Menu

Jumat, 12 Februari 2016

MIRACLE OF LOVE, PART. 6


Pagi menjelang, matahari mulai naik dan bersinar dengan terang, udara mulai terasa hangat menguapkan sisa-sisa embun pagi. Alam pun mulai bersiap-siap menyambut sang mentari yang akan memulai tugasnya untuk menyinari bumi.
Jalal terbangun ketika merasa kakinya ada yang menggerakkan, sejenak dia sedikit menggeliat dan membuka matanya. Diliriknya Jodha yang masih tidur pulas dengan posisi kepala Jodha didadanya, dan tangan Jodha memeluk pinggangnya,  sedangkan tangannya masih memegang bahu Jodha. Jalal tersenyum melihat wajah polos itu.
Tiba-tiba dia terkejut ketika melihat didepannya telah berdiri beberapa orang laki-laki setengah baya memandang mereka dengan tajam. Rupanya merekalah yang telah membangunkan Jalal. Perlahan Jalal menepuk bahu Jodha untuk membangunkannya. Jodha terbangun, dan belum sepenuhnya kesadarannya kembali dia nampak terkejut sama seperti Jalal.
“Si-siapa kalian?” tanya Jalal dengan belum hilang rasa terkejutnya.
Salah seorang yang sudah membangunkan Jalal maju dan dan berjongkok dengan posisi kaki kanan ditekuk. 
“Seharusnya kami yang bertanya apa yang kalian lakukan disini? Siapa kalian?”
“Kami...kami numpang berteduh dan beristirahat dirumah ini karena tadi malam kami tersesat." Jelas Jalal.
“Kalian tersesat? hmm...sebenarnya kalian darimana? Kenapa bisa tersesat disini? Apakah kalian berbuat yang tidak-tidak?”
Jalal yang sadar kalau orang-orang yang didepannya sudah curiga kepada mereka.
“Kami tidak berbuat apa-apa, sungguh...kami cuma numpang sebentar saja."
“Kalau begitu kenapa kalian sampai tidur berpelukan begitu?” Pria tadi masih curiga.
Jalal dan Jodha yang baru sadar kalau posisi mereka masih berpelukan secara spontan melepas pelukan mereka masing-masing.
“Sudah Pak, kita bawa saja mereka ke rumah kepala desa dan mempertanggungjawabkan perbuatannya." Kata salah satu dari mereka.
 “Maaf Bapak-bapak sekalian kami tidak melakukan apa yang seperti yang bapak-bapak pikirkan.” Jalal masih saja menjelaskan untuk membela diri.
“Kalau begitu, nanti bisa kalian jelaskan didepan kepala desa. Ayo kalian berdua ikut kami." Dengan terpaksa akhirnya Jalal dan Jodha mengikuti para penduduk yang telah memergoki mereka. Jodha nampak ketakutan dan bingung sementara Jalal berusaha untuk bersikap tenang karena dia yakin mereka tidak bersalah. Hanya kesalahpahaman saja.
“Jalal, aku takut!” Kata Jodha berjalan dengan tangannya memegang erat tangan kanan Jalal.
“Tenanglah Jodha, tidak apa-apa, semua akan baik-baik saja." Ucap Jalal. Tangan kirinya ditaruh diatas punggung tangan Jodha dan mengusap punggung tangan Jodha dengan lembut untuk memberikan kekuatan. Jodha hanya menggangguk sedih.
Mereka berjalan beriringan menuju rumah kepala desa tersebut. Disaksikan puluhan pasang mata yang melihat dari rumah-rumah penduduk yang mereka dilewati. Jalal dan Jodha merasa mereka seakan-akan menjadi seorang tersangka yang telah melakukan kesalahan yang berat yang di arak keliling desa.
Tidak lama kemudian sampailah mereka pada sebuah rumah yang kelihatan lebih besar dari rumah-rumah penduduk yang lain. Disitulah tempat tinggal kepala desa tersebut. Setelah mengetuk pintu mereka disambut oleh kepala desa yang bernama Pak Syarif beserta isterinya Javeda. Dan dipersilakan duduk lesehan di ruang tamu. Karena memang disana tidak ada kursi ataupun sofa. Jodha duduk didekat Jalal, dia tidak mau jauh-jauh dari Jalal apalagi melihat orang-orang yang sama sekali tidak dikenalnya itu.
“Ada apa ini rame-rame Mang Asep? Dan siapa mereka ini?” Tanya Pak Syarif sambil melihat kearah Jalal dan Jodha.
“Begini Pak Kades, mereka kami temukan dirumah yang paling ujung sana sedang tidur sambil pelukan. Katanya sedang tersesat." Jawab Mang Asep salah satu warga desa yang telah membangunkan Jodha dan Jalal.
“Hm...siapa nama kalian?” Tanya Pak Syarif
“Saya Jalal, dan ini Jodha teman saya." Jawab Jalal. Sementara Jodha hanya diam saja. Dia merasa risih diperhatikan banyak orang.
“Apa yang kalian lakukan disini? dan kalian berasal darimana? Kenapa bisa sampai ditempat ini?”
“Kami tidak melakukan apa-apa Pak, Sungguh. Kami hanya numpang berteduh dan beristirahat saja untuk semalam dan kami tidak tahu kalau sampai tersesat ditempat ini."
“Kenapa kalian sampai bisa tersesat?” Tanya Pak Syarif.
Jalal akhirnya menceritakan kejadian yang membuat mereka akhirnya  sampai ditempat itu. Pak Syarif manggut-manggut mendengar cerita Jalal. Sementara warga yang ikut bergabung disitu mulai banyak. Setelah Jalal bercerita mereka pun mulai bereaksi.
“Begitulah ceritanya Pak Kades." Kata Jalal mengakhiri penjelasannya.
“Pak Kades, mereka telah berbuat tidak senonoh ditempat ini dan mereka harus dihukum." Teriak warga yang ada ditempat itu dan didukung oleh para warga lainnya. Jalal yang mendengar hal itu menjadi emosi.
“Maaf Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu, kami tidak seperti yang Bapak Ibu pikirkan. Saya sudah katakan kalau kami tidak melakukan perbuatan seperti itu. Kami bersumpah kalau kami tidak pernah melakukan apa yang Bapak Ibu tuduhkan." Kata Jalal setengah berteriak. Dia kesal kenapa mereka tidak percaya apa yang telah dia katakan.
“Tenang....tenang...saudara-saudara...juga buat Nak Jalal tenang dulu..mari kita berpikir jernih." Pak Syarif berusaha menengahi ketika melihat suasana mulai memanas.
“Tapi, Pak Kades kalau mereka tidak dihukum maka desa kita yang akan mendapatkan akibatnya." Teriak salah satu warga.
“Baiklah...tetapi kita tidak boleh main hakim sendiri. Lebih baik kita bicarakan masalah ini baik-baik. Saya yakin Nak Jalal dan Nak Jodha akan mengerti." Kata Pak Syarif.
“Pokoknya kami tidak mau tahu mereka hari ini juga harus dinikahkan dan dihukum agar desa ini tidak mendapatkan bencana." Lagi-lagi warga berteriak, dan disambut oleh warga yang lain.
“Baiklah...baiklah...saya mohon hormati saya selaku Kepala Desa disini. Percayakan kepada saya untuk menyelesaikan masalah ini. Jadi saya harap Bapak Ibu sekarang juga untuk bubar. Nanti siang setelah sholat Zuhur akan saya sampaikan keputusannya. Terima kasih."
Akhirnya warga desa pun membubarkan diri untuk melanjutkan aktivitas mereka yang tertunda akibat peristiwa itu. Sementara itu Jodha nampak menangis sedih, tidak menyangka akan mendapatkan keadaan sesulit itu. Sedangkan Jalal hanya bisa termangu, sesekali di tatapnya Jodha dengan perasaan sedih dan iba. Kini tinggallah Pak Syarif dan Isterinya serta Jalal dan Jodha.
“Bagaimana Pak, apakah kesalahan kami tidak bisa dimaafkan walaupun kami tidak merasa bersalah." Tanya Jalal kepada Pak Syarif. Sejujurnya dia tidak masalah kalau dia yang dihukum, tetapi untuk Jodha dia tidak tega melihatnya sedih. Baru saja dia bahagia melihat Jodha tertawa gembira namun sekarang menangis lagi.
“Nak Jalal, Nak Jodha,,...Bapak mengerti perasaan kalian. Seandainya kesalahan kalian hanya kepada Bapak saja mungkin Bapak akan maafkan kalian. Tetapi ini menyangkut perasaan warga desa sini. Bapak hanya mewakili saja. Bapak harap kalian bisa mengerti dan menerima. Karena bagaimanapun ini untuk kebaikan kita bersama." Jelas Pak Syarif.
“Maksud Bapak ?” Tanya Jalal bingung.
“Begini, sebelum Bapak umumkan keputusan Bapak kepada warga desa terlebih dahulu Bapak beritahukan keputusan Bapak kepada kalian. Pertama, kalian harus menikah hari ini juga. Kedua, kalian harus tinggal didesa ini selama 4 bulan lamanya. Mengikuti segala kegiatan layaknya warga disini. Tidak boleh keluar dari desa ini tanpa sepengetahuan dan seijin saya atau warga desa sini. Bagaimana?” Tanya Pak Syarif.
Jalal dan Jodha melongo mendengar keputusan Pak Syarif. Jodha menutup mulutnya, tak terasa air matanya turun satu-satu. Dia berusaha untuk menahan tangisnya. Sementara Jalal berusaha bersikap tenang.
“Apakah keputusan itu sudah tidak bisa dirubah lagi Pak?” Tanya Jalal.
“Tidak bisa Nak Jalal, atas nama warga desa saya meminta dengan sangat Nak Jalal dan Nak Jodha untuk menghormati keputusan ini. Walaupun saya tahu ini sangat berat untuk kalian berdua. Tetapi saya tidak bisa berbuat apa-apa." Putus Pak Syarif dengan tegas.
“Tetapi bagaimana dengan orang tua kami Pak? pasti mereka akan sangat khawatir karena kami tidak kembali dan tidak ada kabar berita kami kepada mereka?” kali ini Jodha yang bertanya karena dia tahu Ibunya pasti sedih mendengar berita ini.
“Kalian tenang saja, berikan alamat dan nomor telepon orang tua kalian masing-masing biar nanti bapak yang akan menjelaskan semuanya. Bapak yakin mereka akan mengerti."
“Baiklah kalau begitu Pak, tapi sebelumnya bisakah saya dan Jodha untuk bicara empat mata saja dulu, Pak?”
“Oh, silakan Nak Jalal. Tidak apa-apa. Itu kamar depan silakan kalian berdua untuk bicara, Bapak harap keputusan kalian nanti tidak akan mempengaruhi keputusan Bapak." Ucap Pak Syarif sembari menunjuk kamar disamping ruang tamu.
“Baik Pak.”
Jalal dan Jodha pun masuk kekamar dan menutup pintu. Jalal yang tidak tahan lagi langsung memeluk Jodha dengan erat. Sementara Jodha yang sedari tadi menahan air matanya langsung menumpahkan segala keresahannya di dada Jalal bersama air matanya. Jalal masih belum mampu untuk berbicara, lidahnya terasa kelu. Sungguh ini adalah keputusan yang sulit.
Setelah Jodha mulai tenang, perlahan Jalal melepaskan pelukannya. Kedua tangannya memegang wajah Jodha dan dihadapkan ke wajahnya. Sehingga mereka saling bertatapan. Terlihat mata Jodha nampak sembab karena kebanyakan menangis.
“Jo, aku tahu kamu pasti syok dengan semua ini." Jodha mengangguk lemah.
“Iya Jalal, aku merasa ini adalah mimpi. Ini mimpikan Jalal? kalau mimpi tolong bangunkan aku.... Aku ingin pulang Jalal..” kembali air Mata Jodha berlinang. Jalal terenyuh melihatnya.
“Ini bukan mimpi Jo, ini nyata. Aku juga ingin pulang dan keluar dari sini tapi kita tidak punya pilihan lain Jo. Maafkan aku karena telah membawamu kedalam masalah ini. Aku sungguh tidak tega melihatmu sedih."
“Sttt...” Jodha menutup mulut Jalal dengan telunjuknya sambil menggelengkan kepalanya. Nampak Jodha mulai bisa mengendalikan perasaannya.  “Ini bukan kesalahanmu saja, ini kesalahan kita berdua. Dan juga ini sudah takdir harus kita jalani."
“Tetapi apakah kamu ikhlas Jo, menjalaninya bersamaku?”
“Aku akan berusaha Jalal, semoga saja kita mampu melewati semua ini."
“Kita pasti bisa Jo, apalagi ini cuma empat bulan saja."
“Baiklah, aku akan mencobanya...”
“Terima kasih Jo,” Jalal dan kembali memeluknya, disandarkannya kepala Jodha di dadanya. Dalam hati kecilnya Jalal merasa senang bisa dia menikah dengan Jodha, cuma yang disesalinya adalah caranya tidak seperti ini.
Jodha mengganguk sambil kembali menangis sedih, tidak pernah terbayangkan olehnya menikah dengan cara dipaksa seperti itu. Segala hayalan dan impiannya tentang sebuah pesta pernikahan yang mewah dan romantis berakhir sudah.
Setelah menenangkan diri mereka pun akhirnya keluar dan berbicara dengan Pak Syarif kalau mereka akan menerima segala keinginan warga desa. Siang harinya selepas sholat Zhuhur, Pak Syarif mengumumkan keputusannya terhadap Jalal dan Jodha. Warga pun menyambut keputusan itu dengan gembira. Pernikahan pun dilaksanakan dengan sederhana. Dengan persiapan seadanya.
Jalal dan Jodha menunjukkan ekpresi yang datar saat dilaksanakan prosesi ijab kabul, berhubung orang tua Jodha tidak ada maka digunakan wali hakim. Warga sudah berkumpul di rumah kepala desa untuk melihat upacara pernikahan Jodha dan Jalal. Sebagian warga membawakan hidangan sederhana untuk dinikmati bersama.
Setelah melaksanakan ijab kabul Jodha mencium tangan Jalal, dan Jalal pun mencium kening Jodha. Ada perasan hangat yang mengalir dihati keduanya. Jalal yang seumur hidupnya belum pernah berhubungan dengan yang namanya wanita merasakan hatinya bergetar dan berdetak kencang. Ada rasa yang dia sendiri tidak tahu itu apa, sesuatu yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Sedangkan Jodha setelah berpisah dengan kekasihnya sewaktu SMU dulu memutuskan tidak mau lagi untuk pacaran dan konsentrasi untuk sekolah saja.
Jodha merasakan bibir Jalal menempel di keningnya, membuat darahnya berdesir, terasa bulu-bulu dibadannya menjadi merinding semua. Tiba-tiba saja dia menjadi sangat gugup, tanpa disadarinya wajahnya kini sedikit merona. Sesaat mereka lupa kalau mereka berada dihadapan orang banyak.
“Ehem...ehem...” terdengar suara pak penghulu mengingatkan. Jodha dan Jalal tersadar, keduanya menjadi salah tingkah dan malu. Pak Syarif beserta warga lainnya tersenyum.  Setelah itu Pak Syarif selaku kepala desa meminta maaf kepada kedua mempelai karena telah memaksa mereka untuk menikah dan menghukum mereka untuk tinggal didesa itu. Pak Syarif juga meminta warga desa untuk menerima Jalal dan Jodha sebagaimana layaknya anak-anak mereka yang baru menikah dan tinggal disitu. Dia juga berharap mereka berdua mau belajar dan berbaur dengan warga desa sehingga tidak ada jarak antara mereka dan warga.
Jalal dan Jodha menyanggupi permintaan Pak Syarif. Acarapun selesai, satu persatu warga desa menyalami mereka berdua untuk mengucapkan selamat. Mereka berdua mulai merasakan kehangatan dan keakraban dengan warga desa, tidak seperti sebelumnya sewaktu mereka bertemu pertama kali.
Jalal dan Jodha menginap masih dirumah Pak Syarif untuk beberapa hari kedepan, karena warga desa berencana untuk memperbaiki rumah yang pertama kalinya tempat Jalal dan Jodha menginap kemarin. Mereka akan ditempatkan disana, belajar untuk hidup berumah tangga, dan segala fasilitasnya akan dilengkapi oleh warga secara sukarela.

~~~~0000~~~~

Malam harinya setelah selesai makan malam, Jodha masuk ke kamar yang telah dipersiapkan untuk mereka sementara Jalal masih berbincang-bincang dengan Pak Syarif diteras depan.
Jodha membaringkan tubuhnya di dipan (ranjang kayu) yang sederhana dengan menaruh tangan kirinya di dahi, pikirannya melayang membayangkan peristiwa yang telah terjadi. Dengan suasana yang remang-remang karena hanya di terangi oleh pelita saja membuatnya merasa masih bermimpi. Dicobanya untuk memejamkan mata, namun matanya seakan-akan enggan untuk menutup. Entah berapa lama dia mencoba untuk memejamkan matanya namun tak kunjung berhasil. Tiba-tiba pintu kamar terbuka, dilihatnya Jalal masuk dan menutup pintu. Namun Jalal tidak langsung melangkah hanya berdiri mematung sambil menatap Jodha...

~~~~TBC~~~~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar