Pagi
menjelang, matahari mulai naik dan bersinar dengan terang, udara mulai terasa
hangat menguapkan sisa-sisa embun pagi. Alam pun mulai bersiap-siap menyambut
sang mentari yang akan memulai tugasnya untuk menyinari bumi.
Jalal
terbangun ketika merasa kakinya ada yang menggerakkan, sejenak dia sedikit menggeliat
dan membuka matanya. Diliriknya Jodha yang masih tidur pulas dengan posisi kepala
Jodha didadanya, dan tangan Jodha memeluk pinggangnya, sedangkan tangannya masih memegang bahu Jodha.
Jalal tersenyum melihat wajah polos itu.
Tiba-tiba
dia terkejut ketika melihat didepannya telah berdiri beberapa orang laki-laki
setengah baya memandang mereka dengan tajam. Rupanya merekalah yang telah membangunkan
Jalal. Perlahan Jalal menepuk bahu Jodha untuk membangunkannya. Jodha
terbangun, dan belum sepenuhnya kesadarannya kembali dia nampak terkejut sama
seperti Jalal.
“Si-siapa
kalian?” tanya Jalal dengan belum hilang rasa terkejutnya.
Salah
seorang yang sudah membangunkan Jalal maju dan dan berjongkok dengan posisi
kaki kanan ditekuk.
“Seharusnya kami yang bertanya apa yang kalian lakukan
disini? Siapa kalian?”
“Kami...kami
numpang berteduh dan beristirahat dirumah ini karena tadi malam kami tersesat." Jelas Jalal.
“Kalian
tersesat? hmm...sebenarnya kalian darimana? Kenapa bisa tersesat disini?
Apakah kalian berbuat yang tidak-tidak?”
Jalal yang
sadar kalau orang-orang yang didepannya sudah curiga kepada mereka.
“Kami tidak
berbuat apa-apa, sungguh...kami cuma numpang sebentar saja."
“Kalau
begitu kenapa kalian sampai tidur berpelukan begitu?” Pria tadi masih curiga.
Jalal dan
Jodha yang baru sadar kalau posisi mereka masih berpelukan secara spontan
melepas pelukan mereka masing-masing.
“Sudah Pak,
kita bawa saja mereka ke rumah kepala desa dan mempertanggungjawabkan
perbuatannya." Kata salah satu dari mereka.
“Maaf Bapak-bapak sekalian kami tidak melakukan
apa yang seperti yang bapak-bapak pikirkan.” Jalal masih saja menjelaskan untuk
membela diri.
“Kalau
begitu, nanti bisa kalian jelaskan didepan kepala desa. Ayo kalian berdua ikut
kami." Dengan terpaksa akhirnya Jalal dan Jodha mengikuti para penduduk yang
telah memergoki mereka. Jodha nampak ketakutan dan bingung sementara Jalal
berusaha untuk bersikap tenang karena dia yakin mereka tidak bersalah. Hanya
kesalahpahaman saja.
“Jalal, aku
takut!” Kata Jodha berjalan dengan tangannya memegang erat tangan kanan Jalal.
“Tenanglah
Jodha, tidak apa-apa, semua akan baik-baik saja." Ucap Jalal. Tangan kirinya
ditaruh diatas punggung tangan Jodha dan mengusap punggung tangan Jodha dengan
lembut untuk memberikan kekuatan. Jodha hanya menggangguk sedih.
Mereka
berjalan beriringan menuju rumah kepala desa tersebut. Disaksikan puluhan
pasang mata yang melihat dari rumah-rumah penduduk yang mereka dilewati. Jalal
dan Jodha merasa mereka seakan-akan menjadi seorang tersangka yang telah melakukan
kesalahan yang berat yang di arak keliling desa.
Tidak lama
kemudian sampailah mereka pada sebuah rumah yang kelihatan lebih besar dari
rumah-rumah penduduk yang lain. Disitulah tempat tinggal kepala desa tersebut.
Setelah mengetuk pintu mereka disambut oleh kepala desa yang bernama Pak Syarif
beserta isterinya Javeda. Dan dipersilakan duduk lesehan di ruang tamu. Karena
memang disana tidak ada kursi ataupun sofa. Jodha duduk didekat Jalal, dia
tidak mau jauh-jauh dari Jalal apalagi melihat orang-orang yang sama sekali
tidak dikenalnya itu.
“Ada apa ini
rame-rame Mang Asep? Dan siapa mereka ini?” Tanya Pak Syarif sambil melihat
kearah Jalal dan Jodha.
“Begini Pak
Kades, mereka kami temukan dirumah yang paling ujung sana sedang tidur sambil
pelukan. Katanya sedang tersesat." Jawab Mang Asep salah satu warga desa yang
telah membangunkan Jodha dan Jalal.
“Hm...siapa
nama kalian?” Tanya Pak Syarif
“Saya Jalal,
dan ini Jodha teman saya." Jawab Jalal. Sementara Jodha hanya diam saja. Dia
merasa risih diperhatikan banyak orang.
“Apa yang
kalian lakukan disini? dan kalian berasal darimana? Kenapa bisa sampai
ditempat ini?”
“Kami tidak
melakukan apa-apa Pak, Sungguh. Kami hanya numpang berteduh dan beristirahat
saja untuk semalam dan kami tidak tahu kalau sampai tersesat ditempat ini."
“Kenapa kalian
sampai bisa tersesat?” Tanya Pak Syarif.
Jalal
akhirnya menceritakan kejadian yang membuat mereka akhirnya sampai ditempat itu. Pak Syarif
manggut-manggut mendengar cerita Jalal. Sementara warga yang ikut bergabung
disitu mulai banyak. Setelah Jalal bercerita mereka pun mulai bereaksi.
“Begitulah
ceritanya Pak Kades." Kata Jalal mengakhiri penjelasannya.
“Pak Kades,
mereka telah berbuat tidak senonoh ditempat ini dan mereka harus dihukum." Teriak
warga yang ada ditempat itu dan didukung oleh para warga lainnya. Jalal yang
mendengar hal itu menjadi emosi.
“Maaf
Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu, kami tidak seperti yang Bapak Ibu pikirkan. Saya sudah
katakan kalau kami tidak melakukan perbuatan seperti itu. Kami bersumpah kalau
kami tidak pernah melakukan apa yang Bapak Ibu tuduhkan." Kata Jalal setengah
berteriak. Dia kesal kenapa mereka tidak percaya apa yang telah dia katakan.
“Tenang....tenang...saudara-saudara...juga
buat Nak Jalal tenang dulu..mari kita berpikir jernih." Pak Syarif berusaha menengahi
ketika melihat suasana mulai memanas.
“Tapi, Pak
Kades kalau mereka tidak dihukum maka desa kita yang akan mendapatkan akibatnya." Teriak salah satu warga.
“Baiklah...tetapi
kita tidak boleh main hakim sendiri. Lebih baik kita bicarakan masalah ini
baik-baik. Saya yakin Nak Jalal dan Nak Jodha akan mengerti." Kata Pak Syarif.
“Pokoknya
kami tidak mau tahu mereka hari ini juga harus dinikahkan dan dihukum agar desa
ini tidak mendapatkan bencana." Lagi-lagi warga berteriak, dan disambut oleh
warga yang lain.
“Baiklah...baiklah...saya
mohon hormati saya selaku Kepala Desa disini. Percayakan kepada saya untuk
menyelesaikan masalah ini. Jadi saya harap Bapak Ibu sekarang juga untuk bubar.
Nanti siang setelah sholat Zuhur akan saya sampaikan keputusannya. Terima
kasih."
Akhirnya
warga desa pun membubarkan diri untuk melanjutkan aktivitas mereka yang
tertunda akibat peristiwa itu. Sementara itu Jodha nampak menangis sedih, tidak
menyangka akan mendapatkan keadaan sesulit itu. Sedangkan Jalal hanya bisa
termangu, sesekali di tatapnya Jodha dengan perasaan sedih dan iba. Kini
tinggallah Pak Syarif dan Isterinya serta Jalal dan Jodha.
“Bagaimana
Pak, apakah kesalahan kami tidak bisa dimaafkan walaupun kami tidak merasa
bersalah." Tanya Jalal kepada Pak Syarif. Sejujurnya dia tidak masalah kalau
dia yang dihukum, tetapi untuk Jodha dia tidak tega melihatnya sedih. Baru saja
dia bahagia melihat Jodha tertawa gembira namun sekarang menangis lagi.
“Nak Jalal,
Nak Jodha,,...Bapak mengerti perasaan kalian. Seandainya kesalahan kalian hanya
kepada Bapak saja mungkin Bapak akan maafkan kalian. Tetapi ini menyangkut perasaan
warga desa sini. Bapak hanya mewakili saja. Bapak harap kalian bisa mengerti
dan menerima. Karena bagaimanapun ini untuk kebaikan kita bersama." Jelas Pak
Syarif.
“Maksud
Bapak ?” Tanya Jalal bingung.
“Begini,
sebelum Bapak umumkan keputusan Bapak kepada warga desa terlebih dahulu Bapak
beritahukan keputusan Bapak kepada kalian. Pertama, kalian harus menikah hari
ini juga. Kedua, kalian harus tinggal didesa ini selama 4 bulan lamanya. Mengikuti
segala kegiatan layaknya warga disini. Tidak boleh keluar dari desa ini tanpa
sepengetahuan dan seijin saya atau warga desa sini. Bagaimana?” Tanya Pak
Syarif.
Jalal dan
Jodha melongo mendengar keputusan Pak Syarif. Jodha menutup mulutnya, tak
terasa air matanya turun satu-satu. Dia berusaha untuk menahan tangisnya. Sementara
Jalal berusaha bersikap tenang.
“Apakah
keputusan itu sudah tidak bisa dirubah lagi Pak?” Tanya Jalal.
“Tidak bisa
Nak Jalal, atas nama warga desa saya meminta dengan sangat Nak Jalal dan Nak
Jodha untuk menghormati keputusan ini. Walaupun saya tahu ini sangat berat
untuk kalian berdua. Tetapi saya tidak bisa berbuat apa-apa." Putus Pak Syarif
dengan tegas.
“Tetapi
bagaimana dengan orang tua kami Pak? pasti mereka akan sangat khawatir karena
kami tidak kembali dan tidak ada kabar berita kami kepada mereka?” kali ini
Jodha yang bertanya karena dia tahu Ibunya pasti sedih mendengar berita ini.
“Kalian
tenang saja, berikan alamat dan nomor telepon orang tua kalian masing-masing
biar nanti bapak yang akan menjelaskan semuanya. Bapak yakin mereka akan
mengerti."
“Baiklah
kalau begitu Pak, tapi sebelumnya bisakah saya dan Jodha untuk bicara empat
mata saja dulu, Pak?”
“Oh, silakan
Nak Jalal. Tidak apa-apa. Itu kamar depan silakan kalian berdua untuk bicara,
Bapak harap keputusan kalian nanti tidak akan mempengaruhi keputusan Bapak." Ucap Pak Syarif sembari menunjuk kamar disamping ruang tamu.
“Baik Pak.”
Jalal dan
Jodha pun masuk kekamar dan menutup pintu. Jalal yang tidak tahan lagi langsung
memeluk Jodha dengan erat. Sementara Jodha yang sedari tadi menahan air matanya
langsung menumpahkan segala keresahannya di dada Jalal bersama air matanya. Jalal
masih belum mampu untuk berbicara, lidahnya terasa kelu. Sungguh ini adalah
keputusan yang sulit.
Setelah
Jodha mulai tenang, perlahan Jalal melepaskan pelukannya. Kedua tangannya
memegang wajah Jodha dan dihadapkan ke wajahnya. Sehingga mereka saling
bertatapan. Terlihat mata Jodha nampak sembab karena kebanyakan menangis.
“Jo, aku
tahu kamu pasti syok dengan semua ini." Jodha mengangguk lemah.
“Iya Jalal,
aku merasa ini adalah mimpi. Ini mimpikan Jalal? kalau mimpi tolong bangunkan
aku.... Aku ingin pulang Jalal..” kembali air Mata Jodha berlinang. Jalal terenyuh
melihatnya.
“Ini bukan
mimpi Jo, ini nyata. Aku juga ingin pulang dan keluar dari sini tapi kita tidak
punya pilihan lain Jo. Maafkan aku karena telah membawamu kedalam masalah ini.
Aku sungguh tidak tega melihatmu sedih."
“Sttt...”
Jodha menutup mulut Jalal dengan telunjuknya sambil menggelengkan kepalanya.
Nampak Jodha mulai bisa mengendalikan perasaannya. “Ini bukan kesalahanmu saja, ini kesalahan
kita berdua. Dan juga ini sudah takdir harus kita jalani."
“Tetapi
apakah kamu ikhlas Jo, menjalaninya bersamaku?”
“Aku akan
berusaha Jalal, semoga saja kita mampu melewati semua ini."
“Kita pasti
bisa Jo, apalagi ini cuma empat bulan saja."
“Baiklah,
aku akan mencobanya...”
“Terima
kasih Jo,” Jalal dan kembali memeluknya, disandarkannya kepala Jodha di
dadanya. Dalam hati kecilnya Jalal merasa senang bisa dia menikah dengan Jodha,
cuma yang disesalinya adalah caranya tidak seperti ini.
Jodha
mengganguk sambil kembali menangis sedih, tidak pernah terbayangkan olehnya
menikah dengan cara dipaksa seperti itu. Segala hayalan dan impiannya tentang
sebuah pesta pernikahan yang mewah dan romantis berakhir sudah.
Setelah
menenangkan diri mereka pun akhirnya keluar dan berbicara dengan Pak Syarif
kalau mereka akan menerima segala keinginan warga desa. Siang harinya selepas
sholat Zhuhur, Pak Syarif mengumumkan keputusannya terhadap Jalal dan Jodha.
Warga pun menyambut keputusan itu dengan gembira. Pernikahan pun dilaksanakan
dengan sederhana. Dengan persiapan seadanya.
Jalal dan
Jodha menunjukkan ekpresi yang datar saat dilaksanakan prosesi ijab kabul,
berhubung orang tua Jodha tidak ada maka digunakan wali hakim. Warga sudah
berkumpul di rumah kepala desa untuk melihat upacara pernikahan Jodha dan
Jalal. Sebagian warga membawakan hidangan sederhana untuk dinikmati bersama.
Setelah
melaksanakan ijab kabul Jodha mencium tangan Jalal, dan Jalal pun mencium
kening Jodha. Ada perasan hangat yang mengalir dihati keduanya. Jalal yang
seumur hidupnya belum pernah berhubungan dengan yang namanya wanita merasakan hatinya
bergetar dan berdetak kencang. Ada rasa yang dia sendiri tidak tahu itu apa,
sesuatu yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Sedangkan Jodha setelah
berpisah dengan kekasihnya sewaktu SMU dulu memutuskan tidak mau lagi untuk
pacaran dan konsentrasi untuk sekolah saja.
Jodha
merasakan bibir Jalal menempel di keningnya, membuat darahnya berdesir, terasa
bulu-bulu dibadannya menjadi merinding semua. Tiba-tiba saja dia menjadi sangat
gugup, tanpa disadarinya wajahnya kini sedikit merona. Sesaat mereka lupa kalau
mereka berada dihadapan orang banyak.
“Ehem...ehem...”
terdengar suara pak penghulu mengingatkan. Jodha dan Jalal tersadar, keduanya
menjadi salah tingkah dan malu. Pak Syarif beserta warga lainnya tersenyum. Setelah itu Pak Syarif selaku kepala desa
meminta maaf kepada kedua mempelai karena telah memaksa mereka untuk menikah
dan menghukum mereka untuk tinggal didesa itu. Pak Syarif juga meminta warga
desa untuk menerima Jalal dan Jodha sebagaimana layaknya anak-anak mereka yang
baru menikah dan tinggal disitu. Dia juga berharap mereka berdua mau belajar
dan berbaur dengan warga desa sehingga tidak ada jarak antara mereka dan warga.
Jalal dan
Jodha menyanggupi permintaan Pak Syarif. Acarapun selesai, satu persatu warga
desa menyalami mereka berdua untuk mengucapkan selamat. Mereka berdua mulai
merasakan kehangatan dan keakraban dengan warga desa, tidak seperti sebelumnya
sewaktu mereka bertemu pertama kali.
Jalal dan
Jodha menginap masih dirumah Pak Syarif untuk beberapa hari kedepan, karena
warga desa berencana untuk memperbaiki rumah yang pertama kalinya tempat Jalal
dan Jodha menginap kemarin. Mereka akan ditempatkan disana, belajar untuk hidup
berumah tangga, dan segala fasilitasnya akan dilengkapi oleh warga secara
sukarela.
~~~~0000~~~~
Malam harinya
setelah selesai makan malam, Jodha masuk ke kamar yang telah dipersiapkan untuk
mereka sementara Jalal masih berbincang-bincang dengan Pak Syarif diteras
depan.
Jodha
membaringkan tubuhnya di dipan (ranjang kayu) yang sederhana dengan menaruh
tangan kirinya di dahi, pikirannya melayang membayangkan peristiwa yang telah
terjadi. Dengan suasana yang remang-remang karena hanya di terangi oleh pelita
saja membuatnya merasa masih bermimpi. Dicobanya untuk memejamkan mata, namun
matanya seakan-akan enggan untuk menutup. Entah berapa lama dia mencoba untuk
memejamkan matanya namun tak kunjung berhasil. Tiba-tiba pintu kamar terbuka, dilihatnya
Jalal masuk dan menutup pintu. Namun Jalal tidak langsung melangkah hanya
berdiri mematung sambil menatap Jodha...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar