Menu

Jumat, 12 Februari 2016

BIARKAN AKU JATUH CINTA. PART. 16 (SAHABAT LAMA)


Kemarin ada yang nanya casting untuk Nadia siapa? Di foto itu ada Nadia, castingnya Maudy Ayunda. Semoga aja karakternya cocok ya.
Warning : terdapat adegan kasar. Kalau nggak kuat, bisa di skip aja. Makasih.

=====0000=====

Sore itu Jodha membuka pintu ketika tuan mudanya datang dari kampus. Wajahnya terlihat lelah sekali. Dia melangkah dengan lesu masuk ke dalam rumah. Di tangannya terdapat beberapa buah buku kuliahnya.
“Sore Nem.” Sapanya dengan suara pelan sambil mengacak rambut Jodha, ketika melewatinya.
“Sore juga Tuan.” Sahut Jodha dengan tersenyum manis. Dia berbalik mengikuti langkah tuan mudanya yang gontai menuju sofa diruang tamu dan menghempaskan tubuhnya. Berbaring, tanpa melepaskan sepatunya,  kedua kakinya di angkat di atas sofa. Salah satu tangannya di letakkan di dahi, matanya terpejam. Sepertinya dia benar-benar lelah. Jodha hanya tersenyum geli melihatnya.
“Tuan...” panggil Jodha pelan. Dia duduk di sofa dekat kepala tuan mudanya.
“Hm...” sahut Jalal tanpa membuka matanya.
“Kelihatannya Tuan capek banget.”
“Emang!”
“Kok bisa capek banget sih Tuan?” Jalal menghembuskan nafas lelah.
“Apalagi?, kalau bukan untuk memenuhi janjiku sama kamu.” Jodha mengerutkan keningnya.
“Janji? Janji apa Tuan? Dan apa hubungannya dengan kondisi Tuan yang capek ini?” masih dengan mata terpejam Jalal berdecak.
“Ya ampun Inem, padahal belum lama kamu ngomong minta aku belajar supaya lulus dengan tanganku sendiri.” Mulut Jodha membulat, dia mengerti, “masa masih nanya lagi sih?” Jodha terkekeh.
“Maaf Tuan, saya lupa. Karena nggak biasanya sih.”
“Ck. Kok bisa ya aku sampai suka sama kamu, Inem lelet.” Gumam Jalal. Matanya masih terpejam, kekehan Jodha semakin panjang.
“Siapa suruh Tuan suka sama saya?” Jalal mendengus, “saya bikinkan minum ya Tuan, siapa tahu capeknya berkurang.” Jalal mengangguk. Lagi malas ngomong. Jodha tersenyum maklum, dia segera beranjak dari tempat duduknya dan berjalan menuju dapur, untuk membuatkan secangkir teh hangat untuk tuan mudanya.
Tidak lama kemudian, Jodha datang membawakan secangkir lemon tea hangat dan berharap bisa sedikit mengurangi kelelahan majikannya. Jodha meletakkan tehnya di atas meja, sementara Jalal masih dalam posisi seperti semula, dalam keadaan mata terpejam. Jodha menggelengkan kepala melihatnya. Apa iya bisa secapek itu? Kayak orang habis nyangkul di ladang saja. Ck.
“Tuan.” Kata Jodha menggoyang pelan tangan tuan mudanya. Jalal membuka matanya, dia bangun, menurunkan kakinya dan duduk bersandar, dan Jodha juga duduk di sampingnya. Dia mengambilkan teh tadi dan menyerahkan kepada tuan mudanya, “ini minum tehnya, Tuan.”
Tanpa bicara Jalal mengambil teh itu dan menyesapnya pelan. Jodha hanya memandanginya seraya tersenyum. Jalal melirik sambil sesekali menyesap tehnya.
“Kamu kenapa senyum-senyum kayak gitu Nem?” Jodha menggeleng.
“Nggak kok Tuan. Hanya saja saya baru melihat Tuan secapek ini. Dan, bawaan Tuan sebanyak ini.” Ucap Jodha menunjuk buku-buku di atas meja yang dibawa Jalal tadi, “wow, amazing” seru Jodha membuat Jalal tergelak.
“Baru segitu kamu bilang amazing Nem?” Jodha mengangguk, “itu belum seberapa bila dibandingkan denganmu. Aku harus mengejar ketertinggalanku Nem. Siapa tahu kita bisa lulus bareng.” Ucap Jalal dengan sebelah tangannya memegang cangkir teh dan sebelah tangannya mengusap rambut Jodha dengan lembut. Gadis itu menjadi terharu dibuatnya, dia merasa hidupnya lebih berarti sekarang ini. Tuan mudanya mau menuruti keinginannya yang sama sekali bukan siapa-siapanya dia. Bolehkah dia bahagia sekarang?
“Kok nangis Nem?” tanya Jalal dengan lembut ketika melihat mata Jodha berkaca-kaca. Jodha menggeleng.
“Ah, nggak kok Tuan. Sa-saya hanya ikut senang karena Tuan sudah mau belajar keras.” Jalal tersenyum. Dia menyesap kembali tehnya. Di genggamnya tangan Jodha, gadis itu hanya diam menatap tuan mudanya.
“Semua itu karena kamu Nem. Kamu sudah memberi semangat untukku. Kamu sudah membuka mataku untuk lebih bersyukur dan menghargai hidup ini, meski aku punya segalanya.” Jodha menggeleng.
“Itu bukan karena saya Tuan, itu semua dari diri Tuan sendiri. Orang lain hanya bisa menyarankan, tetapi Tuan sendiri yang harus menjalaninya.”
“Tetap saja kamu yang sudah memberikan motivasi untukku, sehingga aku sadar selama ini aku terlalu menyia-nyiakan waktuku hanya untuk sesuatu yang tidak bermanfaat.” Jodha terkekeh.
“Yah, baiklah. Kalau Tuan ngotot ngomong gitu ya nggak masalah. Saya terima, dan saya merasa tersanjung mendengarnya.” Jalal mendengus.
“Kamu ini. Selalu saja merusak suasana. Gimana sih? Giliran ngomong serius, kamu becanda. Giliran diajak romantis, pikiranmu malah horor.” Omel Jalal yang ditanggapi dengan senyuman oleh Jodha.
“Yah, beginilah saya Tuan. Apa adanya saya.”
“Gimana lagi? Harus terima Inem model begini.” Ucap Jalal pasrah seolah teraniaya. Kembali Jodha tertawa.
“Ehem...ehemm...” terdengar suara deheman dari arah dalam. Keduanya serentak menoleh. Nampak Bu Hamidah berdiri memandangi mereka berdua sambil bersidekap. Bibirnya seolah menyembunyikan senyumnya.
“Mama...”
“Ibu...”
Ucap keduanya bersamaan.  Tak pelak, suasana menjadi canggung. Jodha langsung berdiri dan tertunduk malu, namun Jalal hanya tersenyum seolah tidak terjadi apa-apa.
“Kenapa? Kok kaget?” tanya Bu Hamidah duduk ditempat Jodha tadi, karena Jodha bergeser agak menjauh.
“Nggak apa-apa Ma.”
“Terus, kok kayaknya seperti orang ketangkap basah gitu?” tanya Bu Hamidah. Dia memandangi keduanya bergantian. Jodha semakin merasa malu, namun Jalal bersikap biasa saja.
“Kan Mama munculnya tiba-tiba, jadi wajarlah kalau kaget. Gimana sih mama ini?” Bu Hamidah tersenyum. Dia menoleh ke arah Jodha.
“Jo, bikinkan ibu teh ya, sekalian kalau ada kuenya juga.” Jodha mengangguk.
“Baik Bu.” Ucap Jodha berniat membalikkan badannya, ingin secepatnya meninggalkan tempat itu., namun lagi-lagi majikannya memanggil.
“Jo,...”
“Ya Bu?”
“Tolong nanti antarkan ke halaman belakang ya, sekalian temani Ibu ngobrol.” Sekilas kening Jodha berkerut, namun tidak lama dia mengangguk.
“Baik Bu.”
Kembali Jodha melangkah meninggalkan kedua majikannya itu menuju dapur untuk menyiapkan pesanan Bu Hamidah.
Sementara itu, Bu Hamidah yang tinggal berdua dengan Jalal menatap anaknya yang masih meminum tehnya sampai habis. Pandangannya beralih ke buku-buku yang ada diatas meja. Benar-benar bukan Jalal yang biasanya dia kenal dulu.
“Mama kenapa?” tanya Jalal. Bu Hamidah menggeleng. Dia tersenyum.
“Mama cuma merasa senang sayang.” Ucap Bu Hamidah. Tangannya bergerak mengusap kepala anaknya. Kalau biasanya jika mendapat perlakuan seperti itu, Jalal langsung berbaring di pangkuan mamanya, tapi sekarang tidak lagi. Dia hanya diam dan tersenyum ketika kepalanya dielus oleh sang mama.
“Senang kenapa Ma?”
“Mama senang, anak mama sekarang sudah lebih dewasa dan mandiri.”
“Oh ya?” Bu Hamidah mengangguk, “kok Mama bisa ngomong gitu? Emang kelihatan ya Ma?” sekali lagi Bu Hamidah mengangguk.
“Jelas saja kelihatan, ini salah satu buktinya” ucap Bu Hamidah menunjuk buku-buku Jalal, “biasanya kan mana pernah kamu bawa buku sebanyak ini. Bahkan mungkin bawa satu buku saja nggak pernah.” Jalal hanya nyengir mengingatnya. Ya, dia dulu memang paling malas kalau disuruh bawa buku. Tetapi sekarang lihatlah, buku yang lebih tebal malah dia bawa pulang.
“Mama pengen tahu, apa yang sudah membuat anak Mama berubah?” pancing Bu Hamidah. Jalal hanya mesam-mesem saja. Walaupun mulutnya sudah gatal ingin mengatakannya, namun janjinya kepada Inem harus dia tepati.
“Hm...gimana ya Ma?” ucap Jalal meringis sambil mengusap tengkuknya.
“Memangnya kenapa?”
“Soalnya,...soalnya, aku sudah janji nggak boleh ngomong Ma.” Bu Hamidah mengangguk. Dia bukan tidak mengerti dan tidak tahu, hanya saja dia ingin mendengar sendiri langsung dari mulut Jalal. Tetapi rupanya dia tidak bisa memaksanya.
“Ya sudah, mama nggak akan memaksa kamu ngomong kok. Hanya saja, mama harap kamu bersungguh-sungguh dengan niatmu untuk berubah. Mama sama Papa akan selalu dukung kamu sayang.”
“Iya Ma, aku ngerti kok. Makasih ya Ma.” Bu Hamidah mengangguk.
“Ya sudah, sekarang kamu mandi dulu sana. Biar capekmu hilang. Mama mau ke belakang dulu, mau tes psikologi calon mantu Mama.” Ucap Bu Hamidah mengedipkan matanya sambil menepuk bahu Jalal.
“Hah? Maksud Mama?”
“Sudah. Nggak usah kepo. Mandi dulu sana.” Kata Bu Hamidah beranjak meninggalkan Jalal yang bengong memikirkan ucapan mamanya tadi. Namun akhirnya dia juga meninggalkan tempat itu dengan membawa serta buku-buku dan ranselnya.
Sementara itu di gazebo, Jodha duduk sendiri. Tatapannya tidak lepas dari ikan-ikan yang berenang kian kemari dalam kolam. Dia bersandar di tiang gazebo menunggu kedatangan majikannya, Bu Hamidah.
“Kok melamun Jo?” tegur Bu Hamidah menepuk bahunya. Jodha tersenyum.
“Eh Ibu, nggak kok Bu.”
“Gimana kabar kuliah kamu, Jo?” tanya Bu Hamidah basa-basi dan duduk berhadapan dengan Jodha. Dia menyesap tehnya.
“Baik Bu, mungkin satu semester lagi selesai.”
“Oh ya? Nggak kerasa ya, sudah mau selesai aja.” Ucap Bu Hamidah manggut-manggut, “rencanamu kalau sudah selesai kuliah, mau melanjutkan kemana Jo?” sesaat Jodha terdiam. Dia jadi tidak enak dengan majikannya, “kamu nggak mau melanjutkan ke pasca sarjana?”
“Sa-saya, masih belum tahu Bu.” Bu Hamidah mengangguk.
“Gitu ya?”gumamnya. Kembali dia menyesap tehnya.
“Hm, Bu...gimana seandainya,...” Jodha berkata dengan gugup, dia tidak enak hati dengan majikannya itu, “seandainya saya nanti mencari pekerjaan sesuai dengan pendidikan saya,... boleh?” tanya Jodha dengan dada berdebar. Bu Hamidah tersenyum.
“Kamu nggak betah tinggal disini Jo?” pancing Bu Hamidah.
“Bu—bukan seperti itu Bu. Jujur, saya betah tinggal disini. Tapi,...”
“Tapi kenapa? Malah sebenarnya ibu mau menyarankan agar kamu bisa melanjutkan ke S2, sekalian kamu bisa melamar jadi dosen di universitas Ibu. Ibu pikir kamu punya banyak potensi untuk menjadi pengajar di sana.” Jodha melongo mendengar ucapan majikannya. Dia tidak menyangka Bu Hamidah akan berkata seperti itu.
“Sa-saya Bu?” Bu Hamidah mengangguk, “Ibu nggak salah?” Bu Hamidah tersenyum.
“Kenapa?” Jodha menunduk.
“Saya nggak enak sama Ibu. Ibu sama Bapak sudah banyak menolong saya, sudah ngasih saya kerjaan juga sampai saya bisa menimba ilmu di tempat Ibu.” Jawab jodha malu-malu. Bu Hamidah tersenyum, dia bergerak mendekati Jodha dan duduk di sampingnya.
“Nggak usah sungkan gitu Jo. Ibu sama Bapak sudah anggap kamu seperti anak sendiri. Berkat kamu juga, anak Ibu, Jalal, sekarang banyak berubah. Dia tidak lagi menghabiskan malam dan hari-harinya hanya untuk bersenang-senang. Dia sekarang mulai rajin kuliah. Itu karena kamu. Dan hanya kamu yang bisa membantah dia, ujung-ujungnya malah dia yang nurut sama kamu.” Jodha tertawa pelan.
“Ibu bisa saja. Saya juga baru menyadari, betapa lancangnya saya sama Tuan muda.” Bu Hamidah ikut tertawa.
“Tidak apa-apa Jo, selama yang kamu bantah itu benar, kamu jangan takut.”
“Iya Bu. Tapi, tetap saja saya nggak enak.” Bu Hamidah tersenyum sambil menggeleng pelan.
“Kamu tuh ya, selalu saja seperti itu. Kamu bisa anggap Ibu sama Bapak sebagai orang tua kamu sendiri. Kami suka kamu tinggal disini, rasanya rumah jadi lebih ramai. Nggak kayak dulu, rumah sepiiii...banget, semua sibuk sama urusan masing-masing. Apalagi Jalal, bertemu kami dalam seminggu paling banyak dua atau tiga kali.” Ucap Bu hamidah menghela nafas panjang, “tapi, setelah kamu tinggal disini, kamu bisa lihat, kita bisa sarapan bareng dan makan malam bareng. Apa itu bukan sesuatu yang membahagiakan bagi kami sebagai orang tuanya.” Ucap Bu Hamidah tersenyum sumringah. Jodha menjadi terharu mendengarnya. Ternyata orang baik masih banyak dimana-mana tanpa melihat status dan juga latar belakangnya.
“Makasih Bu. Saya tidak tahu harus bagaimana membalas kebaikan Ibu sama Bapak.”
“Tidak usah berterima kasih Jo, Ibu sama Bapak tidak merasa terbebani kok. Dan kamu bisa pikir-pikir dulu tawaran Ibu tadi. Masih banyak waktu untuk memikirkannya masak-masak.” Jodha mengangguk.
“Iya Bu, saya akan mempertimbangkannya.”
“Baguslah kalau begitu.” Ucap Bu Hamidah tersenyum.
Dari pintu belakang, muncul Bi Ijah menghampiri mereka berdua dengan langkah tergesa-gesa.
“Ada apa Bi?” tanya Bu Hamidah.
“Ng...anu Bu, itu di depan ada temannya Jodha.” Jodha mengerutkan keningnya.
“Siapa Bi?” tanya Jodha heran. Rasanya belum ada temannya yang berani mengunjunginya, karena memang banyak yang merasa sungkan.
“Itu,... siapa ya tadi namanya? Katanya kamu sudah kenal banget sama dia.” Jodha semakin heran.
“Laki-laki atau perempuan Bi?” tanya Jodha dengan tidak sabar.
Belum lagi Bi Ijah menjawab, dari pintu belakang muncul sosok yang sangat dikenal oleh Jodha.
“Jodhaaaaa...!”
Seorang gadis muncul menyusul Bi Ijah. Siapa lagi kalau bukan Nadia. Tanpa disuruh dia langsung menerobos masuk ke belakang. Bi Ijah saja sampai terbengong melihatnya. Sampai Jodha merasa malu terhadap majikannya, namun Bu Hamidah hanya tersenyum geli. Penampilan gadis itu terlihat tomboy sekali, jauh dari unsur perempuannya. Dengan sendal jepit, celana jeans yang robek di lututnya, kaos oblong, memakai topi kebalik menutupi rambutnya yang diikat biasa saja dan jam tangan besar nempel di tangannya, sedangkan di punggung juga menempel ransel kecil.
“Nadia. Nggak sopan tau.” Tegur Jodha melotot ke arah Nadia yang baru datang menghampiri mereka. Gadis itu cengengesan.
“Hehe..maaf Jo, habisnya kelamaan sih si Bibi manggilin kamu. Jadi ya, aku ikutin aja.” Ucap Nadia menggaruk kepalanya. Dia melirik ke arah Bu Hamidah yang menatapnya dengan tersenyum, “Eh, ini pasti Bu Bos ya? Maaf ya Bu Bos, saya tidak tahu kalau Bu Bos ada disini.” Ucap Nadia berdiri dengan tidak enak hati. Dia tidak menyangka kalau majikan Jodha ada ditempat itu juga.
“Tidak apa-apa. Ibu senang ada teman Jodha main kesini. Duduk sini sayang.” Tawar Bu Hamidah mengajak Nadia duduk di dekatnya. Nadia menurut. Dengan rasa percaya diri, dia duduk di dekat Bu Hamidah.
“Nama kamu siapa sayang?” tanya Bu Hamidah dengan lembut. Nadia segera mengambil tangan Bu Hamidah, dan menciumnya.
“Kenalkan Bu Bos, nama saya Nadia Putri Nurrahmania yang cantik berseri, rebutan para lelaki dan menantu idaman hati.” Ucapnya dengan bangga. Jodha menepuk dahinya, merasa sungkan dengan majikannya. Namun Bu Hamidah justru terkekeh. Dia merasa suka dengan Nadia yang supel dan gampang akrab dengan orang lain.
“Nama yang sangat bagus.” Puji Bu Hamidah, Nadia tersenyum senang, “Ibu panggil siapa nih kalau namanya segitu panjangnya?”
“Panggil Nadia aja, Bu Bos.”
“Oke. Nadia. Nama yang bagus.”
“Makasih Bu Bos.” Ujar Nadia kembali tersenyum. Tak perlu waktu lama, mereka berdua terlibat pembicaraan yang santai. Jodha hanya menjadi pendengar, sesekali saja dia menyela pembicaraan mereka. Sedangkan Bi Ijah sudah kembali ke dapur.
“Orang tua kamu kerja apa Nad?” tanya Bu Hamidah lagi.
“Orang tua saya hanya seorang pensiunan TNI, Bu Bos,” jawab Nadia.
“Oh ya?” Nadia mengangguk, “kamu nggak ikut jejak ayah kamu?” Nadia menggeleng.
“Saya nggak minat, Bu Bos. Cukup Abang Bayu saja yang ngikutin Ayah.” Bu Hamidah sedikit tertegun mendengar nama abangnya Nadia. Dia seperti pernah mendengar nama itu.
“Nama Ayah kamu siapa Nad?”
“Nama Ayah saya, Letnan Jenderal Pramono Santoso?” Bu Hamidah terkejut.
“Benarkah?” Nadia mengangguk dengan heran, “apa Ibu kamu, Nunik Pratiwi?” tanya Bu Hamidah dengan tidak sabar.
“Kok, Bu Bos tahu nama Ibu saya.” Bu Hamidah tersenyum senang.
“Jadi benar kamu anaknya Mas Pram dan Mbak Nunik?” Nadia mengangguk, dia masih tidak percaya kalau majikan Jodha mengenal orang tuanya. Bahkan Jodha pun ikut bengong, “ya ampun sayang, jadi kamu Nadia adiknya Bayu itu ya?” Bu Hamidah memeluk Nadia dengab gembira. Namun Gadis  itu tidak berkata apa-apa.
“Bu Bos kenal orang tua saya?” Bu Hamidah mengangguk cepat. Dia melepaskan pelukannya.
“Tentu saja. Oh ya, jangan panggil Bu Bos dong Nad, panggil Tante saja ya. Kedua orang tua kamu itu sahabat kami sewaktu Ayahmu bertugas dulu di kalimantan. Waktu itu kamu masih kecil, makanya kamu nggak ingat sama Tante. Kalau Bayu, Tante yakin dia masih ingat sama kami.” Nadia masih bengong tidak percaya. Bukankah itu kebetulan sekali namanya.
“I-iya Bu, eh, Tante.”
“Ya ampun Nadia, kamu dulu itu kecil banget. Ceking gitu. Sekarang malah jadi gadis yang cantik.” Kata Bu Hamidah mencubit pipi Nadia. Gadis itu hanya nyengir.
“Namanya juga dikasih makan tiap hari sama orang tua saya Tan, pastilah tambah gede.” Bu Hamidah terkekeh.
“Kamu bisa aja Nad.” Bu Hamidah berpaling ke arah Jodha yang hanya terdiam menonton mereka berdua, “Jo, kok bisa sih temenan sama Nadia?”
“Bukan cuma temenan Tan.” sela Nadia sebelum dijawab oleh Jodha. Bu Hamidah kembali menatap Nadia dengan mengerutkan keningnya.
“Maksud kamu?” Nadia bergerak mendekati Jodha dan merangkul bahunya.
“Dia ini, saudara angkatku Tan. Ayah, Ibu, Abang sama aku juga sayang sama dia. Pengennya sih, dia mau ku ajak  tinggal dirumah Ayah, tapi dianya nggak pernah mau. Di kasih uang saja sama Ayah dia nggak mau kok. Nggak tau maunya apa tuh.” Ucap Nadia sambil menepuk bahu Jodha yang terlihat sungkan dengan Bu Hamidah, sementara majikannya itu membulatkan mulutnya dan mengangguk, tanda mengerti.
“Iya. Jodha memang begitu Nad. Nggak pernah mau menerima pemberian cuma-cuma. Sama Tante juga gitu.” Jodha tersenyum malu.
“Kalau menerima cintanya anak Tante secara cuma-cuma, dia pasti mau tuh.” Bu Hamidah terkekeh, sedangkan Jodha hanya menggeleng.
“Bisa di coba tuh Nad.” Sahut Bu Hamidah, Nadia terkikik geli.
Bu Hamidah memanggil Bi Ijah, tidak lama kemudian wanita itu muncul dan mendekati mereka.
“Iya Nya...”
“Bi, panggilkan Jalal kesini ya.” Bi Ijah mengangguk.
“Baik Nya.” Dia segera meninggalkan tempat itu.
“Kamu harus ketemu Jalal, Nad. Kaliankan sudah lama nggak ketemu. Dia pasti senang ketemu kamu.” Ucap Bu Hamidah dengan gembira.
“Nadia sudah kenal dengan Tuan Muda kok Bu.” Sahut Jodha. Bu Hamidah kaget.
“Benarkah?” keduanya mengangguk.
“Kok Tante baru tau ya.”
Tak lama kemudian, Jalal datang menghampiri mereka bertiga. Wajahnya segar karena habis mandi. Dia duduk di samping Ibunya.
“Ganteng banget Bang Bos,” celetuk Nadia ketika Jalal sudah mendaratkan pantatnya di lantai gazebo. Pemuda itu terlihat kaget, tidak menyangka ada gadis usil itu disitu. Namun sebentar kemudian raut wajahnya berubah normal kembali.
“Eh, ada Nadia. Jelas dong, kapan aku terlihat tidak ganteng, hm?” sahut Jalal dengan memegang kerah bajunya dan memainkan kedua alisnya ke arah Nadia. Nadia mencibir. Jodha dan Bu Hamidah hanya menggelengkan kepala melihatnya.
“Ck. Sombong sekali.”
“Kan memang kenyataannya begitu? Tadi aja kamu bilang aku ganteng. Emang kalau aku ganteng kenapa? Mau daftar?” ledek Jalal. Sebelum Nadia menyahut dia sudah kembali menyombongkan dirinya, “tapi maaf, pendaftaran sudah ditutup.” Ucap Jalal tertawa melihat wajah Nadianyang mulai kesal.
“Heh, Bang Bos. Denger ya. Biarpun di dunia ini Bang Bos paling cakep, paling ganteng, paling gagah, paling manis, dan paling sombong sendiri, aku TIDAK TER-TA-RIK. Jadi jangan sok kecakepan di hadapanku.” Sungut Nadia dengan jengkel. Bukannya marah, Jalal malah tergelak.
“Oh iya lupa, kan yang paling ganteng, paling cakep, paling gagah, paling manis, cuma Abang Man aja. Yang lain, lewaaatt...” kembali Jalal meledek Nadia.
“Bang Bos,...” desis Nadia. Dia sudah bersiap-siap ingin menyembur Jalal dengan kata-katanya ketika tangannya di pegang oleh Jodha agar dia menahan diri. Dengan wajah ditekuk, akhirnya Nadia hanya bisa terdiam membuat ketawa Jalal semakin panjang.
“Jalal, sudah!” tegur Bu Hamidah, “kamu sudah bikin Nadia marah tuh.” 
“Biar aja dia marah Ma. Mukanya tambah lucu tuh. Hehehe...”
“Jalal!” hardik mamanya agak keras.
“Iya Ma. Maaf.” Akhirnya Jalal berhenti tertawa, namun senyum jahilnya masih terlihat.
“Maafin Jalal ya Nad, dia memang usil.” Kata Bu Hamidah.
“Sudah tahu kok, Tante. Bang Bos emang usil.” Jalal mencibir.
“Kayak kamu nggak.” Jodha terkekeh.
“Jalal, Mama bilang cukup!” wajah Jalal sedikit cemberut membuat Nadia memberikan senyum kemenangan untuknya, “Jalal, kamu ingat nggak dengan tetangga disamping rumah sewaktu kita di kalimantan dulu?” tanya Bu Hamidah. Jalal terdiam sembari berpikir. Ketiga wanita itu menatapnya untuk menunggu.
“Tetangga kita dulu Ma?” Bu Hamidah mengangguk.
“Iya. Yang anggota TNI itu, yang punya seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan kecil.” Jelas mamanya.
“Oh itu. Kalau nggak salah namanya Om Pram ya Ma?” Bu Hamidah mengangguk dan tersenyum gembira.
“Iya sayang. Dan kamu ingat gadis kecil itu?”
“Oh, yang hitam, ceking, cerewet, yang hobinya manjat pohon, terus gitu kalau berenang suka telanjang itu ya Ma.” Jawab Jalal membuat wajah Nadia merah karena malu. Jodha menahan ketawanya dengan menutup mulutnya menggunakan punggung tangannya dan menunduk. Sementara Bu Hamidah menggelengkan kepalanya. Jalal yang belum tahu tentang Nadia nampak acuh saja.
“Yeee, telanjangnya ya jangan dibilangin juga kali Bang. Namanya juga masih kecil, jadi wajarlah kalau telanjang.” Ucap Nadia membela diri.
“Biarin aja, kenapa kamu yang sewot. Akukan nggak ngomongin kamu.” Kata Jalal tidak mau kalah.
“Tapi yang Bang Bos bilang itu memang aku, Bang. Tau nggak sih?”sahut Nadia kesal. Jalal melongo. Dia menatap Nadia dengan rasa tidak percaya.
“Heh? Masa?” Bu Hamidah dan Jodha serentak tertawa melihat ekspresi Jalal.
“Makanya kalau ngomong itu dipikir dulu sayang.” Tegur Bu Hamidah. Jalal hanya cengengesan saja, “benar kata Nadia tadi, gadis kecil itu ya Nadia ini orangnya. Dan kakak laki-lakinya namanya Bayu. Kamu masih ingatkan?” Jalal terkejut. Sungguh-sungguh terkejut. Dia tidak menyangka kalau gadis dihadapannya ini adalah tetangganya dulu. Dan Bang Bayu? Ah, kenapa dia sampai tidak kepikiran sampai kesitu.
“Ja-jadi, Nadia ini...?” tunjuk Jalal masih dengan wajah terkejut. Mamanya mengangguk.
“Iya sayang. Akhirnya kita bisa ketemu lagi. Mama senang banget.” Bu Hamidah memegang tangan Nadia, “besok malam ajak kedua orang tuamu main kesini Nad. Kita makan malam bareng ya.” Nadia mengangguk.
“Iya Tante, nanti aku sampaikan kepada Ayah dan Ibu. Mereka juga pasti senang sekali.” Sahut Nadia.
“Ya ampun Nad,  kamu sekarang sudah besar ya. Aku nggak nyangka loh. Beda banget sama yang dulu.” Nadia memutar bola matanya.
“Ya iyalah Bang Bos, kalau dari dulu sampai sekarang nggak berubah itu artinya nggak tumbuh-tumbuh tau. Orang setiap hari di kasih makan, di kasih vitamin, di kasih nasehat, dan lain-lain ya pasti berubahlah.” Sungut Nadia. Jalal terkekeh.
“Bener-bener nggak nyangka, kamu sudah tumbuh jadi gadis cantik begini.” Puji Jalal tanpa sadar. Seketika senyum jahil Nadia terbit dari bibirnya.
“Iya dong, kapan aku terlihat tidak cantik?” katanya membalikkan omongan Jalal tadi, “mau daftar? Tapi maaf, pendaftaran sudah tertutup.” Balasnya sambil tertawa. Jalal yang jengkel menghampirinya, membuka topinya dan mengacak rambutnya sampai berantakan sekali. Membuat Nadia mencak-mencak tidak karuan. Kembali Bu Hamidah dan Jodha hanya bisa menggeleng melihat keduanya.
“Bang Bos, lihat nih, rambutku rusak. Nyebelin banget sih.” Sungut Nadia membenarkan rambutnya yang berantakan. Jalal terkekeh.
“Salahnya menjiplak kata-kataku. Lagian siapa juga yang naksir sama kamu.” Nadia tidak jadi marah, kembali senyum usilnya mengembang.
“Aku tahu kok, kalau Bang Bos nggak bakalan naksir aku.” Goda Nadia, membuat Jalal tergagap. Nadia tertawa senang, dia berpaling ke arah Bu Hamidah, tangannya memegang tangan Jodha, “Tan, aku mau promosiin saudaraku ini, Dia multitalenta loh, dia bisa apa saja. Bisa jadi juru masak, tukang kebun,...” Bu Hamidah terkekeh mendengarnya, “jadi babysitter juga bisa Tan, bahkan nih ya Tan, dia bisa jadi satpam. Hebat nggak itu Tan.” Bu Hamidah tergelak mendengarnya. Jodha hanya memijat pelipisnya mendengar ucapan Nadia, “dia ini cocok banget loh Tan, jadi menantu idaman.” Promosi Nadia.
“Nggak usah di dengar Bu, Nadia ini sering ngomong ngawur kok Bu.” Elak Jodha merasa tidak enak hati.
“Tidak apa-apa Jo, beneran jadi menantu Ibu juga nggak apa-apa tuh.” Sahut Bu Hamidah tersenyum, membuat wajah Jodha memerah. Jalal yang mendengar ucapan mamanya merasa senang sekali, meski itu hanya disimpan dalam hatinya saja. Justru yang terlihat bahagia malah Nadia. Gadis itu bersorak tanpa rasa sungkan.
“Yeeyy, Jo. Tante Hamidah dengan senang hati menerima kamu sebagai menantunya. Yah, walaupun aku sedikit tidak rela sih kamu mendapatkan Bang Bos.” Ucap Nadia pura-pura melirik Jalal yang cemberut mendengar ucapannya.
“Kamu kok sentimen banget sama aku Nad? Kayaknya nggak ada bagus-bagusnya deh aku dimatamu.” Kata Jalal mengusap dadanya.
“Cieee..., pura-pura memelas, padahal dalam hatinya senang dan bahkan joget koprol mungkin saking bahagianya. Hayooo...ngaku aja deh Bang. Ya kan? Ya kan?” desak Nadia memainkan kedua alisnya. Jalal terkekeh.
“Tau aja kamu Nad, kalau hatiku lagi bahagia?” Nadia langsung mengangkat dagunya, memandang Jalal dengan tatapan meremehkan, sedangkan tangannya bersidekap di depan dada.
“Ya tau lah, Nadia gitu loh. Apa yang aku nggak tau Bang Bos, dari tatapan penuh cintamu  saja aku sudah tahu, apalagi dari bahasa tubuhmu yang lain, ucapanmu yang sungguh menyentuh. Membuat aku yakin seyakin-yakinnya kalau hatimu sedang ada tanda cinta berhamburan.”
“Cerewet.”  Dengus Jalal. Bukannya marah, Nadia justru tertawa terbahak-bahak mendengarnya. Jodha dan Bu Hamidah hanya bisa kembali menggeleng melihat keduanya. Nadia memang nggak ada matinya kalau masalah bicara dengan orang.
Tidak terasa hari menjelang malam, Nadia pamit pulang serta berjanji besok malam akan datang bersama kedua orang tuanya dan juga keluarga abangnya.

****
Keesokan harinya sepulang dari kantornya, Bu Hamidah dibantu oleh Jodha dan Bi Ijah nampak sibuk. Mereka menyiapkan hidangan untuk menyambut keluarga Nadia. Bu Hamidah nampak bersemangat sekali, bahkan dia memasak sendiri hidangan yang akan disuguhkan nanti untuk tamu.
Sejumlah hidangan sudah siap di meja makan hasil kerja keras mereka bertiga, Bu Hamidah nampak puas. Setelah selesai memasak dia mengajak Jodha bersiap untuk menyambut Nadia dan keluarganya. Jodha merasa senang, karena orang tua angkatnya akan datang. Sudah lama dia tidak pernah bertemu dengan mereka. Karena biasanya setiap kali Jodha berkunjung kesana, orang tua angkatnya tidak pernah ada. Sehingga pertemuan ini juga merupakan hal yang ditunggunya.
Seperti yang dijanjikan sebelumnya, jam delapan malam Nadia dan keluarganya akhirnya datang juga. Pak Humayun dan Bu Hamidah menyambut mereka dengan hangat. Karena sudah belasan tahun mereka tidak pernah bertemu lagi. Ya, semenjak Pak Pram di pindah tugaskan ke daerah lain. Ke empat orang itu berpelukan melepas rindu, setelah sekian lama berpisah.
“Ini pasti Bayu ya?” tanya Pak Humayun melihat ke arah Bayu.
“Iya Om,” Bayu mencium tangan Pak Humayun.
“Wah, Om nggak nyangka Bay, kamu sudah setinggi ini. Om saja kalah tinggi nih.” Bayu terkekeh.
“Om bisa saja,” Bayu memperkenalkan istri dan anaknya, “kenalkan ini Salima istri saya, dan ini Rahim anak saya.” Salima menyalami Pak Humayun, begitu juga dengan Rahim, anaknya.
“Ya ampun Bay, tau-tau pas ketemu kamu malah sudah punya bontot nih.” Bayu tertawa.
“Kan sudah lama Om, saya menikah semenjak saya lulus dari akmil.”
“Oh ya? Jadi kamu mengikuti jejak Ayah kamu.” Bayu mengangguk.
“Iya Om.”
“Baguslah kalau begitu. Oh ya Bay, kira-kira kamu mau tidak melatih Jalal.” Bayu mengerutkan keningnya.
“Melatih bagaimana Om?”
“Ya, melatih untuk lebih disiplin dengan waktu, disiplin sikap, dan sebagainya. Karena dia yang akan menggantikan Om nantinya memegang perusahaan. Kalau masih seperti sekarang, Om belum bisa menyerahkan kursi kepemimpinan kepadanya, bisa-bisa perusahaan yang sudah Om dirikan selama bertahun-tahun akan bangkrut.” Bayu tertawa, bahkan Ayahnya juga tertawa.
“Baiklah Om, akan saya coba. Tapi, apa Jalalnya mau Om? Saya nggak enak nih, takut dikira memaksakan kehendak.”
“Kamu tenang aja, kalau itu biar Om nanti yang urus.”
“Iya Om. Saya tunggu kabar dari Om.”
Tidak lama Jalal muncul di ruang tamu, dibelakangnya menyusul Jodha. Pak Pram dan Bu Nunik terlihat terkejut.
“Loh, Jo. Kamu tinggal disini?” tanya Bu Nunik dengan heran. Begitu juga dengan Pak Pram. Hanya Bayu, Nadia dan Salima saja yang tidak terkejut, karena memang mereka sudah tahu.  Jodha menyalami keduanya dan tersenyum serba-salah.
“I-iya Bu, Yah. Saya kerja disini.” Jawab Jodha sambil meringis. Tidak enak dengan majikannya itu.
“Iya Mbak, Mas, Jodha saya ajak tinggal disini. Tapi, dia tidak mau kalau tidak di beri kerjaan. Akhirnya ya saya jadikan sopir pribadi saya saja.” Orang tua Nadia mengangguk tanda mengerti.
“Memang dia ini susah sekali Dek, berapa kali dia diajak Nadia tinggal dirumah kami, dia tidak mau. Takut nyusahin katanya. Emang siapa yang susah, justru malah kami senang.” Jelas Bu Nunik. Bu Hamidah tertawa.
“Biar dia disini aja Mbak, sekalian jadi menantu saya.” Canda Bu Hamidah, sontak membuat semuanya tertawa, sedangkan Jodha hanya menunduk malu. Jalal melirik dengan tersenyum bahagianya melihat Inemnya begitu disayang oleh orang tuanya dan juga keluarga Nadia, “ini Jalal Mbak, Mas. Masih ingatkan?” ujar Bu Hamidah memperkenalkan anaknya. Jalal menyalami suami istri itu.
“Ternyata kamu sudah besar, Jalal. Ganteng lagi.” Puji Bu Nunik. Jalal tersenyum malu, (tumben malu, biasanya sombong. Hehe...), “tapi Tante harap kamu nggak jadi laki-laki playboy ya.” Sambung Bu Nunik lagi.
“Terlambat Bu, dia sudah jadi playboy tuh. Tapi sudah insyaf kayaknya.” Celetuk Nadia yang sedari tadi bermain bersama Rahim. Jalal mendelik ke arahnya, dan dibalas gadis itu dengan terkekeh puas.
“Oh ya? Tapi, syukurlah kalau sudah insyaf. Jangan diteruskan, itu kebiasaan yang nggak baik.” Pesan Bu Nunik. Jalal mengangguk.
“Iya Tan, nggak lagi kok.”
“Baguslah kalau begitu.” Ucap Bu Nunik tersenyum.
Bu Hamidah mengajak para tamunya untuk makan malam bersama. Kali ini rumah Jalal terasa sangat ramai. Apalagi di tambah celetukan Nadia yang terkadang membuat Jalal menjadi geram. Namun dengan santainya dia hanya tertawa. Nadia tersenyum puas malam ini karena sudah membuat Jalal tidak berkutik karena ada kedua orang tuanya.
***
Sejak saat itu, Nadia jadi sering bermain ke tempat Jalal. Kemana lagi kalau bukan untuk menemui Jodha. Bukan itu saja, bahkan mamanya Jalal meminta agar Nadia sering datang kerumahnya. Tentu saja di setujui oleh gadis itu, bahkan dia jadi sering menginap di tempat Jodha.
Malam minggu, Nadia meminta ijin kepada Bu Hamidah ingin mengajak Jodha jalan-jalan. Bu Hamidah mengijinkan, asalkan jangan pulang terlalu malam. Namun, Jalal tidak memperbolehkan karena dia juga akan mengajak Jodha keluar. Seperti biasa, terjadi lagi perdebatan antara keduanya. Akhirnya, Jodha yang menengahi dengan mengajak keduanya jalan atau tidak usah berangkat sama sekali. Dengan terpaksa mereka berdua menyanggupi.
Dan, disinilah mereka bertiga. Disebuah pasar malam. Awalnya Jalal yang cemberut karena diajak ke tempat seperti itu. Tempat yang tidak cocok sama sekali untuk anak muda, katanya. Tetapi Nadia ngotot ingin di tempat itu. Akhirnya Jalal pun mengalah. Namun, kemudian senyum kemenangan Nadia memudar ketika dia melihat Mansingh juga berada di tempat itu juga. Siapa lagi yang memberitahukan selain Jalal. Nadia mendecak jengkel kepada pemuda itu. Mengganggu kesenangan orang saja, omelnya. Namun, bukan Mansingh namanya kalau sampai tersinggung, dia malah tersenyum bahagia.
“Ayo beb, kita jalan berdua saja. Biar Jodha sama Bang Bos. Kasihan mereka berdua di ganggu.” Kata Mansingh menunjuk Jalal dan Jodha yang sedang berbincang tidak jauh dari tempat mereka berdua berada. Nadia terdiam, sebenarnya dia kasihan juga melihat Jodha yang sepertinya senang jalan berdua dengan Jalal. Namun, seperti biasa dia tidak pernah egois dan selalu menuruti keinginan Nadia. Dia menjadi merasa bersalah, akhirnya dia pun mengangguk.
Mansingh tersenyum senang, malam ini bisa berduaan dengan gadisnya. Dia menyodorkan lengannya, dengan mulut mengerucut akhirnya Nadia menerimanya juga. Dia melingkarkan tangannya di lengan Mansingh, dan bergayut manja. Mereka berdua berjalan berlawanan arah dari Jodha dan Jalal, sengaja membiarkan keduanya menikmati malam.
“Nadia sama Man kemana ya Tuan? Kok nggak kelihatan?” tanya Jodha celingukan mencari sosok Nadia dan Mansingh. Jalal berdecak.
“Ngapain ngurusin mereka? Biarkan saja kenapa Nem? Lagian mereka bisa jaga diri, kita nikmati saja malam ini ya.” Jodha tersenyum, namun wajahnya sedikit memerah. Entahlah, apa Jalal melihatnya atau tidak. Yang pasti dia menggenggam tangan Jodha dan mengajaknya jalan-jalan berkeliling tanpa membeli apa-apa. Karena memang perhatiannya bukan di acara itu, melainkan pada gadis cantik yang disampingnya.
“Nem, kamu laper nggak?”
“Sedikit. Kenapa Tuan?”
“Itu ada jagung bakar, makan di sana yuk.” Ajak Jalal menunjuk ke arah pedagang jagung bakar. Jodha mengangguk.
“Boleh. Ayo!”
Mereka berdua memesan jagung bakar dan menikmatinya di kursi kayu yang sudah disediakan, seakan lupa dengan orang sekelilingnya.
“Ternyata asyik juga ya Nem, jalan di tempat seperti ini.” Jodha mencibir.
“Tadi nolak diajak Nadia kesini. Nggak cocok sama anak muda katanya.” Jalal terkekeh.
“Itukan tadi Nem, waktu ada Nadia. Sekarang cuma sama kamu ya aku suka aja. Pokoknya dimana pun kalau sama kamu, ya aku pasti suka kok.” Jodha memutar bola matanya.
“Mulai lagi nih Tuan, susah kalau emang sudah punya bakat ngerayu ya.”
“Kamu kok nggak suka banget aku rayu Nem? Kenapa?” Jodha membuang tangkai jagung yang sudah habis ke tempat sampah.
“Entahlah Tuan, mungkin karena saya tidak terlalu suka basa-basi, makanya saya geli mendengarnya. Perut saya rasanya seperti diaduk-aduk setiap kali mendengarnya.” Spontan Jalal terbahak. Dia menggelengkan kepala di sela tertawanya.  Gadisnya ini memang unik sekali. Terbalik sih sebenarnya. Seharusnya dan umumnya yang suka dirayu itu adalah perempuan, tetapi ini malah tidak suka.
“Nem,” Jodha menoleh.
“Ya,...”
“Kamu dengarkan ucapan Mama waktu bertemu dengan Om Pram waktu itu?” Jodha mengerutkan keningnya.
“Ucapan yang mana Tuan?”
“Yang Mama bilang, kalau Mama ingin kamu jadi menantunya.” Jodha tersipu, “bukankah itu artinya hubungan kita direstui.” Ucap Jalal dengan lembut. Di genggamnya tangan Jodha, “aku harap kamu nggak meragukan cintaku Nem.”
“Apa Tuan benar-benar yakin mencintai saya sedalam itu?”
“Kenapa kamu ngomong gitu?” tanya Jalal heran. Jodha mendesah.
“Sa—saya takut kalau itu cuma perasaan sesaat Tuan saja. Dan saya belum siap sakit hati untuk masalah cinta, Tuan.” Jalal tersenyum, kini kedua tangannya menggenggam tangan Jodha.
“Kamu tenang aja Nem, biar waktu yang akan membuktikannya. Kamu akan lihat kalau aku bersungguh-sungguh mencintai kamu, apa adanya kamu, bahkan dengan ketidakromantisan kamu itu.” Jodha terkekeh.
“Ah, Tuan bisa aja. Ayo kita pulang sekarang, sudah malam.” Ucap Jodha beranjak dari duduknya. Jalal hanya bisa berdecak pasrah.
“Ck. Selalu saja menghindar.” Gerutunya. Jodha hanya tersenyum mendengar gerutuan tuan mudanya.
Keduanya berjalan menuju tempat dimana jeep Jalal terparkir, karena mereka janjian dengan Nadia dan Mansingh bertemu di tempat itu.
Entah mengapa, perasaan Jodha seperti ada yang mengikuti mereka berdua. Berkali-kali dia menoleh kebelakang, tetapi tidak menemukan apa-apa.
“Kamu kenapa Nem?” tanya Jalal heran.
“Entahlah Tuan, saya merasa ada orang yang mengikuti kita.”
“Oh ya? Siapa?” tanya Jalal ikut celingukan melihat kebelakang, namun tidak ada yang membuatnya curiga.
“Ya, mana saya tau Tuan. Ah, mungkin hanya perasaan saya saja kali. Ayo kita pulang saja.” Ajak Jodha, Jalal mengangguk meski dia juga penasaran. Mereka berdua mempercepat langkah menuju dimana mobil Jalal berada. Karena memang lokasi parkir dengan pasar tersebut agak jauh. Dan Jodha merasa kalau yang mengikuti dia tidak Cuma satu orang, tapi beberapa. Namun dia diam saja, seolah tidak peduli.
Benar saja, ketika melewati jalan yang agak sepi mereka berdua dihadang oleh beberapa orang yang berpakaian preman. Kedua tangan mereka saling menggenggam. Jalal, walaupun agak ciut nyalinya melihat ada 5, oh tidak, ada 6 orang itu tersenyum-senyum di hadapan mereka berdua.
“Apa mau kalian?” tanya Jalal dengan tenang.
“Apa mau kami?” ucap salah seorang yang menjadi pimpinannya itu, “kami tidak ingin macam-macam Bung, kami cuma ingin gadis itu.” Katanya sambil menunjuk Jodha.
“Siapa kalian jadi berani berkata seperti itu?” mereka justru tertawa.
“Kau tidak perlu tahu siapa kami Bung, serahkan saja gadis itu baik-baik. Dan kamu bisa mencari yang lebih cantik dari dia lagi.” Kata preman itu dengan santainya, membuat rahang Jalal mengeras, tangannya yang menggenggam tangan Jodha ikut menggenggam keras. Jodha merasakan itu.
“Jangan pernah mimpi untuk mendapatkan gadisku ini.” Bentak Jalal. Pimpinan preman itu tersenyum sinis.
“Oh ya? Mari kita lihat, sampai seberapa keberanianmu Bung.” Jawab Bos preman yang terlihat seperti bukan preman malah, “ayo anak-anak, hajar dia tetapi jangan sampai gadis itu terluka.” Perintahnya. Anak buahnya maju, sedangkan dia mundur.
Jodha mendorong Jalal kebelakang, dan dia yang maju menghadapi kelima preman yang maju itu.
“Tuan, tunggu saja di belakang. Biar saya yang hadapi mereka.” Kata Jodha tanpa menoleh ke arah Jalal.
“Tapi Nem, apa kamu sanggup menghadapi mereka sebanyak itu?” tanya Jalal dengan rasa was-was. Apalagi kalau bukan takut terjadi apa-apa dengan keselamatan Inemnya itu.
“Tuan tenang saja, percayakan kepada saya. Sekarang Tuan mundur dulu ya.”
“Baiklah.” Dengan terpaksa Jalal mundur sedikit untuk memberi jarak kepada Jodha menghadapi mereka. Kini Jodha berdiri dengan tenang menghadapi kelima preman itu yang masih tertawa-tawa melihat Jodha.
“Wah, ternyata dia takut juga sama kita ya? Ayo Neng, ikut Abang menemui Bos. Abang yakin Neng pasti senang. Bos Abang kaya lo Neng.” Kata salah satu preman itu, dan disahut dengan tertawaan yang lain. Jodha hanya tersenyum tipis mendengarnya.
“Boleh Bang. Asalkan Abang sanggup membawa saya menemui Bos Abang.” Jawab Jodha dengan enteng. Kelima preman tadi masih senyum-senyum mendengar ucapan Jodha.
Sementara itu Mansingh dan Nadia juga sudah sampai ditempat itu, Nadia memegang sekotak popcorn dan memakannya sambil berjalan, sedangkan di tangan Mansingh memegang sebotol minuman dingin. Mereka terkejut melihat Jodha berdiri berhadapan dengan lima orang preman. Sementara Jalal berdiri agak jauh dengan wajah tegang.
“Wah, Beb. Itu Jodha lagi ngapain ya?” Nadia berhenti memakan popcornnya.
“Kayaknya Jodha mau dikeroyok nih Bang, wah seru nih pertunjukannya.” Ucap Nadia dengan gembira, membuat dahinya di sentil oleh Mansingh, “ish, apaan sih Bang?” katanya sembari mengusap-usap dahinya.
“Kamu itu ya, teman lagi kesulitan gitu kamu malah bilang pertujukan seru. Bukannya dibantu malah di tonton.” Omel Mansingh. Nadia nyengir.
“Kalau cuma segitu sih, enteng aja buat Jodha. Lihat aja nanti. Ayo kita lihat dari dekat.” Kata Nadia menarik tangan Mansingh. Mereka berdua mendekat. Setelah dirasa cukup untuk jarak aman, Nadia naik di atas kap mobil yang ada diparkiran itu,  entah mobil siapa, dan duduk dengan santainya sambil menikmati popcorn. Tangannya terus memasukkan popcorn ke dalam mulutnya. Mansingh hanya bisa menggeleng melihatnya.
Sementara itu Jodha yang sedang menghadapi preman-preman itu, masih berdiri dengan santainya. Tidak ada raut ketakutan di wajahnya.
“Beneran nih Neng mau ikut Abang menemui Bos?” Jodha mengangguk.
“Beneran. Kalau Abang bisa memaksaku.”
“Sayang banget kalau gadis secantik Neng ini tidak mau ikut menemui Bos, dia sangat kaya Neng. Hartanya nggak akan habis untuk bersenang-senang.” Kata preman yang paling depan, tangannya menjulur ke arah wajah Jodha, bermaksud ingin mengelusnya. Namun, sebelum tangan itu menyentuh wajah Jodha, tangannya sudah di pelintir kebelakang oleh Jodha tanpa sempat dia berpikir lagi. Seketika dia mengaduh dan berteriak kesakitan. Dia berusaha memberontak, namun pelintiran tangan Jodha begitu kuat. Teman-teman preman itu seketika terkesiap melihat aksi cepat Jodha. Jodha hanya tersenyum sinis.
“Bilang sama Bos kamu itu, aku tidak perduli biar seberapa besar kekayaannya. Aku tidak tertarik. Dan kalau dia ingin aku bersamanya, suruh dia menghadapiku sendiri. Jangan menyuruh orang lain. Itu namanya pengecut. Mengerti.” Bentak Jodha mendorong preman itu ke arah teman-temannya. Dengan sigap teman-temannya menangkap laki-laki itu. Nampak wajahnya mengeras, menandakan kalau dia sudah marah. Dia mengusap-usap lengannya yang dipelintir Jodha tadi.
“Rupanya kamu tidak bisa dianggap remeh ya?” Jodha hanya mengangkat bahu saja, “baiklah, kalau memang itu keinginanmu jangan menyesal kalau kami berlaku kasar kepadamu.” Jodha tersenyum miring.
“Kita lihat saja nanti. Lagian, apa pantes lima orang laki-laki mengeroyok seorang perempuan? Apa tidak malu sama dengkul.” Ucap Jodha sambil meludah. Nadia yang mendengar hanya terkekeh sambil terus menikmati camilannya. Namun, Jalal dan Mansingh nampak tegang.
“Lama amat Jo, udah mau habis nih popcornku. Nanti malah nggak seru lagi.” Seru Nadia, Jodha hanya tersenyum mendengarnya.
“Baiklah, bukan urusanmu pantes atau tidak pantes. Yang penting kami sudah melaksanakan tugas kami. Ayo, tangkap dia.” Perintahnya kepada teman-temannya. Keempat temannya maju dan mengepung Jodha. Gadis itu hanya menggelengkan kepala melihatnya.
Preman yang di depan Jodha maju, bermaksud untuk menangkap Jodha dari depan. Mungkin di pikirannya Jodha tidak akan bisa berbuat banyak karena sudah di kepung oleh teman-temannya. Begitu preman itu mengulurkan kedua tangannya ke arah Jodha, dengan tenang Jodha menghindar kesamping kiri, dan siku tangannya menghantam punggung preman itu dengan keras. Membuat dia jatuh terjerembab mencium kaki temannya yang ada di belakang Jodha.
Nadia tertawa terpingkal-pingkal melihatnya, “ya ampun Bang, emang situ pikir  mau nangkap ayam apa pake jurus seperti itu? Nggak kena kan? Kasihan. Ckck...” ucapnya sambil menggeleng. Mansingh dan Jalal tetap tidak bersuara, mereka tegang dalam diam. Hanya Nadia yang terus berceloteh.
Preman tadi bangkit dengan wajah yang semakin marah, dia mengusap tangannya yang lecet terkena aspal. Sementara dua orang yang disamping segera maju bersamaan. Mereka berdua mengayunkan tinjunya secara serentak. Sekarang mereka sudah tidak main-main lagi untuk menangkap Jodha.
Jodha yang diserang dari dua arah di sampingnya, hanya merendahkan tubuhnya kebelakang seperti orang kayang sehingga tinju kedua orang tersebut saling bertemu. Alhasil karena mereka memakai tenaga yang cukup besar, akhirnya mereka berdua berteriak kesakitan akibat saling tinju. Ketawa Nadia semakin keras melihatnya, sekarang dia malah memukul-mukul kap mobil yang di dudukinya saking merasa geli melihat ulah para preman itu yang kini memegang tangan mereka masing-masing yang sakit akibat saling tinju. Jodha terkekeh melihat ulah Nadia.
Sementara dua orang yang tersisa menyerang satu persatu, ketika melihat kedua teman mereka yang menyerang bersamaan kini terlihat kesakitan.
“Awas dibelakangmu Jo,” teriak Nadia ketika orang yang dibelakang Jodha mulai menyerang. Jodha dengan tenang menghindar sedikit kesamping, ketika orang tersebut sudah dirasa dekat, dia segera memutar tubuhnya dengan satu kaki, karena kaki satunya melayang menghantam tubuh bagian belakang laki-laki tersebut dengan keras. Membuat laki-laki itu jatuh terjerembab dengan mulut mengeluarkan darah segar.
“Ugh,...pasti sakit sekali tuh?” ucap Nadia meringis ketika melihat kondisi preman itu. Jodha masih berdiri di posisinya menatap preman tadi yang berusaha bangun dengan susah payah. Tiba-tiba Nadia terkejut melihat satu preman yang tersisa mengeluarkan sebuah pisau belati dan berniat ingin menyerang Jodha. Sudah tidak sempat lagi untuk Nadia memperingati Jodha maka dia mengambil sebutir popcornnya dan menyentilnya kearah preman tadi tepat di tangan yang memegang belati.
Kelihatannya seperti sepele sentilan Nadia, namun efeknya belati yang ada di tangan preman itu terlepas. Belum puas dengan satu sentilan, Nadia kembali menyentil popcornnya ke arah leher preman itu tepat di tenggorokannya. Membuat preman itu terbatuk-batuk dan terhuyung.
“Ups...sorry.” ucapnya sambil menutup mulutnya yang tersenyum
Jodha terkejut melihat belati yang sudah berada di atas aspal, yang terlepas dari tangan preman itu.
“Makasih Nad.” Serunya. Nadia tersenyum.
“It’s okay.” Sahut Nadia mengacungkan jempolnya ke arah Jodha. Mansingh dan Jalal akhirnya menarik nafas lega ketika melihat kelima preman itu terlihat tidak berdaya. Sementara preman satunya yang tidak ikut menyerang, tidak terlihat lagi.
“Cuma segitu kemampuan kalian untuk menangkapku, heh? Ayo bangun!” bentak Jodha. Mereka berdiri dengan takut-takut sambil meringis kesakitan.
Dari arah pojokan parkiran, sebuah mini van meluncur dengan cepat dan berhenti di depan mereka, tanpa diperintah lagi mereka langsung masuk. Jodha hanya tersenyum sinis melihatnya. Namun, pintu mini van yang tadi tertutup kini terbuka kembali dengan cepat, dan seseorang keluar sebagian tubuhnya dengan tangan yang mengacungkan sebuah pistol ke arah Jodha, tanpa sempat gadis itu berpikir lagi, tiba-tiba....
Dorr...!
Pintu itu tertutup kembali dengan cepat, dan mini van melesat kencang meninggalkan tempat itu.

===TBC==

n/b. Maaf kalau penjabarannya kurang memuaskan. Masih belum berpengalaman untuk menuliskan cerita yang disertai kekerasan. Hehehe...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar