaitun. Kemudian di diamkan beberapa saat.
Sementara menunggu dia membuat saus barbeqeunya. Jalal memanaskan minyak diteflon kemudian menumis bawang merah, bawang putih, dan bawang bombay sampai harum. Kemudian dia memasukkan buah nanas yang dicincang kasar, kecap inggris, gula, saus tomat, saus sambal, kecap manis, garam, dan air kaldu secukupnya hingga mendidih dan matang merata, setelah itu dia memberi larutan maizena untuk mengentalkan sausnya. Dan steaknya siap untuk dibakar. Tidak lupa juga Jalal menumis buncis, wortel yang di potong memanjang dan baby asparagus dengan sedikit margarin di wajan, kemudian menyusunnya dipiring.
Selain itu dia juga menyiapkan sate tahu sutra yang di potong kotak kecil sudah direndam dengan garam dan bawang putih, kemudian ditusuk dengan tusukan sate, diselang-seling dengan paprika, tomat cerry, yang akan dibakar nanti bersamaan dengan steak.
Bi Ijah sibuk membantunya memasak, sedangkan Jodha dan mamanya sibuk membuat camilan  untuk mereka ketika sibuk membakar steak nantinya. Setelah selesai menyiapkan steak beserta sausnya, Jalal mulai memasak sup buntut dengan pengalaman yang pernah dia dapatkan dan juga panduan dari resep yang dia lihat dari internet di ponselnya. Sekarang dia merasa seperti chef sungguhan, sekilas dia teringat ketika menonton Inemnya memasak opor ayam dulu. Ternyata rasanya begitu menyenangkan, pantas saja Inemnya sangat suka memasak. Dahinya berkeringat, namun tidak dia pedulikan.
Jalal menarik nafas lega ketika pekerjaannya sudah selesai. Tinggal membersihkan peralatan kotor saja lagi, dan itu biarlah tugas Bi Ijah. Mamanya dan juga Jodha sepertinya sudah selesai juga. Mamanya tersenyum dan menggelengkan kepala melihatnya.
“Kenapa Ma?” tanya Jalal sambil melepaskan apronnya.
“Anak Mama sekarang manis banget. Mama masih nggak percaya benarkah ini anak Mama yang dulu manja.” Jalal mendengus. Mamanya tertawa.
“Ya tetap anak Mama lah, emang anak siapa lagi? Anak tetangga?” Bu Hamidah terkikik geli.
“Ya anak Mama dong. Mana boleh jadi anak tetangga.” Bu Hamidah mengelap keringat di dahi anaknya, membuat Jalal nampak malu, karena Inemnya melihat dengan senyum dikulum. Ish, mamanya itu menurunkan harga dirinya saja di depan calon istrinya. Tiba-tiba terdengar suara bel rumah.
“Itu paling Papa kamu sayang sudah datang. Tadi mama  minta Papa kamu datang lebih awal, biar nggak keduluan tamunya. Mama tinggal dulu ya,” keduanya mengangguk, “ kalian bersiap-siap saja dulu.”
“Iya Ma.”
Sepeninggal mamanya, Jalal mendekati Jodha yang masih berdiri.
“Nem, nanti malam sebelum bakar steak siapin handuk ya.” Ucap Jalal dengan senyum menyeringai. Jodha mengerutkan kening mendengarnya.
“Untuk apa tuan?”
“Ngelap iler.” Jawabnya santai.
“Hah? Iler?” Jalal mengangguk, “iler siapa?”
“Iler kamu lah sayang.” Sahut Jalal sambil terkekeh. Kedua ibu jarinya mengusap-usap sudut bibir Jodha.
“Ih, sejak kapan saya jadi ileran? Tuan nggak usah mengada-ngada deh.”
“Sejak nanti malam sayang. Saat aku bakar steak. Kata kamu kalau laki-laki masak, ketampanannya naik beratus kali lipat. Aku sekarang sudah bikin kamu terpesona, gimana kalau aku masak nanti, Siapin handuk dileher ya. Siapa tahu kamu lihat aku masak jadi ngiler. Lihat yang masak ngiler, lihat yang dimasak ngiler, makanya siapin saja handuk. Hahaha....” ucap Jalal dengan pedenya sambil tergelak.
Ya ampun, tuan mudanya ternyata sepulang dari Magelang malah tambah parah percaya dirinya. Tapi masalahnya, justru itu yang membuat Jodha semakin suka. Gimana dong? Jodha menjadi pusing sendiri.
“Yah, terserah Tuan sajalah. Awas kalau nanti nggak bisa bikin saya ileran.” Tantang Jodha malahan.
“Oke sayang, dengan senang hati akan aku buktikan.” Sahutnya sambil berlalu menuju kamarnya sambil terkekeh. Jodha menghembuskan nafas panjang, setelah itu berlalu sambil menggelengkan kepala melihat kelakuan majikan mudanya itu.

Malam harinya, Jalal sempat terpana melihat penampilan Inemnya kali ini yang menggunakan gaun. Belum pernah sebelumnya dia melihat gadis itu menggunakan rok, apalagi ini gaun selutut, membuat tubuhnya yang langsing nampak semakin mempesona. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai, hanya di jepit dengan penjepit rambut sebagai pemanis, menggunakan bedak tipis dan juga lipstik tipis, namun terlihat begitu natural. Cantik. Tidak ada kata lain lagi untuknya.
Jalal tidak berkedip melihatnya, mamanya kembali terkekeh melihat ekspresi anaknya yang tidak bisa berkedip menatap Jodha yang menunduk malu-malu.
“Sayang, kamu cantik.” Ucap Jalal mendekati Jodha yang masih berdiri di depan kamarnya sendiri. Wajah Jodha bersemu merah.
“Ma-makasih Tuan. Tuan juga terlihat tampan sekali.” Sahut Jodha malu-malu. Yah, meski tuan mudanya itu hanya menggunakan kemeja biasa, dan hanya menggunakan celana jeans biasa. Namun busana tersebut sukses membalut tubuh laki-laki terlihat sesak dan ngepas dibadan, sesesak perasaan didadanya yang terus berdebar tidak karuan. Jalal tersenyum senang.
“Makasih sayang, pujianmu membuatku bahagia.” Jodha kembali mengangguk malu-malu.
Sesuai jam yang ditentukan, keluarga besar Pak Pramono datang menghadiri undangan Pak Humayun, tidak lupa Mansingh dan Surya juga datang. Jodha sempat pangling melihat Man dan Surya, seperti halnya yang terjadi dengan tuan mudanya. Mereka berdua nampak gagah meski pakaian yang membalut tubuh mereka berdua hanyalah kemeja yang dipadu dengan celana jeans.
“Hallo Bang Bos, apa kabar? Benarkan sudah jadi tape ketan hitam?” tanya Nadia sewaktu bertemu dengan Jalal. Pemuda itu hanya mendengus.
“Tape, tape. Nggak ada istilah yang lain apa?” Nadia nyengir.
“Tapikan tape ketan hitam itu manis loh Bang Bos? Santai aja kali, tuh Bang Man aja nggak protes kok, masa Bang Bos protes. Nggak asyik deh.” Jalal mencibir.
“Jelas saja dia nggak protes, kan dia pacarmu. Coba kalau dia berani protes, yang ada kamunya yang ngambek.” Nadia tertawa terbahak-bahak.
“Nggak juga tuh, dia biasa aja. Diakan berbeda dengan Bang Bos. Nggak gampang ngambil hati gitu.” Bela Nadia.
“Ciee...yang bela pacarnya. Iya deh, Abang Man kan, ehem...ehem...emang nggak ngampang ngambil hati orang, tapi dia sudah mengambil hati kamu kan.” Ledek Jalal lagi. Wajah Nadia memerah.
“Ih, Bang Bos gitu deh.”
“Yeay, Nadia si gadis usil akhirnya bisa malu juga.” Goda Jalal membuat wajah gadis itu semakin merah saja. Semua yang mendengar hanya bisa menggeleng kepala melihat kelakuan mereka berdua kalau sudah bertemu.
Pak Humayun dan Bu Hamidah membawa  tamunya kebelakang, ketempat yang sudah disediakan. Di tempat itu sudah di sediakan kursi dari kayu, meja kayu panjang, tempat membakar steak. Kedua keluarga itu duduk berkumpul di kursi kayu tersebut sambil ngobrol ditemani camilan yang dibuat oleh Bu Hamidah dan Jodha tadi siang.
Sementara Jalal memanggang steak yang sudah disiapkannya tadi siang, dibantu oleh Jodha. Sesekali Nadia ikut juga membantu. Jalal juga menyiapkan jagung manis untuk dibakar untuk menemani makan steaknya.
“Nem, handuknya sudah disiapin belum?” tanya Jalal dengan terkekeh. Jodha hanya memanyunkan bibirnya saja.
“Nggak usah pake handuk Tuan, saya yakin nggak akan ngiler kok. Tenang aja.” Jalal mengangkat sebelah alisnya.
“Masa?” Jodha mengangguk, “tapi itu apa?” katanya menunjuk sudut bibir Jodha. Refleks ujung jari gadis itu meraba tempat yang ditunjukkan tuan mudanya tadi.
“Mana? Nggak ada apa-apa kok.” Ucapnya polos. Jalal tertawa kencang, Jodha menatapnya tajam, “Tuan membohongi saya ya?” Jalal mengangguk masih disertai kekehannya.
“Iya Sayang, maaf. Sengaja.” Jodha cemberut lagi, “sudah, nggak usah cemberut gitu, sini bantu aku memanggang steaknya.” Jodha mengangguk, dia melangkah mendekati tuan mudanya namun bibirnya masih cemberut, “udah dong Yang, masa masih cemberut sih, ntar steaknya nggak matang tuh dicemberutin terus sama kamu.” Rayu Jalal sambil membolak-balikkan steaknya. Akhirnya mau tidak mau Jodha pun tersenyum.
Disaat-saat semua sedang asyik, terdengar suara  tepukan tangan. Semua menoleh kearah suara tersebut. Terlihat Nadia berdiri bersama Mansingh di dekat Jodha dan Jalal yang sedang membakar steak. Mansingh terlihat memegang  sebuah gitar, dengan gaya penyanyi country, minus topi koboynya.
“Perhatian, perhatian, ladies and gentlemans, minta perhatiannya ya, kami mau ngamen sebentar. Tolong siapkan uang tipnya. Tapi maaf, kami tidak terima tip dalam bentuk recehan logam ya. Pakai cek boleh, atau uang receh lembaran berwarna merah, minimal 5 lembar atau warna biru minimal 10 lembar. Oke!” ucap Nadia dengan cueknya. Semua tertawa, kecuali Jalal. Dia mendengus.
“Dasar pengamen matre.” Sahutnya, dan Nadia mendengar. Namun dia tidak marah, hanya terkekeh saja, begitu juga dengan Mansingh dan Jodha.
“Tante, aku kasih permen aja ya. Soalnya aku nggak punya uang.” Seru Rahim.
“Tenang saja keponakan Tante tercinta, untuk kamu Tante cuma minta ciuman sepuluh kali saja. Oke Boy?”
“Siap Tante.” Sahut Rahim mengacungkan jempolnya. Bu Hamidah dan Pak Humayun terkekeh melihat Rahim dan Nadia.
“Baiklah, sudah siap ya. Oke Bang, mulai...” serunya. Mansingh pun mulai memetik gitar, diikuti jari Nadia yang seolah memencet tuts piano di udara sebelum menyanyi dengan gaya centilnya.
Nadia :
Jangan pikirin abang
Jangan biasain abang
Yang penting happy saya
Nggak ada yang gratis abang

Nadia menggerakkan badannya seperti penari tango, namun dia bergerak sendirian saja, karena Mansingh sedang memetik gitarnya, sesekali dia melirik dan tersenyum kepada Nadia yang asyik menyanyi.
Jalal dan Jodha yang sedang membakar steak hanya tertawa geli melihat mereka berdua. Terlihat Nadia seperti ulat bulu yang lagi kepanasan. Hahahaha....
Mansingh :
Susahnya jadi orang yang jatuh cinta
Berikan semua yang abang punya
Matipun abang mau untukmu seorang
Jangankan harta susahpun rela

Nadia :
Jangan pikirin abang
Jangan rasain abang
Yang penting happy saya
Nggak ada yang gratis abang

Mansingh :
Susahnya kalau cinta yang berbicara
Pahitpun jadi manis tersiksa rela

Duet :
Ya abang, (ya sayang)
Ya abang, (ya sayang)
Aku cinta kamu selamanya, ( buktikan padaku)
Yakinkan ya abang bahagiakan aku di dunia                                              

Lagupun selesai. Nadia membungkukkan badannya layaknya penyanyi yang habis pentas. Semua bertepuk tangan. Bahkan Rahim bertepuk tangan dengan semangat.
“Tante keren, deh.” Nadia duduk disamping keponakannya itu dan menciumnya, sementara Mansingh duduk disamping Surya.
“Makasih Sayang. Keponakan Tante juga keren kok.” Rahim tertawa.
Tidak lama kemudian, masakannya sudah siap. Bu Hamidah dan  Pak Humayun mempersilakan semua tamunya untuk menikmati hidangan yang sudah disediakan. Suasana ramai dan bersahabat, sesekali celetukan Nadia dan Jalal  menyegarkan suasana.
Selesai makan, dan piring-piring kotor sudah disingkirkan, Pak Humayun segera menyampaikan maksudnya dengan gaya santai.
“Mas Pram, Mbak Nunik, Bayu dan Salima, dan semua yang sudah hadir disini saya ucapkan terima kasih karena sudah datang kesini. Anggap saja acara hari ini sebagai syukuran, karena Jalal, Mansingh dan Surya sudah lulus pelatihan di akmil. Om bangga sama kalian. Tidak banyak pemuda yang mau dengan rela hati untuk dilatih seperti yang kalian alami  tempo hari. Om berharap, ilmu yang kalian dapat disana bisa kalian pergunakan untuk bekal kalian melanjutkan perjalanan hidup kalian.” Pak Humayun terdiam sebentar, dan menatap Man, Surya dan juga Jalal.
“Selain itu, sesuai janji saya kepada Jalal sebelum dia berangkat ke Magelang, dan sekarang Jodha juga sudah lulus, maka saya dan istri saya ingin melamar Jodha untuk Jalal kepada Mas Pram dan Mbak Nunik sebagai orang tua angkatnya.” Kata Pak Humayun dengan santai. BU Hamidah tersenyum. Namun yang lain tercengang. Terlebih  Jodha dan Jalal yang sama sekali tidak tahu rencana orang tuanya.
Setelah diam beberapa saat, Pak Pram memanggil Jodha agar mendekat kepadanya. Jodha pun menurut. Dia duduk diantara Pak Pram dan Bu Nunik.
“Bagaimana Jo, tentang lamaran  Papanya Jalal?” wajah Jodha sedikit merona. Jalal menanti jawaban Inemnya dengan deg-degan. Sedikit was-was, walaupun dihatinya dia yakin kalau gadis itu akan menerima lamaran papanya.
“Menurut Ayah sama Ibu gimana?” keduanya tersenyum.
“Ayah sama Ibu terserah kamu saja sayang.” Sahut Bu Nunik, “kan  kamu yang menjalaninya nanti. Walaupun Ayah sama Ibu juga berharap kamu sama Jalal bisa bersama seperti yang papa dan mamanya Jalal harapkan.” Kata  Bu Nunik mengelus punggung Jodha dengan sayang.
Setelah berpikir beberapa saat, akhirnya Jodha tersenyum. “Baiklah Pak, Bu, saya terima lamaran Bapak sama Ibu.” Semua orang mengucap syukur. Terlebih Jalal yang sejak tadi tegang menunggu jawaban dari Inemnya.
“Terima kasih Jodha, secepatnya Bapak sama Ibu akan mempersiapkan pernikahan kalian.” Kedua orang tua angkat Jodha juga mengangguk setuju.
“Tapi...” kembali semuanya terdiam. Jalal kembali tegang.
“Tapi apa sayang?” tanya Bu Hamidah dengan penasaran.
“Bolehkah saya meminta waktu sampai saya bertemu dengan Ayah saya sebelum melaksanakan pernikahan kami. Saya ingin Ayah kandung saya yang akan menjadi wali saya. Karena hanya dia satu-satunya keluarga yang saya miliki.” Jawab Jodha dengan lirih. Kedua orang tua Jalal dan juga kedua orang tua angkatnya saling pandang mendengar permintaan Jodha. Sangat wajar kalau Jodha meminta demikian, karena memang dia mempunyai orang tua yang masih hidup. Tapi sampai kapan? Orangnya saja mereka tidak tahu. Jalal mendadak pusing memikirkannya. Hanya Bayu yang tidak tegang.
“Maaf Om, Tante, Ayah, Ibu dan semuanya. Saya lupa memberitahukan sesuatu.” Semua menoleh kearah Bayu yang berdiri.
“Memberitahukan apa Bay?” tanya Pak Humayun. Bayu tersenyum.
“Kemarin sewaktu saya menjemput mereka bertiga, orang kepercayaan yang saya beri tugas untuk mencari informasi tentang ayah Jodha memberi kabar kalau Ayahnya Jodha ada disuatu tempat. Jadi Om sama Tante tenang saja, lakukan apa yang sudah menjadi rencana semula.” Akhirnya semua kembali bernafas lega. Terlebih Jodha, tidak terasa dia meneteskan air matanya. Dia sudah rindu dengan ayahnya. Jalal diam-diam menatap Inemnya itu dengan perasaan iba.
“Rencananya saya akan mengambil cuti dan menjemputnya kesana.”
“Memangnya ayahnya berada dimana Bay?” tanya Pak Pram.
“Dia berada di daerah pesisir pantai pulau Jawa, tepatnya di pacitan di perkampungan dekat pantai Banyu Tibo.” Jodha terkejut.
“Hah? Benarkah Bang?”
“Kenapa memangnya Jo?” tanya Bu Nunik.
“Itu...itu adalah tempat kelahiran ibu saya, dan  beliau juga di makamkan disana.” Jawab Jodha dengan lirih.
===tbc===

n/b :  lagu Nadia dan Man : JANGAN PIKIRIN ABANG, by. Firman feat Alice.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar