Note : jangan terlalu cepat
menilai buruk orang lain sebelum mengetahui bagaimana hati dan kepribadiaannya,
karena tak jarang penglihatan dan pendengaran sering tertipu oleh kejelekan
sehingga sesuatu bernilai tinggi dan berharga yang jauh lebih indah menjadi tidak terlihat dari
pandangan sekilas.
========0000=======
Jalal dan
Mansingh hanya bisa termangu melihat dua orang yang disebut Jodha dan seluruh
anak-anak ditempat itu dengan sebutan mami dan papi. Bagaimana tidak, dua orang
yang mereka sayang dan bahkan Bayu terlihat begitu bangga menyebutnya hanya
terlihat seperti seorang waria, dan berusia sekitar 50-an tahun. Namun, yang
menjadi pertanyaan di benak meraka berdua yaitu apakah kedua waria itu menikah
sampai mereka berdua di panggil dengan sebutan papi dan mami.
Satu orang
bertubuh tinggi besar, sedangkan yang satu lagi bertubuh agak pendek gemuk.
Keduanya meski berpenampilan seperti layaknya laki-laki lainnya namun tetap
saja tidak bisa menghilangkan gaya kemayu yang selaku menjadi ciri khas seorang
waria.
“Apa kabar
Pi?” tanya Jodha memeluk seseorang yang waria bertubuh besar itu.
“Kabar baik
sayang. Kamu gimana kabarnya juga?” Jodha tertawa.
“Ya, seperti
yang Papi lihat sekarang. Sehat kok Pi.”
“Syukurlah,
Papi senang mendengarnya.” Jodha melepaskan pelukannya, dan berganti dengan
Nadia. Giliran seorang waria yang bertubuh agak pendek yang dipeluk oleh Jodha.
“Mamiii...
aku kangen Mi.” Waria itu tertawa.
“Baru juga
seminggu nggak ketemu masa sudah kangen sih Jo?”
“Iya dong.
Biar satu hari juga kalau kangen tetap aja kangen namanya, apalagi satu
minggu.” Kata Jodha tidak mau kalah.
“Iya deh,
terserah kamu aja.” Jodha terkekeh.
“Kami bawa
oleh-oleh kesenangan Mami sama Papi tuh, titipan Abang Bayu.”
“Oh ya?
Apa?”
“Nasi padang
lengkap sama rendangnya.”
“Kamu tau
aja sayang kesukaan Mami.” Kata waria itu dengan genit mencubit dagunya Jodha
membuat gadis itu tersenyum senang.
“Iya dong,
siapa dulu anak Mami sama Papi.” Waria itu menggeleng kepala sambil tersenyum,
Jodha melepaskan pelukannya, “oh ya Mi, Pi, kami bawa teman tuh.” Kata Jodha
menunjuk ke arah Jalal dan Mansingh yang masih bengong melihat mereka. Nadia
ikut tersenyum melihat ekspresi mereka berdua.
“Oh ya?
Teman darimana sayang?” tanya waria yang di panggil Papi. Jodha mendekati kedua
pemuda itu dan memegang tangan Jalal dan Mansingh serta membawanya mendekati kedua
waria itu.
“Yang ini
majikanku Pi, Mi. Namanya Tuan Jalal.” Kata Jodha menunjuk Jalal, “dan yang ini
temannya, namanya Mansingh.” Kata Jodha memperkenalkan mereka berdua, “Tuan,
Man, kenalkan ini Papi Hosyiar,” Jodha menunjukkan ke arah waria yang bertubuh
tinggi besar itu, “dan yang ini Mami Resham.” Jodha menunjukkan waria yang
bertubuh agak pendek gemuk itu.
“Hai
ganteng, kenalan yuk. Eike Mami Resham, biasa di panggil Mami Ecam.” Ujar
Resham mengulurkan tangannya ke arah Jalal sambil mengedip-ngedipkan matanya
dengan genit, Jalal dan Mansingh menelan ludah yang terasa berat melewati
tenggorokannya. Wajah keduanya mulai pucat. Jalal menyambut uluran tangan Mami
Ecam dan dengan cepat tubuh Jalal dipeluk dengan erat sampai pemuda itu agak
susah untuk bernafas. Jodha dan Nadia tertawa melihat Jalal kelabakan dalam
pelukan Mami Ecam. Hahaha...
“Mi, udah.
Bisa mati anak majikanku kalau terlalu erat meluknya gitu.” Ucap Jodha yang
merasa khawatir melihat tuan mudanya terlihat pucat. Namun Nadia hanya tertawa
terkekeh melihatnya. Akhirnya Mami Ecam pun melepaskan pelukannya. Jalal
menghembuskan nafas lega.
“Maaf ya
ganteng, Mami terlalu bersemangat deh meluknya.” Kata Mami Ecam mengusap-usap
pipi Jalal. Pemuda itu mengangguk dengan takut-takut.
“I...iya Mi,
nggak apa-apa.”
“Benar nggak
apa-apa?” tanya Mami Ecam dengan nada khawatir.
“Iya Benar
Mi, nggak apa-apa kok. Suer.” Jawab Jalal sambil tersenyum meringis dan
menampilkan jari telunjuk dan jari tengahnya. Jodha tersenyum melihatnya, namun
Nadia malah tertawa terkikik.
“Syukurlah
kalau gitu ganteng, nggak usah takut sama Mami ya. Mami kan udah jinak, dan
Mami udah nggak doyan brondong.” Jodha dan Nadia kembali terkekeh mendengar
ucapan Mami Ecam. Sedangkan Papi Hosyiar cuma tersenyum melihatnya.
“I...iya Mi,
iya.” Jawab Jalal setengah tergagap.
“Itu yang
satunya lagi Mi, sepertinya suka sama Mami.” Celetuk Nadia sambil tertawa
membuat Mansingh menoleh cepat ke arahnya dengan mata melotot dan dibalas Nadia
dengan meleletkan lidahnya.
Mami Ecam
berpaling kearah Mansingh. Pemuda itu hanya bisa pasrah menerima pelukan dari
Mami Ecam seperti halnya yang terjadi dengan Jalal sahabatnya.
“Aih, kamu
nggak kalah ganteng ya sama temanmu itu. Mami suka kalian berdua.” Ucap Mami
Ecam sambil mencium kedua pipi Mansingh yang hanya meringis tidak bisa berbuat
apa-apa. Sementara Nadia tertawa sampai terbungkuk sambil memegang perutnya
melihat ekspresi pemuda itu yang seperti sedang kebelet. Jodha hanya bisa
menggeleng kepala melihatnya.
“I..iya Mi,
aku juga suka kok Mi. Hee...”
“Kok cuma
cium di pipi sih Mi, nggak nyoba cium di bibir?” ucap Nadia ngompori lagi
disela-sela ketawanya. Mendengar itu wajah Mansingh langsung pucat. Tetapi
rupanya Mami Ecam tidak menanggapi ucapan Nadia yang provokator itu.
“Nggak ah,
Mami kan sudah bilang nggak doyan brondong lagi. Nggak usah di kompori lagi.”
Akhirnya
Mansingh pun secara tidak sadar menghembuskan nafas lega. Bisa bahaya kalau
benar Mami Ecam ingin mencium bibirnya. Bisa hilang keperjakaan bibirnya nanti,
mending kalau Nadia yang menciumnya pasti dengan senang hati dia memberikannya.
Mansingh tertawa dalam hati memikirkan pikiran konyolnya, apa itu mungkin?
Bisa-bisa bibirnya jontor kena tinju Nadia sebelum dia bisa menciumnya.
Hehehe....
Seorang
waria yang satunya lagi menyalami Jalal dan Mansingh namun tidak memeluknya,
walaupun tingkahnya kemayu tetapi dia bersikap seperti layaknya seorang
laki-laki. Tidak genit seperti Mami Ecam.
“Kalian bisa
panggil papi dengan sebutan Papi Josh. Oke?” kata Papi Josh menepuk pundak
keduanya. Mereka mengangguk.
“Iya, Pi.”
Papi Josh tertawa. Terasa sekali kalau sikapnya itu hangat, pantas Jodha bahkan
Bayu begitu menyayangi mereka.
“Ayo duduk
dulu, sekalian kita makan bareng ya.” Ajak Papi Josh kepada kedua tamunya itu,
karena Jodha dan Nadia sudah dianggap sebagai keluarga. Jalal dan Mansingh
mengikuti Papi Josh dan duduk di ruang tamu itu secara lesehan karena memang di
ruangan itu tidak tersedia kursi dan meja. Hanya sebuah karpet usang untuk
tempat duduk.
Di rumah
itu, terdapat beberapa kamar yang mirip kamar kos-kosan mahasiswa. Ruang tamu
terlihat luas dan terdapat beberapa anak-anak yang sibuk dengan kegiatannya sendiri, ada juga yang
menggerombol sembari ngobrol. Dinding ruang tamu tersebut di cat polos tanpa di
tempeli hiasan apa-apa kecuali sebuah kalender
gantung. Jalal memperhatikan dengan seksama rumah tersebut. Sederhana
namun terasa damai dan hangat. Seperti halnya orang-orang yang ada di dalamnya
itu. Tidak ada kesan acuh apalagi sombong
Papi Josh
memperkenalkan satu persatu anak-anak yang ada di tempat itu kepada Jalal dan
Mansingh. Ada sekitar 15 orang anak yang tinggal ditempat itu, sebagaian besar
mereka masih sekolah dan ada beberapa anak yang masih kuliah. Mereka semua
adalah anak-anak yang sudah tidak punya orang tua yang secara sukarela
ditampung oleh Papi dan Mami di tengah keterbatasan yang mereka miliki. Karena
Papi dan Mami hanya menggeluti pekerjaan sebagaimana umumnya yang dilakukan
oleh para waria lainnya yaitu membuka salon kecantikan. Dari hasil itulah yang
digunakan untuk kebutuhan mereka sehari-hari dan juga untuk biaya sekolah anak
asuhnya.
Tetapi
sebagian dari mereka, khususnya yang sudah sekolah menengah ke atas juga ikut
bekerja meskipun itu hanya pekerjaan sampingan selain sekolah. Bahkan Jalal dan
Mansingh melihat di sudut ruangan terdapat beberapa peralatan yang di gunakan
untuk melukis.
Jalal dan
Mansingh merasa mereka seperti sudah lama kenal dengan penghuni rumah itu,
karena sikap mereka yang bersahabat membuat keduanya merasa betah untuk tinggal
lebih lama disitu. Jodha mendatangi mereka dan duduk di samping Jalal. Dia
tersenyum melihat majikannya itu begitu senang.
“Gimana
Tuan? Inilah yang setiap hari minggu saya datangi sehabis latihan di dojo
bersama Nadia dan Abang Bayu.” Ucap Jodha sambil duduk bersila di dekat tuan
mudanya, Jalal ikut tersenyum.
“Yah, memang
bikin betah Nem tinggal disini. Suasananya hangat dan rame, nggak berasa
sendirian.” Jodha mengangguk.
“Tuan benar,
terkadang saya sampai hampir lupa untuk pulang.” Jawab Jodha sambil terkekeh.
“Pantas saja
kamu setiap hari minggu tidak pernah ada dirumah,” Jalal menoleh kearah Jodha,
“tapi kenapa kamu nggak pernah bilang setiap kali aku tanya Nem?” tanya Jalal
menatap Jodha dalam-dalam. Jodha menunduk sebentar.
“Sebenarnya
bukan apa-apa Tuan, hanya saja saya tidak ingin Tuan tahu kalau saya kesini.”
“Kenapa?”
tanya Jalal dengan heran, “apa alasannya?” Jodha tersenyum.
“Saya hanya
tidak ingin tuan merasa malu berteman dengan saya, karena teman-teman saya
bukan dari kalangan orang kaya seperti Tuan.” Jawab Jodha pelan. Jalal
tersenyum dan menggeleng.
“Kamu salah
Nem, aku suka kok berada disini. Semua terlihat apa adanya. Untuk pertama
kalinya aku merasa betah di tempat seperti ini, dan orang-orangnya juga ramah
nggak merasa rendah diri, apalagi Papi sama Mami. Aku salut sama mereka.
Ternyata hati mereka mulia sekali.” Ucap Jalal menoleh ke arah Papi Josh yang
sedang ngobrol bersama Mansingh dan beberapa orang anak lainnya. Sementara
Nadia sepertinya sedang sibuk di dapur bersama Mami Ecam dan beberapa anak
perempuan lainnya untuk mempersiapkan makan malam mereka.
“Iya Tuan,
walaupun mereka seperti itu tapi hati mereka sangat penuh kasih sayang kepada
kami.” Jalal mengangguk, tiba-tiba dia teringat sesuatu saat mereka masuk tadi.
“Oh ya Nem,”
Jodha menatap tuan mudanya, “apa mereka menikah makanya dipanggil papi-mami?”
bisik Jalal dengan sedikit takut.
Jodha yang
sedang menatap tuan mudanya, bibirnya berkedut-kedut menahan geli. Kemudian dia
menutup mulutnya menggunakan telapak tangan kanannya dan tertawa.
“Kenapa kamu
tertawa Nem?” Jodha menggeleng sambil terus tertawa, “apa pertanyaanku salah?”
tanya Jalal mulai kesal.
Jodha pun
mulai berusaha mengendalikan tawanya, masih dengan menutup mulut menggunakan
telapak tangannya dia mulai mengatur nafasnya pelan-pelan barulah dia
melepaskan tangannya. Tetapi bibirnya masih menyunggingkan senyuman geli.
Sejenak dia menggelengkan kepala ketika melihat tuan mudanya. Dia mendekatkan
mulutnya dekat telinga Jalal dan berbisik.
“Mereka
tidak menikah Tuan, tetapi mereka bersahabat. Mereka bertemu ketika sama-sama
merantau ke kota ini. Mungkin karena merasa senasib akhirnya mereka kemana-mana
selalu berdua. Mami Ecam itu di panggil Mami karena dia lebih cerewet dan lebih
perhatian. Jadi bukan karena mereka sudah menikah makanya dipanggil seperti
itu.” Kata Jodha pelan takut kedengaran Papi Josh yang duduk di dekat mereka
berdua sambil tersenyum geli.
Oh, barulah
Jalal mengerti maksudnya. Memang sih, diantara dua orang itu Mami Ecam memang
lebih genit. Ah, sekali-sekali Jalal berniat ingin menggoda Mami Ecam. Kan,
katanya dia sudah nggak doyan berondong lagi. Apa itu benar? Jalal jadi ingin
tertawa sendiri mengingatnya.
“Eh, Nem
nanti aku boleh mencoba menggoda Mamimu itu nggak?” tanya Jalal gantian
mendekatkan mulutnya ke telinga Jodha sambil berbisik. Jodha terkekeh. Tuannya
memang usil, tadi aja pucat dan gemetaran, kok sekarang malah pengen ngusilin.
Dasar.
“Terserah
Tuan, tapi kalau orangnya ngamuk jangan nyesal ya. Saya tidak mau ikut campur,
Tuan tanggungjawab sendiri.” Sahut Jodha
kembali berbisik pelan.
“Oke.” Jawab
Jalal sambil tersenyum lebar. Terbayang bagaimana lucunya nanti ekspresi Mama
Ecam saat di goda olehnya.
“Oh iya
Tuan, Abang Todar juga berasal dari sini.”
“Oh ya?”
Jodha mengangguk.
“Bisa
dibilang dia adalah anak asuh pertama
dari Papi dan Mami.” Jalal manggut-manggut, “sekarang agak jarang kesini karena
kesibukannya di cafe, tapi sebagian gajinya dia berikan untuk keperluan anak-anak
disini.”
“Oh...,”
Jodha tersenyum, “kalau Abang Bayu? Nggak mungkinkan alumni dari sini juga?”
Jodha tertawa.
“Ya
nggaklah. Abang Bayu sama Nadia tahu tempat ini ketika bertemu dengan saya
dulu. Dan saya dulu sering tidur dan tinggal disini, jadinya lama-lama mereka
berdua akrab dengan papi mami dan juga Abang Todar.”
“Pantesan
kalau begitu.”
“Pantas apa
Tuan?”
“Nggak. Tadi
sewaktu Abang Bayu sama Abang Todar bertemu dicafe, mereka berdua sangat
akrab.” Jodha terkekeh.
“Jelas saja
akrab Tuan, karena cafe dan semua yang ada disitu adalah usaha milik orang
tuanya Abang Bayu. Abang Todar di minta untuk mengelolanya.” Kedua mata Jalal
melebar.
“Jadi cafe
itu milik orang tua Bayu dan Nadia ya?” ucap Jalal sambil mengangguk-angguk.
“Iya Tuan.”
Tiba-tiba
saja terdengat tepukan tangan seperti orang sedang menangkap nyamuk. Serentak
Jodha dan Jalal menoleh ke arah suara tepukan tadi. Ternyata Nadia sudah
berdiri di tengah-tengah ruangan, posisinya seperti orang sedang mengincar
nyamuk dan memukulnya menggunakan tangan.
Jodha dan
Jalal memutar pandangannya sekeliling setelah melihat aksi Nadia tadi. Ternyata
semua orang termasuk Mansingh dan Papi Josh sedang menatap mereka berdua dalam
diam. Keduanya saling pandang.
“Kamu kenapa
Nad?” tanya Jodha heran. Nadia menghentikan aksinya dan bersidekap sambil
menatap mereka berdua.
“Nggak kok
Jo, ini mau menangkap nyamuk. Kelihatannya sudah banyak yang teler banget saking
banyaknya obat nyamuk disini.” Sindir Nadia. Rupanya Jodha tidak mengerti. Tetapi Jalal sepertinya
bisa menangkap sindiran Nadia, dia hanya tersenyum geli.
“Hah?
Maksudmu?” Nadia memutar bola matanya.
“Masa gitu
aja nggak ngerti sih Jo?” Jodha mengerutkan keningnya, “kamu nggak lihat apa
semua yang ada diruangan ini jadi obat nyamuk kalian berdua. Kalau pacaran
jangan disini dong. Kasihan yang jones nih. Mana bisik-bisik lagi.” Ucap Nadia
blak-blakan, membuat wajah Jodha seketika berubah merah karena malu. Sedangkan
Jalal hanya mesam-mesem saja. Jodha menyenggol tangan tuan mudanya itu dan
mendelik. Bisa-bisanya disaat ketangkap basah seperti itu dia malah mesam-mesem
seperti orang tidak bersalah.
“Maaf ya
Nad, kamu jangan ngiri.” Nadia mencibir, “tapi kalau ngiri juga, tuh ada Abang Man.
Dia pasti siap kok nemenin kamu.” Goda Jalal membuat gadis itu melotot. Jalal
hanya terkekeh.
“Maaf saja.
Aku nggak ngiri sama sekali. Makasih.” Sahut Nadia mulai sebal.
“Nggak usah
malu Beb, buat ngakuin kalau kamu juga iri kan sama mereka?” goda mansingh
menaik turunkan kedua alisnya sambil tersenyum. Nadia memasang ekspresi mau
muntah melihatnya, Mansingh malah terkekeh, “ih, baby mah gitu. Abang kan
serius suka sama kamu. Nanti kita bisa mesra-mesraan kayak Jodha sama Bang Bos
itu. Bener deh, Abang janji.” Ucap Mansingh berdiri mendekati Nadia.
Orang-orang yang mendengar ucapannya malah tertawa, membuat Nadia menjadi malu.
“Pi,
tolongin Nadia dong Pi. Tuh orang ganggu terus.” Nadia menghindari Mansingh
duduk disamping Papi Josh dan memeluk lengannya dengan manja. Papi Josh hanya
terkekeh.
“Bencinya
jangan gede-gede Nad, nanti malah jadi cinta loh.” Nadia cemberut, “dan lagi
biasanya kalau dua orang laki-laki dan perempuan suka bertengkar, lama-lama
bisa berjodoh beneran.” Ucap Papi Josh malah memanasi keadaan.
“Aamiiinnnn...,
Pi.” Ucap Mansingh menengadahkan kedua tangannya layaknya orang yang sedang
berdo’a sembari mengucapkan amin dan mengusapkan ke wajahnya, “ayo semua bantu
aminkan.” Kata Mansingh kepada anak-anak yang ada disitu.
“AAMIIIIIIINNNN....”
ucap anak-anak itu secara bersamaan. Jodha dan Jalal tertawa melihat aksi
mereka. Namun Nadia malah semakin dongkol hatinya.
“Ish, Papi
sama aja. Bukannya membela malah ngomporin.” Rajuk Nadia. Mulutnya cemberut,
Papi Josh tertawa dan mengacak rambut gadis itu dengan gemas.
“Papi nggak
ngomporin kok, kamunya aja yang mikirnya kayak gitu.” Nadia wajahnya semakin
ditekuk. Jalal dan Jodha yang melihat hanya ikut menggelengkan kepala melihat
mereka berdua.
Mansingh
kembali duduk, namun dia mengambil tempat disamping Nadia sambil tersenyum
senang. Membuat gadis itu jengkel setengah mati, walaupun begitu dia tidak menghindar lagi. Capek juga
menghindari terus dari laki-laki itu. Nadia bingung mencari cara untuk
menghindarinya, seandainya pemuda itu mengganggunya dengan berbuat seperti
berlaku kasar mungkin Nadia dengan mudah menghajarnya. Tetapi ini pemuda itu
tidak berbuat macam-macam, hanya ucapan dan pandangannya yang membuat Nadia
menjadi jengah.
“Hei
semuanya eike mau ngasih pengumuman ye, anak-anak kecil dan gede, Papi,
brondong-brondong ganteng,” ucap Mami Ecam yang tiba-tiba saja muncul dari
pintu yang menghubungkan dapur sembari memberikan pengumuman dan menunjuk
orang-orang satu persatu dengan gayanya yang kemayu, “ayo semuanya kita bersiap
untuk makan malam bareng ya. Ingat, semuanya harus makan. Tidak boleh tidak.
Oke? Yuk capcus deh.” Tubuh Mami Ecam walaupun agak gemuk namun gemulai itu
melenggak-lenggok layaknya peragawati membuat Jalal dan Mansingh hampir meledak
tertawanya. Tetapi bagi mereka yang ada dirumah itu dan juga buat Nadia dan
Jodha hal itu adalah biasa saja, mereka menyambutnya hanya dengan tersenyum.
Tidak lama
kemudian beberapa orang anak perempuan yang menjadi anak asuh Mami Ecam datang
dari dapur membawakan makanan yang dibeli oleh Jodha dan Nadia tadi. Mami Ecam
mengatur makanan tersebut dengan dibantu oleh anak-anak yang sedari tadi duduk
di ruangan itu. Jalal merasa surprise dengan keadaan seperti sekarang ini.
Satu persatu
anak-anak mulai mengambil bungkusan nasi padang yang disediakan di atas piring.
Meski dibungkus dengan kertas pembungkus namun tidak mengurangi rasa nikmat
yang dirasakan. Jalal dan Mansingh terlihat kaku makan hanya dengan menggunakan
tangan. Nadia dan Jodha tertawa melihat mereka berdua, karenanya tanpa
diperintah kedua gadis itu mengambilkan sendok untuk mereka berdua makan.
Meskipun
Nadia masih jengkel dengan Mansingh, namun dia tidak tega juga melihat pemuda
itu kesulitan. Jadi, walaupun dengan wajah cemberut dia tetap menyerahkan
sendok garpu kepada pemuda itu.
“Makasih
Beb,” ucap Mansingh dengan rasa gembira.
“Hm...”
balas Nadia.
“Ternyata
kamu perhatian juga sama Abang ya Beb. Abang tahu kamu memang gadis baik kok.”
Kembali rayuan di lontarkan oleh Mansingh.
“Nggak usah
banyak ngomong, makan saja.” Jawab Nadia, namun tak urung pipinya memerah juga.
Dia segera memalingkan wajahnya untuk menyembunyikan rona merah itu, dan mulai
berkonsentrasi dengan makanan yang ada dihadapannya. Namun, Mansingh sempat
melihat sekilas kalau gadis itu tersipu. Sambil menyuapkan nasi ke mulutnya,
Mansingh menyunggingkan senyum bahagia.
Sementara
itu Jodha melihat tuan mudanya agak kesulitan memisahkan ikan dengan tulangnya,
karena kebetulan nasi yang mereka belikan tidak semuanya berisi rendang, tetapi
ada yang berisi ikan goreng atau yang dicampur. Tanpa diminta Jodha mengambil
ikan goreng milik tuan mudanya dan dengan telaten dia memisahkan daging ikan
goreng itu dengan tulangnya, kemudian daging ikan yang sudah bersih dari
tulangnya di taruh di pinggiran kertas bungkus nasi Jalal.
Jalal
tersenyum melihat perhatian Jodha kepadanya, tetapi juga kasihan. Gimana tidak,
hanya untuk melayaninya gadis sampai melupakan makanannya sendiri.
“Udah Nem,
kamu makan dulu gih.” Tolak Jalal melihat Jodha masih sibuk memisahkan tulang
dan daging ikan untuknya. Jodha tersenyum.
“Nggak
apa-apa Tuan. Ini tanggungjawab saya juga untuk melayani Tuan.” Ucap Jodha
dengan tulus membuat Jalal tidak bisa berkata apa-apa lagi. Dia pun kembali
menyuapkan makanan itu ke mulutnya sambil tersenyum dia melirik ke arah Jodha
yang masih asyik dengan kegiatannya.
Selesai
menyuapkan nasi ke mulutnya, Jalal mengambilkan sesendok nasi beserta daging
ikan yang sudah dibersihkan dan menyodorkan ke arah jodha.
“Nem...,”
Jodha menoleh, sesaat dia terdiam ketika melihat tuan mudanya menyodorkan nasi
menggunakan sendok. Mulut Jalal pun masih mengunyah makanan yang ada di
mulutnya. Tapi kemudian Jodha menggeleng.
“Nggak. Tuan
makan aja dulu. Saya gampang kok sehabis ini.” Tolak Jodha dengan halus.
“Nggak bisa.
Kita makan bareng, aku suapin. Ayolah, buka mulutnya.” Desak Jalal, tetapi
Jodha tetap menggeleng.
“Inem...”
Jalal menggeram kesal, susah banget di suruh makan. Akhirnya dengan wajah
ditekuk Jodha pun membuka mulutnya menerima suapan dari tuan mudanya.
“Selalu
maksa.” Gerutu Jodha disela-sela kunyahan mulutnya. Jalal hanya tersenyum
mendengarnya. Dia kembali menyuapkan makanan kemulutnya, dan di selang-seling
dia menyuapi Jodha menggunakan sendok yang sama.
Akhirnya
makanan yang ada di bungkusan Jalal habis lebih cepat karena di makan berdua.
“Tuan masih
laper?” tanya Jodha, Jalal mengangguk.
“Iya nih,
belum kenyang.” Sahut Jalal tersenyum. Jodha menggeleng. Dia menyodorkan jatah
nasi kepunyaannya.
“Nih, makan
punya saya aja.” Jalal mengangguk. Dengan cepat dia mengambil bungkusan itu dan
membukanya. Ternyata isinya sama seperti kepunyaan dia tadi.
“Nem,” Jodha
menoleh.
“Ikan lagi.”
Jawabnya sambil meringis.
“Artinya?”
goda Jodha. Jalal memasang wajah memelas.
“Kayak tadi
ya.” Jodha tersenyum. Tangannya menjulur mengambil ikan di bungkusan tuan
mudanya dan kembali memisahkan tulang dengan dagingnya dan kemudian di letakkan
kembali daging ikan yang bersih dari tulang-tulang kecil dipinggir bungkusan
nasi Jalal.
“Makasih
Nem,” ucap Jalal dengan gembira. Jodha mengangguk. Senyumnya masih menghias
bibirnya.
Jalal
menikmati kembali makanannya, dan dia kembali menyuapkan makanan itu ke mulut
Jodha. Diselang-seling seperti tadi, walaupun Jodha sudah menolaknya. Tapi
apadaya kekuasaan tetap di tangan Jalal yang membuatnya mau tidak mau harus
menurut. Sampai akhirnya Jodha sudah tidak sanggup lagi menerima suapan makanan
di mulutnya. Perutnya terasa sangat kenyang, dia mnggeleng ketika tuan mudanya
menyuapkan kembali ke mulutnya.
“Benar Tuan,
saya nggak sanggup lagi. Kenyang banget.” Kata Jodha menepuk perutnya.
“Bener?”
Jodha mengangguk, “kamu nggak bohongkan?” Jodha berdecak.
“Gimana mau
bohong Tuan, emang Tuan tadi nggak lihat berapa sendok nasi yang Tuan suapin ke
mulut saya?” Jalal terkekeh melihat wajah kesal Jodha, “perut saya kan nggak
sekaret perut Tuan.” Gerutu Jodha membuat Jalal semakin tergelak mendengarnya.
Iya sih, rasanya hari ini dia makannya bernafsu sekali. Kayaknya laper terus
bawaannya.
Akhirnya Jalal
pun menghabiskan makanan itu sendirian, selesai makan Jodha menyodorkan segelas
air sebagai penutup makannya.
“Makasih
Nem.” Jodha mengangguk.
“Yaaahh,
sudah selesai.”
Tiba-tiba terdengar celetukan Nadia. Jodha dan
Jalal mendongak ke arah Nadia. Nampak Mansingh memegang ponselnya ke arah
mereka berdua untuk merekam kelakuan mereka tadi. Sementara kepala Nadia berada
di belakang tubuh Mansingh dengan menyandarkan dagunya di bahu pemuda itu. Dia
ikut memperhatikan video hasil rekaman Mansing tadi.
Sementara
Papi Josh, Mami Ecam beserta anak-anak yang lain hanya tertawa cekikikan
melihat mereka berdua yang sudah sadar kalau kepergok untuk yang kedua kalinya.
Jalal dan Jodha saling pandang, sejurus kemudian tersenyum salah tingkah.
Terlebih Jodha, wajahnya memerah karena tanpa sadar dia lupa kalau mereka
berada ditempat yang banyak orang.
“Romantis
sekali ya Beb?” tanya Mansingh kepada Nadia yang masih melihat video itu dari
balik punggungnya. Nadia mengangguk, matanya tidak lepas dari benda yang ada
ditangan Mansingh.
“Hm, iya.
Sayang cuma sebentar.” Ucap Nadia sambil terkikik geli. Dia menutup mulutnya
dengan telapak tangannya.
Jodha dan
Jalal kembali saling pandang melihat Nadia dan Mansingh. Kok tumben mereka kali
ini akur? Apa mereka berdua tadi melewatkan sesuatu?
“Kok tumben
kalian akur?” tanya Jodha penasaran. Mereka berdua saling pandang sebentar
sebelum akhirnya kembali terkikik geli.
“Kalau untuk
kalian Mah, kami akur dan gencatan senjata.” Sahut Nadia. Mansingh hanya
menggeleng-gelengkan kepalanya mendengar ucapan Nadia sambil tersenyum.
“Bisa gitu
ya?” gumam Jodha.
“Ya bisalah
Nem, merekakan pasangan aneh.” Sahut Jalal, “masa akur sama marah ada
waktunya?” Jodha tertawa.
“Ada-ada
saja.” Lanjutnya lagi.
“Nggak
pengen lihat Jo? Bang Bos?” tanya Nadia kembali usil.
“Nggak ah,
pasti malu-maluin hasilnya.” Jawab Jodha acuh. Dia membereskan hasil makan
mereka berdua tadi.
“Siapa
bilang malu-maluin? Bagus kok. Coba liat deh.” Paksa Nadia mengambil ponsel Man
dari tangan pemiliknya dan menunjukkan kepada Jodha dan Jalal. Dengan terpaksa
mereka berdua melihat hasil rekaman itu.
Semburat
merah terlihat di wajah Jodha, rasanya ingin di benamkan wajahnya di bantal
karena tidak ingin melihat rekaman tidak sengaja itu. Sungguh dia merasa malu
sekali. Sikap mereka yang terlalu kelihatan berlebihan atau memang kedua
makhluk itu yang terlalu usil. Entahlah, Jodha pusing sendiri memikirkannya.
Dia hanya takut, tuan mudanya tidak enak hati dengan kejadian ini kepadanya.
Dengan takut-takut Jodha melirik Jalal yang matanya masih tertuju pada ponsel
Mansingh dengan bibir tersenyum geli.
Jodha
menyenggol tangan tuan mudanya. Jalal menoleh dengan bibir masih tersenyum.
“Kenapa
Nem?”
“Tuan kok
malah senyum-senyum gitu sih? Kan malu Tuan.” Ucap Jodha dengan kepala
menunduk.
“Kok malu
Nem. Bagus kok. Ntar aku copy kan videonya, mau aku simpan di ponselku.” Dengan
cepat Jodha menoleh ke arah tuan mudanya. Dia tidak habis pikir apa bagusnya
video itu sampai harus disimpan. Dasar Nadia dan Man, sekali usil tetap usil.
Gerutu Jodha dalam hati.
“Bagus
apanya? Tapi terserah Tuan sajalah.” Kata Jodha beranjak dari duduknya
meninggalkan Jalal yang masih memegang ponsel Mansingh untuk membantu Mami Ecam
membereskan bekas makan mereka tadi di dapur bersama Nadia.
Anak-anak
sudah mulai bubar dan masuk ke kamar mereka masing-masing untuk belajar,
meskipun sebagian masih berada diruangan itu sambil mengerjakan kesibukan
mereka.
Selesai
membantu berberes di dapur, Jodha mengajak ketiga orang itu untuk pulang karena
malam sudah mulai larut dan besok mereka sudah tenggelam dengan kesibukan
mereka masing-masing.
“Mi, Pi,
kami pulang ya.” Pamit Jodha memeluk mami Ecam.
“Iya Jo,
hati-hati di jalan ya.” Jodha mengangguk, gantian Nadia yang memeluk mami Ecam,
“eh, brondong-brondong ganteng Mami sering-sering main kesini ye cyin biar Mami
awet muda.” Ucap mami Ecam mencolek genit dagu Jalal dan Mansingh. Mereka
berdua hanya terkekeh.
“Apa
hubungan mereka berdua dengan awet muda Mi?” tanya Nadia.
“Kan Mami
bisa awet muda sering lihat yang segar-segar dan bening.” Jawab mami Ecam
tersenyum genit.
“Katanya
udah nggak doyan brondong, Mi?” tanya Nadia lagi.
“Ya Mami emang
sudah nggak doyan sih, tapi kalo cuma ngeliatkan nggak salah dong. Mami juga
punya mata kok buat lihat yang bagus-bagus.” Nadia
tertawa terbahak-bahak.
“Kalau gitu,
ambil aja Mi. Kami ikhlas kok. Apalagi yang ini...,” katanya sambil menepuk
bahu Mansingh, “ikhlas lahir bathin Mi. Nggak usah dibalikin juga nggak
apa-apa. Kekep aja di kamar Mi, biar dia nggak kabur. Hahaha...” ucap Nadia tanpa
merasa bersalah membuat Mansingh melotot kepadanya. Nadia tertawa tidak peduli
dengan tatapan Mansingh kepadanya.
“Kok gitu
sih Beb, masa tega sih sama Abang? Bukannya tadi kita sudah akur?” ucap
Mansingh dengan nada memelas. Semua yang mendengarnya tertawa melihat ekspresi
Mansingh antara lucu dan kasihan.
“Kalau yang
itu sih bila keadaan darurat aja Bang.” Sahut Nadai nyengir tanpa rasa berdosa,
dengan tenang dia naik ke mobil tanpa menunggu yang lain. Mereka bertiga hanya
menggelengkan kepala melihat sikap cuek Nadia.
“Yang sabar
ya Man, memang begitulah orangnya. Dia tidak pernah berpura-pura baik atau
berpura-pura bersikap manis kepada orang lain. Dia selalu apa adanya. Semoga
kamu nggak ngambil hati dengan ucapan dan sikapnya itu ya.” Hibur Jodha kepada
Mansingh. Pemuda itu terkekeh.
“Tenang saja
Jo, justru sikap seperti itu yang aku suka. Tidak berpura-pura. Sehingga aku
nggak perlu menduga-duga harus bagaimana untuk bersikap kepadanya.” Jodha
tersenyum.
“Meski
begitu, dia anak yang baik kok. Hatinya lembut nggak sekasar mulutnya, dan
sikap manjanya itu karena dia anak bungsu dan juga keluarganya selalu
memanjakannya termasuk kami ini.” Jawab
Jodha.
“Iya, aku
tahu Jo. Makasih ya.” Jodha tersenyum dan mengangguk.
“Sama-sama
Man, ayo kita pulang dulu.” Ajak Jodha. Setelah berpamitan dengan tuan rumah,
mereka pun berjalan menuju mobil jeep Jalal untuk kembali pulang.
Jalan sangat
ramai, mungkin karena hari libur berakhir sehingga arus lalu lintas menjadi
padat merayap, dan Jodha masih menyupiri mobil Jalal.
Nadia kali
ini tidak terlalu berisik seperti tadi. Mungkin karena terlalu capek akibat
aktivitasnya selama seharian. Dia memeluk lututnya sambil memandang jalanan
yang sesak. Matanya sudah mulai redup. Sepertinya dia mengantuk berat.
“Jo, masih
lama ya sampainya?” keluhnya.
“Gimana lagi
Nad, nggak lihat jalannya padat gini. Sabar ya. Kamu ngantuk ya?” tanya Jodha
lembut.
“He’eh nih.
Kangen sama kasurku Jo. Apa kabarnya dia di sana.” Sahut Nadia memiringkan
kepalanya di atas lutut yang dipeluknya. Matanya mulai terpejam. Mereka bertiga
hanya tertawa mendengar ucapannya Nadia.
“Tidur aja
Beb, sini nyandar di bahu Abang biar tidurnya nyenyak.” Tawar Mansingh yang
disampingnya. Nadia tidak menyahut. Dia
tertidur masih dengan memeluk lututnya. Rupanya dia kelelahan sekali.
Perlahan
Mansingh membaringkan tubuh Nadia dengan kepala gadis itu berada di
pangkuannya. Nadia bahkan tidak terbangun sama sekali ketika di baringkan oleh
Mansingh. Jalal dan Jodha menoleh kebelakang. Mereka berdua tersenyum melihat Nadia
yang tertidur di pangkuan Mansingh.
“Kalau tidur
seperti ini dia terlihat polos sekali, tetapi kalau sudah bangun? Hm...” ucap
Mansingh membelai rambut Nadia sambil tersenyum.
“Yah,
begitulah Man. Anaknya aktif luar biasa, tetapi sikapnya cuek sekali. Hanya
yang benar-benar memahami dia saja yang tidak mudah tersinggung terhadap sikap
dan kata-katanya.” Sahut Jodha.
“Kayak kamu
ya Nem?” tanya Jalal dengan matanya mengerling jahil. Jodha mendengus.
“Memangnya
saya seperti itu ya Tuan?” Jalal terkekeh.
“Galaknya,
judesnya, cuek dan cerewetnya sama, hanya Nadia lebih manja.” Jawab Jalal.
Bibir Jodha maju beberapa centi dan memutarnya mendengar ucapan majikannya itu.
“Gitu ya?
Saya galak ya?” Jalal mengangguk, tetapi tetap tersenyum, “tapi kenapa Tuan
selalu mengikuti saya terus? Sudah tahu kalau saya galak. Hayoo...” balas
Jodha. Jalal terdiam, bingung harus menjawab apa. Mansingh tertawa melihat
sikap sahabatnya itu. Tangannya masih menyisiri rambut Nadia yang lembut itu.
“Jawab tuh
Bos? Masa ditanya nggak mau jawab sih?” tanya Mansingh dari belakang.
“Nggak usah
ikut campur deh Man. Urus aja gadismu itu.” Jawab Jalal dengan sebal, tetapi
justru Mansingh terkekeh mendengarnya.
“Apa yang
harus aku urus? Nyatanya babyku lagi enak tidur nih di pangkuanku.” Jawab
Mansingh membuat Jalal tidak bisa berkata apa-apa lagi.
“Hayo Tuan
jawab pertanyaan saya.” Kejar Jodha. Jalal menipiskan bibirnya sehingga
membentuk garis lurus, berusaha untuk memberikan jawaban yang mungkin tidak
membuatnya malu.
“Kamu benar
ingin tahu Nem?” tanya Jalal menoleh ke arah Jodha yang menyetir pelan. Jodha
mengangguk.
“Ya
Benerlah. Masa saya becanda sih.”
“Hm, baiklah
kalau gitu. Sehabis kita mengantar mereka aku akan jawab pertanyaan kamu ya.
Hanya kita berdua.” Kening Jodha mengerut sebentar.
“Segitu
pentingnya ya Tuan sampai harus hanya kita berdua saja?” Jalal mengangguk.
“Iya. Sangat
penting Nem.”
“Baiklah
kalau begitu.” Jawab Jodha pasrah. Mansingh yang duduk dibelakang Jalal hanya
menggelengkan kepalanya mendengar ucapan sahabatnya itu.
Perlu waktu
satu jam lebih lama untuk sampai di rumah Nadia daripada seharusnya.
“Beb, sudah
sampai nih.” Kata Mansingh menggoncangkan bahu Nadia pelan.
“Hm...”
gumam Nadia. Dia tidak terusik sedikit pun dari tidurnya.
“Gimana
Man?” tanya Jodha. Mansingh menggeleng.
“Nggak
kebangun Jo,” kata Mansingh mengangkat bahunya.
“Ya sudah
kalau gitu, kamu gendong aja kedalam ya?” pinta Jodha. Tapi, Mansingh terlihat
ragu-ragu.
“Tapi nanti
bagaimana dengan orang rumah?” jodha tersenyum.
“Tenang aja
Man, nggak apa-apa kok. Lagian bagaimana lagi orangnya tidur gitu.”
“Iya sih. Ya
sudahlah kalau begitu.”
Jodha turun
dan membukakan pintu mobil untuk Mansingh yang sudah dalam posisi menggendong
tubuh Nadia di depan atau bridal style.
Mereka berdua segera berjalan menuju rumah Nadia, sedangkan Jalal menunggu di
mobil. Mansingh mengikuti langkah Jodha yang berjalan di depannya.
Dengan
tenang Jodha menekan bell beberapa kali. Setelah menunggu agak lama pintu
terbuka dan menampilkan sosok Abangnya Nadia, Bayu. Dia terlihat terkejut
melihat Nadia dalam gendongan Mansingh. Bahkan Mansingh pun nampak gugup di
pandangi oleh Bayu.
“Maaf Bang,
tadi Nadia ketiduran di mobil. Ketika dibangunin dia nggak mau bangun, jadi mau
nggak mau minta Man untuk menggendongnya. Nggak apa-apakan bang?” jelas Jodha.
Bayu menganggu dan tersenyum.
“Iya, nggak
apa-apa Jo.” Bayu berpaling ke arah Mansingh, “kamu bawa aja ke kamarnya Man,
biar Jodha yang nganter.”
“Iya Bang.”
Sahut Mansingh.
“Ayo Man,
aku anter ke kamarnya Nadia.”
“Iya.”
Mansingh
mengikuti langkah Jodha menuju kamar Nadia, sedangkan Bayu menunggu diruang
tamu. Tidak sempat untuk Mansingh memperhatikan rumah Nadia, karena dia terlalu
fokus dengan gadisnya itu. Meskipun tidak terlalu berat namun bila di angkat
dalam kondisi agak lama pastilah terasa pegal. Apalagi kamar Nadia letaknya di
lantai dua, lumayan menguras tenaga. Tetapi buat Mansingh, tak apalah demi
cinta. Itu belum seberapa kalau hanya untuk menggendong saja. Perjuangan masih
panjang pikirnya.
Jodha
membuka pintu kamar Nadia, aroma lavender menyambut mereka dari dalam kamar
yang di cat warna merah muda itu. Mansingh meletakkan dengan pelan-pelan tubuh
Nadia agar dia tidak terbangun, dan memang gadis itu tidak terusik sama sekali.
Jodha menyelimuti tubuh Nadia sampai dada dengan kasih sayang.
“Ayo Man,
kita keluar.” Ajak Jodha.
“Sebentar
Jo,” cegah Mansingh. Jodha menoleh ke arah Mansingh yang berjalan mendekati
Nadia, kemudian pelan-pelan dia mengecup kening gadis itu.
“Tidur yang
nyenyak ya Baby, istirahat. Biar besok kembali menjadi gadisku yang galak
lagi.” Jodha tertawa mendengar ucapan Mansingh kepada Nadia. Ah, dia teringat ketika dia juga pernah di
gendong oleh tuan mudanya dan melakukan hal yang sama kepadanya seperti yang
dilakukan Mansingh kepada Nadia, “Abang pergi dulu ya Beb, jangan lupa mimpikan
Abang.” Kata Mansingh memandangi gadis itu sesaat sebelum akhirnya dia
melangkah keluar dari kamar Nadia diikuti oleh Jodha.
Di ruang
tengah mereka mereka bertemu dengan Salima istri Bayu beserta anaknya Rahim.
Setelah berkenalan sebentar mereka pun pamit pulang, begitu juga dengan Bayu
yang sedari tadi menunggu di ruang tamu.
Kini mereka
bertiga sudah kembali dalam perjalanan mengantar Mansingh ke apartemennya. Kali
ini giliran Jalal yang menyetir. Dia membulatkan tekadnya untuk mengutarakan
isi hatinya kepada Jodha malam ini juga.
Sesampainya
di depan apartemennya, sebelum turun dari mobil dia menepuk bahu Jalal sambil
tersenyum untuk memberi semangat.
“Semangat ya
Bos, kali ini nggak boleh gagal. Masa kalah sama aku sih.” Jalal mengangguk dan
membalas menepuk punggung tangan Mansingh yang masih ada dipundaknya itu.
“Iya Man.
Aku akan berusaha untuk mencobanya.” Ucap Jalal penuh semangat.
“Semoga
sukses ya Bos, kabari aku kalau sudah sukses.” Ucap Mansingh mengedipkan
sebelah matanya. Jalal terkekeh. Matanya melirik Jodha yang hanya diam
mendengarkan pembicaraan mereka.
“Oke.
Siplah.” Sahut Jalal mengacungkan jempolnya.
Sambil
tertawa Mansingh turun dari jeep Jalal, dan pamitan dengan Jodha yang dibalas
dengan anggukan dari gadis itu. Mansingh melambaikan tangannya ketika jeep
Jalal berlalu dari hadapannya.
Sementara
itu, Jalal membawa jeepnya terus ke suatu arah yang Jodha yakini menuju ke arah
pantai. Pantai? Ngapain ke pantai malam-malam? pikir Jodha. Namun dia diam
saja, bahkan ketika jeep itu berhenti di bibir pantai yang sepi itu Jodha masih
terdiam.
Jalal turun
dari jeepnya namun tidak mematikan mesinnya dan membiarkan lampu mobilnya
menyala. Jalal duduk di atas kap mobil dan memandangi laut lepas. Dari kejauhan
terlihat kelap-kelip lampu perahu nelayan yang mencari ikan.
Akhirnya
Jodha pun turun dan menghampiri tuan mudanya itu, dia ikut naik dan duduk di
kap jeep tersebut. Matanya ikut memandang lautan yang ada dihadapan mereka itu.
Jodha mengeratkan jaketnya karena terpaan angin laut yang lumayan kencang.
“Kenapa kita
kesini Tuan?” tanya Jodha tanpa mengalihkan pandangannya dari laut di depannya.
Jalal masih
diam, namun dia menoleh kepada Jodha. Dia masih mengumpulkan segenap keberaniannya
untuk mengutarakan perasaannya langsung. Jodha yang merasa tuan mudanya tidak
menjawab, menoleh kearah Jalal membuat pemuda itu cepat-cepat kembali memandang
laut lepas.
“Tuan...,”
panggi Jodha pelan.
“Hm...”
sahut Jalal tanpa menoleh.
“Tuan belum menjawab
pertanyaan saya.” Jalal menghela nafas panjang, kedua tangannya dimasukkan ke
kantong jaket yang di pakainya itu.
“Nem...”
“Ya...”
“A....aku...aku...ingin
ngomong sesuatu sama kamu. Boleh?” Ucap Jalal dengan gugup. Jodha mengerutkan
keningnya melihat majikannya gugup seperti itu. Tidak biasanya.
“Hm, boleh.
Tuan mau ngomong apa?” tanya Jodha dengan dada yang semakin berdebar. Kira-kira
Tuan mudanya ingin ngomong apa ya?
“Hm...,
Aku... Cuma ingin bilang kalau aku..., aku...,” kata-kata itu terputus lagi,
dan Jalal merutuki mulutnya yang tidak bisa lancar untuk berbicara.
“Tuan mau
ngomong apa sih? Kok sepertinya gugup begitu? Disini nggak ada siapa-siapa loh
Tuan. Biasanya Tuan nggak pernah gugup kalau sedang bicara sama saya?” ucap
Jodha sambil terkekeh. Sebenarnya Jodha merasakan jantungnya berdebar semakin
kencang. Dia sendiri tidak tahu kenapa. Apa mungkin ketularan tuan mudanya yang
gugup itu kali ya?
“Hm, iya
Nem. Aku juga nggak tau kenapa bisa gugup begini. Kamu gugup juga nggak Nem?”
tanya Jalal setengah bercanda. Yah, siapa tahu dengan begini rasa gugupnya jadi
berkurang.
“Gugup sih
nggak Tuan, tapi jantung saya rasanya berdebar dengan kencang.” Jawab Jodha
dengan polos, membuat Jalal tergelak mendengarnya. Baru kali ini dia menemukan
orang sepolos gadis ini yang jujur mengatakan keadaannya, dan dialah Inemnya.
“Kok Tuan
ketawa sih? Ucapan saya salah ya?” tanya Jodha mengerutkan keningnya. Jalal
menggeleng, namun dia masih tertawa, “terus, lucunya dimana?” Jalal menghentikan
tawanya dan mulai serius. Diambilnya tangan kanan Jodha, dan menempelkan
telapak tangan gadis itu di dadanya persis dimana tempat jantungnya berada..
Jodha tidak
mengerti apa yang dilakukan tuan mudanya itu, namun dia diam saja dan menurut
ketika telapak tanannya menyentuh dada majikannya itu meski di halangi oleh
baju yang dipakainya.
“Apa yang
kamu rasakan Nem?” tanya Jalal lembut.
Jodha menatap wajah tuan mudanya.
“Kok
sepertinya jantung Tuan juga berdetak kencang.” Jawab Jodha. Jalal tersenyum
tipis.
“Seperti
itukah rasanya jantungmu berdetak?” Jodha mengangguk pelan.
“Kenapa bisa
sama ya Tuan? Dan kenapa juga saatnya bersamaan begini?”
“Aku juga
tidak tahu Nem.”
“Oh...”
Jodha
bermaksud menarik tangannya di dada tuan mudanya, namun Jalal menahannya dan
masih menempelkan di dadanya.
“Tuan?”
“Nem, saat
ini aku ingin mengakui sesuatu sama kamu.”
“Apa?”
Jalal
menatap sepasang bola mata indah di hadapannya itu, sebelah tangannya menempel
di pipi Jodha yang hanya mengerjap-ngerjapkan matanya menanti ucapan dari tuan
mudanya, meski kini rasa debaran tadi seakan ingin membuncah dan meluap keluar.
Ibu jari Jalal mengusap-ngusap lembut pipi halus milik Inem. Bibirnya tersenyum
tipis.
“Sejak awal
kita bertemu..., sebenarnya aku, sebenarnya aku suka sama kamu Nem.”
“Hah...”
“Iya. Dan...,
dan jika saat itu aku marah-marah..., itu hanya karena ingin aku mendapatkan
perhatianmu saja. Tapi, ternyata kamu nggak merasakan itu. Kamu malah
membenciku.”
“Itu...”
“Iya, aku
tahu. Aku memang manja, aku memang playboy dulunya, dan aku akui kalau memang
suka berbuat sekehendak hati kepada orang lain. Tapi please, bantu aku untuk berubah Nem. Kamu sudah banyak membuka
mataku selama ini.”
“Ma...ma...maksud
Tuan apa?” tanya Jodha masih dengan perasaan yang tidak menentu.
Jalal
menghembuskan nafas, dia memejamkan matanya untuk mengumpulkan semua
keberaniannya dan mensugesti pikirannya agar bisa dengan mudah mengucapkan
kalimat yang sangat berat itu.
Selang
beberapa detik kemudian dia membuka matanya, Jodha masih menatapnya dengan
penuh harap akan ucapan yang ingin di keluarkan dari mulut tuan mudanya itu.
“Nem, aku
ingin minta ijin sama kamu.” Jodha semakin kebingungan.
“Ijin untuk
apa Tuan?”
Untuk kedua
kalinya Jalal menghembuskan nafasnya,
“Inem...ijinkan...AKU...CINTA...KAMU.”
ucap Jalal dengan satu kali tarikan nafas, seperti orang mengucapkan ijab kabul.
Dan saahhh...hahahaha...
Fiuh...,
akhirnya Jalal menghembuskan nafas lega setelah mengucap kata-kata itu. Rasanya
seperti memecahkan sebuah bisul yang sudah bernanah. Tegang, sakit, tapi legaaaa...
Waduh, serem
amat yak cinta terpendam itu di ibaratkan sebuah bisul, yang semakin lama ditahan
akan semakin bernanah dan sakit. Kini bisul itu telah pecah dan tinggal bagaimana
nanti nasib bisulnya. Apakah akan mengering dan sembuh hilang tanpa bekas ataukah
akan semakin parah? Semua tergantung jawaban dari gadis yang ada di depannya
itu.
===Tbc===
Tidak ada komentar:
Posting Komentar