Menu

Jumat, 12 Februari 2016

BIARKAN AKU JATUH CINTA. PART. 21 (PULANG)


================000=================
Jodha menghela nafas, kedua tangannya masih menggengam syal berwarna hijau pemberian tuan mudanya.  Dia tersenyum mengingat bagaimana tuan mudanya itu memaksa agar dia mau menerima pemberiannya. Ternyata oh ternyata, gadis itu dirinya. Berulangkali dia menampik pemikirannya kalau dia bukanlah gadis yang diinginkan oleh pemuda itu.
Tetapi, ketika tuan mudanya mengutarakan semua perasaannya, yang ada kini perasaan bimbang. Meskipun diakui, kalau dia sudah mulai menyukainya. Pikirannya sudah sering terganggu oleh bayangan majikan mudanya itu yang terkadang ketika dia sendiri, selalu datang menghampirinya.
Kini, enam bulan sudah berlalu semenjak kepergian tuan mudanya itu. Jodha berharap pemuda itu segera datang. Dia rindu keusilannya, rindu kata-kata gombalnya, rindu saat pemuda itu ngambek, rindu kebersamaan mereka selama ini, dan yang pasti dia rindu semua tentang majikannya itu.
Selama ini Jodha menghabiskan waktunya untuk belajar dan belajar, dia ingin menyelesaikan kuliahnya secepatnya. Selain itu, dengan terus belajar dia bisa melupakan sosok laki-laki tampan yang sudah mulai menarik hatinya itu. Skripsinya sudah dia selesaikan dengan baik. Hanya tinggal menunggu prosesi yudisium dan wisudanya saja lagi. Jodha sangat berharap, disaat dia diwisuda nanti akan ada ayahnya hadir disampingnya sebagai saksi atas keberhasilannya. Bisakah?
Perlahan Jodha meletakkan syal itu kembali di tempatnya. Namun pandangannya masih tertuju kepada benda itu. “Kok belum pulang juga sih Tuan? Masih betah ya disana? Apa disana lebih menyenangkan ya daripada disini?” gumamnya pelan.
Sekarang sudah lewat seminggu berlalu dari enam bulan yang dijanjikan itu. Tapi belum ada tanda-tanda kedatangan pemuda itu. Bahkan kabarnya pun tidak ada. Jodha ingin sekali bertanya kepada Bayu, namun dia malu. Dia tidak ingin nanti terlihat begitu mengharapkan kedatangan tuan mudanya.
Jodha keluar dari kamarnya bermaksud ingin melakukan tugasnya seperti biasa, bersih-bersih. Tetapi langkahnya tertahan ketika melihat di ruang keluarga, Bu Hamidah sedang menatap foto tuan mudanya yang berada di figura di atas buffet. Disana berjejer foto Pak Humayun, Bu Hamidah, dan tidak ketinggalan foto tuan mudanya beberapa tahun yang lalu. Dia memperhatikan majikannya itu yang lama menatap foto anaknya. Mungkin ibu rindu sama tuan muda, pikir Jodha. Dia perlahan berjalan menghampiri Bu Hamidah.
“Bu...” sapa Jodha. Bu Hamidah sedikit tersentak. Namun, kemudian dia menoleh dan tersenyum.
“Eh, kamu Jo.”
“Saya ngagetin Ibu ya? Maaf ya Bu.” Bu Hamidah tersenyum, dia meletakkan figura yang dipegangnya tadi.
“Nggak apa-apa. Ibu saja yang terlalu serius.”
“Ibu kangen Tuan Muda ya?” Bu Hamidah menghela nafas, dia menatap kembali foto anaknya.
“Iya Jo. Ibu kangen. Sudah enam bulan lebih nggak pernah ketemu. Ingin sekali Ibu kesana menjenguknya, tapi sama Papanya nggak boleh. Nanti saja katanya, bentar lagi juga pulang. Gitu kata Papanya. Tapi, sampai sekarang kok belum pulang-pulang juga.”
“Hm...mungkin Tuan Muda masih banyak kegiatan kali Bu. Makanya belum bisa pulang sekarang.” Ucap Jodha menghibur Bu Hamidah, dan juga menghibur hatinya.
Kembali Bu Hamidah menghela nafas, dia merangkul bahu Jodha dan membawanya duduk di sofa depan televisi. Jodha menurut saja. Mereka berdua duduk berdampingan.
“Memangnya kamu nggak rindu sama Jalal, Jo?” tanya Bu Hamidah, membuat Jodha memerah dan tertunduk. Bu Hamidah tersenyum. Dia paham artinya itu, hanya saja dia pura-pura tidak tahu.
“Sa-saya,...” Bu Hamidah tertawa pelan.
“Hm..., bagaimana ya keadaan Jalal sekarang? Ibu sudah nggak sabar ingin ketemu dia Jo. Selama ini, Ibu belum pernah berpisah begini lamanya tanpa tahu bagaimana kabarnya.” Jodha mengangkat wajahnya dan menatap majikannya yang nampak sendu.
“Tuan pasti baik-baik saja Bu, saya yakin dia disana akan lebih baik lagi. Sabar ya Bu, Tuan Muda pasti pulang.”
“Kamu sendiri gimana Jo? Kangen tidak sama Jalal? Anak Ibu yang manja itu?” tanya Bu Hamidah setengah meledek. Jodha tersenyum malu. Dia mengangguk perlahan.
“Iya Bu, Saya juga kangen Tuan Muda.” Jawab Jodha malu-malu. Bu Hamidah tertawa senang.
“Menurut kamu, anak Ibu bagaimana?”
“Maksud Ibu?” tanya Jodha tidak mengerti.
“Maksud Ibu penilaian kamu terhadap Jalal itu bagaimana selain dia manja?”
“Oh.” Jodha mengangguk-angguk, kembali wajahnya sedikit memerah, “Tu-Tuan baik Bu.”
“Cuma itu?” tanya Bu Hamidah menaikkan sebelah alisnya. Entah kenapa kali ini Bu Hamidah ingin sekali mengetahui isi hati gadis itu, sebelum Jalal pulang.
“Tu-Tuan perhatian, pintar, tampan..., tapi usil dan sedikit egois.” Jawab Jodha, meski dengan susah payah. Dia malu sekali ditanya seperti itu. Namun, Bu Hamidah hanya terkekeh.
“Kamu menyukainya?” tembak Bu Hamidah langsung. Wajah Jodha semakin merah, dia salah tingkah. Dia bingung, malu, serba salah, canggung juga. Bu Hamidah menggenggam tangan Jodha.
“Jo, Ibu tahu, kamu pasti merasa tidak enak sama Ibu dan Bapak kan?” tanpa sadar Jodha mengangguk dengan polosnya. Majikannya itu kembali tersenyum, “kamu nggak usah merasa seperti itu Jo. Ibu tahu kamu sama Jalal saling suka. Iya kan?”
“Hah?” Jodha terkejut, tanpa sadar mulutnya menganga beberapa saat, setelah sadar dia segera menunduk. Dia tau kalau itu tidak sopan.
“Kenapa Jo?” Jodha menggeleng.
“Ibu tahu darimana? Tuan Muda cerita ya Bu?” Bu Hamidah tidak mengangguk dan tidak juga menjawab. Dia hanya tersenyum.
“Perasaan seorang Ibu, Jo. Apa yang terjadi sama Jalal, apa yang berubah sama dia, Ibu pasti akan merasakannya. Kelak kamu juga akan merasakan juga jika kamu mempunyai anak nanti.”
“Maafkan saya Bu.” Bu Hamidah menatapnya heran.
“Minta maaf kenapa?”
“Karena sudah berani menyukai Tuan Muda.” Jawab Jodha malu-malu. Majikannya itu tertawa.
“Kenapa harus minta maaf sayang? Kamu nggak salah. Ibu malah senang, kalau Jalal bisa menyukai seorang gadis yang luar biasa seperti kamu.”
“Ibu terlalu memuji saya. Saya tidak sehebat itu Bu.”
“Terserah kamu mau bilang apa, yang pasti menurut Ibu, kamu luar biasa. Kamu bahkan bisa mengubah Jalal menjadi lebih baik. Dan asal kamu tahu, Ibu sangat senang sekali. Tidak ada yang pernah melakukan ini sebelumnya kepada Jalal. Hanya kamu sayang. Karenanya, kamu mau berjanji satu hal sama Ibu.” Jodha menatap serius wajah majikannya itu.
“Janji?” Bu Hamidah mengangguk, “maksud Ibu?”
“Ibu mau kamu berjanji, tidak akan meninggalkan Jalal apapun keadaannya. Kamu mau kan sayang?” ucap Bu Hamidah dengan lembut.
“Sa-saya Bu?” kembali majikannya itu mengangguk.
“Iya. Siapa lagi?”
“Tapi,...”
“Kenapa?”
“Saya takut akan mengecewakan Bapak sama Ibu nantinya. Saya tidak tahu harus bersikap bagaimana Bu. Bapak sama Ibu sudah sangat baik sama saya, saya juga takut nanti malah dikira serakah, sudah dikasih hati malah minta jantung.” Jawab Jodha dengan tertunduk malu. Dia sungguh sangat tidak menginginkan keadaan seperti ini.
“Siapa yang bilang begitu Jo?” tanya Bu Hamidah dengan lembut.
“Hati saya sendiri Bu. Nanti orang bilang apa kalau saya jadi bagian keluarga ini?” Bu Hamidah tersenyum menenangkan.
“Tidak usah terlalu dipedulikan tentang orang lain sayang. Orang tidak tahu kehidupan kita yang sebenarnya. Karena yang tahu hanya kita sendiri. Kita yang merasakan dan menjalaninya. Terserah orang mau bilang apa.” Jodha terdiam, “kamu maukan berjanji nggak akan meninggalkan Jalal. Karena dia takut kamu akan pergi dari rumah ini Jo.”
“Apa benar begitu Bu?” tanya Jodha dengan rasa tidak percaya.
“Iya Sayang. Kamu mau kan berjanji sama Ibu?” Jodha tidak segera menjawab. Sebenarnya, hatinya merasa bahagia. Mendapat keluarga yang begitu baik. Bahkan dengan sukarela menginginkannya untuk menjadi bagian dari keluarganya. Tidak banyak orang baik seperti majikannya ini, yang tidak pernah mempermasalahkan status dan latar belakang orang. Bahkan Bi Ijah dan Mang Diman saja yang sudah berpuluh tahun mengabdi, tidak pernah mendapat perlakuan buruk dari majikannya. Jodha bersyukur, di balik penderitaan yang selalu mengiringi perjalanan hidupnya, dia menemukan tempat untuk singgah. Tempat yang nyaman untuk memberinya kebahagiaan. Bagaimana dia bisa sanggup menolak permintaan Bu Hamidah, jika hatinya sudah terkurung lekat di dalam kehangatan keluarga ini.
Akhirnya dengan mantap Jodha mengangguk,  “iya Bu, saja janji. Saya janji tidak akan meninggalkan Tuan Muda, apapun yang terjadi.” Bu Hamidah tersenyum lega. Dengan bahagia dia memeluk Jodha.
“Makasih Sayang. Ibu bahagia sekali. Ibu tahu, hanya kamu orang yang tepat berada disamping Jalal. Kamu gadis luar biasa yang mampu memberikan pengaruh positif kepada Jalal.” Ucap Bu Hamidah dengan gembira. Jodha ikut tersenyum.
“Iya Bu, saya akan berusaha semampu saya agar dapat menjadi seperti yang Ibu harapkan.” Bu Hamidah melepaskan pelukannya.
“Iya Sayang, terima kasih ya.”
“Sama-sama Bu.” Keduanya tersenyum lega. Jodha lega, karena apa yang ditakutinya selama ini tidak terbukti. Bahkan, majikannya itu dengan suka rela memintanya agar selalu bersama tuan mudanya. Sedangkan Bu Hamidah lega, karena berhasil membuat gadis itu berjanji tidak akan meninggalkan Jalal. Dia ingin selalu melihat senyum bahagia anaknya itu, yang selalu bersemangat bila di dekat Jodha.
***
Seminggu kemudian, Bayu yang menjemput Jalal dan sahabatnya sudah tiba di kantor Papanya Jalal. Sengaja Jalal mengajak mereka untuk menemui papanya, agar papanya melihat secara langsung hasil latihan mereka selama di akmil, dan juga menunjukkan kalau dia sudah menepati janjinya.
Setelah memarkirkan mobilnya, mereka memasuki kantor Pak Humayun. Jalal yang sangat jarang datang ke kantor papanya membuat para karyawan tidak banyak yang mengenalnya. Hanya orang-orang tertentu saja yang kenal dengannya.
Mereka berempat melangkah bersama, dengan kacamatan hitam bertengger, dan juga dengan potongan khas tentara membuat mereke berempat seperti magnet yang menyedot perhatian terutama kaum hawa. Meskipun Bayu usianya jauh diatas mereka bertiga, tetapi pesonanya tetap tidak kalah dengan pesona Jalal dan sahabatnya.
Setiap langkah mereka yang beraturan (hehehe...kebawa pas latihan di akmil), setiap itu pula berapa pasang mata kaum hawa menatap mereka pandangan penuh ketertarikan dan ingin tahu. Bahkan ketika Jalal menghampiri petugas recepsionis untuk menanyakan keberadaan papanya, wanita tersebut sempat bengong beberapa saat. Sebelum akhirnya dia dengan setengah tergagap menjawab pertanyaan Jalal.
“Maaf, apa Pak Humayun ada diruangannya?” tanya Jalal membuka kacamatanya, perempuan itu masih diam dan menatap Jalal yang berbicara. Bayu, Man, dan Surya hanya tersenyum geli melihat ekspresi recepsionis itu. Sampai akhirnya,... “ehem...” Jalal berdehem, membuat perempuan itu salah tingkah.
“E...eh, maaf, Anda ingin bertemu siapa?” tanyanya dengan sopan, namun sorot matanya tidak bisa mengelabui kalau dia terpesona.
“Pak Humayun. Ada?” tanya Jalal sedikit agak ketus, karena ternyata bersikap lembut malah bikin lambat saja urusannya.
“Kalau boleh tahu Anda siapa? Dan apa sudah ada janji sebelumnya dengan Bapak Humayun?”
“Saya Anaknya, dan saya belum punya janji apa-apa sama Papa saya. Jadi nona tolong kasih tahu saja, Papa saya ada atau tidak?” sekali lagi Jalal berkata agak ketus. Bukan dia tidak ingin ramah, tetapi kalau begini urusannya malah jadi ribet. Kalau dulu dengan senang hati dia meladeni perempuan seperti ini, tetapi sekarang dia sudah tidak ingin tebar pesona lagi. Apalagi ini kantor papanya.  Raut wajah recepsionis itu berubah, ada sedikit ketakutan ketika mendengar kalau yang dihadapannya itu adalah anak dari bos besarnya.
“A...ada. Beliau ada diruangannya. Silakan saja masuk.” Jawab perempuan itu dengan sopan.
“Oke. Terima kasih.” Perempuan itu mengangguk. Setelah Jalal dan teman-temannya berlalu dari hadapannya, barulah dia menghembuskan nafas lega.  Seorang temannya mendekatinya karena penasaran.
“Siapa dia Tifa? Sepertinya dingin banget.” perempuan itu duduk kembali di kursinya. Namun temannya masih berdiri bersandar di meja menunggu jawaban
“Dia anaknya BigBoss.” Jawab Atifa singkat. Temannya itu membulatkan mata dan mulut mendengar jawaban Atifa.
“Hah. Benarkah? Gila, aku baru tahu kalau BigBos punya anak secakep itu.” Kata temannya itu. Atifa hanya mengerucutkan bibirnya.
“Cakep sih, tapi kelihatannya dingin gitu. Aku jadi tidak berminat. Belum apa-apa aku sudah takut, Veda.” Javeda tertawa.
“Kamu ini, belum apa-apa sudah takut. Kan belum mencobanya. Masa kalah duluan?” Atifa tertawa pelan.
“Kita lihat saja nanti, Veda. Lagipula, baru sekali ini aku melihatnya. Entah kalau nanti dia sering kesini dan aku berubah pikiran.” Javeda mengangkat bahu.
“Yah, terserah kamu saja sih.” Ucap Javeda meninggalkan Atifa dan kembali ke mejanya.
Sementara itu, Jalal dan teman-temannya sudah sampai di depan pintu ruangan papanya. Nampak sekretaris pribadi papanya yaitu Sujamal tengah sibuk dengan pekerjaannya. Dia tidak menyadari kedatangan mereka.
‘Selamat siang, Pak Sujamal” Sapa Jalal sambil tersenyum. Sujamal mendongakkan kepalanya. Dia memicingkan matanya, berusaha mengenali orang yang ada di depannya itu, “Anda tidak mengenali saya?” tanya Jalal lagi.
“Ja-Jalal?” tanya Sujamal dengan ragu-ragu. Jalal terkekeh.
“Ya ampun, masa nggak kenal aku sama sekali sih? Iya aku Jalal. Anak bosmu.” Raut wajah Sujamal berubah senang. Dia langsung berdiri. Dengan segera dia memeluk Jalal.
“Ya ampun Jalal. Ini kamu ya? Aku sampai pangling melihatmu. Jadi benar kamu yang dikirim ke Magelang itu?” Jalal mengangguk.
“Iya. Buat proses penambahan pigmentasi dan kekuatan otot.” Sahut Jalal dengan santai. Sujamal tertawa mendengarnya. Begitu juga dengan teman dibelakangnya.
“Tidak apa-apa. Tambah gagah dan cakep malahan.” Jalal tersenyum, “mau ketemu Pak Bos ya?” Jalal mengangguk.
“Iya. Papa ada?”
“Ada. Masuk saja.” Setelah pamit dengan Sujamal, Jalal mengajak ketiganya masuk dan mengetuk pintu. Terdengar suara mempersilakan masuk, Jalal membuka pintu. Terlihat papanya menunduk, sedang sibuk dengan pekerjaannya.
“Ada ap...” tanya Pak Humayun terhenti.
“Papa.” Pak Humayun terkejut melihat putranya sudah ada dihadapannya dengan penampilan berbeda. Dia langsung berdiri dan menghampiri mereka berempat.
“Jalal. Kau sudah pulang, Nak?”
“Iya Pa.”  Pak Humayun memeluk putranya. Setelah melepaskan pelukannya, dia menatap Jalal dari ujung rambut sampai ujung kaki. Benar. Anaknya sudah banyak berubah. Tidak nampak cengengesan seperti dulu kalau berbicara dengannya. Bahkan penampilannya pun sudah jauh berubah, meski agak sedikit kurus. Pak Humayun bisa maklum, mungkin karena beratnya latihan yang harus mereka lalui selama ini.
“Papa senang kamu pulang, Jalal. Semoga apa yang kamu dapatkan di sana bisa bermanfaat untukmu nanti,” Pak Humayun menoleh ke arah Mansingh dan Surya, “dan juga bermanfaat untuk kalian berdua.” Keduanya mengangguk.
“Iya Pak.” Sahut mereka berdua.
Pak Humayun, melangkah ke arah Mansingh dan Surya, dia juga memeluk mereka sama halnya ketika dia memeluk Jalal. Mansingh dan Surya merasa senang diperlakukan seperti itu. Bayu tersenyum melihat adegan tersebut. Dia melihat raut kebahagiaan di wajah lelaki paruh baya itu melihat kedatangan Jalal dan kedua sahabatnya. Meski mereka belum banyak bercerita dan bahkan mereka juga belum bersikap bagaimana hasil latihan mereka selama ini, namun Pak Humayun begitu senang.
Setelah puas berpelukan, Pak Humayun mempersilakan mereka untuk duduk, tidak lupa dia memanggil Sujamal untuk menyajikan minuman kepada para tamunya. Jalal dan kedua sahabatnya begitu bersemangat bercerita tentang kegiatan mereka selama di akmil dan papanya Jalal begitu antusias mendengarkan cerita mereka bertiga. Hanya Bayu yang diam saja, dia membiarkan saja mereka bertiga bercerita.
Tidak terasa dua jam berlalu, Jalal dan kedua sahabatnya beserta Bayu berada di kantor papanya. Menjelang sore mereka pamit. Bayu akan mengantarkan mereka kerumah masing-masing. Namun, Jalal minta diantar ke kampus dimana mamanya berkantor. Mungkin saja Inemnya ada disana. Pikirnya.
Sesampainya di kampus, Jalal tidak melihat ada mobil mamanya. “Apa Mama tidak kekantor hari ini?” gumamnya. Dia tidak bisa menghubungi mamanya karena memang belum memegang ponsel sama sekali. Tadi di kantor papanya dia juga lupa untuk meminjam ponsel saking bersemangatnya dia bercerita kepada papanya. Namun, dia tetap melangkahkan kakinya menuju ruangan mamanya.
Setibanya dia di depan ruangan mamanya, dia mencoba mengetuk pintu. Terdengar suara mempersilakan masuk. Jalal tersenyum gembira, ternyata mamanya masih ada di ruangannya. Dengan menenteng ranselnya, dia membuka pintu dengan tidak sabar.
“Jalal!” seru Bu Hamidah dengan gembira.
“Mama.”
Bu Hamidah bangkit dari kursinya dan memeluk anaknya. Jalal pun membalas pelukan mamanya. Dia sudah sangat rindu dengan mamanya. Enam bulan lebih tidak pernah berbicara sama sekali dengan keluarganya, tentu saja itu merupakan penderitaan hebat buatnya selain memendam rasa rindu dengan Inemnya. Heh, Inem lagi.
“Ya ampun sayang, mama kangen sekali sama kamu.” Ucap Bu Hamidah melepaskan pelukannya, air matanya menitik karena terharu bisa memeluk putranya lagi. Dia mencium kening Jalal dengan penuh haru.
“Iya Ma, aku juga kangen sama Mama.” Sekali lagi Bu Hamidah memeluk putranya dengan bahagia. Setelah itu dia membimbing Jalal duduk di sofa. Tidak puas-puas Bu Hamidah memandang  wajah anaknya yang sudah membuatnya rindu. Enam bulan bukanlah waktu yang sebentar, apalagi mereka sama sekali tidak pernah berkomunikasi, tentu saja membuat rindunya semakin menggumpal.
“Kamu sekarang lebih kurus sayang.” Ucap Bu Hamidah mengusap wajah anaknya. Jalal tersenyum.
“Tentu saja Ma, kan latihannya berat banget disana, mana bisa gemuk aku Ma. Tapi, aku gagahkan Ma?” Bu Hamidah terkekeh. Dia mencubit pipi Jalal.
“Tentu saja sayang. Ah, Jodha pasti pangling melihatmu sayang. Mama jamin itu.”
“Benarkah Ma?” mamanya mengangguk, “bagaimana keadaannya sekarang Ma?” Bu Hamidah tersenyum.
“Kalau sudah masalah Jodha, kamu semangat sekali sayang.”
“Ya kan wajar Ma, setengah tahun lebih tidak pernah ketemu, tidak pernah komunikasi sama sekali. Siapa yang tidak kangen coba?”
“Iya. Mama tahu itu.” Bu Hamidah masih tersenyum melihat anaknya yang tidak sabar ingin mendengarkan cerita mamanya tentang  Inemnya, “dia baik sayang. Dia juga tinggal menunggu prosesi yudisium dan wisuda saja lagi.”
“Benarkah Ma?” mamanya mengangguk, “yah, aku nggak bisa bareng lulusnya.” Keluh Jalal dengan lesu. Dia menatap mamanya, “selama aku nggak ada dirumah, dia bagaimana Ma?”
“Kenapa? Kamu cemburu?” ledek mamanya.
“Ya kan ingin tahu saja Ma.”
“Dia baik sayang, masih seperti biasa.”
“Begitu ya? Dia nggak kangen aku ya Ma?” ucap Jalal kembali lesu. Mamanya hanya tertawa melihat anaknya yang seperti kehilangan semangat itu.
“Belum apa-apa kamu sudah patah semangat sayang?”
“Ya gimana lagi Ma, aku kan pergi ke Magelang juga demi dia. Tapi, ternyata perjuanganku sia-sia. Dia bahkan tidak rindu sama sekali kepadaku.” Ucap Jalal mengusap wajahnya dengan kedua tangannya.
“Kenapa kamu begitu cepat menyimpulkan seperti itu? Hati orang kan kita tidak pernah tahu sayang. Bisa jadi dia bersikap biasa saja, tetapi hatinya rindu kan kita nggak tahu. Kamu tahu sendiri bagaimana dia, tidak pernah mengeluh kepada siapapun. Apa yang ada dihatinya kita juga tidak tahukan? Tapi...” Bu Hamidah sengaja memutuskan kalimatnya, ingin melihat reaksi anaknya. Jalal menatap mamanya dengan penasaran.
“Tapi? Apa Ma?” Bu Hamidah kembali terkekeh.
“Kamu penasaran ya sayang?” godanya. Jalal menjadi cemberut. Entah kenapa pelatihannya seperti tidak berguna ketika berhadapan dengan mamanya, dan... mungkin juga dengan Inemnya itu.
“Ya jelas saja penasaran Ma. Please Ma, bilangin dong.”
“Iya sayang, memang selama ini dia terlihat biasa-biasa saja, dan mungkin karena dia selalu menyibukkan diri dengan skripsinya dan juga kerjaannya dirumah membuatnya terlihat biasa. Tetapi,...akhir-akhir ini setelah enam bulan berlalu sejak kepergianmu, dia sering Mama lihat termenung di gazebo belakang. Bi Ijah juga cerita kalau Jodha sering melamun, bahkan ketika sedang memasak. Menurut kamu itu apa artinya?” tanya Bu Hamidah. Jalal tersenyum senang.
“Benarkah Ma itu?” tanya Jalal memastikan. Mamanya mengangguk.
“Iya sayang. Mungkin dia juga rindu sama kamu, namun dia terlalu sungkan sama kami. Bahkan Mama pernah memergokinya sedang memegang sebuah syal sepertinya dan dia berbicara sendiri. Entah dia apa yang diucapkannya, Mama tidak bisa mendengar karena terlalu jauh.” Wajah Jalal berbinar mendengar ucapan mamanya.
“Apa syalnya berwarna hijau Ma?” mamanya mengangguk sambil tersenyum. Jalal semakin gembira.
“Tidak salah lagi Ma, dia pasti rindu sama aku Ma. Sekarang dia dimana Ma?” tanya Jalal dengan tidak sabar.
“Duh, yang sudah tidak sabar lagi ingin bertemu calon istri.” Ledek mamanya, Jalal hanya cengengesan.
“Iyalah Ma, calon mantu Mama juga kan?” balasnya. Bu Hamidah kembali terkekeh.
“Ya sudah sana, temui dia dirumah. Biar nanti Mang Diman saja yang menjemput Mama.” Jalal mengangguk, “kamu naik apa kesini sayang?”
“Tadi diantar sama Bang Bayu Ma, sekarang dia sedang mengantar Man dan Surya kerumahnya.”
“Kamu minta jemput Mang Diman saja ya sayang.”  Jalal menggeleng.
“Nggak Ma, biar aku naik taksi saja, biar cepat.”
“Ya sudah sana, hati-hati sayang.”  Ucap Bu Hamidah ketika Jalal pamit dan mencium tangannya.
“Iya Ma.”
Bergegas Jalal keluar dari ruangan mamanya, diiringi gelengan kepala dari Bu Hamidah melihat putranya yang sudah tidak sabar lagi ingin bertemu dengan Jodha.
Jalal berlari kecil keluar dari gedung tempat kantor mamanya, tidak diperdulikannya pandangan orang-orang yang melihatnya aneh ketika berlari keluar dari gedung. Staminanya yang sudah kuat akibat tempaan di akmil membuatnya tidak terlihat terengah-engah ketika berlari ke pinggir jalan untuk menghentikan taksi, dan menyebutkan alamat rumahnya.
Di dalam taksi, Jalal terus membayangkan bagaimana reaksi Inemnya ketika melihatnya nanti. Tanpa sadar bibirnya terus menyunggingkan senyuman. Bahkan sampai sang supir taksi menggelengkan kepala melihatnya tersenyum terus dan larut dalam lamunannya.
Jalal baru tersadar ketika supir taksi menghentikan mobilnya persis di depan gerbang pagar rumahnya, setelah membayar dia bergegas membuka gerbang tersebut dan berlari menuju pintu rumahnya. Dia menekan bel berkali-kali dengan tidak sabar, sambil membayangkan siapa yang akan membukakannya pintu. Apakah Inem, Bi Ijah, atau Mang Diman. Kalau Inem gimana ya? Khayalan Jalal terus berjalan, sampai perhatiannya tertuju kepada suara pintu yang dibuka dari dalam. Jalal menelan ludah, menanti. Tapi, ups...ternyata Bi Ijah. Hahahaha...
Bi Ijah juga terkejut melihat majikan mudanya sudah datang dengan penampilan baru, namun sedikit lebih kurus.
“Tuan sudah pulang?” Jalal tersenyum.
“Iya Bi. Aku sudah pulang.” Tanpa sadar Bi Ijah memeluk majikannya itu dengan gembira. Begitu juga dengan Jalal, dia membalas pelukan Bi Ijah yang sudah dianggapnya sebagai mamanya yang kedua. “Wah, Tuan berubah. Jodha pasti pangling nih.” Ucap Bi Ijah ketika melepaskan pelukannya. Jalal tersenyum.
“Oh ya, Inem mana Bi?” tanya Jalal dengan tidak sabar. Bi Ijah tertawa pelan. Dia maklum.
“Ada di belakang Tuan, di gazebo. Akhir-akhir ini dia sering duduk menyendiri disana. Mungkin dia sudah kangen sama Tuan.”
“Oh ya?” Bi Ijah mengangguk, “baiklah Bi, aku akan menemuinya.”
“Iya Tuan, kasihan dia. Makan pun tidak berselera nampaknya.” Jalal tersenyum bahagia.
“Ternyata tidak aku saja yang memendam rindu.” Gumamnya.
Dengan tidak sabar dia membuka pintu belakang dan melihat gadis pujaan itu sedang duduk bersandar di tiang gazebo seperti yang sering mereka lakukan dulu, dengan posisi membelakangi  tempat Jalal berdiri sekarang. Jodha seperti membaca novel, karena ditangannya memegang sebuah buku. Namun Jalal tahu kalau pikiran gadis itu sedang tidak ada ditempatnya, melainkan melayang jauh entah kemana. Mungkin Inemnya sedang memikirkan dirinya sekarang. Jalal tersenyum geli.
Dia melangkahkan kakinya ingin menghampiri  Jodha, namun kemudian tertahan. Sebuah ide usil lagi melintas di pikirannya. Mumpung Inemnya belum tahu akan kedatangnnya itu. Jalal berbalik masuk lagi ke dalam rumah. Bi Ijah heran melihat tingkah majikannya itu.
“Loh, Tuan kok masuk lagi? Nggak jadi ketemu Jodha?” Jalal tersenyum usil.
“Bentar Bi, aku mau ngasih kejutan untuknya. Bibi diam saja dulu ya.” Meski dengan penasaran, Bi Ijah mengangguk. Jalal segera naik kekamarnya membawa ransel yang dibawanya itu dengan berlari. Heh, kebiasan di akmil kemana-mana selalu berlari. Hehehe....
Setibanya di kamar, Jalal segera membuka ranselnya dan mengeluarkan  seragam  PDL (Pakaian Dinas Lapangan) ketika di akmil yaitu seragam loreng hijau. Ternyata latihan mereka juga ada manfaatnya sekarang. Jalal bisa dengan cepat mengganti pakaian yang dipakainya dengan seragam PDL loreng lengkap dengan sepatu bootnya, sabuk beserta pisau, memakai kain yang diikat menutupi rambutnya.
Jalal segera menggunakan make up khas TNI ketika akan berangkat perang. Ya, make up loreng-loreng di wajahnya. Dia melakukannya dengan cepat. Setelah selesai, dia memakai kacamata hitamnya, dan bercermin sebentar. Jalal tersenyum puas. Pasti Inemnya akan terkejut melihat penampilannya kali ini.
Jalal turun dari kamarnya dengan bersiul riang. Dia bahkan belum sempat ber-say helo dengan kamarnya, keburu kangen dengan Inemnya. Bi Ijah awalnya kaget melihat penampilan tuan mudanya itu, tetapi kemudian dia hanya bisa menggelengkan kepala melihat keusilan tuan mudanya.
Dengan berjingkat Jalal menghampiri Jodha yang sekarang sudah duduk di pinggir kolam, kedua kakinya berjuntai di atas air sambil bermain dengan ikan Koi milik Pak Humayun. Awalnya Jalal ingin memeluknya dari belakang, tapi niat tersebut di urungkannya ketika dia mendengar Inemnya bicara sendiri. Dia berdiri menyandarkan tubuhnya di tiang gazebo sambil bersidekap.
“Kok Tuan belum pulang ya, Koi?” ucap Jodha dengan pandangan menatap ikan Koi yang berenang disekitar kakinya, “dia rindu aku nggak ya, Koi? Katanya cuma enam bulan, kok sekarang sudah lewat dua minggu Tuan belum pulang juga.” Jalal terkekeh tanpa suara mendengar ucapan Inemnya.
“Ternyata  aku rindu juga ya, Koi sama Tuan.  Rindu  banget sama dia yang usil, yang banyak permintaan, yang selalu bikin aku kesal.” Jodha terus berbicara kepada ikan yang ada dihadapannya itu, seolah ikan Koi tersebut mengerti akan segala ucapannya, “Inem, bikinkan kopi. Nggak pakai lama. Emang dia pikir ngerebus air sekali ditaruh di atas kompor langsung mendidih apa? Kan aku kesal Koi. Belum lagi kalau dia memerintah nggak bisa dibantah, yah aku bisa apa Koi?” Jalal menutup mulutnya menahan ketawa. Jodha menghela nafas panjang. Matanya menerawang menatap langit yang cerah.
“Dia sedang apa ya disana Koi? Kata Abang, Tuan disana pasti disiksa. Kasihan sekali kalau seperti itu Koi, siapa yang merawatnya disana? Dia pasti capek. Apa Tuan kesana gara-gara aku ya Koi? Apa aku bikin kesalahan,  yang bikin Bapak ngirim Tuan kesana? Aku harus bagaimana Koi, ingin cerita sama Ibu tapi aku malu. Nggak. Nggak akan bisa aku tanya keadaan Tuan disana sama Ibu. Kelihatannya juga Ibu tidak tahu apa-apa.” Jodha menghembuskan nafas lagi. Bibirnya cemberut.
“Apa kamu mencintaiku Nem?” tanpa sadar Jalal berucap. Dia segera menutup mulutnya  yang keceplosan. Namun, Jodha tidak nampak terkejut mendengarnya.
“Tuh kan Koi, aku mendengar suaranya. Apa aku berhayal terlalu jauh ya Koi, sampai-sampai mendengar suaranya seperti nyata.” Ucap Jodha memijit pelipisnya. Kembali Jalal terkekeh tanpa suara, “iyaaa Tuan, saya cinta sama Tuan. Makanya cepat pulang, nggak kangen apa sama saya?” ucap Jodha seperti orang gila bicara sendiri, dia masih belum menyadari kalau tuan mudanya itu sudah berada di dekatnya, dan mendengar semua ucapan polosnya. Jalal masih menyabarkan diri untuk tidak memeluk gadis itu. Hatinya begitu bahagia mendengar ucapan Inemnya. Sekarang dia tidak menyesal sudah berangkat ke Magelang, karena ternyata kepergiannya menumbuhkan rasa cinta di hati gadis itu terhadapnya.
“Aku sudah pulang sayang.” Kembali Jalal berucap. Jodha menggeleng.
“Bohong. Kalau sudah pulang terus Tuan kenapa belum datang juga?”
“Apa kamu janji, kalau aku sudah pulang, kamu akan memelukku tanpa aku minta?” tanya Jalal sambil melangkah perlahan mendekati gadis itu yang masih duduk di pinggir kolam. Jodha mengangguk. Jalal melangkah mendekati Inemnya.
“Iya Tuan, saya janji.” Jalal mencolek bahu Jodha. Namun Jodha menepisnya, “nanti saja Bi, aku masih ingin sendiri dulu disini.” Ucap Jodha. Dia mengira Bi Ijah yang mencoleknya. Jalal kembali terkekeh tanpa suara mendengar ucapan Inemnya. Di coleknya kembali bahu Jodha.
“Bi, nanti sa...” ucap Jodha terhenti ketika menoleh dan merasa terkejut melihat seseorang yang berpakaian khas TNI dengan ikat kepala menggunakan slayer, wajahnya juga diwarnai loreng-loreng hijau persis pakaian yang dipakainya, dan memakai kacamata hitam. Bibirnya tersenyum menyeringai kepadanya. Jodha syok dengan cepat dia berdiri, namun salah satu kakinya salah menginjak tempat.
“Aaaa....” hampir saja dia kecebur di kolam saking kagetnya ketika dia melihat sosok didepannya itu. Beruntung tangan Jalal dengan cepat menangkap tubuhnya dan memeluknya. Jodha terdiam beberapa saat. Begitu tubuhnya merapat dekat dengan orang tersebut, hidungnya mencium parfum yang selama ini dia kenal. Parfum yang selama ini dia rindui. Tuan mudanya. Dia mendongak dengan tangan Jalal masih memeluknya.
“Si-siapa?” tanyanya dengan gugup. Seketika, dadanya berdebar dengan kencang. Dia. Datang. Jalal kembali tersenyum menyeringai.
“Kamu tidak mengenalku Sayang?”  Jodha menelan ludah. Benarkah? Tidak mimpikan dia?
“Tu-tuan?” tanyanya lagi. Jalal tersenyum.
“Menurutmu siapa sayang?” Jalal membuka kacamatanya. Jodha menatap lekat-lekat wajah Tuannya yang masih menggunakan make up lorengnya dan juga slayer ikat kepala. Tangannya Jodha meraba wajah Jalal, masih dengan raut tidak percaya. Pemuda itu tersenyum. Dia rindu dengan Inemnya. Di genggamnya tangan gadis itu yang masih berada di wajahnya, dengan tidak sabar dia memeluk erat Jodha yang masih terdiam mencerna apa yang terjadi. Dia membenamkan wajahnya diceruk leher gadis itu dan menikmati aroma khas yang selama ini selalu dia rindui.
“Tu-Tuan...” panggil Jodha dengan tanpa ekspresi.
“Ya sayang?”
“Saya tidak mimpikan? Ini nyatakan?” Jalal tersenyum, dia semakin mempererat pelukannya. Membiarkan gadisnya bingung untuk sementara, dia ingin mencharger energinya dulu dengan memeluk Inemnya.
“Tidak sayang. Kamu tidak bermimpi. Ini nyata. Aku sudah pulang.”
“Ta-tapi, tapi...” Jalal melepaskan pelukannya. Dengan gemas dia memencet hidung Jodha agak keras, sampai gadis itu megap-megap karena susah bernafas.
“Nah, sekarang sudah tidak mimpi lagikan?” tanya Jalal, Jodha mengusap-usap hidungnya yang memerah. Dia menatap Jalal dari ujung kepala sampai ujung kaki. Jalal hanya tersenyum geli melihat ekspresi Inemnya.
“Tuan kenapa berpenampilan seperti ini?”
“Biar kamu tahu kalau seperti ini kami disana. Sayang topi baja sama senapannya nggak boleh dibawa.”
“Oh ya?” Jalal mengangguk, “seperti prajurit beneran ya Tuan. Keren.” Jalal tertawa. Dia segera melepaskan slayernya, melepaskan baju lorengnya dan menyisakan kaos lorengnya saja, serta menghapus make up diwajahnya. Semua itu tidak lepas dari pandangan Jodha. Meski terlihat lebih kurus dan kulitnya agak gelap, mungkin karena terlalu sering terjemur matahari, namun tuan mudanya nampak gagah seperti Bang Bayu. Tanpa sadar, Jodha tersenyum melihatnya.
Setelah melepaskan bajunya yang memang tampak tebal itu, Jalal menghampiri Jodha yang masih menatapnya dengan tidak puas-puas. Ya ampun, bajunya dilepas malah nampak seksi tuan mudanya, meski kaos lorengnya masih menempel di tubuhnya, dan juga sepatu boot masih dipakainya. Tanpa sadar Jodha memandang Jalal dengan mulut setengah menganga. Sungguh berbeda sekali penampilan tuan mudanya itu kali ini. Ya Tuhan, bukan sekali dua kali dia melihat laki-laki berpenampilan begini. Mungkin dulu hampir tiap hari dia melihat Bang Bayu memakai pakaian serupa, tetapi kenapa pesona laki-laki di depannya ini begitu mempengaruhi pandangan dan perasaannya. Yah, Jodha terpesona. Sangat.
Jalal kembali tersenyum geli  melihat Inemnya yang masih bengong. Perlahan dia mendekati gadis itu, begitu berada dihadapannya, tangan Jodha tanpa disuruh menjulur, meraba dada tuan mudanya yang masih di lapisi kaos lorengnya. Baru kali ini Jodha melakukan hal seperti itu. Ada semacam rasa kagum. Bahkan sekarang tidak nampak lagi kalau tuan mudanya itu gugup, berbeda dengan dirinya.
Jodha menurunkan tangannya dari dada Jalal, dia kemudian menunduk setelah menyadari kelancangannya. Namun, tangan Jalal menggenggam tangan tersebut dan menempelkan tetap di dadanya.
“Kenapa Sayang?” bisik Jalal melihat Jodha yang menunduk. Gadis itu menggeleng.
“Ma-maafkan saya Tuan, sudah lancang.” Katanya dengan wajah memerah karena malu. Jalal tersenyum, ujung jarinya menyentuh dagu Jodha untuk meminta menatapnya. Perlahan gadis itu menuruti keinginan tuan mudanya. Ketika pandangan mereka beradu, yang ada hanya keheningan menyergap beberapa saat. Ada pancaran yang begitu kuat hadir dari pandangan mereka, pancaran rasa rindu yang menggulung, binar cinta yang begitu besar.
“Kamu tahu sayang, apa yang membuatku bersemangat selama latihan disana?” tanya Jalal pelan.
“Apa?”
“Rinduku yang teramat dalam kepadamu, membuatku selalu bersemangat untuk membuktikan kepadamu bahwa apa yang aku lakukan ini tulus dari dalam hatiku.” Ucap Jalal menempelkan telapak tangan Jodha di dadanya. Jodha kembali merona, kakinya mulai terasa lemah. Namun dia mencoba bertahan untuk terus berdiri. Heh, sejak kenapa dia menjadi meleleh mendengar ucapan tuan mudanya itu.
“Tuan tau, apa yang membuat menunggu itu membosankan?” Jalal menggeleng.
“Apa sayang?”
“Rindu saya yang teramat besar kepada Tuan, membuat waktu untuk menunggu itu terasa sangat panjang.” Bisik Jodha malu-malu. Jalal tersenyum bahagia. Di selipkannya anak rambut gadis itu dibelakang telinga.
“Makasih sayang. Aku bahagia. Tidak sia-sia aku pergi lama, karena ketika kembali, aku menemukan cintaku yang selalu gelisah menungguku.” Jodha tersenyum malu.
Jalal sedikit menunduk dan mendekatkan wajahnya tanpa melepaskan pandangannya dari matanya gadis itu. Setelah hanya sepersekian mili saja jarak antar keduanya, Jodha memejamkan matanya tanpa sadar. Tangan kanan Jalal sudah berada di pinggang Jodha, dan tangan kirinya masih menggenggam tangan kanan gadis itu yang menempel di dadanya.
Dengan perlahan bibir Jalal menyentuh bibir Jodha yang lembut dan kenyal itu, terasa bibir itu sedikit bergetar namun hangat. Jodha hanya diam saja, dia tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Hanya menunggu dan membiarkan semua berlalu begitu adanya. Ada getaran halus yang membuat tubuhnya terasa merinding, ketika bibir lembut tuan mudanya menyapu, mengisap pelan, dan juga menikmati bibir miliknya tanpa terlewat sedikitpun. Seakan semua kerinduan yang sekian lama tersalurkan lewat ciuman itu.
Jodha hanya bisa menikmati dan meresapi semua sentuhan tuan mudanya yang begitu piawai mengaduk-aduk perasaannya lewat sebuah ciuman pertamanya itu. Iyaaaa...bibirnya sudah tidak perawan lagi. Hehehe...
Hanya sebentar saja Jalal melakukan ciumannya, dia segera melepaskan sentuhannya namun tatapannya tidak pernah lepas dari wajah yang masih memerah dihadapannya itu. Jodha membuka matanya dan melihat tuan mudanya tersenyum kepadanya. Dia menggigit bibir bawahnya, “bibir Tuan manis.” ucapnya pelan, seketika dia langsung menunduk. Jalal terkekeh mendengar ucapan polosnya.
“Kamu mau lagi sayang?” goda Jalal. Jodha memukul pelan dada tuan mudanya yang menggodanya itu, namun dia masih menunduk untuk menyembunyikan wajah merahnya. Jalal segera memeluknya lagi dan mendekap erat tubuh gadis pujaannya itu, “makasih ya sayang, sudah mau menungguku.” Jodha hanya bisa mengangguk tanpa menjawab.
Entah berapa lama mereka berpelukan, rasanya waktu seolah berhenti begitu saja menyaksikan pertemuan dua anak manusia yang telah berpisah sekian lama. Jalal melepaskan pelukannya dan mengajak Jodha duduk di gazebo. Setelah melepaskan sepatu bootnya, mereka berdua duduk berhadapan seperti biasa yang mereka berdua lakukan sebelumnya.
“Tuan,”
“Ya Sayang,” kembali wajah Jodha memerah menahan malu mendengar panggilan sayang dari majikannya itu. Bahkan sejak dia datang tadi, tuan mudanya itu selalu saja memanggilnya sayang. Senang, tapi juga malu. Jalal terkekeh melihat Inemnya tersipu.
“Ceritakan apa yang Tuan lakukan selama disana?”
“Yakin kamu mau mendengarnya?” Jodha mengangguk, “nggak ngantuk nanti kalau ceritanya kepanjangan?” bibir Jodha mengerucut.
“Tuan mau membalas saya nih ceritanya?” kembali Jalal terkekeh.
“Becanda sayang. Baiklah, aku akan cerita...” Jalal menceritakan semua yang di alaminya bersama teman-temannya dari hal yang paling kocak, sedih, sampai yang paling serius. Terlebih pertemanannya dengan dua bocah kembar plontos itu, membuat Jodha tertawa kencang mendengarnya. Apalagi saat tuan mudanya bercerita kalau mereka berdua telah memanggilnya dengan panggilan papa. Ya ampun, Jodha dibuat penasaran jadinya, seperti apa rupa mereka berdua itu.
Terdengar suara ponsel Jodha berdering, dia melihat di layar tertera Nadia memanggil. Dengan segera dia mengangkat.
“Ya Nad....”
“JODHAAAA....!” Teriak Nadia dari seberang, sampai Jodha harus menjauhkan ponselnya dari telinganya sebentar.
“Ada apa sih kok teriak-teriak? Nggak bisa ngomong pelan ya?” omel Jodha, Nadia malah tertawa terbahak-bahak.
Ya ampun Jo, beras ketanku sudah matang nih.” Jodha mengerutkan keningnya tidak mengerti.
“Beras ketan? Maksudnya apa Nad?” tanya Jodha penasaran. Jalal memberi isyarat agar Jodha me-loudspeaker suaranya. Jodha menuruti. Jadilah mereka berdua menghadapi ponsel tersebut mendengar ocehan Nadia dari seberang.
Iya Jo. Beras ketan putih yang dikirim ke Magelang dulu, sekarang sudah mateng. Sudah jadi tape. Tape ketan hitam, karena kelamaan di peram di Kawah Chandradimuka. Hahahahaha...” Jodha semakin bingung, namun Jalal terkekeh. Dia sudah mengerti maksudnya gadis usil itu.
“Tape ketan hitam? Apaan sih Nad? Kapan kamu ngirim beras ketan ke Magelang. Perasaan dulu aku nggak pernah dengar kamu ngirim beras ketas ke Magelang?” terdengar suara kekehan daru seberang sana selain suara Nadia, seperti suara laki-laki. Tidak salah lagi, itu suara Mansingh.
Sudah Beb, Jodha nggak ngerti kamu ngomong apa tuh.” Terdengar suara Mansingh.
“Ish, Abang. Bentar dululah. Sabar.” Terdengar helaan nafas dari Mansingh, “tapi Jo, biar hitam, tapi legit. Kata Ibu, tinggal diblender, terus dikasih santan sama agar-agar, sudah jadi puding yang enak tuh. Hahahaha....”
“Heh, Nad. Biar jadi tape ketan hitam juga, kamu sudah klepek-klepek kan?” goda Jalal, sesaat Nadia  terkejut mendengar suara Jalal.
Eh, ada Bang Bos ya? Apa kabar Bang Bos? Bang Bos jadi tape ketan hitam juga ya? Pasti iya dong.” Cerocos Nadia dengan lancarnya. Mansingh kembali terkekeh dari seberang sana.
“Biarin aja jadi tape ketan hitam, yang penting sudah bikin Inem terpesona. Ya kan sayang?” Ucap Jalal memainkan kedua alisnya kepada Jodha. Giliran Jodha yang terkekeh. Dia baru mengerti ucapan Nadia tentang arti tape ketan.
Cieee...Bang Bos, sudah bahagia ketemu belahan jiwa. Gimana Bang Bos, sekarang sudah bisa semuanya kan? Jodha nggak dikasih job kan Bang Bos?”
“Tentu saja. Calon istriku sekarang tidak boleh bekerja lagi. Dia cukup melayani aku saja nanti.” Jodha melotot mendengar ucapan tuan mudanya, namun Jalal hanya terkekeh.
Iya deh. Semoga Jodha betah melayani Tuan Muda ya. Hahahaha...”
“Harus betah. Akan ku buat Inem betah dengan cintaku.”
Hadeh,...lagi-lagi pujangga ‘Pujaan Tetangga’ beraksi. Semoga Jodha kuat dan terbiasa, biar dia tidak muntah-muntah kebanyakan mendengar tape ketan hitam lagi ngerayu. Hahahaha...”
“Huh dasar kamu Nadia bawel. Tuh, tape ketan hitam disebelahmu itu diperhatikan.” Sungut Jalal. Nadia dan Mansingh terkekeh.
Nggak usah disuruh kali Bang Bos. Eh iya Bang Bos, emangnya selama latihan nggak boleh pake sun-block ya? Biar kulitnya nggak gosong gitu?” Jalal mendengus. Jodha tertawa geli.
“Ngawur aja. Mana ada ceritanya tentara berangkat perang pake ngolesin sun-block duluan. Keburu ditembak tau.” Nadia tertawa terbahak-bahak.
Ya kali aja ada Bang. Hahahaha...”
“Ya kalau ada, sekalian saja sebelum berangkat perang atau latihan, kesalon dulu, facial, creambath dulu, meni-pedi dulu. Itu tentara apa banci?” sindir Jalal dengan jengkel. Tawa Nadia semakin keras. Jodha hanya menggelengkan kepala melihat tuan mudanya yang tidak pernah bisa diam kalau berhadapan dengan Nadia, “sudah, nelponnya nanti lagi. Aku masih kangen sama Inem. Kamu tuh, puas-puasin kangennya sama Abang Man tercinta.” Ucapnya mematikan ponsel Jodha yang tertawa melihat tuan mudanya menutup tanpa permisi telpon dari Nadia.
“Kenapa sayang?” tanya Jalal ketika melihat Jodha senyum-senyum kearahnya.
“Nggak. Cuma lucu aja.”
“Yang mana yang lucu Nem?” Jodha terkekeh tidak menjawab, “tape ketan hitam tadi?” akhirnya Jodha mengangguk. Jalal mendecak, “sudah lupakan ucapan si bawel tadi, kita masuk sekarang yuk sayang. Cintamu ini mau mandi dulu, terus kita makan malam bareng calon mertuamu.” Kembali Jodha tertawa geli. Sungguh geli. Di godog selama enam bulan lebih di akmil, malah bikin tuan muda semakin pintar membuat ucapan yang bikin perutnya tambah mual. Hahahaha....
Namun akhirnya Jodha mengangguk, dia mengambil pakaian dan perlengkapan tuan mudanya tadi yang diletakkan di gazebo, sementara  Jalal menenteng sepatu bootnya. Dengan bergandengan tangan mereka berdua masuk ke rumah. Bi Ijah yang melihatnya ikut tersenyum bahagia.
***
Akhirnya setelah enam bulan lebih, kini keluarga Humayun bisa kembali menikmati makan bersama. Jalal makan dengan lahab, karena memang dia sudah lapar sejak tadi sore. Kedua orang tuanya memperhatikannya dengan tersenyum senang. Bahkan Jodha tanpa sadar berhenti makan dan ikut menyaksikan tuan mudanya yang sedang asyik menikmati makanannya.
Iya, sekarang tuan mudanya tidak rewel lagi dengan yang namanya makanan. Bahkan musuh bebuyutannya, brokoli juga langsung diembatnya. Padahal dulu, itu sayuran pasti bertransmigrasi ke piring Jodha. Hehehe....
Jalal tersenyum ke arah Jodha yang terus menatapnya, sambil terus mengunyah makanannya. Dia tahu, gadis disampingnya itu pasti terkesima melihat caranya makan. Ada raut kekaguman diwajah Jodha ketika melihat tuan mudanya makan dengan tenang.
“Kamu nggak makan Jo?” tanya Bu Hamidah membuat Jodha tergagap dan mengalihkan pandangan ke piring makanan dihadapannya. Dia tertunduk malu ketahuan Bu Hamidah sedang memperhatikan tuan mudanya.
“I-iya Bu.” Bu Hamidah dan Pak Humayun tersenyum maklum melihat ekspresi Jodha. Sangat wajar jika Jodha begitu terkesima melihat tuan mudanya begitu bersahabat dengan sayuran sekarang. Entah apa yang lakukan Jalal disana. Bahkan sampai selesai makan, dan kedua orang tua Jalal sudah beranjak dari kursinya, namun mereka berdua masih saja berada di meja makan. Jodha masih saja menatap tuan mudanya dengan tidak puas-puas.
“Kamu kenapa sayang? Masih kangen ya sama cintamu ini?” bibir Jodha berkedut-kedut ingin ketawa, namun tidak jadi.
“Saya masih tidak percaya, Tuan sudah bersahabat dengan brokoli. Padahal dulu...” Jalal terkekeh. Dia mengusap lembut rambut Jodha.
“Semua orang kan bisa berubah sayang. Nggak selamanya benci, seperti kita. Ya kan? Hahahaha...” Jodha ikut tersenyum. Dia menikmati saat-saat seperti ini dulu. Dia tidak tahu akan seperti apa nanti yang akan dihadapinya. Tapi, biarlah. Biarlah untuk sekarang dia tersenyum bahagia melihat orang di rinduinya sudah berada disisinya.

===tbc===

n/b : maaf kalau dah bikin senyum-senyum geje ya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar