Menu

Minggu, 14 Februari 2016

MIRACLE OF LOVE, PART. 15


Mobil Jalal dan Jodha melaju membelah kesunyian pagi itu. Suasana masih sangat lengang. Karena bertepatan dengan hari minggu sehingga kemacetan berkurang total. Kesunyian juga terjadi di dalam mobil yang membawa Jodha dan Jalal. Keduanya nampak tegang. Berkali-kali Jalal melirik Jodha yang hanya diam dan memandang lurus kedepan.
“Sayang, kamu tidak apa-apa?” Tanya Jalal. Jodha mendesah panjang.
“Bagaimana kalau kekhawatiran kita terbukti, Jalal? Aku takut.” Jodha menoleh kepada Jalal yang juga melakukan hal yang sama. Tangan Jalal bergerak mengelus rambut Jodha, sementara satu tangannya memegang setir.
“Jangan takut sayang, kita akan menghadapinya berdua. Aku yakin orang tuamu tidak akan tega memisahkan cinta anaknya yang sangat disayanginya. Kita berdoa dan berharap saja semoga Tuhan memberikan jalan keluarnya.”
“Kuharap begitu sayang, kalau Ayah mungkin beliau bisa mengerti. Tetapi kalau Ibu aku tidak tahu.” Kata Jodha sembari menoleh ke arah kaca sampingnya. Diturunkannya kaca jendela mobil itu, dibiarkannya angin masuk menerbangkan rambutnya yang tergerai. Sesaat dipejamkannya matanya menikmati sejuknya angin yang menyapa wajahnya. Jalal hanya diam saja sambil sesekali menoleh ke arah Jodha yang masih diam.
Tidak lama kemudian, sampailah mereka di rumah Jodha. Penjaga pintu gerbang membuka pagar untuk membiarkan mereka masuk. Sesaat sebelum turun, Jalal menggenggam tangan Jodha dan mencium keningnya.
“Apapun yang terjadi sayang, aku janji kita akan menghadapinya bersama.”
“Iya Jalal, aku tidak mau kehilanganmu.”
“Stt...itu tidak akan terjadi, kau tidak akan kehilanganku. Begitupun denganku.”
“Berjanjilah Jalal, kau akan berjuang demi cinta kita.”
“Aku janji sayang. Ayo kita menemui orang tuamu.” Ajak Jalal. Walaupun sebenarnya hatinya sedang deg-degan. Namun dia harus bisa melewati semua ini. Mereka pun keluar dari mobil dan masuk kerumah dengan tangan saling menggenggam. Seolah saling membagi kekuatan dan semangat.
Jodha membuka pintu dan masuk diikuti oleh Jalal. Mereka disambut oleh pembantu rumah Jodha. Sama seperti Bi Inah, pembantu Jodha sedikit pangling melihat keadaan Jodha.
“Ayah sama Ibu ada Bi?” Tanya Jodha kepada pembantunya.
“Ayahnya Non sedang tidak ada dirumah. Sedang keluar Non. Ada Ibu saja dikamar. Non tidak langsung menemui Ibu saja?” tanya pembantunya dengan heran.
“Tolong panggilkan Ibu, ya Bi.”
“Baiklah, Non. Sebentar bibi panggilkan dulu.” Pembantunya itupun segera berlalu. Sedangkan Jodha dan Jalal duduk dikursi tamu dengan perasaan tidak karuan. Kedua tangan mereka saling menggenggam dengan tegang.
Tidak lama kemudian Meenawati pun keluar menemui mereka. Seperti yang sudah diperkirakan oleh Jalal dan Jodha. Tidak ada ekpresi apapun yang keliatan di wajahnya. Walaupun sebenarnya dia sudah sangat rindu dengan Jodha namun ketika melihat Jalal disampingnya membuatnya menahan segala keinginan untuk memeluk Jodha.
“Kau sudah datang rupanya Jodha.” Tanya Meenawati datar. Jodha rasanya ingin menangis melihat ekpresi ibu. Hatinya ingin menghambur dan memeluk ibunya. Namun tubuhnya terasa tidak bergerak.
“Bu...” suara Jodha tercekat.
“Assalamu’alaikum, Bu.” Kata Jalal mengulurkan tangannya mengambil tangan mertuanya dan menciumnya. Namun Jodha hanya berdiri mematung.
“Wa’alaikumsalam...” Jawab Meenawati dengan dingin. “berani juga kamu datang kerumah ini. Bagaimana? sudah puas kau memisahkan aku dengan anakku?” suara Meenawati terdengar bergetar karena campuran emosi kemarahan kepada Jalal dan kerinduan kepada Jodha yang siang malam dia rindukan. Sebagai anak satu-satunya Jodhalah menjadi tumpuan kasih sayang kedua orang tuanya. Terutama Meenawati yang sangat memanjakan Jodha. Namun hatinya terluka dengan peristiwa yang terjadi. Dan yang menjadi sasaran kemarahan tentu saja dengan Jalal.
“Bu...” kembali suara Jodha terhenti karena emosi yang tidak tertahankan. Perlahan air matanya keluar dan mengalir dengan deras.
“Maafkan dan ampuni atas segala kesalahan saya selama ini, Bu. Saya mengakui semua kesalahan saya dimasa lalu telah membuat Jodha terluka. Tapi tolong Bu, berilah kesempatan agar saya bisa memperbaikinya. Saya mencintai Jodha, Bu. Saya tidak bisa hidup tanpanya.” Ucap Jalal menjatuhkan lututnya dan berlutut dihadapan Meenawati. Namun Meenawati hanya memandangnya dengan sinis.
“Apa kau kira semudah itu untuk memaafkanmu. Apa kau kira kata maaf saja sudah cukup untuk mengobati segala sakit hatiku selama ini kepadamu. Ditambah lagi sekarang kau sudah memisahkan aku dengan Jodha. Apa kau tahu bagaimana rasanya perasaan seorang Ibu yang harus berpisah dengan putri kesayangannya hanya karena kesalahanmu. Kau lihat...” kata Meenawati menunjuk Jodha yang masih menangis tanpa bisa berkata apa-apa, “kau lihat dia... siang malam aku merindukan dia, tetapi setelah bertemu apa yang dilakukannya? Dia hanya diam dan diam saja. Mungkin saja selama ini dia tidak pernah rindu kepadaku, Ibunya sendiri.” Mata Meenawati tampak berkaca-kaca menahan emosi yang menggumpal didadanya. Mendengar itu Jodha langsung berlutut dan memegang dan mencium tangan Ibu. Namun Meenawati hanya diam tanpa ekpresi. Kalau menuruti kata hatinya ingin rasanya dia memeluk dan mendekap anak kesayangan itu.
“Tidak Bu. Aku sungguh merindukanmu Bu. Tapi, ini bukan kesalahan Jalal semua. Aku juga bersalah Bu. Tolong maafin kami. Berilah Jalal kesempatan Bu. Aku mohon!” ucap Jodha dengan lirih dan dengan deraian air mata.
“Terus sajalah kau bela dia. Cinta sudah membutakan matamu. Bahkan sekarang kau sudah tidak mengingat lagi perlakuannya terhadapmu dulu. Sekarang semuanya sudah hilang dari ingatanmu. Apa yang bisa kau banggakan terhadapnya, Jodha? Apa yang kau harapkan darinya? Kau bahkan lebih memilih dia yang baru mengenalmu daripada Ibumu sendiri yang dengan sepenuh hati menyayangimu.” Hati Jalal dan Jodha semakin pedih dengan kata-kata yang keluar dari mulut Meenawati.
“Tidak Bu. Tidak seperti itu.” Ucap Jodha sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Tangannya masih saja memegang tangan ibunya sambil berlutut. “Aku sangat menyayangimu Bu. Namun aku mohon, Ibu bisa menghargai pilihanku sendiri. Aku hanya ingin Ibu merestui kami.”
“Tidak ! tidak bisa. Tidak semudah itu.” Kata Meenawati masih bersikeras atas sikapnya.
“Bu, hukumlah saya atas segala kesalahan saya selama ini. Tapi tolong, jangan pisahkan saya dengan Jodha Bu. Saya sangat mencintainya. Saya akan melakukan apapun asalkan Ibu bisa memaafkan saya dan tidak memisahkan kami.” Pinta Jalal dengan wajah tertunduk. Dia sangat sedih dan hancur menerima kenyataan kalau mertuanya itu terang-terangan membencinya.
“Hm, manis sekali ucapanmu. Apa yang bisa kau lakukan?” tanya Meenawati dengan sinis.
“Saya berjanji akan membahagiakan Jodha Bu.”
“Dengan apa?” Sentak Meenawati. Sementara Jodha masih terisak-isak. Matanya sudah semakin sembab. Jalal diam. Dia bingung harus menjawab apa.
“Bu, begitu sulitkah untuk Ibu menerima kami?” ucap Jalal disela-sela kebingungannya. “Seandainya waktu bisa diputar tentu saya tidak ingin terjadi seperti ini Bu. Namun semua sudah terjadi dan saya tidak bisa menariknya lagi. Hanya satu yang bisa saya lakukan, saya ingin memperbaiki semua kesalahan itu. Mesti tidak bisa mengobati sepenuhnya luka yang sudah ditorehkan.” Jalal berdiri dan memandangi mertuanya dengan sendu. Jodhapun ikut berdiri disampingnya. Meenawati menatap keduanya bergantian, hatinya juga pedih.
“Apa benar kau ingin memperbaiki kesalahanmu?” Tanya Meenawati menatap Jalal dengan tajam namun suaranya sudah tidak sekasar tadi. Jalal dan Jodha mengangkat wajahnya menatap Meenawati.
“Iya Bu, aku ingin memperbaiki segala kesalahanku.” Kata Jalal. Matanya berbinar gembira. Begitupun dengan Jodha.
“Baiklah, aku akan merestuimu dengan Jodha tapi dengan syarat...” Meenawati menggantung ucapannya. Melihat reaksi Jalal dan Jodha.
“Apa syaratnya Bu? Apapun syaratnya asalkan saya selalu bersama Jodha akan saya lakukan.” Tanya Jalal antusias, karena melihat kesempatan telah terbuka didepan matanya.
“Iya Bu, apa syaratnya? Semoga saja Jalal bisa memenuhi syaratnya?” Jodha ikut merasa gembira atas sikap Ibunya.
“Baik. kalau itu yang kalian inginkan. Syaratnya adalah kau tahu apa yang diharapkan seorang istri dan keluarganya terhadap suaminya. KEBANGGAAN. Tentu tidak ada yang ingin mendapatkan suami yang pengangguran yang cuma bisa mengatakan kata-kata cinta saja. Buktikan kalau kau sanggup untuk membuatku dan Jodha serta seluruh keluargaku merasa bangga kepadamu. Buktikan kalau kau bukan seorang anak berandalan yang ingin memisahkan anak gadis dari keluarganya. Buktikan besarnya rasa cintamu kepada Jodha dengan tindakan dan bukti, bukan hanya janji dan kata-kata saja. Bagaimana? Kau sanggup?” Tantang Meenawati. Jalal dan Jodha melongo mendengar ucapan Meenawati.
“Apa yang harus saya lakukan, Bu?” tanya Jalal penuh harap. Jodha mendukung dengan pandangannya.
“Kau pikirkan saja sendiri. Aku beri kau kesempatan selama 6 bulan. Bagaimana? Cukup?” Jalal menunduk. ia tidak yakin apa dia bisa melakukan semua permintaan mertuanya itu. Terlalu berat.
“Tapi Bu, Jalal kan masih kuliah.” Kata Jodha membela Jalal. Dia juga bingung dengan permintaan Ibunya. Sama tidak menyangka ibunya memberikan syarat seperti itu kepada Jalal.
“Baik Bu, saya sanggup. saya akan mencobanya.” Ucap Jalal dengan mantap.
“Bagus. Aku pegang segala ucapanmu. Aku akan menunggu. Tapi selama kau belum bisa membuktikan segala ucapanmu maka kalian belum boleh hidup bersama. Aku tidak mengijinkan hal itu terjadi. Setelah kau bisa membuktikan syarat yang aku ajukan maka aku akan merestui kalian dan aku akan mengadakan resepsi pernikahan kalian. Tapi, apabila kau gagal dengan syarat itu dalam jangka waktu yang sudah ditentukan, maka tinggalkan Jodha dan ceraikan dia,  aku akan mencarikan orang yang lebih pantas untuknya.”  kata Meenawati masih dengan ekpresi wajah yang dingin.
Jodha dan Jalal terhenyak mendengar kata-kata Meenawati. Seakan tidak percaya apa yang mereka dengar barusan. Baru saja mereka sedikit merasa senang, kini terasa mereka dihempaskan kembali.
“Bu...” ucapan Jodha terhenti ketika ibunya mengangkat tangannya kepada Jodha menyuruhnya untuk tidak bicara. Jodha terdiam.
“Bagaimana Jalal? apa kau sanggup atau kau mundur dari syarat tersebut dan tinggalkan Jodha serta jangan pernah kembali kesini lagi.” Tanya Meenawati. Jalal tidak punya pilihan lain selain menyanggupinya. Dia tidak ingin kehilangan Jodha. Tetapi pilihan itu membuatnya jauh dari Jodha.
“Baiklah Bu, aku sanggup. Aku janji, aku akan memenuhi semua persyaratannya.”  Jawab Jalal. Meski hatinya masih dilanda kebingungan.
“Jalal....” Jodha memegang tangan Jalal seperti memastikan ucapan Jalal barusan. Jalal tersenyum dan mengangguk.
“Tidak apa-apa Sayang, mungkin memang ini yang harus kita lalui untuk meraih cinta kita. Semoga kau kuat atas pengorbanan ini. Yakinlah suatu saat kita akan bersama lagi.” Jalal menggenggam tangan Jodha. Jodha mengangguk. Sementara Meenawati membuang muka kearah lain.
“Baiklah, kalau sudah cukup apa yang kau bicarakan. Kau boleh pulang.” Kata-kata Meenawati membuat Jodha merasa jengkel dengan Ibunya.
“Bu, kenapa Ibu mengusir Jalal. Tidak bisakah dia disini sebentar.”  Ucap Jodha yang masih belum rela ditinggal Jalal. Namun Jalal menggelengkan kepalanya.
“Baik Bu, terima kasih atas kesempatan yang sudah ibu berikan kepada saya. Kalau begitu saya pulang dulu.” kata Jalal kemudian menoleh kepada Jodha, “Sayang, aku pulang dulu, doakan saja aku semoga aku berhasil.” Jodha mengangguk, air matanya mengalir deras.
“Assalamu’alaikum, Bu.”  Pamit Jalal.
“Wa’alaikum salam!” Jawab Meenawati datar.
Jalal melangkah gontai menuju pintu. Tiba-tiba Jodha berlari dan menarik tangannya kemudian memeluknya dengan erat. Jalal pun membalas pelukan itu. Keduanya merasakan kepedihan yang sama. Sama-sama harus berkorban demi meraih restu sang ibu serta untuk masa depan mereka sendiri.
Jalal melepaskan pelukannya. Dipegangnya wajah Jodha, diciumnya kening itu. Ditatapnya wajah istrinya yang tampak sembab “Sayang,...apa kau mencintaiku?” Jodha mengangguk. “Apa kau percaya padaku dan mau menungguku?” Jodha mengangguk lagi. “Terima kasih atas cintamu dan kepercayaanmu, ingatlah aku sudah berjanji kepadamu kalau kau hanya milikku. Yaa, milikku. aku tidak akan membiarkanmu lepas dariku. Sekarang biarkan aku pergi dulu ya.” Jalal mengecup bibir Jodha sebentar.  Sementara Meenawati melihat semua itu dengan tatapan tidak rela. Namun dia tidak bisa berbuat apa-apa, karena bagaimanapun mereka sudah menjadi suami istri. Jalal sudah tinggal terpisah dengan Jodha saja dia sudah senang.
Jalal melepaskan pegangan tangannya. Jodha nampak berat sekali melepaskan Jalal. Air matanya mengalir deras tak tertahankan. Jalal melangkah menuju mobilnya tanpa menoleh.
“Jalaall....” Panggil Jodha. Sesaat langkah Jalal terhenti namun dia tidak menoleh. Dia menghembuskan nafas dengan kasar kemudian melangkah menuju mobilnya dan masuk kemobil tanpa melihat Jodha lagi karena itu akan membuat hatinya semakin terasa hancur. Dinyalakannya mobil itu dengan tergesa-gesa kemudian meluncur meninggalkan rumah Jodha.
Sementara Jodha yang masih termangu menatap kepergian Jalal mengusap air matanya dan melangkah masuk kerumah. Langkah terhenti dihadapan ibunya, sinar mata Ibunya memancarkan kerinduan yang mendalam. Jodha tahu itu. Namun rasa kecewanya atas perlakuan ibunya terhadap Jalal membuat hatinya membeku. Dia tidak mau menatap Ibunya.
“Jodha sayang....” Sapa Meenawati dengan suara bergetar. Ingin rasanya dia memeluk Jodha, namun sikap Jodha membuatnya urung melaksanakan niatnya.
“Terima kasih, Bu. Atas segala rasa kecewa dan sakit hati ini.” Ucap Jodha dengan wajah yang mengeras.
“Ibu tidak bermaksud menyakitimu, Ibu hanya....” Ucapan Meenawati terhenti.
“Tapi Ibu sudah menyakitiku, Bu. Apa Ibu merasa bahagia melihatku menderita? Ibu puas sekarang?” Sahut Jodha sambil berlari ke kamarnya tidak peduli dengan Ibunya yang memanggil-manggilnya.
“Suatu saat kau akan mengerti Jodha, kenapa Ibu melakukan ini kepadamu.” Desah Meeenawati. Sementara Jodha yang memasuki kamarnya menjatuhkan tubuhnya diranjang, kembali dia terisak-isak. Dipukul-pukulnya bantal didekatnya, rasa sedih, kecewa, rindu tercampur menjadi satu.
Sementara Jalal yang sudah keluar dari gerbang rumah Jodha setelah beberapa saat sekiranya jauh dari rumah itu, dia berhenti dan memarkirkan mobilnya di pinggir jalan. Kepala nya ditelungkupkannya diatas setir beralaskan kedua tangannya. Tak tahan lagi, sebaris air mata keluar dari kedua sudut matanya yang sudah ditahannya sedari tadi dari rumah Jodha.
“Jodha.” Gumamnya. “Aaaarrrggghhh....” Jalal memukul setir mobilnya. Kemudian kedua tangannya menjambak-jambak rambutnya. Wajahnya nampak frustasi dan kecewa.


tbc

Tidak ada komentar:

Posting Komentar