Menu

Jumat, 12 Februari 2016

BIARKAN AKU JATUH CINTA. PART. 8 (DEMI KAMU)


“Aku adalah calon suaminya.”

Kembali Jalal dan teman-temannya terkejut. Dia tidak percaya semudah itu. Apalagi ketika melihat penampilannya begitu tidak cocok sekali dengan Inem. Tiba-tiba dia teringat cerita Inem yang mengatakan kalau dia kabur dari rumah karena mau dijodohkan dengan teman ayahnya.

“Nem, apa dia itu laki-laki yang kamu bilang ingin dijodohkan ayahmu denganmu?” bisik Jalal. Jodha menoleh ke arah tuan mudanya dan mengangguk.

“Iya Tuan. Memang dia orangnya. Tapi Tuan jangan melawannya. Saya takut Tuan kenapa-kenapa nanti.” Kata Jodha pelan. Jalal tersenyum.

“Kamu tenang aja Nem, aku tidak akan kalah semudah itu.” Jawab Jalal dengan percaya diri. Jodha hanya memutar bola matanya dengan malas. Tuannya belum tahu saja siapa itu Adam. Dikiranya Adam itu anak SD yang sekali pukul langsung keok. Atau jangan-jangan tuan mudanya yang sekali pukul sama Adam langsung ambruk. Jodha tertawa dalam hati. Dilihatnya lagi tuan mudanya yang sedang maju berhadapan dengan Adam dan dibelakang tuan mudanya berdiri Man dan Surya. Melihat keduanya Jodha tidak yakin mereka akan menang melawan Adam dan bodyguardnya itu. Namun, Jodha diam saja. Tidak menegur, ingin tahu sampai dimana keberanian tuan mudanya itu membelanya.

“Siapa kamu jadi berani mengakui kekasihku sebagai calon suaminya?” tanya Jalal dengan tersenyum sinis. Adam tertawa.

“Kekasihmu? Aku tidak perduli. Dia sudah dijual Ayahnya kepadaku.” Jawab Adam dengan enteng. Membuat Jalal menjadi emosi. Dia tidak rela Inemnya di jual kepada laki-laki br*****k seperti yang di depannya ini.

Cuiihhh...Jalal meludah di hadapan Adam, membuat laki-laki itu menggeram mengetatkan rahangnya. Mereka berdua bertatapan untuk saling mengintimidasi. Jalal walaupun merasa masih muda dari laki-laki yang ada di depannya ini namun dia tidak merasa takut sedikitpun. Dia akan membuktikan kepada Inem kalau dia akan melindunginya.

Sementara itu Jodha memperhatikan mereka sambil bersidekap. Dalam hatinya dia salut juga atas keberanian tuan mudanya itu. Dia merasa tersanjung dan terlindungi. Ada kehangatan yang menjalar di hatinya melihat semua itu.

“Aku peringatkan, lebih baik kamu pergi sekarang daripada kamu akan menyesal nanti.” Bentak Jalal lagi. Kembali Adam tertawa sinis, di susul kedua anak buahnya.

“Eh, anak muda jangan pernah berani-berani memerintahku. Kamu belum tahu siapa aku. Jadi lebih baik serahkan gadis itu.” Jalal tersenyum miring.

“Aku tidak perlu tahu siapa kamu dan aku tidak perduli. Jadi jangan coba-coba mengancamku.” Jawab Jalal tidak kalah sinisnya.

“Baiklah, karena kau yang meminta jangan salahkan aku bila aku tidak bisa menahan diri untuk menghabisimu.”

“Buktikan kalau kau bisa.” Adam menggeram marah.

Sementara Man berbisik kepada Jalal, “bos, yakin nih kita bisa menghadapi mereka?” tanya Man sedikit ketakutan. Melihat badan ketiga orang dihadapan mereka membuat Mansingh dan Surya agak menciut nyalinya. Berbeda dengan Jalal, walaupun dia tidak yakin menang namun dia tidak boleh menyerah begitu saja. Setidaknya dia bisa membuktikan kepada Inem kalau dia bukan anak mama yang manja.

“Kamu takut?” tanya Jalal lagi. Man menggaruk-garuk kepalanya sambil meringis.

“Badannya itu lo Bos, gede banget. Kalau di tonjok itu keras nggak ya?” keluh Mansingh. Membuat kepalanya di keplak oleh Jalal.

“Bilang aja kalau kamu takut.” Kembali Jalal berbisik.

“Sudah selesai musyawarahnya? Udah ketemu keputusannya?” ejek Adam. Membuat wajah Jalal merah karena emosi.

“Tidak usah banyak omong, ayo maju.” Tantang Jalal sambil memasang kuda-kuda sebisanya. Sejenak Adam tersenyum sinis sebelum akhirnya dia maju dan melayangkan tinjunya tangan kanannya ke arah wajah Jalal.

Jalal yang sudah memprediksi arah tinjunya Adam mengelak kesamping, tetapi rupanya dia salah perhitungan karena kaki kiri Adam langsung menendang perutnya. Jalal langsung terbungkuk menahan sakit di bagian perutnya, namun dia berusaha untuk menegakkan badannya.

Tetapi belum sempat Jalal berdiri tegak Adam sudah meninju pelipisnya yang membuatnya merasa berkunang-kunang dan terhuyung kebelakang. Untungnya Man dan Surya segera menahan tubuhnya sehingga dia tidak ambruk.

“Bos, sudah. Sepertinya bos sudah tidak bisa melawan lagi. Kita nyerah aja ya bos.” Kata Surya, tetapi malah mendapat pelototan dari Jalal.

“Enak saja nyerah, kamu itu laki-laki tidak sih?” sembur Jalal kepada kedua temannya itu.

“Ya....ya....tapi, mereka kuat sekali bos.” Jawab Surya terbata-bata.

“Sekuat apapun aku akan melawannya. Minggir.” Bentak Jalal berusaha melepaskan diri dari pegangan kedua sahabatnya itu. Dia kembali maju dan menantang Adam.

“Bagaimana? Masih sanggup melawan?” tanya Adam dengan senyum mengejek. Jalal tersenyum miring.

“Tentu saja aku masih sanggup melawanmu, yang itu tadi cuma masalah kecil saja.” Pancing Jalal. Karuan saja Adam mencak-mencak tidak terima. Dia kembali menyerang Jalal. Kali ini Jalal lebih hati-hati dan waspada. Dia tidak mau kalah kedua kalinya. Meskipun sosok Adam lebih tinggi daripada dirinya tidak membuatnya menyerah begitu saja.

Ketika Adam melayangkan tinjunya ke arah wajah Jalal, dengan cepat Jalal menghindar kesamping dan salah satu kakinya menginjak lutut Adam membuat laki-laki itu meringis kesakitan meski tidak membuatnya jatuh.

Adam menggeram marah. Kali ini dia tidak main-main lagi, cukup sudah main-mainnya yang membuatnya sangat jengkel. Memang, Jalal bukanlah tandingan Adam. Dengan mudah dia mengalahkan Jalal yang memang sangat minim pengalaman dalam berkelahi. Wajahnya sudah babak belur tidak karuan, mulutnya mengalirkan darah segar.

Jodha  tidak tega juga melihatnya, apalagi tuan mudanya itu berkelahi demi dirinya. Dia segera menghampiri Jalal yang masih terduduk mengusap bibirnya yang berdarah. Kepalanya sudah terasa sangat pusing, namun dia berusaha untuk bangkit lagi ketika Jodha menahan pundaknya. Jalal mendongak melihat ke arah Jodha.

“Sudah Tuan. Cukup. Biarkan saya yang menanganinya karena ini adalah urusan saya. Maaf sudah membuat Tuan seperti ini.....” kata Jodha dengan sedih. Jalal menggelengkan kepalanya sambil tersenyum.

Ini semua demi kamu Nem. Tidak masalah aku merasakan sakit, asalkan aku bisa melihatmu tersenyum. Aku tidak ingin laki-laki itu menyakitimu.” Bisik hati Jalal.

“Nggak Nem, aku tidak apa-apa. Aku masih kuat menghadapinya.” Sahut Jalal membuat Jodha semakin merasa tidak enak.

“Nggak Tuan. Ini sudah lebih dari cukup. Dan saya berterima kasih kepada Tuan sudah membela saya. Sekali ini biarkan saya yang menyelesaikan masalah saya sendiri. Tuan tenang aja, saya tidak apa-apa.”

“Tapi Nem..... kamu jangan nekat. Dia jahat sekali.” Ucap Jalal penuh dengan ke khawatiran. Jodha tersenyum dan mengangguk.

“Saya tahu.” Katanya dengan tenang, dan menatap ke arah Man dan surya, “tolong jaga Tuan ya.” Merek berdua pun mengangguk. Jodha tersenyum dan segera berdiri dan berbalik menghadap Adam. Tangannya merogoh kantong celananya dan mengeluarkan sebuah benda yang membuat tuan mudanya dan juga cs nya merasa heran. Sebuah karet gelang. Memangnya mau di apain itu benda? Pikir mereka.

Dengan santainya Jodha menatap Adam yang tersenyum menyeringai melihatnya. Tangannya bergerak dengan cepat menggelung rambutnya yang memang terurai akibat permintaan tuan mudanya sebelum berangkat tadi.

Setelah mengikat rambutnya, Jodha kembali merogoh kantong celananya dan kembali mengeluarkan sebuah benda, apalagi kalau bukan permen karet. Menurutnya permen karet bisa membuatnya mengurangi ketegangan. Sambil mengunyah permen karet Jodha pun bersiap. Tidak nampak dia melakukan apa-apa hanya saja dia waspada atas segala kemungkinan. Jalal dan sahabatnya merasa takjub dengan ketenangan Jodha. Sepertinya gadis itu tidak merasa takut sedikitpun.

“Hallo manis, kita berjumpa lagi.” Kata Adam sambil menyeringai, membuat ingin merasa muntah saat itu juga, “ bagaimana? Apa kau terima tawaranku lewat Ayahmu?” Jodha tersenyum sinis.

“Maaf, saya tidak berminat dengan tawaran Anda. Dan Ayah saya memberikan pilihan kepada saya menerima tawaran Anda atau pergi dari rumah. Dan sayangnya sekarang saya kabur dari rumah. Bukankah itu sudah menjadi jawaban buat Anda?” kata Jodha setengah mengejek. Seringaian Adam pun memudar seiring kata-kata Jodha.

“Itu bukan jawaban manis. Karena aku tidak butuh jawabanmu. Oh, ayolah...ikut aku baik-baik atau aku paksa?” Jodha tersenyum mengejek.

“Maaf, tidak keduanya. Tidak usah mimpi bisa membawaku bersamamu.” Adam menggeram marah.

“Sombong sekali kau. Apa kau tidak tahu banyak wanita yang ingin diperistri olehku. Harusnya kamu beruntung aku dengan suka rela ingin menjadikanmu istriku.”

“Terus, kenapa tidak kau pilih saja salah satu dari mereka? Kenapa kau justru memaksaku?” tanya Jodha masih dengan sikap tenang.

“Itu karena aku yang ingin memilihmu.” Adam tersenyum, “ayolah Manis, ikutlah denganku. Ayahmu bahkan ikut menghilang dan lari dari tanggungjawabnya, jadi kau yang akan menggantikan semua itu.” Raut wajah Jodha berubah. Dia tidak mengira kalau Ayahnya juga kabur dari rumah, “tapi kau tenang saja kalau kamu sudah menjadi istriku rumah Ayahmu yang aku sita akan aku kembalikan padamu. Bagaimana? Aku baikkan?” kata Adam tertawa remeh.

Jodha masih tidak menjawab, pikirannya masih memikirkan Ayahnya. Kalau rumahnya disita oleh Adam dia tidak perduli. Tetapi ayahnya sekarang ada dimana? Dia tinggal dengan siapa?

“Ayo manis, ikutlah bersamaku. Nanti kita cari Ayahmu bersama-sama. Tenang saja, aku tidak akan menyakitinya asalkan kamu mau menerima tawaranku.” Bujuk Adam. Jodha menatap laki-laki itu tanpa ekspresi. Dia perlahan melangkah mendekat, Adam tersenyum senang. Kedua tangannya direntangkan siap untuk memeluk Jodha. Kedua anak buah Adam pun ikut tersenyum. Sedangkan Jalal nampak panik, takut Jodha benar-benar ikut dengan Adam.

“Jangan ikut dengannya Nem. Dia hanya ingin memanfaatkanmu saja. Dia membohongimu. Please.” Teriak Jalal berusaha menghentikan langkah Jodha yang semakin mendekati Adam. Benar saja langkah Jodha terhenti, dia menoleh kebelakang melihat tuan mudanya masih terduduk dengan memegang dadanya dia menatap Jodha dengan pandangan memelas berharap Inemnya berubah pikiran.

Setelah menatap tuan mudanya agak lama, Jodha kembali melihat ke arah Adam yang masih tersenyum kepadanya. Dia kembali melangkah ke arah Adam, Jalal yang melihatnya hanya memejamkan matanya. Tidak sanggup melihat Inemnya harus pergi bersama laki-laki br*****k seperti Adam. Dadanya semakin sakit membayangkan kembali penderitaan gadis itu. Jalal berharap bisa diberi kesempatan untuk bisa membahagiakannya meski dia tidak tahu dengan cara apa.

Sementara Jodha semakin dekat dengan Adam, hanya berjarak beberapa puluh centimeter saja tubuh mereka. Kedua tangan Adam sudah bergerak ingin merangkul Jodha, tetapi sebelum benar-benar kedua tangan itu menyentuh tubuh itu Adam menjerit kesakitan ketika kepala Jodha menanduk dagu Adam membuat kepalanya terangkat ke atas bersamaan dengan jeritannya. Suatu keuntungan buat Jodha karena Adam lebih tinggi darinya. Kepala Jodha hanya sebatas dagunya saja.

Belum sempat Adam berpikir apa yang terjadi karena merasa ngilu di dagu dan juga mulutnya karena giginya terbentur begitu kencang, Jodha sudah mengangkat lututnya dan menendang selangkangan Adam dengan keras menggunakan dengkulnya membuat Adam terbeliak kesakitan memegang barang pusakanya sambil terbungkuk.

Ketika dalam keadaan terbungkuk itulah Jodha menghantamkan sikunya dengan keras di atas punggung dekat leher Adam. Kalau dilihat sekilas tangan Jodha yang mungil itu terlihat tidak berarti apa-apa, tetapi ternyata tenaga yang digunakannya begitu besar sampai kembali Adam mengerang kesakitan. Mulutnya menyembur darah segar. Belum sempat Adam menyadari keadaannya, kedua tangan Jodha sudah mencengkram rambut Adam dan mengangkat dengkulnya serta menghantamkan wajah itu dengan keras diatas dengkulnya.

Adam ambruk di tanah dengan wajah leban dan  berdarah, dia masih lemas belum bisa bersuara apa-apa selain mengerang kesakitan dengan kedua tangannya masih memegang barang pusakanya itu. kedua anak buahnya hanya terpaku, terkesima melihat kejadian yang begitu cepat menimpa bosnya. Begitu juga dengan Jalal dan kedua sahabatnya. Sedangkan Jodha hanya berdiri dengan tenang sambil mengusap-usap kedua telapak tangannya, sesekali dia meletupkan balon permen karetnya itu.

“Aku peringatkan sekali lagi. Jangan pernah memaksaku untuk melakukan yang tidak aku inginkan. Apalagi kau sudah mengambil semua yang aku punya. Bahkan Ayahku pun kau pisahkan dariku. Dan jawabanku adalah tetap TIDAK.” Ucap Jodha dengan suara dingin. Suasana di parkiran tersebut hening. Orang-orang mulai banyak menonton, namun tidak ada yang berani ikut campur hanya berdiri agak jauh.

Dengan susah payah Adam, berusaha bangkit namun tidak bisa. Dia hanya terduduk lemas, matanya menatap Jodha dengan tajam dan penuh kemarahan.

“Kau....kau....rupanya kau tidak bisa dikasih hati.” Jodha hanya tersenyum miring, sambil meletupkan permen karetnya sambil berkacak pinggang dengan santai, “aku akan membuat memohon-mohon minta ampun kepadaku.” Ucap Adam sambil menyeringai.

“Boleh. Silakan dicoba lagi.” Ejek Jodha masih bersikap tenang. Adam menoleh ke arah kedua anak buahnya.

“Kenapa kalian diam saja, tangkap gadis nakal itu, seret dan jangan dilepaskan lagi.” Perintah Adam kepada kedua anak buahnya. Keduanya mengangguk dan menoleh ke arah Jodha.

“Cih,...bisanya main keroyokan saja. Sama perempuan lagi. Dasar tidak punya malu. Sini, ayo maju. Kepalan tanganku ini sudah lama tidak memakan korban.” Ucap Jodha mengepalkan tangan kanannya dan meniupnya perlahan, matanya melirik kedua anak buah Adam yang nampak ragu-ragu untuk maju, “asal tahu saja, ini tangan pernah menghancurkan batok kepala preman di Tanah Abang. Kalau kalian ingin merasakan juga silakan maju. Ayo jangan ragu. Akan aku layani kali berdua sekaligus.” Ucap Jodha, tangan kirinya melambai memanggil kedua anak buah Adam.

Mendengar ucapan Jodha keduanya langsung pucat pasi dan tanpa sadar memegang kepala masing-masing sambil meringis.

“Oh, atau ingin barang pusaka kalian tidak bisa dipakai lagi. Boleh. Dengan senang hati aku akan membantu kalian. Ayo, maju.” Ucap Jodha sambil memasang kuda-kuda persis seperti seorang petinju yang akan mulai bertanding. Kedua bodyguard itu langsung memegang barang pusakanya seolah baru saja diserang oleh Jodha.

“Kalian kenapa jadi pengecut begitu. Masa dengan anak kecil seperti itu saja kalian tidak berani. Percuma punya badan gede.” Bentak Adam kepada kedua anak buahnya. Dia berusaha bangkit, namun terjatuh lagi. Rasa nyeri diselangkangannya membuatnya tidak sanggup untuk berdiri. Dia menyumpah-nyumpah panjang pendek. Jodha yang melihat itu hanya tertawa kecil.

“Ma...maaf bos, kami masih sayang dengan kepala dan senjata kami bos. Maafkan kami.”

“Cih, dasar anak buah tidak bisa diharapkan. Sama perempuan begitu saja takut.” Bentak Adam.

“Lah, bos sendiri dihajar sama dia aja nggak bisa bangun.” Bantah anak buahnya. Membuat Adam semakin marah.

“Diam kamu.” Anak buahnya langsung terdiam, “ ayo kita pergi dari sini. Nanti kita urus dia lagi.” Kedua anak buahnya mengangguk.

“I...iya bos, baik bos.” akhirnya Adam berdiri dengan dipapah oleh kedua anak buahnya. Dia menoleh sebentar ke arah Jodha yang masih bermain dengan permen karetnya dan berkacak pinggang.

“Urusan kita belum selesai Manis. Lain kali kau tidak akan aku lepaskan lagi. Ingat itu.” Jodha hanya mengangguk-angguk kecil sambil tersenyum.

“Oke.  Dan ntar jangan lupa silakan di rontgen ya barang pusakanya, semoga saja masih bisa dipakai.” Ucap Jodha sambil terkekeh. Adam hanya bisa menggeram marah namun tidak bisa berbuat apa-apa, “huh, preman dilawan.” Ucap Jodha dengan santainya melihat Adam dan anak buahnya pergi.

Tepuk tangan pun menggema melihat keberhasilan Jodha melawan Adam, Jodha hanya tersenyum manis kepada mereka. Sampai akhirnya mereka pun membubarkan diri dari tempat itu. Jodha pun membuang permen karet yang ada dimulutnya itu ke tempat sampah.

Jodha berpaling menghadap ke arah tuan mudanya dan juga kedua sahabatnya itu yang sejak tadi tidak bersuara karena begitu takjub dan terkesima melihat aksi Jodha melawan Adam. Pantas saja dia nampak tenang-tenang saja, rupanya dia mantan preman. Jodha hanya tersenyum geli melihat ekspresi mereka bertiga. Dia membungkuk dan duduk berjongkok di hadapan tuan mudanya yang terus mengikuti segala gerak geriknya lewat tatapan matanya.

“Tuan....” panggil Jodha mengguncang tangan Jalal.

Jalal tersentak.

“Ya...yaaa...” jawabnya dengan tergagap. Begitupun dengan Man dan Surya. Mereka berdua seolah diam seribu bahasa. Membuat Jodha mendecak.

“Seperti tidak pernah melihat perempuan berkelahi saja.” Gerutu Jodha.

“Nem..” akhirnya Jalal bersuara.

“Ya Tuan..”

“Kamu nggak apa-apa?” tanya Jalal, tangannya mengusap-usap pipi Jodha membuat gadis itu tersenyum.

“Saya tidak apa-apa Tuan, maaf sudah membuat Tuan seperti ini.” Jalal menggeleng.

“Setidaknya kamu tidak akan menganggapku anak mama lagi kan?” Jodha menunduk dan terkekeh mendengar jawaban tuan mudanya itu.

“Hm...ya...sepertinya Tuan sekarang menjadi seorang pria sejati.” Puji Jodha dengan tulus. Jalal tersenyum senang, meski kemudian dia meringis karena wajahnya sakit bila di gerakkan. Jodha pun tersenyum.

“Ayo Tuan kita pulang.” Jalal mengangguk.

“Apa perlu kami bantu bos?” tanya Man setelah sadar dari keterpanaannya. Jalal menggeleng.

“Nggak usah Man, aku kuat saja kok. Makasih ya. Aku pulang dulu.” Ujar Jalal sambil berdiri dengan dipapah oleh Jodha. Kedua sahabatnya mengangguk. Sebelah tangan Jalal di letakkan diatas bahu Jodha dan tangannya dipegang oleh gadis itu. Sedangkan sebelah tangan Jodha memeluk pinggang tuan mudanya. Jodha tidak nampak risih sama sekali, dengan santai dia membimbing Jalal melangkah menuju jeepnya.

Berdekatan dengan begitu dekat dengan Jodha membuat jantung Jalal berdegub kencang, tidak dapat disembunyikan lagi kupu-kupu kebahagiaan yang terus terbang didadanya. Dia berharap jarak jeepnya masih jauh agar bisa lebih lama lagi berada di dekat Inemnya itu. Sepanjang jalan, Jalal terus menatap wajah Jodha tanpa bisa mengalihkan ke arah lain. Sedangkan Jodha hanya sesekali saja membalas tatapan tuan mudanya itu dan tersenyum, dia lebih banyak melihat ke arah jalan.

Setelah sampai di tempat jeepnya terparkir, Jodha segera menurunkan tangan tuan mudanya dari bahunya dan membuka pintu jeep itu serta membantu pemuda itu untuk naik dan masuk. Kemudian dia setengah berlari mengitari jeep tersebut untuk masuk kebelakang kemudi. Perlahan Jodha membawa jeep tuan mudanya keluar dari area parkiran untuk pulang kerumah.

Sepanjang jalan mereka hanya diam, Jalal sesekali memegang rahangnya yang terasa sakit namun dia tidak mengeluh apapun. Malu dong. Hehehe....

Jodha sesekali melirik ke arah tuan mudanya itu sambil tersenyum meski terselip rasa kasihan di hatinya melihat keadaan pemuda itu, dia menjadi seperti itu juga karena membela dirinya. Jodha menjadi merasa bersalah.

“Tuan....” Jalal menoleh.

“Ya..”

“Maafkan saya ya bikin Tuan jadi seperti ini.” Jalal tersenyum

“Tidak apa-apa, harusnya aku yang minta maaf tidak bisa berbuat apa-apa untuk melindungimu. Malah kamu yang lebih hebat dariku.” Jodha terkekeh.

“Tidak ada yang hebat Tuan. Kebetulan aja seperti itu.”

“Jujur, aku salut sama kamu Nem. Kamu bahkan tidak takut menghadapi lak-laki itu yang nyata-nyata terlihat begitu kejam. Bahkan kamu bisa mengalahkannya dengan mudah.” Puji Jalal dengan tulus. Jodha hanya tersenyum tipis.

“Sejak menjadi joki di arena balapan, saya memang sering berkelahi meskipun hanya sekedar membela diri. Dan parahnya yang saya hadapi itu rata-rata laki-laki yang berniat curang dan kurang ajar. Menurut saya, setiap masalah itu harus dihadapi bukan ditinggal lari. Karena semakin kita lari masalah kita akan semakin besar.

“Iya, kamu bener Nem. Aku saja sebagai laki-laki merasa malu sama kamu. Kamu jauh lebih kuat dariku. Padahal badan kamu kecil begitu.” Jodha terkekeh lagi.

“Jangan lihat kecilnya Tuan. Kuman aja tuh juga kecil, tapi dia bisa membuat orang sekuat apapun menjadi sakit bahkan mati. Apalagi saya sebagai manusia yang punya akal dan pikiran.” Jalal mengangguk.

“Iya, kamu benar Nem.” Mereka berdua pun tersenyum bersama.

Setelah sampai di rumah, kembali Jodha memapah tuan mudanya masuk ke dalam. Bu Hamidah tentu saja kaget bukan kepalang melihat anaknya pulang dalam keadaan babak belur.

“Ya ampun sayang, kamu kenapa bisa jadi begini? Siapa yang ngelakuin ini sama kamu?” tanya Bu Hamidah dengan hebohnya. Jalal melirik ke arah Jodha yang memapahnya, membuat Jodha menunduk merasa bersalah.

“Nggak apa-apa Ma. Hanya salahpaham saja.” Ucap Jalal dengan santai. Jodha langsung mendongak. Menatap tuan mudanya itu.

“Salah paham dengan siapa sayang?” tanya Bu Hamidah penasaran.

“Bu....bukan salah paham Bu,...” Sahut Jodha, Bu Hamidah menoleh ke arah Jodha. Dahinya mengeryit heran, “Tuan....Tuan...begini karena berkelahi membela saya Bu. Maafkan saya sudah bikin Tuan jadi begini, silakan hukum saja saya sudah bikin tuan muda seperti ini,” jawab Jodha dengan pasrah. Bu hamidah melongo tidak percaya.

“Benarkah?” Jodha mengangguk.

“Ya ampun, anak mama sekarang sudah besar ya. Anak mama sudah menjadi laki-laki sejati bisa berkelahi dan membela yang lemah. Mama bangga sama kamu sayang.” Ucap Bu Hamidah dengan heboh. Dipeluknya Jalal berulang kali dengan gembira. Gantian sekarang giliran Jalal dan Jodha yang melongo tidak percaya. Terutama Jodha, dikiranya majikannya akan marah melihat anaknya babak belur karena membela dirinya. Tetapi ternyata malah bangga dan bahagia bukan main. Ck.

“Tapi bu,....apa Ibu tidak marah sama saya karena bikin tuan begini?” tanya Jodha masih dengan tidak percaya. Bu Hamidah tertawa.

“Untuk apa Ibu marah Jo? Justru Ibu senang anak Ibu pemuda yang jantan.” Jalal memutar bola matanya dengan malas mendengar ucapan Ibunya yang terlalu berlebihan itu, “ya sudah, ayo kita bawa Jalal ke kamarnya. Minta tolong ambilkan air hangat sama handuk ya Jo buat bersihin lukanya. Ibu mau menelpon dokter dulu biar sakitnya tidak lama.” Kata Bu Hamidah panjang lebar. Jodha hanya bisa mengangguk sedangkan Jalal mendengus pasrah mendengar ucapan mamanya.

Jodha dan Bu Hamidah menggandeng Jalal naik ke kamarnya, padahal berulang kali Jalal menolak permintaan mamanya namun selalu dibantah. Akhirnya Jalal pun menyerah daripada malah tambah ribet walaupun dia merasa seperti anak kecil saja.

Setelah Jalal duduk di pinggir tempat tidur, Jodha meninggalkannya untuk mengambil air hangat dan handuk untuk membersihkan luka tuan mudanya itu. Sementara Bu Hamidah menelpon dokter pribadi mereka.

Tidak lama kemudian dokter pun datang dan memeriksa keadaan Jalal, tidak banyak yang dokter itu katakan karena keadaannya tidak terlalu parah. Beberapa hari lagi juga sudah sembuh.

Setelah memberikan resep, dokter itu pun pulang. Bu Hamidah mengantarkannya sampai ke depan pintu sekaligus meminta Mang Diman untuk menebus resep obat untuk Jalal. Jodha yang datang membawakan wadah berisi air hangat dan handuk mulai membersihkan luka di wajah tuan mudanya.

“Aww, pelan-pelan Nem. Sakit ini.” Ucap Jalal ketika Jodha menekan lukanya agak keras. Jodha tersenyum.

“Atit ya? Aduuhh...anak mama atit...ckckck.....asian anak mama atit.” Ucap Jodha setengah cadel menirukan omongan anak kecil. Tangannya masih bergerak-gerak membersihkan luka tuan mudanya. Jalal mendelik jengkel, namun tak urung dia tertawa juga, “aahhh....., anak mama udah bisa ketawa nih. Sini peluk sama mama bial cepat cembuh ya sayang. Nanti mama belikan es klim kalau udah cembuh.” Ucap Jodha seraya menepuk-nepuk kepala tuan mudanya. Kali ini Jalal benar-benar jengkel. Dia diperlakukan seperti anak kecil saja. Jelas-jelas Inemnya itu mengoloknya.

Kamu ini ya nggak ada sopan-sopannya sama majikan.” Kata Jalal sambil menoyor kening Jodha. Gadis itu terkekeh.

“Kata siapa saya nggak sopan tuan? Buktinya saya tidak pernah kurang ajar sama Bapak dan Ibu.” Sahut Jodha membela diri.

“Iya kalau sama papa dan mama. Kalau sama aku, kamu nggak ada hormat-hormatnya sama sekali.” Jodha mencibir.

“Baiklah, saya menghormat tuan.” Ucap Jodha langsung berdiri dan memberi hormat layaknya seperti orang sedang mengikuti upacara bendera.

“Bukan itu Nem.” Kata Jalal melempar handuk basah itu kepada Jodha yang terkikik geli.

“Iya...iya...saya mengerti kok Tuan. Dan saya minta maaf kalau sudah berbuat tidak sopan kepada Tuan.” Ucap Jodha pura-pura menunduk sedih dan duduk disamping tuan mudanya. Dia tahu pasti tuan mudanya itu tidak tega melihatnya. Benar saja, Jalal menjadi tidak enak melihat Jodha bersedih.

“Nggak apa-apa Nem, kamu nggak salah. Akunya aja yang terlalu manja.” Jodha mendongakkan kepalanya dengan cepat dan tersenyum manis, Jalal mendengus berulangkali dia tertipu akting gadis itu.

“Haa...bener ya. Tuan tidak marah sama saya? Makasih ya tuan.” Kata Jodha dengan gembira dia beranjak dari duduk dan mengambilkan wadah berisi air hangat tadi.

“Mau kemana?” tanya Jalal. Langkah Jodha terhenti, dan menoleh ke arah tuan mudanya.

“Mau keluar Tuan. Kenapa?” Jalal tersenyum.

“Temani aku tidur.” Jawabnya santai. Jodha kaget.

“Haahh..? Menemani tuan tidur? Tuan tidak salah? Apa ini akibat pukulan Adam tadi ya jadinya otak Tuan sedikit bergeser jadi agak mesum.” Ingin rasanya Jalal tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan Jodha, namun karena wajahnya masih terasa nyeri jadinya dia tersenyum tipis saja.

“Ya ampun Inem, kok mikirnya sampai begitunya sih?” Jalal menggelengkan kepalanya.

“Terus? Itu tadi apa  maksudnya?” tanya Jodha tidak mengerti, dia masih berdiri sambil memegang wadah berisi air hangat bekas membersihkan luka Jalal.

“Maksudku Inem oon, temani sampai aku tertidur.  Setelah itu kamu boleh keluar, lagian nemeninnya bukan kamu ikut tidur disampingku. Duduk aja, kita ngobrol gitu. Paham?” kata Jalal setengah mendelik. Jodha hanya tersenyum meringis sambil menggaruk kepalanya mengingat pikiran negatif tentang tuan mudanya itu.

“Hehehe....maaf ya Tuan, saya jadi mikir yang tidak-tidak.” Jalal mendecak.

“Lagian, kalau aku macam-macam denganmu bisa-bisa aku tidak bisa melihat indahnya dunia ini lagi dan tidak akan pernah tahu rasanya surga dunia karena belum-belum sudah di hajar sama kamu seperti Adam tadi.” Jodha terkekeh.

“Iya deh, maaf. Ya sudah, saya akan temani Tuan disini sampai tertidur. Tapi, jangan lama-lama.” Jalal mengangguk, Jodha meletakkan wadah yang dipegangnya diatas meja dan kembali duduk di samping tuan mudanya yang masih duduk dipinggir tempat tidur, “ayo, anak mama harus tidul cepat bial besok nggak bangun kesiangan.” Goda Jodha sambil tertawa kecil. Jalal mendengus.

“Aku bukan anak kecil lagi tau.” Kata Jalal sewot.

“Eee...anak mama sudah besal ya, udah bisa ngambek. Anak mama udah bisa jatuh cinta nih anak mamaaa... sayang kencannya gagal....cup..cup... jangan sedih ya sayang, anak mama besok kencan lagi yaaa... Sapa siiiih... yang udah bikin anak mama jatuh cinta..??” ledek Jodha, dia memonyong-monyongkan mulutnya sambil berbicara seperti anak kecil membuat Jalal semakin geram.

“INEM..!! CUKUP!!” Bentak Jalal namun Jodha malah tertawa terbahak-bahak melihat majikannya geram.

Tanpa mereka sadari, di balik pintu Bu Hamidah melihat kelakuan mereka berdua sambil tersenyum dan menggelengkan kepala. Jalalnya sudah banyak berubah, dan dia terlihat begitu bahagia dengan Jodha yang selalu menggodanya. Ck. Gadis  itu memang bisa membuat orang menyukainya tanpa ada sikap yang dibuat-buat.

“Ehem...”

Deheman Bu Hamidah membuat Jalal dan Jodha menoleh ke arah pintu. Jodha sekejap sudah menghentikan tawanya, seperti bara api kesiram air es. Diam. Langsung berhenti. Jalal bahkan menggelengkan kepala melihat ekspresi Jodha, berbeda sekali sikap gadis itu kepada orang tuanya dengan dirinya.

“Sudah Jo bersihin lukanya?” tanya Bu Hamidah tersenyum. Jodha mengangguk sedikit kikuk.

“Sudah Bu. Ini saya mau keluar dulu.” Kata Jodha berdiri mengambil wadah tadi dan melangkah keluar.

“Makasih ya Jo.” ucap Bu Hamidah lagi. Jodha mengangguk dan tersenyum.

“Iya Bu. Sama-sama. Nggak masalah, itu sudah menjadi tugas saya.” Jawab Jodha sambil menunduk hormat. Setelah itu dia melangkah keluar dari kamar tuan mudanya.

“Ehem...sepertinya ada sesuatu nih?” sindir Bu Hamidah ketika melihat Jalal terus memandangi punggung Jodha yang keluar dari kamarnya. Jalal mengalihkan pandangannya kepada mamanya yang menuju walk in closet dan keluar membawakannya pakaian ganti untuk tidur.

“Maksud mama apa?” tanya Jalal sambil tersenyum. Dia melepaskan baju yang dipakainya tadi dan mengambil pakaian yang di berikan oleh mamanya dan memakaikannya.

“Kamu pasti tahu maksud mama apa?” sahut Bu Hamidah seraya duduk dipinggir tempat tidur. Jalal menghela nafasnya, membaringkan tubuhnya di ranjang dan menaruh kepalanya di pangkuan mamanya.

“Dia sudah cerita tentang kehidupannya sama aku Ma. Ternyata kehidupannya begitu keras dan sulit. Aku salut sama dia Ma, dengan cerita hidup yang dia jalani begitu susah tetapi dia masih bisa bersikap tenang bahkan bisa tertawa ceria seperti itu. Kalau aku belum tentu bisa begitu.” Bu Hamidah tersenyum, tangannya mengelus rambut anaknya perlahan.

“Kamu sama dia sudah begitu dekat ya sampai-sampai dia mau menceritakan kehidupannya sama kamu?” goda Bu Hamidah. Jalal tertawa pelan.

“Awalnya sih dia tidak mau Ma, tapi aku paksa akhirnya mau juga dia. Hehehe....” Bu Hamidah mendengus.

“Kamu selalu seperti itu, senang banget memaksa dia. Untung saja dia mau cerita.”

“Aku kan memang senang memaksa Ma, dan Dia juga suka dipaksa. Hahaha....” jawab Jalal tergelak tanpa rasa bersalah tapi kemudian meringis karena lukanya masih agak perih. Mau tidak mau mamanya ikut tertawa.

“Memangnya dia cerita apa sama kamu sayang?” tanya Bu Hamidah setelah tawanya berhenti. Jalal menghela nafas sebentar kemudian menceritakan apa yang sudah Jodha ceritakan kepadanya malam itu, juga tentang perkelahiannya dengan laki-laki yang bernama Adam. Mamanya mendengar cerita itu sambil manggut-manggut. Dia membenarkan sikap Jalal yang begitu kagum akan sosok Jodha yang menurutnya begitu tegar dan tangguh dalam menjalani hidupnya.

“Nggak nyangka ya, ternyata Jodha kisah hidupnya begitu miris. Nggak nyesel mama ketemu sama dia. Gadis yang tangguh.” Jalal mengangguk.

“Iya Ma, benar.” Jawabnya tanpa sadar membuat mamanya menatapnya.

“Kenapa Mama menatapku seperti itu?” tanya Jalal tidak mengerti.

“Kamu suka sama dia ya sayang?” Wajah Jalal kembali memerah dan tersenyum malu.

“Kok Mama bertanya seperti itu?” Bu Hamidah mengangkat sebelah alisnya melihat anaknya yang tampak malu-malu itu.

“Karena sepertinya anak mama lagi jatuh cinta nih. Nggak usah bohong sayang. Mama bisa melihat itu dimata kamu dan juga bahasa tubuh kamu ketika berdekatan dengannya.”

“Memangnya kalau aku suka dia, Papa sama Mama nggak  marah?” Bu Hamidah mengerutkan keningnya.

“Kenapa harus marah?”

“Ya karena dia bukan orang berada dan berasal dari keluarga biasa-biasa saja dan dia juga berasal dari keluarga yang hancur.” Jawab Jalal dengan sedih.

“Memangnya pasangan itu harus dari keluarga yang sederajat ya? Apa harta mama sama papa tidak cukup untuk membiayai kehidupan kamu dan juga istri kamu setelah kamu menikah nanti?” Jalal menggeleng.

“Nggak gitu Ma, takutnya papa sama mama memikirkan reputasi dan gengsi dengan para kolega Papa sama Mama.”

“Mama sama Papa tidak pernah berpikir begitu. Apa gunanya punya menantu dari keluarga kaya tetapi membuat kehidupan kamu jauh lebih buruk dari sebelumnya. Lebih baik mempunyai menantu orang biasa-biasa saja tapi bisa membuat kamu bisa lebih baik lagi dan bisa membanggakan keluarga. Seperti saat ini.” goda Bu Hamidah. Jalal kembali tersenyum malu.

“Berarti kalau aku mencintai Jodha, mama sama papa tidak keberatan?” Bu Hamidah menggeleng, “dengan segala masa lalunya?” Bu Hamidah mengangguk, “baiklah ma, aku akan mencobanya. Tetapi sepertinya hatinya susah untuk diraih Ma. Terlalu sulit untukku. Dia tidak mengerti segala tanda-tanda yang aku berikan kepadanya. Bahkan ketika aku berpura-pura merayunya dia bahkan meledekku habis-habisan dan mengatakan kalau rayuanku norak.” Bu Hamidah tertawa kencang. Jalal cemberut kesal.

“Ya ampun, anak mama yang most wanted ini rayuannya di tolak habis-habisan oleh seorang Jodha. Bisa turun nih reputasi.” Ejek Bu Hamidah.

“Mama..!”

Bu Hamidah kembali tergelak.

“Iya...iya sayang. Maaf. Ternyata Jodha hebat ya, bisa membuat seorang Jalal yang selalu dikejar-kejar oleh wanita bertekuk lutut dihadapannya.” Jalal menghela nafas.

“Entahlah ma, dia berbeda dengan wanita yang sudah aku kenal selama ini. Itu yang membuatku kagum, membuatku ingin melindunginya, ingin membuatnya bahagia dan selalu ingin membuatnya tertawa.” Bu Hamidah mendecak.

“Anak mama betul-betul sudah terperosok dalam kubangan cinta nih. Ya sudah kalau begitu, lanjutkan saja perjuanganmu untuk meraih hatinya wonder woman kamu itu. Mama hanya bisa bantu do’a dan mensupport saja.” Jalal mengangguk.

“Iya ma, makasih ya.”

“Sama-sama sayang. Ya sudah, kamu tidur. Mama mau keluar dulu.” Jalal mengalihkan posisi kepalanya dari pangkuan mamanya ke bantal. Bu Hamidah menyelimuti anaknya dengan sayang dan keluar dari kamar setelah sebelumnya mencium kening Jalal.

Sementara itu Jodha dikamarnya mondar mandir dengan gelisah. Berkali-kali dia melihat ponsel yang digenggamnya itu. Masih ragu-ragu.

Setelah berpikir cukup lama akhirnya dia membulatkan tekadnya untuk mematikan ponselnya, mengganti card dan menghidupkannya kembali. Tak lama kemudian Jodha mulai menghubungi seseorang yang sudah lama tidak pernah dia hubungi lagi. Ya, semenjak Jodha bekerja di rumah Bu Hamidah dia sudah mengganti kartu ponselnya agar tidak ada yang bisa menghubunginya.

Terdengar suara tut....tut...tut....dari seberang sebelum akhirnya diangkat oleh pemiliknya.

“Hal....” belum sempat Jodha berkata hallo sudah dipotong oleh orang yang berada di seberang sana.

“Jodhaaaaaa.....kemana aja kamu hah? Lama tidak pernah menghubungi kami lagi? Kamu sudah lupa ya sama kami? Dicariin Abang tuh. Orangnya pusing tiap kali nyamperin kamu kerumah tidak pernah ada. Kamu sekarang tinggal dimana?......” suara itu berhenti ketika tidak ada respon dari Jodha, “Jo, kamu baik-baik ajakan?” Jodha terkekeh.

“Ya, aku baik-baik saja Nad?”

“Kok, kamu diam aja sih tadi?” balas Nadia. Nadia adalah teman semasa SMP Jodha sampai sekarang. Mereka berdua sudah seperti saudara kandung. Namun, semenjak Jodha kabur dari rumah dia tidak pernah lagi memberi kabar kepada sahabatnya itu.

“Gimana aku mau ngomong, kalau kamu aja pertanyaannya sepanjang rel kereta api dari Jakarta ke Surabaya.” terdengar suara kekehan dari Nadia.

“Oke...oke... sekarang pertanyaannya satu persatu deh ya.”

“Oke.”

“Pertama, kamu kemana aja tidak pernah menghubungi dan menemui kami lagi?” Jodha menghela nafas, dia kemudian duduk di tempat tidurnya dengan sebelah tangan memeluk kedua lututnya.

“Ceritanya panjang Nad. Intinya sekarang aku sudah tidak pernah ada dirumah lagi.”

“Oke, itu bisa kamu jelasin nanti kalau kita ketemu. Pertanyaan kedua....” Jodha terkekeh, “kenapa kamu tidak pernah ikut latihan lagi? Apa kamu sekarang sudah bekerja? Apa majikanmu melarang kamu keluar?” Jodha mendecak.

“Katanya pertanyaannya satu-satu tapi kenapa ini langsung tiga?” Nadia tertawa.

“Sudah, jawab aja. Kelamaan satu-satu. Aku sudah tidak sabar lagi.”

“Baiklah. Iya, sekarang aku sudah bekerja jadi sopir pribadi seorang wanita. Siapa dia? Nanti aku jelaskan kalau kita ketemu. Kalau majikan tidak memberi ijin? Aku tidak tahu karena belum pernah membicarakan ini dengan beliau. Tapi, aku rasa beliau akan mengijinkan kok. Terakhir, nggak pernah ikut latihan bukan tidak mau latihan lagi tapi aku masih menyesuaikan dengan pekerjaanku.” Nadia terdiam. Begitupun dengan Jodha.

“Jo,....” panggil Nadia lembut.

“Ya...”

“Kalau ada masalah cerita dong sama kami. Kami akan selalu ada untukmu. Jangan kamu simpan simpan sendirian. Berat. Aku, Abang dan Kak Salima akan selalu mensupportmu, apapun keadaanmu kami tidak akan pernah peduli. Karena kamu saudara kami.” Ucap Nadia pelan. Jodha mengangguk dan meneteskan air mata mendengar ucapan Nadia. Meski dia tahu kalau Nadia tidak melihatnya.

“Iya Nad. Maafkan aku. Aku hanya tidak ingin merepotkan kalian yang sudah begitu baik kepadaku. Aku ingin mencoba dengan tangan dan kakiku sendiri terlebih dahulu.”

“Aku ngerti sayang, tapi apa salahnya kita saling berbagi meski hanya sekedar sharing pendapat saja.”

“Iya. Baiklah. Kapan-kapan aku akan main kerumah dan juga latihan.”

“Kalau besok gimana?” tanya Nadia.

“Maaf Nad, besok aku sepertinya sibuk. Semoga minggu depan bisa. Sabar ya.” Terdengar helaan nafas dari Nadia.

“Yah, baiklah. Tapi ingat, kamu hutang cerita banyak kepadaku dan Abang.” Jodha tertawa geli, Nadia memang tidak pernah berubah, selalu ingin tahu. Tapi, Jodha sangat menyayanginya karena dia tidak punya saudara lagi.

“Oke. Jangan khawatir nanti aku cerita semua apapun yang ingin kamu ketahui. Sekarang aku pamit dulu ya. Titip salam, buat Abang dan Kak Salima.”

“Oke, nanti aku sampaikan. Salam sayang buatmu Jo. Muah.” Jodha terkikik geli mendengar suara ciuman dari Nadia. Dia pun segera mematikan ponselnya. Dilemparkannya ponselnya di atas tempat tidur. Dia kemudian membaringkan tubuhnya. Matanya masih menerawang jauh. Masih teringat dengan jelas kejadian tadi sampai akhirnya dia memutuskan tekadnya untuk kembali seperti dulu, untuk berjaga-jaga.

Akhirnya seiring semakin larutnya malam membuat kantuk pun ikut menyerangnya sampai akhirnya Jodh terlelap mengistirahatkan pikiran dan tubuhnya.


====TBC=== 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar