Kemarin ada yang nanya casting
untuk Nadia siapa? Di foto itu ada Nadia, castingnya Maudy Ayunda. Semoga aja
karakternya cocok ya.
Warning : terdapat adegan kasar. Kalau
nggak kuat, bisa di skip aja. Makasih.
=====0000=====
Sore itu
Jodha membuka pintu ketika tuan mudanya datang dari kampus. Wajahnya terlihat
lelah sekali. Dia melangkah dengan lesu masuk ke dalam rumah. Di tangannya
terdapat beberapa buah buku kuliahnya.
“Sore Nem.”
Sapanya dengan suara pelan sambil mengacak rambut Jodha, ketika melewatinya.
“Sore juga
Tuan.” Sahut Jodha dengan tersenyum manis. Dia berbalik mengikuti langkah tuan
mudanya yang gontai menuju sofa diruang tamu dan menghempaskan tubuhnya.
Berbaring, tanpa melepaskan sepatunya,
kedua kakinya di angkat di atas sofa. Salah satu tangannya di letakkan
di dahi, matanya terpejam. Sepertinya dia benar-benar lelah. Jodha hanya
tersenyum geli melihatnya.
“Tuan...”
panggil Jodha pelan. Dia duduk di sofa dekat kepala tuan mudanya.
“Hm...” sahut
Jalal tanpa membuka matanya.
“Kelihatannya
Tuan capek banget.”
“Emang!”
“Kok bisa
capek banget sih Tuan?” Jalal menghembuskan nafas lelah.
“Apalagi?,
kalau bukan untuk memenuhi janjiku sama kamu.” Jodha mengerutkan keningnya.
“Janji?
Janji apa Tuan? Dan apa hubungannya dengan kondisi Tuan yang capek ini?” masih
dengan mata terpejam Jalal berdecak.
“Ya ampun
Inem, padahal belum lama kamu ngomong minta aku belajar supaya lulus dengan
tanganku sendiri.” Mulut Jodha membulat, dia mengerti, “masa masih nanya lagi
sih?” Jodha terkekeh.
“Maaf Tuan,
saya lupa. Karena nggak biasanya sih.”
“Ck. Kok
bisa ya aku sampai suka sama kamu, Inem lelet.” Gumam Jalal. Matanya masih
terpejam, kekehan Jodha semakin panjang.
“Siapa suruh
Tuan suka sama saya?” Jalal mendengus, “saya bikinkan minum ya Tuan, siapa tahu
capeknya berkurang.” Jalal mengangguk. Lagi malas ngomong. Jodha tersenyum
maklum, dia segera beranjak dari tempat duduknya dan berjalan menuju dapur,
untuk membuatkan secangkir teh hangat untuk tuan mudanya.
Tidak lama
kemudian, Jodha datang membawakan secangkir lemon tea hangat dan berharap bisa
sedikit mengurangi kelelahan majikannya. Jodha meletakkan tehnya di atas meja,
sementara Jalal masih dalam posisi seperti semula, dalam keadaan mata terpejam.
Jodha menggelengkan kepala melihatnya. Apa iya bisa secapek itu? Kayak orang
habis nyangkul di ladang saja. Ck.
“Tuan.” Kata
Jodha menggoyang pelan tangan tuan mudanya. Jalal membuka matanya, dia bangun, menurunkan
kakinya dan duduk bersandar, dan Jodha juga duduk di sampingnya. Dia
mengambilkan teh tadi dan menyerahkan kepada tuan mudanya, “ini minum tehnya,
Tuan.”
Tanpa bicara
Jalal mengambil teh itu dan menyesapnya pelan. Jodha hanya memandanginya seraya
tersenyum. Jalal melirik sambil sesekali menyesap tehnya.
“Kamu kenapa
senyum-senyum kayak gitu Nem?” Jodha menggeleng.
“Nggak kok
Tuan. Hanya saja saya baru melihat Tuan secapek ini. Dan, bawaan Tuan sebanyak
ini.” Ucap Jodha menunjuk buku-buku di atas meja yang dibawa Jalal tadi, “wow, amazing” seru Jodha membuat Jalal
tergelak.
“Baru segitu
kamu bilang amazing Nem?” Jodha
mengangguk, “itu belum seberapa bila dibandingkan denganmu. Aku harus mengejar
ketertinggalanku Nem. Siapa tahu kita bisa lulus bareng.” Ucap Jalal dengan
sebelah tangannya memegang cangkir teh dan sebelah tangannya mengusap rambut Jodha
dengan lembut. Gadis itu menjadi terharu dibuatnya, dia merasa hidupnya lebih
berarti sekarang ini. Tuan mudanya mau menuruti keinginannya yang sama sekali
bukan siapa-siapanya dia. Bolehkah dia bahagia sekarang?
“Kok nangis
Nem?” tanya Jalal dengan lembut ketika melihat mata Jodha berkaca-kaca. Jodha
menggeleng.
“Ah, nggak
kok Tuan. Sa-saya hanya ikut senang karena Tuan sudah mau belajar keras.” Jalal
tersenyum. Dia menyesap kembali tehnya. Di genggamnya tangan Jodha, gadis itu
hanya diam menatap tuan mudanya.
“Semua itu
karena kamu Nem. Kamu sudah memberi semangat untukku. Kamu sudah membuka mataku
untuk lebih bersyukur dan menghargai hidup ini, meski aku punya segalanya.”
Jodha menggeleng.
“Itu bukan
karena saya Tuan, itu semua dari diri Tuan sendiri. Orang lain hanya bisa
menyarankan, tetapi Tuan sendiri yang harus menjalaninya.”
“Tetap saja
kamu yang sudah memberikan motivasi untukku, sehingga aku sadar selama ini aku
terlalu menyia-nyiakan waktuku hanya untuk sesuatu yang tidak bermanfaat.”
Jodha terkekeh.
“Yah,
baiklah. Kalau Tuan ngotot ngomong gitu ya nggak masalah. Saya terima, dan saya
merasa tersanjung mendengarnya.” Jalal mendengus.
“Kamu ini.
Selalu saja merusak suasana. Gimana sih? Giliran ngomong serius, kamu becanda.
Giliran diajak romantis, pikiranmu malah horor.” Omel Jalal yang ditanggapi
dengan senyuman oleh Jodha.
“Yah,
beginilah saya Tuan. Apa adanya saya.”
“Gimana
lagi? Harus terima Inem model begini.” Ucap Jalal pasrah seolah teraniaya.
Kembali Jodha tertawa.
“Ehem...ehemm...”
terdengar suara deheman dari arah dalam. Keduanya serentak menoleh. Nampak Bu
Hamidah berdiri memandangi mereka berdua sambil bersidekap. Bibirnya seolah
menyembunyikan senyumnya.
“Mama...”
“Ibu...”
Ucap
keduanya bersamaan. Tak pelak, suasana
menjadi canggung. Jodha langsung berdiri dan tertunduk malu, namun Jalal hanya
tersenyum seolah tidak terjadi apa-apa.
“Kenapa? Kok
kaget?” tanya Bu Hamidah duduk ditempat Jodha tadi, karena Jodha bergeser agak
menjauh.
“Nggak
apa-apa Ma.”
“Terus, kok
kayaknya seperti orang ketangkap basah gitu?” tanya Bu Hamidah. Dia memandangi
keduanya bergantian. Jodha semakin merasa malu, namun Jalal bersikap biasa
saja.
“Kan Mama
munculnya tiba-tiba, jadi wajarlah kalau kaget. Gimana sih mama ini?” Bu
Hamidah tersenyum. Dia menoleh ke arah Jodha.
“Jo,
bikinkan ibu teh ya, sekalian kalau ada kuenya juga.” Jodha mengangguk.
“Baik Bu.”
Ucap Jodha berniat membalikkan badannya, ingin secepatnya meninggalkan tempat
itu., namun lagi-lagi majikannya memanggil.
“Jo,...”
“Ya Bu?”
“Tolong
nanti antarkan ke halaman belakang ya, sekalian temani Ibu ngobrol.” Sekilas
kening Jodha berkerut, namun tidak lama dia mengangguk.
“Baik Bu.”
Kembali
Jodha melangkah meninggalkan kedua majikannya itu menuju dapur untuk menyiapkan
pesanan Bu Hamidah.
Sementara
itu, Bu Hamidah yang tinggal berdua dengan Jalal menatap anaknya yang masih
meminum tehnya sampai habis. Pandangannya beralih ke buku-buku yang ada diatas
meja. Benar-benar bukan Jalal yang biasanya dia kenal dulu.
“Mama
kenapa?” tanya Jalal. Bu Hamidah menggeleng. Dia tersenyum.
“Mama cuma
merasa senang sayang.” Ucap Bu Hamidah. Tangannya bergerak mengusap kepala
anaknya. Kalau biasanya jika mendapat perlakuan seperti itu, Jalal langsung
berbaring di pangkuan mamanya, tapi sekarang tidak lagi. Dia hanya diam dan
tersenyum ketika kepalanya dielus oleh sang mama.
“Senang
kenapa Ma?”
“Mama
senang, anak mama sekarang sudah lebih dewasa dan mandiri.”
“Oh ya?” Bu
Hamidah mengangguk, “kok Mama bisa ngomong gitu? Emang kelihatan ya Ma?” sekali
lagi Bu Hamidah mengangguk.
“Jelas saja
kelihatan, ini salah satu buktinya” ucap Bu Hamidah menunjuk buku-buku Jalal,
“biasanya kan mana pernah kamu bawa buku sebanyak ini. Bahkan mungkin bawa satu
buku saja nggak pernah.” Jalal hanya nyengir mengingatnya. Ya, dia dulu memang
paling malas kalau disuruh bawa buku. Tetapi sekarang lihatlah, buku yang lebih
tebal malah dia bawa pulang.
“Mama pengen
tahu, apa yang sudah membuat anak Mama berubah?” pancing Bu Hamidah. Jalal hanya
mesam-mesem saja. Walaupun mulutnya sudah gatal ingin mengatakannya, namun
janjinya kepada Inem harus dia tepati.
“Hm...gimana
ya Ma?” ucap Jalal meringis sambil mengusap tengkuknya.
“Memangnya
kenapa?”
“Soalnya,...soalnya,
aku sudah janji nggak boleh ngomong Ma.” Bu Hamidah mengangguk. Dia bukan tidak
mengerti dan tidak tahu, hanya saja dia ingin mendengar sendiri langsung dari
mulut Jalal. Tetapi rupanya dia tidak bisa memaksanya.
“Ya sudah,
mama nggak akan memaksa kamu ngomong kok. Hanya saja, mama harap kamu
bersungguh-sungguh dengan niatmu untuk berubah. Mama sama Papa akan selalu
dukung kamu sayang.”
“Iya Ma, aku
ngerti kok. Makasih ya Ma.” Bu Hamidah mengangguk.
“Ya sudah,
sekarang kamu mandi dulu sana. Biar capekmu hilang. Mama mau ke belakang dulu,
mau tes psikologi calon mantu Mama.” Ucap Bu Hamidah mengedipkan matanya sambil
menepuk bahu Jalal.
“Hah? Maksud
Mama?”
“Sudah.
Nggak usah kepo. Mandi dulu sana.” Kata Bu Hamidah beranjak meninggalkan Jalal
yang bengong memikirkan ucapan mamanya tadi. Namun akhirnya dia juga
meninggalkan tempat itu dengan membawa serta buku-buku dan ranselnya.
Sementara
itu di gazebo, Jodha duduk sendiri. Tatapannya tidak lepas dari ikan-ikan yang
berenang kian kemari dalam kolam. Dia bersandar di tiang gazebo menunggu kedatangan
majikannya, Bu Hamidah.
“Kok melamun
Jo?” tegur Bu Hamidah menepuk bahunya. Jodha tersenyum.
“Eh Ibu,
nggak kok Bu.”
“Gimana
kabar kuliah kamu, Jo?” tanya Bu Hamidah basa-basi dan duduk berhadapan dengan
Jodha. Dia menyesap tehnya.
“Baik Bu,
mungkin satu semester lagi selesai.”
“Oh ya?
Nggak kerasa ya, sudah mau selesai aja.” Ucap Bu Hamidah manggut-manggut,
“rencanamu kalau sudah selesai kuliah, mau melanjutkan kemana Jo?” sesaat Jodha
terdiam. Dia jadi tidak enak dengan majikannya, “kamu nggak mau melanjutkan ke
pasca sarjana?”
“Sa-saya,
masih belum tahu Bu.” Bu Hamidah mengangguk.
“Gitu
ya?”gumamnya. Kembali dia menyesap tehnya.
“Hm,
Bu...gimana seandainya,...” Jodha berkata dengan gugup, dia tidak enak hati
dengan majikannya itu, “seandainya saya nanti mencari pekerjaan sesuai dengan
pendidikan saya,... boleh?” tanya Jodha dengan dada berdebar. Bu Hamidah
tersenyum.
“Kamu nggak
betah tinggal disini Jo?” pancing Bu Hamidah.
“Bu—bukan
seperti itu Bu. Jujur, saya betah tinggal disini. Tapi,...”
“Tapi
kenapa? Malah sebenarnya ibu mau menyarankan agar kamu bisa melanjutkan ke S2,
sekalian kamu bisa melamar jadi dosen di universitas Ibu. Ibu pikir kamu punya
banyak potensi untuk menjadi pengajar di sana.” Jodha melongo mendengar ucapan majikannya.
Dia tidak menyangka Bu Hamidah akan berkata seperti itu.
“Sa-saya
Bu?” Bu Hamidah mengangguk, “Ibu nggak salah?” Bu Hamidah tersenyum.
“Kenapa?”
Jodha menunduk.
“Saya nggak
enak sama Ibu. Ibu sama Bapak sudah banyak menolong saya, sudah ngasih saya
kerjaan juga sampai saya bisa menimba ilmu di tempat Ibu.” Jawab jodha
malu-malu. Bu Hamidah tersenyum, dia bergerak mendekati Jodha dan duduk di
sampingnya.
“Nggak usah
sungkan gitu Jo. Ibu sama Bapak sudah anggap kamu seperti anak sendiri. Berkat
kamu juga, anak Ibu, Jalal, sekarang banyak berubah. Dia tidak lagi
menghabiskan malam dan hari-harinya hanya untuk bersenang-senang. Dia sekarang
mulai rajin kuliah. Itu karena kamu. Dan hanya kamu yang bisa membantah dia, ujung-ujungnya
malah dia yang nurut sama kamu.” Jodha tertawa pelan.
“Ibu bisa
saja. Saya juga baru menyadari, betapa lancangnya saya sama Tuan muda.” Bu
Hamidah ikut tertawa.
“Tidak
apa-apa Jo, selama yang kamu bantah itu benar, kamu jangan takut.”
“Iya Bu.
Tapi, tetap saja saya nggak enak.” Bu Hamidah tersenyum sambil menggeleng
pelan.
“Kamu tuh
ya, selalu saja seperti itu. Kamu bisa anggap Ibu sama Bapak sebagai orang tua
kamu sendiri. Kami suka kamu tinggal disini, rasanya rumah jadi lebih ramai.
Nggak kayak dulu, rumah sepiiii...banget, semua sibuk sama urusan
masing-masing. Apalagi Jalal, bertemu kami dalam seminggu paling banyak dua
atau tiga kali.” Ucap Bu hamidah menghela nafas panjang, “tapi, setelah kamu
tinggal disini, kamu bisa lihat, kita bisa sarapan bareng dan makan malam bareng.
Apa itu bukan sesuatu yang membahagiakan bagi kami sebagai orang tuanya.” Ucap
Bu Hamidah tersenyum sumringah. Jodha menjadi terharu mendengarnya. Ternyata
orang baik masih banyak dimana-mana tanpa melihat status dan juga latar
belakangnya.
“Makasih Bu.
Saya tidak tahu harus bagaimana membalas kebaikan Ibu sama Bapak.”
“Tidak usah
berterima kasih Jo, Ibu sama Bapak tidak merasa terbebani kok. Dan kamu bisa
pikir-pikir dulu tawaran Ibu tadi. Masih banyak waktu untuk memikirkannya
masak-masak.” Jodha mengangguk.
“Iya Bu,
saya akan mempertimbangkannya.”
“Baguslah
kalau begitu.” Ucap Bu Hamidah tersenyum.
Dari pintu
belakang, muncul Bi Ijah menghampiri mereka berdua dengan langkah tergesa-gesa.
“Ada apa
Bi?” tanya Bu Hamidah.
“Ng...anu
Bu, itu di depan ada temannya Jodha.” Jodha mengerutkan keningnya.
“Siapa Bi?”
tanya Jodha heran. Rasanya belum ada temannya yang berani mengunjunginya,
karena memang banyak yang merasa sungkan.
“Itu,...
siapa ya tadi namanya? Katanya kamu sudah kenal banget sama dia.” Jodha semakin
heran.
“Laki-laki
atau perempuan Bi?” tanya Jodha dengan tidak sabar.
Belum lagi
Bi Ijah menjawab, dari pintu belakang muncul sosok yang sangat dikenal oleh
Jodha.
“Jodhaaaaa...!”
Seorang
gadis muncul menyusul Bi Ijah. Siapa lagi kalau bukan Nadia. Tanpa disuruh dia
langsung menerobos masuk ke belakang. Bi Ijah saja sampai terbengong
melihatnya. Sampai Jodha merasa malu terhadap majikannya, namun Bu Hamidah
hanya tersenyum geli. Penampilan gadis itu terlihat tomboy sekali, jauh dari
unsur perempuannya. Dengan sendal jepit, celana jeans yang robek di lututnya,
kaos oblong, memakai topi kebalik menutupi rambutnya yang diikat biasa saja dan
jam tangan besar nempel di tangannya, sedangkan di punggung juga menempel
ransel kecil.
“Nadia.
Nggak sopan tau.” Tegur Jodha melotot ke arah Nadia yang baru datang
menghampiri mereka. Gadis itu cengengesan.
“Hehe..maaf
Jo, habisnya kelamaan sih si Bibi manggilin kamu. Jadi ya, aku ikutin aja.”
Ucap Nadia menggaruk kepalanya. Dia melirik ke arah Bu Hamidah yang menatapnya
dengan tersenyum, “Eh, ini pasti Bu Bos ya? Maaf ya Bu Bos, saya tidak tahu
kalau Bu Bos ada disini.” Ucap Nadia berdiri dengan tidak enak hati. Dia tidak
menyangka kalau majikan Jodha ada ditempat itu juga.
“Tidak
apa-apa. Ibu senang ada teman Jodha main kesini. Duduk sini sayang.” Tawar Bu
Hamidah mengajak Nadia duduk di dekatnya. Nadia menurut. Dengan rasa percaya
diri, dia duduk di dekat Bu Hamidah.
“Nama kamu
siapa sayang?” tanya Bu Hamidah dengan lembut. Nadia segera mengambil tangan Bu
Hamidah, dan menciumnya.
“Kenalkan Bu
Bos, nama saya Nadia Putri Nurrahmania yang cantik berseri, rebutan para lelaki dan
menantu idaman hati.” Ucapnya dengan bangga. Jodha menepuk dahinya,
merasa sungkan dengan majikannya. Namun Bu Hamidah justru terkekeh. Dia merasa
suka dengan Nadia yang supel dan gampang akrab dengan orang lain.
“Nama yang
sangat bagus.” Puji Bu Hamidah, Nadia tersenyum senang, “Ibu panggil siapa nih
kalau namanya segitu panjangnya?”
“Panggil
Nadia aja, Bu Bos.”
“Oke. Nadia.
Nama yang bagus.”
“Makasih Bu
Bos.” Ujar Nadia kembali tersenyum. Tak perlu waktu lama, mereka berdua
terlibat pembicaraan yang santai. Jodha hanya menjadi pendengar, sesekali saja
dia menyela pembicaraan mereka. Sedangkan Bi Ijah sudah kembali ke dapur.
“Orang tua
kamu kerja apa Nad?” tanya Bu Hamidah lagi.
“Orang tua
saya hanya seorang pensiunan TNI, Bu Bos,” jawab Nadia.
“Oh ya?”
Nadia mengangguk, “kamu nggak ikut jejak ayah kamu?” Nadia menggeleng.
“Saya nggak
minat, Bu Bos. Cukup Abang Bayu saja yang ngikutin Ayah.” Bu Hamidah sedikit
tertegun mendengar nama abangnya Nadia. Dia seperti pernah mendengar nama itu.
“Nama Ayah
kamu siapa Nad?”
“Nama Ayah
saya, Letnan Jenderal Pramono Santoso?” Bu Hamidah terkejut.
“Benarkah?”
Nadia mengangguk dengan heran, “apa Ibu kamu, Nunik Pratiwi?” tanya Bu Hamidah
dengan tidak sabar.
“Kok, Bu Bos
tahu nama Ibu saya.” Bu Hamidah tersenyum senang.
“Jadi benar
kamu anaknya Mas Pram dan Mbak Nunik?” Nadia mengangguk, dia masih tidak
percaya kalau majikan Jodha mengenal orang tuanya. Bahkan Jodha pun ikut
bengong, “ya ampun sayang, jadi kamu Nadia adiknya Bayu itu ya?” Bu Hamidah
memeluk Nadia dengab gembira. Namun Gadis
itu tidak berkata apa-apa.
“Bu Bos
kenal orang tua saya?” Bu Hamidah mengangguk cepat. Dia melepaskan pelukannya.
“Tentu saja.
Oh ya, jangan panggil Bu Bos dong Nad, panggil Tante saja ya. Kedua orang tua
kamu itu sahabat kami sewaktu Ayahmu bertugas dulu di kalimantan. Waktu itu
kamu masih kecil, makanya kamu nggak ingat sama Tante. Kalau Bayu, Tante yakin
dia masih ingat sama kami.” Nadia masih bengong tidak percaya. Bukankah itu
kebetulan sekali namanya.
“I-iya Bu,
eh, Tante.”
“Ya ampun
Nadia, kamu dulu itu kecil banget. Ceking gitu. Sekarang malah jadi gadis yang
cantik.” Kata Bu Hamidah mencubit pipi Nadia. Gadis itu hanya nyengir.
“Namanya
juga dikasih makan tiap hari sama orang tua saya Tan, pastilah tambah gede.” Bu
Hamidah terkekeh.
“Kamu bisa
aja Nad.” Bu Hamidah berpaling ke arah Jodha yang hanya terdiam menonton mereka
berdua, “Jo, kok bisa sih temenan sama Nadia?”
“Bukan cuma
temenan Tan.” sela Nadia sebelum dijawab oleh Jodha. Bu Hamidah kembali menatap
Nadia dengan mengerutkan keningnya.
“Maksud
kamu?” Nadia bergerak mendekati Jodha dan merangkul bahunya.
“Dia ini,
saudara angkatku Tan. Ayah, Ibu, Abang sama aku juga sayang sama dia. Pengennya
sih, dia mau ku ajak tinggal dirumah
Ayah, tapi dianya nggak pernah mau. Di kasih uang saja sama Ayah dia nggak mau
kok. Nggak tau maunya apa tuh.” Ucap Nadia sambil menepuk bahu Jodha yang
terlihat sungkan dengan Bu Hamidah, sementara majikannya itu membulatkan
mulutnya dan mengangguk, tanda mengerti.
“Iya. Jodha
memang begitu Nad. Nggak pernah mau menerima pemberian cuma-cuma. Sama Tante
juga gitu.” Jodha tersenyum malu.
“Kalau
menerima cintanya anak Tante secara cuma-cuma, dia pasti mau tuh.” Bu Hamidah
terkekeh, sedangkan Jodha hanya menggeleng.
“Bisa di
coba tuh Nad.” Sahut Bu Hamidah, Nadia terkikik geli.
Bu Hamidah
memanggil Bi Ijah, tidak lama kemudian wanita itu muncul dan mendekati mereka.
“Iya Nya...”
“Bi,
panggilkan Jalal kesini ya.” Bi Ijah mengangguk.
“Baik Nya.”
Dia segera meninggalkan tempat itu.
“Kamu harus
ketemu Jalal, Nad. Kaliankan sudah lama nggak ketemu. Dia pasti senang ketemu
kamu.” Ucap Bu Hamidah dengan gembira.
“Nadia sudah
kenal dengan Tuan Muda kok Bu.” Sahut Jodha. Bu Hamidah kaget.
“Benarkah?”
keduanya mengangguk.
“Kok Tante
baru tau ya.”
Tak lama
kemudian, Jalal datang menghampiri mereka bertiga. Wajahnya segar karena habis
mandi. Dia duduk di samping Ibunya.
“Ganteng
banget Bang Bos,” celetuk Nadia ketika Jalal sudah mendaratkan pantatnya di
lantai gazebo. Pemuda itu terlihat kaget, tidak menyangka ada gadis usil itu
disitu. Namun sebentar kemudian raut wajahnya berubah normal kembali.
“Eh, ada
Nadia. Jelas dong, kapan aku terlihat tidak ganteng, hm?” sahut Jalal dengan
memegang kerah bajunya dan memainkan kedua alisnya ke arah Nadia. Nadia
mencibir. Jodha dan Bu Hamidah hanya menggelengkan kepala melihatnya.
“Ck. Sombong
sekali.”
“Kan memang
kenyataannya begitu? Tadi aja kamu bilang aku ganteng. Emang kalau aku ganteng
kenapa? Mau daftar?” ledek Jalal. Sebelum Nadia menyahut dia sudah kembali
menyombongkan dirinya, “tapi maaf, pendaftaran sudah ditutup.” Ucap Jalal
tertawa melihat wajah Nadianyang mulai kesal.
“Heh, Bang
Bos. Denger ya. Biarpun di dunia ini Bang Bos paling cakep, paling ganteng,
paling gagah, paling manis, dan paling sombong sendiri, aku TIDAK TER-TA-RIK.
Jadi jangan sok kecakepan di hadapanku.” Sungut Nadia dengan jengkel. Bukannya
marah, Jalal malah tergelak.
“Oh iya
lupa, kan yang paling ganteng, paling cakep, paling gagah, paling manis, cuma
Abang Man aja. Yang lain, lewaaatt...” kembali Jalal meledek Nadia.
“Bang
Bos,...” desis Nadia. Dia sudah bersiap-siap ingin menyembur Jalal dengan
kata-katanya ketika tangannya di pegang oleh Jodha agar dia menahan diri.
Dengan wajah ditekuk, akhirnya Nadia hanya bisa terdiam membuat ketawa Jalal
semakin panjang.
“Jalal,
sudah!” tegur Bu Hamidah, “kamu sudah bikin Nadia marah tuh.”
“Biar aja
dia marah Ma. Mukanya tambah lucu tuh. Hehehe...”
“Jalal!”
hardik mamanya agak keras.
“Iya Ma.
Maaf.” Akhirnya Jalal berhenti tertawa, namun senyum jahilnya masih terlihat.
“Maafin
Jalal ya Nad, dia memang usil.” Kata Bu Hamidah.
“Sudah tahu
kok, Tante. Bang Bos emang usil.” Jalal mencibir.
“Kayak kamu
nggak.” Jodha terkekeh.
“Jalal, Mama
bilang cukup!” wajah Jalal sedikit cemberut membuat Nadia memberikan senyum
kemenangan untuknya, “Jalal, kamu ingat nggak dengan tetangga disamping rumah
sewaktu kita di kalimantan dulu?” tanya Bu Hamidah. Jalal terdiam sembari
berpikir. Ketiga wanita itu menatapnya untuk menunggu.
“Tetangga
kita dulu Ma?” Bu Hamidah mengangguk.
“Iya. Yang
anggota TNI itu, yang punya seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan
kecil.” Jelas mamanya.
“Oh itu.
Kalau nggak salah namanya Om Pram ya Ma?” Bu Hamidah mengangguk dan tersenyum
gembira.
“Iya sayang.
Dan kamu ingat gadis kecil itu?”
“Oh, yang
hitam, ceking, cerewet, yang hobinya manjat pohon, terus gitu kalau berenang
suka telanjang itu ya Ma.” Jawab Jalal membuat wajah Nadia merah karena malu.
Jodha menahan ketawanya dengan menutup mulutnya menggunakan punggung tangannya
dan menunduk. Sementara Bu Hamidah menggelengkan kepalanya. Jalal yang belum
tahu tentang Nadia nampak acuh saja.
“Yeee,
telanjangnya ya jangan dibilangin juga kali Bang. Namanya juga masih kecil,
jadi wajarlah kalau telanjang.” Ucap Nadia membela diri.
“Biarin aja,
kenapa kamu yang sewot. Akukan nggak ngomongin kamu.” Kata Jalal tidak mau
kalah.
“Tapi yang
Bang Bos bilang itu memang aku, Bang. Tau nggak sih?”sahut Nadia kesal. Jalal
melongo. Dia menatap Nadia dengan rasa tidak percaya.
“Heh? Masa?”
Bu Hamidah dan Jodha serentak tertawa melihat ekspresi Jalal.
“Makanya
kalau ngomong itu dipikir dulu sayang.” Tegur Bu Hamidah. Jalal hanya
cengengesan saja, “benar kata Nadia tadi, gadis kecil itu ya Nadia ini
orangnya. Dan kakak laki-lakinya namanya Bayu. Kamu masih ingatkan?” Jalal
terkejut. Sungguh-sungguh terkejut. Dia tidak menyangka kalau gadis
dihadapannya ini adalah tetangganya dulu. Dan Bang Bayu? Ah, kenapa dia sampai
tidak kepikiran sampai kesitu.
“Ja-jadi,
Nadia ini...?” tunjuk Jalal masih dengan wajah terkejut. Mamanya mengangguk.
“Iya sayang.
Akhirnya kita bisa ketemu lagi. Mama senang banget.” Bu Hamidah memegang tangan
Nadia, “besok malam ajak kedua orang tuamu main kesini Nad. Kita makan malam
bareng ya.” Nadia mengangguk.
“Iya Tante,
nanti aku sampaikan kepada Ayah dan Ibu. Mereka juga pasti senang sekali.”
Sahut Nadia.
“Ya ampun
Nad, kamu sekarang sudah besar ya. Aku
nggak nyangka loh. Beda banget sama yang dulu.” Nadia memutar bola matanya.
“Ya iyalah
Bang Bos, kalau dari dulu sampai sekarang nggak berubah itu artinya nggak
tumbuh-tumbuh tau. Orang setiap hari di kasih makan, di kasih vitamin, di kasih
nasehat, dan lain-lain ya pasti berubahlah.” Sungut Nadia. Jalal terkekeh.
“Bener-bener
nggak nyangka, kamu sudah tumbuh jadi gadis cantik begini.” Puji Jalal tanpa
sadar. Seketika senyum jahil Nadia terbit dari bibirnya.
“Iya dong,
kapan aku terlihat tidak cantik?” katanya membalikkan omongan Jalal tadi, “mau
daftar? Tapi maaf, pendaftaran sudah tertutup.” Balasnya sambil tertawa. Jalal
yang jengkel menghampirinya, membuka topinya dan mengacak rambutnya sampai
berantakan sekali. Membuat Nadia mencak-mencak tidak karuan. Kembali Bu Hamidah
dan Jodha hanya bisa menggeleng melihat keduanya.
“Bang Bos,
lihat nih, rambutku rusak. Nyebelin banget sih.” Sungut Nadia membenarkan
rambutnya yang berantakan. Jalal terkekeh.
“Salahnya
menjiplak kata-kataku. Lagian siapa juga yang naksir sama kamu.” Nadia tidak
jadi marah, kembali senyum usilnya mengembang.
“Aku tahu
kok, kalau Bang Bos nggak bakalan naksir aku.” Goda Nadia, membuat Jalal
tergagap. Nadia tertawa senang, dia berpaling ke arah Bu Hamidah, tangannya
memegang tangan Jodha, “Tan, aku mau promosiin saudaraku ini, Dia multitalenta
loh, dia bisa apa saja. Bisa jadi juru masak, tukang kebun,...” Bu Hamidah
terkekeh mendengarnya, “jadi babysitter juga bisa Tan, bahkan nih ya Tan, dia
bisa jadi satpam. Hebat nggak itu Tan.” Bu Hamidah tergelak mendengarnya. Jodha
hanya memijat pelipisnya mendengar ucapan Nadia, “dia ini cocok banget loh Tan,
jadi menantu idaman.” Promosi Nadia.
“Nggak usah
di dengar Bu, Nadia ini sering ngomong ngawur kok Bu.” Elak Jodha merasa tidak
enak hati.
“Tidak
apa-apa Jo, beneran jadi menantu Ibu juga nggak apa-apa tuh.” Sahut Bu Hamidah
tersenyum, membuat wajah Jodha memerah. Jalal yang mendengar ucapan mamanya
merasa senang sekali, meski itu hanya disimpan dalam hatinya saja. Justru yang
terlihat bahagia malah Nadia. Gadis itu bersorak tanpa rasa sungkan.
“Yeeyy, Jo.
Tante Hamidah dengan senang hati menerima kamu sebagai menantunya. Yah,
walaupun aku sedikit tidak rela sih kamu mendapatkan Bang Bos.” Ucap Nadia
pura-pura melirik Jalal yang cemberut mendengar ucapannya.
“Kamu kok
sentimen banget sama aku Nad? Kayaknya nggak ada bagus-bagusnya deh aku
dimatamu.” Kata Jalal mengusap dadanya.
“Cieee...,
pura-pura memelas, padahal dalam hatinya senang dan bahkan joget koprol mungkin
saking bahagianya. Hayooo...ngaku aja deh Bang. Ya kan? Ya kan?” desak Nadia
memainkan kedua alisnya. Jalal terkekeh.
“Tau aja
kamu Nad, kalau hatiku lagi bahagia?” Nadia langsung mengangkat dagunya,
memandang Jalal dengan tatapan meremehkan, sedangkan tangannya bersidekap di
depan dada.
“Ya tau lah,
Nadia gitu loh. Apa yang aku nggak tau Bang Bos, dari tatapan penuh
cintamu saja aku sudah tahu, apalagi
dari bahasa tubuhmu yang lain, ucapanmu yang sungguh menyentuh. Membuat aku
yakin seyakin-yakinnya kalau hatimu sedang ada tanda cinta berhamburan.”
“Cerewet.” Dengus Jalal. Bukannya marah, Nadia justru
tertawa terbahak-bahak mendengarnya. Jodha dan Bu Hamidah hanya bisa kembali
menggeleng melihat keduanya. Nadia memang nggak ada matinya kalau masalah
bicara dengan orang.
Tidak terasa
hari menjelang malam, Nadia pamit pulang serta berjanji besok malam akan datang
bersama kedua orang tuanya dan juga keluarga abangnya.
****
Keesokan
harinya sepulang dari kantornya, Bu Hamidah dibantu oleh Jodha dan Bi Ijah
nampak sibuk. Mereka menyiapkan hidangan untuk menyambut keluarga Nadia. Bu
Hamidah nampak bersemangat sekali, bahkan dia memasak sendiri hidangan yang
akan disuguhkan nanti untuk tamu.
Sejumlah
hidangan sudah siap di meja makan hasil kerja keras mereka bertiga, Bu Hamidah
nampak puas. Setelah selesai memasak dia mengajak Jodha bersiap untuk menyambut
Nadia dan keluarganya. Jodha merasa senang, karena orang tua angkatnya akan
datang. Sudah lama dia tidak pernah bertemu dengan mereka. Karena biasanya
setiap kali Jodha berkunjung kesana, orang tua angkatnya tidak pernah ada.
Sehingga pertemuan ini juga merupakan hal yang ditunggunya.
Seperti yang
dijanjikan sebelumnya, jam delapan malam Nadia dan keluarganya akhirnya datang
juga. Pak Humayun dan Bu Hamidah menyambut mereka dengan hangat. Karena sudah
belasan tahun mereka tidak pernah bertemu lagi. Ya, semenjak Pak Pram di pindah
tugaskan ke daerah lain. Ke empat orang itu berpelukan melepas rindu, setelah
sekian lama berpisah.
“Ini pasti
Bayu ya?” tanya Pak Humayun melihat ke arah Bayu.
“Iya Om,”
Bayu mencium tangan Pak Humayun.
“Wah, Om nggak
nyangka Bay, kamu sudah setinggi ini. Om saja kalah tinggi nih.” Bayu terkekeh.
“Om bisa
saja,” Bayu memperkenalkan istri dan anaknya, “kenalkan ini Salima istri saya,
dan ini Rahim anak saya.” Salima menyalami Pak Humayun, begitu juga dengan
Rahim, anaknya.
“Ya ampun
Bay, tau-tau pas ketemu kamu malah sudah punya bontot nih.” Bayu tertawa.
“Kan sudah
lama Om, saya menikah semenjak saya lulus dari akmil.”
“Oh ya? Jadi
kamu mengikuti jejak Ayah kamu.” Bayu mengangguk.
“Iya Om.”
“Baguslah
kalau begitu. Oh ya Bay, kira-kira kamu mau tidak melatih Jalal.” Bayu
mengerutkan keningnya.
“Melatih
bagaimana Om?”
“Ya, melatih
untuk lebih disiplin dengan waktu, disiplin sikap, dan sebagainya. Karena dia
yang akan menggantikan Om nantinya memegang perusahaan. Kalau masih seperti
sekarang, Om belum bisa menyerahkan kursi kepemimpinan kepadanya, bisa-bisa
perusahaan yang sudah Om dirikan selama bertahun-tahun akan bangkrut.” Bayu
tertawa, bahkan Ayahnya juga tertawa.
“Baiklah Om,
akan saya coba. Tapi, apa Jalalnya mau Om? Saya nggak enak nih, takut dikira
memaksakan kehendak.”
“Kamu tenang
aja, kalau itu biar Om nanti yang urus.”
“Iya Om.
Saya tunggu kabar dari Om.”
Tidak lama
Jalal muncul di ruang tamu, dibelakangnya menyusul Jodha. Pak Pram dan Bu Nunik
terlihat terkejut.
“Loh, Jo.
Kamu tinggal disini?” tanya Bu Nunik dengan heran. Begitu juga dengan Pak Pram.
Hanya Bayu, Nadia dan Salima saja yang tidak terkejut, karena memang mereka
sudah tahu. Jodha menyalami keduanya dan
tersenyum serba-salah.
“I-iya Bu,
Yah. Saya kerja disini.” Jawab Jodha sambil meringis. Tidak enak dengan
majikannya itu.
“Iya Mbak,
Mas, Jodha saya ajak tinggal disini. Tapi, dia tidak mau kalau tidak di beri
kerjaan. Akhirnya ya saya jadikan sopir pribadi saya saja.” Orang tua Nadia
mengangguk tanda mengerti.
“Memang dia
ini susah sekali Dek, berapa kali dia diajak Nadia tinggal dirumah kami, dia
tidak mau. Takut nyusahin katanya. Emang siapa yang susah, justru malah kami
senang.” Jelas Bu Nunik. Bu Hamidah tertawa.
“Biar dia
disini aja Mbak, sekalian jadi menantu saya.” Canda Bu Hamidah, sontak membuat
semuanya tertawa, sedangkan Jodha hanya menunduk malu. Jalal melirik dengan
tersenyum bahagianya melihat Inemnya begitu disayang oleh orang tuanya dan juga
keluarga Nadia, “ini Jalal Mbak, Mas. Masih ingatkan?” ujar Bu Hamidah
memperkenalkan anaknya. Jalal menyalami suami istri itu.
“Ternyata
kamu sudah besar, Jalal. Ganteng lagi.” Puji Bu Nunik. Jalal tersenyum malu,
(tumben malu, biasanya sombong. Hehe...), “tapi Tante harap kamu nggak jadi laki-laki
playboy ya.” Sambung Bu Nunik lagi.
“Terlambat
Bu, dia sudah jadi playboy tuh. Tapi sudah insyaf kayaknya.” Celetuk Nadia yang
sedari tadi bermain bersama Rahim. Jalal mendelik ke arahnya, dan dibalas gadis
itu dengan terkekeh puas.
“Oh ya?
Tapi, syukurlah kalau sudah insyaf. Jangan diteruskan, itu kebiasaan yang nggak
baik.” Pesan Bu Nunik. Jalal mengangguk.
“Iya Tan,
nggak lagi kok.”
“Baguslah
kalau begitu.” Ucap Bu Nunik tersenyum.
Bu Hamidah
mengajak para tamunya untuk makan malam bersama. Kali ini rumah Jalal terasa
sangat ramai. Apalagi di tambah celetukan Nadia yang terkadang membuat Jalal
menjadi geram. Namun dengan santainya dia hanya tertawa. Nadia tersenyum puas
malam ini karena sudah membuat Jalal tidak berkutik karena ada kedua orang tuanya.
***
Sejak saat
itu, Nadia jadi sering bermain ke tempat Jalal. Kemana lagi kalau bukan untuk
menemui Jodha. Bukan itu saja, bahkan mamanya Jalal meminta agar Nadia sering
datang kerumahnya. Tentu saja di setujui oleh gadis itu, bahkan dia jadi sering
menginap di tempat Jodha.
Malam
minggu, Nadia meminta ijin kepada Bu Hamidah ingin mengajak Jodha jalan-jalan.
Bu Hamidah mengijinkan, asalkan jangan pulang terlalu malam. Namun, Jalal tidak
memperbolehkan karena dia juga akan mengajak Jodha keluar. Seperti biasa,
terjadi lagi perdebatan antara keduanya. Akhirnya, Jodha yang menengahi dengan
mengajak keduanya jalan atau tidak usah berangkat sama sekali. Dengan terpaksa
mereka berdua menyanggupi.
Dan,
disinilah mereka bertiga. Disebuah pasar malam. Awalnya Jalal yang cemberut
karena diajak ke tempat seperti itu. Tempat yang tidak cocok sama sekali untuk
anak muda, katanya. Tetapi Nadia ngotot ingin di tempat itu. Akhirnya Jalal pun
mengalah. Namun, kemudian senyum kemenangan Nadia memudar ketika dia melihat Mansingh
juga berada di tempat itu juga. Siapa lagi yang memberitahukan selain Jalal.
Nadia mendecak jengkel kepada pemuda itu. Mengganggu kesenangan orang saja,
omelnya. Namun, bukan Mansingh namanya kalau sampai tersinggung, dia malah
tersenyum bahagia.
“Ayo beb,
kita jalan berdua saja. Biar Jodha sama Bang Bos. Kasihan mereka berdua di
ganggu.” Kata Mansingh menunjuk Jalal dan Jodha yang sedang berbincang tidak
jauh dari tempat mereka berdua berada. Nadia terdiam, sebenarnya dia kasihan
juga melihat Jodha yang sepertinya senang jalan berdua dengan Jalal. Namun,
seperti biasa dia tidak pernah egois dan selalu menuruti keinginan Nadia. Dia
menjadi merasa bersalah, akhirnya dia pun mengangguk.
Mansingh
tersenyum senang, malam ini bisa berduaan dengan gadisnya. Dia menyodorkan
lengannya, dengan mulut mengerucut akhirnya Nadia menerimanya juga. Dia
melingkarkan tangannya di lengan Mansingh, dan bergayut manja. Mereka berdua
berjalan berlawanan arah dari Jodha dan Jalal, sengaja membiarkan keduanya
menikmati malam.
“Nadia sama
Man kemana ya Tuan? Kok nggak kelihatan?” tanya Jodha celingukan mencari sosok
Nadia dan Mansingh. Jalal berdecak.
“Ngapain
ngurusin mereka? Biarkan saja kenapa Nem? Lagian mereka bisa jaga diri, kita
nikmati saja malam ini ya.” Jodha tersenyum, namun wajahnya sedikit memerah.
Entahlah, apa Jalal melihatnya atau tidak. Yang pasti dia menggenggam tangan
Jodha dan mengajaknya jalan-jalan berkeliling tanpa membeli apa-apa. Karena
memang perhatiannya bukan di acara itu, melainkan pada gadis cantik yang
disampingnya.
“Nem, kamu
laper nggak?”
“Sedikit.
Kenapa Tuan?”
“Itu ada
jagung bakar, makan di sana yuk.” Ajak Jalal menunjuk ke arah pedagang jagung
bakar. Jodha mengangguk.
“Boleh.
Ayo!”
Mereka
berdua memesan jagung bakar dan menikmatinya di kursi kayu yang sudah
disediakan, seakan lupa dengan orang sekelilingnya.
“Ternyata
asyik juga ya Nem, jalan di tempat seperti ini.” Jodha mencibir.
“Tadi nolak
diajak Nadia kesini. Nggak cocok sama anak muda katanya.” Jalal terkekeh.
“Itukan tadi
Nem, waktu ada Nadia. Sekarang cuma sama kamu ya aku suka aja. Pokoknya dimana
pun kalau sama kamu, ya aku pasti suka kok.” Jodha memutar bola matanya.
“Mulai lagi
nih Tuan, susah kalau emang sudah punya bakat ngerayu ya.”
“Kamu kok
nggak suka banget aku rayu Nem? Kenapa?” Jodha membuang tangkai jagung yang
sudah habis ke tempat sampah.
“Entahlah
Tuan, mungkin karena saya tidak terlalu suka basa-basi, makanya saya geli
mendengarnya. Perut saya rasanya seperti diaduk-aduk setiap kali mendengarnya.”
Spontan Jalal terbahak. Dia menggelengkan kepala di sela tertawanya. Gadisnya ini memang unik sekali. Terbalik sih
sebenarnya. Seharusnya dan umumnya yang suka dirayu itu adalah perempuan,
tetapi ini malah tidak suka.
“Nem,” Jodha
menoleh.
“Ya,...”
“Kamu
dengarkan ucapan Mama waktu bertemu dengan Om Pram waktu itu?” Jodha
mengerutkan keningnya.
“Ucapan yang
mana Tuan?”
“Yang Mama
bilang, kalau Mama ingin kamu jadi menantunya.” Jodha tersipu, “bukankah itu
artinya hubungan kita direstui.” Ucap Jalal dengan lembut. Di genggamnya tangan
Jodha, “aku harap kamu nggak meragukan cintaku Nem.”
“Apa Tuan
benar-benar yakin mencintai saya sedalam itu?”
“Kenapa kamu
ngomong gitu?” tanya Jalal heran. Jodha mendesah.
“Sa—saya
takut kalau itu cuma perasaan sesaat Tuan saja. Dan saya belum siap sakit hati
untuk masalah cinta, Tuan.” Jalal tersenyum, kini kedua tangannya menggenggam
tangan Jodha.
“Kamu tenang
aja Nem, biar waktu yang akan membuktikannya. Kamu akan lihat kalau aku
bersungguh-sungguh mencintai kamu, apa adanya kamu, bahkan dengan
ketidakromantisan kamu itu.” Jodha terkekeh.
“Ah, Tuan
bisa aja. Ayo kita pulang sekarang, sudah malam.” Ucap Jodha beranjak dari
duduknya. Jalal hanya bisa berdecak pasrah.
“Ck. Selalu
saja menghindar.” Gerutunya. Jodha hanya tersenyum mendengar gerutuan tuan
mudanya.
Keduanya
berjalan menuju tempat dimana jeep Jalal terparkir, karena mereka janjian
dengan Nadia dan Mansingh bertemu di tempat itu.
Entah
mengapa, perasaan Jodha seperti ada yang mengikuti mereka berdua. Berkali-kali
dia menoleh kebelakang, tetapi tidak menemukan apa-apa.
“Kamu kenapa
Nem?” tanya Jalal heran.
“Entahlah
Tuan, saya merasa ada orang yang mengikuti kita.”
“Oh ya?
Siapa?” tanya Jalal ikut celingukan melihat kebelakang, namun tidak ada yang
membuatnya curiga.
“Ya, mana
saya tau Tuan. Ah, mungkin hanya perasaan saya saja kali. Ayo kita pulang
saja.” Ajak Jodha, Jalal mengangguk meski dia juga penasaran. Mereka berdua
mempercepat langkah menuju dimana mobil Jalal berada. Karena memang lokasi
parkir dengan pasar tersebut agak jauh. Dan Jodha merasa kalau yang mengikuti
dia tidak Cuma satu orang, tapi beberapa. Namun dia diam saja, seolah tidak
peduli.
Benar saja,
ketika melewati jalan yang agak sepi mereka berdua dihadang oleh beberapa orang
yang berpakaian preman. Kedua tangan mereka saling menggenggam. Jalal, walaupun
agak ciut nyalinya melihat ada 5, oh tidak, ada 6 orang itu tersenyum-senyum di
hadapan mereka berdua.
“Apa mau
kalian?” tanya Jalal dengan tenang.
“Apa mau
kami?” ucap salah seorang yang menjadi pimpinannya itu, “kami tidak ingin
macam-macam Bung, kami cuma ingin gadis itu.” Katanya sambil menunjuk Jodha.
“Siapa
kalian jadi berani berkata seperti itu?” mereka justru tertawa.
“Kau tidak
perlu tahu siapa kami Bung, serahkan saja gadis itu baik-baik. Dan kamu bisa
mencari yang lebih cantik dari dia lagi.” Kata preman itu dengan santainya,
membuat rahang Jalal mengeras, tangannya yang menggenggam tangan Jodha ikut
menggenggam keras. Jodha merasakan itu.
“Jangan
pernah mimpi untuk mendapatkan gadisku ini.” Bentak Jalal. Pimpinan preman itu
tersenyum sinis.
“Oh ya? Mari
kita lihat, sampai seberapa keberanianmu Bung.” Jawab Bos preman yang terlihat
seperti bukan preman malah, “ayo anak-anak, hajar dia tetapi jangan sampai
gadis itu terluka.” Perintahnya. Anak buahnya maju, sedangkan dia mundur.
Jodha
mendorong Jalal kebelakang, dan dia yang maju menghadapi kelima preman yang
maju itu.
“Tuan,
tunggu saja di belakang. Biar saya yang hadapi mereka.” Kata Jodha tanpa
menoleh ke arah Jalal.
“Tapi Nem,
apa kamu sanggup menghadapi mereka sebanyak itu?” tanya Jalal dengan rasa
was-was. Apalagi kalau bukan takut terjadi apa-apa dengan keselamatan Inemnya
itu.
“Tuan tenang
saja, percayakan kepada saya. Sekarang Tuan mundur dulu ya.”
“Baiklah.”
Dengan terpaksa Jalal mundur sedikit untuk memberi jarak kepada Jodha
menghadapi mereka. Kini Jodha berdiri dengan tenang menghadapi kelima preman
itu yang masih tertawa-tawa melihat Jodha.
“Wah,
ternyata dia takut juga sama kita ya? Ayo Neng, ikut Abang menemui Bos. Abang
yakin Neng pasti senang. Bos Abang kaya lo Neng.” Kata salah satu preman itu,
dan disahut dengan tertawaan yang lain. Jodha hanya tersenyum tipis
mendengarnya.
“Boleh Bang.
Asalkan Abang sanggup membawa saya menemui Bos Abang.” Jawab Jodha dengan
enteng. Kelima preman tadi masih senyum-senyum mendengar ucapan Jodha.
Sementara
itu Mansingh dan Nadia juga sudah sampai ditempat itu, Nadia memegang sekotak
popcorn dan memakannya sambil berjalan, sedangkan di tangan Mansingh memegang
sebotol minuman dingin. Mereka terkejut melihat Jodha berdiri berhadapan dengan
lima orang preman. Sementara Jalal berdiri agak jauh dengan wajah tegang.
“Wah, Beb.
Itu Jodha lagi ngapain ya?” Nadia berhenti memakan popcornnya.
“Kayaknya
Jodha mau dikeroyok nih Bang, wah seru nih pertunjukannya.” Ucap Nadia dengan
gembira, membuat dahinya di sentil oleh Mansingh, “ish, apaan sih Bang?”
katanya sembari mengusap-usap dahinya.
“Kamu itu
ya, teman lagi kesulitan gitu kamu malah bilang pertujukan seru. Bukannya
dibantu malah di tonton.” Omel Mansingh. Nadia nyengir.
“Kalau cuma
segitu sih, enteng aja buat Jodha. Lihat aja nanti. Ayo kita lihat dari dekat.”
Kata Nadia menarik tangan Mansingh. Mereka berdua mendekat. Setelah dirasa
cukup untuk jarak aman, Nadia naik di atas kap mobil yang ada diparkiran itu, entah mobil siapa, dan duduk dengan santainya
sambil menikmati popcorn. Tangannya terus memasukkan popcorn ke dalam mulutnya.
Mansingh hanya bisa menggeleng melihatnya.
Sementara
itu Jodha yang sedang menghadapi preman-preman itu, masih berdiri dengan
santainya. Tidak ada raut ketakutan di wajahnya.
“Beneran nih
Neng mau ikut Abang menemui Bos?” Jodha mengangguk.
“Beneran.
Kalau Abang bisa memaksaku.”
“Sayang
banget kalau gadis secantik Neng ini tidak mau ikut menemui Bos, dia sangat
kaya Neng. Hartanya nggak akan habis untuk bersenang-senang.” Kata preman yang
paling depan, tangannya menjulur ke arah wajah Jodha, bermaksud ingin
mengelusnya. Namun, sebelum tangan itu menyentuh wajah Jodha, tangannya sudah
di pelintir kebelakang oleh Jodha tanpa sempat dia berpikir lagi. Seketika dia
mengaduh dan berteriak kesakitan. Dia berusaha memberontak, namun pelintiran tangan
Jodha begitu kuat. Teman-teman preman itu seketika terkesiap melihat aksi cepat
Jodha. Jodha hanya tersenyum sinis.
“Bilang sama
Bos kamu itu, aku tidak perduli biar seberapa besar kekayaannya. Aku tidak
tertarik. Dan kalau dia ingin aku bersamanya, suruh dia menghadapiku sendiri.
Jangan menyuruh orang lain. Itu namanya pengecut. Mengerti.” Bentak Jodha
mendorong preman itu ke arah teman-temannya. Dengan sigap teman-temannya
menangkap laki-laki itu. Nampak wajahnya mengeras, menandakan kalau dia sudah
marah. Dia mengusap-usap lengannya yang dipelintir Jodha tadi.
“Rupanya
kamu tidak bisa dianggap remeh ya?” Jodha hanya mengangkat bahu saja, “baiklah,
kalau memang itu keinginanmu jangan menyesal kalau kami berlaku kasar
kepadamu.” Jodha tersenyum miring.
“Kita lihat
saja nanti. Lagian, apa pantes lima orang laki-laki mengeroyok seorang
perempuan? Apa tidak malu sama dengkul.” Ucap Jodha sambil meludah. Nadia yang
mendengar hanya terkekeh sambil terus menikmati camilannya. Namun, Jalal dan
Mansingh nampak tegang.
“Lama amat
Jo, udah mau habis nih popcornku. Nanti malah nggak seru lagi.” Seru Nadia,
Jodha hanya tersenyum mendengarnya.
“Baiklah,
bukan urusanmu pantes atau tidak pantes. Yang penting kami sudah melaksanakan
tugas kami. Ayo, tangkap dia.” Perintahnya kepada teman-temannya. Keempat
temannya maju dan mengepung Jodha. Gadis itu hanya menggelengkan kepala
melihatnya.
Preman yang
di depan Jodha maju, bermaksud untuk menangkap Jodha dari depan. Mungkin di
pikirannya Jodha tidak akan bisa berbuat banyak karena sudah di kepung oleh
teman-temannya. Begitu preman itu mengulurkan kedua tangannya ke arah Jodha,
dengan tenang Jodha menghindar kesamping kiri, dan siku tangannya menghantam
punggung preman itu dengan keras. Membuat dia jatuh terjerembab mencium kaki
temannya yang ada di belakang Jodha.
Nadia
tertawa terpingkal-pingkal melihatnya, “ya ampun Bang, emang situ pikir mau nangkap ayam apa pake jurus seperti itu? Nggak
kena kan? Kasihan. Ckck...” ucapnya sambil menggeleng. Mansingh dan Jalal tetap
tidak bersuara, mereka tegang dalam diam. Hanya Nadia yang terus berceloteh.
Preman tadi
bangkit dengan wajah yang semakin marah, dia mengusap tangannya yang lecet
terkena aspal. Sementara dua orang yang disamping segera maju bersamaan. Mereka
berdua mengayunkan tinjunya secara serentak. Sekarang mereka sudah tidak
main-main lagi untuk menangkap Jodha.
Jodha yang
diserang dari dua arah di sampingnya, hanya merendahkan tubuhnya kebelakang seperti
orang kayang sehingga tinju kedua orang tersebut saling bertemu. Alhasil karena
mereka memakai tenaga yang cukup besar, akhirnya mereka berdua berteriak
kesakitan akibat saling tinju. Ketawa Nadia semakin keras melihatnya, sekarang
dia malah memukul-mukul kap mobil yang di dudukinya saking merasa geli melihat
ulah para preman itu yang kini memegang tangan mereka masing-masing yang sakit
akibat saling tinju. Jodha terkekeh melihat ulah Nadia.
Sementara
dua orang yang tersisa menyerang satu persatu, ketika melihat kedua teman
mereka yang menyerang bersamaan kini terlihat kesakitan.
“Awas
dibelakangmu Jo,” teriak Nadia ketika orang yang dibelakang Jodha mulai
menyerang. Jodha dengan tenang menghindar sedikit kesamping, ketika orang
tersebut sudah dirasa dekat, dia segera memutar tubuhnya dengan satu kaki,
karena kaki satunya melayang menghantam tubuh bagian belakang laki-laki tersebut
dengan keras. Membuat laki-laki itu jatuh terjerembab dengan mulut mengeluarkan
darah segar.
“Ugh,...pasti
sakit sekali tuh?” ucap Nadia meringis ketika melihat kondisi preman itu. Jodha
masih berdiri di posisinya menatap preman tadi yang berusaha bangun dengan
susah payah. Tiba-tiba Nadia terkejut melihat satu preman yang tersisa
mengeluarkan sebuah pisau belati dan berniat ingin menyerang Jodha. Sudah tidak
sempat lagi untuk Nadia memperingati Jodha maka dia mengambil sebutir popcornnya
dan menyentilnya kearah preman tadi tepat di tangan yang memegang belati.
Kelihatannya
seperti sepele sentilan Nadia, namun efeknya belati yang ada di tangan preman
itu terlepas. Belum puas dengan satu sentilan, Nadia kembali menyentil
popcornnya ke arah leher preman itu tepat di tenggorokannya. Membuat preman itu
terbatuk-batuk dan terhuyung.
“Ups...sorry.”
ucapnya sambil menutup mulutnya yang tersenyum
Jodha
terkejut melihat belati yang sudah berada di atas aspal, yang terlepas dari
tangan preman itu.
“Makasih
Nad.” Serunya. Nadia tersenyum.
“It’s okay.”
Sahut Nadia mengacungkan jempolnya ke arah Jodha. Mansingh dan Jalal akhirnya
menarik nafas lega ketika melihat kelima preman itu terlihat tidak berdaya.
Sementara preman satunya yang tidak ikut menyerang, tidak terlihat lagi.
“Cuma segitu
kemampuan kalian untuk menangkapku, heh? Ayo bangun!” bentak Jodha. Mereka
berdiri dengan takut-takut sambil meringis kesakitan.
Dari arah
pojokan parkiran, sebuah mini van meluncur dengan cepat dan berhenti di depan
mereka, tanpa diperintah lagi mereka langsung masuk. Jodha hanya tersenyum
sinis melihatnya. Namun, pintu mini van yang tadi tertutup kini terbuka kembali
dengan cepat, dan seseorang keluar sebagian tubuhnya dengan tangan yang
mengacungkan sebuah pistol ke arah Jodha, tanpa sempat gadis itu berpikir lagi,
tiba-tiba....
Dorr...!
Pintu itu
tertutup kembali dengan cepat, dan mini van melesat kencang meninggalkan tempat
itu.
===TBC==
n/b. Maaf kalau penjabarannya kurang
memuaskan. Masih belum berpengalaman untuk menuliskan cerita yang disertai
kekerasan. Hehehe...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar