================000=================
“Apa maksudmu, Sur?” tanya Ruqaiyah
dengan rasa terkejut masih dengan linangan air matanya. Surya tersenyum lembut kepadanya. Sedangkan
Adam menatap Surya dengan tajam.
“Iya Ruq, mulai sekarang kamu adalah
kekasihku. Dan aku janji dihadapan Kakakmu, kalau aku akan selalu ada untukmu
dan akan selalu disampingmu dalam keadaan apapun.” Ucap Surya tanpa beban.
Ruqaiyah masih menatap Surya dengan
pandangan tidak percaya. Tanpa dia sadari, air matanya berhenti mengalir. Pikirannya
berkecamuk memikirkan ucapan Surya tadi. Apa maksudnya? Kenapa harus sekarang?
Disaat-saat dia tidak punya apa-apa, dan keluarganya sedang dililit masalah. Apa
dia tidak takut akan dibenci oleh teman-temannya.
“Tapii...?”
“Apa maksudmu, anak muda?” tanya
Adam dengan tajam, “apa yang kau inginkan dengan mengakui adikku sebagai
kekasihmu? Apa kau pikir aku dengan mudah mengijinkanmu mendekati adikku?” Surya
masih tersenyum. Tidak tersirat sedikitpun rasa takut di wajahnya, meski
tatapan Adam sangat mengintimidasi.
Dalam hati Surya mengakui, meski disaat dia dalam keadaan tidak berdaya seperti
saat ini, namun aura kesombongannya masih terlihat.
“Maaf, aku tidak punya maksud
apa-apa. Aku mengatakan ini tulus dari dalam hatiku. Terserah Kakak mau
menilaiku bagaimana.”
“Kakak?” Surya mengangguk.
“Iya. Karena kau adalah Kakaknya
Ruq, maka akupun akan memanggilmu Kakak.”
“Tidak semudah itu anak muda. Aku
tanya sekali lagi, APA TUJUANMU MENDEKATI ADIKKU?” bentak Adam, sampai Ruqaiyah
sendiri terkejut mendengarnya. Namun Surya tidak bergeming. Masih dengan senyum
tipisnya. Karena dia memang sudah tahu tentang sosok laki-laki di depannya itu
dari kedua sahabatnya.
“Kakak?” Ruqaiyah memegang tangan kakaknya.
“Aku sudah bilang, kalau aku tidak
punya tujuan apapun.” Wajah Adam mengeras.
“Kak, selama Kakak pergi selama
empat hari itu, aku tinggal dirumahnya Surya Kak, dan..” ucapan Ruqaiyah
terhenti.
Adam menggebrak meja dihadapannya, “Kurang
ajar, kau memanfaatkan adikku. Apa yang sudah kau lakukan padanya?”
“Kakak. Semua tidak seperti apa yang
Kakak pikirkan. Surya tidak melakukan apa-apa kepadaku Kak, dia justru
menolongku.” Surya menatap tajam ke arah adiknya.
“Apa kamu bilang? Menolongmu?”
Ruqaiyah mengangguk.
“Iya Kak.”
“Semudah itu kamu percaya kepada
orang lain Ruq. Bukankah dulu aku pernah bilang, jangan pernah percaya orang
yang lain, terlebih dia baru kamu kenal.” Kata Adam dengan menunjuk muka
adiknya, sampai Ruqaiyah menangis diperlakukan seperti itu.
“Tapi aku percaya Surya tulus sama
aku, Kak.” Isak Ruqaiyah.
Adam mencibir sinis.
“Kamu bahkan lebih percaya orang
lain yang baru kamu kenal, dibandingkan dengan Kakakmu sendiri yang
bertahun-tahun bersamamu.” Dengus Adam, “apa karena sekarang Kakak sudah tidak
punya apa-apa lagi, sehingga kamu lebih percaya padanya.” Tuduh Adam. Ruqaiyah
menggeleng keras sambil menangis. Dia memegang tangan Adam, namun pria itu
menepisnya, membuat Ruqaiyah semakin pilu.
“Tidak Kak, tidak seperti itu.
Apapun keadaannya, Kakak adalah keluargaku satu-satunya yang paling aku sayang.
Tapi aku juga tahu, kalau Surya memang tulus kepadaku Kak, ku mohon percayalah
kepadaku.” Surya merengkuh tubuh Ruqaiyah yang bergetar itu. Hatinya ikut
merasakan kepedihan. Sedangkan Adam hanya diam membatu melihat adiknya dipeluk
Surya.
“Sekeras apa hatimu Kak, sampai tega
memperlakukannya seperti ini? Dia yang mencemaskanmu setiap saat, yang selalu
memikirkanmu, sampai hati Kakak menyakitinya? Dia sudah sangat tertekan,
setidaknya berterima kasihlah karena dia menyayangimu, bukannya malah
menuduhnya macam-macam. Kalau Kakak tidak percaya niat baikku, tidak masalah.
Apa perlu sekarang juga aku nikahi dia agar Kakak percaya kalau aku akan
menjaganya?” jengkel juga Surya melihat Adam seperti itu.
“Tidak perlu. Pulanglah kalian, tidak
usah mengurusku. Aku akan mengatasinya sendiri.” Ucap Adam dengan dingin, dia
berdiri dari tempat duduknya dan berbalik meninggalkan mereka berdua.
“Aku akan mencarikan pengacara untuk
Kakak. Aku akan menolongmu Kak, aku akan berusaha.” Ucap Ruqaiyah dengan suara
serak yang menghentikan langkah Adam. Masih dengan posisi membelakangi mereka
berdua, dia menoleh.
“Mencari pengacara untuk menolongku?
Kamu pikir jasa pengacara itu tidak dibayar? Dengan apa kamu akan membayarnya?
Dengan tubuhmu?” ucap Adam dengan sinis. Hati Ruqaiyah terasa dirobek mendengar
pertanyaan kakaknya. Begitu teganya dia.
“Kenapa bicara seperti itu Kak? Dia
ini adikmu, adik kandungmu. Kenapa begitu teganya menuduhnya yang tidak-tidak? Bukannya
memberi semangat malah semakin membuatnya terpuruk. Kakak macam apa itu?” bentak
Surya. Sekarang dia tidak peduli lagi akan tata krama dan sopan santun. Adam
tertawa sinis.
“Kalau begitu, silakan saja kamu
bantu dia. Buktikan kepadanya kalau kamu memang pahlawan untuknya.” Ucap Adam
masih dengan suara dingin langsung meninggalkan Surya dan Ruqaiyah.
“Kakaaak...”
“Sudah Ruq, Kakakmu mungkin lagi
emosi sekarang dan ingin sendiri dulu untuk menenangkan diri. Besok kita datang
lagi ya.” Hibur Surya sembari mengelus punggung Ruqaiyah. Hatinya iba melihat
perempuan yang dipeluknya itu. Rasa ingin melindungi dan membantunya begitu
besar dalam hatinya.
“Kenapa Kakakku begitu kejam padaku,
Sur? Apa dia sudah tidak mengenalku lagi?”
“Stt,...jangan berkata begitu. Aku
yakin, Kakakmu masih sangat menyayangimu. Sabarlah, saat ini dia pasti
merasa tertekan juga.” Ucap Surya dengan
lembut, Ruqaiyah diam saja, masih dengan isakannya yang mulai berhenti, “kita
pulang sekarang ya, jangan menangis lagi, tenangkan dirimu. Kita bicarakan lagi
nanti dirumah.” Ruqaiyah mengangguk. Surya menghapus air matanya, dia hanya
tersenyum tipis. Dia tidak tahu, kenapa pemuda itu begitu baik padanya.
Terlepas hubungan mereka sebagai saudara angkat.
Keduanya keluar dari kantor polisi
dimana Adam ditahan. Sepanjang perjalanan pulang, di mobil Ruqaiyah hanya diam membisu. Dia menatap
kedepan dengan tatapan kosong, berulangkali Surya meliriknya yang terus
melamun.
“Ruq...” panggil Surya, namun
Ruqaiyah tidak menjawab. Dia seolah tenggelam dalam dunianya sendiri. Baru
setelah Surya menyentuh tangannya, dia tersentak dan menoleh ke arah Surya.
“I-iya.... ada apa Sur?”
“Kamu melamun?”
“Ng-nggak kok.”
“Kalau nggak melamun, kenapa waktu
aku panggil kamu diam saja? Hm?” Ruqaiyah menghela nafas panjang, pandangannya
kembali melihat kearah depan.
“Maafkan aku Sur, sudah
merepotkanmu. Kenapa disaat aku merasa bahagia mendapatkan keluarga dan orang
tua, masalah besar langsung menghampiri. Rasanya aku nggak kuat Sur, bahkan
Kakakku sendiri melihat sinis kepadaku. Apa salahku sama dia?” sahut Ruqaiyah
setengah melamun.
Surya segera menepikan mobilnya, dan
memutar tubuhnya menghadap kearah perempuan itu. Digenggamnya kedua tangan
Ruqaiyah.
“Kamu nggak sendiri Ruq, bukankah
tadi aku sudah berjanji akan selalu bersamamu. Kalaupun kenapa masalah itu
datang disaat kamu baru bahagia mendapatkan keluarga baru, bisa jadi Tuhan
menunjukkan jalan kalau masih ada orang yang peduli sama kamu, untuk
menguatkanmu disaat kamu tidak punya siapa-siapa dan butuh pegangan.” Ruqaiyah menatap kedua bola mata
Surya yang begitu lembut menatapnya.
“Kenapa kamu dan keluargamu harus
baik kepadaku Sur? Padahal kamu tahu sendiri, tidak ada untungnya buatmu, yang
ada malah merepotkan saja.” Surya tersenyum sambil mengelus rambut Ruqaiyah
dengan lembut.
“Kenapa harus repot-repot mencari alasan
untuk itu? Kenapa tidak kita jalani saja, dan akan ada saatnya nanti kita tahu
semua alasan itu.” Akhirnya Ruqaiyah tersenyum, meski hanya samar. Jawaban
Surya sedikit melegakannya.
“Baiklah, tapi janji ya kamu tidak
akan meningggalkanku.” Ucap Ruqaiyah, Surya mengangguk.
“Oke. Aku janji sama kamu, dan kamu
bisa pegang janjiku. Janji seorang laki-laki sejati.” Sahut Surya mengedipkan
sebelah matanya, sedikit menggoda Ruqaiyah agar perempuan itu tidak terlalu
larut dalam kesedihan. Benar saja, Ruqaiyah tersipu malu diperlakukan seperti
itu.
“Kamu bisa saja Sur, gombal tau.”
Ucapnya memukul pelan tangan pemuda itu. Surya terkekeh, hatinya lega melihat perempuan
itu tersenyum.
“Tapi kamu suka kan?” Ruqaiyah
tersenyum dan menunduk, “kamu tau nggak Ruq, aku suka kamu yang begini.
Terlihat begitu polos dan manis. Rasanya aku tidak percaya, kalau ini adalah
Ruq yang juga ada dikampus. Kalau tidak mengenalmu langsung seperti ini aku
pikir kamu kembar tapi tak sama.” Ruqaiyah tertawa pelan.
“Memangnya aku di kampus bagaimana
menurutmu?” tanya Ruqaiyah dengan penasaran.
“Hm, menurutku Ruq yang dikampus
terlalu sombong, selalu memakai topeng kemana-mana, dan selalu ingin menang
sendiri.” Ruqaiyah tersenyum.
“Kalau diluar kampus?”
“Kalau seperti ini sih, lebih
menarik dari yang ada dikampus. Terlihat apa adanya, dan bisa menyejukkan
mata dan hati.” Kembali
Ruqaiyah tersipu.
“Sudah ah, kamu bikin aku malu saja.
Kita bicarakan yang lain saja ya.” Surya terkekeh, dia mengelus rambut Ruqaiyah
sekali lagi sebelum akhinya dia menjalankan kembali mobilnya.
“Nanti
aku minta Papa carikan pengacara untuk Kakakmu, meskipun mungkin tidak bisa
membebaskan, setidaknya bisa untuk meringankan hukumannya. Jika memang benar
apa yang dilakukan Kakakmu seperti yang dituduhkan oleh Jalal dan Jodha, semoga
hukumannya bisa membuatnya sadar.” Ruqaiyah mengangguk.
“Iya
Sur, semoga saja. Sebenarnya Kakak itu baik. Kepadaku juga perhatian, apapun
yang aku minta, tidak pernah dia menolaknya. Tapi, entah kenapa sekarang dia
berubah. Dan..., aku baru tahu kalau anak Pak Bharmal itu adalah Jodha.
Sepertinya Kakakku sangat menyukai Jodha sampai
dia melakukan segala cara agar Pak Bharmal mau nyerahkan anaknya.” Jelas Ruqaiyah.
Surya
manggut-manggut mendengarnya. Ya memang persis seperti yang dikatakan kedua
sahabatnya dulu, sepertinya Adam memang sengaja agar ayahnya Jodha tidak bisa
membayar hutangnya, dengan begitu dia bisa mengambil Jodha sebagai gantinya.
Namun rupanya Jodha tidak mau dan malah memilih kabur dari ayahnya.
Sesampainya
dirumah, Surya mengatakan maksudnya kepada orang tuanya. Yang sungguh tidak
diduga oleh Ruqaiyah, kedua orang tua angkatnya itu dengan senang hati
membantunya mencarikan pengacara untuk Adam. Dibalik kesedihannya, terselip
kebahagiaan bahwa dia tidak sendiri.
“Makasih
ya Ma, Pa, sudah berkenan membantuku. Aku
tidak tahu harus membalasnya dengan apa.” Ucap Ruqaiyah sambil memeluk Mama
Lena ketika mereka sedang berkumpul diruang keluarga, Wanita itu tersenyum
lembut.
“Kamu
kan sudah menjadi anak Mama dan Papa, sudah seharusnya kami membantumu. Tidak
usah memikirkan untuk membalasnya. Kami tidak mengharapkan semua itu. Kamu
hadir dalam keluarga kami saja, itu sudah lebih dari cukup.” Sahut Mama Lena.
“Iya
Kak, Kakak nggak usah memikirkan macam-macam. Aku senang kok punya Kakak
perempuan, aku jadi punya teman.” Sahut Moti.
“Iya
Dek, aku juga senang punya adik sepertimu. Kakak sayang kamu Dek.” Ucap Ruqaiyah memeluk
Moti. Keduanya berpelukan. Surya dan Papanya yang duduk dihadapan mereka ikut
tersenyum. Di dalam hati Surya, dia berjanji akan menjaga senyum perempuan itu
agar selalu menghias wajahnya.
“Ada
baiknya, kamu mewakili Kakakmu untuk
meminta maaf kepada Jodha dan ayahnya, Ruq. Siapa tahu mereka berdua berkenan
mencabut tuntutannya. Paling tidak bisa meringankan hukumannya.” Kata papanya
Surya. Ruqaiyah dan Surya saling pandang.
“Ba-bagaimana
kalau mereka tidak mau Pa?” Pak Beny,
papanya Surya tersenyum.
“Kan
belum dicoba. Lagipula Jalal kan temannya Surya, mungkin saja dia mau
membantunya untuk mendapatkan maaf dari Jodha.” Surya tertawa. Dia menggeleng,
“kenapa Sur?” tanya papanya heran.
“Aku
nggak yakin Pa. Malah menurutku nih ya, yang marah justru Jalal. Aku tahu
sifatnya bagaimana. Kalau Jodha sih, aku yakin dia pasti mau memaafkan, tapi
kalau Jalal? Entahlah. Apalagi ini menyangkut calon istrinya dan juga calon
mertuanya.” Papanya Surya mengangguk-angguk. Moti terkekeh.
“Jadi
aneh ya. Seharusnya Kak Jodha yang marah, tapi kenapa jadi Kak Jalal yang tidak
mau memaafkan. Ckck...” Moti berdecak.
“Kakak
belum tahu Dek. Itu menurut Kakak saja.
Karena bila melihat sifat mereka berdua
selama ini, aku bisa menilainya. Tapi, apa salahnya dicoba. Kan kita belum tahu
hasilnya bagaimana. Ya kan?” kedua orang tua Surya mengangguk. Sementara
Ruqaiyah hanya memandang Surya dengan tatapan tidak yakin. Namun dia bisa apa
selain mengikuti saran Surya. Demi
kakaknya.
“Iya
Ruq, kamu tenang saja. Yang penting kita
mencobanya dulu. Masalah hasilnya nanti, kita pasrah saja. Yang penting
sekarang kita berusaha dulu ya.” Akhirnya Ruqaiyah mengangguk.
“Baiklah.”
***
Sementara
itu rombongan Bayu sudah sampai di Jakarta. Setelah mengantarkan Bayu dan
keluarganya kerumahnya, juga mengantarkan Mansingh kerumah orang tuanya, Jalal dan Jodha sampai juga di rumah.
Keduanya tersenyum lega. Kedua orang tua Jalal, menyambut mereka berdua dengan
gembira.
“Akhirnya
kalian datang juga sayang. Mama senang sekali.” Kata Bu Hamidah memeluk
keduanya.
“Iya
Ma, akhirnya sampai juga. Lumayan melelahkan sekali.” Sahut Jodha. Begitu
sampai dirumah, calon ibu mertuanya itu langsung saja menempel dengannya. Terlihat sekali kalau wanita itu
rindu dengan mereka berdua. Pak Humayun saja sampai menggelengkan kepala melihatnya.
“Biarkan
mereka istirahat dulu Ma. Kasihan tuh kelihatannya lelah sekali.” Bu Hamidah
tertawa.
“Iya
Pa, maaf ya sayang. Mama terlalu senang melihat kalian datang. Rumah sepi nggak
ada kalian. Ya sudah kalian istirahat dulu. Nanti malam kita cerita lagi ya.
Mama akan menyiapkan makan malam buat kita dulu.” Kata Bu Hamidah mengelus
rambut Jodha. Gadis itu mengangguk.
“Iya
Ma. Aku masuk dulu.”
“Iya.
Sudah sana.” Jodha pun melangkah masuk kekamarnya. Sedangkan Jalal sudah
terlebih dahulu masuk ke kamarnya. Kelihatannya dia memang benar-benar lelah,
meskipun di dalam mobil bisa istirahat namun tidaklah senyaman istirahat di
kamar sendiri. Lagipula mereka bertiga, bergantian untuk menyetir sehingga
tidak bisa beristirahat dengan maksimal. Begitu selesai mandi, dia langsung
membaringkan tubuhnya dan tidur.
Malam
harinya.
“Jodha
sayang...” panggil Bu Hamidah. Jodha mendekat calon mertuanya yang sedang
mengatur meja makan.
“Ya
Ma.”
“Panggil
Jalal gih. Kita makan malam bersama. Dari tadi nggak turun-turun.” Pinta Bu
Hamidah.
“Iya
Ma. Mungkin ketiduran Ma, saking capeknya.” Sahut Jodha.
“Mungkin
saja sayang. Tapi dia belum makan tuh. Ya sudah, panggil sana.” Jodha
mengangguk. Dia melangkah kekamar mantan tuan mudanya dan sekarang menjadi
calon suaminya. Jodha tersenyum membayangkan hal itu. Di depan pintu, Jodha mengetuk beberapa
kali namun tidak ada jawaban. Akhirnya perlahan dia memutar kenop pintu yang
ternyata tidak dikunci tersebut.
Ternyata
benar, kekasihnya itu sedang tidur dengan nyenyaknya dengan posisi telungkup.
Tubuhnya menindih dan memeluk guling. Jodha menggelengkan kepala melihat
keadaan pemuda itu. Memang dia terlihat capek sekali. Perlahan Jodha duduk di
pinggir tempat tidur, tangannya mengguncang pelan tangan Jalal.
“Sayang,
bangun.” Panggil Jodha.
“Hm...”
Jalal tidak bergeming. Kembali Jodha menggelengkan kepalanya.
“Sayang,
dipanggil Mama tuh. Kita makan malam bareng. Ayo bangun.” Kata Jodha, menepuk
pipi Jalal beberapa kali. Pemuda itu membuka matanya, sejenak dia menyipitkan
matanya melihat kearah Jodha.
“Kenapa
Sayang? Aku ngantuk banget nih. Nanti saja. Bilang sama mama dan papa, duluan
saja.” Ucapnya dengan suara serak dan merubah posisi tidurnya menjadi
membelakangi Jodha, meringkuk sambil memeluk guling. Jodha berdecak. Susah amat
dibangunin. Namun dia tidak putus asa, kembali tangan Jalal diguncangnya lagi.
“Sayang,
ayo bangun. Kamu belum makan loh sejak datang tadi. Makan dulu ya, baru habis
itu dilanjutkan lagi tidurnya.” Bujuk Jodha.
“Hm...nanti
saja Sayang. Aku janji ntar aku makan kok.” Balas Jalal tanpa membalikkan
tubuhnya. Jodha menghela nafas panjang. Tiba-tiba terlintas ide di pikirannya.
Memang sedikit memalukan sih, tetapi apa salahnya dicoba. Lagian tidak enak
dengan calon mertuanya yang menyuruh untuk membangunkan anaknya.
Jodha
menelan ludah beberapa kali. Baru ingin mengucapkan saja, tubuhnya merinding
dan dadanya berdebar. Memang susah sih
kalau bukan kebiasaan, rasanya kaku banget. Tapi dia berusaha mencoba untuk mengucapkannya
meski itu sulit.
“Ng...ci-cintaaa...kita
makan bareng yuk, a-aku ingin makan malam bareng ka-kamu.” Ucap Jodha dengan
tersendat-sendat dan tergagap. Rasanya wajahnya panas, badannya panas dingin
seperti orang meriang dan sedikit berkeringat. Meski akhirnya dia bisa mengucapkan kata-kata
seperti itu, namun dia berharap pemuda itu tidak mendengar ucapannya.
Namun
sayang, harapannya tidak terkabul. Jalal seperti tersengat listrik langsung
membuka matanya dan berbalik memandang Inemnya yang tertunduk malu. Dia lupa
akan kantuknya tadi. Dengan segera dia duduk dan menghadap gadis itu yang masih
menunduk.
“Hah.
Kamu bilang apa Sayang? Coba ulangi lagi?” tanyanya dengan bersemangat. Jodha
menggeleng. Cukup sekali saja. Itu saja mengucapkannya, rasanya seperti diserang demam, namun Jalal tidak menyerah,
“ayo sayang, bilang sekali lagi. Aku ingin dengar. Ayolah, sekaliiii aja. Mau
ya?” rengek Jalal seperti anak kecil. Dia memegang tangan Jodha dan
menarik-nariknya, membuat gadis itu tertawa geli. Ya ampun, kata-kata seperti
itu saja membuatnya bahagia bukan main.
“Ki-kita
makan malam bareng ya ci-cintaa...” ucap
Jodha langsung menutup wajahnya dengan
telapak tangannya. Jalal terkekeh melihat aksinya seperti itu.
“Yes!
Berhasil.” seru Jalal dengan senang, meski dengan wajah bantal karena baru bangun tidur.
Perlahan
Jalal menarik kedua tangan Jddha yang menutup mukanya dengan malu. Dia
menunduk, wajahnya masih merah seperti tadi. Ujung jari Jalal menyentuh dagu
Jodha dan mengangkatnya, Jodha mengikuti dan menatap wajah kekasih yang sedang
tersenyum bahagia memandangnya. Meski baru bangun tidur, matanya masih merah, namun
wajah tampannya terlihat semakin seksi saja. Jodha sampai harus menelan ludah
melihatnya. Padahal dia tidak tahu kenapa harus seperti itu. Hanya mungkin
naluri alaminya saja yang membuatnya
tidak sengaja menelan ludah, sedangkan hatinya tidak mengerti. Hahahaha....
“Tidak
usah malu sayang. Aku kan calon suamimu, dan kamu harus membiasakan diri. Oke?”
Jodha mengangguk dan ikut tersenyum
juga.
“Iya,
aku akan berusaha lagi nanti.” Kembali Jalal tertawa.
“Baiklah.
Aku tunggu ya. Ayo sekarang kita makan.” Ajaknya menarik tangan Jodha dan turun
dari tempat tidur. Namun Jodha tidak segera mengikutinya, Jalal menoleh,
“kenapa?” Jodha menunjuk wajah pemuda itu.
“Itu
mukanya nggak dicuci dulu? Masa bangun
tidur langsung makan?” Jalal menepuk dahinya.
“Oh
iya Sayang, aku lupa. Saking senangnya.”
Katanya sambil setengah berlari masuk kekamar mandi, meninggalkan Jodha
yang berdecak melihat kelakuannya. Tidak
perlu waktu lama, dia sudah keluar dengan wajah segar. Dia kembali menarik
lembut tangan Jodha yang masih duduk di pinggir tempat tidur dan menggandengnya
keluar dari kamar menuju ruang makan, dimana kedua orang tuanya sudah menunggu.
“Malem
Pa, Ma. Maaf sudah menunggu lama.” Sapa Jalal basa-basi, dia duduk dihadapan
orang tuanya seperti biasa dan Jodha duduk disampingnya.
“Kamu
capek banget ya Sayang? Sampai tidurnya lama begitu.” Tanya Bu Hamidah
mengambilkan nasi untuk suaminya. Jalal mengangguk.
“Iya
Ma, capek banget. Lagian kami gantian jadi supir. Makanya kurang istirahat di
jalan.” Sahut Jalal menyuapkan makanannya. Jodha hanya diam saja. Kedua orang
tuanya mengangguk, sambil meneruskan makannya. Suasana hening kembali. Hanya
terdengar denting sendok dan garpu yang beradu dengan piring.
Setelah
makan malam, mereka melanjutkan obrolannya di ruang keluarga. Jalal dan Jodha
menceritakan perjalanan mereka sewaktu di Pacitan, serta pertemuan mereka
dengan Adam. Tentu saja kedua orang tua Jalal sangat terkejut mendengarnya.
“Kok
bisa kebetulan begitu sayang?” tanya Bu
Hamidah dengan rasa heran.
“Kami
juga tidak tahu Ma, mungkin saja kalau kami terlambat, Ayah akan dibawa oleh
mereka dan pasti dia akan meminta Jodha untuk menebusnya.” Sahut Jalal.
“Ya
syukurlah sekarang semuanya sudah baik-baik saja. Mama sama Papa lega
mendengarnya, semuanya akan baik-baik saja.”
“Iya
Ma, sekarang dia sudah ditahan di kantor
polisi untuk diproses. Bang Bayu menuntutnya dengan banyak tuntutan. Biar
sekalian saja dia hidup dalam penjara. Kata Jalal dengan geram. Kedua orang
tuanya mengangguk,
namun Jodha hanya diam mendengarkan saja.
Terdengar
bell rumah terdengar beberapa kali. Tidak lama kemudian, Bi Ijah datang
menghampiri mereka berempat.
“Siapa
Bi?” tanya Bu Hamidah.
“Itu
Den Surya Nya, sama temannya kayaknya. Katanya ingin bertemu tuan muda dan
Jodha.” Sahut Bi Ijah. Jalal mengerutkan keningnya, mereka berdua saling
pandang.
“Malam-malam
begini ingin bertemu denganku Bi?” Bi Ijah mengangguk.
“Iya Tuan.”
“Tumben
malam-malam?” gumamnya, “temannya siapa Bi? Mansingh?” Bi Ijah menggeleng.
“Bukan
Tuan. Seorang perempuan. Bibi juga tidak tahu, sepertinya belum pernah datang
kemari.”
“Ya
sudah temui saja Sayang. Siapa tahu ada urusan penting dengan kalian berdua.”
Jalal mengangguk.
“Iya
Ma. Ayo Sayang kita temui mereka.” Mereka berdua segera berdiri dan menemui
Surya dan Ruqayah yang datang. Tangan Surya tampak menggenggam erat tangan
Ruqaiyah yang nampak gugup. Jalal dan Jodha nampak terkejut melihat mereka
berdua, apalagi melihat kedua tangan mereka saling menggenggam.
“Kalian?
Tumben datang malam-malam? Dan...ada hubungan apa kalian berdua Sur? Kenapa aku
baru melihat sekarang?” tanya Jalal duduk dihadapan mereka berdua, dan Jodha di
sampingnya.
“Maaf
Bos, sudah mengganggu istirahat kalian berdua. Aku ingin mengantarkan Ruq
kesini, maaf kalau ini terlihat terburu-buru. Hanya saja, aku ingin dia segera
menyelesaikan masalahnya secepatnya.” Jawab Surya, sedangkan Ruqaiyah hanya
menunduk. Dia tidak berani menatap Jalal dan Jodha. Dalam hatinya terselip
ketakutan, namun genggaman tangan Surya membangkitkan semangatnya. Jempol
pemuda itu terus bergerak-gerak diatas atas punggung tangannya seolah membantu menguatkan tekadnya.
“Masalah?” Surya mengangguk, “masalah
apa?” Surya menoleh kearah Ruqaiyah.
“Bicaralah Ruq, tenang saja, tidak
usah takut.” Kata Surya memberi semangat. Ruqaiyah mengangguk. Dia memberanikan
diri menatap Jalal dan Jodha bergantian. Mereka berdua juga menatapnya dengan
wajah penasaran.
“A-aku ingin minta maaf.” Kata
Ruqaiyah dengan gugup. Kening keduanya berkerut.
“Minta maaf?” Ruqaiyah mengangguk,
“untuk apa dan kepada siapa?”
“Kepada Jodha.” Jodha terkejut.
“Minta maaf kepadaku?” kembali
Ruqaiyah mengangguk, “maaf untuk apa?” Ruqaiyah menelan ludah yang terasa
seret.
“Untuk Kakakku.”
“Kakakmu? Siapa?” tanya Jodha
semakin penasaran.
“Kakakku Adam.”
Jalal dan Jodha terkejut bukan main,
kedua saling berpandangan. Sementara genggaman tangan Ruqaiyah di tangan Surya
semakin erat. Jelas sekali kalau dia begitu takut. Sesaat suasana hening.
“Apa maksudmu Ruq? Dan kamu
mengatakan Kakakmu, Adam. Jangan becanda Ruq.” Tanya Jalal, Ruqaiyah
menggeleng.
“Aku tidak becanda Jalal, aku
sungguh-sungguh minta maaf atas nama Kakakku yang sudah menyakiti Jodha dan
ayahnya.” Ucap Ruqaiyah sambil menunduk. Tiba-tiba saja emosi Jalal menjadi
naik dia berdiri sambil menunjuk muka Ruqaiyah.
“Jadi kamu ini adiknya Adam yang
brengsek itu? Dan kamu datang kerumahku untuk meminta maaf? Tidak akan semudah
itu. Apa kau tidak tahu, kemarin saja di Pacitan dia hampir saja menyakiti
calon mertuaku. Terlambat sedikit saja, ayahnya Jodha pasti akan disakiti
olehnya. Dan kamu...seenaknya saja minta maaf untuknya? Jangan harap. Kalian
berdua sama saja, kamu bahkan pernah menyakiti Jodha dan Kakakmu memeras
ayahnya. Tega sekali kalian.” Ucap Jalal dengan emosi yang meluap. Dia marah
sekali setelah tahu kenyataan yang sesungguhnya.
“Sayang tenanglah. Kendalikan emosimu.”
Kata Jodha berusaha menenangkan kekasihnya. Dia mengusap-usap tangan Jalal
untuk menyabarkannya, namun yang ada dia semakin marah. Jodha bukannya tidak
marah mendengar ucapan Ruqaiyah, tetapi melihat penyesalan diwajahnya membuat
dia tidak tega juga. Lagipula dia tidak salah, yang salah itu kakaknya. Dan dia
hanya berusaha untuk membantu kakaknya.
“Tenang, tenang. Siapa yang harus
tenang?” bentak Jalal kepada Jodha, membuat gadis itu terdiam. Percuma
melawannya dalam kondisi marah. Yang ada akan masalah akan semakin runyam.
“A-aku tahu, aku dan Kakakku memang
salah. Aku pernah menyakiti Jodha, dan aku minta maaf untuk itu. Maafkan aku
Jodha.” Jodha mengangguk tulus, “aku hanya berusaha membantu Kakakku, di-dia
saudaraku satu-satunya. Aku berharap kalian mencabut tuntutan kepadanya.”
“APA? Mencabut tuntutannya? JANGAN
HARAP. Biarkan saja dia membusuk dipenjara, biar di tahu bagaimana rasanya
disakiti dan diperlakukan dengan semena-mena.” Sahut Jalal masih dengan suara
tinggi.
“Ta-tapi, bukankah semua harta yang
kami miliki sudah kamu sita? Aku sudah tidak punya harta lagi selain Kakakku.
Aku yakin dia tidak akan bisa berbuat apa-apa lagi. Please. Tolonglah.” Pinta Ruqaiyah dengan terisak. Namun Jalal
tetap tidak bergeming.
“Sekali TIDAK, tetap TIDAK. Dan
untukmu, jangan sekali-sekali memanfaatkan sahabatku untuk mempengaruhiku biar
bisa membebaskan kakakmu. TIDAK AKAN BISA. Dan kamu Sur, untuk apa kamu
membantunya? Bukankah kamu sudah tahu apa yang diperbuat oleh mereka berdua?”
tuding Jalal kepada Surya. Surya tersenyum lembut, berusaha untuk tidak terpancing
emosinya.
“Maaf Bos, aku membantu apa yang
seharusnya aku bantu. Semua orang pasti pernah berbuat salah, siapapun.
Termasuk kita. Dan semua orang juga berhak untuk mendapat kesempatan kedua agar
bisa memperbaiki kesalahannya.” Sahut Surya dengan suara tenang.
“Tetapi tidak untuk mereka berdua.
Mereka berdua tidak pantas untuk dikasihani. Dan kamu Sur, kenapa tidak memilih
perempuan lain saja yang lebih baik dari dia. Biar saja mereka berdua hidup
dijalan agar tidak semena-mena terhadap orang lain.” Akhirnya, terpancing juga
emosi Surya.
“Lalu, setelah mereka berdua hidup
dijalan dan menderita, hatimu akan puas? Begitu?” tanya Surya dengan sinis.
“Tentu saja. Itu hukuman yang pantas
untuk mereka.” Surya berdecak. Dia menggeleng.
“Kalau begitu, apa bedanya Bos
dengan mereka. Kejahatan dibalas kejahatan, dan dendam itu tidak akan ada habisnya.
Pada akhirnya, hidup hanya akan dihabiskan untuk sebuah dendam yang sia-sia.” Jodha
sudah mulai panik melihat aura ketegangan diantara kedua sahabat itu. Sama-sama
mempertahankan argumennya masing-masing.
“Kenapa kamu begitu ngotot
membelanya Sur, yang jelas-jelas bersalah. Bukannya membela aku sebagai
sahabatmu sendiri. Dibayar berapa kamu untuk membelanya? Apa perlu aku ganti 10
kali lipat?” sindir Jalal. Surya tersenyum, setelah berusaha menenangkan
hatinya.
“Maaf Bos, aku membantunya tulus,
bukan dibayar. Dan satu lagi, Bos hanya melihat luarnya saja tidak pernah
mencari tahu kenapa. Mereka berdua tidaklah seberuntung kita Bos, mereka berdua
hanya korban yang pada akhirnya ikut terseret juga. Jadi, tolong berpikirlah
Bos. Justru karena kita sahabat aku ingin menolongnya.” Jalal malah mencibir
sinis.
“Baik kalau begitu. Sekarang kamu
tinggal pilih, aku sahabatmu, atau mereka berdua?” tunjuk Jalal kepada Surya
yang terhenyak mendengarnya, begitu juga kedua perempuan itu, “sekarang pergi
dari sini, aku capek!” kata Jalal meninggalkan mereka bertiga yang masih
bengong.
Sepeninggal Jalal, Jodha mendekati
Ruqaiyah yang menangis terisak-isak. Surya nampak mengepalkan tangannya menahan
emosinya. Jodha memeluk Ruqaiyah yang menangis tersebut. Tidak ada kemarahan
sama sekali diwajahnya.
“Sabar ya Ruq, mungkin saat ini dia
perlu waktu untuk berpikir dan menenangkan diri.” Ucap Jodha mengelus punggung Ruqaiyah.
“Maafkan aku Jodha, maafkan Kakakku.
Dia memang bersalah, tetapi dia melakukan itu karena dia menyukaimu, dia tidak
tahu harus melakukan apa karena kamu tidak bisa dibujuk dengan uang dan harta,
karena itu dia berusaha menjebak ayahmu. Maafkan dia Jodha, maafkan dia.” Pinta
Ruqaiyah sambil terus menangis, membuat Jodha semakin iba melihatnya.
“Jo, mereka berdua ini sedari kecil
tidak pernah merasakan kehadiran orang tua. Mereka hidup berdua ditengah
kerasnya kehidupan. Adam adalah satu-satunya keluarga yang dia punya. Kamu
masih beruntung mempunyai bisa merasakan kasih sayang dan cinta dari orang
tuamu, meski sekarang hanya tinggal ayahmu saja. Tapi Ruq dan kakakknya, sama
sekali tidak punya itu. Dia tidak meminta agar Kakaknya dibebaskan, hanya kalau
bisa tuntutannya yang banyak dicabut agar hukumannya dikurangi.” Jelas Surya,
membuat hati Jodha terenyuh mendengarnya.
“Baiklah Sur, aku akan mencoba
membujuknya. Mungkin sekarang tidak bisa, tapi besok akan aku usahakan. Iya waktu
itu aku yang menghajar Adam sampai babak belur begitu. Aku minta maaf ya Ruq.”
Ruqaiyah menggeleng.
“Tidak perlu minta maaf Jo, kamu
tidak salah. Sudah seharusnya kamu marah, aku pun pasti seperti itu jika berada
diposisimu. Tapi ku mohon jangan dendam sama Kakakku ya.” Pinta Ruqaiyah. Jodha
tersenyum.
“Baiklah, aku yakin ayahku juga akan
memaafkan Kakakmu. Karena itu tidak sepenuhnya salah Kakakmu, Ayahku juga yang
memang mudah tergoda. Sekarang pulanglah dulu, aku usahakan untuk membujuknya
ya.” Ruqaiyah mengangguk. Dia melepaskan pelukannya.
“Makasih ya Jodha. Surya benar. Kamu
adalah gadis yang baik. Jalal pantas mendapatkanmu. Maafkan aku yang pernah
menyakitimu dulu. Aku menyesal.” Jodha tersenyum kembali.
“Surya terlalu berlebihan Ruq, aku
tidak sehebat itu. Aku hanya orang biasa saja, hanya saja aku berusaha agar
tidak ada kebencian dalam hatiku, yang membuatku lupa untuk bersyukur.”
Ruqaiyah mengangguk.
“Terima kasih ya, kuharap Jalal mau
membuka pintu maafnya untuk Kakakku.” Jodha tersenyum dan mengangguk. Keduanya
pun pamit, Jodha memandang punggung mereka berdua sambil menghela nafas panjang.
Perjuangannya kali ini agak berat. Karena sebelumnya dia tidak pernah melihat
kekasih itu marah besar seperti tadi. Tidak juga kemarin ketika berada di
Pacitan.
Setelah dicari kesana kemari,
ternyata Jalal duduk menyendiri di gazebo belakang rumah. Dia bersandar ditiang
gazebo dengan telinga ditutupi dengan headset, matanya terpejam. Jodha menggelengkan
kepala melihatnya. Dia duduk dihadapan pemuda itu dengan kaki yang masih
menjuntai.
Jalal membuka matanya, ketika
tangannya disentuh. Dihadapannya sudah duduk sosok cantik yang tersenyum manis.
Seandainya hatinya tidak dalam keadaan jengkel dan marah, mungkin dia sudah gemas untuk
merayunya. Tapi ini suasananya berbeda, diwajahnya tidak nampak kalau dia
sedang marah. Jalal jadi keki sendiri. Ck.
“Apa?” tanya Jalal dengan ketus, tangannya
melepas headset dari telinganya, Jodha hanya terkekeh mendengarnya, membuat pemuda
itu berdecak.
“Masih marah?”
“Menurutmu?” Jodha tertawa, dia
mengendikkan bahunya. Pandangannya beralih ke langit.
“Aku nggak pantas menghakimi mereka.” Jalal mendengus kasar.
“Tapi mereka sudah menyakiti kamu
dan ayahmu, Nem.”
“Iya. Aku tau. Tapi ayah sudah kembali seperti dulu
lagi, dan itu sudah cukup. Lagipula kalau mereka menyesali dan mau berubah, apa
salahnya kan? Tidak baik menumpuk dendam lama-lama, bisa bikin penyakit.” Sahut
Jodha menoleh kearah Jalal dan tersenyum.
“Kamu jadi orang kok baik banget sih Sayang?” kata Jalal mencubit
kedua pipinya dengan gemas, Jodha hanya mengerucutkan bibirnya.
“Nggak juga. Aku hanya tidak ingin
menambah musuh saja.” Tiba-tiba Jodha merubah posisi duduknya jadi menghadap ke
arah Jalal. Kedua tangannya menggenggam tangan pemuda itu. Tentu saja Jalal terheran-heran melihatnya. Tumben-tumben dia
yang agresif kali ini, tidak pernah sebelumnya gadis ini menggenggam tangannya
duluan. Pasti ada sesuatu nih, ada udang dibalik bakwan.
“Sayang, aku mau menagih janji.”
Ucap Jodha dengan senyuman yang paling manis. Tuh kan, benar ada maunya.
“Janji apa Sayang?”
“Masih ingatkan dulu waktu
kita taruhan, kalau aku bisa membuat kamu nangis, kamu akan kabulkan
permintaanku.” Jalal mengangguk.
“Lalu?”
“Hm...aku
minta sekarang ya?” Jalal menatap Jodha dengan penuh selidik, sedang gadis itu
hanya mesam-mesem saja, “boleh ya? Laki-laki sejati itu adalah orang yang suka menepati
janji.” Ucap Jodha setengah memuji dan setengah meminta.
“Baiklah,
aku akan mengabulkannya. Sekarang bilang, kamu ingin apa? Kalau aku bisa, aku
akan memberikannya untukmu.”
“Aku
yakin pasti bisa kok.”
“Yakin
banget.” Dengus Jalal. Jodha mengangguk.
“Iyalah.
Kan calon suamiku pasti orang yang menepati janji, aku tahu itu.” Kata Jodha
dengan wajah memerah.
Gilaaaa...malam
ini bibirnya penuh dengan kembang gula warna-warni, yang manis, ringan, dan
menarik. Bukan dirinya banget, tetapi demi Ruqaiyah dan Surya, biarlah sesekali
menjadi orang lain untuk membujuk kekasihnya itu agar luluh. Jalal
menggelengkan kepala melihat Jodha seperti itu. Demi membantu orang lain, mau
saja dia melakukan sesuatu yang dia tidak suka. Padahal coba kalau dia yang
meminta gadisnya itu
mengucapkan dengan suka rela, kayaknya nunggu lebaran monyet kali ya
baru dia dengan senang hati melakukan seperti
itu.
“Kamu
ini ya Nem, kalau buat nolong orang aja, kamu semangat sekali ngomong sayang,
muji-muji. Coba kalau aku yang minta, harus dipaksa dulu, harus dimodusin dulu
baru mau kayak gitu.” Jodha terkekeh.
“Kan
aku sudah bilang, itu semua karena rasa. Rasa untuk kamu dan untuk mereka itu
berbeda. Rasa untuk mereka sedikit makanya ringan, tapi untuk kamu rasa itu
banyak makanya berat. Susah untuk dijelaskan. Pokoknya gitulah.” Sahut Jodha kembali dengan wajah memerah.
Kira-kira
kalau ada Nadia nih ya, bisa-bisa Jodha dikulitin dengan ledekannya. “Wah, ini
benaran kamu Jo? Kok aku baru kenal?” Atau “bibir kamu kok seksi banget Jo,
bisa ngomong kayak gitu?” Atau yang paling parah nih ya, “kamu habis operasi
transgender sama Bang Bos ya Jo, kok bawelnya ketuker?” hahahahaha....
“Baiklah
Sayang. Demi kamu, dan demi janjiku, apapun akan aku lakukan. Sekarang katakan kamu ingin apa?” akhirnya Jalal luluh
juga dengan kata-kata Jodha yang tidak biasa itu. Jodha tersenyum senang.
“Aku
ingin kamu dan Bang Bayu menarik tuntutan untuk menyita rumah dan usaha Adam,
dan juga meminta maaf atas kesalahpaham dengan Surya. Dia tidak salah, dia
hanya membantu. Lagipula, apa salah salahnya kalau Surya bersama Ruqaiyah,
siapa tahu dengan begitu Ruqaiyah bisa berubah lebih baik lagi. Masa
persahabatan bertahun-tahun akan putus hanya karena masalah orang lain. Gimana?
Harus mau ya, karena ini janji, dan
harus ditepati.” Ucap Jodha tanpa jeda, Jalal menghela nafas panjang.
Ditatapnya wajah Jodha yang masih menunggu jawaban darinya. Inilah kekasihnya,
calon istrinya. Seorang gadis yang berbeda dari yang lain, yang tidak sengaja
ditemukan oleh mamanya, yang membuatnya tidak berkutik dihadapannya.
“Kok
kamu nggak minta emas, berlian, perhiasan, rumah, atau pesiar keliling dunia
sih sayang.” Jodha kembali tertawa.
“Kalau
itu mah gampang saja, nggak usah diminta juga nanti akan dikasih, lagian punya
mertua kaya raya begini, apa sih yang nggak akan dikasih. Hehehe...” sahut
Jodha sambil terkekeh. Jalal menyentil keningnya karena gemas mendengar jawaban
gadis itu. Jodha mengusap keningnya sambil cengengesan.
“Kamu
ini, percaya diri sekali.” Jodha mengendikkan bahunya, “baiklah, kali ini aku
akan kabulkan permintaan kamu. Nanti aku akan bicarakan dengan Bang Bayu,
tetapi aku akan tetap menuntutnya karena telah menganiaya dan memeras ayah.”
Jodha tersenyum dan mengangguk.
“Baiklah
sayang, makasih ya. Gitu dong, baru namanya Tuan Muda yang baik hati dan tidak
sombong.” Kata Jodha sambil tertawa. Mau
tidak mau Jalal juga ikut tertawa. Jodha lega, akhirnya dia akan melihat senyum
Ruqaiyah dan Surya. Dia merasa kalau Surya menyukai perempuan itu.
“Karena
aku sudah mengabulkan permintaan kamu,
sekarang aku minta upah.”
“Hah?
Upah?” tanya Jodha heran, Jalal mengangguk, “kok gitu? Menepati janji malah
minta upah. Gimana sih?” kata Jodha dengan sedikit kesal. Jalal terkekeh.
“Terserah
aku dong, pokoknya aku tidak mau tahu. Aku minta upahnya sekarang, kalau tidak
janjinya nggak jadi ditepati.” Ancam Jalal lengkap dengan seringaiannya, untung
nggak lengkap dengan sambelnya. Bisa kepedesan tuh Jodha. Hehe...
“Bisa
gitu?”
“Bisalah.
Kayak kamu juga kan sayang, semua karena rasa. Kalau rasaku untuk orang lain
itu ringan di hati tapi berat di bibir, tetapi untuk kamu, rasaku berat dihati
tapi ringan di bibir.” Jodha terkekeh sambil menggelengkan kepalanya.
“Hm...baiklah
kalau begitu. Mau minta upah apa Tuan?” Jalal tersenyum penuh kemenangan.
“Nggak
banyak kok sayang, cuma disini...” Jalal menunjuk pipi kirinya, “disini...” dia
menunjuk pipi kanannya, “dan disini...” dia menunjuk bibirnya. Seketika wajah
Jodha memerah. Namun kemudian dia tersenyum jahil, meski samar. Dia mengangguk.
“Baiklah.
Tapi, matanya dipejamkan ya. Aku malu kalau ditatap seperti itu. Bikin aku
gugup saja.” Bujuk Jodha. Jalal mengangguk. Jodha bersorak dalam hatinya
melihat pemuda itu mulai memejamkan matanya dan bersandar pada tiang gazebo.
Perlahan Jodha beringsut mendekati Jalal
yang tersenyum senang dan pasrah itu, namun ketika sudah beberapa centi lagi
wajah mereka, Jodha langsung turun dari gazebo dan berlari meninggalkan Jalal
yang terperanjat ketika tahu kalau dia sudah dikerjain oleh gadis itu.
“INEM!
Awas kamu ya. Berani-beraninya menipuku.” Teriak Jalal. Jodha yang hampir masuk
pintu berbalik dan tertawa.
“Maaf
ya Tuan, sudah malam. Ngantuk nih. Makasih atas janjinya. Selamat malam
Sayang.” Kata Jodha melambaikan tangannya dengan senyum mengejek, kemudian melenggang
masuk kerumah dengan santainya.
Meninggalkan
Jalal yang mengomel panjang pendek karena sudah ditipu olehnya. Namun akhirnya Jalal tersenyum juga mengingat semuanya tadi.
Mengingat betapa manis gadisnya itu. Dia pun akhirnya melangkah masuk ke dalam rumah.
===tbc===
Tidak ada komentar:
Posting Komentar