================000=================
Jodha menghela nafas, kedua tangannya masih
menggengam syal berwarna hijau pemberian tuan mudanya. Dia tersenyum mengingat bagaimana tuan
mudanya itu memaksa agar dia mau menerima pemberiannya. Ternyata oh ternyata,
gadis itu dirinya. Berulangkali dia menampik pemikirannya kalau dia bukanlah
gadis yang diinginkan oleh pemuda itu.
Tetapi, ketika tuan mudanya mengutarakan
semua perasaannya, yang ada kini perasaan bimbang. Meskipun diakui, kalau dia
sudah mulai menyukainya. Pikirannya sudah sering terganggu oleh bayangan
majikan mudanya itu yang terkadang ketika dia sendiri, selalu datang
menghampirinya.
Kini, enam bulan sudah berlalu semenjak
kepergian tuan mudanya itu. Jodha berharap pemuda itu segera datang. Dia rindu
keusilannya, rindu kata-kata gombalnya, rindu saat pemuda itu ngambek, rindu
kebersamaan mereka selama ini, dan yang pasti dia rindu semua tentang
majikannya itu.
Selama ini Jodha menghabiskan waktunya untuk
belajar dan belajar, dia ingin menyelesaikan kuliahnya secepatnya. Selain itu,
dengan terus belajar dia bisa melupakan sosok laki-laki tampan yang sudah mulai
menarik hatinya itu. Skripsinya sudah dia selesaikan dengan baik. Hanya tinggal
menunggu prosesi yudisium dan wisudanya saja lagi. Jodha sangat berharap,
disaat dia diwisuda nanti akan ada ayahnya hadir disampingnya sebagai saksi
atas keberhasilannya. Bisakah?
Perlahan Jodha meletakkan syal itu kembali di
tempatnya. Namun pandangannya masih tertuju kepada benda itu. “Kok belum pulang
juga sih Tuan? Masih betah ya disana? Apa disana lebih menyenangkan ya daripada
disini?” gumamnya pelan.
Sekarang sudah lewat seminggu berlalu dari
enam bulan yang dijanjikan itu. Tapi belum ada tanda-tanda kedatangan pemuda
itu. Bahkan kabarnya pun tidak ada. Jodha ingin sekali bertanya kepada Bayu,
namun dia malu. Dia tidak ingin nanti terlihat begitu mengharapkan kedatangan
tuan mudanya.
Jodha keluar dari kamarnya bermaksud ingin
melakukan tugasnya seperti biasa, bersih-bersih. Tetapi langkahnya tertahan
ketika melihat di ruang keluarga, Bu Hamidah sedang menatap foto tuan mudanya
yang berada di figura di atas buffet. Disana berjejer foto Pak Humayun, Bu
Hamidah, dan tidak ketinggalan foto tuan mudanya beberapa tahun yang lalu. Dia
memperhatikan majikannya itu yang lama menatap foto anaknya. Mungkin ibu rindu
sama tuan muda, pikir Jodha. Dia perlahan berjalan menghampiri Bu Hamidah.
“Bu...” sapa Jodha. Bu Hamidah sedikit
tersentak. Namun, kemudian dia menoleh dan tersenyum.
“Eh, kamu Jo.”
“Saya ngagetin Ibu ya? Maaf ya Bu.” Bu
Hamidah tersenyum, dia meletakkan figura yang dipegangnya tadi.
“Nggak apa-apa. Ibu saja yang terlalu
serius.”
“Ibu kangen Tuan Muda ya?” Bu Hamidah
menghela nafas, dia menatap kembali foto anaknya.
“Iya Jo. Ibu kangen. Sudah enam bulan lebih
nggak pernah ketemu. Ingin sekali Ibu kesana menjenguknya, tapi sama Papanya
nggak boleh. Nanti saja katanya, bentar lagi juga pulang. Gitu kata Papanya.
Tapi, sampai sekarang kok belum pulang-pulang juga.”
“Hm...mungkin Tuan Muda masih banyak kegiatan
kali Bu. Makanya belum bisa pulang sekarang.” Ucap Jodha menghibur Bu Hamidah,
dan juga menghibur hatinya.
Kembali Bu Hamidah menghela nafas, dia
merangkul bahu Jodha dan membawanya duduk di sofa depan televisi. Jodha menurut
saja. Mereka berdua duduk berdampingan.
“Memangnya kamu nggak rindu sama Jalal, Jo?”
tanya Bu Hamidah, membuat Jodha memerah dan tertunduk. Bu Hamidah tersenyum.
Dia paham artinya itu, hanya saja dia pura-pura tidak tahu.
“Sa-saya,...” Bu Hamidah tertawa pelan.
“Hm..., bagaimana ya keadaan Jalal sekarang?
Ibu sudah nggak sabar ingin ketemu dia Jo. Selama ini, Ibu belum pernah
berpisah begini lamanya tanpa tahu bagaimana kabarnya.” Jodha mengangkat
wajahnya dan menatap majikannya yang nampak sendu.
“Tuan pasti baik-baik saja Bu, saya yakin dia
disana akan lebih baik lagi. Sabar ya Bu, Tuan Muda pasti pulang.”
“Kamu sendiri gimana Jo? Kangen tidak sama
Jalal? Anak Ibu yang manja itu?” tanya Bu Hamidah setengah meledek. Jodha
tersenyum malu. Dia mengangguk perlahan.
“Iya Bu, Saya juga kangen Tuan Muda.” Jawab
Jodha malu-malu. Bu Hamidah tertawa senang.
“Menurut kamu, anak Ibu bagaimana?”
“Maksud Ibu?” tanya Jodha tidak mengerti.
“Maksud Ibu penilaian kamu terhadap Jalal itu
bagaimana selain dia manja?”
“Oh.” Jodha mengangguk-angguk, kembali
wajahnya sedikit memerah, “Tu-Tuan baik Bu.”
“Cuma itu?” tanya Bu Hamidah menaikkan
sebelah alisnya. Entah kenapa kali ini Bu Hamidah ingin sekali mengetahui isi
hati gadis itu, sebelum Jalal pulang.
“Tu-Tuan perhatian, pintar, tampan..., tapi
usil dan sedikit egois.” Jawab Jodha, meski dengan susah payah. Dia malu sekali
ditanya seperti itu. Namun, Bu Hamidah hanya terkekeh.
“Kamu menyukainya?” tembak Bu Hamidah
langsung. Wajah Jodha semakin merah, dia salah tingkah. Dia bingung, malu,
serba salah, canggung juga. Bu Hamidah menggenggam tangan Jodha.
“Jo, Ibu tahu, kamu pasti merasa tidak enak
sama Ibu dan Bapak kan?” tanpa sadar Jodha mengangguk dengan polosnya.
Majikannya itu kembali tersenyum, “kamu nggak usah merasa seperti itu Jo. Ibu
tahu kamu sama Jalal saling suka. Iya kan?”
“Hah?” Jodha terkejut, tanpa sadar mulutnya
menganga beberapa saat, setelah sadar dia segera menunduk. Dia tau kalau itu
tidak sopan.
“Kenapa Jo?” Jodha menggeleng.
“Ibu tahu darimana? Tuan Muda cerita ya Bu?”
Bu Hamidah tidak mengangguk dan tidak juga menjawab. Dia hanya tersenyum.
“Perasaan seorang Ibu, Jo. Apa yang terjadi
sama Jalal, apa yang berubah sama dia, Ibu pasti akan merasakannya. Kelak kamu
juga akan merasakan juga jika kamu mempunyai anak nanti.”
“Maafkan saya Bu.” Bu Hamidah menatapnya
heran.
“Minta maaf kenapa?”
“Karena sudah berani menyukai Tuan Muda.”
Jawab Jodha malu-malu. Majikannya itu tertawa.
“Kenapa harus minta maaf sayang? Kamu nggak
salah. Ibu malah senang, kalau Jalal bisa menyukai seorang gadis yang luar
biasa seperti kamu.”
“Ibu terlalu memuji saya. Saya tidak sehebat
itu Bu.”
“Terserah kamu mau bilang apa, yang pasti
menurut Ibu, kamu luar biasa. Kamu bahkan bisa mengubah Jalal menjadi lebih
baik. Dan asal kamu tahu, Ibu sangat senang sekali. Tidak ada yang pernah
melakukan ini sebelumnya kepada Jalal. Hanya kamu sayang. Karenanya, kamu mau
berjanji satu hal sama Ibu.” Jodha menatap serius wajah majikannya itu.
“Janji?” Bu Hamidah mengangguk, “maksud Ibu?”
“Ibu mau kamu berjanji, tidak akan
meninggalkan Jalal apapun keadaannya. Kamu mau kan sayang?” ucap Bu Hamidah
dengan lembut.
“Sa-saya Bu?” kembali majikannya itu
mengangguk.
“Iya. Siapa lagi?”
“Tapi,...”
“Kenapa?”
“Saya takut akan mengecewakan Bapak sama Ibu
nantinya. Saya tidak tahu harus bersikap bagaimana Bu. Bapak sama Ibu sudah
sangat baik sama saya, saya juga takut nanti malah dikira serakah, sudah
dikasih hati malah minta jantung.” Jawab Jodha dengan tertunduk malu. Dia
sungguh sangat tidak menginginkan keadaan seperti ini.
“Siapa yang bilang begitu Jo?” tanya Bu
Hamidah dengan lembut.
“Hati saya sendiri Bu. Nanti orang bilang apa
kalau saya jadi bagian keluarga ini?” Bu Hamidah tersenyum menenangkan.
“Tidak usah terlalu dipedulikan tentang orang
lain sayang. Orang tidak tahu kehidupan kita yang sebenarnya. Karena yang tahu
hanya kita sendiri. Kita yang merasakan dan menjalaninya. Terserah orang mau
bilang apa.” Jodha terdiam, “kamu maukan berjanji nggak akan meninggalkan
Jalal. Karena dia takut kamu akan pergi dari rumah ini Jo.”
“Apa benar begitu Bu?” tanya Jodha dengan
rasa tidak percaya.
“Iya Sayang. Kamu mau kan berjanji sama Ibu?”
Jodha tidak segera menjawab. Sebenarnya, hatinya merasa bahagia. Mendapat
keluarga yang begitu baik. Bahkan dengan sukarela menginginkannya untuk menjadi
bagian dari keluarganya. Tidak banyak orang baik seperti majikannya ini, yang
tidak pernah mempermasalahkan status dan latar belakang orang. Bahkan Bi Ijah
dan Mang Diman saja yang sudah berpuluh tahun mengabdi, tidak pernah mendapat
perlakuan buruk dari majikannya. Jodha bersyukur, di balik penderitaan yang
selalu mengiringi perjalanan hidupnya, dia menemukan tempat untuk singgah.
Tempat yang nyaman untuk memberinya kebahagiaan. Bagaimana dia bisa sanggup
menolak permintaan Bu Hamidah, jika hatinya sudah terkurung lekat di dalam
kehangatan keluarga ini.
Akhirnya dengan mantap Jodha mengangguk, “iya Bu, saja janji. Saya janji tidak akan
meninggalkan Tuan Muda, apapun yang terjadi.” Bu Hamidah tersenyum lega. Dengan
bahagia dia memeluk Jodha.
“Makasih Sayang. Ibu bahagia sekali. Ibu
tahu, hanya kamu orang yang tepat berada disamping Jalal. Kamu gadis luar biasa
yang mampu memberikan pengaruh positif kepada Jalal.” Ucap Bu Hamidah dengan
gembira. Jodha ikut tersenyum.
“Iya Bu, saya akan berusaha semampu saya agar
dapat menjadi seperti yang Ibu harapkan.” Bu Hamidah melepaskan pelukannya.
“Iya Sayang, terima kasih ya.”
“Sama-sama Bu.” Keduanya tersenyum lega.
Jodha lega, karena apa yang ditakutinya selama ini tidak terbukti. Bahkan,
majikannya itu dengan suka rela memintanya agar selalu bersama tuan mudanya.
Sedangkan Bu Hamidah lega, karena berhasil membuat gadis itu berjanji tidak
akan meninggalkan Jalal. Dia ingin selalu melihat senyum bahagia anaknya itu,
yang selalu bersemangat bila di dekat Jodha.
***
Seminggu kemudian, Bayu yang menjemput Jalal
dan sahabatnya sudah tiba di kantor Papanya Jalal. Sengaja Jalal mengajak
mereka untuk menemui papanya, agar papanya melihat secara langsung hasil
latihan mereka selama di akmil, dan juga menunjukkan kalau dia sudah menepati
janjinya.
Setelah memarkirkan mobilnya, mereka memasuki
kantor Pak Humayun. Jalal yang sangat jarang datang ke kantor papanya membuat
para karyawan tidak banyak yang mengenalnya. Hanya orang-orang tertentu saja
yang kenal dengannya.
Mereka berempat melangkah bersama, dengan
kacamatan hitam bertengger, dan juga dengan potongan khas tentara membuat
mereke berempat seperti magnet yang menyedot perhatian terutama kaum hawa.
Meskipun Bayu usianya jauh diatas mereka bertiga, tetapi pesonanya tetap tidak
kalah dengan pesona Jalal dan sahabatnya.
Setiap langkah mereka yang beraturan
(hehehe...kebawa pas latihan di akmil), setiap itu pula berapa pasang mata kaum
hawa menatap mereka pandangan penuh ketertarikan dan ingin tahu. Bahkan ketika
Jalal menghampiri petugas recepsionis untuk menanyakan keberadaan papanya,
wanita tersebut sempat bengong beberapa saat. Sebelum akhirnya dia dengan
setengah tergagap menjawab pertanyaan Jalal.
“Maaf, apa Pak Humayun ada diruangannya?”
tanya Jalal membuka kacamatanya, perempuan itu masih diam dan menatap Jalal yang
berbicara. Bayu, Man, dan Surya hanya tersenyum geli melihat ekspresi
recepsionis itu. Sampai akhirnya,... “ehem...” Jalal berdehem, membuat
perempuan itu salah tingkah.
“E...eh, maaf, Anda ingin bertemu siapa?”
tanyanya dengan sopan, namun sorot matanya tidak bisa mengelabui kalau dia
terpesona.
“Pak Humayun. Ada?” tanya Jalal sedikit agak
ketus, karena ternyata bersikap lembut malah bikin lambat saja urusannya.
“Kalau boleh tahu Anda siapa? Dan apa sudah
ada janji sebelumnya dengan Bapak Humayun?”
“Saya Anaknya, dan saya belum punya janji
apa-apa sama Papa saya. Jadi nona tolong kasih tahu saja, Papa saya ada atau
tidak?” sekali lagi Jalal berkata agak ketus. Bukan dia tidak ingin ramah,
tetapi kalau begini urusannya malah jadi ribet. Kalau dulu dengan senang hati
dia meladeni perempuan seperti ini, tetapi sekarang dia sudah tidak ingin tebar
pesona lagi. Apalagi ini kantor papanya.
Raut wajah recepsionis itu berubah, ada sedikit ketakutan ketika
mendengar kalau yang dihadapannya itu adalah anak dari bos besarnya.
“A...ada. Beliau ada diruangannya. Silakan
saja masuk.” Jawab perempuan itu dengan sopan.
“Oke. Terima kasih.” Perempuan itu
mengangguk. Setelah Jalal dan teman-temannya berlalu dari hadapannya, barulah
dia menghembuskan nafas lega. Seorang
temannya mendekatinya karena penasaran.
“Siapa dia Tifa? Sepertinya dingin banget.”
perempuan itu duduk kembali di kursinya. Namun temannya masih berdiri bersandar
di meja menunggu jawaban
“Dia anaknya BigBoss.” Jawab Atifa singkat.
Temannya itu membulatkan mata dan mulut mendengar jawaban Atifa.
“Hah. Benarkah? Gila, aku baru tahu kalau
BigBos punya anak secakep itu.” Kata temannya itu. Atifa hanya mengerucutkan
bibirnya.
“Cakep sih, tapi kelihatannya dingin gitu.
Aku jadi tidak berminat. Belum apa-apa aku sudah takut, Veda.” Javeda tertawa.
“Kamu ini, belum apa-apa sudah takut. Kan
belum mencobanya. Masa kalah duluan?” Atifa tertawa pelan.
“Kita lihat saja nanti, Veda. Lagipula, baru
sekali ini aku melihatnya. Entah kalau nanti dia sering kesini dan aku berubah
pikiran.” Javeda mengangkat bahu.
“Yah, terserah kamu saja sih.” Ucap Javeda
meninggalkan Atifa dan kembali ke mejanya.
Sementara itu, Jalal dan teman-temannya sudah
sampai di depan pintu ruangan papanya. Nampak sekretaris pribadi papanya yaitu
Sujamal tengah sibuk dengan pekerjaannya. Dia tidak menyadari kedatangan
mereka.
‘Selamat siang, Pak Sujamal” Sapa Jalal
sambil tersenyum. Sujamal mendongakkan kepalanya. Dia memicingkan matanya,
berusaha mengenali orang yang ada di depannya itu, “Anda tidak mengenali saya?”
tanya Jalal lagi.
“Ja-Jalal?” tanya Sujamal dengan ragu-ragu.
Jalal terkekeh.
“Ya ampun, masa nggak kenal aku sama sekali
sih? Iya aku Jalal. Anak bosmu.” Raut wajah Sujamal berubah senang. Dia
langsung berdiri. Dengan segera dia memeluk Jalal.
“Ya ampun Jalal. Ini kamu ya? Aku sampai
pangling melihatmu. Jadi benar kamu yang dikirim ke Magelang itu?” Jalal
mengangguk.
“Iya. Buat proses penambahan pigmentasi dan
kekuatan otot.” Sahut Jalal dengan santai. Sujamal tertawa mendengarnya. Begitu
juga dengan teman dibelakangnya.
“Tidak apa-apa. Tambah gagah dan cakep
malahan.” Jalal tersenyum, “mau ketemu Pak Bos ya?” Jalal mengangguk.
“Iya. Papa ada?”
“Ada. Masuk saja.” Setelah pamit dengan
Sujamal, Jalal mengajak ketiganya masuk dan mengetuk pintu. Terdengar suara
mempersilakan masuk, Jalal membuka pintu. Terlihat papanya menunduk, sedang
sibuk dengan pekerjaannya.
“Ada ap...” tanya Pak Humayun terhenti.
“Papa.” Pak Humayun terkejut melihat putranya
sudah ada dihadapannya dengan penampilan berbeda. Dia langsung berdiri dan
menghampiri mereka berempat.
“Jalal. Kau sudah pulang, Nak?”
“Iya Pa.”
Pak Humayun memeluk putranya. Setelah melepaskan pelukannya, dia menatap
Jalal dari ujung rambut sampai ujung kaki. Benar. Anaknya sudah banyak berubah.
Tidak nampak cengengesan seperti dulu kalau berbicara dengannya. Bahkan
penampilannya pun sudah jauh berubah, meski agak sedikit kurus. Pak Humayun
bisa maklum, mungkin karena beratnya latihan yang harus mereka lalui selama
ini.
“Papa senang kamu pulang, Jalal. Semoga apa
yang kamu dapatkan di sana bisa bermanfaat untukmu nanti,” Pak Humayun menoleh
ke arah Mansingh dan Surya, “dan juga bermanfaat untuk kalian berdua.” Keduanya
mengangguk.
“Iya Pak.” Sahut mereka berdua.
Pak Humayun, melangkah ke arah Mansingh dan
Surya, dia juga memeluk mereka sama halnya ketika dia memeluk Jalal. Mansingh
dan Surya merasa senang diperlakukan seperti itu. Bayu tersenyum melihat adegan
tersebut. Dia melihat raut kebahagiaan di wajah lelaki paruh baya itu melihat
kedatangan Jalal dan kedua sahabatnya. Meski mereka belum banyak bercerita dan
bahkan mereka juga belum bersikap bagaimana hasil latihan mereka selama ini,
namun Pak Humayun begitu senang.
Setelah puas berpelukan, Pak Humayun
mempersilakan mereka untuk duduk, tidak lupa dia memanggil Sujamal untuk
menyajikan minuman kepada para tamunya. Jalal dan kedua sahabatnya begitu
bersemangat bercerita tentang kegiatan mereka selama di akmil dan papanya Jalal
begitu antusias mendengarkan cerita mereka bertiga. Hanya Bayu yang diam saja,
dia membiarkan saja mereka bertiga bercerita.
Tidak terasa dua jam berlalu, Jalal dan kedua
sahabatnya beserta Bayu berada di kantor papanya. Menjelang sore mereka pamit.
Bayu akan mengantarkan mereka kerumah masing-masing. Namun, Jalal minta diantar
ke kampus dimana mamanya berkantor. Mungkin saja Inemnya ada disana. Pikirnya.
Sesampainya di kampus, Jalal tidak melihat
ada mobil mamanya. “Apa Mama tidak kekantor hari ini?” gumamnya. Dia tidak bisa
menghubungi mamanya karena memang belum memegang ponsel sama sekali. Tadi di
kantor papanya dia juga lupa untuk meminjam ponsel saking bersemangatnya dia
bercerita kepada papanya. Namun, dia tetap melangkahkan kakinya menuju ruangan
mamanya.
Setibanya dia di depan ruangan mamanya, dia
mencoba mengetuk pintu. Terdengar suara mempersilakan masuk. Jalal tersenyum
gembira, ternyata mamanya masih ada di ruangannya. Dengan menenteng ranselnya,
dia membuka pintu dengan tidak sabar.
“Jalal!” seru Bu Hamidah dengan gembira.
“Mama.”
Bu Hamidah bangkit dari kursinya dan memeluk
anaknya. Jalal pun membalas pelukan mamanya. Dia sudah sangat rindu dengan
mamanya. Enam bulan lebih tidak pernah berbicara sama sekali dengan
keluarganya, tentu saja itu merupakan penderitaan hebat buatnya selain memendam
rasa rindu dengan Inemnya. Heh, Inem lagi.
“Ya ampun sayang, mama kangen sekali sama
kamu.” Ucap Bu Hamidah melepaskan pelukannya, air matanya menitik karena
terharu bisa memeluk putranya lagi. Dia mencium kening Jalal dengan penuh haru.
“Iya Ma, aku juga kangen sama Mama.” Sekali
lagi Bu Hamidah memeluk putranya dengan bahagia. Setelah itu dia membimbing
Jalal duduk di sofa. Tidak puas-puas Bu Hamidah memandang wajah anaknya yang sudah membuatnya rindu.
Enam bulan bukanlah waktu yang sebentar, apalagi mereka sama sekali tidak
pernah berkomunikasi, tentu saja membuat rindunya semakin menggumpal.
“Kamu sekarang lebih kurus sayang.” Ucap Bu
Hamidah mengusap wajah anaknya. Jalal tersenyum.
“Tentu saja Ma, kan latihannya berat banget
disana, mana bisa gemuk aku Ma. Tapi, aku gagahkan Ma?” Bu Hamidah terkekeh.
Dia mencubit pipi Jalal.
“Tentu saja sayang. Ah, Jodha pasti pangling
melihatmu sayang. Mama jamin itu.”
“Benarkah Ma?” mamanya mengangguk, “bagaimana
keadaannya sekarang Ma?” Bu Hamidah tersenyum.
“Kalau sudah masalah Jodha, kamu semangat
sekali sayang.”
“Ya kan wajar Ma, setengah tahun lebih tidak
pernah ketemu, tidak pernah komunikasi sama sekali. Siapa yang tidak kangen
coba?”
“Iya. Mama tahu itu.” Bu Hamidah masih
tersenyum melihat anaknya yang tidak sabar ingin mendengarkan cerita mamanya
tentang Inemnya, “dia baik sayang. Dia
juga tinggal menunggu prosesi yudisium dan wisuda saja lagi.”
“Benarkah Ma?” mamanya mengangguk, “yah, aku
nggak bisa bareng lulusnya.” Keluh Jalal dengan lesu. Dia menatap mamanya,
“selama aku nggak ada dirumah, dia bagaimana Ma?”
“Kenapa? Kamu cemburu?” ledek mamanya.
“Ya kan ingin tahu saja Ma.”
“Dia baik sayang, masih seperti biasa.”
“Begitu ya? Dia nggak kangen aku ya Ma?” ucap
Jalal kembali lesu. Mamanya hanya tertawa melihat anaknya yang seperti
kehilangan semangat itu.
“Belum apa-apa kamu sudah patah semangat
sayang?”
“Ya gimana lagi Ma, aku kan pergi ke Magelang
juga demi dia. Tapi, ternyata perjuanganku sia-sia. Dia bahkan tidak rindu sama
sekali kepadaku.” Ucap Jalal mengusap wajahnya dengan kedua tangannya.
“Kenapa kamu begitu cepat menyimpulkan
seperti itu? Hati orang kan kita tidak pernah tahu sayang. Bisa jadi dia
bersikap biasa saja, tetapi hatinya rindu kan kita nggak tahu. Kamu tahu
sendiri bagaimana dia, tidak pernah mengeluh kepada siapapun. Apa yang ada
dihatinya kita juga tidak tahukan? Tapi...” Bu Hamidah sengaja memutuskan
kalimatnya, ingin melihat reaksi anaknya. Jalal menatap mamanya dengan
penasaran.
“Tapi? Apa Ma?” Bu Hamidah kembali terkekeh.
“Kamu penasaran ya sayang?” godanya. Jalal
menjadi cemberut. Entah kenapa pelatihannya seperti tidak berguna ketika
berhadapan dengan mamanya, dan... mungkin juga dengan Inemnya itu.
“Ya jelas saja penasaran Ma. Please Ma,
bilangin dong.”
“Iya sayang, memang selama ini dia terlihat biasa-biasa
saja, dan mungkin karena dia selalu menyibukkan diri dengan skripsinya dan juga
kerjaannya dirumah membuatnya terlihat biasa. Tetapi,...akhir-akhir ini setelah
enam bulan berlalu sejak kepergianmu, dia sering Mama lihat termenung di gazebo
belakang. Bi Ijah juga cerita kalau Jodha sering melamun, bahkan ketika sedang
memasak. Menurut kamu itu apa artinya?” tanya Bu Hamidah. Jalal tersenyum
senang.
“Benarkah Ma itu?” tanya Jalal memastikan.
Mamanya mengangguk.
“Iya sayang. Mungkin dia juga rindu sama
kamu, namun dia terlalu sungkan sama kami. Bahkan Mama pernah memergokinya
sedang memegang sebuah syal sepertinya dan dia berbicara sendiri. Entah dia apa
yang diucapkannya, Mama tidak bisa mendengar karena terlalu jauh.” Wajah Jalal
berbinar mendengar ucapan mamanya.
“Apa syalnya berwarna hijau Ma?” mamanya
mengangguk sambil tersenyum. Jalal semakin gembira.
“Tidak salah lagi Ma, dia pasti rindu sama
aku Ma. Sekarang dia dimana Ma?” tanya Jalal dengan tidak sabar.
“Duh, yang sudah tidak sabar lagi ingin
bertemu calon istri.” Ledek mamanya, Jalal hanya cengengesan.
“Iyalah Ma, calon mantu Mama juga kan?”
balasnya. Bu Hamidah kembali terkekeh.
“Ya sudah sana, temui dia dirumah. Biar nanti
Mang Diman saja yang menjemput Mama.” Jalal mengangguk, “kamu naik apa kesini
sayang?”
“Tadi diantar sama Bang Bayu Ma, sekarang dia
sedang mengantar Man dan Surya kerumahnya.”
“Kamu minta jemput Mang Diman saja ya
sayang.” Jalal menggeleng.
“Nggak Ma, biar aku naik taksi saja, biar
cepat.”
“Ya sudah sana, hati-hati sayang.” Ucap Bu Hamidah ketika Jalal pamit dan
mencium tangannya.
“Iya Ma.”
Bergegas Jalal keluar dari ruangan mamanya,
diiringi gelengan kepala dari Bu Hamidah melihat putranya yang sudah tidak
sabar lagi ingin bertemu dengan Jodha.
Jalal berlari kecil keluar dari gedung tempat
kantor mamanya, tidak diperdulikannya pandangan orang-orang yang melihatnya
aneh ketika berlari keluar dari gedung. Staminanya yang sudah kuat akibat
tempaan di akmil membuatnya tidak terlihat terengah-engah ketika berlari ke pinggir
jalan untuk menghentikan taksi, dan menyebutkan alamat rumahnya.
Di dalam taksi, Jalal terus membayangkan
bagaimana reaksi Inemnya ketika melihatnya nanti. Tanpa sadar bibirnya terus
menyunggingkan senyuman. Bahkan sampai sang supir taksi menggelengkan kepala
melihatnya tersenyum terus dan larut dalam lamunannya.
Jalal baru tersadar ketika supir taksi
menghentikan mobilnya persis di depan gerbang pagar rumahnya, setelah membayar
dia bergegas membuka gerbang tersebut dan berlari menuju pintu rumahnya. Dia
menekan bel berkali-kali dengan tidak sabar, sambil membayangkan siapa yang
akan membukakannya pintu. Apakah Inem, Bi Ijah, atau Mang Diman. Kalau Inem
gimana ya? Khayalan Jalal terus berjalan, sampai perhatiannya tertuju kepada
suara pintu yang dibuka dari dalam. Jalal menelan ludah, menanti. Tapi,
ups...ternyata Bi Ijah. Hahahaha...
Bi Ijah juga terkejut melihat majikan mudanya
sudah datang dengan penampilan baru, namun sedikit lebih kurus.
“Tuan sudah pulang?” Jalal tersenyum.
“Iya Bi. Aku sudah pulang.” Tanpa sadar Bi
Ijah memeluk majikannya itu dengan gembira. Begitu juga dengan Jalal, dia
membalas pelukan Bi Ijah yang sudah dianggapnya sebagai mamanya yang kedua.
“Wah, Tuan berubah. Jodha pasti pangling nih.” Ucap Bi Ijah ketika melepaskan
pelukannya. Jalal tersenyum.
“Oh ya, Inem mana Bi?” tanya Jalal dengan
tidak sabar. Bi Ijah tertawa pelan. Dia maklum.
“Ada di belakang Tuan, di gazebo. Akhir-akhir
ini dia sering duduk menyendiri disana. Mungkin dia sudah kangen sama Tuan.”
“Oh ya?” Bi Ijah mengangguk, “baiklah Bi, aku
akan menemuinya.”
“Iya Tuan, kasihan dia. Makan pun tidak
berselera nampaknya.” Jalal tersenyum bahagia.
“Ternyata tidak aku saja yang memendam
rindu.” Gumamnya.
Dengan tidak sabar dia membuka pintu belakang
dan melihat gadis pujaan itu sedang duduk bersandar di tiang gazebo seperti
yang sering mereka lakukan dulu, dengan posisi membelakangi tempat Jalal berdiri sekarang. Jodha seperti
membaca novel, karena ditangannya memegang sebuah buku. Namun Jalal tahu kalau
pikiran gadis itu sedang tidak ada ditempatnya, melainkan melayang jauh entah
kemana. Mungkin Inemnya sedang memikirkan dirinya sekarang. Jalal tersenyum
geli.
Dia melangkahkan kakinya ingin
menghampiri Jodha, namun kemudian
tertahan. Sebuah ide usil lagi melintas di pikirannya. Mumpung Inemnya belum
tahu akan kedatangnnya itu. Jalal berbalik masuk lagi ke dalam rumah. Bi Ijah
heran melihat tingkah majikannya itu.
“Loh, Tuan kok masuk lagi? Nggak jadi ketemu
Jodha?” Jalal tersenyum usil.
“Bentar Bi, aku mau ngasih kejutan untuknya.
Bibi diam saja dulu ya.” Meski dengan penasaran, Bi Ijah mengangguk. Jalal
segera naik kekamarnya membawa ransel yang dibawanya itu dengan berlari. Heh,
kebiasan di akmil kemana-mana selalu berlari. Hehehe....
Setibanya di kamar, Jalal segera membuka
ranselnya dan mengeluarkan seragam PDL (Pakaian Dinas Lapangan) ketika di akmil
yaitu seragam loreng hijau. Ternyata latihan mereka juga ada manfaatnya
sekarang. Jalal bisa dengan cepat mengganti pakaian yang dipakainya dengan
seragam PDL loreng lengkap dengan sepatu bootnya, sabuk beserta pisau, memakai
kain yang diikat menutupi rambutnya.
Jalal segera menggunakan make up khas TNI
ketika akan berangkat perang. Ya, make up loreng-loreng di wajahnya. Dia
melakukannya dengan cepat. Setelah selesai, dia memakai kacamata hitamnya, dan
bercermin sebentar. Jalal tersenyum puas. Pasti Inemnya akan terkejut melihat
penampilannya kali ini.
Jalal turun dari kamarnya dengan bersiul
riang. Dia bahkan belum sempat ber-say helo dengan kamarnya, keburu kangen dengan
Inemnya. Bi Ijah awalnya kaget melihat penampilan tuan mudanya itu, tetapi
kemudian dia hanya bisa menggelengkan kepala melihat keusilan tuan mudanya.
Dengan berjingkat Jalal menghampiri Jodha
yang sekarang sudah duduk di pinggir kolam, kedua kakinya berjuntai di atas air
sambil bermain dengan ikan Koi milik Pak Humayun. Awalnya Jalal ingin
memeluknya dari belakang, tapi niat tersebut di urungkannya ketika dia
mendengar Inemnya bicara sendiri. Dia berdiri menyandarkan tubuhnya di tiang
gazebo sambil bersidekap.
“Kok Tuan belum pulang ya, Koi?” ucap Jodha
dengan pandangan menatap ikan Koi yang berenang disekitar kakinya, “dia rindu
aku nggak ya, Koi? Katanya cuma enam bulan, kok sekarang sudah lewat dua minggu
Tuan belum pulang juga.” Jalal terkekeh tanpa suara mendengar ucapan Inemnya.
“Ternyata
aku rindu juga ya, Koi sama Tuan.
Rindu banget sama dia yang usil,
yang banyak permintaan, yang selalu bikin aku kesal.” Jodha terus berbicara
kepada ikan yang ada dihadapannya itu, seolah ikan Koi tersebut mengerti akan
segala ucapannya, “Inem, bikinkan kopi. Nggak pakai lama. Emang dia pikir
ngerebus air sekali ditaruh di atas kompor langsung mendidih apa? Kan aku kesal
Koi. Belum lagi kalau dia memerintah nggak bisa dibantah, yah aku bisa apa
Koi?” Jalal menutup mulutnya menahan ketawa. Jodha menghela nafas panjang.
Matanya menerawang menatap langit yang cerah.
“Dia sedang apa ya disana Koi? Kata Abang,
Tuan disana pasti disiksa. Kasihan sekali kalau seperti itu Koi, siapa yang
merawatnya disana? Dia pasti capek. Apa Tuan kesana gara-gara aku ya Koi? Apa
aku bikin kesalahan, yang bikin Bapak
ngirim Tuan kesana? Aku harus bagaimana Koi, ingin cerita sama Ibu tapi aku
malu. Nggak. Nggak akan bisa aku tanya keadaan Tuan disana sama Ibu.
Kelihatannya juga Ibu tidak tahu apa-apa.” Jodha menghembuskan nafas lagi.
Bibirnya cemberut.
“Apa kamu mencintaiku Nem?” tanpa sadar Jalal
berucap. Dia segera menutup mulutnya
yang keceplosan. Namun, Jodha tidak nampak terkejut mendengarnya.
“Tuh kan Koi, aku mendengar suaranya. Apa aku
berhayal terlalu jauh ya Koi, sampai-sampai mendengar suaranya seperti nyata.”
Ucap Jodha memijit pelipisnya. Kembali Jalal terkekeh tanpa suara, “iyaaa Tuan,
saya cinta sama Tuan. Makanya cepat pulang, nggak kangen apa sama saya?” ucap
Jodha seperti orang gila bicara sendiri, dia masih belum menyadari kalau tuan
mudanya itu sudah berada di dekatnya, dan mendengar semua ucapan polosnya.
Jalal masih menyabarkan diri untuk tidak memeluk gadis itu. Hatinya begitu
bahagia mendengar ucapan Inemnya. Sekarang dia tidak menyesal sudah berangkat
ke Magelang, karena ternyata kepergiannya menumbuhkan rasa cinta di hati gadis
itu terhadapnya.
“Aku sudah pulang sayang.” Kembali Jalal
berucap. Jodha menggeleng.
“Bohong. Kalau sudah pulang terus Tuan kenapa
belum datang juga?”
“Apa kamu janji, kalau aku sudah pulang, kamu
akan memelukku tanpa aku minta?” tanya Jalal sambil melangkah perlahan
mendekati gadis itu yang masih duduk di pinggir kolam. Jodha mengangguk. Jalal
melangkah mendekati Inemnya.
“Iya Tuan, saya janji.” Jalal mencolek bahu
Jodha. Namun Jodha menepisnya, “nanti saja Bi, aku masih ingin sendiri dulu
disini.” Ucap Jodha. Dia mengira Bi Ijah yang mencoleknya. Jalal kembali
terkekeh tanpa suara mendengar ucapan Inemnya. Di coleknya kembali bahu Jodha.
“Bi, nanti sa...” ucap Jodha terhenti ketika
menoleh dan merasa terkejut melihat seseorang yang berpakaian khas TNI dengan
ikat kepala menggunakan slayer, wajahnya juga diwarnai loreng-loreng hijau
persis pakaian yang dipakainya, dan memakai kacamata hitam. Bibirnya tersenyum
menyeringai kepadanya. Jodha syok dengan cepat dia berdiri, namun salah satu
kakinya salah menginjak tempat.
“Aaaa....” hampir saja dia kecebur di kolam
saking kagetnya ketika dia melihat sosok didepannya itu. Beruntung tangan Jalal
dengan cepat menangkap tubuhnya dan memeluknya. Jodha terdiam beberapa saat.
Begitu tubuhnya merapat dekat dengan orang tersebut, hidungnya mencium parfum
yang selama ini dia kenal. Parfum yang selama ini dia rindui. Tuan mudanya. Dia
mendongak dengan tangan Jalal masih memeluknya.
“Si-siapa?” tanyanya dengan gugup. Seketika,
dadanya berdebar dengan kencang. Dia. Datang. Jalal kembali tersenyum
menyeringai.
“Kamu tidak mengenalku Sayang?” Jodha menelan ludah. Benarkah? Tidak mimpikan
dia?
“Tu-tuan?” tanyanya lagi. Jalal tersenyum.
“Menurutmu siapa sayang?” Jalal membuka
kacamatanya. Jodha menatap lekat-lekat wajah Tuannya yang masih menggunakan
make up lorengnya dan juga slayer ikat kepala. Tangannya Jodha meraba wajah
Jalal, masih dengan raut tidak percaya. Pemuda itu tersenyum. Dia rindu dengan
Inemnya. Di genggamnya tangan gadis itu yang masih berada di wajahnya, dengan
tidak sabar dia memeluk erat Jodha yang masih terdiam mencerna apa yang
terjadi. Dia membenamkan wajahnya diceruk leher gadis itu dan menikmati aroma
khas yang selama ini selalu dia rindui.
“Tu-Tuan...” panggil Jodha dengan tanpa
ekspresi.
“Ya sayang?”
“Saya tidak mimpikan? Ini nyatakan?” Jalal
tersenyum, dia semakin mempererat pelukannya. Membiarkan gadisnya bingung untuk
sementara, dia ingin mencharger energinya dulu dengan memeluk Inemnya.
“Tidak sayang. Kamu tidak bermimpi. Ini
nyata. Aku sudah pulang.”
“Ta-tapi, tapi...” Jalal melepaskan
pelukannya. Dengan gemas dia memencet hidung Jodha agak keras, sampai gadis itu
megap-megap karena susah bernafas.
“Nah, sekarang sudah tidak mimpi lagikan?”
tanya Jalal, Jodha mengusap-usap hidungnya yang memerah. Dia menatap Jalal dari
ujung kepala sampai ujung kaki. Jalal hanya tersenyum geli melihat ekspresi
Inemnya.
“Tuan kenapa berpenampilan seperti ini?”
“Biar kamu tahu kalau seperti ini kami
disana. Sayang topi baja sama senapannya nggak boleh dibawa.”
“Oh ya?” Jalal mengangguk, “seperti prajurit
beneran ya Tuan. Keren.” Jalal tertawa. Dia segera melepaskan slayernya,
melepaskan baju lorengnya dan menyisakan kaos lorengnya saja, serta menghapus
make up diwajahnya. Semua itu tidak lepas dari pandangan Jodha. Meski terlihat
lebih kurus dan kulitnya agak gelap, mungkin karena terlalu sering terjemur
matahari, namun tuan mudanya nampak gagah seperti Bang Bayu. Tanpa sadar, Jodha
tersenyum melihatnya.
Setelah melepaskan bajunya yang memang tampak
tebal itu, Jalal menghampiri Jodha yang masih menatapnya dengan tidak
puas-puas. Ya ampun, bajunya dilepas malah nampak seksi tuan mudanya, meski
kaos lorengnya masih menempel di tubuhnya, dan juga sepatu boot masih
dipakainya. Tanpa sadar Jodha memandang Jalal dengan mulut setengah menganga.
Sungguh berbeda sekali penampilan tuan mudanya itu kali ini. Ya Tuhan, bukan
sekali dua kali dia melihat laki-laki berpenampilan begini. Mungkin dulu hampir
tiap hari dia melihat Bang Bayu memakai pakaian serupa, tetapi kenapa pesona
laki-laki di depannya ini begitu mempengaruhi pandangan dan perasaannya. Yah,
Jodha terpesona. Sangat.
Jalal kembali tersenyum geli melihat Inemnya yang masih bengong. Perlahan
dia mendekati gadis itu, begitu berada dihadapannya, tangan Jodha tanpa disuruh
menjulur, meraba dada tuan mudanya yang masih di lapisi kaos lorengnya. Baru
kali ini Jodha melakukan hal seperti itu. Ada semacam rasa kagum. Bahkan
sekarang tidak nampak lagi kalau tuan mudanya itu gugup, berbeda dengan
dirinya.
Jodha menurunkan tangannya dari dada Jalal,
dia kemudian menunduk setelah menyadari kelancangannya. Namun, tangan Jalal
menggenggam tangan tersebut dan menempelkan tetap di dadanya.
“Kenapa Sayang?” bisik Jalal melihat Jodha
yang menunduk. Gadis itu menggeleng.
“Ma-maafkan saya Tuan, sudah lancang.”
Katanya dengan wajah memerah karena malu. Jalal tersenyum, ujung jarinya
menyentuh dagu Jodha untuk meminta menatapnya. Perlahan gadis itu menuruti
keinginan tuan mudanya. Ketika pandangan mereka beradu, yang ada hanya
keheningan menyergap beberapa saat. Ada pancaran yang begitu kuat hadir dari
pandangan mereka, pancaran rasa rindu yang menggulung, binar cinta yang begitu besar.
“Kamu tahu sayang, apa yang membuatku
bersemangat selama latihan disana?” tanya Jalal pelan.
“Apa?”
“Rinduku yang teramat dalam kepadamu,
membuatku selalu bersemangat untuk membuktikan kepadamu bahwa apa yang aku
lakukan ini tulus dari dalam hatiku.” Ucap Jalal menempelkan telapak tangan
Jodha di dadanya. Jodha kembali merona, kakinya mulai terasa lemah. Namun dia
mencoba bertahan untuk terus berdiri. Heh, sejak kenapa dia menjadi meleleh
mendengar ucapan tuan mudanya itu.
“Tuan tau, apa yang membuat menunggu itu
membosankan?” Jalal menggeleng.
“Apa sayang?”
“Rindu saya yang teramat besar kepada Tuan,
membuat waktu untuk menunggu itu terasa sangat panjang.” Bisik Jodha malu-malu.
Jalal tersenyum bahagia. Di selipkannya anak rambut gadis itu dibelakang
telinga.
“Makasih sayang. Aku bahagia. Tidak sia-sia
aku pergi lama, karena ketika kembali, aku menemukan cintaku yang selalu
gelisah menungguku.” Jodha tersenyum malu.
Jalal sedikit menunduk dan mendekatkan
wajahnya tanpa melepaskan pandangannya dari matanya gadis itu. Setelah hanya
sepersekian mili saja jarak antar keduanya, Jodha memejamkan matanya tanpa
sadar. Tangan kanan Jalal sudah berada di pinggang Jodha, dan tangan kirinya
masih menggenggam tangan kanan gadis itu yang menempel di dadanya.
Dengan perlahan bibir Jalal menyentuh bibir
Jodha yang lembut dan kenyal itu, terasa bibir itu sedikit bergetar namun
hangat. Jodha hanya diam saja, dia tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Hanya
menunggu dan membiarkan semua berlalu begitu adanya. Ada getaran halus yang
membuat tubuhnya terasa merinding, ketika bibir lembut tuan mudanya menyapu,
mengisap pelan, dan juga menikmati bibir miliknya tanpa terlewat sedikitpun.
Seakan semua kerinduan yang sekian lama tersalurkan lewat ciuman itu.
Jodha hanya bisa menikmati dan meresapi semua
sentuhan tuan mudanya yang begitu piawai mengaduk-aduk perasaannya lewat sebuah
ciuman pertamanya itu. Iyaaaa...bibirnya sudah tidak perawan lagi. Hehehe...
Hanya sebentar saja Jalal melakukan
ciumannya, dia segera melepaskan sentuhannya namun tatapannya tidak pernah
lepas dari wajah yang masih memerah dihadapannya itu. Jodha membuka matanya dan
melihat tuan mudanya tersenyum kepadanya. Dia menggigit bibir bawahnya, “bibir
Tuan manis.” ucapnya pelan, seketika dia langsung menunduk. Jalal terkekeh
mendengar ucapan polosnya.
“Kamu mau lagi sayang?” goda Jalal. Jodha
memukul pelan dada tuan mudanya yang menggodanya itu, namun dia masih menunduk
untuk menyembunyikan wajah merahnya. Jalal segera memeluknya lagi dan mendekap
erat tubuh gadis pujaannya itu, “makasih ya sayang, sudah mau menungguku.”
Jodha hanya bisa mengangguk tanpa menjawab.
Entah berapa lama mereka berpelukan, rasanya
waktu seolah berhenti begitu saja menyaksikan pertemuan dua anak manusia yang
telah berpisah sekian lama. Jalal melepaskan pelukannya dan mengajak Jodha
duduk di gazebo. Setelah melepaskan sepatu bootnya, mereka berdua duduk
berhadapan seperti biasa yang mereka berdua lakukan sebelumnya.
“Tuan,”
“Ya Sayang,” kembali wajah Jodha memerah
menahan malu mendengar panggilan sayang dari majikannya itu. Bahkan sejak dia
datang tadi, tuan mudanya itu selalu saja memanggilnya sayang. Senang, tapi
juga malu. Jalal terkekeh melihat Inemnya tersipu.
“Ceritakan apa yang Tuan lakukan selama
disana?”
“Yakin kamu mau mendengarnya?” Jodha
mengangguk, “nggak ngantuk nanti kalau ceritanya kepanjangan?” bibir Jodha
mengerucut.
“Tuan mau membalas saya nih ceritanya?”
kembali Jalal terkekeh.
“Becanda sayang. Baiklah, aku akan cerita...”
Jalal menceritakan semua yang di alaminya bersama teman-temannya dari hal yang
paling kocak, sedih, sampai yang paling serius. Terlebih pertemanannya dengan
dua bocah kembar plontos itu, membuat Jodha tertawa kencang mendengarnya.
Apalagi saat tuan mudanya bercerita kalau mereka berdua telah memanggilnya
dengan panggilan papa. Ya ampun, Jodha dibuat penasaran jadinya, seperti apa
rupa mereka berdua itu.
Terdengar suara ponsel Jodha berdering, dia
melihat di layar tertera Nadia memanggil. Dengan segera dia mengangkat.
“Ya Nad....”
“JODHAAAA....!” Teriak Nadia dari
seberang, sampai Jodha harus menjauhkan ponselnya dari telinganya sebentar.
“Ada apa sih kok
teriak-teriak? Nggak bisa ngomong pelan ya?” omel Jodha, Nadia malah tertawa
terbahak-bahak.
“Ya ampun Jo, beras ketanku sudah matang nih.” Jodha mengerutkan
keningnya tidak mengerti.
“Beras ketan?
Maksudnya apa Nad?” tanya Jodha penasaran. Jalal memberi isyarat agar Jodha me-loudspeaker suaranya. Jodha
menuruti. Jadilah mereka berdua menghadapi ponsel tersebut mendengar ocehan
Nadia dari seberang.
“Iya Jo. Beras ketan putih yang dikirim ke Magelang dulu, sekarang sudah
mateng. Sudah jadi tape. Tape ketan hitam, karena kelamaan di peram di Kawah
Chandradimuka. Hahahahaha...” Jodha semakin bingung, namun Jalal terkekeh.
Dia sudah mengerti maksudnya gadis usil itu.
“Tape ketan hitam?
Apaan sih Nad? Kapan kamu ngirim beras ketan ke Magelang. Perasaan dulu aku
nggak pernah dengar kamu ngirim beras ketas ke Magelang?” terdengar suara
kekehan daru seberang sana selain suara Nadia, seperti suara laki-laki. Tidak
salah lagi, itu suara Mansingh.
“Sudah Beb, Jodha nggak ngerti kamu ngomong apa tuh.” Terdengar
suara Mansingh.
“Ish,
Abang. Bentar dululah. Sabar.” Terdengar helaan nafas dari Mansingh, “tapi Jo, biar hitam, tapi legit. Kata Ibu,
tinggal diblender, terus dikasih santan sama agar-agar, sudah jadi puding yang
enak tuh. Hahahaha....”
“Heh, Nad. Biar jadi
tape ketan hitam juga, kamu sudah klepek-klepek kan?” goda Jalal, sesaat Nadia terkejut mendengar suara Jalal.
“Eh, ada Bang Bos ya? Apa kabar Bang Bos? Bang
Bos jadi tape ketan hitam juga ya? Pasti iya dong.” Cerocos Nadia dengan
lancarnya. Mansingh kembali terkekeh dari seberang sana.
“Biarin aja jadi tape
ketan hitam, yang penting sudah bikin Inem terpesona. Ya kan sayang?” Ucap
Jalal memainkan kedua alisnya kepada Jodha. Giliran Jodha yang terkekeh. Dia
baru mengerti ucapan Nadia tentang arti tape ketan.
“Cieee...Bang Bos, sudah bahagia ketemu belahan jiwa. Gimana Bang Bos,
sekarang sudah bisa semuanya kan? Jodha nggak dikasih job kan Bang Bos?”
“Tentu saja. Calon
istriku sekarang tidak boleh bekerja lagi. Dia cukup melayani aku saja nanti.”
Jodha melotot mendengar ucapan tuan mudanya, namun Jalal hanya terkekeh.
“Iya deh. Semoga Jodha betah melayani Tuan Muda ya. Hahahaha...”
“Harus betah. Akan ku
buat Inem betah dengan cintaku.”
“Hadeh,...lagi-lagi pujangga ‘Pujaan Tetangga’ beraksi. Semoga Jodha
kuat dan terbiasa, biar dia tidak muntah-muntah kebanyakan mendengar
tape ketan hitam lagi ngerayu. Hahahaha...”
“Huh dasar kamu Nadia bawel. Tuh, tape ketan
hitam disebelahmu itu diperhatikan.” Sungut Jalal. Nadia dan Mansingh terkekeh.
“Nggak usah disuruh kali Bang Bos. Eh
iya Bang Bos, emangnya selama latihan nggak boleh pake sun-block
ya? Biar kulitnya nggak gosong gitu?” Jalal mendengus. Jodha
tertawa geli.
“Ngawur aja. Mana ada
ceritanya tentara berangkat perang pake ngolesin sun-block duluan. Keburu
ditembak tau.” Nadia tertawa terbahak-bahak.
“Ya kali aja ada Bang. Hahahaha...”
“Ya kalau ada,
sekalian saja sebelum berangkat perang atau latihan, kesalon dulu, facial, creambath dulu, meni-pedi
dulu. Itu tentara apa banci?” sindir Jalal dengan jengkel. Tawa Nadia semakin
keras. Jodha hanya menggelengkan kepala melihat tuan mudanya yang tidak pernah
bisa diam kalau berhadapan dengan Nadia, “sudah, nelponnya nanti lagi. Aku
masih kangen sama Inem. Kamu tuh, puas-puasin kangennya sama Abang Man
tercinta.” Ucapnya mematikan ponsel Jodha yang tertawa melihat tuan mudanya
menutup tanpa permisi telpon dari Nadia.
“Kenapa sayang?”
tanya Jalal ketika melihat Jodha
senyum-senyum kearahnya.
“Nggak. Cuma lucu
aja.”
“Yang mana yang lucu
Nem?” Jodha terkekeh tidak menjawab, “tape ketan hitam tadi?” akhirnya Jodha
mengangguk. Jalal mendecak, “sudah lupakan ucapan si bawel tadi, kita masuk
sekarang yuk sayang. Cintamu ini mau mandi dulu, terus kita makan malam bareng
calon mertuamu.” Kembali Jodha tertawa geli. Sungguh geli. Di godog selama enam
bulan lebih di akmil, malah bikin tuan muda semakin pintar membuat ucapan yang
bikin perutnya tambah mual. Hahahaha....
Namun akhirnya Jodha
mengangguk, dia mengambil pakaian dan perlengkapan tuan mudanya tadi yang
diletakkan di gazebo, sementara Jalal
menenteng sepatu bootnya. Dengan bergandengan tangan mereka berdua masuk ke
rumah. Bi Ijah yang melihatnya ikut tersenyum bahagia.
***
Akhirnya setelah enam
bulan lebih, kini keluarga Humayun bisa kembali menikmati makan bersama. Jalal
makan dengan lahab, karena memang dia sudah lapar sejak tadi sore. Kedua orang
tuanya memperhatikannya dengan tersenyum senang. Bahkan Jodha tanpa sadar
berhenti makan dan ikut menyaksikan
tuan mudanya yang sedang asyik menikmati makanannya.
Iya, sekarang tuan
mudanya tidak rewel lagi dengan yang namanya makanan. Bahkan musuh bebuyutannya,
brokoli juga langsung diembatnya. Padahal dulu, itu sayuran pasti
bertransmigrasi ke piring Jodha. Hehehe....
Jalal tersenyum ke
arah Jodha yang terus menatapnya, sambil terus mengunyah makanannya. Dia tahu,
gadis disampingnya itu pasti terkesima melihat caranya makan. Ada raut
kekaguman diwajah Jodha ketika melihat tuan mudanya makan dengan tenang.
“Kamu nggak makan
Jo?” tanya Bu Hamidah membuat Jodha tergagap dan mengalihkan pandangan ke
piring makanan dihadapannya. Dia tertunduk malu ketahuan Bu Hamidah sedang
memperhatikan tuan mudanya.
“I-iya Bu.” Bu
Hamidah dan Pak Humayun tersenyum maklum melihat ekspresi
Jodha. Sangat wajar jika Jodha begitu
terkesima melihat tuan mudanya begitu bersahabat dengan sayuran sekarang. Entah
apa yang lakukan Jalal disana. Bahkan sampai selesai makan, dan kedua orang tua
Jalal sudah beranjak dari kursinya, namun mereka berdua masih saja berada di
meja makan. Jodha masih saja menatap tuan mudanya dengan tidak puas-puas.
“Kamu kenapa
sayang? Masih kangen ya sama cintamu ini?” bibir Jodha berkedut-kedut ingin
ketawa, namun tidak jadi.
“Saya masih
tidak percaya, Tuan sudah bersahabat dengan brokoli. Padahal dulu...” Jalal
terkekeh. Dia mengusap lembut rambut Jodha.
“Semua orang
kan bisa berubah sayang. Nggak selamanya benci, seperti kita. Ya kan?
Hahahaha...” Jodha ikut tersenyum. Dia menikmati saat-saat seperti ini dulu.
Dia tidak tahu akan seperti apa nanti yang akan dihadapinya. Tapi, biarlah.
Biarlah untuk sekarang dia tersenyum bahagia melihat orang di rinduinya sudah
berada disisinya.
===tbc===
n/b : maaf kalau dah bikin senyum-senyum geje
ya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar