Met malem semua,.. Tuan muda datang lagi nih. Tanpa Inem kali ini
ya. Sebelum membaca, aku kasih tahu dulu kalau di part ini akan banyak narasinya,
jadi kalau ingin di skip silakan, ingin menunggu part selanjutnya juga silakan.
Tetapi jujur, ini adalah part yang sangat menyenangkan buatku. Entahlah. Aku
tidak tahu apakah ada atau tidak pembinaan seperti yang aku tulis ini di akmil.
Kalaupun tidak ada, aku berharap semoga suatu saat akan ada. Untuk turut
memperbaiki dan membina anak bangsa sebagai bakti kepada negara.
Ya ampun,...aku
kayak pidato ya. Ya sudah, silakan dibaca saja buat yang berkenan. Hehehe....
=======0000=======
Setelah menempuh perjalanan yang panjang,
akhirnya mereka sampai juga di kota Jogyakarta. Bayu sengaja mengajak mereka
untuk menginap di kota itu, karena untuk mengantarkan mereka bertiga akan
dilakukan keesokan harinya.
Bayu sengaja mencari losmen kecil dan
sederhana, murah meriah yang banyak bertebaran di kota wisata tersebut. Makan
makanan angkringan, yaitu tempat berjualan berbagai makanan dengan menggunakan
gerobak dorong yang terdapat disetiap ruas jalan yang ada disekitar losmen
tempat mereka menginap.
“Bang, nanti kami disana akan diapakan?” tanya Surya. Dia sedikit
takut dan ngeri membayangkan apa yang akan mereka hadapi nantinya. Bayu terkekeh
melihat ekspresi Surya, kemudian dia juga menatap Jalal dan Mansingh
bergantian.
“Banyak
yang akan kalian lakukan disana nanti sebagaimana para taruna baru. Tapi
sebelumnya kalian akan dilatih dan diperkenalkan dengan kampus tempat kalian
tinggal nanti, asramanya, tempat latihan, apa yang akan kalian pelajari disana.
Karena setelah itu kalian akan membaur dengan taruna yang sesungguhnya untuk
menjalani serangkaian latihan berat.” Jelas Bayu. Surya nampak tegang. Begitu
juga dengan Jalal dan Mansingh.
“Apa
tidak berbahaya bagi kami yang sangat pemula ini untuk menjalani latihan berat
itu Bang?” tanya Jalal. Bayu menggeleng.
“Itulah
makanya, kalian datang seminggu sebelum para taruna yang sesungguhnya datang.
Karena kalian akan di ajarkan perlahan-lahan persiapan untuk menghadapi latihan
berat tersebut agar kalian tidak kaget nantinya.” Mereka bertiga mengangguk
tanda mengerti, “pesan Abang, apapun latihan yang akan kalian hadapi nanti,
lakukan dengan hati, dengan segenap jiwa, dengan bangga, buang segala dendam
atas apa yang akan pelatih kalian lakukan, agar kalian menjadi manusia yang
bersih kembali.”
“Iya
Bang. Kami mengerti.”
“Bagus.
Ayo kita kembali ke penginapan.” Ketiganya mengangguk dan bangkit mengikuti
Bayu kembali ke losmen tempat mereka menginap, setelah sebelumnya membayar
semua makanan yang telah mereka makan. Kali ini apapun yang mereka makan
seperti tidak terasa apa-apa, kecuali agar perut tidak lapar saja, karena
pikiran mereka terlalu tegang memikirkan apa yang akan mereka hadapi besok.
Keesokan
harinya Bayu mengajak ketiganya berangkat ke Magelang, yang dari kota
Jogyakarta hanya menempuh waktu perjalanan kurang lebih satu jam saja.
Memasuki
kampus akmil, Bayu cs sudah di tunggu oleh seseorang di sekretariat pendaftaran untuk taruna
pendidikan khusus seperti Jalal dan teman-temannya.
“Bayu,
bagaimana kabarmu sekarang?” tanya seseorang yang pakaian seragam dinas lengkap
berusia kurang lebih 50 tahun. Sedangkan Bayu saat itu hanya menggunakan
pakaian formal saja, bukan pakaian dinas. Dia memeluk Bayu dengan hangat.
“Baik
Pak. Bapak sendiri sehat?” Bayu balik tanya. Pria itu terkekeh.
“Seperti
yang kamu lihat sekarang.” Bayu menoleh ke arah Jalal dan sahabatnya.
“Jalal,
Man, Surya, kenalkan ini Pak Bhairam Sadewa. Beliau gumil (guru militer)
disini. Beliaulah yang akan membimbing
kalian nanti, dan pastinya akan dibantu oleh asisten beliau.” Ujar Bayu
memperkenalkan mantan dosennya dulu yang sampai sekarang masih berhubungan
baik.
Sekilas
kalau dilihat, Pak Bhairam seperti orang yang keras, itu terlihat dari garis
wajahnya yang tegas, kaku, jarang senyum. Namun ternyata orangnya menyenangkan
juga dan bersikap hangat dan terbuka. Bahkan Bayu pun terlihat nyaman dan
senang sekali bertemu dengannya.
Satu
persatu mereka menyalami laki-laki yang berkharisma itu. Dia tersenyum ketika
bersalaman dengan Jalal dan sahabatnya itu.
Setelah
berkenalan, Pak Bhairam membawa mereka kesekretariat pendaftaran dan langsung
mendaftarkan mereka bertiga. Di dalam ruangan itu juga terdapat beberapa orang
yang juga sepertinya ingin mendaftar di kelas khusus seperti mereka. Itu
terlihat dari sikap, kelakuan dan penampilannya. Ada rambutnya gondrong, diikat
seadanya. Ada yang plontos, ada yang banyak tatonya, gemuk, dan berbagai macam
jenis orang-orang yang akan dilatih nantinya. Namun rata-rata dari mereka
usianya tidak ada yang berada di atas 30 tahun. Kebanyakan usia mereka seperti
usia Jalal dan sahabatnya atau lebih muda lagi.
Jalal
mendesah dalam hati. Melihat berbagai
macam orang yang akan menjadi temannya dalam menjalani latihan, sanggupkah dia
menghadapinya. Menghadapi berbagai macam karakter orang-orang itu, yang Jalal
yakin sebagian dari mereka ada yang jadi preman.
Menjelang
siang hari, mereka yang berjumlah kurang lebih 20 orang itu dibawa menuju
asrama khusus untuk mereka. Mereka di ajak jalan kaki oleh pembimbing yaitu Pak
Bhairam. Asrama yang dituju lumayan jauh, karena saking luasnya daerah kampus
akmil tersebut. Pak Bhairam, diikuti oleh Bayu, dan empat orang taruna tingkat
tiga yang akan menjadi asisten pelatih mereka nanti.
Jalal cs
memperhatikan sikap para siswa taruna yang ada di kampus itu, setiap kali
berpapasan dengan seniornya, mereka
selalu berhenti sebentar dan memberi hormat.
“Eh,
enaknya ya, kita baru tiba sudah di hormati orang disini.” Celetuk salah satu
dari mereka yang berkepala plontos. Karuan saja kepalanya ditoyor oleh pemuda
yang disebelahnya, yang juga berkepala plontos. Wajah mereka sangat mirip.
Rupanya mereka berdua kembar.
“Mereka
bukan hormat sama kita, tau.” Omelnya.
“Terus,
sama siapa dong? Kan kita yang berhadapan dengan mereka.” Jawab saudaranya tadi
tidak mau kalah.
“Ya sama
mereka berlima tuh. Nggak lihat
seragam yang mereka kenakan itu.?” Saudaranya itu mengangguk-angguk. Setelah
para taruna yang menghormati tadi sudah lewat, mereka melanjutkan langkah
menuju asrama khusus untuk mereka.
Setelah
berjalan kurang lebih 20 menit, sampailah mereka diasrama yang dimaksudkan. Ada
dua kamar yang disediakan untuk mereka. Namun dua kamar tersebut berisi
masing-masing 10 tempat tidur dan 10 lemari pakaian yang berada disamping
tempat tidur tersebut. Dengan posisi saling menghadap. Artinya, mereka akan berada
di kamar tersebut sebanyak 10 orang. Mereka semua saling pandang satu sama
lain. Jalal mendesah dalam hati, mulai sekarang dia harus berjuang untuk
belajar menghadapi berbagai macam karakter teman-teman se-asramanya selain
Mansingh dan Surya tentunya.
Ada
sekitar 20 orang yang akan melakukan pelatihan khusus itu. Satu persatu mereka
semua diabsen untuk menempati kamar tersebut. Jalal beruntung, karena mereka
bertiga berada dalam satu kamar dengan tempat tidur berdampingan. Mereka
bertiga menarik nafas lega, setidaknya mereka bertiga akan selalu bersama.
Pak
Bhairam memberikan briefing (pengarahan)
sebelum pergi meninggalkan mereka bersama asistennya. Semua yang berada di
tempat itu diam mendengarkan dengan penuh perhatian.
“Adik-adik
semua. Selamat datang di kampus akmil tercinta ini. Mulai sekarang kalian akan
di gembleng agar bisa menjadi pemuda yang diharapkan oleh bangsa ini. Saya tahu
semua latar belakang kalian semua, pendidikan kalian, karakter kalian. Tetapi
disini, di kampus ini, semua latar belakang kalian, pendidikan kalian tidak
akan dianggap. Semuanya sama. Saya harap semuanya mematuhi peraturan yang ada
di kampus ini. Karena semua yang akan di ajarkan kepada kalian, kelak akan
bermanfaat di kehidupan kalian mendatang.”
“Jadilah
pemuda yang berguna dan bermanfaat. Setidaknya untuk keluarga dan diri sendiri.
Kalian tidak harus menjadi tentara untuk memiliki mental yang kuat dan pribadi
yang baik. Dengan mengikuti berbagai pelatihan yang akan dilakukan mulai hari
ini, saya harap kalian ketika pulang kerumah, bisa mempersembahkan hasil terbaik yang bisa membanggakan kepada orang tua yang sudah mengirim kalian
kesini. Cukup sekian saja dari saya. Selamat berjuang Adik-adik semua.” Pak
Bhairam mengakhiri briefingnya dan
pamit mengundurkan diri. Bayu juga berpamitan kepada Jalal dan sahabatnya itu,
dan pergi bersama mantan dosennya itu.
Kini
tinggallah mereka, para taruna khusus yang menunggu instruksi dari keempat asisten
pembimbing. Salah seorang dari mereka
memperkenalkan diri.
“Kenalkan,
nama saya Mirza Hakim, bisa dipanggil Mirza, dan teman saya ini panggil saja
namanya Dzaky, Beny, dan Egi. Mulai hari ini
kalian akan menjalani sesi latihan pengenalan. Mulai dari mencukur rambut untuk
yang panjang,” semua tanpa sadar memegang rambutnya masing-masing, kecuali yang
kepalanya plontos kembar itu yang hanya mesam-mesem saja, “mengatur tempat
tidur, menyimpan pakaian dalam lemari, mencuci dan mensetrika sendiri pakaian
masing-masing, karena kalian semua akan diberi seragam seperti halnya para
taruna disini, juga latihan dasar sebelum kalian menghadapi latihan yang
sesungguhnya.” Mereka semua menganguk, “sekarang kami beri waktu kalian satu
jam untuk saling kenal satu sama lain.” Tutup Mirza mengakhiri
pemberitahuannya. Dia dan Dzaky beserta dua
orang rekan lainnya meninggalkan ruangan tersebut dan membiarkan mereka semua satu persatu
memperkenalkan diri.
Satu
persatu mereka memperkenalkan diri masing-masing. Setelah selesai sesi
perkenalan, mereka membuka ransel yang dibawa, mengeluarkan isinya kemudian
menyusun di dalam lemari mereka sendiri.
Jalal
menyusun pakaian yang dibawanya ke dalam lemari. Ketika tangannya mengeluarkan
sebuah syal berwarna hijau dari ranselnya, dia tersenyum. Terbayang wajah
Inemnya yang sekarang entah sedang ngapain.
“Sabar ya Nem, aku akan pulang secepatnya.
Aku akan berusaha keras agar aku berhasil kali ini. Aku janji sama kamu. Aku
akan mempersembahkan yang terbaik buat kamu dan juga untuk kedua orang tuaku.”
Ucap Jalal dalam hati, dia mencium syal itu sebelum akhirnya memasukkannya ke
dalam lemari. Tiba-tiba Jalal merasa bahunya disentuh seseorang, dia berbalik
dan melihat dua orang yang berkepala plontos itu sedang berdiri di depannya
dengan cengiran lebar.
“Papa.”
Sapa mereka. Jalal melongo. Begitu juga teman mereka yang lain, termasuk
Mansingh dan Surya. Mereka heran kenapa Jalal jadi dipanggil papa oleh dua
orang pemuda itu.
“Papa?”
mereka mengangguk, “siapa? Aku?” tanya Jalal menunjuk dirinya sendiri. Mereka
mengangguk kembali sambil tersenyum jahil.
“Ngawur
aja. Sejak kapan aku punya anak seperti kalian. Umur kita saja cuma berbeda dua
tahun. Papa apanya?” gerutu Jalal. Mereka berdua terkekeh.
“Iya,
sekarang ini memang kita tidak punya hubungan Papa,” Jalal mendengus mendengar
mereka kembali memanggilnya dengan sebutan papa.
“Lalu?”
tanya Jalal dengan penasaran. Mansingh dan Surya mendekat, mereka ikut
penasaran jadinya. Sementara yang lain hanya mendengarkan dari tempat mereka
masing-masing. Mereka berdua kembali cengengesan.
“Loh,
masa nggak tahu, Papa?”
“Diem.
Sudah kubilang jangan panggil aku Papa. Aku bukan orang tua kalian.” Hardik
Jalal. Namun mereka berdua tidak peduli.
“Begini,
pernah lihat film dari India yang pemeran utamanya, namanya sama kayak Papa
ini.” Jalal menggeleng, “makanya itu kami kasih penjelasan. Nama pemeran utamanya itu Raja Jalal dan
istrinya Ratu Jodha. Ratu Jodha itu punya keponakan namanya Mansingh,” Mansingh
tercengang, “dan yang menyukai Ratu Jodha itu namanya Suryaban,” giliran Surya
yang terkejut, “tapi sayang Suryaban meninggal di bunuh Raja
Jalal.” Ucap salah satu yang bercerita sambil nyengir, “ Raja dan Ratu
mempunyai anak kembar namanya Hasan dan Husein. Ya kami ini namanya Hasan dan
Husein. Biasa di panggil Acan dan Acin.” Kata Hasan mengakhiri penjelasannya
dengan terkekeh.
“Ya ampun,
kalian berdua tontonannya film India?” seru Mansingh terkekeh sambil menggeleng
kepala, “kayak ibu-ibu sama anak perempuan saja.” Decaknya.
“Nggak
apa-apa kali Kak. Itukan karena Umi
selalu mengajak kami menonton untuk menemani beliau. Akhirnya jadi suka
deh.” Ujar Hasan, ya Hasan dan Husein, dua pemuda
keturunan arab campuran Indonesia, karenanya memanggil ayah dan ibunya dengan
abi dan umi.
“Kak?”
tanya Mansingh heran. Hasan mengangguk.
“Mansingh
kan keponakan Ratu Jodha, jadinya kan dipanggil Kakak sama kami sebagai anak
dari Raja dan Ratu.” Dia menoleh ke arah Surya, “dan dia kami panggil Paman
Surya saja ya meski akhirnya harus meninggal juga. Hitung-hitung
menghormatilah.” Surya mendelik ke arah mereka berdua yang memasang tampang
tidak bersalah itu.
“Paman?
Enak saja. Kalian bukan keponakanku, ngerti.”
“Kan
dicerita gitu Paman. Walaupun cintanya tidak kesampaian sih.” Ucap Husein
tertawa geli.
“Heh
tuyul, masih mending aku mati ketika sudah mengenal cinta. Lah, ente berdua
sudah mati saat masih bayi kenapa sekarang sudah sebesar ini?” omel Surya.
Mansingh dan Jalal tertawa mendengar omelan sahabatnya itu. Sementara teman
mereka yang lain hanya mengikuti pembicaraan mereka berlima sambil menyusun dan
merapikan lemari masing-masing.
“Tuyul?”
sahut Hasan. Surya mengangguk, “Siapa?” tanyanya tidak mengerti.
“Ya ente
berdualah, kan kepala kalian plontos gitu.” Ejek Surya. Keduanya malah
terkekeh.
“Ya ampun Paman, jangan bilang mati dong.
Kayak ayam saja dibilang mati. Meninggal gitu loh Paman.” Surya mendelik
mendengar mereka memanggil dia dengan sebutan paman lagi. “Kami bukan tuyul Paman. Karena
tuyul itu tidak ada yang sebesar dan secakep kami.” Jawab Hasan dengan percaya
dirinya. Surya hanya mencibir.
“Berarti
kalian mbahnya tuyul.”
“Bukan!”
sahut mereka bersamaan dengan sedikit kesal.
“Sudah,
sudah. Gitu aja diributin sih? Sudah beresin pakaian kalian, sebelum dipanggil
Sersan Mirza.” Lerai Jalal. Hasan dan Husein mengangguk meski dengan wajah di
tekuk. Surya dan Mansingh tertawa geli melihatnya.
“Iya
Papa.” Jawab keduanya membuat Jalal melotot ke arah mereka. Tetapi, ya
sudahlah. Dia tidak ingin mencari keributan selama dia asrama ini. Sebisanya
dia akan menjaga sikap.
Hasan dan
Husein kembali ke tempatnya. Mereka berdua kembali mengerjakan tugasnya sambil
bernyanyi bersahut-sahutan tanpa memperdulikan keadaan sekitarnya. Jalal dan
sahabatnya hanya menggeleng melihat pengalaman pertama mereka di asrama,
berbaur dengan orang lain yang belum mereka kenal sebelumnya.
Sesuai
janji, Sersan Mirza dan Sersan Dzaky datang kembali. Kali ini mereka berdua
membawa peralatan untuk mencukur rambut. Satu persatu rambut para taruna khusus
itu di potong sesuai aturan yang berlaku di akmil. Dipotong cepak, tetapi tidak
boleh plontos. Yah, kecuali yang memang sudah plontos seperti si kembar itu.
Hahahaha....
Bahkan
kumis pun dicukur, termasuk Jalal yang sudah mempunyai kumis tipis di atas
bibirnya tidak luput dari aksi
penggusuran oleh tangan-tangan terampil Sersan Mirza dan Sersan Dzaky.
Setelah kegiatan cukur mencukur, mereka mendapat
pembagian pakaian loreng yang harus mereka pakai selama latihan. Kemudian
dilanjutkan dengan pembelajaran
tentang kedisiplinan berawal di tempat tidur. Kedua asisten pembimbing itu memperagakan tata cara
memasang seprei, menata bantal, selimut, dan menata handuk. Semua harus rapi
dan enak dilihat. Jika melanggar akan ada konsekuensi yang harus ditanggung.
Bisa berupa hukuman pribadi maupun kolektif, bergantung kesalahan. Karena itu
adalah pelajaran awal yang harus pahami sebelum menerima pelajaran-pelajaran
selanjutnya.
“Ini pelajaran paling prinsip. Semua berawal
dan berakhir di tempat tidur. Jadi semuanya harus paham ini.” Terang
Sersan Mirza.
Kegiatan dilanjutkan, kembali kedua asisten
pembimbing itu mengajak mereka makan siang. Sesampainya di ruang makan, mereka
terlebih dahulu di beri pengarahan kembali, agar bersikap sesuai dengan tata
tertib yang ada. Sejumlah meja makan panjang berderet dengan kursi yang
letakkan dengan posisi berhadap-hadapan.
Untuk tahap pertama meja makan sudah tertata
rapi dengan makanan yang di letakkan di wadah seperti layaknya makanan untuk
para tentara, yaitu nasi dan lauk pauknya lengkap sudah dalam satu wadah.
Mereka dipersilakan untuk duduk di kursi masing-masing, namun mereka belum diperbolehkan
untuk menyantapnya, karena harus menunggu lonceng berbunyi terlebih dahulu.
Beberapa orang mengeluh dengan berbisik
dengan mengatakan kalau makan saja harus diatur. Menunggu
lonceng dulu baru boleh makan. Siang itu sengaja mereka dipisahkan acara makan
siangnya dengan para taruna yang ada di kampus tersebut, karena mereka akan
diperkenalkan dan dilatih terlebih dahulu sebelum akhirnya mereka akan
bergabung dengan yang lain.
Lonceng pertama berbunyi, pertanda makan
siang akan dimulai. Lonceng kedua berbunyi, artinya semua orang dipersilakan
untuk berdoa. Barulah setelah lonceng ketiga berbunyi, mereka diperbolehkan
menyantap makanan yang sudah disediakan. Untuk makan siang mereka diberi waktu
hanya 10 menit saja.
Jalal menelan ludah melihat makanan yang ada
di hadapannya, dan juga mengingat waktu yang diberikan sedemikian singkatnya.
Dia menelan ludah bukan karena ngiler, tetapi karena melihat makanan yang
sangat dibencinya berada di dalam wadah saji tersebut yaitu brokoli dan juga beberapa
potongan tomat. Namun, mengingat waktu yang harus segera diselesaikan dan juga
makanan tersebut harus habis tanpa sisa, akhirnya dengan memejamkan kedua
matanya dia berusaha melawan rasa bencinya itu untuk menerima dengan sukarela
sayuran tersebut. Dia harus bisa. “aku
bisa. Aku bisa. Aku pasti bisa!” teriak hatinya sembari mengunyah makanan
itu cepat-cepat dan berharap tidak muntah seperti sewaktu dia dipaksa papanya
memakan brokoli dulu.
Entah karena tekadnya, atau mungkin karena
sugestinya, akhirnya sayuran tersebut bisa lolos masuk kedalam perutnya tanpa
merasakan mual ataupun muntah. Dan Jalal bersyukur untuk itu. Tanpa sadar,
senyumnya mengembang.
“Satu tantangan sudah berhasil kulewati.”
Gumamnya pelan. Ada setitik rasa bahagia menyelinap di dalam hatinya. Tidak
terlalu buruk juga mengikuti latihan itu untuk mengatasi masalah phobianya
terhadap brokoli. Mungkin buat sebagian orang itu adalah hal yang aneh, tetapi
buat Jalal itu suatu ketakutan tersendiri baginya. Entah mengapa, dia sendiri
tidak tahu akan hal itu.
Sepuluh menit sudah berlalu, lonceng kembali
berbunyi. Sebagian besar dari mereka begitu keteteran menjalani makan siang
yang menurut mereka sangat singkat itu. Tetapi apa daya, semua ada aturannya,
meski hati tidak rela dan masih lapar mau tidak mau mereka meninggalkan meja
makan. Jalal tertawa dalam hati melihat reaksi dan ekspresi teman-temannya yang
menggerutu meski pelan agar tidak terdengar oleh asisten pembimbing mereka.
Setelah makan siang, mereka diajak sholat
Dzuhur di masjid akmil untuk yang muslim. Untuk kegiatan ini mereka berbaur
dengan para penghuni kampus akmil semuanya. Jalal, Mansingh dan Surya merasakan
suasana yang bersahabat di dalam lingkungan tersebut. Para taruna yang ada pun
tidak segan-segan mengajak mereka untuk berbincang meski secara singkat.
Setelah sholat, mereka kembali mengikuti
kegiatan lainnya, layaknya para taruna baru. Aturan untuk mandi, mencuci
pakaian, setrika seragam sendiri. Mulai berlatih, berlari keliling lapangan,
baris berbaris, belajar pull up, sit up, push up, renang. Seperti yang sudah
diperkirakan. Sebagian besar dari mereka tumbang alias tidak sanggup
melanjutkan latihan. Termasuk Jalal dan kedua sahabatnya itu.
Begitu
jam tidur malam di berlakukan, semua seolah rindu dengan kasur. Karena begitu
bertemu tempat tidur, tidak ada yang bangun lagi. Langsung terlelap kelelahan.
Mirza dan ketiga rekannya hanya menggeleng kepala melihat aksi Jalal dan teman-temannya.
“Ini baru
sehari. Masih pengenalan. Bagaimana dengan masa orientasi
nanti?” gumam Mirza kepada Dzaky dan dua rekannya yang lain.
“Untung
mereka bukan calon taruna yang sebenarnya. Kalau tidak, bisa habis mereka.
Dasar anak-anak manja semua, baru begitu saja sudah ambruk.” Gerutu Dzaky.
Rekan-rekannya tertawa mendengar gerutuan Dzaky.
Iya.
Memang benar. Semua calon taruna khusus itu rata-rata adalah anak orang kaya
yang manja, tidal pernah jalan kaki lebih dari menit, kebanyakan perokok, minum-minuman keras, makan dan mandi seenaknya,
tidak pernah mencuci pakaian sendiri, dan bahkan tidak pernah merapikan tempat
tidur sendiri.
Keesokan
harinya, ketika jam sudah menunjukkan pukul 04.00 subuh, kembali Mirza dan
ketiga rekannya membangunkan adik-adik didiknya. Seperti yang sudah bisa di
tebak, tentu saja mereka sangat susah dibangunkan. Apalagi itu kalau bukan
karena kebiasaan, dan juga capek.
“Ayo,
semua bangun! Bangun! Saatnya untuk kembali mengikuti latihan!” seru Mirza dan
Dzaky menarik selimut para catarsus (calon taruna khusus) itu. Ada yang bahkan
dari awal tidur tengkurap, sampai dibangunkan kembali juga masih dalam posisi
tengkurap. Dari kamar sebelah juga terdengar rekan Mirza dan Dzaky membentak
untuk membangunkan mereka yang belum bangun.
“Hm...masih ngantuk nih. Badanku sakit
semua.” Entah siapa yang bergumam itu.
“Ngantuk, ngantuk. Semua cepat berbaris
ke kamar mandi. Bersihkan diri dan sholat subuh berjamaah.” Bentak Dzaky.
Dengan susah payah Jalal dan rekan-rekannya bangun, kemudian merapikan tempat
tidur, bantal, melipat selimut seperti yang diajarkan kemarin. Setelah itu mereka
mandi dan segala macam yang berhubungan dengan kamar mandi, kemudian
dilanjutkan dengan sholat subuh berjamaah, termasuk Mirza dan ketiga rekannya.
Sejak
saat itu, mulailah latihan demi latihan dilakukan oleh Jalal dan
rekan-rekannya. Mulai dari senam pagi, upacara bendera, pull up, sit up, push up, dengan cara yang
benar. Pak Bhairam hanya sesekali saja melihat keadaan mereka.
Pagi itu mereka akan dilatih untuk latihan
baris berbaris. Mereka semua berjejer rapi dengan urutan lima kesamping, empat
kebelakang. Sersan Mirza, dan ketiga rekannya berdiri di depan barisan.
“Selamat pagi semuanya.” Sapa Mirza.
“Pagi.” Sahut mereka. Mirza berdecak.
“Kurang keras. Kurang semangat. Ulangi. Pagi
semuaa!” sapa Mirza agak keras sedikit.
“PAGIIII SERSAN!” koor peserta dalam barisan
menyahut lebih keras lagi. Sersan Mirza mengangguk.
“Bagus. Ini masih pagi. Harus lebih
bersemangat. Calon taruna itu tidak boleh loyo. Masa baru latihan satu hari
saja sudah ambruk.”
“SIAP SERSAN!”
“Sekarang saya mau tanya, siapa yang punya
penyakit berat disini?” tanya Sersan Mirza lagi. Seorang yang bertubuh agak
bongsor yang berada dibarisan paling ujung mengacungkan tangannya.
“Iya kamu. Maju ke depan.” Perintah Sersan
Mirza. Si bongsor itu pun maju. Terlihat pakaian loreng yang melekat
ditubuhnya begitu sesak sekali.
“Sekarang katakan, kamu punya penyakit berat
apa?”
“SIAP. Saya punya penyakit ngantuk berat
Sersan.” Katanya dengan posisi siap. Sontak rekannya yang ada di barisan tertawa tanpa sadar.
“DIAM! Siapa suruh kalian tertawa?” bentak
Sersan Mirza. Seketika suasana hening. Sersan Mirza kembali menatap ke arah
laki-laki tadi.
“Nama kamu siapa?”
“SIAP! Nama saya Edo.”
“Nama lengkapnya?”
“Edo-cation, Sersan.” Celetuk salah seorang
yang ada di barisan. Siapa lagi kalau bukan si kembar plontos itu. Hasan dan Husain. Namun Husain hanya
tertawa sambil menunduk. Begitu juga dengan mereka yang lain tertawa pelan
mendengar mulut Hasan yang usil itu. Kembali Sersan Mirza dan ketiga rekannya
menolah kembali ke dalam barisan.
“Sudah saya bilang, tidak ada yang menyuruh
kalian tertawa!” tawa mereka langsung menghilang.
“Sekarang kamu Edo. Lari keliling lapangan
ini sebanyak 20 kali sambil berteriak kalau kamu tidak akan mengantuk lagi.
CEPAT LAKSANAKAN!” perintah Sersan Mirza.
“Tapi Sersan?”
“Tidak ada tapi-tapi, laksanakan sekarang
atau hukumanmu akan ditambah?”
“SIAP. TIDAK MAU SERSAN.” Sahut Edo masih
dengan posisi hormat.
“Bagus. Sekarang laksanakan.”
“SIAP. Sersan.”
Edo langsung berlari menyusuri pinggir
lapangan sambil berteriak “aku tidak akan mengantuk lagi” berulangkali.
Rekan-rekannya tertawa cekikikan. Termasuk Jalal dan kedua sahabatnya.
Kini kembali Sersan Mirza menghadap ke
barisan. Suasana kembali senyap, ketika wajah garang Sersan itu menatap mereka
semua dengan penuh intimidasi.
“Sekarang giliran kalian. Lari seperti Edo
sebanyak lima kali, dan kembali kesini. Laksanakan!”
“SIAP!”
Mereka langsung berlari mengikuti perintah
Sersan Mirza, namun tidak beraturan. Ada yang lari terlebih dahulu, ada yang
pelan-pelan, ada yang santai, bahkan ada yang lari seperti dikejar anjing.
Akibatnya ketika kembali menyusun barisan, nafas mereka mulai habis. Sersan
Mirza dan ketiga rekannya hanya mendecak melihatnya.
“Sekarang, sebagai hukuman karena kalian
tertawa tanpa diperintah, kalian harus push up sebanyak 20 kali secara
bersamaan. Lakukan setelah mendengar aba-aba dari kami dan ikuti hitungannya.
Laksanakan!”
“SIAP LAKSANAKAN!”
Mereka kembali mengambil posisi push up dan
siap menunggu perintah.
“SATU.” Seru Sersan Mirza.
“SATU!” teriak mereka mengikuti aba-aba
seraya melakukan push up sebanyak satu kali. Setelah itu ditahan. Sersan Mirza
kembali memberi hitungan aba-aba.
“DUA.”
“DUA!” teriak mereka kembali, dan melakukan
seperti halnya gerakan pertama, begitu terus sampai hitungan ke dua puluh.
Sementara Edo masih berlari dengan nafas
terengah-engah berusaha menyelesaikan hukumannya. Begitu selesai melaksanakan
hukumannya, dia jatuh terkapar dihadapan teman-temannya. Jalal dan rekan
sebarisnya tidak berani tertawa lagi, hanya menatap Edo dengan pandangan
kasihan. Hahahaha....
Setelah
memberi waktu untuk mereka istirahat, Sersan Mirza kembali memberikan latihan
baris-berbaris yang benar, dan berlari bersama-sama agar barisan tetap rapi.
Setelah makan siang dan sholat, mereka dipersilakan untuk mencuci pakain mereka
sendiri. Jadi, setelah habis dipakai, pakaian tersebut harus di cuci dan
disetrika rapi.
Makan, makan sendiri
Cuci baju sendiri
Setrika baju sendiri
Semua ku sendiri
Mulut
Hasan terus bernyanyi sambil mencuci pakaiannya, meski cuciannya terlihat aneh.
Maklumlah, seumur hidup belum pernah memegang yang namanya deterjen dan pakaian
kotor. Jadinya ya, apa adanya saja. Untunglah, hampir semua teman sekamarnya
tidak ada yang pernah mencuci pakaian
juga, jadinya dia tidak terlalu merasa malu. Karena bila dia malu, Husein malu,
dan yang lain malu, maka yang ada adalah tim tidak tau
malu. Hahahaha....
Surya menghampirinya dan mencolek bahunya.
Ditangannya memegang seragam lorengnya yang habis dipakainya tadi. Hasan
menoleh.
“Ada apa Paman?” tanya Hasan, membuat mulut
Surya membentuk garis lurus. Ingin kesal tapi ditahannya.
“Kamu anak raja yang baik hati kan Can?”
Surya mulai melancarkan jurusnya. Hasan menanggguk
“Iya dong Paman. Sebagai anak raja, aku harus
baik hati dong.” Surya tersenyum. Dia menjulurkan seragamnya kepada Hasan yang
mengerutkan kening menerimanya, “apa ini Paman?”
“Sebagai anak raja dan sebagai sesama
manusia, kita harus tolong meno—“ ucap Surya sengaja memotong ucapannya agar
disahut oleh Hasan.
“Iya Paman, harus tolong menolong.” Akhirnya
disahut juga oleh Hasan.
“Bagus. Kalau gitu, tolongin Paman ya untuk
mencuci seragam ini. Anak raja kan baik hati dan tidak sombong. Pasti mau
menolong.” Ucap Surya seraya memamerkan senyuman termanisnya.
Entah karena memang dia baik hati, atau
memang dia bego, Hasan mengangguk dan mau juga menerima seragam Surya untuk di
cucikan. Mansingh dan Jalal terbahak tanpa suara melihat adegan mereka berdua.
Surya pun tersenyum puas dan melenggang masuk ke kamarnya untuk beristirahat.
Setelah
mencuci pakaian, mereka kembali latihan. Kali ini mereka disuruh berlari dengan
membawa ransel yang diberi beban sebanyak 15 kilogram. Tentu saja buat mereka
itu berat, karena membawanya sambil berlari.
Menjelang
sore latihan di hentikan. Mereka mengikuti sholat magrib berjamaah. Jalal
berada di samping Mansingh, dan Mansingh berada disamping Surya.
Sementara di samping Jalal adalah temannya yang asli pribumi. Namanya Bambang
Sujono yang dengan bangga dipanggil dengan nama Paijo. Hehehe....
Disamping
Paijo, berdiri Hasan dan Husein. Mereka berjejer dibelakang para taruna senior.
Ketika selesai sholat dan
mengucapkan salam, Jalal menyenggol tangan Mansingh, pemuda itu menoleh. Jalal
menunjuk dua orang disampingnya yang masih dalam posisi sujud.
Mansingh
menahan ketawa melihat keduanya. Rupanya Paijo dan Hasan tertidur kecapekan
ketika sujud. Husein menggoyangkan tubuh saudara kembarnya itu, begitu juga
dengan Jalal. Mereka berdua yang
tertidur menjadi perhatian jemaah yang ada disitu.
Namun yang ada mereka berdua malah ngorok. Beberapa orang tertawa geli
melihatnya.
Barulah setelah mendengar bentakan dari
Sersan Mirza, mereka berdua bangun dengan kaget karena ketahuan ketiduran
sewaktu sholat. Sebagai hukumannya mereka berdua disuruh jalan jongkok dari
masjid ke asrama. Untuk orang yang berjalan seperti biasa saja, memakan waktu
sekitar 15 menit, apalagi kalau berjalan sambil berjongkok. Tetapi apadaya,
hukuman tetaplah hukuman dan mereka berdua harus menjalaninya. Husein hanya
bisa menatap kasihan kepada saudara kembarnya itu.
Meski
awalnya mereka banyak yang kelelahan dan tumbang karena mengikuti latihan yang
mendadak itu, namun pelan-pelan mereka sudah terbiasa. Sedikit demi sedikit
persentase yang tidak kuat mengikuti latihan berkurang. Bahkan sampai seminggu
latihan, akhirnya semua sudah terbiasa menjalani latihan yang diberikan oleh
Mirza dan dan ketiga rekannya. Kini mereka sudah siap membaur dengan para catar
(calon taruna) yang akan datang.
Hari yang
dinantikan pun telah tiba, ratusan calon taruna yang lulus tes pun berdatangan
dan mengisi asrama. Jalal dan teman-temannya membaur dan berkenalan dengan
catar yang datang. Ada rasa bangga di hati Jalal dan rekan-rekannya ketika
dikumpulkan bersama-sama catar yang datang, terasa mereka juga dianggap sebagai
catar yang sesungguhnya.
Setelah
melakukan upacara untuk menerima para taruna yang akan menempuh pendidikan di
akmil tersebut yang dipimpin langsung oleh gubernur akmil, mulailah mereka akan
melakukan kegiatan wajib para taruna baru yaitu masa orientasi. Dunia taruna
pun diperkenalkan oleh para “Panglima, Hulubalang, dan Algojo.”
Di awali
dengan “pertandingan sepakbola” di lapangan Sapta Marga. Suara ledakan dan tembakan di Bukit Tidar membuka “pertandingan”
tersebut. Namun, dasar capratar (calon prajurit taruna) yang lugu, bukan mereka
yang main bola, tetapi malah mereka dijadikan bola.
Para
senior pun “menyerbu” dari segala penjuru. Rasa takut, khawatir, bingung,
dan helm baja “kura-kura” membuat mereka
menjadi melongo seperti monyet. Disuruh merayap, jungkir
balik, guling-guling, jalan jongkok, di perkenalkan kepada mereka. Karena
sebelumnya para catarsus hanya diberikan latihan dasar untuk memperkuat fisik
mereka saja selama seminggu, sehingga “pertandingan” seperti sekarang belum pernah
mereka lakukan.
Bahkan
ada yang diperintahkan untuk mengumpulkan algojo lewat pengeras suara. Tetapi
memang dasar monyet, sudah melongo, bego lagi. Hahahaha... perintah pun
dilaksanakan, alhasil malah dia yang “dikumpulin” oleh para algojo tersebut
untuk dikerjain dan dihukum.
Kegiatan
berlanjut kemudian dengan pengenalan ruang makan. Para catarsus yang sebelumnya
sudah diperkenalkan terlebih dahulu, tetap saja kaget melihat menunya.
Macam-macam mulai dari “Bubur Manado” sampai “Susu Kuda liar”. Bukan dalam arti
yang sesungguhnya. Yaitu makanan yang dimasak campur menjadi satu. Lembek,
dengan campuran entah apa yang di dalam bubur tersebut, dan makanan tersebut harus
habis. Untuk anak-anak orang kaya semacam Jalal dan rekan-rekannya yang
terbiasa rewel dalam hal makanan, hal itu tentu saja sangat menjijikkan. Tetapi
apa daya, jika ketahuan di muntahkan atau tidak di makan, mereka akan dihukum.
Akhirnya daripada lapar dan mendapatkan hukuman, dengan terpaksa mereka pun
menyantap makanan dan minuman tersebut dengan susah payah.
Apakah
semua cukup sampai disitu? Belum. Istilahnya, badai berlalu, topan datang
menerpa. Orientasi tidak akan selesai sampai sikap militer terbentuk dan pantas
masuk Resimen Korps Taruna.
Hari itu,
hari ketika akan dilakukan Upacara Puncak Tidar, yaitu melakukan perjalanan
sari Gunung Tidar-Pisangan, di tengah
perjalanan para taruna diperintahkan untuk istirahat sebentar. Jalal yang terpisah
dari Mansingh dan Surya langsung menghempaskan pantatnya di atas rumput. Dengan
tangan masih memanggul senapan dia memperhatikan rekan-rekannya sesama yang
mengikuti pelatihan. Sesaat dia mendongak, menatap langit yang terlindung awan. Padahal mereka baru saja melakukan
pelatihan, tetapi kenapa rasanya lama sekali. Dan rindu ini? Rasanya semakin membuncah saja.
Jalal memetik
batang rumput yang agak panjang, digigitnya dan dia merebahkan tubuhnya diatas
rumput berbantalkan sebelah tangannya. Memejamkan matanya dengan batang rumput
masih di mulutnya. Tubuhnya memang capek, tetapi hatinya lebih capek lagi.
Setengah bulan sudah dia berada ditempat itu.
“Papa
kangen Mama ya?” tiba-tiba terdengar suara Hasan disampingnya. Jalal membuka
matanya.
“Sok tau
kamu.” Sahutnya datar. Giginya masih mengunyah batang rumput itu pelan-pelan,
sedangkan matanya menatap langit luas. Dia sekarang terbiasa di panggil “papa”
oleh kedua bocah kembar itu. Entah kenapa mereka berdua senang sekali
memanggilnya begitu. Masa akibat begitu kuatnya pengaruh film India yang
ditontonnya? Hasan terkekeh.
“Aku jadi
penasaran bagaimana ya rupa Mamaku itu. Apa dia cantik, Papa?”
“Hm.”
“Apa dia
keibuan seperti di film itu, Papa?”
“Hm.”
“Apa Papa
mencintainya?” Jalal menoleh.
“Tentu
saja, Bodoh.” Sahutnya dengan ketus. Bukannya marah, Hasan malah terkekeh
kembali.
“Akhirnya
Papa mau ngomong juga.” Jalal akhirnya tersenyum meski samar.
“Dia
cantik, polos, pintar, jago karate, jago nge-drum, dan yang pasti dia sangat
perhatian.” Ucap Jalal setengah melamun, Hasan membulatkan mulutnya tanda
kagum, “tapi dia tidak romantis.” Hasan tertawa pelan.
“Di
omongin begitu jadi malah tambah kangen ya, Papa?”
“Hm.”
“Jangan
diomongin lagi, Papa. Biar nggak tambah kangen.” Ucap Hasan kembali terkekeh.
“Kamu
pernah jatuh cinta, Can?” tanya Jalal kembali menoleh ke arah Hasan. Pemuda itu
terdiam sebentar. Pandangannya berubah sendu.
“Pernah,
Papa. Tapi,...”
“Kenapa?”
“Ah,
tidak apa-apa, Papa. Terlalu sakit untuk di ingat. Hanya akan membuat sedih
saja.” Sahut Hasan. Jalal bangkit dan duduk disamping Hasan. Dia menepuk pelan
bahu pemuda itu.
“Jangan sedih. Mungkin saja suatu saat akan
ada yang lebih baik lagi untuk menggantinya. Kita takkan tahu dengan siapa kita bisa jatuh cinta lagi.” Hasan
mengangguk.
“Iya,
Papa.”
Jalal
tersenyum, dia sendiri bingung, kenapa kata-kata seperti itu bisa keluar dari
mulutnya. Bagaimana kalau terjadi pada dirinya dan Inem? Oh tidak! Jangan
sampailah seperti itu. Jalal tidak mau itu terjadi, saat ini yang sangat
diinginkan Jalal adalah gadis itu. Iya. Hanya dia.
Tib-tiba
terdengar perintah untuk melanjutkan perjalanan mereka lagi menuju Pisangan.
Jalal dan Hasan segera bangkit dan bergabung dengan taruna yang lain.
Orientasi
yang dilakukan sungguh sangat-sangat menguras tenaga dan mental, kelelahan jiwa
raga. Tapi semua harus dihadapi dengan tabah, mereka bahkan tidak punya waktu
untuk mengeluh, saking padatnya jadwal kegiatan yang dilakukan. Banyak sekali
kegiatan yang mereka lakukan, mulai dari melintas rayapan dibawah kawat
berduri, halang rintang, rayapan tali satu, naik tebing, melintasi jaring
laba-laba dan berbagai rintangan lainnya. Bahkan mereka
diharuskan tidur di kuburan selama semalaman dan setiap orang
memeluk nisan sampai pagi.
Sesuatu yang diingat oleh Jalal dan juga para
taruna yang mengikuti latihan adalah kerjasama. Apalagi ketika teman mereka
yang bernama Edo itu susah payah harus melintasi jaring laba-laba, dan juga
rayapan tali satu. Mereka bersama-sama mendorong tubuh Edo agar bisa naik dan
bisa melintasi rintangan tersebut. Walaupun diakui, bobotnya sudah berkurang
banyak dari sebelumnya. Latihan yang berat membuat berat badan Edo dan juga
semua taruna turun.
Selesai
orientasi saatnya mereka diterima sebagai taruna Lembah Tidar. Akhirnya Gerbang
Candradimuka pun dimasuki dengan tegar dan penuh percaya diri. Jalal, Mansingh,
Surya, dan juga teman-temannya se-asrama yang senasib berjalan dengan penuh
rasa bangga. Dan kehidupan militer yang
sesungguhnya akan diperkenalkan kepada mereka.
Jadwal
berikutnya semakin padat. Kegiatan pagi dimulai dari senam pagi, apel pagi,
kegiatan pembelajaran yang padat, latihan luar yang melelahkan sampai waktu
tidur malam pun harus mereka lalui. Mulai dari berlatih dalam renang militer,
lintas medan, halang rintang, senam praktek, dan tak lupa bela diri militer.
Semua itu adalah bagian dari pembentukan diri menjadi seorang taruna yang ideal
di Kawah Chandradimuka selama tiga bulan.
Untuk
para capratar, akan dilantik menjadi
prajurit taruna, sedangkan untuk catarsus di pisahkan karena materi
pembelajaran yang mereka terima akan berbeda.
Para
catarsus akan lebih banyak menerima materi tentang kepemimpinan, pembentukan
karakter diri, minat dan bakat, selain latihan fisik tentu saja yang mereka
terima setiap hari. Untuk minat dan bakat mereka dipersilakan memilih sendiri.
Jalal dan Mansingh dan juga dua kembar, Hasan dan Husein, memilih memperdalam
bela diri, olahraga basket, dan menembak. Sedangkan Surya dan beberapa rekan
seasrama menghabiskan waktu dengan membaca dan berlatih menjadi programer.
Setelah
enam bulan menjalani masa pelatihan dan pembinaan, akhirnya mereka akan dilepas
ke tengah masyarakat untuk mengadakan bakti sosial selama dua minggu di desa
terdekat dan di biarkan untuk mengurus diri sendiri, mulai dari memasak makanan
sendiri (diakmil mendapat jatah makan) dan berbelanja sendiri ke pasar, mencuci
pakaian sendiri, kerja bakti memperbaiki saluran air, membangun MCK untuk warga, mengajar anak-anak
baca tulis, serta masih banyak kegiatan sosial lainnya yang mereka lakukan dan
akan dinilai kekompakan tim dan juga bagaimana sosialisasinya dengan
masyarakat.
Mereka
dibagi menjadi dua tim. Jalal, Mansingh dan Surya beruntung berada dalam satu
tim. Ternyata mereka satu kamar sewaktu di asrama adalah satu tim. Jalal
diangkat sebagai ketua tim tersebut. Tentunya Sersan Mirza dan Sersan Dzaky masih berada di antara mereka
sebagai pembimbing dan penilai. Namun, keberadaan mereka kali ini terasa dekat. Bukan
lagi sebagai pembimbing, tetapi lebih kepada teman dan sahabat.
Pagi
pertama, Jalal dan dua rekannya bertugas untuk berbelanja di pasar terdekat.
Sebuah pasar tradisional. Tidak ada ekspresi gengsi dan jijik di wajah mereka
ketika memasuki tempat tersebut. Mungkin karena sebelumnya sudah terbiasa
berteman lumpur di kawah Chandradimuka, jadi tempat becek pun sudah dianggap
biasa.
Jalal
ditemani temannya dari suku Batak bernama Togar, dan Paijo. Mereka
memilih-milih sayuran dan ikan yang akan mereka masak untuk teman-teman mereka yang sedang
mengadakan kerja bakti.
“Nenek,
berapa ini harganya satu ikat?” tanya Togar kepada seorang penjual yang seorang
nenek dengan logat bataknya dan bersuara keras. Nenek tersebut bingung .
Rupanya dia tidak mengerti bahasanya Togar, “bah, macam mana pula si nenek
tidak mengerti perkataanku.” Gerutunya. Jalal dan Paijo tertawa, “coba tadi aku
pinjam ponsel Sersan Mirza biar aku bawa kepasar buat translate bahasa jawa.”
Akhirnya Paijo maju menggantikan Togar.
“Sini, biar aku
saja.” Tawar Paijo. Togar mundur memberi jalan untuk Paijo. “meniko pinten regine pun, Mbah (ini berapa harganya, Nek)?” tanya Paijo
dengan lembut menunjuk seikat kangkung. Si nenek tersebut menjawab juga dengan
bahasa daerahnya. Togar hanya mendecak melihat nenek tersebut berbicara lancar
dengan Paijo.
“Sudah
Togar, tidak apa-apa. Lagian inikan pasar tradisional, jadi wajar kalau kita
tidak mengerti.” Togar mengangguk.
“Iya Bang
Ketua.” Jalal tersenyum.
Setelah
berbelanja mereka kembali ke tenda tempat mereka tinggal, untuk memasak.
Ketiganya sibuk membagi pekerjaan, karena teman-teman mereka yang lain sedang
membersihkan saluran air milik warga bersama anggota masyarakat lainnya.
Ini
adalah pengalaman pertama memasak untuk Jalal. Memang sebelumnya dia sempat mendatangi ruang makan di akmil
dan belajar sebentar dengan koki yang ada disitu sebelum mereka berangkat
kemarin.
Mengerjakan
semua itu, dia teringat dengan Inemnya. Sedang apa dia sekarang? Bagaimana
kuliahnya? Apa sudah selesai? Bathinnya terus bertanya-tanya.
“Bang Ketua, jangan melamun saja kau. Nanti
gosong itu ikannya.” Tegur Togar melihat Jalal memegang sutil dan menatap ke
arah ikan yang sedang di goreng, namun pandangannya seperti orang sedang
melamun.
Jalal tergagap. Kok ya sempat-sempatnya dia
memikirkan Inemnya. Bagaimanapun ini sudah enam bulan lebih mereka berdua tidak
pernah bertemu, bahkan untuk berbicara di ponsel saja tidak pernah. Rasanya
Jalal tidak sabar lagi untuk pulang. “sabar Jalal, sebentar lagi juga kamu akan
pulang.” gumamnya. Di segera mengalihkan perhatiannya
kepada pekerjaannya.
Setelah pekerjaan mereka selesai, Jalal,
Togar dan Paijo duduk santai menikmati secangkir kopi menunggu teman-teman
mereka datang sambil berbincang. Paijo bersenandung menggunakan tembang jawa,
tangannya menepuk meja pelan berirama. Sedangkan Jalal dan Togar hanya diam
mendengarkan, karena memang tidak mengerti.
Mendem kangen njero ning atiku (Menahan rindu dalam hatiku)
Soyo jeru mung telfon sliramu (Semakin dalam bila cuma telepon kamu)
Mendem kangen pengen ketemu (Menahan rindu ingin bertemu)
Nadyan sak kedep wes marem atiku (Meski sekejap sudah puas hatiku)
Soyo jeru mung telfon sliramu (Semakin dalam bila cuma telepon kamu)
Mendem kangen pengen ketemu (Menahan rindu ingin bertemu)
Nadyan sak kedep wes marem atiku (Meski sekejap sudah puas hatiku)
“Apa artinya itu Bang Jo?” tanya Togar. Paijo
tersenyum.
“Itu mengisahkan tentang beratnya hati
seseorang yang memendam rindu kepada kekasihnya yang jauh. Lama tidak bertemu,
hanya bisa berbicara melalui telpon saja. Meski begitu, dia sudah puas walau
hanya berbicara melalui telepon saja.” Jelas Paijo. Togar mengangguk mengerti.
Dia melirik Jalal yang terdiam mendengar penjelasan tentang
arti tembang yang dinyanyikan oleh Paijo.
Sekarang, hatinya dipenuhi oleh rasa rindu
kepada gadisnya yang sudah enam bulan lebih tidak pernah bertemu dan tidak
pernah tahu bagaimana kabarnya. Sialan Paijo. Bikin aku teringat saja. Gerutu
hati Jalal.
“Bang Ketua sepertinya sedang memendam rindu
kayaknya.” Sindir Togar, Jalal hanya mendengus pelan. Togar dan Paijo terkekeh.
“Sepertinya begitu Bang Togar. Ketua kita sedang gelisah
ingin bertemu seseorang. Mungkin itu mamanya si kembar kali ya. Hahahaha...”
mereka berdua tergelak, namun Jalal hanya diam saja. Benar, berat sekali menahan
rindu. Inem...Inem...aku kangen kamu Nem. Kangen banget. Bisik hatinya kembali.
Di luar terdengar suara ramai. Teman-teman
mereka yang kerja bakti itu mulai datang bersama sersan asisten pembimbing.
Jalal dan kedua temannya mulai menyiapkan makanan yang sudah mereka masak tadi.
Meski seadanya dan rasanya juga alakadarnya, namun semua makanan yang dihidangkan
habis tanpa sisa. Entah karena lapar atau memang enak. Tetapi yang pasti, rasa
kebersamaan merekalah yang lebih utama. Banyak hari dan kejadian yang mereka
lewati bersama.
Mereka, yang awalnya dicap sebagai anak-anak
yang manja dan malas, sekarang lihatlah. Tidak ada seorang pun dari mereka yang
mengeluh dalam hal mengerjakan apapun. Kecuali mengeluh rindu kepada keluarga
dan orang tua. Tidak pernah lagi cerewet dalam hal memilih makanan, karena
mereka sudah pernah merasakan bagaimana susahnya mencari makanan ketika dilatih
selama tiga bulan di Kawah Chandradimuka.
Mereka bisa menghargai orang lain dan tidak
segan-segan menolong teman atau siapa saja yang kesusahan, namun tetap kompak.
Bahkan sikap kocak dan gokil beberapa teman-temannya tidak ada yang berubah,
malah bertambah parah. Hanya saja ketika sedang bertugas, sikap itu akan
tenggelam dengan sendirinya.
Memang yang Jalal rasakan, selama menjalani
pembinaan dan pelatihan selama enam bulan lebih, banyak perubahan yang dia
rasakan. Dia harus belajar bersabar, karena yang dihadapinya bukan cuma
Mansingh dan Surya saja, tetapi orang banyak dengan lebih beraneka ragam
karakter dan sifat. Belajar bersabar dalam menjalani latihan dan kehidupan
sehari-harinya di asrama, mencuci pakaian sendiri, mensetrika sendiri,
menyiapkan keperluannya sendiri, bahkan sampai kaos kaki dan sepatu saja harus
dia lakukan sendiri.
Benar kata Nadia, bisa-bisa nanti dia pulang
kerumah sudah tidak perlu Bi Ijah, Mang Diman dan Inem lagi kali ya.
Bukan.
Kalau Inem yang dia perlukan hanya cintanya
gadis itu saja dan juga perhatiannya. Ciee...Jalal sekarang bisa berbangga
diri. Setidaknya sekarang bisa meningkatkan nilai plusnya dihadapan Inem. Dia
ingin lagi mendengar Inemnya memanggilnya dengan sebutan sayang lagi, yang
sudah membuat hatinya kebat-kebit tidak karuan.
Tidak terasa dua minggu mereka lalui bersama.
Setiap hari Jalal memasak. Tidak peduli itu untuk sarapan, makan siang atau
makan malam. Pokoknya sesempatnya dia saja. Bukan karena dia baik hati.
Hahahaha... tetapi, dia ingin kelak ketika dia pulang, dia bisa menunjukkan
keahliannya kepada Inemnya dan juga kepada kedua orang tuanya. Kan lumayan, ada
banyak tester yang tidak pernah
protes akan hasil masakannya.
Jalal bahkan tidak segan-segan bertanya
kepada ibu-ibu disekitar tempat mereka melakukan bhakti sosial tentang berbagai
macam masakan daerah dan cara memasaknya. Jalal tersenyum, banyak bekal yang
akan dia bawa pulang nantinya.
Setelah dua minggu, kedua tim kembali ke
akmil untuk dilakukan pelepasan oleh wakil gubernur akmil. Selain itu juga
orang tua dan keluarga mereka juga sudah siap menjemput. Jalal dan kedua
sahabatnya itu akan kembali dijemput oleh Bayu. Satu sama lain saling
berpelukan, apalagi ketika Jalal berpelukan dengan Hasan dan Husein, kedua
bocah kembar plontos itu. Dia merasa berat, karena memang mereka berdua yang
lebih banyak menghibur ketika sedang stres berat karena latihan dengan banyolan
dan celetukannya yang mendadak.
“Salam buat Mama ya, Papa.” Ucap Hasan dan
diangguki oleh Husein, “jangan kangen kami ya, Papa.” Jalal tersenyum.
“Iya. Nanti akan Papa sampaikan. Kapan-kapan
kalian main kesana ya. Papa tunggu.” Sekali selama mereka bersama, akhirnya
Jalal mau juga menyebut dirinya papa. Kedua bocah kembar itu tertawa lebar.
Duh, Jalal pasti kangen mereka nantinya. Setelah acara foto bersama, akhirnya
mereka pun berpisah dan membubarkan diri.
“Bagaimana?” tanya Bayu ketika mereka sudah
berada dalam mobil. Kali ini Bayu sengaja menjemput mereka menggunakan mobil,
tidak seperti sebelumnya yang menggunakan kereta api. Ketiganya tersenyum.
“Seru Bang, dan luar biasa.” Sahut Jalal.
“Pantas Abang keren begini, ternyata
latihannya beraaaat banget.” Bayu terkekeh.
“Yang kalian jalani itu belum seberapa. Kalau
ingin menjadi prajurit sesungguhnya, latihannya sungguh sangat berat. Bahkan
ada yang sampai meninggal ketika latihan.” Ketiganya mengangguk tanda mengerti.
“Nggak ah Bang. Begini saja sudah cukup. Apa
yang aku rasakan sekarang, sudah jauh berbeda dengan enam bulan yang lalu.”
Sahut Jalal.
“Baguslah. Tidak sia-sia orang tuamu mengirim
kalian berlatih disana. Pasti kedua orang tua kalian bangga. Nanti, latihan
karatenya bisa di perdalam lagi di dojo milik orang tua Abang waktu itu.”
“Siap Bang.” Sahut mereka serempak. Bayu
tersenyum. Mobil mereka pun perlahan melaju menjauhi kota Magelang yang penuh
kenangan, yang pastinya tidak akan pernah mereka lupakan.
===tbc===
Untuk yang
sudah membacanya sampai selesai, aku ucapkan banyak terima kasih. Karena sudah
mau membaca tulisan yang banyak narasinya ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar