Pagi
menjelang terdengar kokok ayam bersahutan membangunkan Jalal dari tidurnya.
Sayup-sayup terdengar suara dari dapur, “Ibu sudah bangun rupanya." Bathin
Jalal. Dia segera bangun, diliriknya Jodha yang masih tertidur nyenyak tidak terganggu dengan suara
apapun. Dibelainya rambut Jodha dengan sayang, diciumnya kening Jodha seraya
berucap “Selamat pagi sayang."
Sekarang
Jalal sudah tidak terlalu canggung lagi untuk mencium kening Jodha, membelai
rambutnya, memeluknya. Dia tahu Jodha pasti sangat senang sekali diperlakukan
seperti itu. Namun berbuat lebih dari itu Jalal masih belum mempunyai
keberanian.
“Sayang, ayo
bangunlah!” Bisik Jalal mendekatkan mulutnya ditelinga Jodha. Jodha bergerak
menghadap kearah Jalal. Bukannya bangun malah tanpa disadarinya Jodha menarik
tangan Jalal sehingga pemuda itu kembali terbaring didekatnya dengan posisi miring
saling menghadap. Tangan Jodha bergerak memeluk Jalal. Jalal yang masih nampak
kaget belum berani bergerak. Dirasakannya nafas hangat Jodha menerpa wajahnya. Jalal
mengagumi Jodha yang sedang tidur, wajahnya terlihat damai. Diselipkannya
rambut Jodha yang jatuh menutup wajahnya ke belakang telinga.
“Sayang, bangunlah. Sudah
pagi." Bisik Jalal sekali lagi. Kali ini Jodha bereaksi.
“Hm...masih
ngantuk Jalal, nanti saja ya." Kata Jodha tanpa membuka matanya dan tanpa
melepaskan pelukannya. Dia masih belum sadar juga kalau Jalal begitu dekat
dengannya dan tangannyalah yang memeluk Jalal.
Jalal memegang
kepala Jodha dan memberanikan diri mencium kening Jodha, pipinya, hidung kemudian
turun ke bibirnya. Melumatnya sedikit dengan perasaan setengah gugup. Bibir itu
terasa empuk dan manis dan tidak ada perlawanan dari Jodha, namun ketika
tangannya menyentuh dan membelai pipi Jodha dia merasa sedikit terkejut karena
pipi itu terasa agak panas, terlihat pipinya berwarna agak kemerahan.
Rupanya,
Jodha merasakan apa yang dilakukan Jalal kepadanya. Namun dia pura-pura masih
tertidur. Jodha mengumpulkan kembali kesadarannya sebelum dia membuka matanya.
Sentuhan-sentuhan Jalal telah memberikan kejutan-kejutan dalam darahnya yang
terasa mengalir hangat sampai kewajahnya menciptakan rona merah. Dadanya
berdebar keras ketika Jalal mencium bibirnya.
“Jo, kamu
sudah bangun sayang?” Tanya Jalal memegang pipi Jodha. Gadis itu tersenyum malu-malu
kemudian membuka matanya perlahan. Mata indahnya menatap Jalal yang tersenyum
melihatnya. Tak tahan lama-lama Jodha menatap Jalal yang membuatnya sangat
malu. Diapun segera meringkuk dipelukan Jalal persis anak kecil yang lagi ingin
bermanja dengan ibunya. Jalal tersenyum geli melihat kelakuan Jodha. Diciumnya
pucuk kepala Jodha sampai lama, sedangkan Jodha memejamkan matanya meresapi
sentuhan bibir Jalal.
Akhirnya Jalal
melepaskan pelukannya karena dirasa hari semakin terang. “Ayo Jo, kita bangun.
Kan hari ini aku akan ikut Bapak kesawah. Nanti kamu nyusul bareng Ibu ya." Ucap Jalal lembut. Jodha hanya mengangguk. “Ayo sekarang mandi, kamu mau mandi
bareng aku?” goda Jalal.
“Gak ah,
udah mandi sana dulu. Aku bikinkan minum dulu ya." Kata Jodha bangkit dan
merapikan tempat tidurnya kemudian ke dapur untuk membuatkan minum buat Jalal.
Sementara Jalal keluar untuk mandi dan membersihkan diri.
~~~0000~~~
Jalal dan
Pak Syarif berjalan menyusuri jalan setapak menuju sawah milik Pak Syarif.
Jalal begitu menikmati suasana alam yang damai nan eksotis. Rasa udara yang
terhisap paru-parunya terasa segar. Membuatnya sangat betah.
“Bagaimana,
Jalal. Kamu betah tinggal disini?” Tanya Pak Syarif.
“Iya, Pak.
Betah sekali. Suasananya memberikan ketenangan. Badan saya terasa sangat
segar." Jawab Jalal. Mendengar jawaban Jalal Pak Syarif tersenyum.
“Oh iya Jalal, mulai besok kalian bisa menempati rumah diujung sana yang sudah
diperbaiki. Kalian tinggal membawa pakaian saja, semuanya sudah disediakan
warga sini. Semoga kalian bisa belajar mandiri dan belajar hidup berumah
tangga." Kata Pak Syarif
“Baiklah Pak
kalau begitu, besok saya dan Jodha akan berbenah.” Kata Jalal.
Pak Syarif
berhenti berjalan kemudian menghadap ke arah Jalal. Tangannya menepuk bahu
Jalal sambil tersenyum. “Bapak senang dengan anak muda sepertimu, Jalal. Kamu
tidak malu untuk belajar. Tidak malu mengerjakan pekerjaan yang biasa dilakukan
oleh orang-orang desa walaupun dari kecil kamu tinggal dikota. Dan kamu juga
pandai membawa diri."
“Saya merasa
tidak berbeda, Pak. Saya rasa desa dengan kota sama saja. Tergantung manusianya
saja lagi."
“Itulah yang Bapak suka darimu, kamu cerdas
tetapi pandai membawa diri. Ayo sekarang kita lanjutin perjalanan kita."
“Iya, Pak."
Mereka
melanjutkan perjalanan menuju sawah milik Pak Syarif. Tak lama kemudian
sampailah mereka di tempat tujuan. Jalal terpana melihatnya, pemandangan alam
yang begitu indah. Dengan keadaan tanah yang menurun, sawah dibentuk
berundak-undak seperti disusun sedemikian rupa sehingga nampak eksotis.
Jalal turun kesawah
mengikuti Pak Syarif. Tidak banyak yang dia kerjakan, namun dia tidak bisa
diam. Keinginannya melihat aktivitas orang-orang yang kebetulan sedang menanam
padi yang sebelumnya sudah disemai sampai agak tinggi pohonnya membuatnya terus
berjalan mengikuti Pak Syarif. Sedangkan Pak Syarif langsung berbaur dengan
orang-orang yang sedang bekerja. Mereka bekerja nampak cekatan sekali.
Hari
beranjak siang, dari kejauhan jalal melihat Jodha dan Bu Javeda datang membawa
bakul berisi makan siang. Jodha memakai celana Jeans pendek selutut agak ketat dengan
T shirt longgar berlengan ¾, melambaikan tangannya sembari berteriak memanggil
Jalal. Jodha nampak santai berpakaian seperti itu. Jalal membalas lambaian
tangan Jodha sambil tersenyum, Jodha nampak sekali seperti anak kecil yang
kegirangan mendapatkan tempat bermain. Sambil berlari-lari kecil Jodha menuju
tempat Jalal yang duduk dibawah pohon yang agak rindang sembari memperhatikan
orang-orang kerja.
“Kamu sudah
datang Jo?” Sambut Jalal mengulurkan tangannya. Jodha menyambut uluran tangan
Jalal kemudian duduk disamping Jalal, “Bagaimana acara masak memasaknya tadi?
kamu senang tidak?” Tanya Jalal.
“Senang sih
senang, tapi....” Jodha menggantung kata-katanya.
“Tapi
kenapa, Jo?”
“Tapi, lihat
ini....” Jodha memperlihatkan kedua punggung tangannya. Jalal memperhatikan
dengan seksama dengan dahi sedikit berkerut karena tidak mengerti.
“Memangnya
kenapa dengan tanganmu, Jo ? aku rasa tidak ada yang salah?”
“Ish...kamu
ini tidak mengerti sama sekali sih?” Gerutu Jodha.
“Ya...memang
aku tidak mengerti bagaimana lagi." Kata Jalal menggaruk kepalanya yang tidak
gatal.
“Kukuku habis patah semua, Jalal.” Kata Jodha sedikit
sedih.
“Oh ya
ampun, aku baru ingat.” Jalal menepuk dahinya sendiri dia baru sadar memang
kalau kuku Jodha sekarang dipotong pendek semua. Sebelumnya kuku tersebut agak
panjang terawat. Serasi dengan jari-jarinya yang panjang dan lentik. Jalal
menjadi tersenyum geli melihat Jodha yang masih kelihatan belum rela kalau
kukunya dipotong pendek semua.
“Sudahlah,
Jo. Tidak apa-apa. Nanti juga panjang lagi. Kalau kita sudah pulang kerumah
kamu bisa memanjangkan lagi kukumu dan merawatnya disalon. Disini tidak cocok
untukmu memanjangkan kuku." Hibur Jalal. Tangannya menggenggam tangan Jodha.
Jodha mengangguk dan tersenyum.
Dari
kejauhan Bu Javeda memanggil mereka berdua. “Nah Jo, Ibu sudah memanggil tuh.
Mungkin saatnya makan siang. Ayo kita kesana." Ajak Jalal bangkit menarik
tangan Jodha. Jodha berdiri kemudian melangkah mengekor mengikuti Jalal. Mereka
berjalan beriringan sambil bergandengan tangan di pematang sawah menuju pondok
sederhana milik Pak Syarif. Tampak Bu Javeda mengatur hidangan yang akan
disantap untuk makan siang. Sementara
orang-orang ikut bekerja dengan Pak Syarif mengambil makanannya
sendiri-sendiri. Jodha memperhatikan orang-orang yang makan dengan lahabnya
nampak damai dan tidak mempunyai beban. Mereka sangat menikmati hidangan
tersebut walaupun dimasak secara sederhana.
Jodha dan
Jalal pun berbaur dengan mereka menikmati makan siang. Ternyata suasana
kekeluargaan ditambah suasana alam yang damai tersebut meningkatkan selera
makan Jodha. Makan dengan menggunakan tangan tanpa sendok garpu membuat makanan
itu terasa nikmat. Sekarang tanpa sungkan lagi dia makan dengan lahab. Tentu
saja Jalal yang melihatnya sangat senang dan bersyukur.
Setelah
makan siang orang-orang kembali bekerja disawah, Jalal mengajak Jodha untuk
turun kesawah. Awalnya Jodha menolak karena harus melepaskan sendal yang
dipakainya. Tetapi Jalal setengah memaksa akhirnya diapun turun kesawah. Perlahan
Jodha mencelupkan kakinya dilumpur, sesaat wajahnya meringis karena kakinya
terasa geli ketika menyentuh lumpur. Namun Jalal yang sudah terlebih dahulu
menjejakkan kakinya dilumpur menarik tangannya sehingga mau tidak mau kaki
Jodha akhirnya tercebur juga di lumpur.
Mulut Jodha
memberengut karena Jalal telah menariknya, namun Jalal hanya terkekeh
saja melihat Jodha yang nampak canggung melangkahkan kakinya dilumpur.
“Ayo Jo,
jalan yang cepat dong. Masak jalannya disitu-situ saja." Teriak Jalal. Badannya
menghadap ke Jodha namun dia berjalan mundur.
“Iya....iya...tidak
sabar banget sih.” Gerutu Jodha berusaha melangkah walaupun secara pelan-pelan.
“Ayo, Jo.
cepetan melangkahnya.” Jalal masih saja berteriak, ketika berbalik arah
menuju orang-orang yang sedang bekerja entah bagaimana kakinya terpeleset.
Alhasil Jalal jatuh terjerembab, setengah tubuhnya terkena lumpur. Jodha yang
melihat hal tersebut tertawa terbahak-bahak memegang perutnya.
“A..ha..ha..ha...Jalal
kamu lucu sekali, wajahmu ketutup lumpur tuh." Kata Jodha masih tidak bisa
berhenti tertawa melihat ekpresi Jalal yang jatuh kelumpur.
Jalal yang
sadar ditertawakan oleh Jodha menjadi gemas, diambilnya segenggam lumpur dan
dilemparkannya kearah Jodha yang masih tertawa.
“Yes...kena." Teriak Jalal. Jodha yang tidak menduga mendapat lemparan lumpur dari Jalal
menjadi terkejut melihat bajunya kotor terkena lumpur.
“Jalal, apa
yang kau lakukan? lihat ini...pakaianku jadi kotor." Kata Jodha membersihkan
bajunya yang terkena lumpur.
“Ha..ha..ha..biar
adil, Jo. kalau tidak begitu kamu mana mau memegang lumpur. Weeekkk !” Jalal
menjulurkan lidahnya mengejek Jodha. Jodha yang tidak terima di ejek Jalal
langsung menunduk mengambil lumpur dan melemparkannya ke arah Jalal. Jadilah
perang lempar-melempar lumpur antara keduanya. Warga desa yang melihat mereka
berdua hanya tersenyum geli.
Tanpa Jodha
sadari karena asyiknya dia melempar lumpur tanpa memperhatikan lumpur yang
dipegangnya dia merasa ada yang aneh ditangannya. Sesuatu yang menggeliat
licin, sejenak dipandanginya lumpur yang dipegangnya.
Tiba-tiba..”Aaaa....hiiii....Jalaaal...!” Jodha berteriak histeris, dia
merasa geli ditangannya. Rupanya tanpa sengaja dia memegang seekor belut
seukuran tangan bayi yang baru lahir. Tangan dan tubuh Jodha menegang, hatinya
ingin melepas binatang tersebut namun tangannya kaku. Alhasil belut tersebut
hanya menggelepar ditangan Jodha.
“Jalaaaall....Jalaaalll...hiiii.....tolong
aku." Jalal segera berlari mendekat. Begitu juga orang-orang yang penasaran
menghentikan pekerjaan mereka. Setelah mengetahui penyebabnya mereka hanya
menggeleng dan kembali bekerja. Sedangkan Jalal yang sudah mendekat
mengambil binatang tersebut dari tangan Jodha. Sebenarnya dia ingin tertawa
namun juga kasihan melihat Jodha yang geli dan ketakutan menjadi satu.
“Sudah, tidak
apa-apa, Jo. Belutnya sudah aku ambil, lumayan buat lauk makan malam nanti." Kata Jalal sambil tersenyum, namun Jodha tidak bereaksi, tangannya masih
menegang. Nafasnya juga masih tersengal-sengal. Perlahan Jalal memegang tangan
Jodha dan membuka telapak tangannya untuk mengendurkan tangannya yang masih
tegang. Sedikit demi sedikit ketegangan Jodha mengendur, dia sudah bisa
menguasai dirinya.
“Ayo, Jo
kita pulang saja. Baju kita kotor semua." Ajak Jalal.
“Iya, tidak enak rasanya memakai baju kotor begini." Jawab Jodha. Akhirnya
mereka pulang setelah pamitan dengan Pak Syarif dan Bu Javeda. Setelah sampai
dirumah mereka membersihkan diri dan pakaiannya yang terkena lumpur.
~~~0000~~~~
Keesokan
harinya Jalal dan Jodha berbenah untuk segera pindah kerumah yang sudah
disiapkan untuk mereka. Tidak terasa sudah satu minggu lamanya mereka tinggal
dan menginap di tempak Pak Syarif. Selama itu juga Jodha belajar mengurus
segala keperluan rumah tangga.
Rumah yang
akan mereka tempati sudah diperbaiki secara gotong royong oleh warga desa. Walaupun
sederhana namun terasa nyaman. Untuk pertama kalinya Jodha dan Jalal tinggal
dirumah sendiri. Ya...hanya mereka berdua. Jalal tersenyum melihat Jodha yang
nampak kelelahan sehabis berbenah dan memasak. Jodha membaringkan tubuhnya di
kasur, tidak menunggu berapa lama akhirnya diapun tertidur.
Jalal mendekati dan
duduk disampingnya, dipandanginya wajah Jodha yang telah tertidur pulas.
Tangannya bergerak mengelus rambut Jodha, “Terima kasih sayang, kamu sudah mau
belajar keras untuk hidup bersamaku. Semoga kamu tidak akan pernah bosan dengan
keadaan seperti ini, Jodha." Kata Jalal mencium kening Jodha. Sebelum akhirnya
dia membaringkan tubuhnya disamping istrinya.
~~~~0000~~~~
Hari berlalu
begitu cepat, tidak terasa tiga bulan sudah Jodha dan Jalal menjalani kehidupan
di desa. Semakin hari hubungan mereka
semakin mesra, walaupun masih terbatas dengan kontak fisik yang sewajarnya,
tidak masalah untuk mereka berdua karena memang masih tahap pengenalan diri
masing-masing. Sesekali terdapat pertengkaran masih anggap wajar karena memang
terkadang Jodha yang sering memulai namun Jalal dengan sabar berusaha untuk mengalah
karena dia bisa memaklumi kalau emosi Jodha sering tidak stabil apalagi
sekarang dia jauh dari keluarganya.
Hari itu
seperti biasa, Jalal ikut Pak Syarif ke sawah. Setelah hari beranjak siang
biasanya Jodha datang membawakan makan siang untuknya bersama Bu Javeda. Benar
saja dari kejauhan nampak Jodha, Bu Javeda bersama seorang wanita yang seusia
Jodha. Jalal belum pernah melihatnya. Hari itu Jodha terlihat tidak bersemangat
seperti biasanya. Mukanya nampak sedikit ditekuk.
Setelah
mendekat Jalal menyapa mereka bertiga. “Wah, sudah datang jatah makan siang nih
Bu." Kata Jalal basa basi kepada Bu Javeda.
“Iya, Nak
Jalal ibu bawakan makan siangnya." Balas Bu Javeda. Sementara Jodha masih diam
cuek tanpa melihat ke arah Jalal. Jalal sendiri merasa heran, namun diam saja.
Sementara gadis yang disebelah Bu Javeda nampak menatap Jalal dengan
senyum-senyum tidak jelas.
“Oh iya, Nak
Jalal kenalkan ini anak Ibu yang di Jakarta. Baru datang tadi pagi, namanya
Atifa." Ucap Bu Javeda memperkenalkan anaknya. Atifa menjulurkan tangannya
untuk bersalaman dengan Jalal. Jalal menyambutnya.
“Kenalkan
saya, Jalal.”
“Saya Atifa, Bang Jalal.” ucap gadis itu nampak malu-malu bego.
Sementara
Jodha yang melihat itu melengos membuang muka melihat ke arah lain. Jalal tidak
menyadari arti pandangan Jodha. Setelah berkenalan dia pun segera melanjutkan
pekerjaannya. Sementara ketiga wanita itu menyiapkan hidangan untuk makan
siang. Setelah siap merekapun makan bersama.
Atifa
berusaha menarik perhatian Jalal, menyiapkan segala keperluan makan Jalal. Jalal
mengucapkan terima kasih dengan senyum terpaksa. Diliriknya Jodha yang terlihat
acuh dengan melihat kearah lain. Seribu tanda tanya berkecamuk dipikirannya.
Namun ia merasa belum tepat waktu untuk bertanya kepada Jodha.
Setelah
makan siang selesai, Jodha sudah tidak sabar lagi pamit pulang dengan alasan
tidak enak badan. Jodha melangkah pulang setengah berlari. Jalal yang masih
penasaran dan heran atas sikap Jodha bermaksud ingin mengejar Jodha.
“Jo, Jodha. Tunggu, ada apa denganmu?” Teriak Jalal. Jodha hanya menoleh sebentar, kemudian kembali
berjalan. Jalal sudah mau melangkah mengejar Jodha ketika tangannya di cekal
oleh Atifa. Jalal kaget.
“Atifa, ada
apa? Kenapa kau menahanku?” Selidik Jalal
“Sudah, biar
saja Bang Jalal. Nanti juga dia baik sendiri." Kata Atifa dengan senyum genit.
“Tidak bisa,
aku harus mengejarnya. Aku rasa ada yang salah dengannya." Ucap Jalal
melepaskan tangan Atifa. Namun tangan Atifa semakin kuat memegang tangan Jalal.
“Tidak
apa-apa, Bang. Biar saya saja yang menemani Abang disini ya."
“Maafkan aku, Atifa. Jodha adalah isteriku. Aku takut akan terjadi apa-apa padanya.
Tidak biasanya dia bersikap seperti itu. Sekali lagi maafkan aku." Kata Jalal
melepaskan tangan Atifa yang mencengkram tangannya. Setelah terlepas diapun
berlari pulang menyusul Jodha. Atifa yang ditinggalkan menghentakkan kakinya
karena merasa kesal Jalal menolaknya. Dengan kasar dia menghempaskan pantatnya
dilantai pondok.
Sementara
Jodha yang sudah sampai dirumahnya, langsung masuk kamar dan berbaring di
kasur. Air matanya mengalir, diapun menangis terisak-isak. Rasa kesal, sedih, kecewa,
cemburu menyatu dalam hatinya. Tangannya memukul-mukul bantal yang menyangga
kepalanya sampai akhirnya dia kelelahan. Matanya sembab karena terlalu lama
menangis.
Pintu kamar
terbuka, nampak Jalal masuk dan menghampirinya. Jodha bangkit dan duduk
namun membuang muka kearah samping. Jalal duduk dan tersenyum, perlahan tangan
Jalal memegang dagunya dan menghadapkan wajah Jodha kepadanya. Jodha menatap
Jalal, namun tidak bersuara. Perlahan wajah Jalal mendekat, bibir mereka
bersentuhan. Jodha memejamkan matanya. Jodha merasakan nafas hangat Jalal masuk
ke mulutnya. Jodha membalas ciuman Jalal dengan bergairah. Keduanya larut dalam
ciuman panas ketika Jalal melepaskan ciumannya. Diciumnya kembali kedua pipi
Jodha, kemudian menatap Jodha dengan pandangan penuh cinta.
“Kau sungguh
sangat menggemaskan sekali, Jodha." ucap Jalal dengan lembut. Jodha meraba
bibirnya dan masih merasakan manisnya ciuman tadi.
Tiba-tiba....
tbc
Tidak ada komentar:
Posting Komentar