Menu

Jumat, 12 Februari 2016

BIARKAN AKU JATUH CINTA. PART. 26 (MAAF)


================000=================

“Apa maksudmu, Sur?” tanya Ruqaiyah dengan rasa terkejut masih dengan linangan air matanya. Surya tersenyum lembut kepadanya. Sedangkan Adam menatap Surya dengan tajam.
“Iya Ruq, mulai sekarang kamu adalah kekasihku. Dan aku janji dihadapan Kakakmu, kalau aku akan selalu ada untukmu dan akan selalu disampingmu dalam keadaan apapun.” Ucap Surya tanpa beban.
Ruqaiyah masih menatap Surya dengan pandangan tidak percaya. Tanpa dia sadari, air matanya berhenti mengalir. Pikirannya berkecamuk memikirkan ucapan Surya tadi. Apa maksudnya? Kenapa harus sekarang? Disaat-saat dia tidak punya apa-apa, dan keluarganya sedang dililit masalah. Apa dia tidak takut akan dibenci oleh teman-temannya.
“Tapii...?”
“Apa maksudmu, anak muda?” tanya Adam dengan tajam, “apa yang kau inginkan dengan mengakui adikku sebagai kekasihmu? Apa kau pikir aku dengan mudah mengijinkanmu mendekati adikku?” Surya masih tersenyum. Tidak tersirat sedikitpun rasa takut di wajahnya, meski tatapan Adam sangat mengintimidasi. Dalam hati Surya mengakui, meski disaat dia dalam keadaan tidak berdaya seperti saat ini, namun aura kesombongannya masih terlihat.
“Maaf, aku tidak punya maksud apa-apa. Aku mengatakan ini tulus dari dalam hatiku. Terserah Kakak mau menilaiku bagaimana.”
“Kakak?” Surya mengangguk.
“Iya. Karena kau adalah Kakaknya Ruq, maka akupun akan memanggilmu Kakak.”
“Tidak semudah itu anak muda. Aku tanya sekali lagi, APA TUJUANMU MENDEKATI ADIKKU?” bentak Adam, sampai Ruqaiyah sendiri terkejut mendengarnya. Namun Surya tidak bergeming. Masih dengan senyum tipisnya. Karena dia memang sudah tahu tentang sosok laki-laki di depannya itu dari kedua sahabatnya.
“Kakak?” Ruqaiyah memegang tangan kakaknya.
“Aku sudah bilang, kalau aku tidak punya tujuan apapun.” Wajah Adam mengeras.
“Kak, selama Kakak pergi selama empat hari itu, aku tinggal dirumahnya Surya Kak, dan..” ucapan Ruqaiyah terhenti.
Adam menggebrak meja dihadapannya, “Kurang ajar, kau memanfaatkan adikku. Apa yang sudah kau lakukan padanya?”
“Kakak. Semua tidak seperti apa yang Kakak pikirkan. Surya tidak melakukan apa-apa kepadaku Kak, dia justru menolongku.” Surya menatap tajam ke arah adiknya.
“Apa kamu bilang? Menolongmu?” Ruqaiyah mengangguk.
“Iya Kak.”
“Semudah itu kamu percaya kepada orang lain Ruq. Bukankah dulu aku pernah bilang, jangan pernah percaya orang yang lain, terlebih dia baru kamu kenal.” Kata Adam dengan menunjuk muka adiknya, sampai Ruqaiyah menangis diperlakukan seperti itu.
“Tapi aku percaya Surya tulus sama aku, Kak.” Isak Ruqaiyah. Adam mencibir sinis.
“Kamu bahkan lebih percaya orang lain yang baru kamu kenal, dibandingkan dengan Kakakmu sendiri yang bertahun-tahun bersamamu.” Dengus Adam, “apa karena sekarang Kakak sudah tidak punya apa-apa lagi, sehingga kamu lebih percaya padanya.” Tuduh Adam. Ruqaiyah menggeleng keras sambil menangis. Dia memegang tangan Adam, namun pria itu menepisnya, membuat Ruqaiyah semakin pilu.
“Tidak Kak, tidak seperti itu. Apapun keadaannya, Kakak adalah keluargaku satu-satunya yang paling aku sayang. Tapi aku juga tahu, kalau Surya memang tulus kepadaku Kak, ku mohon percayalah kepadaku.” Surya merengkuh tubuh Ruqaiyah yang bergetar itu. Hatinya ikut merasakan kepedihan. Sedangkan Adam hanya diam membatu melihat adiknya dipeluk Surya.
“Sekeras apa hatimu Kak, sampai tega memperlakukannya seperti ini? Dia yang mencemaskanmu setiap saat, yang selalu memikirkanmu, sampai hati Kakak menyakitinya? Dia sudah sangat tertekan, setidaknya berterima kasihlah karena dia menyayangimu, bukannya malah menuduhnya macam-macam. Kalau Kakak tidak percaya niat baikku, tidak masalah. Apa perlu sekarang juga aku nikahi dia agar Kakak percaya kalau aku akan menjaganya?” jengkel juga Surya melihat Adam seperti itu.
“Tidak perlu. Pulanglah kalian, tidak usah mengurusku. Aku akan mengatasinya sendiri.” Ucap Adam dengan dingin, dia berdiri dari tempat duduknya dan berbalik meninggalkan mereka berdua.
“Aku akan mencarikan pengacara untuk Kakak. Aku akan menolongmu Kak, aku akan berusaha.” Ucap Ruqaiyah dengan suara serak yang menghentikan langkah Adam. Masih dengan posisi membelakangi mereka berdua, dia menoleh.
“Mencari pengacara untuk menolongku? Kamu pikir jasa pengacara itu tidak dibayar? Dengan apa kamu akan membayarnya? Dengan tubuhmu?” ucap Adam dengan sinis. Hati Ruqaiyah terasa dirobek mendengar pertanyaan kakaknya. Begitu teganya dia.
“Kenapa bicara seperti itu Kak? Dia ini adikmu, adik kandungmu. Kenapa begitu teganya menuduhnya yang tidak-tidak? Bukannya memberi semangat malah semakin membuatnya terpuruk. Kakak macam apa itu?” bentak Surya. Sekarang dia tidak peduli lagi akan tata krama dan sopan santun. Adam tertawa sinis.
“Kalau begitu, silakan saja kamu bantu dia. Buktikan kepadanya kalau kamu memang pahlawan untuknya.” Ucap Adam masih dengan suara dingin langsung meninggalkan Surya dan Ruqaiyah.
“Kakaaak...”
“Sudah Ruq, Kakakmu mungkin lagi emosi sekarang dan ingin sendiri dulu untuk menenangkan diri. Besok kita datang lagi ya.” Hibur Surya sembari mengelus punggung Ruqaiyah. Hatinya iba melihat perempuan yang dipeluknya itu. Rasa ingin melindungi dan membantunya begitu besar dalam hatinya.
“Kenapa Kakakku begitu kejam padaku, Sur? Apa dia sudah tidak mengenalku lagi?”
“Stt,...jangan berkata begitu. Aku yakin, Kakakmu masih sangat menyayangimu. Sabarlah, saat ini dia pasti merasa  tertekan juga.” Ucap Surya dengan lembut, Ruqaiyah diam saja, masih dengan isakannya yang mulai berhenti, “kita pulang sekarang ya, jangan menangis lagi, tenangkan dirimu. Kita bicarakan lagi nanti dirumah.” Ruqaiyah mengangguk. Surya menghapus air matanya, dia hanya tersenyum tipis. Dia tidak tahu, kenapa pemuda itu begitu baik padanya. Terlepas hubungan mereka sebagai saudara angkat.
Keduanya keluar dari kantor polisi dimana Adam ditahan. Sepanjang perjalanan pulang, di mobil  Ruqaiyah hanya diam membisu. Dia menatap kedepan dengan tatapan kosong, berulangkali Surya meliriknya yang terus melamun.
“Ruq...” panggil Surya, namun Ruqaiyah tidak menjawab. Dia seolah tenggelam dalam dunianya sendiri. Baru setelah Surya menyentuh tangannya, dia tersentak dan menoleh ke arah Surya.
“I-iya.... ada apa Sur?”
“Kamu melamun?”
“Ng-nggak kok.”
“Kalau nggak melamun, kenapa waktu aku panggil kamu diam saja? Hm?” Ruqaiyah menghela nafas panjang, pandangannya kembali melihat kearah depan.
“Maafkan aku Sur, sudah merepotkanmu. Kenapa disaat aku merasa bahagia mendapatkan keluarga dan orang tua, masalah besar langsung menghampiri. Rasanya aku nggak kuat Sur, bahkan Kakakku sendiri melihat sinis kepadaku. Apa salahku sama dia?” sahut Ruqaiyah setengah melamun.
Surya segera menepikan mobilnya, dan memutar tubuhnya menghadap kearah perempuan itu. Digenggamnya kedua tangan Ruqaiyah.
“Kamu nggak sendiri Ruq, bukankah tadi aku sudah berjanji akan selalu bersamamu. Kalaupun kenapa masalah itu datang disaat kamu baru bahagia mendapatkan keluarga baru, bisa jadi Tuhan menunjukkan jalan kalau masih ada orang yang peduli sama kamu, untuk menguatkanmu disaat kamu tidak punya siapa-siapa dan butuh pegangan.” Ruqaiyah menatap kedua bola mata Surya yang begitu lembut menatapnya.
“Kenapa kamu dan keluargamu harus baik kepadaku Sur? Padahal kamu tahu sendiri, tidak ada untungnya buatmu, yang ada malah merepotkan saja.” Surya tersenyum sambil mengelus rambut Ruqaiyah dengan lembut.
“Kenapa harus repot-repot mencari alasan untuk itu? Kenapa tidak kita jalani saja, dan akan ada saatnya nanti kita tahu semua alasan itu.” Akhirnya Ruqaiyah tersenyum, meski hanya samar. Jawaban Surya sedikit melegakannya.
“Baiklah, tapi janji ya kamu tidak akan meningggalkanku.” Ucap Ruqaiyah, Surya mengangguk.
“Oke. Aku janji sama kamu, dan kamu bisa pegang janjiku. Janji seorang laki-laki sejati.” Sahut Surya mengedipkan sebelah matanya, sedikit menggoda Ruqaiyah agar perempuan itu tidak terlalu larut dalam kesedihan. Benar saja, Ruqaiyah tersipu malu diperlakukan seperti itu.
“Kamu bisa saja Sur, gombal tau.” Ucapnya memukul pelan tangan pemuda itu. Surya terkekeh, hatinya lega melihat perempuan itu tersenyum.
“Tapi kamu suka kan?” Ruqaiyah tersenyum dan menunduk, “kamu tau nggak Ruq, aku suka kamu yang begini. Terlihat begitu polos dan manis. Rasanya aku tidak percaya, kalau ini adalah Ruq yang juga ada dikampus. Kalau tidak mengenalmu langsung seperti ini aku pikir kamu kembar tapi tak sama.” Ruqaiyah tertawa pelan.
“Memangnya aku di kampus bagaimana menurutmu?” tanya Ruqaiyah dengan penasaran.
“Hm, menurutku Ruq yang dikampus terlalu sombong, selalu memakai topeng kemana-mana, dan selalu ingin menang sendiri.” Ruqaiyah tersenyum.
“Kalau diluar kampus?”
“Kalau seperti ini sih, lebih menarik dari yang ada dikampus. Terlihat apa adanya, dan bisa menyejukkan mata dan hati.” Kembali Ruqaiyah tersipu.
“Sudah ah, kamu bikin aku malu saja. Kita bicarakan yang lain saja ya.” Surya terkekeh, dia mengelus rambut Ruqaiyah sekali lagi sebelum akhinya dia menjalankan kembali mobilnya.
“Nanti aku minta Papa carikan pengacara untuk Kakakmu, meskipun mungkin tidak bisa membebaskan, setidaknya bisa untuk meringankan hukumannya. Jika memang benar apa yang dilakukan Kakakmu seperti yang dituduhkan oleh Jalal dan Jodha, semoga hukumannya bisa membuatnya sadar.” Ruqaiyah mengangguk.
“Iya Sur, semoga saja. Sebenarnya Kakak itu baik. Kepadaku juga perhatian, apapun yang aku minta, tidak pernah dia menolaknya. Tapi, entah kenapa sekarang dia berubah. Dan..., aku baru tahu kalau anak Pak Bharmal itu adalah Jodha. Sepertinya Kakakku sangat menyukai Jodha sampai  dia melakukan segala cara agar Pak Bharmal mau nyerahkan anaknya.”  Jelas Ruqaiyah.
Surya manggut-manggut mendengarnya. Ya memang persis seperti yang dikatakan kedua sahabatnya dulu, sepertinya Adam memang sengaja agar ayahnya Jodha tidak bisa membayar hutangnya, dengan begitu dia bisa mengambil Jodha sebagai gantinya. Namun rupanya Jodha tidak mau dan malah memilih kabur dari ayahnya. 
Sesampainya dirumah, Surya mengatakan maksudnya kepada orang tuanya. Yang sungguh tidak diduga oleh Ruqaiyah, kedua orang tua angkatnya itu dengan senang hati membantunya mencarikan pengacara untuk Adam. Dibalik kesedihannya, terselip kebahagiaan bahwa dia tidak sendiri.
“Makasih ya  Ma, Pa, sudah berkenan membantuku. Aku tidak tahu harus membalasnya dengan apa.” Ucap Ruqaiyah sambil memeluk Mama Lena ketika mereka sedang berkumpul diruang keluarga, Wanita itu tersenyum lembut.
“Kamu kan sudah menjadi anak Mama dan Papa, sudah seharusnya kami membantumu. Tidak usah memikirkan untuk membalasnya. Kami tidak mengharapkan semua itu. Kamu hadir dalam keluarga kami saja, itu sudah lebih dari cukup.” Sahut Mama Lena.
“Iya Kak, Kakak nggak usah memikirkan macam-macam. Aku senang kok punya Kakak perempuan, aku jadi punya teman.” Sahut Moti.
“Iya Dek, aku juga senang punya adik sepertimu.  Kakak sayang kamu Dek.” Ucap Ruqaiyah memeluk Moti. Keduanya berpelukan. Surya dan Papanya yang duduk dihadapan mereka ikut tersenyum. Di dalam hati Surya, dia berjanji akan menjaga senyum perempuan itu agar selalu menghias wajahnya.
“Ada baiknya, kamu  mewakili Kakakmu untuk meminta maaf kepada Jodha dan ayahnya, Ruq. Siapa tahu mereka berdua berkenan mencabut tuntutannya. Paling tidak bisa meringankan hukumannya.” Kata papanya Surya. Ruqaiyah dan Surya saling pandang.
“Ba-bagaimana kalau mereka tidak mau Pa?” Pak  Beny, papanya Surya tersenyum.
“Kan belum dicoba. Lagipula Jalal kan temannya Surya, mungkin saja dia mau membantunya untuk mendapatkan maaf dari Jodha.” Surya tertawa. Dia menggeleng, “kenapa Sur?” tanya papanya heran.
“Aku nggak yakin Pa. Malah menurutku nih ya, yang marah justru Jalal. Aku tahu sifatnya bagaimana. Kalau Jodha sih, aku yakin dia pasti mau memaafkan, tapi kalau Jalal? Entahlah. Apalagi ini menyangkut calon istrinya dan juga calon mertuanya.” Papanya Surya mengangguk-angguk. Moti terkekeh.
“Jadi aneh ya. Seharusnya Kak Jodha yang marah, tapi kenapa jadi Kak Jalal yang tidak mau memaafkan. Ckck...”  Moti berdecak.
“Kakak belum tahu Dek. Itu  menurut Kakak saja. Karena bila melihat sifat mereka  berdua selama ini, aku bisa menilainya. Tapi, apa salahnya dicoba. Kan kita belum tahu hasilnya bagaimana. Ya kan?” kedua orang tua Surya mengangguk. Sementara Ruqaiyah hanya memandang Surya dengan tatapan tidak yakin. Namun dia bisa apa selain mengikuti  saran Surya. Demi kakaknya.
“Iya Ruq, kamu tenang saja. Yang penting  kita mencobanya dulu. Masalah hasilnya nanti, kita pasrah saja. Yang penting sekarang kita berusaha dulu ya.” Akhirnya Ruqaiyah mengangguk.
“Baiklah.”
***
Sementara itu rombongan Bayu sudah sampai di Jakarta. Setelah mengantarkan Bayu dan keluarganya kerumahnya, juga mengantarkan Mansingh kerumah orang tuanya,  Jalal dan Jodha sampai juga di rumah. Keduanya tersenyum lega. Kedua orang tua Jalal, menyambut mereka berdua dengan gembira.
“Akhirnya kalian datang juga sayang. Mama senang sekali.” Kata Bu Hamidah memeluk keduanya.
“Iya Ma, akhirnya sampai juga. Lumayan melelahkan sekali.” Sahut Jodha. Begitu sampai dirumah, calon ibu mertuanya itu langsung saja menempel  dengannya. Terlihat sekali kalau wanita itu rindu dengan mereka berdua. Pak Humayun saja sampai menggelengkan kepala melihatnya.
“Biarkan mereka istirahat dulu Ma. Kasihan tuh kelihatannya lelah sekali.” Bu Hamidah tertawa.
“Iya Pa, maaf ya sayang. Mama terlalu senang melihat kalian datang. Rumah sepi nggak ada kalian. Ya sudah kalian istirahat dulu. Nanti malam kita cerita lagi ya. Mama akan menyiapkan makan malam buat kita dulu.” Kata Bu Hamidah mengelus rambut Jodha. Gadis itu mengangguk.
“Iya Ma. Aku masuk dulu.”
“Iya. Sudah sana.” Jodha pun melangkah masuk kekamarnya. Sedangkan Jalal sudah terlebih dahulu masuk ke kamarnya. Kelihatannya dia memang benar-benar lelah, meskipun di dalam mobil bisa istirahat namun tidaklah senyaman istirahat di kamar sendiri. Lagipula mereka bertiga, bergantian untuk menyetir sehingga tidak bisa beristirahat dengan maksimal. Begitu selesai mandi, dia langsung membaringkan tubuhnya dan tidur.
Malam harinya.
“Jodha sayang...” panggil Bu Hamidah. Jodha mendekat calon mertuanya yang sedang mengatur meja makan.
“Ya Ma.”
“Panggil Jalal gih. Kita makan malam bersama. Dari tadi nggak turun-turun.” Pinta Bu Hamidah.
“Iya Ma. Mungkin ketiduran Ma, saking capeknya.” Sahut Jodha.
“Mungkin saja sayang. Tapi dia belum makan tuh. Ya sudah, panggil sana.” Jodha mengangguk. Dia melangkah kekamar mantan tuan mudanya dan sekarang menjadi calon suaminya. Jodha tersenyum membayangkan hal  itu. Di depan pintu, Jodha mengetuk beberapa kali namun tidak ada jawaban. Akhirnya perlahan dia memutar kenop pintu yang ternyata tidak dikunci tersebut.
Ternyata benar, kekasihnya itu sedang tidur dengan nyenyaknya dengan posisi telungkup. Tubuhnya menindih dan memeluk guling. Jodha menggelengkan kepala melihat keadaan pemuda itu. Memang dia terlihat capek sekali. Perlahan Jodha duduk di pinggir tempat tidur, tangannya mengguncang pelan tangan Jalal.
“Sayang, bangun.”  Panggil Jodha.
“Hm...” Jalal tidak bergeming. Kembali Jodha menggelengkan kepalanya.
“Sayang, dipanggil Mama tuh. Kita makan malam bareng. Ayo bangun.” Kata Jodha, menepuk pipi Jalal beberapa kali. Pemuda itu membuka matanya, sejenak dia menyipitkan matanya melihat kearah Jodha.
“Kenapa Sayang? Aku ngantuk banget nih. Nanti saja. Bilang sama mama dan papa, duluan saja.” Ucapnya dengan suara serak dan merubah posisi tidurnya menjadi membelakangi Jodha, meringkuk sambil memeluk guling. Jodha berdecak. Susah amat dibangunin. Namun dia tidak putus asa, kembali tangan Jalal diguncangnya lagi.
“Sayang, ayo bangun. Kamu belum makan loh sejak datang tadi. Makan dulu ya, baru habis itu dilanjutkan lagi tidurnya.” Bujuk Jodha.
“Hm...nanti saja Sayang. Aku janji ntar aku makan kok.” Balas Jalal tanpa membalikkan tubuhnya. Jodha menghela nafas panjang. Tiba-tiba terlintas ide di pikirannya. Memang sedikit memalukan sih, tetapi apa salahnya dicoba. Lagian tidak enak dengan calon mertuanya yang menyuruh untuk membangunkan anaknya.
Jodha menelan ludah beberapa kali. Baru ingin mengucapkan saja, tubuhnya merinding dan dadanya berdebar.  Memang susah sih kalau bukan kebiasaan, rasanya kaku banget. Tapi dia berusaha mencoba untuk mengucapkannya meski itu sulit.
“Ng...ci-cintaaa...kita makan bareng yuk, a-aku ingin makan malam bareng ka-kamu.” Ucap Jodha dengan tersendat-sendat dan tergagap. Rasanya wajahnya panas, badannya panas dingin seperti orang meriang dan sedikit berkeringat. Meski  akhirnya dia bisa mengucapkan kata-kata seperti itu, namun dia berharap pemuda itu tidak mendengar ucapannya.
Namun sayang, harapannya tidak terkabul. Jalal seperti tersengat listrik langsung membuka matanya dan berbalik memandang Inemnya yang tertunduk malu. Dia lupa akan kantuknya tadi. Dengan segera dia duduk dan menghadap gadis itu yang masih menunduk.
“Hah. Kamu bilang apa Sayang? Coba ulangi lagi?” tanyanya dengan bersemangat. Jodha menggeleng. Cukup sekali saja. Itu saja mengucapkannya, rasanya seperti  diserang demam, namun Jalal tidak menyerah, “ayo sayang, bilang sekali lagi. Aku ingin dengar. Ayolah, sekaliiii aja. Mau ya?” rengek Jalal seperti anak kecil. Dia memegang tangan Jodha dan menarik-nariknya, membuat gadis itu tertawa geli. Ya ampun, kata-kata seperti itu saja membuatnya bahagia bukan main.
“Ki-kita makan malam bareng ya ci-cintaa...”  ucap Jodha langsung  menutup wajahnya dengan telapak tangannya. Jalal terkekeh melihat aksinya seperti itu.
“Yes! Berhasil.” seru Jalal dengan senang, meski  dengan wajah bantal karena baru bangun tidur.
Perlahan Jalal menarik kedua tangan Jddha yang menutup mukanya dengan malu. Dia menunduk, wajahnya masih merah seperti tadi. Ujung jari Jalal menyentuh dagu Jodha dan mengangkatnya, Jodha mengikuti dan menatap wajah kekasih yang sedang tersenyum bahagia memandangnya. Meski baru bangun tidur, matanya masih merah, namun wajah tampannya terlihat semakin seksi saja. Jodha sampai harus menelan ludah melihatnya. Padahal dia tidak tahu kenapa harus seperti itu. Hanya mungkin naluri alaminya saja  yang membuatnya tidak sengaja menelan ludah, sedangkan hatinya tidak mengerti. Hahahaha....
“Tidak usah malu sayang. Aku kan calon suamimu, dan kamu harus membiasakan diri. Oke?”  Jodha mengangguk dan ikut tersenyum juga.
“Iya, aku akan berusaha lagi nanti.” Kembali Jalal tertawa.
“Baiklah. Aku tunggu ya. Ayo sekarang kita makan.” Ajaknya menarik tangan Jodha dan turun dari tempat tidur. Namun Jodha tidak segera mengikutinya, Jalal menoleh, “kenapa?” Jodha menunjuk wajah pemuda itu.
“Itu mukanya  nggak dicuci dulu? Masa bangun tidur langsung makan?” Jalal menepuk dahinya.
“Oh iya Sayang, aku lupa. Saking senangnya.”  Katanya sambil setengah berlari masuk kekamar mandi, meninggalkan Jodha yang berdecak melihat kelakuannya.  Tidak perlu waktu lama, dia sudah keluar dengan wajah segar. Dia kembali menarik lembut tangan Jodha yang masih duduk di pinggir tempat tidur dan menggandengnya keluar dari kamar menuju ruang makan, dimana kedua orang tuanya sudah menunggu.
“Malem Pa, Ma. Maaf sudah menunggu lama.” Sapa Jalal basa-basi, dia duduk dihadapan orang tuanya seperti biasa dan Jodha duduk disampingnya.
“Kamu capek banget ya Sayang? Sampai tidurnya lama begitu.” Tanya Bu Hamidah mengambilkan nasi untuk suaminya. Jalal mengangguk.
“Iya Ma, capek banget. Lagian kami gantian jadi supir. Makanya kurang istirahat di jalan.” Sahut Jalal menyuapkan makanannya. Jodha hanya diam saja. Kedua orang tuanya mengangguk, sambil meneruskan makannya. Suasana hening kembali. Hanya terdengar denting sendok dan garpu yang beradu dengan piring.
Setelah makan malam, mereka melanjutkan obrolannya di ruang keluarga. Jalal dan Jodha menceritakan perjalanan mereka sewaktu di Pacitan, serta pertemuan mereka dengan Adam. Tentu saja kedua orang tua Jalal sangat terkejut mendengarnya.
“Kok bisa kebetulan begitu sayang?”  tanya Bu Hamidah dengan rasa heran.
“Kami juga tidak tahu Ma, mungkin saja kalau kami terlambat, Ayah akan dibawa oleh mereka dan pasti dia akan meminta Jodha untuk menebusnya.”  Sahut Jalal.
“Ya syukurlah sekarang semuanya sudah baik-baik saja. Mama sama Papa lega mendengarnya, semuanya akan baik-baik saja.”
“Iya Ma, sekarang  dia sudah ditahan di kantor polisi untuk diproses. Bang Bayu menuntutnya dengan banyak tuntutan. Biar sekalian saja dia hidup dalam penjara. Kata Jalal dengan geram. Kedua orang tuanya mengangguk, namun Jodha hanya diam mendengarkan saja.
Terdengar bell rumah terdengar beberapa kali. Tidak lama kemudian, Bi Ijah datang menghampiri mereka berempat.
“Siapa Bi?” tanya Bu Hamidah.
“Itu Den Surya Nya, sama temannya kayaknya. Katanya ingin bertemu tuan muda dan Jodha.” Sahut Bi Ijah. Jalal mengerutkan keningnya, mereka berdua saling pandang.
“Malam-malam begini ingin bertemu denganku Bi?” Bi Ijah mengangguk.
“Iya Tuan.”
“Tumben malam-malam?” gumamnya, “temannya siapa Bi? Mansingh?” Bi Ijah menggeleng.
“Bukan Tuan. Seorang perempuan. Bibi juga tidak tahu, sepertinya belum pernah datang kemari.”
“Ya sudah temui saja Sayang. Siapa tahu ada urusan penting dengan kalian berdua.” Jalal mengangguk.
“Iya Ma. Ayo Sayang kita temui mereka.” Mereka berdua segera berdiri dan menemui Surya dan Ruqayah yang datang. Tangan Surya tampak menggenggam erat tangan Ruqaiyah yang nampak gugup. Jalal dan Jodha nampak terkejut melihat mereka berdua, apalagi melihat kedua tangan mereka saling menggenggam.
“Kalian? Tumben datang malam-malam? Dan...ada hubungan apa kalian berdua Sur? Kenapa aku baru melihat sekarang?” tanya Jalal duduk dihadapan mereka berdua, dan Jodha di sampingnya.
“Maaf Bos, sudah mengganggu istirahat kalian berdua. Aku ingin mengantarkan Ruq kesini, maaf kalau ini terlihat terburu-buru. Hanya saja, aku ingin dia segera menyelesaikan masalahnya secepatnya.” Jawab Surya, sedangkan Ruqaiyah hanya menunduk. Dia tidak berani menatap Jalal dan Jodha. Dalam hatinya terselip ketakutan, namun genggaman tangan Surya membangkitkan semangatnya. Jempol pemuda itu terus bergerak-gerak diatas atas punggung tangannya seolah membantu menguatkan tekadnya.
“Masalah?” Surya mengangguk, “masalah apa?” Surya menoleh kearah Ruqaiyah.
“Bicaralah Ruq, tenang saja, tidak usah takut.” Kata Surya memberi semangat. Ruqaiyah mengangguk. Dia memberanikan diri menatap Jalal dan Jodha bergantian. Mereka berdua juga menatapnya dengan wajah penasaran.
“A-aku ingin minta maaf.” Kata Ruqaiyah dengan gugup. Kening keduanya berkerut.
“Minta maaf?” Ruqaiyah mengangguk, “untuk apa dan kepada siapa?”
“Kepada Jodha.” Jodha terkejut.
“Minta maaf kepadaku?” kembali Ruqaiyah mengangguk, “maaf untuk apa?” Ruqaiyah menelan ludah yang terasa seret.
“Untuk Kakakku.”
“Kakakmu? Siapa?” tanya Jodha semakin penasaran.
“Kakakku Adam.”
Jalal dan Jodha terkejut bukan main, kedua saling berpandangan. Sementara genggaman tangan Ruqaiyah di tangan Surya semakin erat. Jelas sekali kalau dia begitu takut. Sesaat suasana hening.
“Apa maksudmu Ruq? Dan kamu mengatakan Kakakmu, Adam. Jangan becanda Ruq.” Tanya Jalal, Ruqaiyah menggeleng.
“Aku tidak becanda Jalal, aku sungguh-sungguh minta maaf atas nama Kakakku yang sudah menyakiti Jodha dan ayahnya.” Ucap Ruqaiyah sambil menunduk. Tiba-tiba saja emosi Jalal menjadi naik dia berdiri sambil menunjuk muka Ruqaiyah.
“Jadi kamu ini adiknya Adam yang brengsek itu? Dan kamu datang kerumahku untuk meminta maaf? Tidak akan semudah itu. Apa kau tidak tahu, kemarin saja di Pacitan dia hampir saja menyakiti calon mertuaku. Terlambat sedikit saja, ayahnya Jodha pasti akan disakiti olehnya. Dan kamu...seenaknya saja minta maaf untuknya? Jangan harap. Kalian berdua sama saja, kamu bahkan pernah menyakiti Jodha dan Kakakmu memeras ayahnya. Tega sekali kalian.” Ucap Jalal dengan emosi yang meluap. Dia marah sekali setelah tahu kenyataan yang sesungguhnya.
“Sayang tenanglah. Kendalikan emosimu.” Kata Jodha berusaha menenangkan kekasihnya. Dia mengusap-usap tangan Jalal untuk menyabarkannya, namun yang ada dia semakin marah. Jodha bukannya tidak marah mendengar ucapan Ruqaiyah, tetapi melihat penyesalan diwajahnya membuat dia tidak tega juga. Lagipula dia tidak salah, yang salah itu kakaknya. Dan dia hanya berusaha untuk membantu kakaknya.
“Tenang, tenang. Siapa yang harus tenang?” bentak Jalal kepada Jodha, membuat gadis itu terdiam. Percuma melawannya dalam kondisi marah. Yang ada akan masalah akan semakin runyam.
“A-aku tahu, aku dan Kakakku memang salah. Aku pernah menyakiti Jodha, dan aku minta maaf untuk itu. Maafkan aku Jodha.” Jodha mengangguk tulus, “aku hanya berusaha membantu Kakakku, di-dia saudaraku satu-satunya. Aku berharap kalian mencabut tuntutan kepadanya.”
“APA? Mencabut tuntutannya? JANGAN HARAP. Biarkan saja dia membusuk dipenjara, biar di tahu bagaimana rasanya disakiti dan diperlakukan dengan semena-mena.” Sahut Jalal masih dengan suara tinggi.
“Ta-tapi, bukankah semua harta yang kami miliki sudah kamu sita? Aku sudah tidak punya harta lagi selain Kakakku. Aku yakin dia tidak akan bisa berbuat apa-apa lagi. Please. Tolonglah.” Pinta Ruqaiyah dengan terisak. Namun Jalal tetap tidak bergeming.
“Sekali TIDAK, tetap TIDAK. Dan untukmu, jangan sekali-sekali memanfaatkan sahabatku untuk mempengaruhiku biar bisa membebaskan kakakmu. TIDAK AKAN BISA. Dan kamu Sur, untuk apa kamu membantunya? Bukankah kamu sudah tahu apa yang diperbuat oleh mereka berdua?” tuding Jalal kepada Surya. Surya tersenyum lembut, berusaha untuk tidak terpancing emosinya.
“Maaf Bos, aku membantu apa yang seharusnya aku bantu. Semua orang pasti pernah berbuat salah, siapapun. Termasuk kita. Dan semua orang juga berhak untuk mendapat kesempatan kedua agar bisa memperbaiki kesalahannya.” Sahut Surya dengan suara tenang.
“Tetapi tidak untuk mereka berdua. Mereka berdua tidak pantas untuk dikasihani. Dan kamu Sur, kenapa tidak memilih perempuan lain saja yang lebih baik dari dia. Biar saja mereka berdua hidup dijalan agar tidak semena-mena terhadap orang lain.” Akhirnya, terpancing juga emosi Surya.
“Lalu, setelah mereka berdua hidup dijalan dan menderita, hatimu akan puas? Begitu?” tanya Surya dengan sinis.
“Tentu saja. Itu hukuman yang pantas untuk mereka.” Surya berdecak. Dia menggeleng.
“Kalau begitu, apa bedanya Bos dengan mereka. Kejahatan dibalas kejahatan, dan dendam itu tidak akan ada habisnya. Pada akhirnya, hidup hanya akan dihabiskan untuk sebuah dendam yang sia-sia.” Jodha sudah mulai panik melihat aura ketegangan diantara kedua sahabat itu. Sama-sama mempertahankan argumennya masing-masing.
“Kenapa kamu begitu ngotot membelanya Sur, yang jelas-jelas bersalah. Bukannya membela aku sebagai sahabatmu sendiri. Dibayar berapa kamu untuk membelanya? Apa perlu aku ganti 10 kali lipat?” sindir Jalal. Surya tersenyum, setelah berusaha menenangkan hatinya.
“Maaf Bos, aku membantunya tulus, bukan dibayar. Dan satu lagi, Bos hanya melihat luarnya saja tidak pernah mencari tahu kenapa. Mereka berdua tidaklah seberuntung kita Bos, mereka berdua hanya korban yang pada akhirnya ikut terseret juga. Jadi, tolong berpikirlah Bos. Justru karena kita sahabat aku ingin menolongnya.” Jalal malah mencibir sinis.
“Baik kalau begitu. Sekarang kamu tinggal pilih, aku sahabatmu, atau mereka berdua?” tunjuk Jalal kepada Surya yang terhenyak mendengarnya, begitu juga kedua perempuan itu, “sekarang pergi dari sini, aku capek!” kata Jalal meninggalkan mereka bertiga yang masih bengong.
Sepeninggal Jalal, Jodha mendekati Ruqaiyah yang menangis terisak-isak. Surya nampak mengepalkan tangannya menahan emosinya. Jodha memeluk Ruqaiyah yang menangis tersebut. Tidak ada kemarahan sama sekali diwajahnya.
“Sabar ya Ruq, mungkin saat ini dia perlu waktu untuk berpikir dan menenangkan diri.” Ucap Jodha mengelus punggung Ruqaiyah.
“Maafkan aku Jodha, maafkan Kakakku. Dia memang bersalah, tetapi dia melakukan itu karena dia menyukaimu, dia tidak tahu harus melakukan apa karena kamu tidak bisa dibujuk dengan uang dan harta, karena itu dia berusaha menjebak ayahmu. Maafkan dia Jodha, maafkan dia.” Pinta Ruqaiyah sambil terus menangis, membuat Jodha semakin iba melihatnya.
“Jo, mereka berdua ini sedari kecil tidak pernah merasakan kehadiran orang tua. Mereka hidup berdua ditengah kerasnya kehidupan. Adam adalah satu-satunya keluarga yang dia punya. Kamu masih beruntung mempunyai bisa merasakan kasih sayang dan cinta dari orang tuamu, meski sekarang hanya tinggal ayahmu saja. Tapi Ruq dan kakakknya, sama sekali tidak punya itu. Dia tidak meminta agar Kakaknya dibebaskan, hanya kalau bisa tuntutannya yang banyak dicabut agar hukumannya dikurangi.” Jelas Surya, membuat hati Jodha terenyuh mendengarnya.
“Baiklah Sur, aku akan mencoba membujuknya. Mungkin sekarang tidak bisa, tapi besok akan aku usahakan. Iya waktu itu aku yang menghajar Adam sampai babak belur begitu. Aku minta maaf ya Ruq.” Ruqaiyah menggeleng.
“Tidak perlu minta maaf Jo, kamu tidak salah. Sudah seharusnya kamu marah, aku pun pasti seperti itu jika berada diposisimu. Tapi ku mohon jangan dendam sama Kakakku ya.” Pinta Ruqaiyah. Jodha tersenyum.
“Baiklah, aku yakin ayahku juga akan memaafkan Kakakmu. Karena itu tidak sepenuhnya salah Kakakmu, Ayahku juga yang memang mudah tergoda. Sekarang pulanglah dulu, aku usahakan untuk membujuknya ya.” Ruqaiyah mengangguk. Dia melepaskan pelukannya.
“Makasih ya Jodha. Surya benar. Kamu adalah gadis yang baik. Jalal pantas mendapatkanmu. Maafkan aku yang pernah menyakitimu dulu. Aku menyesal.” Jodha tersenyum kembali.
“Surya terlalu berlebihan Ruq, aku tidak sehebat itu. Aku hanya orang biasa saja, hanya saja aku berusaha agar tidak ada kebencian dalam hatiku, yang membuatku lupa untuk bersyukur.” Ruqaiyah mengangguk.
“Terima kasih ya, kuharap Jalal mau membuka pintu maafnya untuk Kakakku.” Jodha tersenyum dan mengangguk. Keduanya pun pamit, Jodha memandang punggung mereka berdua sambil menghela nafas panjang. Perjuangannya kali ini agak berat. Karena sebelumnya dia tidak pernah melihat kekasih itu marah besar seperti tadi. Tidak juga kemarin ketika berada di Pacitan.
Setelah dicari kesana kemari, ternyata Jalal duduk menyendiri di gazebo belakang rumah. Dia bersandar ditiang gazebo dengan telinga ditutupi dengan headset, matanya terpejam. Jodha menggelengkan kepala melihatnya. Dia duduk dihadapan pemuda itu dengan kaki yang masih menjuntai.
Jalal membuka matanya, ketika tangannya disentuh. Dihadapannya sudah duduk sosok cantik yang tersenyum manis. Seandainya hatinya tidak dalam keadaan jengkel dan marah, mungkin dia sudah gemas untuk merayunya. Tapi ini suasananya berbeda, diwajahnya tidak nampak kalau dia sedang marah. Jalal jadi keki sendiri. Ck.
“Apa?” tanya Jalal dengan ketus, tangannya melepas headset dari telinganya, Jodha hanya terkekeh mendengarnya, membuat pemuda itu berdecak.
“Masih marah?”
“Menurutmu?” Jodha tertawa, dia mengendikkan bahunya. Pandangannya beralih ke langit.
“Aku nggak pantas menghakimi mereka.”  Jalal mendengus kasar.
“Tapi mereka sudah menyakiti kamu dan ayahmu, Nem.”
Iya. Aku tau. Tapi ayah sudah kembali seperti dulu lagi, dan itu sudah cukup. Lagipula kalau mereka menyesali dan mau berubah, apa salahnya kan? Tidak baik menumpuk dendam lama-lama, bisa bikin penyakit.” Sahut Jodha menoleh kearah Jalal dan tersenyum.
“Kamu jadi orang kok  baik banget sih Sayang?” kata Jalal mencubit kedua pipinya dengan gemas, Jodha hanya mengerucutkan bibirnya.
“Nggak juga. Aku hanya tidak ingin menambah musuh saja.” Tiba-tiba Jodha merubah posisi duduknya jadi menghadap ke arah Jalal. Kedua tangannya menggenggam tangan pemuda itu. Tentu saja Jalal terheran-heran melihatnya. Tumben-tumben dia yang agresif kali ini, tidak pernah sebelumnya gadis ini menggenggam tangannya duluan. Pasti ada sesuatu nih, ada udang dibalik bakwan.
“Sayang, aku mau menagih janji.” Ucap Jodha dengan senyuman yang paling manis. Tuh kan, benar ada maunya.
“Janji apa Sayang?”
Masih ingatkan dulu waktu kita taruhan, kalau aku bisa membuat kamu nangis, kamu akan kabulkan permintaanku.” Jalal mengangguk.
“Lalu?”
“Hm...aku minta sekarang ya?” Jalal menatap Jodha dengan penuh selidik, sedang gadis itu hanya mesam-mesem saja, “boleh ya? Laki-laki sejati itu adalah orang yang suka menepati janji.” Ucap Jodha setengah memuji dan setengah meminta.
“Baiklah, aku akan mengabulkannya. Sekarang bilang, kamu ingin apa? Kalau aku bisa, aku akan memberikannya untukmu.”
“Aku yakin pasti bisa kok.”
“Yakin banget.” Dengus Jalal. Jodha mengangguk.
“Iyalah. Kan calon suamiku pasti orang yang menepati janji, aku tahu itu.” Kata Jodha dengan wajah memerah.
Gilaaaa...malam ini bibirnya penuh dengan kembang gula warna-warni, yang manis, ringan, dan menarik. Bukan dirinya banget, tetapi demi Ruqaiyah dan Surya, biarlah sesekali menjadi orang lain untuk membujuk kekasihnya itu agar luluh. Jalal menggelengkan kepala melihat Jodha seperti itu. Demi membantu orang lain, mau saja dia melakukan sesuatu yang dia tidak suka. Padahal coba kalau dia yang meminta gadisnya itu mengucapkan dengan suka rela, kayaknya nunggu lebaran monyet kali ya baru dia dengan senang hati  melakukan seperti itu.
“Kamu ini ya Nem, kalau buat nolong orang aja, kamu semangat sekali ngomong sayang, muji-muji. Coba kalau aku yang minta, harus dipaksa dulu, harus dimodusin dulu baru mau kayak gitu.” Jodha terkekeh.
“Kan aku sudah bilang, itu semua karena rasa. Rasa untuk kamu dan untuk mereka itu berbeda. Rasa untuk mereka sedikit makanya ringan, tapi untuk kamu rasa itu banyak makanya berat. Susah untuk dijelaskan. Pokoknya gitulah.”  Sahut Jodha kembali dengan wajah memerah.
Kira-kira kalau ada Nadia nih ya, bisa-bisa Jodha dikulitin dengan ledekannya. “Wah, ini benaran kamu Jo? Kok aku baru kenal?” Atau “bibir kamu kok seksi banget Jo, bisa ngomong kayak gitu?” Atau yang paling parah nih ya, “kamu habis operasi transgender sama Bang Bos ya Jo, kok bawelnya ketuker?” hahahahaha....
“Baiklah Sayang. Demi kamu, dan demi janjiku, apapun akan aku lakukan. Sekarang  katakan kamu ingin apa?” akhirnya Jalal luluh juga dengan kata-kata Jodha yang tidak biasa itu. Jodha tersenyum senang.
“Aku ingin kamu dan Bang Bayu menarik tuntutan untuk menyita rumah dan usaha Adam, dan juga meminta maaf atas kesalahpaham dengan Surya. Dia tidak salah, dia hanya membantu. Lagipula, apa salah salahnya kalau Surya bersama Ruqaiyah, siapa tahu dengan begitu Ruqaiyah bisa berubah lebih baik lagi. Masa persahabatan bertahun-tahun akan putus hanya karena masalah orang lain. Gimana?  Harus mau ya, karena ini janji, dan harus ditepati.” Ucap Jodha tanpa jeda, Jalal menghela nafas panjang. Ditatapnya wajah Jodha yang masih menunggu jawaban darinya. Inilah kekasihnya, calon istrinya. Seorang gadis yang berbeda dari yang lain, yang tidak sengaja ditemukan oleh mamanya, yang membuatnya tidak berkutik dihadapannya.
“Kok kamu nggak minta emas, berlian, perhiasan, rumah, atau pesiar keliling dunia sih sayang.” Jodha kembali tertawa.
“Kalau itu mah gampang saja, nggak usah diminta juga nanti akan dikasih, lagian punya mertua kaya raya begini, apa sih yang nggak akan dikasih. Hehehe...” sahut Jodha sambil terkekeh. Jalal menyentil keningnya karena gemas mendengar jawaban gadis itu. Jodha mengusap keningnya sambil cengengesan.
“Kamu ini, percaya diri sekali.” Jodha mengendikkan bahunya, “baiklah, kali ini aku akan kabulkan permintaan kamu. Nanti aku akan bicarakan dengan Bang Bayu, tetapi aku akan tetap menuntutnya karena telah menganiaya dan memeras ayah.” Jodha tersenyum dan mengangguk.
“Baiklah sayang, makasih ya. Gitu dong, baru namanya Tuan Muda yang baik hati dan tidak sombong.” Kata Jodha sambil  tertawa. Mau tidak mau Jalal juga ikut tertawa. Jodha lega, akhirnya dia akan melihat senyum Ruqaiyah dan Surya. Dia merasa kalau Surya menyukai perempuan itu.
“Karena aku sudah mengabulkan  permintaan kamu, sekarang aku minta upah.”
“Hah? Upah?” tanya Jodha heran, Jalal mengangguk, “kok gitu? Menepati janji malah minta upah. Gimana sih?” kata Jodha dengan sedikit kesal. Jalal terkekeh.
“Terserah aku dong, pokoknya aku tidak mau tahu. Aku minta upahnya sekarang, kalau tidak janjinya nggak jadi ditepati.” Ancam Jalal lengkap dengan seringaiannya, untung nggak lengkap dengan sambelnya. Bisa kepedesan tuh Jodha. Hehe...
“Bisa gitu?”
“Bisalah. Kayak kamu juga kan sayang, semua karena rasa. Kalau rasaku untuk orang lain itu ringan di hati tapi berat di bibir, tetapi untuk kamu, rasaku berat dihati tapi ringan di bibir.” Jodha terkekeh sambil menggelengkan kepalanya.
“Hm...baiklah kalau begitu. Mau minta upah apa Tuan?” Jalal tersenyum penuh kemenangan.
“Nggak banyak kok sayang, cuma disini...” Jalal menunjuk pipi kirinya, “disini...” dia menunjuk pipi kanannya, “dan disini...” dia menunjuk bibirnya. Seketika wajah Jodha memerah. Namun kemudian dia tersenyum jahil, meski samar. Dia mengangguk.
“Baiklah. Tapi, matanya dipejamkan ya. Aku malu kalau ditatap seperti itu. Bikin aku gugup saja.” Bujuk Jodha. Jalal mengangguk. Jodha bersorak dalam hatinya melihat pemuda itu mulai memejamkan matanya dan bersandar pada tiang gazebo. Perlahan Jodha beringsut  mendekati Jalal yang tersenyum senang dan pasrah itu, namun ketika sudah beberapa centi lagi wajah mereka, Jodha langsung turun dari gazebo dan berlari meninggalkan Jalal yang terperanjat ketika tahu kalau dia sudah dikerjain oleh gadis itu.
“INEM! Awas kamu ya. Berani-beraninya menipuku.” Teriak Jalal. Jodha yang hampir masuk pintu berbalik dan tertawa.
“Maaf ya Tuan, sudah malam. Ngantuk nih. Makasih atas janjinya. Selamat malam Sayang.” Kata Jodha melambaikan tangannya dengan senyum mengejek, kemudian melenggang masuk kerumah dengan santainya.
Meninggalkan Jalal yang mengomel panjang pendek karena sudah ditipu olehnya. Namun akhirnya  Jalal tersenyum juga mengingat semuanya tadi. Mengingat betapa manis gadisnya itu. Dia pun akhirnya melangkah masuk ke dalam rumah.


===tbc===

Tidak ada komentar:

Posting Komentar