Menu

Jumat, 12 Februari 2016

BIARKAN AKU JATUH CINTA. PART. 14 (IJINKAN AKU CINTA KAMU)


Note : jangan terlalu cepat menilai buruk orang lain sebelum mengetahui bagaimana hati dan kepribadiaannya, karena tak jarang penglihatan dan pendengaran sering tertipu oleh kejelekan sehingga sesuatu bernilai tinggi dan berharga yang  jauh lebih indah menjadi tidak terlihat dari pandangan sekilas.

========0000=======

Jalal dan Mansingh hanya bisa termangu melihat dua orang yang disebut Jodha dan seluruh anak-anak ditempat itu dengan sebutan mami dan papi. Bagaimana tidak, dua orang yang mereka sayang dan bahkan Bayu terlihat begitu bangga menyebutnya hanya terlihat seperti seorang waria, dan  berusia sekitar 50-an tahun. Namun, yang menjadi pertanyaan di benak meraka berdua yaitu apakah kedua waria itu menikah sampai mereka berdua di panggil dengan sebutan papi dan mami.
Satu orang bertubuh tinggi besar, sedangkan yang satu lagi bertubuh agak pendek gemuk. Keduanya meski berpenampilan seperti layaknya laki-laki lainnya namun tetap saja tidak bisa menghilangkan gaya kemayu yang selaku menjadi ciri khas seorang waria.
“Apa kabar Pi?” tanya Jodha memeluk seseorang yang waria bertubuh besar itu.
“Kabar baik sayang. Kamu gimana kabarnya juga?” Jodha tertawa.
“Ya, seperti yang Papi lihat sekarang. Sehat kok Pi.”
“Syukurlah, Papi senang mendengarnya.” Jodha melepaskan pelukannya, dan berganti dengan Nadia. Giliran seorang waria yang bertubuh agak pendek yang dipeluk oleh Jodha.
“Mamiii... aku kangen Mi.” Waria itu tertawa.
“Baru juga seminggu nggak ketemu masa sudah kangen sih Jo?”
“Iya dong. Biar satu hari juga kalau kangen tetap aja kangen namanya, apalagi satu minggu.” Kata Jodha tidak mau kalah.
“Iya deh, terserah kamu aja.” Jodha terkekeh.
“Kami bawa oleh-oleh kesenangan Mami sama Papi tuh, titipan Abang Bayu.”
“Oh ya? Apa?”
“Nasi padang lengkap sama rendangnya.”
“Kamu tau aja sayang kesukaan Mami.” Kata waria itu dengan genit mencubit dagunya Jodha membuat gadis itu tersenyum senang.
“Iya dong, siapa dulu anak Mami sama Papi.” Waria itu menggeleng kepala sambil tersenyum, Jodha melepaskan pelukannya, “oh ya Mi, Pi, kami bawa teman tuh.” Kata Jodha menunjuk ke arah Jalal dan Mansingh yang masih bengong melihat mereka. Nadia ikut tersenyum melihat ekspresi mereka berdua.
“Oh ya? Teman darimana sayang?” tanya waria yang di panggil Papi. Jodha mendekati kedua pemuda itu dan memegang tangan Jalal dan Mansingh serta membawanya mendekati kedua waria itu.
“Yang ini majikanku Pi, Mi. Namanya Tuan Jalal.” Kata Jodha menunjuk Jalal, “dan yang ini temannya, namanya Mansingh.” Kata Jodha memperkenalkan mereka berdua, “Tuan, Man, kenalkan ini Papi Hosyiar,” Jodha menunjukkan ke arah waria yang bertubuh tinggi besar itu, “dan yang ini Mami Resham.” Jodha menunjukkan waria yang bertubuh agak pendek gemuk itu.
“Hai ganteng, kenalan yuk. Eike Mami Resham, biasa di panggil Mami Ecam.” Ujar Resham mengulurkan tangannya ke arah Jalal sambil mengedip-ngedipkan matanya dengan genit, Jalal dan Mansingh menelan ludah yang terasa berat melewati tenggorokannya. Wajah keduanya mulai pucat. Jalal menyambut uluran tangan Mami Ecam dan dengan cepat tubuh Jalal dipeluk dengan erat sampai pemuda itu agak susah untuk bernafas. Jodha dan Nadia tertawa melihat Jalal kelabakan dalam pelukan Mami Ecam. Hahaha...
“Mi, udah. Bisa mati anak majikanku kalau terlalu erat meluknya gitu.” Ucap Jodha yang merasa khawatir melihat tuan mudanya terlihat pucat. Namun Nadia hanya tertawa terkekeh melihatnya. Akhirnya Mami Ecam pun melepaskan pelukannya. Jalal menghembuskan nafas lega.
“Maaf ya ganteng, Mami terlalu bersemangat deh meluknya.” Kata Mami Ecam mengusap-usap pipi Jalal. Pemuda itu mengangguk dengan takut-takut.
“I...iya Mi, nggak apa-apa.”
“Benar nggak apa-apa?” tanya Mami Ecam dengan nada khawatir.
“Iya Benar Mi, nggak apa-apa kok. Suer.” Jawab Jalal sambil tersenyum meringis dan menampilkan jari telunjuk dan jari tengahnya. Jodha tersenyum melihatnya, namun Nadia malah tertawa terkikik.
“Syukurlah kalau gitu ganteng, nggak usah takut sama Mami ya. Mami kan udah jinak, dan Mami udah nggak doyan brondong.” Jodha dan Nadia kembali terkekeh mendengar ucapan Mami Ecam. Sedangkan Papi Hosyiar cuma tersenyum melihatnya.
“I...iya Mi, iya.” Jawab Jalal setengah tergagap.
“Itu yang satunya lagi Mi, sepertinya suka sama Mami.” Celetuk Nadia sambil tertawa membuat Mansingh menoleh cepat ke arahnya dengan mata melotot dan dibalas Nadia dengan meleletkan lidahnya.
Mami Ecam berpaling kearah Mansingh. Pemuda itu hanya bisa pasrah menerima pelukan dari Mami Ecam seperti halnya yang terjadi dengan Jalal sahabatnya.
“Aih, kamu nggak kalah ganteng ya sama temanmu itu. Mami suka kalian berdua.” Ucap Mami Ecam sambil mencium kedua pipi Mansingh yang hanya meringis tidak bisa berbuat apa-apa. Sementara Nadia tertawa sampai terbungkuk sambil memegang perutnya melihat ekspresi pemuda itu yang seperti sedang kebelet. Jodha hanya bisa menggeleng kepala melihatnya.
“I..iya Mi, aku juga suka kok Mi. Hee...”
“Kok cuma cium di pipi sih Mi, nggak nyoba cium di bibir?” ucap Nadia ngompori lagi disela-sela ketawanya. Mendengar itu wajah Mansingh langsung pucat. Tetapi rupanya Mami Ecam tidak menanggapi ucapan Nadia yang provokator itu.
“Nggak ah, Mami kan sudah bilang nggak doyan brondong lagi. Nggak usah di kompori lagi.”
Akhirnya Mansingh pun secara tidak sadar menghembuskan nafas lega. Bisa bahaya kalau benar Mami Ecam ingin mencium bibirnya. Bisa hilang keperjakaan bibirnya nanti, mending kalau Nadia yang menciumnya pasti dengan senang hati dia memberikannya. Mansingh tertawa dalam hati memikirkan pikiran konyolnya, apa itu mungkin? Bisa-bisa bibirnya jontor kena tinju Nadia sebelum dia bisa menciumnya. Hehehe....
Seorang waria yang satunya lagi menyalami Jalal dan Mansingh namun tidak memeluknya, walaupun tingkahnya kemayu tetapi dia bersikap seperti layaknya seorang laki-laki. Tidak genit seperti Mami Ecam.
“Kalian bisa panggil papi dengan sebutan Papi Josh. Oke?” kata Papi Josh menepuk pundak keduanya. Mereka mengangguk.
“Iya, Pi.” Papi Josh tertawa. Terasa sekali kalau sikapnya itu hangat, pantas Jodha bahkan Bayu begitu menyayangi mereka.
“Ayo duduk dulu, sekalian kita makan bareng ya.” Ajak Papi Josh kepada kedua tamunya itu, karena Jodha dan Nadia sudah dianggap sebagai keluarga. Jalal dan Mansingh mengikuti Papi Josh dan duduk di ruang tamu itu secara lesehan karena memang di ruangan itu tidak tersedia kursi dan meja. Hanya sebuah karpet usang untuk tempat duduk.
Di rumah itu, terdapat beberapa kamar yang mirip kamar kos-kosan mahasiswa. Ruang tamu terlihat luas dan terdapat beberapa anak-anak yang sibuk  dengan kegiatannya sendiri, ada juga yang menggerombol sembari ngobrol. Dinding ruang tamu tersebut di cat polos tanpa di tempeli hiasan apa-apa kecuali sebuah kalender  gantung. Jalal memperhatikan dengan seksama rumah tersebut. Sederhana namun terasa damai dan hangat. Seperti halnya orang-orang yang ada di dalamnya itu. Tidak ada kesan acuh apalagi sombong
Papi Josh memperkenalkan satu persatu anak-anak yang ada di tempat itu kepada Jalal dan Mansingh. Ada sekitar 15 orang anak yang tinggal ditempat itu, sebagaian besar mereka masih sekolah dan ada beberapa anak yang masih kuliah. Mereka semua adalah anak-anak yang sudah tidak punya orang tua yang secara sukarela ditampung oleh Papi dan Mami di tengah keterbatasan yang mereka miliki. Karena Papi dan Mami hanya menggeluti pekerjaan sebagaimana umumnya yang dilakukan oleh para waria lainnya yaitu membuka salon kecantikan. Dari hasil itulah yang digunakan untuk kebutuhan mereka sehari-hari dan juga untuk biaya sekolah anak asuhnya.
Tetapi sebagian dari mereka, khususnya yang sudah sekolah menengah ke atas juga ikut bekerja meskipun itu hanya pekerjaan sampingan selain sekolah. Bahkan Jalal dan Mansingh melihat di sudut ruangan terdapat beberapa peralatan yang di gunakan untuk melukis.
Jalal dan Mansingh merasa mereka seperti sudah lama kenal dengan penghuni rumah itu, karena sikap mereka yang bersahabat membuat keduanya merasa betah untuk tinggal lebih lama disitu. Jodha mendatangi mereka dan duduk di samping Jalal. Dia tersenyum melihat majikannya itu begitu senang.
“Gimana Tuan? Inilah yang setiap hari minggu saya datangi sehabis latihan di dojo bersama Nadia dan Abang Bayu.” Ucap Jodha sambil duduk bersila di dekat tuan mudanya, Jalal ikut tersenyum.
“Yah, memang bikin betah Nem tinggal disini. Suasananya hangat dan rame, nggak berasa sendirian.” Jodha mengangguk.
“Tuan benar, terkadang saya sampai hampir lupa untuk pulang.” Jawab Jodha sambil terkekeh.
“Pantas saja kamu setiap hari minggu tidak pernah ada dirumah,” Jalal menoleh kearah Jodha, “tapi kenapa kamu nggak pernah bilang setiap kali aku tanya Nem?” tanya Jalal menatap Jodha dalam-dalam. Jodha menunduk sebentar.
“Sebenarnya bukan apa-apa Tuan, hanya saja saya tidak ingin Tuan tahu kalau saya kesini.”
“Kenapa?” tanya Jalal dengan heran, “apa alasannya?” Jodha tersenyum.
“Saya hanya tidak ingin tuan merasa malu berteman dengan saya, karena teman-teman saya bukan dari kalangan orang kaya seperti Tuan.” Jawab Jodha pelan. Jalal tersenyum dan menggeleng.
“Kamu salah Nem, aku suka kok berada disini. Semua terlihat apa adanya. Untuk pertama kalinya aku merasa betah di tempat seperti ini, dan orang-orangnya juga ramah nggak merasa rendah diri, apalagi Papi sama Mami. Aku salut sama mereka. Ternyata hati mereka mulia sekali.” Ucap Jalal menoleh ke arah Papi Josh yang sedang ngobrol bersama Mansingh dan beberapa orang anak lainnya. Sementara Nadia sepertinya sedang sibuk di dapur bersama Mami Ecam dan beberapa anak perempuan lainnya untuk mempersiapkan makan malam mereka.
“Iya Tuan, walaupun mereka seperti itu tapi hati mereka sangat penuh kasih sayang kepada kami.” Jalal mengangguk, tiba-tiba dia teringat sesuatu saat mereka masuk tadi.
“Oh ya Nem,” Jodha menatap tuan mudanya, “apa mereka menikah makanya dipanggil papi-mami?” bisik Jalal dengan sedikit takut.
Jodha yang sedang menatap tuan mudanya, bibirnya berkedut-kedut menahan geli. Kemudian dia menutup mulutnya menggunakan telapak tangan kanannya dan tertawa.
“Kenapa kamu tertawa Nem?” Jodha menggeleng sambil terus tertawa, “apa pertanyaanku salah?” tanya Jalal mulai kesal.
Jodha pun mulai berusaha mengendalikan tawanya, masih dengan menutup mulut menggunakan telapak tangannya dia mulai mengatur nafasnya pelan-pelan barulah dia melepaskan tangannya. Tetapi bibirnya masih menyunggingkan senyuman geli. Sejenak dia menggelengkan kepala ketika melihat tuan mudanya. Dia mendekatkan mulutnya dekat telinga Jalal dan berbisik.
“Mereka tidak menikah Tuan, tetapi mereka bersahabat. Mereka bertemu ketika sama-sama merantau ke kota ini. Mungkin karena merasa senasib akhirnya mereka kemana-mana selalu berdua. Mami Ecam itu di panggil Mami karena dia lebih cerewet dan lebih perhatian. Jadi bukan karena mereka sudah menikah makanya dipanggil seperti itu.” Kata Jodha pelan takut kedengaran Papi Josh yang duduk di dekat mereka berdua sambil tersenyum geli.
Oh, barulah Jalal mengerti maksudnya. Memang sih, diantara dua orang itu Mami Ecam memang lebih genit. Ah, sekali-sekali Jalal berniat ingin menggoda Mami Ecam. Kan, katanya dia sudah nggak doyan berondong lagi. Apa itu benar? Jalal jadi ingin tertawa sendiri mengingatnya.
“Eh, Nem nanti aku boleh mencoba menggoda Mamimu itu nggak?” tanya Jalal gantian mendekatkan mulutnya ke telinga Jodha sambil berbisik. Jodha terkekeh. Tuannya memang usil, tadi aja pucat dan gemetaran, kok sekarang malah pengen ngusilin. Dasar.
“Terserah Tuan, tapi kalau orangnya ngamuk jangan nyesal ya. Saya tidak mau ikut campur, Tuan tanggungjawab sendiri.”  Sahut Jodha kembali berbisik pelan.
“Oke.” Jawab Jalal sambil tersenyum lebar. Terbayang bagaimana lucunya nanti ekspresi Mama Ecam saat di goda olehnya.
“Oh iya Tuan, Abang Todar juga berasal dari sini.”
“Oh ya?” Jodha mengangguk.
“Bisa dibilang dia adalah anak  asuh pertama dari Papi dan Mami.” Jalal manggut-manggut, “sekarang agak jarang kesini karena kesibukannya di cafe, tapi sebagian gajinya dia berikan untuk keperluan anak-anak disini.”
“Oh...,” Jodha tersenyum, “kalau Abang Bayu? Nggak mungkinkan alumni dari sini juga?” Jodha tertawa.
“Ya nggaklah. Abang Bayu sama Nadia tahu tempat ini ketika bertemu dengan saya dulu. Dan saya dulu sering tidur dan tinggal disini, jadinya lama-lama mereka berdua akrab dengan papi mami dan juga Abang Todar.”
“Pantesan kalau begitu.”
“Pantas apa Tuan?”
“Nggak. Tadi sewaktu Abang Bayu sama Abang Todar bertemu dicafe, mereka berdua sangat akrab.” Jodha terkekeh.
“Jelas saja akrab Tuan, karena cafe dan semua yang ada disitu adalah usaha milik orang tuanya Abang Bayu. Abang Todar di minta untuk mengelolanya.” Kedua mata Jalal melebar.
“Jadi cafe itu milik orang tua Bayu dan Nadia ya?” ucap Jalal sambil mengangguk-angguk.
“Iya Tuan.”
Tiba-tiba saja terdengat tepukan tangan seperti orang sedang menangkap nyamuk. Serentak Jodha dan Jalal menoleh ke arah suara tepukan tadi. Ternyata Nadia sudah berdiri di tengah-tengah ruangan, posisinya seperti orang sedang mengincar nyamuk dan memukulnya menggunakan tangan.
Jodha dan Jalal memutar pandangannya sekeliling setelah melihat aksi Nadia tadi. Ternyata semua orang termasuk Mansingh dan Papi Josh sedang menatap mereka berdua dalam diam. Keduanya saling pandang.
“Kamu kenapa Nad?” tanya Jodha heran. Nadia menghentikan aksinya dan bersidekap sambil menatap mereka berdua.
“Nggak kok Jo, ini mau menangkap nyamuk. Kelihatannya sudah banyak yang teler banget saking banyaknya obat nyamuk disini.” Sindir Nadia. Rupanya  Jodha tidak mengerti. Tetapi Jalal sepertinya bisa menangkap sindiran Nadia, dia hanya tersenyum geli.
“Hah? Maksudmu?” Nadia memutar bola matanya.
“Masa gitu aja nggak ngerti sih Jo?” Jodha mengerutkan keningnya, “kamu nggak lihat apa semua yang ada diruangan ini jadi obat nyamuk kalian berdua. Kalau pacaran jangan disini dong. Kasihan yang jones nih. Mana bisik-bisik lagi.” Ucap Nadia blak-blakan, membuat wajah Jodha seketika berubah merah karena malu. Sedangkan Jalal hanya mesam-mesem saja. Jodha menyenggol tangan tuan mudanya itu dan mendelik. Bisa-bisanya disaat ketangkap basah seperti itu dia malah mesam-mesem seperti orang tidak bersalah.
“Maaf ya Nad, kamu jangan ngiri.” Nadia mencibir, “tapi kalau ngiri juga, tuh ada Abang Man. Dia pasti siap kok nemenin kamu.” Goda Jalal membuat gadis itu melotot. Jalal hanya terkekeh.
“Maaf saja. Aku nggak ngiri sama sekali. Makasih.” Sahut Nadia mulai sebal.
“Nggak usah malu Beb, buat ngakuin kalau kamu juga iri kan sama mereka?” goda mansingh menaik turunkan kedua alisnya sambil tersenyum. Nadia memasang ekspresi mau muntah melihatnya, Mansingh malah terkekeh, “ih, baby mah gitu. Abang kan serius suka sama kamu. Nanti kita bisa mesra-mesraan kayak Jodha sama Bang Bos itu. Bener deh, Abang janji.” Ucap Mansingh berdiri mendekati Nadia. Orang-orang yang mendengar ucapannya malah tertawa, membuat Nadia menjadi malu.
“Pi, tolongin Nadia dong Pi. Tuh orang ganggu terus.” Nadia menghindari Mansingh duduk disamping Papi Josh dan memeluk lengannya dengan manja. Papi Josh hanya terkekeh.
“Bencinya jangan gede-gede Nad, nanti malah jadi cinta loh.” Nadia cemberut, “dan lagi biasanya kalau dua orang laki-laki dan perempuan suka bertengkar, lama-lama bisa berjodoh beneran.” Ucap Papi Josh malah memanasi keadaan.
“Aamiiinnnn..., Pi.” Ucap Mansingh menengadahkan kedua tangannya layaknya orang yang sedang berdo’a sembari mengucapkan amin dan mengusapkan ke wajahnya, “ayo semua bantu aminkan.” Kata Mansingh kepada anak-anak yang ada disitu.
“AAMIIIIIIINNNN....” ucap anak-anak itu secara bersamaan. Jodha dan Jalal tertawa melihat aksi mereka. Namun Nadia malah semakin dongkol hatinya.
“Ish, Papi sama aja. Bukannya membela malah ngomporin.” Rajuk Nadia. Mulutnya cemberut, Papi Josh tertawa dan mengacak rambut gadis itu dengan gemas.
“Papi nggak ngomporin kok, kamunya aja yang mikirnya kayak gitu.” Nadia wajahnya semakin ditekuk. Jalal dan Jodha yang melihat hanya ikut menggelengkan kepala melihat mereka berdua.
Mansingh kembali duduk, namun dia mengambil tempat disamping Nadia sambil tersenyum senang. Membuat gadis itu jengkel setengah mati, walaupun begitu  dia tidak menghindar lagi. Capek juga menghindari terus dari laki-laki itu. Nadia bingung mencari cara untuk menghindarinya, seandainya pemuda itu mengganggunya dengan berbuat seperti berlaku kasar mungkin Nadia dengan mudah menghajarnya. Tetapi ini pemuda itu tidak berbuat macam-macam, hanya ucapan dan pandangannya yang membuat Nadia menjadi jengah.
“Hei semuanya eike mau ngasih pengumuman ye, anak-anak kecil dan gede, Papi, brondong-brondong ganteng,” ucap Mami Ecam yang tiba-tiba saja muncul dari pintu yang menghubungkan dapur sembari memberikan pengumuman dan menunjuk orang-orang satu persatu dengan gayanya yang kemayu, “ayo semuanya kita bersiap untuk makan malam bareng ya. Ingat, semuanya harus makan. Tidak boleh tidak. Oke? Yuk capcus deh.” Tubuh Mami Ecam walaupun agak gemuk namun gemulai itu melenggak-lenggok layaknya peragawati membuat Jalal dan Mansingh hampir meledak tertawanya. Tetapi bagi mereka yang ada dirumah itu dan juga buat Nadia dan Jodha hal itu adalah biasa saja, mereka menyambutnya hanya dengan tersenyum.
Tidak lama kemudian beberapa orang anak perempuan yang menjadi anak asuh Mami Ecam datang dari dapur membawakan makanan yang dibeli oleh Jodha dan Nadia tadi. Mami Ecam mengatur makanan tersebut dengan dibantu oleh anak-anak yang sedari tadi duduk di ruangan itu. Jalal merasa surprise  dengan keadaan seperti sekarang ini.
Satu persatu anak-anak mulai mengambil bungkusan nasi padang yang disediakan di atas piring. Meski dibungkus dengan kertas pembungkus namun tidak mengurangi rasa nikmat yang dirasakan. Jalal dan Mansingh terlihat kaku makan hanya dengan menggunakan tangan. Nadia dan Jodha tertawa melihat mereka berdua, karenanya tanpa diperintah kedua gadis itu mengambilkan sendok untuk mereka berdua makan.
Meskipun Nadia masih jengkel dengan Mansingh, namun dia tidak tega juga melihat pemuda itu kesulitan. Jadi, walaupun dengan wajah cemberut dia tetap menyerahkan sendok garpu kepada pemuda itu.
“Makasih Beb,”  ucap Mansingh dengan rasa gembira.
“Hm...” balas Nadia.
“Ternyata kamu perhatian juga sama Abang ya Beb. Abang tahu kamu memang gadis baik kok.” Kembali rayuan di lontarkan oleh Mansingh.
“Nggak usah banyak ngomong, makan saja.” Jawab Nadia, namun tak urung pipinya memerah juga. Dia segera memalingkan wajahnya untuk menyembunyikan rona merah itu, dan mulai berkonsentrasi dengan makanan yang ada dihadapannya. Namun, Mansingh sempat melihat sekilas kalau gadis itu tersipu. Sambil menyuapkan nasi ke mulutnya, Mansingh menyunggingkan senyum bahagia.
Sementara itu Jodha melihat tuan mudanya agak kesulitan memisahkan ikan dengan tulangnya, karena kebetulan nasi yang mereka belikan tidak semuanya berisi rendang, tetapi ada yang berisi ikan goreng atau yang dicampur. Tanpa diminta Jodha mengambil ikan goreng milik tuan mudanya dan dengan telaten dia memisahkan daging ikan goreng itu dengan tulangnya, kemudian daging ikan yang sudah bersih dari tulangnya di taruh di pinggiran kertas bungkus nasi Jalal.
Jalal tersenyum melihat perhatian Jodha kepadanya, tetapi juga kasihan. Gimana tidak, hanya untuk melayaninya gadis sampai melupakan makanannya sendiri.
“Udah Nem, kamu makan dulu gih.” Tolak Jalal melihat Jodha masih sibuk memisahkan tulang dan daging ikan untuknya. Jodha tersenyum.
“Nggak apa-apa Tuan. Ini tanggungjawab saya juga untuk melayani Tuan.” Ucap Jodha dengan tulus membuat Jalal tidak bisa berkata apa-apa lagi. Dia pun kembali menyuapkan makanan itu ke mulutnya sambil tersenyum dia melirik ke arah Jodha yang masih asyik dengan kegiatannya.
Selesai menyuapkan nasi ke mulutnya, Jalal mengambilkan sesendok nasi beserta daging ikan yang sudah dibersihkan dan menyodorkan ke arah jodha.
“Nem...,” Jodha menoleh, sesaat dia terdiam ketika melihat tuan mudanya menyodorkan nasi menggunakan sendok. Mulut Jalal pun masih mengunyah makanan yang ada di mulutnya. Tapi kemudian Jodha menggeleng.
“Nggak. Tuan makan aja dulu. Saya gampang kok sehabis ini.” Tolak Jodha dengan halus.
“Nggak bisa. Kita makan bareng, aku suapin. Ayolah, buka mulutnya.” Desak Jalal, tetapi Jodha tetap menggeleng.
“Inem...” Jalal menggeram kesal, susah banget di suruh makan. Akhirnya dengan wajah ditekuk Jodha pun membuka mulutnya menerima suapan dari tuan mudanya.
“Selalu maksa.” Gerutu Jodha disela-sela kunyahan mulutnya. Jalal hanya tersenyum mendengarnya. Dia kembali menyuapkan makanan kemulutnya, dan di selang-seling dia menyuapi Jodha menggunakan sendok yang sama.
Akhirnya makanan yang ada di bungkusan Jalal habis lebih cepat karena di makan berdua.
“Tuan masih laper?” tanya Jodha, Jalal mengangguk.
“Iya nih, belum kenyang.” Sahut Jalal tersenyum. Jodha menggeleng. Dia menyodorkan jatah nasi kepunyaannya.
“Nih, makan punya saya aja.” Jalal mengangguk. Dengan cepat dia mengambil bungkusan itu dan membukanya. Ternyata isinya sama seperti kepunyaan dia tadi.
“Nem,” Jodha menoleh.
“Ikan lagi.” Jawabnya sambil meringis.
“Artinya?” goda Jodha. Jalal memasang wajah memelas.
“Kayak tadi ya.” Jodha tersenyum. Tangannya menjulur mengambil ikan di bungkusan tuan mudanya dan kembali memisahkan tulang dengan dagingnya dan kemudian di letakkan kembali daging ikan yang bersih dari tulang-tulang kecil dipinggir bungkusan nasi Jalal.
“Makasih Nem,” ucap Jalal dengan gembira. Jodha mengangguk. Senyumnya masih menghias bibirnya.
Jalal menikmati kembali makanannya, dan dia kembali menyuapkan makanan itu ke mulut Jodha. Diselang-seling seperti tadi, walaupun Jodha sudah menolaknya. Tapi apadaya kekuasaan tetap di tangan Jalal yang membuatnya mau tidak mau harus menurut. Sampai akhirnya Jodha sudah tidak sanggup lagi menerima suapan makanan di mulutnya. Perutnya terasa sangat kenyang, dia mnggeleng ketika tuan mudanya menyuapkan kembali ke mulutnya.
“Benar Tuan, saya nggak sanggup lagi. Kenyang banget.” Kata Jodha menepuk perutnya.
“Bener?” Jodha mengangguk, “kamu nggak bohongkan?” Jodha berdecak.
“Gimana mau bohong Tuan, emang Tuan tadi nggak lihat berapa sendok nasi yang Tuan suapin ke mulut saya?” Jalal terkekeh melihat wajah kesal Jodha, “perut saya kan nggak sekaret perut Tuan.” Gerutu Jodha membuat Jalal semakin tergelak mendengarnya. Iya sih, rasanya hari ini dia makannya bernafsu sekali. Kayaknya laper terus bawaannya.
Akhirnya Jalal pun menghabiskan makanan itu sendirian, selesai makan Jodha menyodorkan segelas air sebagai penutup makannya.
“Makasih Nem.” Jodha mengangguk.
“Yaaahh, sudah selesai.”
 Tiba-tiba terdengar celetukan Nadia. Jodha dan Jalal mendongak ke arah Nadia. Nampak Mansingh memegang ponselnya ke arah mereka berdua untuk merekam kelakuan mereka tadi. Sementara kepala Nadia berada di belakang tubuh Mansingh dengan menyandarkan dagunya di bahu pemuda itu. Dia ikut memperhatikan video hasil rekaman Mansing tadi.
Sementara Papi Josh, Mami Ecam beserta anak-anak yang lain hanya tertawa cekikikan melihat mereka berdua yang sudah sadar kalau kepergok untuk yang kedua kalinya. Jalal dan Jodha saling pandang, sejurus kemudian tersenyum salah tingkah. Terlebih Jodha, wajahnya memerah karena tanpa sadar dia lupa kalau mereka berada ditempat yang banyak orang.
“Romantis sekali ya Beb?” tanya Mansingh kepada Nadia yang masih melihat video itu dari balik punggungnya. Nadia mengangguk, matanya tidak lepas dari benda yang ada ditangan Mansingh.
“Hm, iya. Sayang cuma sebentar.” Ucap Nadia sambil terkikik geli. Dia menutup mulutnya dengan telapak tangannya.
Jodha dan Jalal kembali saling pandang melihat Nadia dan Mansingh. Kok tumben mereka kali ini akur? Apa mereka berdua tadi melewatkan sesuatu?
“Kok tumben kalian akur?” tanya Jodha penasaran. Mereka berdua saling pandang sebentar sebelum akhirnya kembali terkikik geli.
“Kalau untuk kalian Mah, kami akur dan gencatan senjata.” Sahut Nadia. Mansingh hanya menggeleng-gelengkan kepalanya mendengar ucapan Nadia sambil tersenyum.
“Bisa gitu ya?” gumam Jodha.
“Ya bisalah Nem, merekakan pasangan aneh.” Sahut Jalal, “masa akur sama marah ada waktunya?” Jodha tertawa.
“Ada-ada saja.” Lanjutnya lagi.
“Nggak pengen lihat Jo? Bang Bos?” tanya Nadia kembali usil.
“Nggak ah, pasti malu-maluin hasilnya.” Jawab Jodha acuh. Dia membereskan hasil makan mereka berdua tadi.
“Siapa bilang malu-maluin? Bagus kok. Coba liat deh.” Paksa Nadia mengambil ponsel Man dari tangan pemiliknya dan menunjukkan kepada Jodha dan Jalal. Dengan terpaksa mereka berdua melihat hasil rekaman itu.
Semburat merah terlihat di wajah Jodha, rasanya ingin di benamkan wajahnya di bantal karena tidak ingin melihat rekaman tidak sengaja itu. Sungguh dia merasa malu sekali. Sikap mereka yang terlalu kelihatan berlebihan atau memang kedua makhluk itu yang terlalu usil. Entahlah, Jodha pusing sendiri memikirkannya. Dia hanya takut, tuan mudanya tidak enak hati dengan kejadian ini kepadanya. Dengan takut-takut Jodha melirik Jalal yang matanya masih tertuju pada ponsel Mansingh dengan bibir tersenyum geli.
Jodha menyenggol tangan tuan mudanya. Jalal menoleh dengan bibir masih tersenyum.
“Kenapa Nem?”
“Tuan kok malah senyum-senyum gitu sih? Kan malu Tuan.” Ucap Jodha dengan kepala menunduk.
“Kok malu Nem. Bagus kok. Ntar aku copy kan videonya, mau aku simpan di ponselku.” Dengan cepat Jodha menoleh ke arah tuan mudanya. Dia tidak habis pikir apa bagusnya video itu sampai harus disimpan. Dasar Nadia dan Man, sekali usil tetap usil. Gerutu Jodha dalam hati.
“Bagus apanya? Tapi terserah Tuan sajalah.” Kata Jodha beranjak dari duduknya meninggalkan Jalal yang masih memegang ponsel Mansingh untuk membantu Mami Ecam membereskan bekas makan mereka tadi di dapur bersama Nadia.
Anak-anak sudah mulai bubar dan masuk ke kamar mereka masing-masing untuk belajar, meskipun sebagian masih berada diruangan itu sambil mengerjakan kesibukan mereka.
Selesai membantu berberes di dapur, Jodha mengajak ketiga orang itu untuk pulang karena malam sudah mulai larut dan besok mereka sudah tenggelam dengan kesibukan mereka masing-masing.
“Mi, Pi, kami pulang ya.” Pamit Jodha memeluk mami Ecam.
“Iya Jo, hati-hati di jalan ya.” Jodha mengangguk, gantian Nadia yang memeluk mami Ecam, “eh, brondong-brondong ganteng Mami sering-sering main kesini ye cyin biar Mami awet muda.” Ucap mami Ecam mencolek genit dagu Jalal dan Mansingh. Mereka berdua hanya terkekeh.
“Apa hubungan mereka berdua dengan awet muda Mi?” tanya Nadia.
“Kan Mami bisa awet muda sering lihat yang segar-segar dan bening.” Jawab mami Ecam tersenyum genit.
“Katanya udah nggak doyan brondong, Mi?” tanya Nadia lagi.
“Ya Mami emang sudah nggak doyan sih, tapi kalo cuma ngeliatkan nggak salah dong. Mami juga punya mata kok buat lihat yang bagus-bagus.” Nadia tertawa terbahak-bahak.
“Kalau gitu, ambil aja Mi. Kami ikhlas kok. Apalagi yang ini...,” katanya sambil menepuk bahu Mansingh, “ikhlas lahir bathin Mi. Nggak usah dibalikin juga nggak apa-apa. Kekep aja di kamar Mi, biar dia nggak kabur. Hahaha...” ucap Nadia tanpa merasa bersalah membuat Mansingh melotot kepadanya. Nadia tertawa tidak peduli dengan tatapan Mansingh kepadanya.
“Kok gitu sih Beb, masa tega sih sama Abang? Bukannya tadi kita sudah akur?” ucap Mansingh dengan nada memelas. Semua yang mendengarnya tertawa melihat ekspresi Mansingh antara lucu dan kasihan.
“Kalau yang itu sih bila keadaan darurat aja Bang.” Sahut Nadai nyengir tanpa rasa berdosa, dengan tenang dia naik ke mobil tanpa menunggu yang lain. Mereka bertiga hanya menggelengkan kepala melihat sikap cuek Nadia.
“Yang sabar ya Man, memang begitulah orangnya. Dia tidak pernah berpura-pura baik atau berpura-pura bersikap manis kepada orang lain. Dia selalu apa adanya. Semoga kamu nggak ngambil hati dengan ucapan dan sikapnya itu ya.” Hibur Jodha kepada Mansingh. Pemuda itu terkekeh.
“Tenang saja Jo, justru sikap seperti itu yang aku suka. Tidak berpura-pura. Sehingga aku nggak perlu menduga-duga harus bagaimana untuk bersikap kepadanya.” Jodha tersenyum.
“Meski begitu, dia anak yang baik kok. Hatinya lembut nggak sekasar mulutnya, dan sikap manjanya itu karena dia anak bungsu dan juga keluarganya selalu memanjakannya  termasuk kami ini.” Jawab Jodha.
“Iya, aku tahu Jo. Makasih ya.” Jodha tersenyum dan mengangguk.
“Sama-sama Man, ayo kita pulang dulu.” Ajak Jodha. Setelah berpamitan dengan tuan rumah, mereka pun berjalan menuju mobil jeep Jalal untuk kembali pulang.
Jalan sangat ramai, mungkin karena hari libur berakhir sehingga arus lalu lintas menjadi padat merayap, dan Jodha masih menyupiri mobil Jalal.
Nadia kali ini tidak terlalu berisik seperti tadi. Mungkin karena terlalu capek akibat aktivitasnya selama seharian. Dia memeluk lututnya sambil memandang jalanan yang sesak. Matanya sudah mulai redup. Sepertinya dia mengantuk berat.
“Jo, masih lama ya sampainya?” keluhnya.
“Gimana lagi Nad, nggak lihat jalannya padat gini. Sabar ya. Kamu ngantuk ya?” tanya Jodha lembut.
“He’eh nih. Kangen sama kasurku Jo. Apa kabarnya dia di sana.” Sahut Nadia memiringkan kepalanya di atas lutut yang dipeluknya. Matanya mulai terpejam. Mereka bertiga hanya tertawa mendengar ucapannya Nadia.
“Tidur aja Beb, sini nyandar di bahu Abang biar tidurnya nyenyak.” Tawar Mansingh yang disampingnya. Nadia tidak menyahut.  Dia tertidur masih dengan memeluk lututnya. Rupanya dia kelelahan sekali.
Perlahan Mansingh membaringkan tubuh Nadia dengan kepala gadis itu berada di pangkuannya. Nadia bahkan tidak terbangun sama sekali ketika di baringkan oleh Mansingh. Jalal dan Jodha menoleh kebelakang. Mereka berdua tersenyum melihat Nadia yang tertidur di pangkuan Mansingh.
“Kalau tidur seperti ini dia terlihat polos sekali, tetapi kalau sudah bangun? Hm...” ucap Mansingh membelai rambut Nadia sambil tersenyum.
“Yah, begitulah Man. Anaknya aktif luar biasa, tetapi sikapnya cuek sekali. Hanya yang benar-benar memahami dia saja yang tidak mudah tersinggung terhadap sikap dan kata-katanya.” Sahut Jodha.
“Kayak kamu ya Nem?” tanya Jalal dengan matanya mengerling jahil. Jodha mendengus.
“Memangnya saya seperti itu ya Tuan?” Jalal terkekeh.
“Galaknya, judesnya, cuek dan cerewetnya sama, hanya Nadia lebih manja.” Jawab Jalal. Bibir Jodha maju beberapa centi dan memutarnya mendengar ucapan majikannya itu.
“Gitu ya? Saya galak ya?” Jalal mengangguk, tetapi tetap tersenyum, “tapi kenapa Tuan selalu mengikuti saya terus? Sudah tahu kalau saya galak. Hayoo...” balas Jodha. Jalal terdiam, bingung harus menjawab apa. Mansingh tertawa melihat sikap sahabatnya itu. Tangannya masih menyisiri rambut Nadia yang lembut itu.
“Jawab tuh Bos? Masa ditanya nggak mau jawab sih?” tanya Mansingh dari belakang.
“Nggak usah ikut campur deh Man. Urus aja gadismu itu.” Jawab Jalal dengan sebal, tetapi justru Mansingh terkekeh mendengarnya.
“Apa yang harus aku urus? Nyatanya babyku lagi enak tidur nih di pangkuanku.” Jawab Mansingh membuat Jalal tidak bisa berkata apa-apa lagi.
“Hayo Tuan jawab pertanyaan saya.” Kejar Jodha. Jalal menipiskan bibirnya sehingga membentuk garis lurus, berusaha untuk memberikan jawaban yang mungkin tidak membuatnya malu.
“Kamu benar ingin tahu Nem?” tanya Jalal menoleh ke arah Jodha yang menyetir pelan. Jodha mengangguk.
“Ya Benerlah. Masa saya becanda sih.”
“Hm, baiklah kalau gitu. Sehabis kita mengantar mereka aku akan jawab pertanyaan kamu ya. Hanya kita berdua.” Kening Jodha mengerut sebentar.
“Segitu pentingnya ya Tuan sampai harus hanya kita berdua saja?” Jalal mengangguk.
“Iya. Sangat penting Nem.”
“Baiklah kalau begitu.” Jawab Jodha pasrah. Mansingh yang duduk dibelakang Jalal hanya menggelengkan kepalanya mendengar ucapan sahabatnya itu.
Perlu waktu satu jam lebih lama untuk sampai di rumah Nadia daripada seharusnya.
“Beb, sudah sampai nih.” Kata Mansingh menggoncangkan bahu Nadia pelan.
“Hm...” gumam Nadia. Dia tidak terusik sedikit pun dari tidurnya.
“Gimana Man?” tanya Jodha. Mansingh menggeleng.
“Nggak kebangun Jo,” kata Mansingh mengangkat bahunya.
“Ya sudah kalau gitu, kamu gendong aja kedalam ya?” pinta Jodha. Tapi, Mansingh terlihat ragu-ragu.
“Tapi nanti bagaimana dengan orang rumah?” jodha tersenyum.
“Tenang aja Man, nggak apa-apa kok. Lagian bagaimana lagi orangnya tidur gitu.”
“Iya sih. Ya sudahlah kalau begitu.”
Jodha turun dan membukakan pintu mobil untuk Mansingh yang sudah dalam posisi menggendong tubuh Nadia di depan atau bridal style. Mereka berdua segera berjalan menuju rumah Nadia, sedangkan Jalal menunggu di mobil. Mansingh mengikuti langkah Jodha yang berjalan di depannya.
Dengan tenang Jodha menekan bell beberapa kali. Setelah menunggu agak lama pintu terbuka dan menampilkan sosok Abangnya Nadia, Bayu. Dia terlihat terkejut melihat Nadia dalam gendongan Mansingh. Bahkan Mansingh pun nampak gugup di pandangi oleh Bayu.
“Maaf Bang, tadi Nadia ketiduran di mobil. Ketika dibangunin dia nggak mau bangun, jadi mau nggak mau minta Man untuk menggendongnya. Nggak apa-apakan bang?” jelas Jodha. Bayu menganggu dan tersenyum.
“Iya, nggak apa-apa Jo.” Bayu berpaling ke arah Mansingh, “kamu bawa aja ke kamarnya Man, biar Jodha yang nganter.”
“Iya Bang.” Sahut Mansingh.
“Ayo Man, aku anter ke kamarnya Nadia.”
“Iya.”
Mansingh mengikuti langkah Jodha menuju kamar Nadia, sedangkan Bayu menunggu diruang tamu. Tidak sempat untuk Mansingh memperhatikan rumah Nadia, karena dia terlalu fokus dengan gadisnya itu. Meskipun tidak terlalu berat namun bila di angkat dalam kondisi agak lama pastilah terasa pegal. Apalagi kamar Nadia letaknya di lantai dua, lumayan menguras tenaga. Tetapi buat Mansingh, tak apalah demi cinta. Itu belum seberapa kalau hanya untuk menggendong saja. Perjuangan masih panjang pikirnya.
Jodha membuka pintu kamar Nadia, aroma lavender menyambut mereka dari dalam kamar yang di cat warna merah muda itu. Mansingh meletakkan dengan pelan-pelan tubuh Nadia agar dia tidak terbangun, dan memang gadis itu tidak terusik sama sekali. Jodha menyelimuti tubuh Nadia sampai dada dengan kasih sayang.
“Ayo Man, kita keluar.” Ajak Jodha.
“Sebentar Jo,” cegah Mansingh. Jodha menoleh ke arah Mansingh yang berjalan mendekati Nadia, kemudian pelan-pelan dia mengecup kening gadis itu.
“Tidur yang nyenyak ya Baby, istirahat. Biar besok kembali menjadi gadisku yang galak lagi.” Jodha tertawa mendengar ucapan Mansingh kepada Nadia. Ah,  dia teringat ketika dia juga pernah di gendong oleh tuan mudanya dan melakukan hal yang sama kepadanya seperti yang dilakukan Mansingh kepada Nadia, “Abang pergi dulu ya Beb, jangan lupa mimpikan Abang.” Kata Mansingh memandangi gadis itu sesaat sebelum akhirnya dia melangkah keluar dari kamar Nadia diikuti oleh Jodha.
Di ruang tengah mereka mereka bertemu dengan Salima istri Bayu beserta anaknya Rahim. Setelah berkenalan sebentar mereka pun pamit pulang, begitu juga dengan Bayu yang sedari tadi menunggu di ruang tamu.
Kini mereka bertiga sudah kembali dalam perjalanan mengantar Mansingh ke apartemennya. Kali ini giliran Jalal yang menyetir. Dia membulatkan tekadnya untuk mengutarakan isi hatinya kepada Jodha malam ini juga.
Sesampainya di depan apartemennya, sebelum turun dari mobil dia menepuk bahu Jalal sambil tersenyum untuk memberi semangat.
“Semangat ya Bos, kali ini nggak boleh gagal. Masa kalah sama aku sih.” Jalal mengangguk dan membalas menepuk punggung tangan Mansingh yang masih ada dipundaknya itu.
“Iya Man. Aku akan berusaha untuk mencobanya.” Ucap Jalal penuh semangat.
“Semoga sukses ya Bos, kabari aku kalau sudah sukses.” Ucap Mansingh mengedipkan sebelah matanya. Jalal terkekeh. Matanya melirik Jodha yang hanya diam mendengarkan pembicaraan mereka.
“Oke. Siplah.” Sahut Jalal mengacungkan jempolnya.
Sambil tertawa Mansingh turun dari jeep Jalal, dan pamitan dengan Jodha yang dibalas dengan anggukan dari gadis itu. Mansingh melambaikan tangannya ketika jeep Jalal berlalu dari hadapannya.
Sementara itu, Jalal membawa jeepnya terus ke suatu arah yang Jodha yakini menuju ke arah pantai. Pantai? Ngapain ke pantai malam-malam? pikir Jodha. Namun dia diam saja, bahkan ketika jeep itu berhenti di bibir pantai yang sepi itu Jodha masih terdiam.
Jalal turun dari jeepnya namun tidak mematikan mesinnya dan membiarkan lampu mobilnya menyala. Jalal duduk di atas kap mobil dan memandangi laut lepas. Dari kejauhan terlihat kelap-kelip lampu perahu nelayan yang mencari ikan.
Akhirnya Jodha pun turun dan menghampiri tuan mudanya itu, dia ikut naik dan duduk di kap jeep tersebut. Matanya ikut memandang lautan yang ada dihadapan mereka itu. Jodha mengeratkan jaketnya karena terpaan angin laut yang lumayan kencang.
“Kenapa kita kesini Tuan?” tanya Jodha tanpa mengalihkan pandangannya dari laut di depannya.
Jalal masih diam, namun dia menoleh kepada Jodha. Dia masih mengumpulkan segenap keberaniannya untuk mengutarakan perasaannya langsung. Jodha yang merasa tuan mudanya tidak menjawab, menoleh kearah Jalal membuat pemuda itu cepat-cepat kembali memandang laut lepas.
“Tuan...,” panggi Jodha pelan.
“Hm...” sahut Jalal tanpa menoleh.
“Tuan belum menjawab pertanyaan saya.” Jalal menghela nafas panjang, kedua tangannya dimasukkan ke kantong jaket yang di pakainya itu.
“Nem...”
“Ya...”
“A....aku...aku...ingin ngomong sesuatu sama kamu. Boleh?” Ucap Jalal dengan gugup. Jodha mengerutkan keningnya melihat majikannya gugup seperti itu. Tidak biasanya.
“Hm, boleh. Tuan mau ngomong apa?” tanya Jodha dengan dada yang semakin berdebar. Kira-kira Tuan mudanya ingin ngomong apa ya?
“Hm..., Aku... Cuma ingin bilang kalau aku..., aku...,” kata-kata itu terputus lagi, dan Jalal merutuki mulutnya yang tidak bisa lancar untuk berbicara.
“Tuan mau ngomong apa sih? Kok sepertinya gugup begitu? Disini nggak ada siapa-siapa loh Tuan. Biasanya Tuan nggak pernah gugup kalau sedang bicara sama saya?” ucap Jodha sambil terkekeh. Sebenarnya Jodha merasakan jantungnya berdebar semakin kencang. Dia sendiri tidak tahu kenapa. Apa mungkin ketularan tuan mudanya yang gugup itu kali ya?
“Hm, iya Nem. Aku juga nggak tau kenapa bisa gugup begini. Kamu gugup juga nggak Nem?” tanya Jalal setengah bercanda. Yah, siapa tahu dengan begini rasa gugupnya jadi berkurang.
“Gugup sih nggak Tuan, tapi jantung saya rasanya berdebar dengan kencang.” Jawab Jodha dengan polos, membuat Jalal tergelak mendengarnya. Baru kali ini dia menemukan orang sepolos gadis ini yang jujur mengatakan keadaannya, dan dialah Inemnya.
“Kok Tuan ketawa sih? Ucapan saya salah ya?” tanya Jodha mengerutkan keningnya. Jalal menggeleng, namun dia masih tertawa, “terus, lucunya dimana?” Jalal menghentikan tawanya dan mulai serius. Diambilnya tangan kanan Jodha, dan menempelkan telapak tangan gadis itu di dadanya persis dimana tempat jantungnya berada..
Jodha tidak mengerti apa yang dilakukan tuan mudanya itu, namun dia diam saja dan menurut ketika telapak tanannya menyentuh dada majikannya itu meski di halangi oleh baju yang dipakainya.
“Apa yang kamu rasakan Nem?” tanya Jalal lembut.  Jodha menatap wajah tuan mudanya.
“Kok sepertinya jantung Tuan juga berdetak kencang.” Jawab Jodha. Jalal tersenyum tipis.
“Seperti itukah rasanya jantungmu berdetak?” Jodha mengangguk pelan.
“Kenapa bisa sama ya Tuan? Dan kenapa juga saatnya bersamaan begini?”
“Aku juga tidak tahu Nem.”
“Oh...”
Jodha bermaksud menarik tangannya di dada tuan mudanya, namun Jalal menahannya dan masih menempelkan di dadanya.
“Tuan?”
“Nem, saat ini aku ingin mengakui sesuatu sama kamu.”
“Apa?”
Jalal menatap sepasang bola mata indah di hadapannya itu, sebelah tangannya menempel di pipi Jodha yang hanya mengerjap-ngerjapkan matanya menanti ucapan dari tuan mudanya, meski kini rasa debaran tadi seakan ingin membuncah dan meluap keluar. Ibu jari Jalal mengusap-ngusap lembut pipi halus milik Inem. Bibirnya tersenyum tipis.
“Sejak awal kita bertemu..., sebenarnya aku, sebenarnya aku suka sama kamu Nem.”
“Hah...”
“Iya. Dan..., dan jika saat itu aku marah-marah..., itu hanya karena ingin aku mendapatkan perhatianmu saja. Tapi, ternyata kamu nggak merasakan itu. Kamu malah membenciku.”
“Itu...”
“Iya, aku tahu. Aku memang manja, aku memang playboy dulunya, dan aku akui kalau memang suka berbuat sekehendak hati kepada orang lain. Tapi please, bantu aku untuk berubah Nem. Kamu sudah banyak membuka mataku selama ini.”
“Ma...ma...maksud Tuan apa?” tanya Jodha masih dengan perasaan yang tidak menentu.
Jalal menghembuskan nafas, dia memejamkan matanya untuk mengumpulkan semua keberaniannya dan mensugesti pikirannya agar bisa dengan mudah mengucapkan kalimat yang sangat berat itu.
Selang beberapa detik kemudian dia membuka matanya, Jodha masih menatapnya dengan penuh harap akan ucapan yang ingin di keluarkan dari mulut tuan mudanya itu.
“Nem, aku ingin minta ijin sama kamu.” Jodha semakin kebingungan.
“Ijin untuk apa Tuan?”
Untuk kedua kalinya Jalal menghembuskan nafasnya,
“Inem...ijinkan...AKU...CINTA...KAMU.” ucap Jalal dengan satu kali tarikan nafas, seperti orang mengucapkan ijab kabul. Dan saahhh...hahahaha...
Fiuh..., akhirnya Jalal menghembuskan nafas lega setelah mengucap kata-kata itu. Rasanya seperti memecahkan sebuah bisul yang sudah bernanah. Tegang, sakit, tapi legaaaa...
Waduh, serem amat yak cinta terpendam itu di ibaratkan sebuah bisul, yang semakin lama ditahan akan semakin bernanah dan sakit. Kini bisul itu telah pecah dan tinggal bagaimana nanti nasib bisulnya. Apakah akan mengering dan sembuh hilang tanpa bekas ataukah akan semakin parah? Semua tergantung jawaban dari gadis yang ada di depannya itu.


===Tbc===

Tidak ada komentar:

Posting Komentar