“Aku adalah
calon suaminya.”
Kembali
Jalal dan teman-temannya terkejut. Dia tidak percaya semudah itu. Apalagi
ketika melihat penampilannya begitu tidak cocok sekali dengan Inem. Tiba-tiba
dia teringat cerita Inem yang mengatakan kalau dia kabur dari rumah karena mau
dijodohkan dengan teman ayahnya.
“Nem, apa
dia itu laki-laki yang kamu bilang ingin dijodohkan ayahmu denganmu?” bisik
Jalal. Jodha menoleh ke arah tuan mudanya dan mengangguk.
“Iya Tuan.
Memang dia orangnya. Tapi Tuan jangan melawannya. Saya takut Tuan kenapa-kenapa
nanti.” Kata Jodha pelan. Jalal tersenyum.
“Kamu tenang
aja Nem, aku tidak akan kalah semudah itu.” Jawab Jalal dengan percaya diri.
Jodha hanya memutar bola matanya dengan malas. Tuannya belum tahu saja siapa
itu Adam. Dikiranya Adam itu anak SD yang sekali pukul langsung keok. Atau
jangan-jangan tuan mudanya yang sekali pukul sama Adam langsung ambruk. Jodha
tertawa dalam hati. Dilihatnya lagi tuan mudanya yang sedang maju berhadapan
dengan Adam dan dibelakang tuan mudanya berdiri Man dan Surya. Melihat keduanya
Jodha tidak yakin mereka akan menang melawan Adam dan bodyguardnya itu. Namun,
Jodha diam saja. Tidak menegur, ingin tahu sampai dimana keberanian tuan
mudanya itu membelanya.
“Siapa kamu
jadi berani mengakui kekasihku sebagai calon suaminya?” tanya Jalal dengan
tersenyum sinis. Adam tertawa.
“Kekasihmu?
Aku tidak perduli. Dia sudah dijual Ayahnya kepadaku.” Jawab Adam dengan
enteng. Membuat Jalal menjadi emosi. Dia tidak rela Inemnya di jual kepada laki-laki
br*****k seperti yang di depannya ini.
Cuiihhh...Jalal
meludah di hadapan Adam, membuat laki-laki itu menggeram mengetatkan rahangnya.
Mereka berdua bertatapan untuk saling mengintimidasi. Jalal walaupun merasa
masih muda dari laki-laki yang ada di depannya ini namun dia tidak merasa takut
sedikitpun. Dia akan membuktikan kepada Inem kalau dia akan melindunginya.
Sementara
itu Jodha memperhatikan mereka sambil bersidekap. Dalam hatinya dia salut juga
atas keberanian tuan mudanya itu. Dia merasa tersanjung dan terlindungi. Ada
kehangatan yang menjalar di hatinya melihat semua itu.
“Aku
peringatkan, lebih baik kamu pergi sekarang daripada kamu akan menyesal nanti.”
Bentak Jalal lagi. Kembali Adam tertawa sinis, di susul kedua anak buahnya.
“Eh, anak
muda jangan pernah berani-berani memerintahku. Kamu belum tahu siapa aku. Jadi
lebih baik serahkan gadis itu.” Jalal tersenyum miring.
“Aku tidak
perlu tahu siapa kamu dan aku tidak perduli. Jadi jangan coba-coba
mengancamku.” Jawab Jalal tidak kalah sinisnya.
“Baiklah,
karena kau yang meminta jangan salahkan aku bila aku tidak bisa menahan diri
untuk menghabisimu.”
“Buktikan
kalau kau bisa.” Adam menggeram marah.
Sementara
Man berbisik kepada Jalal, “bos, yakin nih kita bisa menghadapi mereka?” tanya
Man sedikit ketakutan. Melihat badan ketiga orang dihadapan mereka membuat
Mansingh dan Surya agak menciut nyalinya. Berbeda dengan Jalal, walaupun dia
tidak yakin menang namun dia tidak boleh menyerah begitu saja. Setidaknya dia
bisa membuktikan kepada Inem kalau dia bukan anak mama yang manja.
“Kamu
takut?” tanya Jalal lagi. Man menggaruk-garuk kepalanya sambil meringis.
“Badannya
itu lo Bos, gede banget. Kalau di tonjok itu keras nggak ya?” keluh Mansingh.
Membuat kepalanya di keplak oleh Jalal.
“Bilang aja
kalau kamu takut.” Kembali Jalal berbisik.
“Sudah
selesai musyawarahnya? Udah ketemu keputusannya?” ejek Adam. Membuat wajah
Jalal merah karena emosi.
“Tidak usah
banyak omong, ayo maju.” Tantang Jalal sambil memasang kuda-kuda sebisanya. Sejenak
Adam tersenyum sinis sebelum akhirnya dia maju dan melayangkan tinjunya tangan
kanannya ke arah wajah Jalal.
Jalal yang
sudah memprediksi arah tinjunya Adam mengelak kesamping, tetapi rupanya dia
salah perhitungan karena kaki kiri Adam langsung menendang perutnya. Jalal
langsung terbungkuk menahan sakit di bagian perutnya, namun dia berusaha untuk
menegakkan badannya.
Tetapi belum
sempat Jalal berdiri tegak Adam sudah meninju pelipisnya yang membuatnya merasa
berkunang-kunang dan terhuyung kebelakang. Untungnya Man dan Surya segera
menahan tubuhnya sehingga dia tidak ambruk.
“Bos, sudah.
Sepertinya bos sudah tidak bisa melawan lagi. Kita nyerah aja ya bos.” Kata
Surya, tetapi malah mendapat pelototan dari Jalal.
“Enak saja
nyerah, kamu itu laki-laki tidak sih?” sembur Jalal kepada kedua temannya itu.
“Ya....ya....tapi,
mereka kuat sekali bos.” Jawab Surya terbata-bata.
“Sekuat
apapun aku akan melawannya. Minggir.” Bentak Jalal berusaha melepaskan diri
dari pegangan kedua sahabatnya itu. Dia kembali maju dan menantang Adam.
“Bagaimana?
Masih sanggup melawan?” tanya Adam dengan senyum mengejek. Jalal tersenyum
miring.
“Tentu saja
aku masih sanggup melawanmu, yang itu tadi cuma masalah kecil saja.” Pancing
Jalal. Karuan saja Adam mencak-mencak tidak terima. Dia kembali menyerang
Jalal. Kali ini Jalal lebih hati-hati dan waspada. Dia tidak mau kalah kedua
kalinya. Meskipun sosok Adam lebih tinggi daripada dirinya tidak membuatnya
menyerah begitu saja.
Ketika Adam
melayangkan tinjunya ke arah wajah Jalal, dengan cepat Jalal menghindar
kesamping dan salah satu kakinya menginjak lutut Adam membuat laki-laki itu
meringis kesakitan meski tidak membuatnya jatuh.
Adam
menggeram marah. Kali ini dia tidak main-main lagi, cukup sudah main-mainnya yang
membuatnya sangat jengkel. Memang, Jalal bukanlah tandingan Adam. Dengan mudah
dia mengalahkan Jalal yang memang sangat minim pengalaman dalam berkelahi.
Wajahnya sudah babak belur tidak karuan, mulutnya mengalirkan darah segar.
Jodha tidak tega juga melihatnya, apalagi tuan
mudanya itu berkelahi demi dirinya. Dia segera menghampiri Jalal yang masih
terduduk mengusap bibirnya yang berdarah. Kepalanya sudah terasa sangat pusing,
namun dia berusaha untuk bangkit lagi ketika Jodha menahan pundaknya. Jalal
mendongak melihat ke arah Jodha.
“Sudah Tuan.
Cukup. Biarkan saya yang menanganinya karena ini adalah urusan saya. Maaf sudah
membuat Tuan seperti ini.....” kata Jodha dengan sedih. Jalal menggelengkan
kepalanya sambil tersenyum.
“Ini semua demi kamu Nem. Tidak masalah aku
merasakan sakit, asalkan aku bisa melihatmu tersenyum. Aku tidak ingin
laki-laki itu menyakitimu.” Bisik hati Jalal.
“Nggak Nem,
aku tidak apa-apa. Aku masih kuat menghadapinya.” Sahut Jalal membuat Jodha
semakin merasa tidak enak.
“Nggak Tuan.
Ini sudah lebih dari cukup. Dan saya berterima kasih kepada Tuan sudah membela
saya. Sekali ini biarkan saya yang menyelesaikan masalah saya sendiri. Tuan
tenang aja, saya tidak apa-apa.”
“Tapi
Nem..... kamu jangan nekat. Dia jahat sekali.” Ucap Jalal penuh dengan ke
khawatiran. Jodha tersenyum dan mengangguk.
“Saya tahu.”
Katanya dengan tenang, dan menatap ke arah Man dan surya, “tolong jaga Tuan
ya.” Merek berdua pun mengangguk. Jodha tersenyum dan segera berdiri dan
berbalik menghadap Adam. Tangannya merogoh kantong celananya dan mengeluarkan
sebuah benda yang membuat tuan mudanya dan juga cs nya merasa heran. Sebuah
karet gelang. Memangnya mau di apain itu benda? Pikir mereka.
Dengan
santainya Jodha menatap Adam yang tersenyum menyeringai melihatnya. Tangannya
bergerak dengan cepat menggelung rambutnya yang memang terurai akibat
permintaan tuan mudanya sebelum berangkat tadi.
Setelah
mengikat rambutnya, Jodha kembali merogoh kantong celananya dan kembali
mengeluarkan sebuah benda, apalagi kalau bukan permen karet. Menurutnya permen
karet bisa membuatnya mengurangi ketegangan. Sambil mengunyah permen karet
Jodha pun bersiap. Tidak nampak dia melakukan apa-apa hanya saja dia waspada
atas segala kemungkinan. Jalal dan sahabatnya merasa takjub dengan ketenangan
Jodha. Sepertinya gadis itu tidak merasa takut sedikitpun.
“Hallo
manis, kita berjumpa lagi.” Kata Adam sambil menyeringai, membuat ingin merasa
muntah saat itu juga, “ bagaimana? Apa kau terima tawaranku lewat Ayahmu?”
Jodha tersenyum sinis.
“Maaf, saya
tidak berminat dengan tawaran Anda. Dan Ayah saya memberikan pilihan kepada
saya menerima tawaran Anda atau pergi dari rumah. Dan sayangnya sekarang saya
kabur dari rumah. Bukankah itu sudah menjadi jawaban buat Anda?” kata Jodha
setengah mengejek. Seringaian Adam pun memudar seiring kata-kata Jodha.
“Itu bukan
jawaban manis. Karena aku tidak butuh jawabanmu. Oh, ayolah...ikut aku
baik-baik atau aku paksa?” Jodha tersenyum mengejek.
“Maaf, tidak
keduanya. Tidak usah mimpi bisa membawaku bersamamu.” Adam menggeram marah.
“Sombong
sekali kau. Apa kau tidak tahu banyak wanita yang ingin diperistri olehku.
Harusnya kamu beruntung aku dengan suka rela ingin menjadikanmu istriku.”
“Terus,
kenapa tidak kau pilih saja salah satu dari mereka? Kenapa kau justru
memaksaku?” tanya Jodha masih dengan sikap tenang.
“Itu karena
aku yang ingin memilihmu.” Adam tersenyum, “ayolah Manis, ikutlah denganku.
Ayahmu bahkan ikut menghilang dan lari dari tanggungjawabnya, jadi kau yang
akan menggantikan semua itu.” Raut wajah Jodha berubah. Dia tidak mengira kalau
Ayahnya juga kabur dari rumah, “tapi kau tenang saja kalau kamu sudah menjadi
istriku rumah Ayahmu yang aku sita akan aku kembalikan padamu. Bagaimana? Aku
baikkan?” kata Adam tertawa remeh.
Jodha masih
tidak menjawab, pikirannya masih memikirkan Ayahnya. Kalau rumahnya disita oleh
Adam dia tidak perduli. Tetapi ayahnya sekarang ada dimana? Dia tinggal dengan
siapa?
“Ayo manis,
ikutlah bersamaku. Nanti kita cari Ayahmu bersama-sama. Tenang saja, aku tidak
akan menyakitinya asalkan kamu mau menerima tawaranku.” Bujuk Adam. Jodha
menatap laki-laki itu tanpa ekspresi. Dia perlahan melangkah mendekat, Adam
tersenyum senang. Kedua tangannya direntangkan siap untuk memeluk Jodha. Kedua
anak buah Adam pun ikut tersenyum. Sedangkan Jalal nampak panik, takut Jodha
benar-benar ikut dengan Adam.
“Jangan ikut
dengannya Nem. Dia hanya ingin memanfaatkanmu saja. Dia membohongimu. Please.” Teriak Jalal berusaha
menghentikan langkah Jodha yang semakin mendekati Adam. Benar saja langkah
Jodha terhenti, dia menoleh kebelakang melihat tuan mudanya masih terduduk
dengan memegang dadanya dia menatap Jodha dengan pandangan memelas berharap
Inemnya berubah pikiran.
Setelah
menatap tuan mudanya agak lama, Jodha kembali melihat ke arah Adam yang masih
tersenyum kepadanya. Dia kembali melangkah ke arah Adam, Jalal yang melihatnya
hanya memejamkan matanya. Tidak sanggup melihat Inemnya harus pergi bersama
laki-laki br*****k seperti Adam. Dadanya semakin sakit membayangkan kembali
penderitaan gadis itu. Jalal berharap bisa diberi kesempatan untuk bisa
membahagiakannya meski dia tidak tahu dengan cara apa.
Sementara
Jodha semakin dekat dengan Adam, hanya berjarak beberapa puluh centimeter saja
tubuh mereka. Kedua tangan Adam sudah bergerak ingin merangkul Jodha, tetapi sebelum
benar-benar kedua tangan itu menyentuh tubuh itu Adam menjerit kesakitan ketika
kepala Jodha menanduk dagu Adam membuat kepalanya terangkat ke atas bersamaan
dengan jeritannya. Suatu keuntungan buat Jodha karena Adam lebih tinggi
darinya. Kepala Jodha hanya sebatas dagunya saja.
Belum sempat
Adam berpikir apa yang terjadi karena merasa ngilu di dagu dan juga mulutnya
karena giginya terbentur begitu kencang, Jodha sudah mengangkat lututnya dan menendang
selangkangan Adam dengan keras menggunakan dengkulnya membuat Adam terbeliak
kesakitan memegang barang pusakanya sambil terbungkuk.
Ketika dalam
keadaan terbungkuk itulah Jodha menghantamkan sikunya dengan keras di atas punggung
dekat leher Adam. Kalau dilihat sekilas tangan Jodha yang mungil itu terlihat
tidak berarti apa-apa, tetapi ternyata tenaga yang digunakannya begitu besar
sampai kembali Adam mengerang kesakitan. Mulutnya menyembur darah segar. Belum
sempat Adam menyadari keadaannya, kedua tangan Jodha sudah mencengkram rambut
Adam dan mengangkat dengkulnya serta menghantamkan wajah itu dengan keras
diatas dengkulnya.
Adam ambruk
di tanah dengan wajah leban dan
berdarah, dia masih lemas belum bisa bersuara apa-apa selain mengerang
kesakitan dengan kedua tangannya masih memegang barang pusakanya itu. kedua
anak buahnya hanya terpaku, terkesima melihat kejadian yang begitu cepat
menimpa bosnya. Begitu juga dengan Jalal dan kedua sahabatnya. Sedangkan Jodha
hanya berdiri dengan tenang sambil mengusap-usap kedua telapak tangannya, sesekali
dia meletupkan balon permen karetnya itu.
“Aku
peringatkan sekali lagi. Jangan pernah memaksaku untuk melakukan yang tidak aku
inginkan. Apalagi kau sudah mengambil semua yang aku punya. Bahkan Ayahku pun
kau pisahkan dariku. Dan jawabanku adalah tetap TIDAK.” Ucap Jodha dengan suara
dingin. Suasana di parkiran tersebut hening. Orang-orang mulai banyak menonton,
namun tidak ada yang berani ikut campur hanya berdiri agak jauh.
Dengan susah
payah Adam, berusaha bangkit namun tidak bisa. Dia hanya terduduk lemas,
matanya menatap Jodha dengan tajam dan penuh kemarahan.
“Kau....kau....rupanya
kau tidak bisa dikasih hati.” Jodha hanya tersenyum miring, sambil meletupkan
permen karetnya sambil berkacak pinggang dengan santai, “aku akan membuat
memohon-mohon minta ampun kepadaku.” Ucap Adam sambil menyeringai.
“Boleh. Silakan
dicoba lagi.” Ejek Jodha masih bersikap tenang. Adam menoleh ke arah kedua anak
buahnya.
“Kenapa
kalian diam saja, tangkap gadis nakal itu, seret dan jangan dilepaskan lagi.”
Perintah Adam kepada kedua anak buahnya. Keduanya mengangguk dan menoleh ke
arah Jodha.
“Cih,...bisanya
main keroyokan saja. Sama perempuan lagi. Dasar tidak punya malu. Sini, ayo
maju. Kepalan tanganku ini sudah lama tidak memakan korban.” Ucap Jodha
mengepalkan tangan kanannya dan meniupnya perlahan, matanya melirik kedua anak
buah Adam yang nampak ragu-ragu untuk maju, “asal tahu saja, ini tangan pernah
menghancurkan batok kepala preman di Tanah Abang. Kalau kalian ingin merasakan
juga silakan maju. Ayo jangan ragu. Akan aku layani kali berdua sekaligus.”
Ucap Jodha, tangan kirinya melambai memanggil kedua anak buah Adam.
Mendengar
ucapan Jodha keduanya langsung pucat pasi dan tanpa sadar memegang kepala masing-masing
sambil meringis.
“Oh, atau
ingin barang pusaka kalian tidak bisa dipakai lagi. Boleh. Dengan senang hati
aku akan membantu kalian. Ayo, maju.” Ucap Jodha sambil memasang kuda-kuda
persis seperti seorang petinju yang akan mulai bertanding. Kedua bodyguard itu
langsung memegang barang pusakanya seolah baru saja diserang oleh Jodha.
“Kalian
kenapa jadi pengecut begitu. Masa dengan anak kecil seperti itu saja kalian
tidak berani. Percuma punya badan gede.” Bentak Adam kepada kedua anak buahnya.
Dia berusaha bangkit, namun terjatuh lagi. Rasa nyeri diselangkangannya
membuatnya tidak sanggup untuk berdiri. Dia menyumpah-nyumpah panjang pendek.
Jodha yang melihat itu hanya tertawa kecil.
“Ma...maaf
bos, kami masih sayang dengan kepala dan senjata kami bos. Maafkan kami.”
“Cih, dasar
anak buah tidak bisa diharapkan. Sama perempuan begitu saja takut.” Bentak
Adam.
“Lah, bos
sendiri dihajar sama dia aja nggak bisa bangun.” Bantah anak buahnya. Membuat
Adam semakin marah.
“Diam kamu.”
Anak buahnya langsung terdiam, “ ayo kita pergi dari sini. Nanti kita urus dia
lagi.” Kedua anak buahnya mengangguk.
“I...iya
bos, baik bos.” akhirnya Adam berdiri dengan dipapah oleh kedua anak buahnya.
Dia menoleh sebentar ke arah Jodha yang masih bermain dengan permen karetnya
dan berkacak pinggang.
“Urusan kita
belum selesai Manis. Lain kali kau tidak akan aku lepaskan lagi. Ingat itu.”
Jodha hanya mengangguk-angguk kecil sambil tersenyum.
“Oke. Dan ntar jangan lupa silakan di rontgen ya barang pusakanya, semoga saja
masih bisa dipakai.” Ucap Jodha sambil terkekeh. Adam hanya bisa menggeram
marah namun tidak bisa berbuat apa-apa, “huh, preman dilawan.” Ucap Jodha
dengan santainya melihat Adam dan anak buahnya pergi.
Tepuk tangan
pun menggema melihat keberhasilan Jodha melawan Adam, Jodha hanya tersenyum
manis kepada mereka. Sampai akhirnya mereka pun membubarkan diri dari tempat
itu. Jodha pun membuang permen karet yang ada dimulutnya itu ke tempat sampah.
Jodha
berpaling menghadap ke arah tuan mudanya dan juga kedua sahabatnya itu yang
sejak tadi tidak bersuara karena begitu takjub dan terkesima melihat aksi Jodha
melawan Adam. Pantas saja dia nampak tenang-tenang saja, rupanya dia mantan
preman. Jodha hanya tersenyum geli melihat ekspresi mereka bertiga. Dia
membungkuk dan duduk berjongkok di hadapan tuan mudanya yang terus mengikuti
segala gerak geriknya lewat tatapan matanya.
“Tuan....”
panggil Jodha mengguncang tangan Jalal.
Jalal
tersentak.
“Ya...yaaa...”
jawabnya dengan tergagap. Begitupun dengan Man dan Surya. Mereka berdua seolah
diam seribu bahasa. Membuat Jodha mendecak.
“Seperti
tidak pernah melihat perempuan berkelahi saja.” Gerutu Jodha.
“Nem..”
akhirnya Jalal bersuara.
“Ya Tuan..”
“Kamu nggak
apa-apa?” tanya Jalal, tangannya mengusap-usap pipi Jodha membuat gadis itu
tersenyum.
“Saya tidak
apa-apa Tuan, maaf sudah membuat Tuan seperti ini.” Jalal menggeleng.
“Setidaknya
kamu tidak akan menganggapku anak mama lagi kan?” Jodha menunduk dan terkekeh
mendengar jawaban tuan mudanya itu.
“Hm...ya...sepertinya
Tuan sekarang menjadi seorang pria sejati.” Puji Jodha dengan tulus. Jalal
tersenyum senang, meski kemudian dia meringis karena wajahnya sakit bila di
gerakkan. Jodha pun tersenyum.
“Ayo Tuan
kita pulang.” Jalal mengangguk.
“Apa perlu
kami bantu bos?” tanya Man setelah sadar dari keterpanaannya. Jalal menggeleng.
“Nggak usah
Man, aku kuat saja kok. Makasih ya. Aku pulang dulu.” Ujar Jalal sambil berdiri
dengan dipapah oleh Jodha. Kedua sahabatnya mengangguk. Sebelah tangan Jalal di
letakkan diatas bahu Jodha dan tangannya dipegang oleh gadis itu. Sedangkan sebelah
tangan Jodha memeluk pinggang tuan mudanya. Jodha tidak nampak risih sama
sekali, dengan santai dia membimbing Jalal melangkah menuju jeepnya.
Berdekatan
dengan begitu dekat dengan Jodha membuat jantung Jalal berdegub kencang, tidak
dapat disembunyikan lagi kupu-kupu kebahagiaan yang terus terbang didadanya.
Dia berharap jarak jeepnya masih jauh agar bisa lebih lama lagi berada di dekat
Inemnya itu. Sepanjang jalan, Jalal terus menatap wajah Jodha tanpa bisa
mengalihkan ke arah lain. Sedangkan Jodha hanya sesekali saja membalas tatapan
tuan mudanya itu dan tersenyum, dia lebih banyak melihat ke arah jalan.
Setelah
sampai di tempat jeepnya terparkir, Jodha segera menurunkan tangan tuan mudanya
dari bahunya dan membuka pintu jeep itu serta membantu pemuda itu untuk naik
dan masuk. Kemudian dia setengah berlari mengitari jeep tersebut untuk masuk
kebelakang kemudi. Perlahan Jodha membawa jeep tuan mudanya keluar dari area
parkiran untuk pulang kerumah.
Sepanjang
jalan mereka hanya diam, Jalal sesekali memegang rahangnya yang terasa sakit namun
dia tidak mengeluh apapun. Malu dong. Hehehe....
Jodha sesekali
melirik ke arah tuan mudanya itu sambil tersenyum meski terselip rasa kasihan
di hatinya melihat keadaan pemuda itu, dia menjadi seperti itu juga karena
membela dirinya. Jodha menjadi merasa bersalah.
“Tuan....”
Jalal menoleh.
“Ya..”
“Maafkan
saya ya bikin Tuan jadi seperti ini.” Jalal tersenyum
“Tidak
apa-apa, harusnya aku yang minta maaf tidak bisa berbuat apa-apa untuk
melindungimu. Malah kamu yang lebih hebat dariku.” Jodha terkekeh.
“Tidak ada
yang hebat Tuan. Kebetulan aja seperti itu.”
“Jujur, aku
salut sama kamu Nem. Kamu bahkan tidak takut menghadapi lak-laki itu yang
nyata-nyata terlihat begitu kejam. Bahkan kamu bisa mengalahkannya dengan
mudah.” Puji Jalal dengan tulus. Jodha hanya tersenyum tipis.
“Sejak
menjadi joki di arena balapan, saya memang sering berkelahi meskipun hanya
sekedar membela diri. Dan parahnya yang saya hadapi itu rata-rata laki-laki
yang berniat curang dan kurang ajar. Menurut saya, setiap masalah itu harus
dihadapi bukan ditinggal lari. Karena semakin kita lari masalah kita akan
semakin besar.
“Iya, kamu
bener Nem. Aku saja sebagai laki-laki merasa malu sama kamu. Kamu jauh lebih
kuat dariku. Padahal badan kamu kecil begitu.” Jodha terkekeh lagi.
“Jangan
lihat kecilnya Tuan. Kuman aja tuh juga kecil, tapi dia bisa membuat orang
sekuat apapun menjadi sakit bahkan mati. Apalagi saya sebagai manusia yang
punya akal dan pikiran.” Jalal mengangguk.
“Iya, kamu
benar Nem.” Mereka berdua pun tersenyum bersama.
Setelah
sampai di rumah, kembali Jodha memapah tuan mudanya masuk ke dalam. Bu Hamidah
tentu saja kaget bukan kepalang melihat anaknya pulang dalam keadaan babak
belur.
“Ya ampun sayang, kamu kenapa bisa jadi begini? Siapa
yang ngelakuin ini sama kamu?” tanya Bu Hamidah dengan hebohnya. Jalal melirik
ke arah Jodha yang memapahnya, membuat Jodha menunduk merasa bersalah.
“Nggak apa-apa Ma. Hanya salahpaham saja.” Ucap Jalal
dengan santai. Jodha langsung mendongak. Menatap tuan mudanya itu.
“Salah paham dengan siapa sayang?” tanya Bu Hamidah penasaran.
“Bu....bukan salah paham Bu,...” Sahut Jodha, Bu
Hamidah menoleh ke arah Jodha. Dahinya mengeryit heran, “Tuan....Tuan...begini
karena berkelahi membela saya Bu. Maafkan saya sudah bikin Tuan jadi begini, silakan hukum saja saya sudah bikin
tuan muda seperti ini,” jawab Jodha dengan pasrah. Bu hamidah melongo tidak percaya.
“Benarkah?” Jodha mengangguk.
“Ya ampun, anak mama sekarang sudah besar ya. Anak
mama sudah menjadi laki-laki sejati bisa berkelahi dan membela yang lemah. Mama
bangga sama kamu sayang.” Ucap Bu Hamidah dengan heboh. Dipeluknya Jalal berulang
kali dengan gembira. Gantian sekarang giliran Jalal dan Jodha yang melongo tidak
percaya. Terutama Jodha, dikiranya majikannya akan marah melihat anaknya babak
belur karena membela dirinya. Tetapi ternyata malah bangga dan bahagia bukan
main. Ck.
“Tapi bu,....apa Ibu tidak marah sama saya karena
bikin tuan begini?” tanya Jodha masih dengan tidak percaya. Bu Hamidah tertawa.
“Untuk apa Ibu marah Jo? Justru Ibu senang anak Ibu
pemuda yang jantan.” Jalal memutar bola matanya dengan malas mendengar ucapan
Ibunya yang terlalu berlebihan itu, “ya sudah, ayo kita bawa Jalal ke kamarnya.
Minta tolong ambilkan air hangat sama handuk ya Jo buat bersihin lukanya. Ibu
mau menelpon dokter dulu biar sakitnya tidak lama.” Kata Bu Hamidah panjang
lebar. Jodha hanya bisa mengangguk sedangkan Jalal mendengus pasrah mendengar
ucapan mamanya.
Jodha dan Bu Hamidah menggandeng Jalal naik ke
kamarnya, padahal berulang kali Jalal menolak permintaan mamanya namun selalu
dibantah. Akhirnya Jalal pun menyerah daripada malah tambah ribet walaupun dia
merasa seperti anak kecil saja.
Setelah Jalal duduk di pinggir tempat tidur, Jodha
meninggalkannya untuk mengambil air hangat dan handuk untuk membersihkan luka
tuan mudanya itu. Sementara Bu Hamidah menelpon dokter pribadi mereka.
Tidak lama kemudian dokter pun datang dan memeriksa
keadaan Jalal, tidak banyak yang dokter itu katakan karena keadaannya tidak
terlalu parah. Beberapa hari lagi juga sudah
sembuh.
Setelah memberikan resep, dokter itu pun pulang. Bu Hamidah
mengantarkannya sampai ke depan pintu sekaligus meminta Mang Diman untuk
menebus resep obat untuk Jalal. Jodha yang datang membawakan wadah berisi air
hangat dan handuk mulai membersihkan luka di wajah tuan mudanya.
“Aww, pelan-pelan Nem. Sakit ini.” Ucap Jalal ketika
Jodha menekan lukanya agak keras. Jodha tersenyum.
“Atit ya? Aduuhh...anak mama atit...ckckck.....asian
anak mama atit.” Ucap Jodha setengah cadel menirukan omongan anak kecil. Tangannya
masih bergerak-gerak membersihkan luka tuan mudanya. Jalal mendelik jengkel,
namun tak urung dia tertawa juga, “aahhh....., anak mama udah bisa ketawa nih.
Sini peluk sama mama bial cepat cembuh ya sayang. Nanti mama belikan es klim
kalau udah cembuh.” Ucap Jodha seraya menepuk-nepuk kepala tuan mudanya. Kali
ini Jalal benar-benar jengkel. Dia diperlakukan seperti anak kecil saja. Jelas-jelas
Inemnya itu mengoloknya.
Kamu ini ya nggak ada sopan-sopannya sama majikan.”
Kata Jalal sambil menoyor kening Jodha. Gadis itu terkekeh.
“Kata siapa saya nggak sopan tuan? Buktinya saya tidak
pernah kurang ajar sama Bapak dan Ibu.” Sahut Jodha membela diri.
“Iya kalau sama papa dan mama. Kalau sama aku, kamu
nggak ada hormat-hormatnya sama sekali.” Jodha mencibir.
“Baiklah, saya menghormat tuan.” Ucap Jodha langsung
berdiri dan memberi hormat layaknya seperti orang sedang mengikuti upacara
bendera.
“Bukan itu Nem.” Kata Jalal melempar handuk basah itu
kepada Jodha yang terkikik geli.
“Iya...iya...saya mengerti kok Tuan. Dan saya minta
maaf kalau sudah berbuat tidak sopan kepada Tuan.” Ucap Jodha pura-pura menunduk
sedih dan duduk disamping tuan mudanya. Dia tahu pasti tuan mudanya itu tidak
tega melihatnya. Benar saja, Jalal menjadi tidak enak melihat Jodha bersedih.
“Nggak apa-apa Nem, kamu nggak salah. Akunya aja yang
terlalu manja.” Jodha mendongakkan kepalanya dengan cepat dan tersenyum manis,
Jalal mendengus berulangkali dia tertipu akting gadis itu.
“Haa...bener ya. Tuan tidak marah sama saya? Makasih
ya tuan.” Kata Jodha dengan gembira dia beranjak dari duduk dan mengambilkan
wadah berisi air hangat tadi.
“Mau kemana?” tanya Jalal. Langkah Jodha terhenti, dan
menoleh ke arah tuan mudanya.
“Mau keluar Tuan. Kenapa?” Jalal tersenyum.
“Temani aku tidur.” Jawabnya santai. Jodha kaget.
“Haahh..? Menemani tuan tidur? Tuan tidak salah? Apa
ini akibat pukulan Adam tadi ya jadinya otak Tuan sedikit
bergeser jadi agak mesum.” Ingin
rasanya Jalal tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan Jodha, namun karena wajahnya
masih terasa nyeri jadinya dia tersenyum tipis saja.
“Ya ampun
Inem, kok mikirnya sampai begitunya sih?” Jalal menggelengkan kepalanya.
“Terus? Itu
tadi apa maksudnya?” tanya Jodha tidak
mengerti, dia masih berdiri sambil memegang wadah berisi air hangat bekas
membersihkan luka Jalal.
“Maksudku
Inem oon, temani sampai aku tertidur.
Setelah itu kamu boleh keluar, lagian nemeninnya bukan kamu ikut tidur
disampingku. Duduk aja, kita ngobrol gitu. Paham?” kata Jalal setengah
mendelik. Jodha hanya tersenyum meringis sambil menggaruk kepalanya mengingat
pikiran negatif tentang tuan mudanya itu.
“Hehehe....maaf
ya Tuan, saya jadi mikir yang tidak-tidak.” Jalal mendecak.
“Lagian,
kalau aku macam-macam denganmu bisa-bisa aku tidak bisa melihat indahnya dunia
ini lagi dan tidak akan pernah tahu rasanya surga dunia karena belum-belum
sudah di hajar sama kamu seperti Adam tadi.” Jodha terkekeh.
“Iya deh,
maaf. Ya sudah, saya akan temani Tuan disini sampai tertidur. Tapi, jangan
lama-lama.” Jalal mengangguk, Jodha meletakkan wadah yang dipegangnya diatas
meja dan kembali duduk di samping tuan mudanya yang masih duduk dipinggir
tempat tidur, “ayo, anak mama harus tidul cepat bial besok nggak bangun kesiangan.”
Goda Jodha sambil tertawa kecil. Jalal mendengus.
“Aku bukan anak
kecil lagi tau.” Kata Jalal sewot.
“Eee...anak
mama sudah besal ya, udah bisa ngambek. Anak mama udah bisa jatuh cinta nih
anak mamaaa... sayang kencannya gagal....cup..cup... jangan sedih ya sayang,
anak mama besok kencan lagi yaaa... Sapa siiiih... yang udah bikin anak mama
jatuh cinta..??” ledek Jodha, dia memonyong-monyongkan mulutnya sambil
berbicara seperti anak kecil membuat Jalal semakin geram.
“INEM..!! CUKUP!!”
Bentak Jalal namun Jodha malah tertawa terbahak-bahak melihat majikannya geram.
Tanpa mereka
sadari, di balik pintu Bu Hamidah melihat kelakuan mereka berdua sambil
tersenyum dan menggelengkan kepala. Jalalnya sudah banyak berubah, dan dia
terlihat begitu bahagia dengan Jodha yang selalu menggodanya. Ck. Gadis itu memang bisa membuat orang menyukainya
tanpa ada sikap yang dibuat-buat.
“Ehem...”
Deheman Bu
Hamidah membuat Jalal dan Jodha menoleh ke arah pintu. Jodha sekejap sudah menghentikan
tawanya, seperti bara api kesiram air es. Diam. Langsung berhenti. Jalal bahkan
menggelengkan kepala melihat ekspresi Jodha, berbeda sekali sikap gadis itu
kepada orang tuanya dengan dirinya.
“Sudah Jo
bersihin lukanya?” tanya Bu Hamidah tersenyum. Jodha mengangguk sedikit kikuk.
“Sudah Bu.
Ini saya mau keluar dulu.” Kata Jodha berdiri mengambil wadah tadi dan
melangkah keluar.
“Makasih ya
Jo.” ucap Bu Hamidah lagi. Jodha mengangguk dan tersenyum.
“Iya Bu.
Sama-sama. Nggak masalah, itu sudah menjadi tugas saya.” Jawab Jodha sambil
menunduk hormat. Setelah itu dia melangkah keluar dari kamar tuan mudanya.
“Ehem...sepertinya
ada sesuatu nih?” sindir Bu Hamidah ketika melihat Jalal terus memandangi
punggung Jodha yang keluar dari kamarnya. Jalal mengalihkan pandangannya kepada
mamanya yang menuju walk in closet
dan keluar membawakannya pakaian ganti untuk tidur.
“Maksud mama
apa?” tanya Jalal sambil tersenyum. Dia melepaskan baju yang dipakainya tadi
dan mengambil pakaian yang di berikan oleh mamanya dan memakaikannya.
“Kamu pasti tahu
maksud mama apa?” sahut Bu Hamidah seraya duduk dipinggir tempat tidur. Jalal
menghela nafasnya, membaringkan tubuhnya di ranjang dan menaruh kepalanya di
pangkuan mamanya.
“Dia sudah
cerita tentang kehidupannya sama aku Ma. Ternyata kehidupannya begitu keras dan
sulit. Aku salut sama dia Ma, dengan cerita hidup yang dia jalani begitu susah
tetapi dia masih bisa bersikap tenang bahkan bisa tertawa ceria seperti itu. Kalau
aku belum tentu bisa begitu.” Bu Hamidah tersenyum, tangannya mengelus rambut
anaknya perlahan.
“Kamu sama
dia sudah begitu dekat ya sampai-sampai dia mau menceritakan kehidupannya sama
kamu?” goda Bu Hamidah. Jalal tertawa pelan.
“Awalnya sih
dia tidak mau Ma, tapi aku paksa akhirnya mau juga dia. Hehehe....” Bu Hamidah
mendengus.
“Kamu selalu
seperti itu, senang banget memaksa dia. Untung saja dia mau cerita.”
“Aku kan
memang senang memaksa Ma, dan Dia juga suka dipaksa. Hahaha....” jawab Jalal tergelak
tanpa rasa bersalah tapi kemudian meringis karena lukanya masih agak perih. Mau
tidak mau mamanya ikut tertawa.
“Memangnya
dia cerita apa sama kamu sayang?” tanya Bu Hamidah setelah tawanya berhenti.
Jalal menghela nafas sebentar kemudian menceritakan apa yang sudah Jodha
ceritakan kepadanya malam itu, juga tentang perkelahiannya dengan laki-laki
yang bernama Adam. Mamanya mendengar cerita itu sambil manggut-manggut. Dia
membenarkan sikap Jalal yang begitu kagum akan sosok Jodha yang menurutnya
begitu tegar dan tangguh dalam menjalani hidupnya.
“Nggak
nyangka ya, ternyata Jodha kisah hidupnya begitu miris. Nggak nyesel mama
ketemu sama dia. Gadis yang tangguh.” Jalal mengangguk.
“Iya Ma,
benar.” Jawabnya tanpa sadar membuat mamanya menatapnya.
“Kenapa Mama
menatapku seperti itu?” tanya Jalal tidak mengerti.
“Kamu suka
sama dia ya sayang?” Wajah Jalal kembali memerah dan tersenyum malu.
“Kok Mama
bertanya seperti itu?” Bu Hamidah mengangkat sebelah alisnya melihat anaknya
yang tampak malu-malu itu.
“Karena
sepertinya anak mama lagi jatuh cinta nih. Nggak usah bohong sayang. Mama bisa
melihat itu dimata kamu dan juga bahasa tubuh kamu ketika berdekatan dengannya.”
“Memangnya
kalau aku suka dia, Papa sama Mama nggak
marah?” Bu Hamidah mengerutkan keningnya.
“Kenapa
harus marah?”
“Ya karena
dia bukan orang berada dan berasal dari keluarga biasa-biasa saja dan dia juga
berasal dari keluarga yang hancur.” Jawab Jalal dengan sedih.
“Memangnya
pasangan itu harus dari keluarga yang sederajat ya? Apa harta mama sama papa
tidak cukup untuk membiayai kehidupan kamu dan juga istri kamu setelah kamu
menikah nanti?” Jalal menggeleng.
“Nggak gitu
Ma, takutnya papa sama mama memikirkan reputasi dan gengsi dengan para kolega
Papa sama Mama.”
“Mama sama
Papa tidak pernah berpikir begitu. Apa gunanya punya menantu dari keluarga kaya
tetapi membuat kehidupan kamu jauh lebih buruk dari sebelumnya. Lebih baik
mempunyai menantu orang biasa-biasa saja tapi bisa membuat kamu bisa lebih baik
lagi dan bisa membanggakan keluarga. Seperti saat ini.” goda Bu Hamidah. Jalal
kembali tersenyum malu.
“Berarti
kalau aku mencintai Jodha, mama sama papa tidak keberatan?” Bu Hamidah
menggeleng, “dengan segala masa lalunya?” Bu Hamidah mengangguk, “baiklah ma,
aku akan mencobanya. Tetapi sepertinya hatinya susah untuk diraih Ma. Terlalu
sulit untukku. Dia tidak mengerti segala tanda-tanda yang aku berikan
kepadanya. Bahkan ketika aku berpura-pura merayunya dia bahkan meledekku
habis-habisan dan mengatakan kalau rayuanku norak.” Bu Hamidah tertawa kencang.
Jalal cemberut kesal.
“Ya ampun,
anak mama yang most wanted ini
rayuannya di tolak habis-habisan oleh seorang Jodha. Bisa turun nih reputasi.”
Ejek Bu Hamidah.
“Mama..!”
Bu Hamidah
kembali tergelak.
“Iya...iya
sayang. Maaf. Ternyata Jodha hebat ya, bisa membuat seorang Jalal yang selalu
dikejar-kejar oleh wanita bertekuk lutut dihadapannya.” Jalal menghela nafas.
“Entahlah
ma, dia berbeda dengan wanita yang sudah aku kenal selama ini. Itu yang
membuatku kagum, membuatku ingin melindunginya, ingin membuatnya bahagia dan
selalu ingin membuatnya tertawa.” Bu Hamidah mendecak.
“Anak mama
betul-betul sudah terperosok dalam kubangan cinta nih. Ya sudah kalau begitu,
lanjutkan saja perjuanganmu untuk meraih hatinya wonder woman kamu itu. Mama hanya bisa bantu do’a dan mensupport
saja.” Jalal mengangguk.
“Iya ma,
makasih ya.”
“Sama-sama
sayang. Ya sudah, kamu tidur. Mama mau keluar dulu.” Jalal mengalihkan posisi
kepalanya dari pangkuan mamanya ke bantal. Bu Hamidah menyelimuti anaknya
dengan sayang dan keluar dari kamar setelah sebelumnya mencium kening Jalal.
Sementara
itu Jodha dikamarnya mondar mandir dengan gelisah. Berkali-kali dia
melihat ponsel yang digenggamnya itu. Masih ragu-ragu.
Setelah berpikir cukup lama akhirnya dia membulatkan
tekadnya untuk mematikan ponselnya, mengganti card dan menghidupkannya kembali. Tak lama kemudian Jodha mulai menghubungi
seseorang yang sudah lama tidak pernah dia hubungi lagi. Ya, semenjak Jodha
bekerja di rumah Bu Hamidah dia sudah mengganti kartu ponselnya agar tidak ada
yang bisa menghubunginya.
Terdengar suara tut....tut...tut....dari seberang
sebelum akhirnya diangkat oleh pemiliknya.
“Hal....” belum sempat Jodha berkata hallo sudah
dipotong oleh orang yang berada di seberang sana.
“Jodhaaaaaa.....kemana aja kamu hah? Lama tidak pernah
menghubungi kami lagi? Kamu sudah lupa ya sama kami? Dicariin Abang tuh.
Orangnya pusing tiap kali nyamperin kamu kerumah tidak pernah ada. Kamu
sekarang tinggal dimana?......” suara itu berhenti ketika tidak ada respon dari
Jodha, “Jo, kamu baik-baik ajakan?” Jodha terkekeh.
“Ya, aku baik-baik saja Nad?”
“Kok, kamu diam aja sih tadi?” balas Nadia. Nadia
adalah teman semasa SMP Jodha sampai sekarang. Mereka berdua sudah seperti
saudara kandung. Namun, semenjak Jodha kabur dari rumah dia tidak pernah lagi
memberi kabar kepada sahabatnya itu.
“Gimana aku mau ngomong, kalau kamu aja pertanyaannya
sepanjang rel kereta api dari Jakarta ke Surabaya.” terdengar suara
kekehan dari Nadia.
“Oke...oke... sekarang pertanyaannya satu persatu deh
ya.”
“Oke.”
“Pertama, kamu kemana aja tidak pernah menghubungi dan menemui kami lagi?” Jodha
menghela nafas, dia kemudian duduk di
tempat tidurnya dengan sebelah tangan memeluk kedua
lututnya.
“Ceritanya panjang Nad. Intinya sekarang aku sudah
tidak pernah ada dirumah lagi.”
“Oke, itu bisa kamu jelasin nanti kalau kita ketemu.
Pertanyaan kedua....” Jodha terkekeh, “kenapa kamu tidak pernah ikut latihan
lagi? Apa kamu sekarang sudah bekerja? Apa majikanmu melarang kamu keluar?”
Jodha mendecak.
“Katanya pertanyaannya satu-satu tapi kenapa ini langsung
tiga?” Nadia tertawa.
“Sudah, jawab aja. Kelamaan satu-satu. Aku sudah tidak
sabar lagi.”
“Baiklah. Iya, sekarang aku sudah bekerja jadi sopir
pribadi seorang wanita. Siapa dia? Nanti aku jelaskan kalau kita ketemu. Kalau
majikan tidak memberi ijin? Aku tidak tahu karena belum pernah membicarakan ini
dengan beliau. Tapi, aku rasa beliau akan mengijinkan kok. Terakhir, nggak
pernah ikut latihan bukan tidak mau latihan lagi tapi aku masih menyesuaikan
dengan pekerjaanku.” Nadia terdiam. Begitupun dengan Jodha.
“Jo,....” panggil Nadia lembut.
“Ya...”
“Kalau ada masalah cerita dong sama kami. Kami akan
selalu ada untukmu. Jangan kamu simpan simpan sendirian. Berat. Aku, Abang dan
Kak Salima akan selalu mensupportmu, apapun keadaanmu kami tidak akan pernah
peduli. Karena kamu saudara kami.” Ucap Nadia pelan. Jodha mengangguk dan
meneteskan air mata mendengar ucapan Nadia. Meski dia tahu kalau Nadia tidak
melihatnya.
“Iya Nad. Maafkan aku. Aku hanya tidak ingin
merepotkan kalian yang sudah begitu baik kepadaku. Aku ingin mencoba dengan
tangan dan kakiku sendiri terlebih dahulu.”
“Aku ngerti sayang, tapi apa salahnya kita saling
berbagi meski hanya sekedar sharing pendapat saja.”
“Iya. Baiklah. Kapan-kapan aku akan main kerumah dan
juga latihan.”
“Kalau besok gimana?” tanya Nadia.
“Maaf Nad, besok aku sepertinya sibuk. Semoga minggu
depan bisa. Sabar ya.” Terdengar helaan nafas dari Nadia.
“Yah, baiklah. Tapi ingat, kamu hutang cerita banyak
kepadaku dan Abang.” Jodha tertawa geli, Nadia memang tidak pernah berubah,
selalu ingin tahu. Tapi, Jodha sangat menyayanginya karena dia tidak punya
saudara lagi.
“Oke. Jangan khawatir nanti aku cerita semua apapun yang ingin kamu ketahui. Sekarang aku pamit dulu ya.
Titip salam, buat Abang dan Kak Salima.”
“Oke, nanti aku sampaikan. Salam sayang buatmu Jo.
Muah.” Jodha terkikik geli mendengar suara ciuman dari Nadia. Dia pun segera
mematikan ponselnya. Dilemparkannya ponselnya di atas tempat tidur. Dia
kemudian membaringkan tubuhnya. Matanya masih menerawang jauh. Masih teringat
dengan jelas kejadian tadi sampai akhirnya dia
memutuskan tekadnya untuk kembali seperti dulu, untuk berjaga-jaga.
Akhirnya seiring semakin larutnya malam membuat kantuk
pun ikut menyerangnya sampai akhirnya Jodh terlelap mengistirahatkan pikiran
dan tubuhnya.
====TBC===
Tidak ada komentar:
Posting Komentar