Menu

Jumat, 12 Februari 2016

MIRACLE OF LOVE, PART. 10


Pagi menjelang terdengar kokok ayam bersahutan membangunkan Jalal dari tidurnya. Sayup-sayup terdengar suara dari dapur, “Ibu sudah bangun rupanya." Bathin Jalal. Dia segera bangun, diliriknya Jodha yang masih  tertidur nyenyak tidak terganggu dengan suara apapun. Dibelainya rambut Jodha dengan sayang, diciumnya kening Jodha seraya berucap “Selamat pagi sayang."  
Sekarang Jalal sudah tidak terlalu canggung lagi untuk mencium kening Jodha, membelai rambutnya, memeluknya. Dia tahu Jodha pasti sangat senang sekali diperlakukan seperti itu. Namun berbuat lebih dari itu Jalal masih belum mempunyai keberanian.
“Sayang, ayo bangunlah!” Bisik Jalal mendekatkan mulutnya ditelinga Jodha. Jodha bergerak menghadap kearah Jalal. Bukannya bangun malah tanpa disadarinya Jodha menarik tangan Jalal sehingga pemuda itu kembali terbaring didekatnya dengan posisi miring saling menghadap. Tangan Jodha bergerak memeluk Jalal. Jalal yang masih nampak kaget belum berani bergerak. Dirasakannya nafas hangat Jodha menerpa wajahnya. Jalal mengagumi Jodha yang sedang tidur, wajahnya terlihat damai. Diselipkannya rambut Jodha yang jatuh menutup wajahnya ke belakang telinga.
“Sayang, bangunlah. Sudah pagi." Bisik Jalal sekali lagi. Kali ini Jodha bereaksi.
“Hm...masih ngantuk Jalal, nanti saja ya." Kata Jodha tanpa membuka matanya dan tanpa melepaskan pelukannya. Dia masih belum sadar juga kalau Jalal begitu dekat dengannya dan tangannyalah yang memeluk Jalal.
Jalal memegang kepala Jodha dan memberanikan diri mencium kening Jodha, pipinya, hidung kemudian turun ke bibirnya. Melumatnya sedikit dengan perasaan setengah gugup. Bibir itu terasa empuk dan manis dan tidak ada perlawanan dari Jodha, namun ketika tangannya menyentuh dan membelai pipi Jodha dia merasa sedikit terkejut karena pipi itu terasa agak panas, terlihat pipinya berwarna agak kemerahan.
Rupanya, Jodha merasakan apa yang dilakukan Jalal kepadanya. Namun dia pura-pura masih tertidur. Jodha mengumpulkan kembali kesadarannya sebelum dia membuka matanya. Sentuhan-sentuhan Jalal telah memberikan kejutan-kejutan dalam darahnya yang terasa mengalir hangat sampai kewajahnya menciptakan rona merah. Dadanya berdebar keras ketika Jalal mencium bibirnya.
“Jo, kamu sudah bangun sayang?” Tanya Jalal memegang pipi Jodha. Gadis itu tersenyum malu-malu kemudian membuka matanya perlahan. Mata indahnya menatap Jalal yang tersenyum melihatnya. Tak tahan lama-lama Jodha menatap Jalal yang membuatnya sangat malu. Diapun segera meringkuk dipelukan Jalal persis anak kecil yang lagi ingin bermanja dengan ibunya. Jalal tersenyum geli melihat kelakuan Jodha. Diciumnya pucuk kepala Jodha sampai lama, sedangkan Jodha memejamkan matanya meresapi sentuhan bibir Jalal.
Akhirnya Jalal melepaskan pelukannya karena dirasa hari semakin terang. “Ayo Jo, kita bangun. Kan hari ini aku akan ikut Bapak kesawah. Nanti kamu nyusul bareng Ibu ya." Ucap Jalal lembut. Jodha hanya mengangguk. “Ayo sekarang mandi, kamu mau mandi bareng aku?” goda Jalal.
“Gak ah, udah mandi sana dulu. Aku bikinkan minum dulu ya." Kata Jodha bangkit dan merapikan tempat tidurnya kemudian ke dapur untuk membuatkan minum buat Jalal. Sementara Jalal keluar untuk mandi dan membersihkan diri.

~~~0000~~~

Jalal dan Pak Syarif berjalan menyusuri jalan setapak menuju sawah milik Pak Syarif. Jalal begitu menikmati suasana alam yang damai nan eksotis. Rasa udara yang terhisap paru-parunya terasa segar. Membuatnya sangat betah.
“Bagaimana, Jalal. Kamu betah tinggal disini?” Tanya Pak Syarif.
“Iya, Pak. Betah sekali. Suasananya memberikan ketenangan. Badan saya terasa sangat segar." Jawab Jalal. Mendengar jawaban Jalal Pak Syarif tersenyum.
“Oh iya Jalal, mulai besok kalian bisa menempati rumah diujung sana yang sudah diperbaiki. Kalian tinggal membawa pakaian saja, semuanya sudah disediakan warga sini. Semoga kalian bisa belajar mandiri dan belajar hidup berumah tangga." Kata Pak Syarif
“Baiklah Pak kalau begitu, besok saya dan Jodha akan berbenah.” Kata Jalal.
Pak Syarif berhenti berjalan kemudian menghadap ke arah Jalal. Tangannya menepuk bahu Jalal sambil tersenyum. “Bapak senang dengan anak muda sepertimu, Jalal. Kamu tidak malu untuk belajar. Tidak malu mengerjakan pekerjaan yang biasa dilakukan oleh orang-orang desa walaupun dari kecil kamu tinggal dikota. Dan kamu juga pandai membawa diri."
“Saya merasa tidak berbeda, Pak. Saya rasa desa dengan kota sama saja. Tergantung manusianya saja lagi."
 “Itulah yang Bapak suka darimu, kamu cerdas tetapi pandai membawa diri. Ayo sekarang kita lanjutin perjalanan kita."
“Iya, Pak."
Mereka melanjutkan perjalanan menuju sawah milik Pak Syarif. Tak lama kemudian sampailah mereka di tempat tujuan. Jalal terpana melihatnya, pemandangan alam yang begitu indah. Dengan keadaan tanah yang menurun, sawah dibentuk berundak-undak seperti disusun sedemikian rupa sehingga nampak eksotis.
Jalal turun kesawah mengikuti Pak Syarif. Tidak banyak yang dia kerjakan, namun dia tidak bisa diam. Keinginannya melihat aktivitas orang-orang yang kebetulan sedang menanam padi yang sebelumnya sudah disemai sampai agak tinggi pohonnya membuatnya terus berjalan mengikuti Pak Syarif. Sedangkan Pak Syarif langsung berbaur dengan orang-orang yang sedang bekerja. Mereka bekerja nampak cekatan sekali.
Hari beranjak siang, dari kejauhan jalal melihat Jodha dan Bu Javeda datang membawa bakul berisi makan siang. Jodha memakai celana Jeans pendek selutut agak ketat dengan T shirt longgar berlengan ¾, melambaikan tangannya sembari berteriak memanggil Jalal. Jodha nampak santai berpakaian seperti itu. Jalal membalas lambaian tangan Jodha sambil tersenyum, Jodha nampak sekali seperti anak kecil yang kegirangan mendapatkan tempat bermain. Sambil berlari-lari kecil Jodha menuju tempat Jalal yang duduk dibawah pohon yang agak rindang sembari memperhatikan orang-orang kerja.
“Kamu sudah datang Jo?” Sambut Jalal mengulurkan tangannya. Jodha menyambut uluran tangan Jalal kemudian duduk disamping Jalal, “Bagaimana acara masak memasaknya tadi? kamu senang tidak?” Tanya Jalal.
“Senang sih senang, tapi....” Jodha menggantung kata-katanya.
“Tapi kenapa, Jo?”
“Tapi, lihat ini....” Jodha memperlihatkan kedua punggung tangannya. Jalal memperhatikan dengan seksama dengan dahi sedikit berkerut karena tidak mengerti.
“Memangnya kenapa dengan tanganmu, Jo ? aku rasa tidak ada yang salah?”
“Ish...kamu ini tidak mengerti sama sekali sih?” Gerutu Jodha.
“Ya...memang aku tidak mengerti bagaimana lagi." Kata Jalal menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Kukuku  habis patah semua, Jalal.” Kata Jodha sedikit sedih.
“Oh ya ampun, aku baru ingat.” Jalal menepuk dahinya sendiri dia baru sadar memang kalau kuku Jodha sekarang dipotong pendek semua. Sebelumnya kuku tersebut agak panjang terawat. Serasi dengan jari-jarinya yang panjang dan lentik. Jalal menjadi tersenyum geli melihat Jodha yang masih kelihatan belum rela kalau kukunya dipotong pendek semua.
“Sudahlah, Jo. Tidak apa-apa. Nanti juga panjang lagi. Kalau kita sudah pulang kerumah kamu bisa memanjangkan lagi kukumu dan merawatnya disalon. Disini tidak cocok untukmu memanjangkan kuku." Hibur Jalal. Tangannya menggenggam tangan Jodha. Jodha mengangguk dan tersenyum.
Dari kejauhan Bu Javeda memanggil mereka berdua. “Nah Jo, Ibu sudah memanggil tuh. Mungkin saatnya makan siang. Ayo kita kesana." Ajak Jalal bangkit menarik tangan Jodha. Jodha berdiri kemudian melangkah mengekor mengikuti Jalal. Mereka berjalan beriringan sambil bergandengan tangan di pematang sawah menuju pondok sederhana milik Pak Syarif. Tampak Bu Javeda mengatur hidangan yang akan disantap untuk makan siang.  Sementara orang-orang ikut bekerja dengan Pak Syarif mengambil makanannya sendiri-sendiri. Jodha memperhatikan orang-orang yang makan dengan lahabnya nampak damai dan tidak mempunyai beban. Mereka sangat menikmati hidangan tersebut walaupun dimasak secara sederhana.
Jodha dan Jalal pun berbaur dengan mereka menikmati makan siang. Ternyata suasana kekeluargaan ditambah suasana alam yang damai tersebut meningkatkan selera makan Jodha. Makan dengan menggunakan tangan tanpa sendok garpu membuat makanan itu terasa nikmat. Sekarang tanpa sungkan lagi dia makan dengan lahab. Tentu saja Jalal yang melihatnya sangat senang dan bersyukur.
Setelah makan siang orang-orang kembali bekerja disawah, Jalal mengajak Jodha untuk turun kesawah. Awalnya Jodha menolak karena harus melepaskan sendal yang dipakainya. Tetapi Jalal setengah memaksa akhirnya diapun turun kesawah. Perlahan Jodha mencelupkan kakinya dilumpur, sesaat wajahnya meringis karena kakinya terasa geli ketika menyentuh lumpur. Namun Jalal yang sudah terlebih dahulu menjejakkan kakinya dilumpur menarik tangannya sehingga mau tidak mau kaki Jodha akhirnya tercebur juga di lumpur.
Mulut Jodha memberengut karena Jalal telah menariknya, namun Jalal hanya terkekeh saja melihat Jodha yang nampak canggung melangkahkan kakinya dilumpur.
“Ayo Jo, jalan yang cepat dong. Masak jalannya disitu-situ saja." Teriak Jalal. Badannya menghadap ke Jodha namun dia berjalan mundur.
“Iya....iya...tidak sabar banget sih.” Gerutu Jodha berusaha melangkah walaupun secara pelan-pelan.
“Ayo, Jo. cepetan melangkahnya.” Jalal masih saja berteriak, ketika berbalik arah menuju orang-orang yang sedang bekerja entah bagaimana kakinya terpeleset. Alhasil Jalal jatuh terjerembab, setengah tubuhnya terkena lumpur. Jodha yang melihat hal tersebut tertawa terbahak-bahak memegang perutnya.
“A..ha..ha..ha...Jalal kamu lucu sekali, wajahmu ketutup lumpur tuh." Kata Jodha masih tidak bisa berhenti tertawa melihat ekpresi Jalal yang jatuh kelumpur.
Jalal yang sadar ditertawakan oleh Jodha menjadi gemas, diambilnya segenggam lumpur dan dilemparkannya kearah Jodha yang masih tertawa.
“Yes...kena." Teriak Jalal. Jodha yang tidak menduga mendapat lemparan lumpur dari Jalal menjadi terkejut melihat bajunya kotor terkena lumpur.
“Jalal, apa yang kau lakukan? lihat ini...pakaianku jadi kotor." Kata Jodha membersihkan bajunya yang terkena lumpur.
“Ha..ha..ha..biar adil, Jo. kalau tidak begitu kamu mana mau memegang lumpur. Weeekkk !” Jalal menjulurkan lidahnya mengejek Jodha. Jodha yang tidak terima di ejek Jalal langsung menunduk mengambil lumpur dan melemparkannya ke arah Jalal. Jadilah perang lempar-melempar lumpur antara keduanya. Warga desa yang melihat mereka berdua hanya tersenyum geli.
Tanpa Jodha sadari karena asyiknya dia melempar lumpur tanpa memperhatikan lumpur yang dipegangnya dia merasa ada yang aneh ditangannya. Sesuatu yang menggeliat licin, sejenak dipandanginya lumpur yang dipegangnya. Tiba-tiba..”Aaaa....hiiii....Jalaaal...!” Jodha berteriak histeris, dia merasa geli ditangannya. Rupanya tanpa sengaja dia memegang seekor belut seukuran tangan bayi yang baru lahir. Tangan dan tubuh Jodha menegang, hatinya ingin melepas binatang tersebut namun tangannya kaku. Alhasil belut tersebut hanya menggelepar ditangan Jodha.
“Jalaaaall....Jalaaalll...hiiii.....tolong aku." Jalal segera berlari mendekat. Begitu juga orang-orang yang penasaran menghentikan pekerjaan mereka. Setelah mengetahui penyebabnya mereka hanya menggeleng dan kembali bekerja. Sedangkan Jalal yang sudah mendekat mengambil binatang tersebut dari tangan Jodha. Sebenarnya dia ingin tertawa namun juga kasihan melihat Jodha yang geli dan ketakutan menjadi satu.
“Sudah, tidak apa-apa, Jo. Belutnya sudah aku ambil, lumayan buat lauk makan malam nanti." Kata Jalal sambil tersenyum, namun Jodha tidak bereaksi, tangannya masih menegang. Nafasnya juga masih tersengal-sengal. Perlahan Jalal memegang tangan Jodha dan membuka telapak tangannya untuk mengendurkan tangannya yang masih tegang. Sedikit demi sedikit ketegangan Jodha mengendur, dia sudah bisa menguasai dirinya.
 “Ayo, Jo  kita pulang saja. Baju kita kotor semua." Ajak Jalal.
“Iya, tidak enak rasanya memakai baju kotor begini." Jawab Jodha. Akhirnya mereka pulang setelah pamitan dengan Pak Syarif dan Bu Javeda. Setelah sampai dirumah mereka membersihkan diri dan pakaiannya yang terkena lumpur.

~~~0000~~~~

Keesokan harinya Jalal dan Jodha berbenah untuk segera pindah kerumah yang sudah disiapkan untuk mereka. Tidak terasa sudah satu minggu lamanya mereka tinggal dan menginap di tempak Pak Syarif. Selama itu juga Jodha belajar mengurus segala keperluan rumah tangga.
Rumah yang akan mereka tempati sudah diperbaiki secara gotong royong oleh warga desa. Walaupun sederhana namun terasa nyaman. Untuk pertama kalinya Jodha dan Jalal tinggal dirumah sendiri. Ya...hanya mereka berdua. Jalal tersenyum melihat Jodha yang nampak kelelahan sehabis berbenah dan memasak. Jodha membaringkan tubuhnya di kasur, tidak menunggu berapa lama akhirnya diapun tertidur. 
Jalal mendekati dan duduk disampingnya, dipandanginya wajah Jodha yang telah tertidur pulas. Tangannya bergerak mengelus rambut Jodha, “Terima kasih sayang, kamu sudah mau belajar keras untuk hidup bersamaku. Semoga kamu tidak akan pernah bosan dengan keadaan seperti ini, Jodha." Kata Jalal mencium kening Jodha. Sebelum akhirnya dia membaringkan tubuhnya disamping istrinya.

~~~~0000~~~~

Hari berlalu begitu cepat, tidak terasa tiga bulan sudah Jodha dan Jalal menjalani kehidupan di desa.  Semakin hari hubungan mereka semakin mesra, walaupun masih terbatas dengan kontak fisik yang sewajarnya, tidak masalah untuk mereka berdua karena memang masih tahap pengenalan diri masing-masing. Sesekali terdapat pertengkaran masih anggap wajar karena memang terkadang Jodha yang sering memulai namun Jalal dengan sabar berusaha untuk mengalah karena dia bisa memaklumi kalau emosi Jodha sering tidak stabil apalagi sekarang dia jauh dari keluarganya.
Hari itu seperti biasa, Jalal ikut Pak Syarif ke sawah. Setelah hari beranjak siang biasanya Jodha datang membawakan makan siang untuknya bersama Bu Javeda. Benar saja dari kejauhan nampak Jodha, Bu Javeda bersama seorang wanita yang seusia Jodha. Jalal belum pernah melihatnya. Hari itu Jodha terlihat tidak bersemangat seperti biasanya. Mukanya nampak sedikit ditekuk.
Setelah mendekat Jalal menyapa mereka bertiga. “Wah, sudah datang jatah makan siang nih Bu." Kata Jalal basa basi kepada Bu Javeda.
“Iya, Nak Jalal ibu bawakan makan siangnya." Balas Bu Javeda. Sementara Jodha masih diam cuek tanpa melihat ke arah Jalal. Jalal sendiri merasa heran, namun diam saja. Sementara gadis yang disebelah Bu Javeda nampak menatap Jalal dengan senyum-senyum tidak jelas.
“Oh iya, Nak Jalal kenalkan ini anak Ibu yang di Jakarta. Baru datang tadi pagi, namanya Atifa." Ucap Bu Javeda memperkenalkan anaknya. Atifa menjulurkan tangannya untuk bersalaman dengan Jalal. Jalal menyambutnya.
“Kenalkan saya, Jalal.”
“Saya Atifa, Bang Jalal.” ucap gadis itu nampak malu-malu bego.
Sementara Jodha yang melihat itu melengos membuang muka melihat ke arah lain. Jalal tidak menyadari arti pandangan Jodha. Setelah berkenalan dia pun segera melanjutkan pekerjaannya. Sementara ketiga wanita itu menyiapkan hidangan untuk makan siang. Setelah siap merekapun makan bersama.
Atifa berusaha menarik perhatian Jalal, menyiapkan segala keperluan makan Jalal. Jalal mengucapkan terima kasih dengan senyum terpaksa. Diliriknya Jodha yang terlihat acuh dengan melihat kearah lain. Seribu tanda tanya berkecamuk dipikirannya. Namun ia merasa belum tepat waktu untuk bertanya kepada Jodha.
Setelah makan siang selesai, Jodha sudah tidak sabar lagi pamit pulang dengan alasan tidak enak badan. Jodha melangkah pulang setengah berlari. Jalal yang masih penasaran dan heran atas sikap Jodha bermaksud ingin mengejar Jodha.
“Jo, Jodha. Tunggu, ada apa denganmu?” Teriak Jalal. Jodha hanya menoleh sebentar, kemudian kembali berjalan. Jalal sudah mau melangkah mengejar Jodha ketika tangannya di cekal oleh Atifa. Jalal kaget.
“Atifa, ada apa? Kenapa kau menahanku?” Selidik Jalal
“Sudah, biar saja Bang Jalal. Nanti juga dia baik sendiri." Kata Atifa dengan senyum genit.
“Tidak bisa, aku harus mengejarnya. Aku rasa ada yang salah dengannya." Ucap Jalal melepaskan tangan Atifa. Namun tangan Atifa semakin kuat memegang tangan Jalal.
“Tidak apa-apa, Bang. Biar saya saja yang menemani Abang disini ya."
“Maafkan aku, Atifa. Jodha adalah isteriku. Aku takut akan terjadi apa-apa padanya. Tidak biasanya dia bersikap seperti itu. Sekali lagi maafkan aku." Kata Jalal melepaskan tangan Atifa yang mencengkram tangannya. Setelah terlepas diapun berlari pulang menyusul Jodha. Atifa yang ditinggalkan menghentakkan kakinya karena merasa kesal Jalal menolaknya. Dengan kasar dia menghempaskan pantatnya dilantai pondok.
Sementara Jodha yang sudah sampai dirumahnya, langsung masuk kamar dan berbaring di kasur. Air matanya mengalir, diapun menangis terisak-isak. Rasa kesal, sedih, kecewa, cemburu menyatu dalam hatinya. Tangannya memukul-mukul bantal yang menyangga kepalanya sampai akhirnya dia kelelahan. Matanya sembab karena terlalu lama menangis.
Pintu kamar terbuka, nampak Jalal masuk dan menghampirinya. Jodha bangkit dan duduk namun membuang muka kearah samping. Jalal duduk dan tersenyum, perlahan tangan Jalal memegang dagunya dan menghadapkan wajah Jodha kepadanya. Jodha menatap Jalal, namun tidak bersuara. Perlahan wajah Jalal mendekat, bibir mereka bersentuhan. Jodha memejamkan matanya. Jodha merasakan nafas hangat Jalal masuk ke mulutnya. Jodha membalas ciuman Jalal dengan bergairah. Keduanya larut dalam ciuman panas ketika Jalal melepaskan ciumannya. Diciumnya kembali kedua pipi Jodha, kemudian menatap Jodha dengan pandangan penuh cinta.
“Kau sungguh sangat menggemaskan sekali, Jodha." ucap Jalal dengan lembut. Jodha meraba bibirnya dan masih merasakan manisnya ciuman tadi.

Tiba-tiba....

tbc

Tidak ada komentar:

Posting Komentar