Menu

Jumat, 12 Februari 2016

BIARKAN AKU JATUH CINTA. PART. 20 (PERJUANGAN YANG BERAT)


Met malem semua,.. Tuan muda datang lagi nih. Tanpa Inem kali ini ya. Sebelum membaca, aku kasih tahu dulu kalau di part ini akan banyak narasinya, jadi kalau ingin di skip silakan, ingin menunggu part selanjutnya juga silakan. Tetapi jujur, ini adalah part yang sangat menyenangkan buatku. Entahlah. Aku tidak tahu apakah ada atau tidak pembinaan seperti yang aku tulis ini di akmil. Kalaupun tidak ada, aku berharap semoga suatu saat akan ada. Untuk turut memperbaiki dan membina anak bangsa sebagai bakti kepada negara.
Ya ampun,...aku kayak pidato ya. Ya sudah, silakan dibaca saja buat yang berkenan. Hehehe....
=======0000=======
Setelah menempuh perjalanan yang panjang, akhirnya mereka sampai juga di kota Jogyakarta. Bayu sengaja mengajak mereka untuk menginap di kota itu, karena untuk mengantarkan mereka bertiga akan dilakukan keesokan harinya.
Bayu sengaja mencari losmen kecil dan sederhana, murah meriah yang banyak bertebaran di kota wisata tersebut. Makan makanan angkringan, yaitu tempat berjualan berbagai makanan dengan menggunakan gerobak dorong yang terdapat disetiap ruas jalan yang ada disekitar losmen tempat mereka menginap.
“Bang, nanti kami disana  akan diapakan?” tanya Surya. Dia sedikit takut dan ngeri membayangkan apa yang akan mereka hadapi nantinya. Bayu terkekeh melihat ekspresi Surya, kemudian dia juga menatap Jalal dan Mansingh bergantian.
“Banyak yang akan kalian lakukan disana nanti sebagaimana para taruna baru. Tapi sebelumnya kalian akan dilatih dan diperkenalkan dengan kampus tempat kalian tinggal nanti, asramanya, tempat latihan, apa yang akan kalian pelajari disana. Karena setelah itu kalian akan membaur dengan taruna yang sesungguhnya untuk menjalani serangkaian latihan berat.” Jelas Bayu. Surya nampak tegang. Begitu juga dengan Jalal dan Mansingh.
“Apa tidak berbahaya bagi kami yang sangat pemula ini untuk menjalani latihan berat itu Bang?” tanya Jalal. Bayu menggeleng.
“Itulah makanya, kalian datang seminggu sebelum para taruna yang sesungguhnya datang. Karena kalian akan di ajarkan perlahan-lahan persiapan untuk menghadapi latihan berat tersebut agar kalian tidak kaget nantinya.” Mereka bertiga mengangguk tanda mengerti, “pesan Abang, apapun latihan yang akan kalian hadapi nanti, lakukan dengan hati, dengan segenap jiwa, dengan bangga, buang segala dendam atas apa yang akan pelatih kalian lakukan, agar kalian menjadi manusia yang bersih kembali.”
“Iya Bang. Kami mengerti.”
“Bagus. Ayo kita kembali ke penginapan.” Ketiganya mengangguk dan bangkit mengikuti Bayu kembali ke losmen tempat mereka menginap, setelah sebelumnya membayar semua makanan yang telah mereka makan. Kali ini apapun yang mereka makan seperti tidak terasa apa-apa, kecuali agar perut tidak lapar saja, karena pikiran mereka terlalu tegang memikirkan apa yang akan mereka hadapi besok.
Keesokan harinya Bayu mengajak ketiganya berangkat ke Magelang, yang dari kota Jogyakarta hanya menempuh waktu perjalanan kurang lebih satu jam saja.
Memasuki kampus akmil, Bayu cs sudah di tunggu oleh seseorang  di sekretariat pendaftaran untuk taruna pendidikan khusus seperti Jalal dan teman-temannya.
“Bayu, bagaimana kabarmu sekarang?” tanya seseorang yang pakaian seragam dinas lengkap berusia kurang lebih 50 tahun. Sedangkan Bayu saat itu hanya menggunakan pakaian formal saja, bukan pakaian dinas. Dia memeluk Bayu dengan hangat.
“Baik Pak. Bapak sendiri sehat?” Bayu balik tanya. Pria itu terkekeh.
“Seperti yang kamu lihat sekarang.” Bayu menoleh ke arah Jalal dan sahabatnya.
“Jalal, Man, Surya, kenalkan ini Pak Bhairam Sadewa. Beliau gumil (guru militer) disini. Beliaulah yang akan membimbing  kalian nanti, dan pastinya akan dibantu oleh asisten beliau.” Ujar Bayu memperkenalkan mantan dosennya dulu yang sampai sekarang masih berhubungan baik.
Sekilas kalau dilihat, Pak Bhairam seperti orang yang keras, itu terlihat dari garis wajahnya yang tegas, kaku, jarang senyum. Namun ternyata orangnya menyenangkan juga dan bersikap hangat dan terbuka. Bahkan Bayu pun terlihat nyaman dan senang sekali bertemu dengannya.
Satu persatu mereka menyalami laki-laki yang berkharisma itu. Dia tersenyum ketika bersalaman dengan Jalal dan sahabatnya itu.
Setelah berkenalan, Pak Bhairam membawa mereka kesekretariat pendaftaran dan langsung mendaftarkan mereka bertiga. Di dalam ruangan itu juga terdapat beberapa orang yang juga sepertinya ingin mendaftar di kelas khusus seperti mereka. Itu terlihat dari sikap, kelakuan dan penampilannya. Ada rambutnya gondrong, diikat seadanya. Ada yang plontos, ada yang banyak tatonya, gemuk, dan berbagai macam jenis orang-orang yang akan dilatih nantinya. Namun rata-rata dari mereka usianya tidak ada yang berada di atas 30 tahun. Kebanyakan usia mereka seperti usia Jalal dan sahabatnya atau lebih muda lagi.
Jalal mendesah dalam  hati. Melihat berbagai macam orang yang akan menjadi temannya dalam menjalani latihan, sanggupkah dia menghadapinya. Menghadapi berbagai macam karakter orang-orang itu, yang Jalal yakin sebagian dari mereka ada yang jadi preman.
Menjelang siang hari, mereka yang berjumlah kurang lebih 20 orang itu dibawa menuju asrama khusus untuk mereka. Mereka di ajak jalan kaki oleh pembimbing yaitu Pak Bhairam. Asrama yang dituju lumayan jauh, karena saking luasnya daerah kampus akmil tersebut. Pak Bhairam, diikuti oleh Bayu, dan empat orang taruna tingkat tiga yang akan menjadi asisten pelatih mereka nanti.
Jalal cs memperhatikan sikap para siswa taruna yang ada di kampus itu, setiap kali berpapasan  dengan seniornya, mereka selalu berhenti sebentar dan memberi hormat.
“Eh, enaknya ya, kita baru tiba sudah di hormati orang disini.” Celetuk salah satu dari mereka yang berkepala plontos. Karuan saja kepalanya ditoyor oleh pemuda yang disebelahnya, yang juga berkepala plontos. Wajah mereka sangat mirip. Rupanya mereka berdua kembar.
“Mereka bukan hormat sama kita, tau.” Omelnya.
“Terus, sama siapa dong? Kan kita yang berhadapan dengan mereka.” Jawab saudaranya tadi tidak mau kalah.
“Ya sama mereka berlima tuh. Nggak lihat seragam yang mereka kenakan itu.?” Saudaranya itu mengangguk-angguk. Setelah para taruna yang menghormati tadi sudah lewat, mereka melanjutkan langkah menuju asrama khusus untuk mereka.
Setelah berjalan kurang lebih 20 menit, sampailah mereka diasrama yang dimaksudkan. Ada dua kamar yang disediakan untuk mereka. Namun dua kamar tersebut berisi masing-masing 10 tempat tidur dan 10 lemari pakaian yang berada disamping tempat tidur tersebut. Dengan posisi saling menghadap. Artinya, mereka akan berada di kamar tersebut sebanyak 10 orang. Mereka semua saling pandang satu sama lain. Jalal mendesah dalam hati, mulai sekarang dia harus berjuang untuk belajar menghadapi berbagai macam karakter teman-teman se-asramanya selain Mansingh dan Surya tentunya.
Ada sekitar 20 orang yang akan melakukan pelatihan khusus itu. Satu persatu mereka semua diabsen untuk menempati kamar tersebut. Jalal beruntung, karena mereka bertiga berada dalam satu kamar dengan tempat tidur berdampingan. Mereka bertiga menarik nafas lega, setidaknya mereka bertiga akan selalu bersama.
Pak Bhairam memberikan briefing (pengarahan) sebelum pergi meninggalkan mereka bersama asistennya. Semua yang berada di tempat itu diam mendengarkan dengan penuh perhatian.
“Adik-adik semua. Selamat datang di kampus akmil tercinta ini. Mulai sekarang kalian akan di gembleng agar bisa menjadi pemuda yang diharapkan oleh bangsa ini. Saya tahu semua latar belakang kalian semua, pendidikan kalian, karakter kalian. Tetapi disini, di kampus ini, semua latar belakang kalian, pendidikan kalian tidak akan dianggap. Semuanya sama. Saya harap semuanya mematuhi peraturan yang ada di kampus ini. Karena semua yang akan di ajarkan kepada kalian, kelak akan bermanfaat di kehidupan kalian mendatang.”
“Jadilah pemuda yang berguna dan bermanfaat. Setidaknya untuk keluarga dan diri sendiri. Kalian tidak harus menjadi tentara untuk memiliki mental yang kuat dan pribadi yang baik. Dengan mengikuti berbagai pelatihan yang akan dilakukan mulai hari ini, saya harap kalian ketika pulang kerumah, bisa mempersembahkan hasil  terbaik yang bisa membanggakan  kepada orang tua yang sudah mengirim kalian kesini. Cukup sekian saja dari saya. Selamat berjuang Adik-adik semua.” Pak Bhairam mengakhiri briefingnya dan pamit mengundurkan diri. Bayu juga berpamitan kepada Jalal dan sahabatnya itu, dan pergi bersama mantan dosennya itu.
Kini tinggallah mereka, para taruna khusus yang menunggu instruksi dari keempat asisten pembimbing.  Salah seorang dari mereka memperkenalkan diri.
“Kenalkan, nama saya Mirza Hakim, bisa dipanggil Mirza, dan teman saya ini panggil saja namanya Dzaky, Beny, dan Egi. Mulai hari ini kalian akan menjalani sesi latihan pengenalan. Mulai dari mencukur rambut untuk yang panjang,” semua tanpa sadar memegang rambutnya masing-masing, kecuali yang kepalanya plontos kembar itu yang hanya mesam-mesem saja, “mengatur tempat tidur, menyimpan pakaian dalam lemari, mencuci dan mensetrika sendiri pakaian masing-masing, karena kalian semua akan diberi seragam seperti halnya para taruna disini, juga latihan dasar sebelum kalian menghadapi latihan yang sesungguhnya.” Mereka semua menganguk, “sekarang kami beri waktu kalian satu jam untuk saling kenal satu sama lain.” Tutup Mirza mengakhiri pemberitahuannya. Dia dan Dzaky beserta dua orang rekan lainnya meninggalkan ruangan tersebut dan membiarkan mereka semua satu persatu memperkenalkan diri.
Satu persatu mereka memperkenalkan diri masing-masing. Setelah selesai sesi perkenalan, mereka membuka ransel yang dibawa, mengeluarkan isinya kemudian menyusun di dalam lemari mereka sendiri.
Jalal menyusun pakaian yang dibawanya ke dalam lemari. Ketika tangannya mengeluarkan sebuah syal berwarna hijau dari ranselnya, dia tersenyum. Terbayang wajah Inemnya yang sekarang entah sedang ngapain.
Sabar ya Nem, aku akan pulang secepatnya. Aku akan berusaha keras agar aku berhasil kali ini. Aku janji sama kamu. Aku akan mempersembahkan yang terbaik buat kamu dan juga untuk kedua orang tuaku.” Ucap Jalal dalam hati, dia mencium syal itu sebelum akhirnya memasukkannya ke dalam lemari. Tiba-tiba Jalal merasa bahunya disentuh seseorang, dia berbalik dan melihat dua orang yang berkepala plontos itu sedang berdiri di depannya dengan cengiran lebar.
“Papa.” Sapa mereka. Jalal melongo. Begitu juga teman mereka yang lain, termasuk Mansingh dan Surya. Mereka heran kenapa Jalal jadi dipanggil papa oleh dua orang pemuda itu.
“Papa?” mereka mengangguk, “siapa? Aku?” tanya Jalal menunjuk dirinya sendiri. Mereka mengangguk kembali sambil tersenyum jahil.
“Ngawur aja. Sejak kapan aku punya anak seperti kalian. Umur kita saja cuma berbeda dua tahun. Papa apanya?” gerutu Jalal. Mereka berdua terkekeh.
“Iya, sekarang ini memang kita tidak punya hubungan Papa,” Jalal mendengus mendengar mereka kembali memanggilnya dengan sebutan papa.
“Lalu?” tanya Jalal dengan penasaran. Mansingh dan Surya mendekat, mereka ikut penasaran jadinya. Sementara yang lain hanya mendengarkan dari tempat mereka masing-masing. Mereka berdua kembali cengengesan.
“Loh, masa nggak tahu, Papa?”
“Diem. Sudah kubilang jangan panggil aku Papa. Aku bukan orang tua kalian.” Hardik Jalal. Namun mereka berdua tidak peduli.
“Begini, pernah lihat film dari India yang pemeran utamanya, namanya sama kayak Papa ini.” Jalal menggeleng, “makanya itu kami kasih penjelasan.  Nama pemeran utamanya itu Raja Jalal dan istrinya Ratu Jodha. Ratu Jodha itu punya keponakan namanya Mansingh,” Mansingh tercengang, “dan yang menyukai Ratu Jodha itu namanya Suryaban,” giliran Surya yang terkejut, “tapi sayang Suryaban meninggal di bunuh Raja Jalal.” Ucap salah satu yang bercerita sambil nyengir, “ Raja dan Ratu mempunyai anak kembar namanya Hasan dan Husein. Ya kami ini namanya Hasan dan Husein. Biasa di panggil Acan dan Acin.” Kata Hasan mengakhiri penjelasannya dengan terkekeh.
“Ya ampun, kalian berdua tontonannya film India?” seru Mansingh terkekeh sambil menggeleng kepala, “kayak ibu-ibu sama anak perempuan saja.” Decaknya.
“Nggak apa-apa kali Kak. Itukan karena Umi  selalu mengajak kami menonton untuk menemani beliau. Akhirnya jadi suka deh.” Ujar Hasan, ya Hasan dan Husein, dua pemuda keturunan arab campuran Indonesia, karenanya memanggil ayah dan ibunya dengan abi dan umi.
“Kak?” tanya Mansingh heran. Hasan mengangguk.
“Mansingh kan keponakan Ratu Jodha, jadinya kan dipanggil Kakak sama kami sebagai anak dari Raja dan Ratu.” Dia menoleh ke arah Surya, “dan dia kami panggil Paman Surya saja ya meski akhirnya harus meninggal juga. Hitung-hitung menghormatilah.” Surya mendelik ke arah mereka berdua yang memasang tampang tidak bersalah itu.
“Paman? Enak saja. Kalian bukan keponakanku, ngerti.”
“Kan dicerita gitu Paman. Walaupun cintanya tidak kesampaian sih.” Ucap Husein tertawa geli.
“Heh tuyul, masih mending aku mati ketika sudah mengenal cinta. Lah, ente berdua sudah mati saat masih bayi kenapa sekarang sudah sebesar ini?” omel Surya. Mansingh dan Jalal tertawa mendengar omelan sahabatnya itu. Sementara teman mereka yang lain hanya mengikuti pembicaraan mereka berlima sambil menyusun dan merapikan lemari masing-masing.
“Tuyul?” sahut Hasan. Surya mengangguk, “Siapa?” tanyanya tidak mengerti.
“Ya ente berdualah, kan kepala kalian plontos gitu.” Ejek Surya. Keduanya malah terkekeh.
Ya ampun Paman, jangan bilang mati dong. Kayak ayam saja dibilang mati. Meninggal gitu loh Paman.” Surya mendelik mendengar mereka memanggil dia dengan sebutan paman lagi. “Kami bukan tuyul Paman. Karena tuyul itu tidak ada yang sebesar dan secakep kami.” Jawab Hasan dengan percaya dirinya. Surya hanya mencibir.
“Berarti kalian mbahnya tuyul.”
“Bukan!” sahut mereka bersamaan dengan sedikit kesal.
“Sudah, sudah. Gitu aja diributin sih? Sudah beresin pakaian kalian, sebelum dipanggil Sersan Mirza.” Lerai Jalal. Hasan dan Husein mengangguk meski dengan wajah di tekuk. Surya dan Mansingh tertawa geli melihatnya.
“Iya Papa.” Jawab keduanya membuat Jalal melotot ke arah mereka. Tetapi, ya sudahlah. Dia tidak ingin mencari keributan selama dia asrama ini. Sebisanya dia akan menjaga sikap.
Hasan dan Husein kembali ke tempatnya. Mereka berdua kembali mengerjakan tugasnya sambil bernyanyi bersahut-sahutan tanpa memperdulikan keadaan sekitarnya. Jalal dan sahabatnya hanya menggeleng melihat pengalaman pertama mereka di asrama, berbaur dengan orang lain yang belum mereka kenal sebelumnya.
Sesuai janji, Sersan Mirza dan Sersan Dzaky datang kembali. Kali ini mereka berdua membawa peralatan untuk mencukur rambut. Satu persatu rambut para taruna khusus itu di potong sesuai aturan yang berlaku di akmil. Dipotong cepak, tetapi tidak boleh plontos. Yah, kecuali yang memang sudah plontos seperti si kembar itu. Hahahaha....
Bahkan kumis pun dicukur, termasuk Jalal yang sudah mempunyai kumis tipis di atas bibirnya tidak luput dari aksi penggusuran oleh tangan-tangan terampil Sersan Mirza dan Sersan Dzaky.
Setelah kegiatan cukur mencukur, mereka mendapat pembagian pakaian loreng yang harus mereka pakai selama latihan. Kemudian dilanjutkan dengan pembelajaran tentang kedisiplinan berawal di tempat tidur. Kedua  asisten pembimbing itu memperagakan tata cara memasang seprei, menata bantal, selimut, dan menata handuk. Semua harus rapi dan enak dilihat. Jika melanggar akan ada konsekuensi yang harus ditanggung. Bisa berupa hukuman pribadi maupun kolektif, bergantung kesalahan. Karena itu adalah pelajaran awal yang harus pahami sebelum menerima pelajaran-pelajaran selanjutnya.
“Ini pelajaran paling prinsip. Semua berawal dan berakhir di tempat tidur. Jadi semuanya  harus paham ini.” Terang Sersan Mirza.
Kegiatan dilanjutkan, kembali kedua asisten pembimbing itu mengajak mereka makan siang. Sesampainya di ruang makan, mereka terlebih dahulu di beri pengarahan kembali, agar bersikap sesuai dengan tata tertib yang ada. Sejumlah meja makan panjang berderet dengan kursi yang letakkan dengan posisi berhadap-hadapan.
Untuk tahap pertama meja makan sudah tertata rapi dengan makanan yang di letakkan di wadah seperti layaknya makanan untuk para tentara, yaitu nasi dan lauk pauknya lengkap sudah dalam satu wadah. Mereka dipersilakan untuk duduk di kursi masing-masing, namun mereka belum diperbolehkan untuk menyantapnya, karena harus menunggu lonceng berbunyi terlebih dahulu.
Beberapa orang mengeluh dengan berbisik dengan mengatakan kalau makan saja harus diatur. Menunggu lonceng dulu baru boleh makan. Siang itu sengaja mereka dipisahkan acara makan siangnya dengan para taruna yang ada di kampus tersebut, karena mereka akan diperkenalkan dan dilatih terlebih dahulu sebelum akhirnya mereka akan bergabung dengan yang lain.
Lonceng pertama berbunyi, pertanda makan siang akan dimulai. Lonceng kedua berbunyi, artinya semua orang dipersilakan untuk berdoa. Barulah setelah lonceng ketiga berbunyi, mereka diperbolehkan menyantap makanan yang sudah disediakan. Untuk makan siang mereka diberi waktu hanya 10 menit saja.
Jalal menelan ludah melihat makanan yang ada di hadapannya, dan juga mengingat waktu yang diberikan sedemikian singkatnya. Dia menelan ludah bukan karena ngiler, tetapi karena melihat makanan yang sangat dibencinya berada di dalam wadah saji tersebut yaitu brokoli dan juga beberapa potongan tomat. Namun, mengingat waktu yang harus segera diselesaikan dan juga makanan tersebut harus habis tanpa sisa, akhirnya dengan memejamkan kedua matanya dia berusaha melawan rasa bencinya itu untuk menerima dengan sukarela sayuran tersebut. Dia harus bisa. “aku bisa. Aku bisa. Aku pasti bisa!” teriak hatinya sembari mengunyah makanan itu cepat-cepat dan berharap tidak muntah seperti sewaktu dia dipaksa papanya memakan brokoli dulu.
Entah karena tekadnya, atau mungkin karena sugestinya, akhirnya sayuran tersebut bisa lolos masuk kedalam perutnya tanpa merasakan mual ataupun muntah. Dan Jalal bersyukur untuk itu. Tanpa sadar, senyumnya mengembang.
“Satu tantangan sudah berhasil kulewati.” Gumamnya pelan. Ada setitik rasa bahagia menyelinap di dalam hatinya. Tidak terlalu buruk juga mengikuti latihan itu untuk mengatasi masalah phobianya terhadap brokoli. Mungkin buat sebagian orang itu adalah hal yang aneh, tetapi buat Jalal itu suatu ketakutan tersendiri baginya. Entah mengapa, dia sendiri tidak tahu akan hal itu.
Sepuluh menit sudah berlalu, lonceng kembali berbunyi. Sebagian besar dari mereka begitu keteteran menjalani makan siang yang menurut mereka sangat singkat itu. Tetapi apa daya, semua ada aturannya, meski hati tidak rela dan masih lapar mau tidak mau mereka meninggalkan meja makan. Jalal tertawa dalam hati melihat reaksi dan ekspresi teman-temannya yang menggerutu meski pelan agar tidak terdengar oleh asisten pembimbing mereka.
Setelah makan siang, mereka diajak sholat Dzuhur di masjid akmil untuk yang muslim. Untuk kegiatan ini mereka berbaur dengan para penghuni kampus akmil semuanya. Jalal, Mansingh dan Surya merasakan suasana yang bersahabat di dalam lingkungan tersebut. Para taruna yang ada pun tidak segan-segan mengajak mereka untuk berbincang meski secara singkat.
Setelah sholat, mereka kembali mengikuti kegiatan lainnya, layaknya para taruna baru. Aturan untuk mandi, mencuci pakaian, setrika seragam sendiri. Mulai berlatih, berlari keliling lapangan, baris berbaris, belajar pull up, sit up, push up, renang. Seperti yang sudah diperkirakan. Sebagian besar dari mereka tumbang alias tidak sanggup melanjutkan latihan. Termasuk Jalal dan kedua sahabatnya itu.
Begitu jam tidur malam di berlakukan, semua seolah rindu dengan kasur. Karena begitu bertemu tempat tidur, tidak ada yang bangun lagi. Langsung terlelap kelelahan. Mirza dan ketiga rekannya hanya menggeleng kepala melihat aksi Jalal dan teman-temannya.
“Ini baru sehari. Masih  pengenalan. Bagaimana dengan masa orientasi nanti?” gumam Mirza kepada Dzaky dan dua rekannya yang lain.
“Untung mereka bukan calon taruna yang sebenarnya. Kalau tidak, bisa habis mereka. Dasar anak-anak manja semua, baru begitu saja sudah ambruk.” Gerutu Dzaky. Rekan-rekannya tertawa mendengar gerutuan Dzaky.
Iya. Memang benar. Semua calon taruna khusus itu rata-rata adalah anak orang kaya yang manja, tidal pernah jalan kaki lebih dari menit, kebanyakan perokok, minum-minuman keras, makan dan mandi seenaknya, tidak pernah mencuci pakaian sendiri, dan bahkan tidak pernah merapikan tempat tidur sendiri.
Keesokan harinya, ketika jam sudah menunjukkan pukul 04.00 subuh, kembali Mirza dan ketiga rekannya membangunkan adik-adik didiknya. Seperti yang sudah bisa di tebak, tentu saja mereka sangat susah dibangunkan. Apalagi itu kalau bukan karena kebiasaan, dan juga capek.
“Ayo, semua bangun! Bangun! Saatnya untuk kembali mengikuti latihan!” seru Mirza dan Dzaky menarik selimut para catarsus (calon taruna khusus) itu. Ada yang bahkan dari awal tidur tengkurap, sampai dibangunkan kembali juga masih dalam posisi tengkurap. Dari kamar sebelah juga terdengar rekan Mirza dan Dzaky membentak untuk membangunkan mereka yang belum bangun.
“Hm...masih ngantuk nih. Badanku sakit semua.” Entah siapa yang bergumam itu.
Ngantuk, ngantuk. Semua cepat berbaris ke kamar mandi. Bersihkan diri dan sholat subuh berjamaah.” Bentak Dzaky. Dengan susah payah Jalal dan rekan-rekannya bangun, kemudian merapikan tempat tidur, bantal, melipat selimut seperti yang diajarkan kemarin. Setelah itu mereka mandi dan segala macam yang berhubungan dengan kamar mandi, kemudian dilanjutkan dengan sholat subuh berjamaah, termasuk Mirza dan ketiga rekannya.
Sejak saat itu, mulailah latihan demi latihan dilakukan oleh Jalal dan rekan-rekannya. Mulai dari senam pagi, upacara bendera,  pull up, sit up, push up, dengan cara yang benar. Pak Bhairam hanya sesekali saja melihat keadaan mereka.
Pagi itu mereka akan dilatih untuk latihan baris berbaris. Mereka semua berjejer rapi dengan urutan lima kesamping, empat kebelakang. Sersan Mirza, dan ketiga rekannya berdiri di depan barisan.
“Selamat pagi semuanya.” Sapa Mirza.
“Pagi.” Sahut mereka. Mirza berdecak.
“Kurang keras. Kurang semangat. Ulangi. Pagi semuaa!” sapa Mirza agak keras sedikit.
“PAGIIII SERSAN!” koor peserta dalam barisan menyahut lebih keras lagi. Sersan Mirza mengangguk.
“Bagus. Ini masih pagi. Harus lebih bersemangat. Calon taruna itu tidak boleh loyo. Masa baru latihan satu hari saja sudah ambruk.”
“SIAP SERSAN!”
“Sekarang saya mau tanya, siapa yang punya penyakit berat disini?” tanya Sersan Mirza lagi. Seorang yang bertubuh agak bongsor yang berada dibarisan paling ujung mengacungkan tangannya.
“Iya kamu. Maju ke depan.” Perintah Sersan Mirza. Si bongsor itu pun maju. Terlihat pakaian loreng yang melekat ditubuhnya begitu sesak sekali.
“Sekarang katakan, kamu punya penyakit berat apa?”
“SIAP. Saya punya penyakit ngantuk berat Sersan.” Katanya dengan posisi siap. Sontak rekannya  yang ada di barisan  tertawa tanpa sadar.
“DIAM! Siapa suruh kalian tertawa?” bentak Sersan Mirza. Seketika suasana hening. Sersan Mirza kembali menatap ke arah laki-laki tadi.
“Nama kamu siapa?”
“SIAP! Nama saya Edo.”
“Nama lengkapnya?”
“Edo-cation, Sersan.” Celetuk salah seorang yang ada di barisan. Siapa lagi kalau bukan si kembar plontos  itu. Hasan dan Husain. Namun Husain hanya tertawa sambil menunduk. Begitu juga dengan mereka yang lain tertawa pelan mendengar mulut Hasan yang usil itu. Kembali Sersan Mirza dan ketiga rekannya menolah kembali ke dalam barisan.
“Sudah saya bilang, tidak ada yang menyuruh kalian tertawa!” tawa mereka langsung menghilang.
“Sekarang kamu Edo. Lari keliling lapangan ini sebanyak 20 kali sambil berteriak kalau kamu tidak akan mengantuk lagi. CEPAT LAKSANAKAN!” perintah Sersan Mirza.
“Tapi Sersan?”
“Tidak ada tapi-tapi, laksanakan sekarang atau hukumanmu akan ditambah?”
“SIAP. TIDAK MAU SERSAN.” Sahut Edo masih dengan posisi hormat.
“Bagus. Sekarang laksanakan.”
“SIAP. Sersan.”
Edo langsung berlari menyusuri pinggir lapangan sambil berteriak “aku tidak akan mengantuk lagi” berulangkali. Rekan-rekannya tertawa cekikikan. Termasuk Jalal dan kedua sahabatnya.
Kini kembali Sersan Mirza menghadap ke barisan. Suasana kembali senyap, ketika wajah garang Sersan itu menatap mereka semua dengan penuh intimidasi.
“Sekarang giliran kalian. Lari seperti Edo sebanyak lima kali, dan kembali kesini. Laksanakan!”
“SIAP!”
Mereka langsung berlari mengikuti perintah Sersan Mirza, namun tidak beraturan. Ada yang lari terlebih dahulu, ada yang pelan-pelan, ada yang santai, bahkan ada yang lari seperti dikejar anjing. Akibatnya ketika kembali menyusun barisan, nafas mereka mulai habis. Sersan Mirza dan ketiga rekannya hanya mendecak melihatnya.
“Sekarang, sebagai hukuman karena kalian tertawa tanpa diperintah, kalian harus push up sebanyak 20 kali secara bersamaan. Lakukan setelah mendengar aba-aba dari kami dan ikuti hitungannya. Laksanakan!”
“SIAP LAKSANAKAN!”
Mereka kembali mengambil posisi push up dan siap menunggu perintah.
“SATU.” Seru Sersan Mirza.
“SATU!” teriak mereka mengikuti aba-aba seraya melakukan push up sebanyak satu kali. Setelah itu ditahan. Sersan Mirza kembali memberi hitungan aba-aba.
“DUA.”
“DUA!” teriak mereka kembali, dan melakukan seperti halnya gerakan pertama, begitu terus sampai hitungan ke dua puluh.
Sementara Edo masih berlari dengan nafas terengah-engah berusaha menyelesaikan hukumannya. Begitu selesai melaksanakan hukumannya, dia jatuh terkapar dihadapan teman-temannya. Jalal dan rekan sebarisnya tidak berani tertawa lagi, hanya menatap Edo dengan pandangan kasihan. Hahahaha....
Setelah memberi waktu untuk mereka istirahat, Sersan Mirza kembali memberikan latihan baris-berbaris yang benar, dan berlari bersama-sama agar barisan tetap rapi. Setelah makan siang dan sholat, mereka dipersilakan untuk mencuci pakain mereka sendiri. Jadi, setelah habis dipakai, pakaian tersebut harus di cuci dan disetrika rapi.
Makan, makan sendiri
Cuci baju sendiri
Setrika baju sendiri
Semua ku sendiri
Mulut Hasan terus bernyanyi sambil mencuci pakaiannya, meski cuciannya terlihat aneh. Maklumlah, seumur hidup belum pernah memegang yang namanya deterjen dan pakaian kotor. Jadinya ya, apa adanya saja. Untunglah, hampir semua teman sekamarnya tidak ada yang pernah mencuci pakaian juga, jadinya dia tidak terlalu merasa malu. Karena bila dia malu, Husein malu, dan yang lain malu, maka yang ada adalah tim tidak tau malu. Hahahaha....
Surya menghampirinya dan mencolek bahunya. Ditangannya memegang seragam lorengnya yang habis dipakainya tadi. Hasan menoleh.
“Ada apa Paman?” tanya Hasan, membuat mulut Surya membentuk garis lurus. Ingin kesal tapi ditahannya.
“Kamu anak raja yang baik hati kan Can?” Surya mulai melancarkan jurusnya. Hasan menanggguk
“Iya dong Paman. Sebagai anak raja, aku harus baik hati dong.” Surya tersenyum. Dia menjulurkan seragamnya kepada Hasan yang mengerutkan kening menerimanya, “apa ini Paman?”
“Sebagai anak raja dan sebagai sesama manusia, kita harus tolong meno—“ ucap Surya sengaja memotong ucapannya agar disahut oleh Hasan.
“Iya Paman, harus tolong menolong.” Akhirnya disahut juga oleh Hasan.
“Bagus. Kalau gitu, tolongin Paman ya untuk mencuci seragam ini. Anak raja kan baik hati dan tidak sombong. Pasti mau menolong.” Ucap Surya seraya memamerkan senyuman termanisnya.
Entah karena memang dia baik hati, atau memang dia bego, Hasan mengangguk dan mau juga menerima seragam Surya untuk di cucikan. Mansingh dan Jalal terbahak tanpa suara melihat adegan mereka berdua. Surya pun tersenyum puas dan melenggang masuk ke kamarnya untuk beristirahat.
Setelah mencuci pakaian, mereka kembali latihan. Kali ini mereka disuruh berlari dengan membawa ransel yang diberi beban sebanyak 15 kilogram. Tentu saja buat mereka itu berat, karena membawanya sambil berlari.
Menjelang sore latihan di hentikan. Mereka mengikuti sholat magrib berjamaah. Jalal berada di samping Mansingh, dan Mansingh berada disamping Surya. Sementara di samping Jalal adalah temannya yang asli pribumi. Namanya Bambang Sujono yang dengan bangga dipanggil dengan nama Paijo. Hehehe....
Disamping Paijo, berdiri Hasan dan Husein. Mereka berjejer dibelakang para taruna senior. Ketika selesai sholat dan mengucapkan salam, Jalal menyenggol tangan Mansingh, pemuda itu menoleh. Jalal menunjuk dua orang disampingnya yang masih dalam posisi sujud.
Mansingh menahan ketawa melihat keduanya. Rupanya Paijo dan Hasan tertidur kecapekan ketika sujud. Husein menggoyangkan tubuh saudara kembarnya itu, begitu juga dengan Jalal. Mereka berdua yang tertidur menjadi perhatian jemaah yang ada disitu. Namun yang ada mereka berdua malah ngorok. Beberapa orang tertawa geli melihatnya.
Barulah setelah mendengar bentakan dari Sersan Mirza, mereka berdua bangun dengan kaget karena ketahuan ketiduran sewaktu sholat. Sebagai hukumannya mereka berdua disuruh jalan jongkok dari masjid ke asrama. Untuk orang yang berjalan seperti biasa saja, memakan waktu sekitar 15 menit, apalagi kalau berjalan sambil berjongkok. Tetapi apadaya, hukuman tetaplah hukuman dan mereka berdua harus menjalaninya. Husein hanya bisa menatap kasihan kepada saudara kembarnya itu.
Meski awalnya mereka banyak yang kelelahan dan tumbang karena mengikuti latihan yang mendadak itu, namun pelan-pelan mereka sudah terbiasa. Sedikit demi sedikit persentase yang tidak kuat mengikuti latihan berkurang. Bahkan sampai seminggu latihan, akhirnya semua sudah terbiasa menjalani latihan yang diberikan oleh Mirza dan dan ketiga rekannya. Kini mereka sudah siap membaur dengan para catar (calon taruna) yang akan datang.
Hari yang dinantikan pun telah tiba, ratusan calon taruna yang lulus tes pun berdatangan dan mengisi asrama. Jalal dan teman-temannya membaur dan berkenalan dengan catar yang datang. Ada rasa bangga di hati Jalal dan rekan-rekannya ketika dikumpulkan bersama-sama catar yang datang, terasa mereka juga dianggap sebagai catar yang sesungguhnya.
Setelah melakukan upacara untuk menerima para taruna yang akan menempuh pendidikan di akmil tersebut yang dipimpin langsung oleh gubernur akmil, mulailah mereka akan melakukan kegiatan wajib para taruna baru yaitu masa orientasi. Dunia taruna pun diperkenalkan oleh para “Panglima, Hulubalang, dan Algojo.”
Di awali dengan “pertandingan sepakbola” di lapangan Sapta Marga. Suara ledakan dan tembakan di Bukit Tidar membuka “pertandingan” tersebut. Namun, dasar capratar (calon prajurit taruna) yang lugu, bukan mereka yang main bola, tetapi malah mereka dijadikan bola.
Para senior pun “menyerbu” dari segala penjuru. Rasa takut, khawatir, bingung, dan  helm baja “kura-kura” membuat mereka menjadi melongo seperti monyet. Disuruh merayap, jungkir balik, guling-guling, jalan jongkok, di perkenalkan kepada mereka. Karena sebelumnya para catarsus hanya diberikan latihan dasar untuk memperkuat fisik mereka saja selama seminggu, sehingga “pertandingan” seperti sekarang belum pernah mereka lakukan.
Bahkan ada yang diperintahkan untuk mengumpulkan algojo lewat pengeras suara. Tetapi memang dasar monyet, sudah melongo, bego lagi. Hahahaha... perintah pun dilaksanakan, alhasil malah dia yang “dikumpulin” oleh para algojo tersebut untuk dikerjain dan dihukum.
Kegiatan berlanjut kemudian dengan pengenalan ruang makan. Para catarsus yang sebelumnya sudah diperkenalkan terlebih dahulu, tetap saja kaget melihat menunya. Macam-macam mulai dari “Bubur Manado” sampai “Susu Kuda liar”. Bukan dalam arti yang sesungguhnya. Yaitu makanan yang dimasak campur menjadi satu. Lembek, dengan campuran entah apa yang di dalam bubur tersebut, dan makanan tersebut harus habis. Untuk anak-anak orang kaya semacam Jalal dan rekan-rekannya yang terbiasa rewel dalam hal makanan, hal itu tentu saja sangat menjijikkan. Tetapi apa daya, jika ketahuan di muntahkan atau tidak di makan, mereka akan dihukum. Akhirnya daripada lapar dan mendapatkan hukuman, dengan terpaksa mereka pun menyantap makanan dan minuman tersebut dengan susah payah.
Apakah semua cukup sampai disitu? Belum. Istilahnya, badai berlalu, topan datang menerpa. Orientasi tidak akan selesai sampai sikap militer terbentuk dan pantas masuk Resimen Korps Taruna.
Hari itu, hari ketika akan dilakukan Upacara Puncak Tidar, yaitu melakukan perjalanan sari Gunung Tidar-Pisangan, di tengah perjalanan para taruna diperintahkan untuk istirahat sebentar. Jalal yang terpisah dari Mansingh dan Surya langsung menghempaskan pantatnya di atas rumput. Dengan tangan masih memanggul senapan dia memperhatikan rekan-rekannya sesama yang mengikuti pelatihan. Sesaat dia mendongak, menatap langit yang terlindung awan. Padahal mereka baru saja melakukan pelatihan, tetapi kenapa rasanya lama sekali. Dan rindu ini? Rasanya semakin membuncah saja.
Jalal memetik batang rumput yang agak panjang, digigitnya dan dia merebahkan tubuhnya diatas rumput berbantalkan sebelah tangannya. Memejamkan matanya dengan batang rumput masih di mulutnya. Tubuhnya memang capek, tetapi hatinya lebih capek lagi. Setengah bulan sudah dia berada ditempat itu.
“Papa kangen Mama ya?” tiba-tiba terdengar suara Hasan disampingnya. Jalal membuka matanya.
“Sok tau kamu.” Sahutnya datar. Giginya masih mengunyah batang rumput itu pelan-pelan, sedangkan matanya menatap langit luas. Dia sekarang terbiasa di panggil “papa” oleh kedua bocah kembar itu. Entah kenapa mereka berdua senang sekali memanggilnya begitu. Masa akibat begitu kuatnya pengaruh film India yang ditontonnya? Hasan terkekeh.
“Aku jadi penasaran bagaimana ya rupa Mamaku itu. Apa dia cantik, Papa?”
“Hm.”
“Apa dia keibuan seperti di film itu, Papa?”
“Hm.”
“Apa Papa mencintainya?” Jalal menoleh.
“Tentu saja, Bodoh.” Sahutnya dengan ketus. Bukannya marah, Hasan malah terkekeh kembali.
“Akhirnya Papa mau ngomong juga.” Jalal akhirnya tersenyum meski samar.
“Dia cantik, polos, pintar, jago karate, jago nge-drum, dan yang pasti dia sangat perhatian.” Ucap Jalal setengah melamun, Hasan membulatkan mulutnya tanda kagum, “tapi dia tidak romantis.” Hasan tertawa pelan.
“Di omongin begitu jadi malah tambah kangen ya, Papa?”
“Hm.”
“Jangan diomongin lagi, Papa. Biar nggak tambah kangen.” Ucap Hasan kembali terkekeh.
“Kamu pernah jatuh cinta, Can?” tanya Jalal kembali menoleh ke arah Hasan. Pemuda itu terdiam sebentar. Pandangannya berubah sendu.
“Pernah, Papa. Tapi,...”
“Kenapa?”
“Ah, tidak apa-apa, Papa. Terlalu sakit untuk di ingat. Hanya akan membuat sedih saja.” Sahut Hasan. Jalal bangkit dan duduk disamping Hasan. Dia menepuk pelan bahu pemuda itu.
 “Jangan sedih. Mungkin saja suatu saat akan ada yang lebih baik lagi untuk menggantinya. Kita takkan tahu dengan siapa  kita bisa jatuh cinta lagi.” Hasan mengangguk.
“Iya, Papa.”
Jalal tersenyum, dia sendiri bingung, kenapa kata-kata seperti itu bisa keluar dari mulutnya. Bagaimana kalau terjadi pada dirinya dan Inem? Oh tidak! Jangan sampailah seperti itu. Jalal tidak mau itu terjadi, saat ini yang sangat diinginkan Jalal adalah gadis itu. Iya. Hanya dia.
Tib-tiba terdengar perintah untuk melanjutkan perjalanan mereka lagi menuju Pisangan. Jalal dan Hasan segera bangkit dan bergabung dengan taruna yang lain.
Orientasi yang dilakukan sungguh sangat-sangat menguras tenaga dan mental, kelelahan jiwa raga. Tapi semua harus dihadapi dengan tabah, mereka bahkan tidak punya waktu untuk mengeluh, saking padatnya jadwal kegiatan yang dilakukan. Banyak sekali kegiatan yang mereka lakukan, mulai dari melintas rayapan dibawah kawat berduri, halang rintang, rayapan tali satu, naik tebing, melintasi jaring laba-laba dan berbagai rintangan lainnya. Bahkan mereka diharuskan tidur di kuburan selama semalaman dan setiap orang memeluk nisan sampai pagi.
Sesuatu yang diingat oleh Jalal dan juga para taruna yang mengikuti latihan adalah kerjasama. Apalagi ketika teman mereka yang bernama Edo itu susah payah harus melintasi jaring laba-laba, dan juga rayapan tali satu. Mereka bersama-sama mendorong tubuh Edo agar bisa naik dan bisa melintasi rintangan tersebut. Walaupun diakui, bobotnya sudah berkurang banyak dari sebelumnya. Latihan yang berat membuat berat badan Edo dan juga semua taruna turun.
Selesai orientasi saatnya mereka diterima sebagai taruna Lembah Tidar. Akhirnya Gerbang Candradimuka pun dimasuki dengan tegar dan penuh percaya diri. Jalal, Mansingh, Surya, dan juga teman-temannya se-asrama yang senasib berjalan dengan penuh rasa bangga. Dan  kehidupan militer yang sesungguhnya akan diperkenalkan kepada mereka.
Jadwal berikutnya semakin padat. Kegiatan pagi dimulai dari senam pagi, apel pagi, kegiatan pembelajaran yang padat, latihan luar yang melelahkan sampai waktu tidur malam pun harus mereka lalui. Mulai dari berlatih dalam renang militer, lintas medan, halang rintang, senam praktek, dan tak lupa bela diri militer. Semua itu adalah bagian dari pembentukan diri menjadi seorang taruna yang ideal di Kawah Chandradimuka selama tiga bulan.
Untuk para capratar,  akan dilantik menjadi prajurit taruna, sedangkan untuk catarsus di pisahkan karena materi pembelajaran yang mereka terima akan berbeda.
Para catarsus akan lebih banyak menerima materi tentang kepemimpinan, pembentukan karakter diri, minat dan bakat, selain latihan fisik tentu saja yang mereka terima setiap hari. Untuk minat dan bakat mereka dipersilakan memilih sendiri. Jalal dan Mansingh dan juga dua kembar, Hasan dan Husein, memilih memperdalam bela diri, olahraga basket, dan menembak. Sedangkan Surya dan beberapa rekan seasrama menghabiskan waktu dengan membaca dan berlatih menjadi programer.
Setelah enam bulan menjalani masa pelatihan dan pembinaan, akhirnya mereka akan dilepas ke tengah masyarakat untuk mengadakan bakti sosial selama dua minggu di desa terdekat dan di biarkan untuk mengurus diri sendiri, mulai dari memasak makanan sendiri (diakmil mendapat jatah makan) dan berbelanja sendiri ke pasar, mencuci pakaian sendiri, kerja bakti memperbaiki saluran air, membangun MCK untuk warga, mengajar anak-anak baca tulis, serta masih banyak kegiatan sosial lainnya yang mereka lakukan dan akan dinilai kekompakan tim dan juga bagaimana sosialisasinya dengan masyarakat.
Mereka dibagi menjadi dua tim. Jalal, Mansingh dan Surya beruntung berada dalam satu tim. Ternyata mereka satu kamar sewaktu di asrama adalah satu tim. Jalal diangkat sebagai ketua tim tersebut. Tentunya Sersan Mirza dan Sersan Dzaky masih berada di antara mereka sebagai pembimbing dan penilai. Namun, keberadaan mereka kali ini terasa dekat. Bukan lagi sebagai pembimbing, tetapi lebih kepada teman dan sahabat.
Pagi pertama, Jalal dan dua rekannya bertugas untuk berbelanja di pasar terdekat. Sebuah pasar tradisional. Tidak ada ekspresi gengsi dan jijik di wajah mereka ketika memasuki tempat tersebut. Mungkin karena sebelumnya sudah terbiasa berteman lumpur di kawah Chandradimuka, jadi tempat becek pun sudah dianggap biasa.
Jalal ditemani temannya dari suku Batak bernama Togar, dan Paijo. Mereka memilih-milih sayuran dan ikan yang akan mereka masak untuk teman-teman mereka yang sedang mengadakan kerja bakti.
“Nenek, berapa ini harganya satu ikat?” tanya Togar kepada seorang penjual yang seorang nenek dengan logat bataknya dan bersuara keras. Nenek tersebut bingung . Rupanya dia tidak mengerti bahasanya Togar, “bah, macam mana pula si nenek tidak mengerti perkataanku.” Gerutunya. Jalal dan Paijo tertawa, “coba tadi aku pinjam ponsel Sersan Mirza biar aku bawa kepasar buat translate bahasa jawa.” Akhirnya Paijo maju menggantikan Togar.
Sini, biar aku saja.” Tawar Paijo. Togar mundur memberi jalan untuk Paijo. “meniko pinten regine pun, Mbah (ini berapa harganya, Nek)?” tanya Paijo dengan lembut menunjuk seikat kangkung. Si nenek tersebut menjawab juga dengan bahasa daerahnya. Togar hanya mendecak melihat nenek tersebut berbicara lancar dengan Paijo.
“Sudah Togar, tidak apa-apa. Lagian inikan pasar tradisional, jadi wajar kalau kita tidak mengerti.” Togar mengangguk.
“Iya Bang Ketua.” Jalal tersenyum.
Setelah berbelanja mereka kembali ke tenda tempat mereka tinggal, untuk memasak. Ketiganya sibuk membagi pekerjaan, karena teman-teman mereka yang lain sedang membersihkan saluran air milik warga bersama anggota masyarakat lainnya.
Ini adalah pengalaman pertama memasak untuk Jalal. Memang sebelumnya dia sempat mendatangi ruang makan di akmil dan belajar sebentar dengan koki yang ada disitu sebelum mereka berangkat kemarin.
Mengerjakan semua itu, dia teringat dengan Inemnya. Sedang apa dia sekarang? Bagaimana kuliahnya? Apa sudah selesai? Bathinnya terus bertanya-tanya.
“Bang Ketua, jangan melamun saja kau. Nanti gosong itu ikannya.” Tegur Togar melihat Jalal memegang sutil dan menatap ke arah ikan yang sedang di goreng, namun pandangannya seperti orang sedang melamun.
Jalal tergagap. Kok ya sempat-sempatnya dia memikirkan Inemnya. Bagaimanapun ini sudah enam bulan lebih mereka berdua tidak pernah bertemu, bahkan untuk berbicara di ponsel saja tidak pernah. Rasanya Jalal tidak sabar lagi untuk pulang. “sabar Jalal, sebentar lagi juga kamu akan pulang. gumamnya. Di segera mengalihkan perhatiannya kepada pekerjaannya.
Setelah pekerjaan mereka selesai, Jalal, Togar dan Paijo duduk santai menikmati secangkir kopi menunggu teman-teman mereka datang sambil berbincang. Paijo bersenandung menggunakan tembang jawa, tangannya menepuk meja pelan berirama. Sedangkan Jalal dan Togar hanya diam mendengarkan, karena memang tidak mengerti.
Mendem kangen njero ning atiku (Menahan rindu dalam hatiku)
Soyo jeru mung telfon sliramu (Semakin dalam bila cuma telepon kamu)
Mendem kangen pengen ketemu (Menahan rindu ingin bertemu)
Nadyan sak kedep wes marem atiku
(Meski sekejap sudah puas hatiku)

“Apa artinya itu Bang Jo?” tanya Togar. Paijo tersenyum.
“Itu mengisahkan tentang beratnya hati seseorang yang memendam rindu kepada kekasihnya yang jauh. Lama tidak bertemu, hanya bisa berbicara melalui telpon saja. Meski begitu, dia sudah puas walau hanya berbicara melalui telepon saja.” Jelas Paijo. Togar mengangguk mengerti. Dia melirik Jalal yang terdiam mendengar penjelasan tentang arti tembang yang dinyanyikan oleh Paijo.
Sekarang, hatinya dipenuhi oleh rasa rindu kepada gadisnya yang sudah enam bulan lebih tidak pernah bertemu dan tidak pernah tahu bagaimana kabarnya. Sialan Paijo. Bikin aku teringat saja. Gerutu hati Jalal.
“Bang Ketua sepertinya sedang memendam rindu kayaknya.” Sindir Togar, Jalal hanya mendengus pelan. Togar dan Paijo terkekeh.
“Sepertinya begitu Bang Togar. Ketua kita sedang gelisah ingin bertemu seseorang. Mungkin itu mamanya si kembar kali ya. Hahahaha...” mereka berdua tergelak, namun Jalal hanya diam saja. Benar, berat sekali menahan rindu. Inem...Inem...aku kangen kamu Nem. Kangen banget. Bisik hatinya kembali.
Di luar terdengar suara ramai. Teman-teman mereka yang kerja bakti itu mulai datang bersama sersan asisten pembimbing. Jalal dan kedua temannya mulai menyiapkan makanan yang sudah mereka masak tadi. Meski seadanya dan rasanya juga alakadarnya, namun semua makanan yang dihidangkan habis tanpa sisa. Entah karena lapar atau memang enak. Tetapi yang pasti, rasa kebersamaan merekalah yang lebih utama. Banyak hari dan kejadian yang mereka lewati bersama.
Mereka, yang awalnya dicap sebagai anak-anak yang manja dan malas, sekarang lihatlah. Tidak ada seorang pun dari mereka yang mengeluh dalam hal mengerjakan apapun. Kecuali mengeluh rindu kepada keluarga dan orang tua. Tidak pernah lagi cerewet dalam hal memilih makanan, karena mereka sudah pernah merasakan bagaimana susahnya mencari makanan ketika dilatih selama tiga bulan di Kawah Chandradimuka.
Mereka bisa menghargai orang lain dan tidak segan-segan menolong teman atau siapa saja yang kesusahan, namun tetap kompak. Bahkan sikap kocak dan gokil beberapa teman-temannya tidak ada yang berubah, malah bertambah parah. Hanya saja ketika sedang bertugas, sikap itu akan tenggelam dengan sendirinya.
Memang yang Jalal rasakan, selama menjalani pembinaan dan pelatihan selama enam bulan lebih, banyak perubahan yang dia rasakan. Dia harus belajar bersabar, karena yang dihadapinya bukan cuma Mansingh dan Surya saja, tetapi orang banyak dengan lebih beraneka ragam karakter dan sifat. Belajar bersabar dalam menjalani latihan dan kehidupan sehari-harinya di asrama, mencuci pakaian sendiri, mensetrika sendiri, menyiapkan keperluannya sendiri, bahkan sampai kaos kaki dan sepatu saja harus dia lakukan sendiri.
Benar kata Nadia, bisa-bisa nanti dia pulang kerumah sudah tidak perlu Bi Ijah, Mang Diman dan Inem lagi kali ya.
Bukan.
Kalau Inem yang dia perlukan hanya cintanya gadis itu saja dan juga perhatiannya. Ciee...Jalal sekarang bisa berbangga diri. Setidaknya sekarang bisa meningkatkan nilai plusnya dihadapan Inem. Dia ingin lagi mendengar Inemnya memanggilnya dengan sebutan sayang lagi, yang sudah membuat hatinya kebat-kebit tidak karuan.
Tidak terasa dua minggu mereka lalui bersama. Setiap hari Jalal memasak. Tidak peduli itu untuk sarapan, makan siang atau makan malam. Pokoknya sesempatnya dia saja. Bukan karena dia baik hati. Hahahaha... tetapi, dia ingin kelak ketika dia pulang, dia bisa menunjukkan keahliannya kepada Inemnya dan juga kepada kedua orang tuanya. Kan lumayan, ada banyak tester yang tidak pernah protes akan hasil masakannya.
Jalal bahkan tidak segan-segan bertanya kepada ibu-ibu disekitar tempat mereka melakukan bhakti sosial tentang berbagai macam masakan daerah dan cara memasaknya. Jalal tersenyum, banyak bekal yang akan dia bawa pulang nantinya.
Setelah dua minggu, kedua tim kembali ke akmil untuk dilakukan pelepasan oleh wakil gubernur akmil. Selain itu juga orang tua dan keluarga mereka juga sudah siap menjemput. Jalal dan kedua sahabatnya itu akan kembali dijemput oleh Bayu. Satu sama lain saling berpelukan, apalagi ketika Jalal berpelukan dengan Hasan dan Husein, kedua bocah kembar plontos itu. Dia merasa berat, karena memang mereka berdua yang lebih banyak menghibur ketika sedang stres berat karena latihan dengan banyolan dan celetukannya yang mendadak.
“Salam buat Mama ya, Papa.” Ucap Hasan dan diangguki oleh Husein, “jangan kangen kami ya, Papa.” Jalal tersenyum.
“Iya. Nanti akan Papa sampaikan. Kapan-kapan kalian main kesana ya. Papa tunggu.” Sekali selama mereka bersama, akhirnya Jalal mau juga menyebut dirinya papa. Kedua bocah kembar itu tertawa lebar. Duh, Jalal pasti kangen mereka nantinya. Setelah acara foto bersama, akhirnya mereka pun berpisah dan membubarkan diri.
“Bagaimana?” tanya Bayu ketika mereka sudah berada dalam mobil. Kali ini Bayu sengaja menjemput mereka menggunakan mobil, tidak seperti sebelumnya yang menggunakan kereta api. Ketiganya tersenyum.
“Seru Bang, dan luar biasa.” Sahut Jalal.
“Pantas Abang keren begini, ternyata latihannya beraaaat banget.” Bayu terkekeh.
“Yang kalian jalani itu belum seberapa. Kalau ingin menjadi prajurit sesungguhnya, latihannya sungguh sangat berat. Bahkan ada yang sampai meninggal ketika latihan.” Ketiganya mengangguk tanda mengerti.
“Nggak ah Bang. Begini saja sudah cukup. Apa yang aku rasakan sekarang, sudah jauh berbeda dengan enam bulan yang lalu.” Sahut Jalal.
“Baguslah. Tidak sia-sia orang tuamu mengirim kalian berlatih disana. Pasti kedua orang tua kalian bangga. Nanti, latihan karatenya bisa di perdalam lagi di dojo milik orang tua Abang waktu itu.”
“Siap Bang.” Sahut mereka serempak. Bayu tersenyum. Mobil mereka pun perlahan melaju menjauhi kota Magelang yang penuh kenangan, yang pastinya tidak akan pernah mereka lupakan.

===tbc===

Untuk yang sudah membacanya sampai selesai, aku ucapkan banyak terima kasih. Karena sudah mau membaca tulisan yang banyak narasinya ini. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar