============0000============
Seperti biasa,
sebelum melakukan pekerjaannya dipagi hari, Jodha melakukan rutinitasnya yaitu
jogging keliling komplek selama kurang lebih satu jam. Pagi ini dia juga akan
melakukan kegiatan tersebut.
Sebelum berlari
dia melakukan pemanasan terlebih dahulu di depan rumah. Karena hari masih
gelap, udara terasa segar. Berulangkali Jodha menghirup udara dengan bebasnya
dan masuk ke dalam paru-parunya.
“Hai Cinta.”
Jodha terkejut mendengar sapaan seseorang di belakangnya. Dengan cepat dia
menoleh kebelakang. Ternyata tuan mudanya berlari-lari kecil di tempat sambil
tersenyum kepadanya. Tuannya itu memakai celana training pendek selutut, sama
seperti dirinya dengan baju olahraga tanpa lengan. Memakai sepatu jogging
lengkap dengan jam tangan sekaligus alat pengukur kecepatan detak jantung.
Tidak lupa headset melekat di telinganya. Tanpa sadar Jodha menelan ludah
menatap mahkluk mempesona yang ada dihadapannya.
“Tu-Tuan mau
kemana?” Jalal menghentikan kegiatannya. Jodha merutuki mulutnya yang bertanya
tanpa dipikir terlebih dahulu. Tentu saja
mau jogginglah, sama halnya dirimu. Kenapa kamu jadi aneh begini Jodha?
Rutuk bathinnya.
Jalal tertawa
pelan, dia berjalan mendekati Jodha dan menjawil hidung gadis itu, “tentu saja
mau ikut jogging sayang,
bareng kamu.” Jodha tersenyum malu, “ayo, kita jalan sekarang, nanti keburu
siang loh.” Ucap Jalal menarik lembut tangan Jodha dan mengajaknya keluar dari
gerbang rumahnya. Jodha mengikutinya tuan mudanya dari
belakang.
Setelah menutup pintu pagar, mereka berdua mulai berlari
perlahan-lahan. Sesekali Jodha melirik mahkluk tampan di sampingnya itu dengan
diam-diam. Ya ampun, setelah setahun lebih dia melakukan jogging sendirian
selama ini, baru sekarang dia merasa senang, merasa bahagia, merasa ringan, melakukan
olahraga tersebut tanpa merasa berat.
Pemuda itu sama sekali tidak terlihat lelah, meski
keringatnya sudah mengalir membasahi
dahinya dan sekujur tubuhnya, membuat tubuhnya terlihat seksi.
Jalal semakin bersemangat berlari. Staminanya
benar-benar kuat kali ini. Jalal bahkan berkali-kali harus menunggu Jodha yang
kadang tertinggal di belakangnya.
“Jogging Neng Jo?” sapa warga yang mereka lewati.
“Iya Bu, mumpung masih pagi.” Jodha dengan ramah membalas
sapaan mereka. Karena dia sudah terbiasa bertemu dengan mereka hampir tiap
pagi, jadi dia tidak merasa risih. Beberapa orang menatap Jalal yang juga
tersenyum kearah mereka.
“Sama siapa Neng? Pacarnya ya?” goda ibu-ibu komplek kepada
Jodha. Sesaat Jodha melirik tuan mudanya yang juga menatap dirinya sambil
tersenyum menunggu jawaban.
“I-iya Bu.” Jawab Jodha dengan wajah memerah. Karuan saja
ibu-ibu tersebut meledeknya, membuatnya semakin tersipu.
“Wah Neng Jo, pacarnya cakep banget tuh. Ibu juga mau.” Jalal
terkekeh melihat ekspresi Inemnya yang salah tingkah. Dia segera mendekati
gadis itu dan merangkul bahunya.
“Maaf ya Ibu-Ibu, kami permisi. Mau ngelanjutin joggingnya
dulu. Nanti keburu siang. Kasihan pacar saya kecapekan.” Ucap Jalal memamerkan
senyum manisnya. Mereka mengangguk ramah sambil tersenyum, “ayo Sayang kita
lari lagi.” Jodha mengangguk dengan wajah memerah.
“Hati-hati ya Neng Jo, yang akur sama pacarnya ya.” Seru
ibu-ibu tersebut ketika mereka mulai berlari menjauh. Jodha melambaikan tangan
dan tersenyum.
“Kelihatannya cintaku lagi bahagia pagi ini?” goda Jalal di
sela-sela larinya. Jodha hanya meliriknya sebentar sambil menyembunyikan
senyumnya, dia terus berlari. Bajunya nampak basah oleh keringat, “kok diam sih
sayang?” sambung Jalal lagi.
“Saya harus menjawab apa Tuan? Saya ya seperti yang Tuan
lihat sekarang ini.” Jalal terkekeh.
“Ya jawab aja, iya Sayang. Aku bahagia banget pagi ini bisa
jogging bareng cintaku, soalnya sudah lama nggak pernah ketemu. Gitu loh Yang.”
Ucap Jalal dengan pedenya. Seketika Jodha menghentikan larinya, dan tertawa
terpingkal-pingkal. Jalal juga menghentikan larinya, namun wajahnya cemberut.
Dengan bersidekap dia menatap Jodha yang masih memegang perutnya karena
tertawa. Beberapa orang yang melewati mereka berdua, nampak heran melihat Jodha
yang tertawa.
“Masih lama tertawanya?” sindir Jalal kepada Jodha yang
masih berusaha untuk menyudahi tawanya. Ya ampun, kata-kata tuan mudanya itu
loh, gila. Geliii...
Dia, disuruh ngucapin kayak gitu. Hm...makasih aja. Kayaknya
dia harus dibikin mabuk dulu deh baru bisa ngucapin, biar lupa. Hahahaha...
“Iya, ini sudah mau selesai kok Tuan. Hehehe..” ucap Jodha
masih cengengesan. Jalal kembali berlari, namun dia diam saja. Memang susah
ngajarin Inemnya untuk romantis, selalu saja ditertawakan. Masa iya sampai
nanti dia akan seperti itu. Sesekali kan boleh saja memanggil dengan panggilan
sayang. Masa dipanggil ‘tuan” terus. Ntar kalau mereka sudah menikah, apa kata
orang istrinya memanggilnya dengan nama tuan? Dikira dia nikahin budak apa?
Ckck, dasar Inem.
“Tuan kok diam saja sih?” Jalal tidak menjawab, dia terus
memikirkan bagaimana caranya agar Inemnya mau memanggilnya dengan panggilan
sayang, bukan tuan. Jodha mensejajarkan langkahnya dengan langkah tuan mudanya
yang masih diam itu, “saya minta maaf ya Tuan. Saya nggak bermaksud untuk
meledek Tuan, tapikan Tuan tahu sendiri kalau saya nggak bisa seperti itu.”
Jalal berhenti berlari. Dia memasang raut wajah datar. Jodha pun ikut berhenti.
Kini mereka berdua berdiri saling berhadapan.
“Tapikan bisa Nem, sesekali manggil sayang buat nyenangin
hatiku. Apa salahnya sih? Walaupun cinta itu tidak di ukur dari kata-kata,
tetapi sesekalikan masa nggak bisa sama sekali? Oke, aku nggak minta banyak.
Cuma kamu manggil aku ‘sayang’ aja bukan Tuan. Kesannya nanti malah kayak aku
pacaran sama budak saja. Terpaksa gitu. Gimana nanti kalau kita menikah. Masa
manggilnya tetap Tuan?” Jalal mengeluarkan semua uneg-unegnya. Dia tidak peduli
walau itu di pinggir jalan dan jadi tontonan orang-orang.
Jodha terdiam. Dalam hatinya dia mengakui kebenaran ucapan
tuan mudanya. Tapi, rasanya sangat sulit mengubah kebiasaan yang sudah melekat
erat dalam dirinya. Melihat wajah pemuda itu yang begitu mengharapkan ucapan
sayangnya, membuat Jodha merasa tidak enak. Iya, apa salahnya sesekali
memanggilnya dengan ucapan sayang. Kan cuma sesekali. Bukan lebay kayak tuan
mudanya itu yang setiap waktu. Hehehe....
Jodha mengangguk, “baiklah Tuan, saya akan mencobanya. Tapi,
beri saya waktu untuk belajar. Jangan paksa saya sekarang ya.” Bujuk Jodha.
Wajah Jalal melembut, dia tersenyum senang.
“Iya. Aku tunggu. Tapi, jangan lama-lama. Ntar keburu
karatan hatiku kalau kelamaan. Akukan perlu energi penyemangat tiap hari Nem,
dari bibirmu yang manis itu.” Jodha tersipu malu, dia menonjok pelan lengan
tuan mudanya itu. Jalal terkekeh, dirangkulnya bahu gadisnya.
Kini mereka berdua hanya berjalan kaki saja. Perjalanan
mereka lebih jauh dari rute yang biasa Jodha lewati. Jalal malah membawa gadis
itu menuju taman kota, dimana biasanya setiap pagi banyak orang-orang yang
melakukan olahraga ditempat itu.
Setelah berlari beberapa putaran mereka berdua beristirahat
duduk di bangku taman. Jodha menenggak
minuman dari botol yang selalu dibawanya. Ingin menawarkan tuan mudanya, tapi
ada rasa sungkan. Kan ada bekasnya minum. Tetapi tak apalah, dicoba saja. Tidak
mau ya sudah. Tidak masalah.
“Tuan mau minum?” tawar Jodha. Jalal yang sedang asyik
melihat orang-orang yang sedang olahraga di taman itu menoleh. Dia mengangguk.
“Boleh.”
“Tapi,...” Jodha ragu-ragu.
“Kenapa?” tanya Jalal dengan heran.
“Tapi, ini bekas saya tadi Tuan. Maaf saya lupa nggak
menawarkan Tuan duluan.” Jawab Jodha dengan tidak enak. Seketika Jalal
tersenyum menyeringai.
“Nggak apa-apa sayang. Aku malah suka minum dari wadah
bekasmu.” Ucap Jalal mengambil botol minuman tersebut dari tangan Jodha dan
menenggak minuman tersebut sampai habis. Jodha hanya memandangnya dengan
tatapan heran.
“Kok Tuan nggak jijik sih, minum di wadah bekas saya?” Jalal
menoleh kearah Jodha dan kembali tersenyum, tangannya mengacak lembut rambut
gadis itu yang diikat ekor kuda tersebut.
“Kenapa harus jijik sayang. Kan itu bukan bekas orang lain.
Justru aku senang sekali, karena aku merasa sedang mencium bibirmu lagi.” Bisik
Jalal dengan tersenyum miring. Raut wajah Jodha langsung memerah seperti biasa.
“Tuan ih, mesum gitu. Ini tempat umum Tuan.” Jalal terkekeh.
“Kemarin waktu aku cium kamu di bibir, kamu kok nggak bilang
aku mesum sayang. Kenapa sekarang waktu aku minum di bekas bibirmu kamu bilang
mesum?” goda Jalal lagi. Ah, dia senang sekali melihat gadisnya menahan malu.
“Aaahh..., Tuan. Kenapa diungkit-ungkit lagi sih? Saya jadi malu banget nih.” Ucap Jodha menutup wajahnya dengan
kedua tangannya. Sungguh dia malu karena tuan mudanya mengungkit peristiwa
kemarin. Ya ampun, dimana dia bisa menyembunyikan wajahnya itu. Tawa Jalal
semakin keras, Inemnya terlihat semakin menggemaskan. Tangannya merengkuh bahu Jodha dan menyandarkan di dadanya. Gadis
itu akhirnya hanya bisa menurut untuk menyembunyikan wajahnya yang merah.
Hahahaha...
Setelah bisa menguasai perasaannya, Jodha akhirnya
melepaskan pelukan tuan mudanya dengan malu-malu. Jalal mengubah posisi
duduknya menghadap ke arah Jodha dengan kaki sebelahnya dilipat diatas bangku taman,
tangannya menyandar di sandaran bangku.
“Coba sekarang latihan Nem.” Bujuknya. Jodha menatapnya
heran.
“Latihan apa Tuan?” Jalal berdecak, “masa lupa sih sayang?
Itu tadi waktu dijalan. Kamu belajar manggil sayang.”
“Oh itu.” Jodha mengangguk pelan, “tapi jangan disini Tuan.”
Elaknya.
“Terus dimana?”
“Dirumah.” Jawab Jodha singkat. Jalal menggeleng.
“Disini saja. Dirumah atau dimana kan sama aja Nem. Mau
belajar nanti apa sekarang juga nggak ada bedanya. Ya kan?”
“Tapi...”
“Nggak ada
tapi-tapi lagi. Kamu, kalau
nggak dipaksa pasti lupa.” Jodha terkekeh,
“ayo mulai bilang.”
Jodha memejamkan
matanya sebentar, menarik nafas panjang,
kemudian menghembuskannya, mulutnya sudah terbuka. Siap untuk mengucapkan kata
sayang, namun ketika pandangannya beradu dengan tuan mudanya yang sudah menunggu
ucapan darinya, mendadak lidahnya terasa kelu. Mulut yang sudah terbuka, kini
tertutup lagi. Susah sekali. Hahahaha...
“Ayo Nem, mana?”
desak Jalal.
“Ih Tuan, sabar
sedikit kenapa? Ini lagi usaha nih.” Gerutu Jodha. Jalal sebenarnya mati-matian
menahan ketawa melihat Inemnya yang berusaha keras menuruti keinginannya, “Tuan
jangan liatin saya dong, ntar malah gugup. Jadinya nggak bisa ngomong.” Jalal
mengangguk.
“Oke. Aku akan
menghadap ke depan aja.” Ucap Jalal merubah posisinya menyamping dari Jodha.
Dia memperhatikan orang-orang yang lalu lalang dihadapan mereka. Tetapi telinga
mendengar gumaman Inemnya yang berulangkali menyebutkan kata ‘sayang’ meski
samar-samar seperti orang sedang menghapal. Perutnya terasa hampir meledak karena harus menahan ketawa, ya
ampun. Segitu susahnya ya, padahal cuma satu kata saja. Ck.
Ketika merasa
sudah bisa mengucapkan kata itu, Jodha membalikkan badannya menghadap tuan
mudanya meski pemuda itu tidak memperhatikan dirinya, namun ketika mulutnya
sudah terbuka, lagi-lagi lidahnya kelu. Kata yang rasanya sudah berada di ujung
lidah, kok begitu ingin diucapkan malah tenggelam dan tidak terdengar suaranya.
Jodha kembali merutuki dirinya yang begitu susah sekali untuk romantis.
“Gimana Nem?
Sudah bisa belum?” tanya Jalal menoleh ke arah Jodha. Gadis itu tersenyum
meringis.
“Hee...belum
Tuan. Susah sekali sih? Nanti lagi ya? Kita pulang aja sekarang.” Bujuk Jodha.
Namun Jalal menggeleng. Bibir Jodha mengerucut. Emang susah tuh majikan
sekaligus kekasihnya, ehem...Jodha jadi merona ketika pikirannya mengatakan
kalau disamping itu adalah kekasihnya. Tapi kapan jadiannya ya. Kok dengan
pedenya dia bilang kekasih. Kembali Jodha menggelengkan kepalanya akibat
pikiran ngelanturnya itu.
“Nggak bisa.
Pokoknya kita nggak akan pulang sampai kamu bisa bilang sayang sama aku.” Jodha
mendecak. Ini nih yang nggak bisa di ubah, sifat pemaksanya itu yang bikin
gregetan.
Kembali Jalal
duduk menghadap Jodha, “sekarang ikutin aku ngomong.” Jodha mengangguk, “Sa...”
Jodha menuruti.
“Sa...”
“Yang...”
“Yang.”
“Sayang. Gitu.
Coba ulangi.”
Jodha membuka
mulutnya, dan kembali ketika dia menatap mata tuan mudanya yang juga
menatapnya, lidahnya kembali kelu, “sayang,” ucapnya. Tapi
hanya dalam hati. Hahahaha....
Dia menunduk. Jalal menghembuskan nafas panjang. Susah memang. Jalal
menjadi kasihan juga melihatnya. Dia tersenyum, disentuhnya ujung dagu
gadisnya, membuat Jodha mendongak menatapnya.
“Ya sudah, nggak
apa Sayang. Aku akan berusaha mengerti. Tapi, aku minta kamu nggak berhenti
mencoba ya.” Jodha mengangguk. Ada rasa bersalah dalam hatinya. Dia gagal kali
ini membuat
majikannya senang.
“Iya. Makasih.”
“Kamu tau Nem,
setiap kata sayang yang kamu ucapkan, mempunyai arti dan makna yang mendalam
buatku. Karena aku tahu, untuk kamu mengucapkan kata itu perlu perjuangan. Dan
ketika kamu sudah mengucapkannya, maka aku yakin kata itu benar-benar keluar
dari hatimu. Itulah kenapa aku bahagia sekali mendengar ucapan kata sayang
darimu, walaupun jarang. Aku merasa dihargai, merasa sangat disayangi. Bukan
cuma sekedar kata tanpa makna.” Ucap Jalal menggenggam tangan Inemnya. Jodha
hanya bisa terperangah mendengarnya. Jadi begitu ya, kenapa tuan mudanya
memaksanya untuk mengucapkan kata itu meski dia tahu itu sulit.
Sebegitu
berartinya kata “sayang” untuk laki-laki yang ada dihadapannya ini. Baru kali
ini Jodha mendengar pemikiran orang tentang perasaan sayang. Dia bener-benar meleleh mendengar semua
ungkapan dari tuan mudanya itu. Membuatnya merasa ingin sekali meneteskan air
mata karena merasa terharu, ya Tuhan, laki-laki ini....
Inilah sisi lain
dari sifat tuan mudanya, ketika dia benar-benar menyayangi, maka dia akan
melakukan apapun untuk orang dia sayangi itu. Dan mungkin karena itulah Bang
Bayu dan Nadia tidak pernah melarangnya berhubungan dengan tuan mudanya meski
awalnya sifatnya terlihat slenge’an
dan playboy, karena mereka bisa menilai bagaimana sifat tuan
mudanya yang sesungguhnya.
“Iya sa...yang.
aku mengerti, maafkan bila selama ini aku belum bisa memahamimu.” Ucap Jodha
pelan tanpa sadar karena terbawa keharuan yang merasuk dalam perasaannya. Namun
Jalal mendengar dengan jelas semua kata-kata itu. Beberapa saat dia hanya
terdiam, speechless. Itu tadi?
Kata-kata itu, terdengar indah di telinganya.
Dia.
Inemnya.
Bilang sayang.
Terus pakai “aku”, bukan
“saya”. Tidak ada kata “tuan” tapi “kamu”.
Oh Tuhan. Terima kasih.
Akhirnya.
Dengan wajah
berseri dan kebahagiaan yang
meluap-luap, Jalal mencium tangan Jodha yang di genggamnya sejak
tadi.
“Makasih sayang.
Makasih. Aku tahu, kamu pasti bisa ngucapinnya ke aku. Aku tau kamu pasti
sangat sayang sama aku.” Ucap Jalal dengan gembira. Hatinya sungguh senang.
Tidak bisa digambarkannya dengan kata-kata lagi. Giliran Jodha yang bengong.
Ini tuan mudanya kenapa jadi senang begitu, bukannya tadi dia nampak kesal?
“Tuan kenapa?”
tanya Jodha dengan heran. Jalal masih tersenyum. Kali ini dia tidak marah
dipanggil tuan lagi. Dia tahu semua akan mengalir dengan sendirinya. Ucapan Inem
tadi yang tanpa dia sadari sudah membuktikannya..
“Tidak apa-apa
Sayang. Kita pulang yuk. Sudah siang.” Jodha mengangguk, mereka berdua beranjak
dari tempat duduknya dan berjalan kaki kembali kerumah. Tidak peduli keringat
kembali membasahi tubuh mereka karena jarak rumah dengan taman kota tadi
lumayan jauh. Namun bagi keduanya, semakin jauh jarak tersebut maka akan
semakin bagus. Itu artinya mereka bisa berjalan bersama lebih lama lagi.
Hahahaha....
Sepanjang jalan
Jalal kembali bercerita tentang pengalamannya selama di akmil yang belum dia ceritakan. Jodha menanggapinya dengan
antusias. Sesekali mereka berdua tertawa
bersama sambil bergandengan tangan, tanpa mereka menyadari banyak
pasang mata menatap keduanya dengan iri melihat kebahagiaan mereka. Yah,
bahagia itu sederhana saja. Meski hanya berjalan kaki, namun bersama dengan
orang yang dicintai membuat kebahagianan itu menjadi berlipat.
Begitu sampai
dirumah, terlihat Pak Humayun dan Bu Hamidah sedang sarapan. Melihat keduanya
datang bersama-sama membuat kedua orang tua Jalal saling pandang. Apalagi
melihat raut wajah mereka berdua walaupun lelah namun terlihat bahagia.
“Pagi Ma, pagi
Pa.” Sapa Jalal
“Pagi sayang,
pagi Jo. Kalian darimana?” tanya Bu Hamidah dengan lembut. Jodha menunduk,
namun Jalal tersenyum senang.
“Habis jogging
Ma, keliling komplek sampai taman kota.”
“Taman kota?”
Jalal mengangguk sambil tersenyum, sedangkan Jodha tersipu malu, “kamu sengaja
ya sayang bawa Jodha kesana?” sindir mamanya. Namun Jalal cuek saja.
“Yah, nggak
apa-apa kali Ma. Sekalian kencan. Hahahaha...” kedua orang tuanya hanya
menggeleng, “ya
sudah Ma, Pa, aku sama Jodha mau mandi dulu ya. Gerah nih.”
“Iya sudah sana.
Tapi jangan mandi bareng ya.” Sindir mamanya lagi. Jalal mengangkat sebelah alisnya mendengar ucapan mamanya.
Sedangkan Jodha bingung tidak mengerti.
“Oh, tenang aja Ma,
kami mandi bareng kok.” Jawab Jalal dengan santai. Jodha kaget.
“Hah? Tuan....”
dia mencubit tangan tuan mudanya, sedangkan Jalal hanya terkekeh saja mengusap tangannya.
“Tenang Sayang,
maksudku kita mandi bareng, aku di kamarku dan kamu di kamarmu. Kan bareng,
karena kita baru datang. Masa kayak gitu kamu mau langsung sarapan? Hm?” duh,
Jodha jadi malu sendiri.
“Maafkan saya
Tuan, sudah berpikir yang tidak-tidak.” Kembali Jalal tertawa.
“Tidak apa-apa
Sayang, mikir yang tidak-tidaknya buat nanti saja. Kalau sudah halal. Oke?”
Jalal kembali menggoda gadis disampingnya itu. Sudah bisa dipastikan, wajah
gadis itu pasti merona karena malu.
“Jalal sudah, itu
Jodha tambah malu kamu gituin. Sudah sana mandi. Ntar keburu jamuran nanti badan kamu.” Kata mamanya
sambil terkekeh. Keduanya ikut tertawa.
“Iya Ma.” Namun
ketika mereka akan berlalu dari tempat itu, Bu Hamidah kembali memanggil Jodha karena teringat
sesuatu.
“Jo.” Jodha
berbalik. Begitu juga dengan Jalal.
“Ya Bu.”
“Setelah ini
nanti kamu temani Ibu belanja ya.” Jodha mengangguk, tanpa bertanya.
“Iya Bu.”
“Emang ada acara apa Ma?” tanya
Jalal heran. Mamanya tersenyum.
“Nggak ada acara
apa-apa kok Sayang, Papamu cuma pengen makan malam bareng Mas Pram dan
keluarganya, juga sama kedua temanmu itu. Yah, hitung-hitung syukuran karena
kalian sudah berhasil menjalani pendidikan selama di Magelang.” Keduanya
mengangguk.
“Oh gitu. Iya deh
Ma. Tapi, ngomong-ngomong aku boleh ikut nggak Ma?”
“Ikut kemana
sayang? Belanja?” Jalal mengangguk, “yang benar sayang? Kamu nggak malu nanti
belanja bareng Mama?” Jalal menggeleng.
“Nggak Ma. Aku
nggak malu kok. Waktu pelatihan kemarin, aku malah belanja ikan sama sayuran
untuk makan kami di pasar tradisional yang becek dan pagi-pagi.” Sahut Jalal
dengan cuek. Ketiga orang yang berada di tempat itu, memandang Jalal dengan
wajah tidak percaya.
“Wah, bagus dong
kalau begitu. Ya sudah mandi dulu sana, habis itu sarapan dan kita berangkat ke
pasar. Tugas kita ringan sekarang Jo, ada tukang angkat-angkat nanti di
belakang.” Kata Bu Hamidah sambil tertawa, Jodha pun ikut tertawa.
“Nggak masalah.
Demi cinta, apa sih yang nggak? Ya kan Sayang?” ucap Jalal dengan santainya mengacak rambut
Jodha dan berlalu menuju kamarnya sambil bersiul senang., meninggalkan ketiga
orang yang dicintainya itu yang masih memandang punggungnya dengan tercengang.
Tidak lama Jodha pun permisi ke kamarnya, untuk mandi dan membersihkan diri.
“Duh Pa, anak
kita kok sekarang tambah manis ya. Mama senang banget Pa.” Ucap Bu Hamidah
menggenggam tangan suaminya yang berada diatas meja dengan ekpresi kesenangan.
Pak Humayun tersenyum.
“Sepertinya
memang harus dipercepat Ma, pernikahan mereka. Papa takut terjadi yang
tidak-tidak nantinya kalau kelamaan.” Istrinya mengangguk.
“Papa benar.
Lebih cepat lebih baik. Sekalian nanti malam saja Pa, dibilangin. Mumpung ada
Mas Pram dan keluarganya. Kita lamar Jodha sama mereka saja. Kan mereka
keluarga angkatnya, bisa saja
menjadi walinya nanti.”
“Iya Ma, benar.
Sekalian saja nanti malam kita tanya mereka berdua.” Bu Hamidah mengangguk.
“Iya Pa. Boleh
juga tuh.”
***
Siangnya mereka bertiga berangkat ke pasar swalayan untuk
berbelanja. Kali ini Jalal yang mengemudi. Jodha berada disampingnya, sedangkan
mamanya berada di belakang. Mereka menuju supermarket besar yang menjual semua
keperluan yang mereka cari.
Setelah memarkirkan mobil mamanya, mereka bertiga langsung
menuju tempat yang menjual barang keperluan untuk acara nanti malam. Bu Hamidah
dan Jodha berjalan berdampingan, sedangkan Jalal berjalan pelan mengikuti
keduanya dengan mendorong troli.
“Kita masak apa Bu, nanti malam?” tanya Jodha ketika melihat
majikannya sedang sibuk memilih-milih daging. Bu Hamidah berpikir sejenak.
“Masak apa ya Jo? Yang praktis, nggak ribet tapi enak.”
Jodha jadi ikutan berpikir juga. Sementara Jalal dibelakang mereka berdua
mesam-mesem saja, sebelah tangannya memegang troli, sedangkan sebelah tangannya
memilih daging dengan cepat tanpa kedua wanita itu tahu.
“Apa ya Bu, saya juga bingung.” Sahut Jodha sambil menggeleng,
“saya sih terserah Ibu saja. Makan apa saja nggak pernah nolak.” Bu Hamidah
tertawa.
“Kalau untuk kamu sih nggak masalah Jo, tapi ini untuk orang banyak. Sesekali kita
masak yang agak berbeda dari biasanya.” Jodha terdiam, namun matanya masih terus
melihat-lihat bahan makanan yang ada di depan mereka, “apa perlu kita tanya
Jalal aja ya Jo, siapa tahu dia bisa ngasih solusi mau masak apa?” tawar Bu
Hamidah. Jodha mengangguk.
“Iya Bu. Boleh juga tuh. Mungkin Tuan ingin dimasakin
sesuatu untuk acara nanti.” Sahut Jodha. Keduanya berpaling ke belakang dimana
Jalal berada. Namun alangkah terkejutnya mereka melihat troli Jalal sudah
terisi setengahnya dengan bahan makanan yang mereka berdua diskusikan tadi.
Sementara Jalal
hanya memandang keduanya yang terkejut dengan tersenyum lebar.
“Sayang, kamu ngapain ini?” tanya Bu Hamidah. Jalal tertawa
sambil mengangkat bahunya.
“Katanya bingung mau masak apa untuk nanti malam Ma, ya
sudah aku ambil daging steak ini saja. Kita bikin steak barbeque saja Ma, sama
bikin sop buntut ya (ini mah, authornya
yang suka. Hehe), kita bakar di halaman belakang saja waktu mereka datang,
kalau sop buntutnya biar aku saja yang masak. Aku sudah belajar waktu
sosialisasi dulu. Semoga saja enak. Mama sama Jodha bikin camilan saja ya.”
Ucap Jalal tanpa rasa bersalah karena sudah membuat kedua wanita yang
dicintainya itu hanya bisa bengong mendengar semua ucapannya.
Kejutan demi kejutan yang di berikan oleh Jalal kepada
mereka. Orang yang biasanya rewel dengan makanan, kini malah bisa memasak? Ah,
becanda kali. Pikir Jodha. Tetapi melihat raut serius di wajah tuan mudanya
itu, membuat Jodha mau tidak mau harus menerima kenyataan kalau pemuda itu
memang benar-benar ingin memasak.
“Yang bener Sayang? Kamu nggak becandakan?” tanya Bu Hamidah
masih tidak percaya. Jalal hanya terkekeh.
“Yah, terserah Mama sih kalau nggak percaya. Tapi, ntar
kalau sudah sampai dirumah aku akan buktikan. Kalau untuk steak barbeque sih
aku memang belum pernah memasaknya Ma, tapi kalau sop buntut sih, pernah
sekali. Dan anak-anak nggak pernah protes tuh, enak aja katanya. Nggak tau
beneran enak atau nggak mau bikin yang masak jadi ngambek.” Jodha dan Bu Hamidah mau tidak mau ikut
tertawa.
“Ya ampun Sayang, kamu bener-bener bikin kejutan buat kami.
Mama bangga sama kamu. Ayo kita lengkapi belanjaannya. Iya, biar mama sama
Jodha yang bikin camilannya nanti. Ya kan Jo?” Jodha mengangguk.
“Iya Bu.” Jawab Jodha yang sejak tadi hanya terdiam
mendengarkan mama dan anak itu bicara. Kini kedua wanita itu memilih bahan
untuk membuat camilan, untuk dihidangkan nanti. Sedangkan Jalal yang sudah
selesai memilih bahan masakannya hanya mengikuti mereka saja dari belakang.
Selesai
berbelanja bahan masakan, Bu Hamidah mengajak Jodha ke sebuah butik yang masih
berada di lokasi yang sama. Awalnya Jodha berpikir kalau majikannya itu yang
ingin membeli untuk dirinya sendiri, makanya dengan langkah ringan dia
mengikuti wanita itu, tetapi dugaannya salah. Karena ketika mereka memasuki
butik tersebut, Bu Hamidah langsung mencarikannya gaun. Tentu saja Jodha
menolak. Kenapa jadi dia dibelikan.
“Ayo Jo, kamu
pilih gaunnya yang mana yang kamu suka?” tanya Bu Hamidah.
“Sa-saya Bu?”
tunjuk Jodha kepada dirinya sendiri. Bu Hamidah mengangguk.
“Iya. Siapa lagi?
Masa buat Jalal?” sahutnya sambil terkekeh.
“Tapi, saya lagi
nggak perlu gaun Bu.” Tolak Jodha.
“Buat nanti malam
Jo, biarkan sesekali Ibu belikan gaun buat kamu. Kan kamu calon mantu Ibu,
nggak masalah kan?” duh, gimana nolaknya nih?
Jodha jadi tidak enak, “apa ini Jo?” tanya Bu Hamidah mengambil sebuah longdress berwarna peach dan
memberikannya kepada Jodha. Dengan berat hati, gadis itu menerimanya dan
mematut-matut di depan cermin. Namun, dia menelan ludah ketika melihat harga
yang tertera di gaun tersebut. Nolnya ada enam digit pemirsa. Entah di depannya
ada angka berapa. Hanya untuk satu gaun saja. Tidak. Dia tidak bisa
menerimanya.
“Gimana Jo, kamu
suka nggak sama gaun itu?” tanya Bu Hamidah dengan lembut. Jodha tersenyum
meringis.
“I-itu...
kemahalan buat saya, Bu.” Jawab Jodha dengan polosnya. Bu Hamidah tertawa
kencang. Dia menggelengkan kepala melihat calon menantunya itu. Bagaimana bisa
dia membiarkan gadis ini pergi dari keluarganya, kalau sifatnya yang tidak
serakah dan sederhana membuat dirinya semakin menyayangi dan ingin cepat-cepat
mengikatnya dengan Jalal, anaknya.
“Sesekali kan
tidak apa-apa, Sayang. Bukan masalah harganya, tetapi Ibu senang kalau kali ini
kamu mau menerima pemberian Ibu. Ayolah, terima saja. Atau kamu mau memilih
sendiri gaunnya? Kita kasih kejutan buat Jalal ya nanti malam.” kata Bu
Hamidah. Karena saat itu Jalal sedang menunggu mereka di mobil.
“Iya deh Bu. Tapi
satu saja ya.” Bu Hamidah mengangguk senang.
“Baiklah. Satu.
Nggak masalah.” Sahut Bu Hamidah bersemangat sekali. Akhirnya Jodha mulai memilih-milih
gaun yang menurutnya bagus, simple, tapi tidak mahal. Tapi, mana ada gaun di
butik yang harganya murah? Di pasar kaget noh yang murah. Untuk harga satu gaun
dibutik itu, bisa untuk memborong gaun di pasar kaget beserta lapak dan
penjualnya. Hahahaha....
Tidak perlu waktu
lama untuk menentukan pilihannya. Dia bukan orang yang suka bertele-tele,
apalagi dalam hal memilih pakaian. Nggak perlu tiap jahitannya ditelusuri untuk
melihat apakah ada jahitannya yang putus, atau keluar dari jalurnya atau sedikit
robek, dan tetek bengek lainnya yang memakan waktu lama. Buat Jodha itu sangat
membosankan. Mending dia disuruh nyapu, ngepel, nyuci, atau... tidur sekalian.
Gaun yang dipilih
Jodha adalah gaun selutut yang melebar kebawah berwarna hijau lembut, dengan
sabuk putih sebagai pemanis. Sedikit renda di bawah leher, berlengan pendek.
Harganya juga tidak semahal gaun yang lainnya. Dengan puas, dia menunjukkan
kepada majikannya itu. Bu Hamidah mengangguk, dia juga nampaknya setuju dengan
pilihan Jodha.
Setelah membayar,
mereka berdua keluar dari butik tersebut dan kembali ke mobil dimana Jalal
sudah menunggu dari tadi.
“Nyari apa Ma di
butik?” tanya Jalal sambil mengemudi membawa mobilnya keluar dari parkiran.
“Nyari gaunlah
Sayang. Emang mau nyari apa dibutik?”
“Iya tahu nyari
gaun Ma, tapi buat siapa?”
“Buat Mamalah.
Emang kamu kira buat siapa Sayang?” tanya Bu Hamidah sambil terkekeh. Jodha
ikut tersenyum mendengarnya.
“Emang Jodha
nggak mama belikan ya? Masa Mama aja yang beli?”
“Loh, Jodha kan
sudah punya calon suami. Biar calon suaminya saja yang belikan. Masa Mama yang
harus belikan?” sahut Bu Hamidah sambil terkekeh. Jodha menahan ketawa
mendengar Bu Hamidah membohongi putranya. Jalal menghela nafas. Tangan
sebelahnya menggenggam tangan Jodha yang berada di atas pahanya. Jodha menoleh.
“Sabar ya Sayang,
nanti kalau aku sudah bisa menghasilkan uang sendiri, aku akan belikan untukmu
gaun yang paling bagus dan
paling indah.” Ucap Jalal lembut. Bu Hamidah terkikik geli
mendengar ucapan anaknya. Jodha hanya bisa mengangguk sambil tersenyum menahan
ketawa.
Setiba dirumah mereka segera berbenah. Bi Ijah tidak kalah
sibuknya. Jalal yang sudah siap dengan seragam dinas dapur yaitu apron juga
sibuk menyiapkan steak yang akan dibakar nanti malam. Dengan panduan resep dari
ponsel yang berada di atas meja pantry tidak jauh darinya, dia mulai membumbui
daging steak tersebut dengan garam, lada hitam, rosemary, dan sedikit minyak
zaitun. Kemudian di diamkan beberapa saat.
Sementara menunggu dia membuat saus barbeqeunya. Jalal
memanaskan minyak diteflon kemudian menumis bawang merah, bawang putih, dan
bawang bombay sampai harum. Kemudian dia memasukkan buah nanas yang dicincang
kasar, kecap inggris, gula, saus tomat, saus sambal, kecap manis, garam, dan air kaldu secukupnya
hingga mendidih dan matang merata, setelah itu dia memberi larutan maizena
untuk mengentalkan sausnya. Dan steaknya siap untuk dibakar. Tidak lupa juga
Jalal menumis buncis, wortel yang di potong memanjang dan baby asparagus dengan
sedikit margarin di wajan, kemudian menyusunnya dipiring.
Selain itu dia juga menyiapkan sate tahu sutra yang di
potong kotak kecil sudah direndam dengan garam dan bawang putih, kemudian
ditusuk dengan tusukan sate, diselang-seling dengan paprika, tomat cerry, yang
akan dibakar nanti bersamaan dengan steak.
Bi Ijah sibuk membantunya memasak, sedangkan Jodha dan
mamanya sibuk membuat camilan untuk
mereka ketika sibuk membakar steak nantinya. Setelah selesai menyiapkan steak
beserta sausnya, Jalal mulai memasak sup buntut dengan pengalaman yang pernah
dia dapatkan dan juga panduan dari resep yang dia lihat dari internet di
ponselnya. Sekarang dia merasa seperti chef sungguhan, sekilas dia teringat
ketika menonton Inemnya memasak opor ayam dulu. Ternyata rasanya begitu menyenangkan,
pantas saja Inemnya sangat suka memasak. Dahinya berkeringat, namun tidak dia
pedulikan.
Jalal menarik nafas lega ketika pekerjaannya sudah selesai.
Tinggal membersihkan peralatan kotor saja lagi, dan itu biarlah tugas Bi Ijah.
Mamanya dan juga Jodha sepertinya sudah selesai juga. Mamanya tersenyum dan
menggelengkan kepala melihatnya.
“Kenapa Ma?” tanya Jalal sambil melepaskan apronnya.
“Anak Mama sekarang manis banget. Mama masih nggak percaya
benarkah ini anak Mama yang dulu manja.” Jalal mendengus. Mamanya tertawa.
“Ya tetap anak Mama lah, emang anak siapa lagi? Anak
tetangga?” Bu Hamidah terkikik geli.
“Ya anak Mama dong. Mana boleh jadi anak tetangga.” Bu
Hamidah mengelap keringat di dahi anaknya, membuat Jalal nampak malu, karena
Inemnya melihat dengan senyum dikulum. Ish, mamanya itu menurunkan harga
dirinya saja di depan calon istrinya. Tiba-tiba terdengar suara bel rumah.
“Itu paling Papa kamu sayang sudah datang. Tadi mama minta Papa kamu datang lebih awal, biar nggak
keduluan tamunya. Mama tinggal dulu ya,” keduanya mengangguk, “ kalian
bersiap-siap saja dulu.”
“Iya Ma.”
Sepeninggal mamanya, Jalal mendekati Jodha yang masih
berdiri.
“Nem, nanti malam sebelum bakar steak siapin handuk ya.”
Ucap Jalal dengan senyum menyeringai. Jodha mengerutkan kening mendengarnya.
“Untuk apa tuan?”
“Ngelap iler.” Jawabnya santai.
“Hah? Iler?” Jalal mengangguk, “iler siapa?”
“Iler kamu lah sayang.” Sahut Jalal sambil terkekeh. Kedua
ibu jarinya mengusap-usap sudut bibir Jodha.
“Ih, sejak kapan saya jadi ileran? Tuan nggak usah
mengada-ngada deh.”
“Sejak nanti malam sayang. Saat aku bakar steak. Kata kamu
kalau laki-laki masak, ketampanannya naik beratus kali lipat. Aku sekarang
sudah bikin kamu terpesona, gimana kalau aku masak nanti, Siapin handuk dileher
ya. Siapa tahu kamu lihat aku masak jadi ngiler. Lihat yang masak ngiler, lihat
yang dimasak ngiler, makanya siapin saja handuk. Hahaha....” ucap Jalal dengan
pedenya sambil tergelak.
Ya ampun, tuan mudanya ternyata sepulang dari Magelang malah
tambah parah percaya dirinya. Tapi masalahnya, justru itu yang membuat Jodha
semakin suka. Gimana dong? Jodha menjadi pusing sendiri.
“Yah, terserah Tuan sajalah. Awas kalau nanti nggak bisa
bikin saya ileran.” Tantang Jodha malahan.
“Oke sayang, dengan senang hati akan aku buktikan.” Sahutnya
sambil berlalu menuju kamarnya sambil terkekeh. Jodha menghembuskan nafas
panjang, setelah itu berlalu sambil menggelengkan kepala melihat kelakuan
majikan mudanya itu.
Malam harinya, Jalal sempat terpana melihat penampilan Inemnya
kali ini yang menggunakan gaun. Belum pernah sebelumnya dia melihat gadis itu
menggunakan rok, apalagi ini gaun selutut, membuat tubuhnya yang langsing
nampak semakin mempesona. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai, hanya di jepit
dengan penjepit rambut sebagai pemanis, menggunakan bedak tipis dan juga
lipstik tipis, namun terlihat begitu natural. Cantik. Tidak ada kata lain lagi
untuknya.
Jalal tidak berkedip melihatnya, mamanya kembali terkekeh
melihat ekspresi anaknya yang tidak bisa berkedip menatap Jodha yang menunduk
malu-malu.
“Sayang, kamu cantik.” Ucap Jalal mendekati Jodha yang masih
berdiri di depan kamarnya sendiri. Wajah Jodha bersemu merah.
“Ma-makasih Tuan. Tuan juga terlihat tampan sekali.” Sahut
Jodha malu-malu. Yah, meski tuan mudanya itu hanya menggunakan kemeja biasa,
dan hanya menggunakan celana jeans biasa. Namun busana tersebut sukses membalut
tubuh laki-laki terlihat sesak dan ngepas dibadan, sesesak perasaan didadanya
yang terus berdebar tidak karuan. Jalal tersenyum senang.
“Makasih sayang, pujianmu membuatku bahagia.” Jodha kembali
mengangguk malu-malu.
Sesuai jam yang ditentukan, keluarga besar Pak Pramono
datang menghadiri undangan Pak Humayun, tidak lupa Mansingh dan Surya juga
datang. Jodha sempat pangling melihat Man dan Surya, seperti halnya yang
terjadi dengan tuan mudanya. Mereka berdua nampak gagah meski pakaian yang
membalut tubuh mereka berdua hanyalah kemeja yang dipadu dengan celana jeans.
“Hallo Bang Bos, apa kabar? Benarkan sudah jadi tape ketan
hitam?” tanya Nadia sewaktu bertemu dengan Jalal. Pemuda itu hanya mendengus.
“Tape, tape. Nggak ada istilah yang lain apa?” Nadia
nyengir.
“Tapikan tape ketan hitam itu manis loh Bang Bos? Santai aja
kali, tuh Bang Man aja nggak protes kok, masa Bang Bos protes. Nggak asyik
deh.” Jalal mencibir.
“Jelas saja dia nggak protes, kan dia pacarmu. Coba kalau
dia berani protes, yang ada kamunya yang ngambek.” Nadia tertawa
terbahak-bahak.
“Nggak juga tuh, dia biasa aja. Diakan berbeda dengan Bang
Bos. Nggak gampang ngambil hati gitu.” Bela Nadia.
“Ciee...yang bela pacarnya. Iya deh, Abang Man kan,
ehem...ehem...emang nggak ngampang ngambil hati orang, tapi dia sudah mengambil
hati kamu kan.” Ledek Jalal lagi. Wajah Nadia memerah.
“Ih, Bang Bos gitu deh.”
“Yeay, Nadia si gadis usil akhirnya bisa malu juga.” Goda
Jalal membuat wajah gadis itu semakin merah saja. Semua yang mendengar hanya
bisa menggeleng kepala melihat kelakuan mereka berdua kalau sudah bertemu.
Pak Humayun dan Bu Hamidah membawa tamunya kebelakang, ketempat yang sudah
disediakan. Di tempat itu sudah di sediakan kursi dari kayu, meja kayu panjang,
tempat membakar steak. Kedua keluarga itu duduk berkumpul di kursi kayu
tersebut sambil ngobrol ditemani camilan yang dibuat oleh Bu Hamidah dan Jodha
tadi siang.
Sementara Jalal memanggang steak yang sudah disiapkannya
tadi siang, dibantu oleh Jodha. Sesekali Nadia ikut juga membantu. Jalal juga
menyiapkan jagung manis untuk dibakar untuk menemani makan steaknya.
“Nem, handuknya
sudah disiapin belum?” tanya Jalal dengan terkekeh. Jodha hanya memanyunkan
bibirnya saja.
“Nggak usah pake
handuk Tuan, saya yakin nggak akan ngiler kok. Tenang aja.” Jalal mengangkat
sebelah alisnya.
“Masa?” Jodha
mengangguk, “tapi itu apa?” katanya menunjuk sudut bibir Jodha. Refleks ujung
jari gadis itu meraba tempat yang ditunjukkan tuan mudanya tadi.
“Mana? Nggak ada
apa-apa kok.” Ucapnya polos. Jalal tertawa kencang, Jodha menatapnya tajam,
“Tuan membohongi saya ya?” Jalal mengangguk masih disertai kekehannya.
“Iya Sayang,
maaf. Sengaja.” Jodha cemberut lagi, “sudah, nggak usah cemberut gitu, sini
bantu aku memanggang steaknya.” Jodha mengangguk, dia melangkah mendekati tuan
mudanya namun bibirnya masih cemberut, “udah dong Yang, masa masih cemberut
sih, ntar steaknya nggak matang tuh dicemberutin terus sama kamu.” Rayu Jalal
sambil membolak-balikkan steaknya. Akhirnya mau tidak mau Jodha pun tersenyum.
Disaat-saat semua sedang asyik, terdengar suara tepukan tangan. Semua menoleh kearah suara
tersebut. Terlihat Nadia berdiri bersama Mansingh di dekat Jodha dan Jalal yang
sedang membakar steak. Mansingh terlihat memegang sebuah gitar, dengan gaya penyanyi country, minus topi koboynya.
“Perhatian, perhatian, ladies and gentlemans, minta
perhatiannya ya, kami mau ngamen sebentar. Tolong siapkan uang tipnya. Tapi
maaf, kami tidak terima tip dalam bentuk recehan logam ya. Pakai cek boleh,
atau uang receh lembaran berwarna merah, minimal 5 lembar atau warna biru
minimal 10 lembar. Oke!” ucap Nadia dengan cueknya. Semua tertawa, kecuali
Jalal. Dia mendengus.
“Dasar pengamen matre.” Sahutnya, dan Nadia mendengar. Namun
dia tidak marah, hanya terkekeh saja, begitu juga dengan Mansingh dan Jodha.
“Tante, aku kasih permen aja ya. Soalnya aku nggak punya
uang.” Seru Rahim.
“Tenang saja keponakan Tante tercinta, untuk kamu Tante cuma
minta ciuman sepuluh kali saja. Oke Boy?”
“Siap Tante.” Sahut Rahim mengacungkan jempolnya. Bu Hamidah
dan Pak Humayun terkekeh melihat Rahim dan Nadia.
“Baiklah, sudah siap ya. Oke Bang, mulai...” serunya.
Mansingh pun mulai memetik gitar, diikuti jari Nadia yang seolah memencet tuts
piano di udara sebelum menyanyi dengan gaya centilnya.
Nadia :
Jangan pikirin
abang
Jangan biasain
abang
Yang penting
happy saya
Nggak ada yang
gratis abang
Nadia menggerakkan badannya seperti penari tango, namun dia
bergerak sendirian saja, karena Mansingh sedang memetik gitarnya, sesekali dia
melirik dan tersenyum kepada Nadia yang asyik menyanyi.
Jalal dan Jodha yang sedang membakar steak hanya tertawa
geli melihat mereka berdua. Terlihat Nadia seperti ulat bulu yang lagi
kepanasan. Hahahaha....
Mansingh :
Susahnya jadi orang yang jatuh cinta
Berikan semua yang abang punya
Matipun abang mau untukmu seorang
Jangankan harta susahpun rela
Nadia :
Jangan pikirin
abang
Jangan rasain
abang
Yang penting
happy saya
Nggak ada yang
gratis abang
Mansingh :
Susahnya kalau cinta yang berbicara
Pahitpun jadi manis tersiksa rela
Duet :
Ya abang, (ya sayang)
Ya abang, (ya sayang)
Aku cinta kamu
selamanya, ( buktikan padaku)
Yakinkan
ya abang bahagiakan aku di dunia
Lagupun selesai. Nadia membungkukkan
badannya layaknya penyanyi yang habis pentas. Semua bertepuk tangan. Bahkan
Rahim bertepuk tangan dengan semangat.
“Tante keren, deh.” Nadia duduk disamping
keponakannya itu dan menciumnya, sementara Mansingh duduk disamping Surya.
“Makasih Sayang. Keponakan Tante juga
keren kok.” Rahim tertawa.
Tidak lama kemudian, masakannya sudah
siap. Bu Hamidah dan Pak Humayun
mempersilakan semua tamunya untuk menikmati hidangan yang sudah disediakan.
Suasana ramai dan bersahabat, sesekali celetukan Nadia dan Jalal menyegarkan suasana.
Selesai makan, dan piring-piring kotor
sudah disingkirkan, Pak Humayun segera menyampaikan maksudnya dengan gaya
santai.
“Mas Pram, Mbak Nunik, Bayu dan Salima,
dan semua yang sudah hadir disini saya ucapkan terima kasih karena sudah datang
kesini. Anggap saja acara hari ini sebagai syukuran, karena Jalal, Mansingh dan
Surya sudah lulus pelatihan di akmil. Om bangga sama kalian. Tidak banyak
pemuda yang mau dengan rela hati untuk dilatih seperti yang kalian alami tempo hari. Om berharap, ilmu yang kalian
dapat disana bisa kalian pergunakan untuk bekal kalian melanjutkan perjalanan
hidup kalian.” Pak Humayun terdiam sebentar, dan menatap Man, Surya dan juga
Jalal.
“Selain itu, sesuai janji saya kepada
Jalal sebelum dia berangkat ke Magelang, dan sekarang Jodha juga sudah lulus,
maka saya dan istri saya ingin melamar Jodha untuk Jalal kepada Mas Pram dan
Mbak Nunik sebagai orang tua angkatnya.” Kata Pak Humayun dengan santai. BU
Hamidah tersenyum. Namun yang lain tercengang. Terlebih Jodha dan Jalal yang sama sekali tidak tahu
rencana orang tuanya.
Setelah diam beberapa saat, Pak Pram
memanggil Jodha agar mendekat kepadanya. Jodha pun menurut. Dia duduk diantara
Pak Pram dan Bu Nunik.
“Bagaimana Jo, tentang lamaran Papanya Jalal?” wajah Jodha sedikit merona.
Jalal menanti jawaban Inemnya dengan deg-degan. Sedikit was-was, walaupun
dihatinya dia yakin kalau gadis itu akan menerima lamaran papanya.
“Menurut Ayah sama Ibu gimana?” keduanya
tersenyum.
“Ayah sama Ibu terserah kamu saja
sayang.” Sahut Bu Nunik, “kan kamu yang
menjalaninya nanti. Walaupun Ayah sama Ibu juga berharap kamu sama Jalal bisa
bersama seperti yang papa dan mamanya Jalal harapkan.” Kata Bu Nunik mengelus punggung Jodha dengan
sayang.
Setelah berpikir beberapa saat, akhirnya
Jodha tersenyum. “Baiklah Pak, Bu, saya terima lamaran Bapak sama Ibu.” Semua
orang mengucap syukur. Terlebih Jalal yang sejak tadi tegang menunggu jawaban
dari Inemnya.
“Terima kasih Jodha, secepatnya Bapak
sama Ibu akan mempersiapkan pernikahan kalian.” Kedua orang tua angkat Jodha
juga mengangguk setuju.
“Tapi...” kembali semuanya terdiam. Jalal
kembali tegang.
“Tapi apa sayang?” tanya Bu Hamidah
dengan penasaran.
“Bolehkah saya meminta waktu sampai saya
bertemu dengan Ayah saya sebelum melaksanakan pernikahan kami. Saya ingin Ayah
kandung saya yang akan menjadi wali saya. Karena hanya dia satu-satunya
keluarga yang saya miliki.” Jawab Jodha dengan lirih. Kedua orang tua Jalal dan
juga kedua orang tua angkatnya saling pandang mendengar permintaan Jodha.
Sangat wajar kalau Jodha meminta demikian, karena memang dia mempunyai orang
tua yang masih hidup. Tapi sampai kapan? Orangnya saja mereka tidak tahu. Jalal
mendadak pusing memikirkannya. Hanya Bayu yang tidak tegang.
“Maaf Om, Tante, Ayah, Ibu dan semuanya.
Saya lupa memberitahukan sesuatu.” Semua menoleh kearah Bayu yang berdiri.
“Memberitahukan apa Bay?” tanya Pak
Humayun. Bayu tersenyum.
“Kemarin sewaktu saya menjemput mereka
bertiga, orang kepercayaan yang saya beri tugas untuk mencari informasi tentang
ayah Jodha memberi kabar kalau Ayahnya Jodha ada disuatu tempat. Jadi Om sama
Tante tenang saja, lakukan apa yang sudah menjadi rencana semula.” Akhirnya
semua kembali bernafas lega. Terlebih Jodha, tidak terasa dia meneteskan air
matanya. Dia sudah rindu dengan ayahnya. Jalal diam-diam menatap Inemnya itu
dengan perasaan iba.
“Rencananya saya akan mengambil cuti dan
menjemputnya kesana.”
“Memangnya ayahnya berada dimana Bay?”
tanya Pak Pram.
“Dia berada di daerah pesisir pantai pulau Jawa, tepatnya di
pacitan di perkampungan dekat pantai Banyu Tibo.” Jodha terkejut.
“Hah? Benarkah Bang?”
“Kenapa memangnya Jo?” tanya Bu Nunik.
“Itu...itu adalah tempat kelahiran ibu
saya, dan beliau juga di makamkan
disana.” Jawab Jodha dengan lirih.
===tbc===
n/b : lagu Nadia dan Man : JANGAN PIKIRIN ABANG, by. Firman feat Alice.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar