Mobil Jalal
dan Jodha melaju membelah kesunyian pagi itu. Suasana masih sangat lengang.
Karena bertepatan dengan hari minggu sehingga kemacetan berkurang total. Kesunyian
juga terjadi di dalam mobil yang membawa Jodha dan Jalal. Keduanya nampak
tegang. Berkali-kali Jalal melirik Jodha yang hanya diam dan memandang lurus
kedepan.
“Sayang,
kamu tidak apa-apa?” Tanya Jalal. Jodha mendesah panjang.
“Bagaimana
kalau kekhawatiran kita terbukti, Jalal? Aku takut.” Jodha menoleh kepada Jalal
yang juga melakukan hal yang sama. Tangan Jalal bergerak mengelus rambut Jodha,
sementara satu tangannya memegang setir.
“Jangan
takut sayang, kita akan menghadapinya berdua. Aku yakin orang tuamu tidak akan
tega memisahkan cinta anaknya yang sangat disayanginya. Kita berdoa dan
berharap saja semoga Tuhan memberikan jalan keluarnya.”
“Kuharap
begitu sayang, kalau Ayah mungkin beliau bisa mengerti. Tetapi kalau Ibu aku
tidak tahu.” Kata Jodha sembari menoleh ke arah kaca sampingnya. Diturunkannya
kaca jendela mobil itu, dibiarkannya angin masuk menerbangkan rambutnya yang
tergerai. Sesaat dipejamkannya matanya menikmati sejuknya angin yang menyapa
wajahnya. Jalal hanya diam saja sambil sesekali menoleh ke arah Jodha yang
masih diam.
Tidak lama
kemudian, sampailah mereka di rumah Jodha. Penjaga pintu gerbang membuka pagar
untuk membiarkan mereka masuk. Sesaat sebelum turun, Jalal menggenggam tangan
Jodha dan mencium keningnya.
“Apapun yang
terjadi sayang, aku janji kita akan menghadapinya bersama.”
“Iya Jalal,
aku tidak mau kehilanganmu.”
“Stt...itu
tidak akan terjadi, kau tidak akan kehilanganku. Begitupun denganku.”
“Berjanjilah
Jalal, kau akan berjuang demi cinta kita.”
“Aku janji
sayang. Ayo kita menemui orang tuamu.” Ajak Jalal. Walaupun sebenarnya hatinya
sedang deg-degan. Namun dia harus bisa melewati semua ini. Mereka pun keluar
dari mobil dan masuk kerumah dengan tangan saling menggenggam. Seolah saling
membagi kekuatan dan semangat.
Jodha membuka
pintu dan masuk diikuti oleh Jalal. Mereka disambut oleh pembantu rumah Jodha.
Sama seperti Bi Inah, pembantu Jodha sedikit pangling melihat keadaan Jodha.
“Ayah sama Ibu
ada Bi?” Tanya Jodha kepada pembantunya.
“Ayahnya Non
sedang tidak ada dirumah. Sedang keluar Non. Ada Ibu saja dikamar. Non tidak
langsung menemui Ibu saja?” tanya pembantunya dengan heran.
“Tolong
panggilkan Ibu, ya Bi.”
“Baiklah,
Non. Sebentar bibi panggilkan dulu.” Pembantunya itupun segera berlalu.
Sedangkan Jodha dan Jalal duduk dikursi tamu dengan perasaan tidak karuan.
Kedua tangan mereka saling menggenggam dengan tegang.
Tidak lama
kemudian Meenawati pun keluar menemui mereka. Seperti yang sudah diperkirakan
oleh Jalal dan Jodha. Tidak ada ekpresi apapun yang keliatan di wajahnya.
Walaupun sebenarnya dia sudah sangat rindu dengan Jodha namun ketika melihat
Jalal disampingnya membuatnya menahan segala keinginan untuk memeluk Jodha.
“Kau sudah
datang rupanya Jodha.” Tanya Meenawati datar. Jodha rasanya ingin menangis
melihat ekpresi ibu. Hatinya ingin menghambur dan memeluk ibunya. Namun
tubuhnya terasa tidak bergerak.
“Bu...”
suara Jodha tercekat.
“Assalamu’alaikum,
Bu.” Kata Jalal mengulurkan tangannya mengambil tangan mertuanya dan
menciumnya. Namun Jodha hanya berdiri mematung.
“Wa’alaikumsalam...”
Jawab Meenawati dengan dingin. “berani juga kamu datang kerumah ini. Bagaimana?
sudah puas kau memisahkan aku dengan anakku?” suara Meenawati terdengar
bergetar karena campuran emosi kemarahan kepada Jalal dan kerinduan kepada
Jodha yang siang malam dia rindukan. Sebagai anak satu-satunya Jodhalah menjadi
tumpuan kasih sayang kedua orang tuanya. Terutama Meenawati yang sangat
memanjakan Jodha. Namun hatinya terluka dengan peristiwa yang terjadi. Dan yang
menjadi sasaran kemarahan tentu saja dengan Jalal.
“Bu...”
kembali suara Jodha terhenti karena emosi yang tidak tertahankan. Perlahan air
matanya keluar dan mengalir dengan deras.
“Maafkan dan
ampuni atas segala kesalahan saya selama ini, Bu. Saya mengakui semua kesalahan
saya dimasa lalu telah membuat Jodha terluka. Tapi tolong Bu, berilah kesempatan
agar saya bisa memperbaikinya. Saya mencintai Jodha, Bu. Saya tidak bisa hidup
tanpanya.” Ucap Jalal menjatuhkan lututnya dan berlutut dihadapan Meenawati.
Namun Meenawati hanya memandangnya dengan sinis.
“Apa kau
kira semudah itu untuk memaafkanmu. Apa kau kira kata maaf saja sudah cukup
untuk mengobati segala sakit hatiku selama ini kepadamu. Ditambah lagi sekarang
kau sudah memisahkan aku dengan Jodha. Apa kau tahu bagaimana rasanya perasaan
seorang Ibu yang harus berpisah dengan putri kesayangannya hanya karena
kesalahanmu. Kau lihat...” kata Meenawati menunjuk Jodha yang masih menangis
tanpa bisa berkata apa-apa, “kau lihat dia... siang malam aku merindukan dia,
tetapi setelah bertemu apa yang dilakukannya? Dia hanya diam dan diam saja. Mungkin
saja selama ini dia tidak pernah rindu kepadaku, Ibunya sendiri.” Mata
Meenawati tampak berkaca-kaca menahan emosi yang menggumpal didadanya.
Mendengar itu Jodha langsung berlutut dan memegang dan mencium tangan Ibu.
Namun Meenawati hanya diam tanpa ekpresi. Kalau menuruti kata hatinya ingin
rasanya dia memeluk dan mendekap anak kesayangan itu.
“Tidak Bu.
Aku sungguh merindukanmu Bu. Tapi, ini bukan kesalahan Jalal semua. Aku juga
bersalah Bu. Tolong maafin kami. Berilah Jalal kesempatan Bu. Aku mohon!” ucap
Jodha dengan lirih dan dengan deraian air mata.
“Terus
sajalah kau bela dia. Cinta sudah membutakan matamu. Bahkan sekarang kau sudah
tidak mengingat lagi perlakuannya terhadapmu dulu. Sekarang semuanya sudah
hilang dari ingatanmu. Apa yang bisa kau banggakan terhadapnya, Jodha? Apa yang
kau harapkan darinya? Kau bahkan lebih memilih dia yang baru mengenalmu
daripada Ibumu sendiri yang dengan sepenuh hati menyayangimu.” Hati Jalal dan
Jodha semakin pedih dengan kata-kata yang keluar dari mulut Meenawati.
“Tidak Bu.
Tidak seperti itu.” Ucap Jodha sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Tangannya
masih saja memegang tangan ibunya sambil berlutut. “Aku sangat menyayangimu Bu.
Namun aku mohon, Ibu bisa menghargai pilihanku sendiri. Aku hanya ingin Ibu
merestui kami.”
“Tidak !
tidak bisa. Tidak semudah itu.” Kata Meenawati masih bersikeras atas sikapnya.
“Bu, hukumlah
saya atas segala kesalahan saya selama ini. Tapi tolong, jangan pisahkan saya
dengan Jodha Bu. Saya sangat mencintainya. Saya akan melakukan apapun asalkan
Ibu bisa memaafkan saya dan tidak memisahkan kami.” Pinta Jalal dengan wajah
tertunduk. Dia sangat sedih dan hancur menerima kenyataan kalau mertuanya itu
terang-terangan membencinya.
“Hm, manis
sekali ucapanmu. Apa yang bisa kau lakukan?” tanya Meenawati dengan sinis.
“Saya berjanji
akan membahagiakan Jodha Bu.”
“Dengan apa?”
Sentak Meenawati. Sementara Jodha masih terisak-isak. Matanya sudah semakin
sembab. Jalal diam. Dia bingung harus menjawab apa.
“Bu, begitu
sulitkah untuk Ibu menerima kami?” ucap Jalal disela-sela kebingungannya.
“Seandainya waktu bisa diputar tentu saya tidak ingin terjadi seperti ini Bu.
Namun semua sudah terjadi dan saya tidak bisa menariknya lagi. Hanya satu yang
bisa saya lakukan, saya ingin memperbaiki semua kesalahan itu. Mesti tidak bisa
mengobati sepenuhnya luka yang sudah ditorehkan.” Jalal berdiri dan memandangi
mertuanya dengan sendu. Jodhapun ikut berdiri disampingnya. Meenawati menatap
keduanya bergantian, hatinya juga pedih.
“Apa benar
kau ingin memperbaiki kesalahanmu?” Tanya Meenawati menatap Jalal dengan tajam
namun suaranya sudah tidak sekasar tadi. Jalal dan Jodha mengangkat wajahnya
menatap Meenawati.
“Iya Bu, aku
ingin memperbaiki segala kesalahanku.” Kata Jalal. Matanya berbinar gembira.
Begitupun dengan Jodha.
“Baiklah,
aku akan merestuimu dengan Jodha tapi dengan syarat...” Meenawati menggantung
ucapannya. Melihat reaksi Jalal dan Jodha.
“Apa
syaratnya Bu? Apapun syaratnya asalkan saya selalu bersama Jodha akan saya
lakukan.” Tanya Jalal antusias, karena melihat kesempatan telah terbuka didepan
matanya.
“Iya Bu, apa
syaratnya? Semoga saja Jalal bisa memenuhi syaratnya?” Jodha ikut merasa
gembira atas sikap Ibunya.
“Baik. kalau
itu yang kalian inginkan. Syaratnya adalah kau tahu apa yang diharapkan seorang
istri dan keluarganya terhadap suaminya. KEBANGGAAN. Tentu tidak ada yang ingin
mendapatkan suami yang pengangguran yang cuma bisa mengatakan kata-kata cinta
saja. Buktikan kalau kau sanggup untuk membuatku dan Jodha serta seluruh
keluargaku merasa bangga kepadamu. Buktikan kalau kau bukan seorang anak
berandalan yang ingin memisahkan anak gadis dari keluarganya. Buktikan besarnya
rasa cintamu kepada Jodha dengan tindakan dan bukti, bukan hanya janji dan
kata-kata saja. Bagaimana? Kau sanggup?” Tantang Meenawati. Jalal dan Jodha
melongo mendengar ucapan Meenawati.
“Apa yang
harus saya lakukan, Bu?” tanya Jalal penuh harap. Jodha mendukung dengan
pandangannya.
“Kau
pikirkan saja sendiri. Aku beri kau kesempatan selama 6 bulan. Bagaimana?
Cukup?” Jalal menunduk. ia tidak yakin apa dia bisa melakukan semua permintaan
mertuanya itu. Terlalu berat.
“Tapi Bu,
Jalal kan masih kuliah.” Kata Jodha membela Jalal. Dia juga bingung dengan
permintaan Ibunya. Sama tidak menyangka ibunya memberikan syarat seperti itu
kepada Jalal.
“Baik Bu, saya
sanggup. saya akan mencobanya.” Ucap Jalal dengan mantap.
“Bagus. Aku pegang
segala ucapanmu. Aku akan menunggu. Tapi selama kau belum bisa membuktikan
segala ucapanmu maka kalian belum boleh hidup bersama. Aku tidak mengijinkan
hal itu terjadi. Setelah kau bisa membuktikan syarat yang aku ajukan maka aku
akan merestui kalian dan aku akan mengadakan resepsi pernikahan kalian. Tapi, apabila
kau gagal dengan syarat itu dalam jangka waktu yang sudah ditentukan, maka tinggalkan
Jodha dan ceraikan dia, aku akan
mencarikan orang yang lebih pantas untuknya.” kata Meenawati masih dengan ekpresi wajah yang
dingin.
Jodha dan
Jalal terhenyak mendengar kata-kata Meenawati. Seakan tidak percaya apa yang
mereka dengar barusan. Baru saja mereka sedikit merasa senang, kini terasa
mereka dihempaskan kembali.
“Bu...”
ucapan Jodha terhenti ketika ibunya mengangkat tangannya kepada Jodha
menyuruhnya untuk tidak bicara. Jodha terdiam.
“Bagaimana
Jalal? apa kau sanggup atau kau mundur dari syarat tersebut dan tinggalkan
Jodha serta jangan pernah kembali kesini lagi.” Tanya Meenawati. Jalal tidak
punya pilihan lain selain menyanggupinya. Dia tidak ingin kehilangan Jodha.
Tetapi pilihan itu membuatnya jauh dari Jodha.
“Baiklah Bu,
aku sanggup. Aku janji, aku akan memenuhi semua persyaratannya.” Jawab Jalal. Meski hatinya masih dilanda
kebingungan.
“Jalal....”
Jodha memegang tangan Jalal seperti memastikan ucapan Jalal barusan. Jalal
tersenyum dan mengangguk.
“Tidak
apa-apa Sayang, mungkin memang ini yang harus kita lalui untuk meraih cinta
kita. Semoga kau kuat atas pengorbanan ini. Yakinlah suatu saat kita akan
bersama lagi.” Jalal menggenggam tangan Jodha. Jodha mengangguk. Sementara
Meenawati membuang muka kearah lain.
“Baiklah,
kalau sudah cukup apa yang kau bicarakan. Kau boleh pulang.” Kata-kata
Meenawati membuat Jodha merasa jengkel dengan Ibunya.
“Bu, kenapa
Ibu mengusir Jalal. Tidak bisakah dia disini sebentar.” Ucap Jodha yang masih belum rela ditinggal
Jalal. Namun Jalal menggelengkan kepalanya.
“Baik Bu,
terima kasih atas kesempatan yang sudah ibu berikan kepada saya. Kalau begitu
saya pulang dulu.” kata Jalal kemudian menoleh kepada Jodha, “Sayang, aku
pulang dulu, doakan saja aku semoga aku berhasil.” Jodha mengangguk, air
matanya mengalir deras.
“Assalamu’alaikum,
Bu.” Pamit Jalal.
“Wa’alaikum
salam!” Jawab Meenawati datar.
Jalal
melangkah gontai menuju pintu. Tiba-tiba Jodha berlari dan menarik tangannya
kemudian memeluknya dengan erat. Jalal pun membalas pelukan itu. Keduanya
merasakan kepedihan yang sama. Sama-sama harus berkorban demi meraih restu sang
ibu serta untuk masa depan mereka sendiri.
Jalal
melepaskan pelukannya. Dipegangnya wajah Jodha, diciumnya kening itu.
Ditatapnya wajah istrinya yang tampak sembab “Sayang,...apa kau mencintaiku?”
Jodha mengangguk. “Apa kau percaya padaku dan mau menungguku?” Jodha mengangguk
lagi. “Terima kasih atas cintamu dan kepercayaanmu, ingatlah aku sudah berjanji
kepadamu kalau kau hanya milikku. Yaa, milikku. aku tidak akan membiarkanmu
lepas dariku. Sekarang biarkan aku pergi dulu ya.” Jalal mengecup bibir Jodha
sebentar. Sementara Meenawati melihat
semua itu dengan tatapan tidak rela. Namun dia tidak bisa berbuat apa-apa,
karena bagaimanapun mereka sudah menjadi suami istri. Jalal sudah tinggal
terpisah dengan Jodha saja dia sudah senang.
Jalal
melepaskan pegangan tangannya. Jodha nampak berat sekali melepaskan Jalal. Air
matanya mengalir deras tak tertahankan. Jalal melangkah menuju mobilnya tanpa
menoleh.
“Jalaall....”
Panggil Jodha. Sesaat langkah Jalal terhenti namun dia tidak menoleh. Dia
menghembuskan nafas dengan kasar kemudian melangkah menuju mobilnya dan masuk
kemobil tanpa melihat Jodha lagi karena itu akan membuat hatinya semakin terasa
hancur. Dinyalakannya mobil itu dengan tergesa-gesa kemudian meluncur
meninggalkan rumah Jodha.
Sementara
Jodha yang masih termangu menatap kepergian Jalal mengusap air matanya dan
melangkah masuk kerumah. Langkah terhenti dihadapan ibunya, sinar mata Ibunya
memancarkan kerinduan yang mendalam. Jodha tahu itu. Namun rasa kecewanya atas
perlakuan ibunya terhadap Jalal membuat hatinya membeku. Dia tidak mau menatap
Ibunya.
“Jodha
sayang....” Sapa Meenawati dengan suara bergetar. Ingin rasanya dia memeluk
Jodha, namun sikap Jodha membuatnya urung melaksanakan niatnya.
“Terima
kasih, Bu. Atas segala rasa kecewa dan sakit hati ini.” Ucap Jodha dengan wajah
yang mengeras.
“Ibu tidak
bermaksud menyakitimu, Ibu hanya....” Ucapan Meenawati terhenti.
“Tapi Ibu
sudah menyakitiku, Bu. Apa Ibu merasa bahagia melihatku menderita? Ibu puas
sekarang?” Sahut Jodha sambil berlari ke kamarnya tidak peduli dengan Ibunya
yang memanggil-manggilnya.
“Suatu saat
kau akan mengerti Jodha, kenapa Ibu melakukan ini kepadamu.” Desah Meeenawati.
Sementara Jodha yang memasuki kamarnya menjatuhkan tubuhnya diranjang, kembali
dia terisak-isak. Dipukul-pukulnya bantal didekatnya, rasa sedih, kecewa, rindu
tercampur menjadi satu.
Sementara
Jalal yang sudah keluar dari gerbang rumah Jodha setelah beberapa saat
sekiranya jauh dari rumah itu, dia berhenti dan memarkirkan mobilnya di pinggir
jalan. Kepala nya ditelungkupkannya diatas setir beralaskan kedua tangannya.
Tak tahan lagi, sebaris air mata keluar dari kedua sudut matanya yang sudah
ditahannya sedari tadi dari rumah Jodha.
“Jodha.”
Gumamnya. “Aaaarrrggghhh....” Jalal memukul setir mobilnya. Kemudian kedua
tangannya menjambak-jambak rambutnya. Wajahnya nampak frustasi dan kecewa.
tbc
Tidak ada komentar:
Posting Komentar