Menu

Jumat, 12 Februari 2016

BIARKAN AKU JATUH CINTA. PART. 5 (ADA APA DENGAN HATIKU)


Jodha menghempaskan pantatnya di kursi di samping sahabatnya Zeenat. Sahabatnya itu memandangnya dengan berbagai pertanyaan namun tidak terucap. Jodha tahu itu, namun dia masih merasakan emosinya belum stabil jadilah dia hanya diam. Sementara jadwal perkuliahan sebentar lagi akan dimulai.
“Jo, kamu kenapa?” akhirnya Zeenat bertanya juga. Jodha menghela nafas panjang.  Zeenat adalah sahabatnya sejak dia masuk kuliah sampai sekarang. Jodha menggeleng.
“Nggak apa-apa Zee.” Zeenat mengerutkan keningnya memandang Jodha.
“Tapi, sikapmu seperti ada apa-apa Jo. Cerita aja biar lega. Jangan disimpan sendiri.”
“Aku lagi kesal Zee.”
“Kesal?” Jodha mengangguk, “sama siapa?”
“Siapa lagi? Sama anaknya Bu Hamidah itu lah?” Zeenat tertawa.
“Lagi?” kembali Jodha mengangguk.
“Yang sabar Jo, namanya juga resiko pekerjaan menghadapi anak manja itu.” Jodha menghela nafas panjang.
“Tapi terkadang hatiku sakit juga Zee mendengar ucapan pahit dari mulutnya. Sepertinya dia itu seorang wanita yang terjebak dalam tubuh pria. Cerewet dan judesnya minta ampun.” Ucap Jodha sambil mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
Sontak Zeenat tertawa mendengar ucapan Jodha.
“Kamu ini ada-ada aja Jo. Masa cakep begitu di bilang wanita terjebak dalam tubuh pria sih?”
“Habisnya dongkol banget aku. Iya kadang aku bisa menerima tapi ketika sedang sensitif aku juga bisa emosi.” Zeenat mengangguk.
“Benar juga sih. Yang sabar aja ya Jo. Aku nggak bisa ngasih solusi apa-apa selain hanya jadi pendengar saja.”
“Tidak apa-apa Zee. Itu saja sudah cukup. Kalau saja aku tidak memikirkan Bu Hamidah dan Pak Humayun yang sudah begitu baik kepadaku, sudah dari awal aku berhenti bekerja disana.” Ucap Jodha sambil menghembuskan nafas dengan kasar.
Baru saja Zeenat akan menyahut ucapan Jodha, dari pintu masuk tiga orang wanita yang berjalan ke arah Jodha dan Zeenat dengan gaya angkuh. Mereka berdua pura-pura tidak tahu saja.
“Hei, namamu Jodha kan?” Jodha mengangguk malas.
“Iya. Kenapa?” wanita yang menjadi pemimpin itu mendelik.
“Kenalkan, namaku Rukayah.” Katanya sambil bersidekap.
“Terus?”
Dia mendekatkan wajahnya ke arah wajah Jodha.
“Apa hubunganmu dengan Jalal anaknya pemilik kampus ini?” Jodha membalas tatapan Rukayah.
“Tidak ada hubungan apa-apa.” Jawab Jodha kalem.
“Benarkah?” Rukayah masih tidak percaya. Jodha mengangkat bahunya.
“Ya terserah sih kalau tidak percaya.”
“Kalau tidak ada hubungan apa-apa kenapa tadi kamu datang bareng dia? Dan kenapa juga tadi dia memegang tanganmu dan juga kepalamu?” Jodha memutar bola matanya dengan malas. Ini nih masalah yang ingin dia hindari yang berhubungan dengan tuan mudanya itu. Karena itu dia sebenarnya tidak ingin numpang di mobilnya.
“Memangnya tidak boleh?”
“Jelas saja tidak boleh. Kamu itu tidak pantas untuk berdampingan dengan pangeran seperti dia. Ngerti?” Jodha mencebikkan bibirnya. Pangeran dia bilang? Orang kayak gitu dibilang pangeran? Dilihat dari mana tuh dia jadi pangeran? Emang pantas apa dia jadi pangeran, sombong banget. Ckck... hello... yang katarak siapa sih? dia atau para wanita pengagum tuan mudanya itu? bathin Jodha jadi ingin tertawa dengan pikirannya sendiri.
“Terus yang pantas siapa? Kamu?” wanita itu tersenyum bangga.
“Tentu saja. Siapa lagi?” Zeenat bahkan memasang ekspresi ingin muntah mendengar ucapan Rukayah. Sedangkan kedua teman Rukayah hanya tersenyum mendengarnya.
“Eh Nona Rukayah yang terhormat. Dengar ya. Kalau kamu ingin mendapatkan dia, silakan. Noh, ambil. Aku tidak perduli. Dan hubunganku dengannya hanyalah karena aku bekerja dengan keluarga mereka. Kamu  sama dia mau ngapain juga terserah. Aku tidak ingin ikut campur. Jadi sekarang silakan keluar dari ruangan ini karena sebentar lagi dosenku akan datang.” Ucap Jodha dengan nada tegas. Rasanya emosinya kembali naik.
“Baik. Aku pegang ucapan kamu. Awas kalau sampai aku melihat kamu berduaan lagi dengannya. Kamu akan tahu akibatnya.” Ancam Rukayah. Jodha tersenyum miring.
“Aku tidak takut. Silakan saja kamu perjuangkan cintamu. Aku kira kalian berdua pasangan yang sangat serasi.” Kata Jodha sambil tersenyum dan Rukayah tersenyum bangga mendengarnya.
“Tentu saja. Hanya aku yang pantas bersanding dengannya.” Jodha mengangguk-angguk
“Ya ya...kamu benar. Kalau begitu silakan keluar dulu ya. Aku mau belajar.” Ucap Jodha dengan nada halus namun menyindir. Wajah Rukayah nampak merah namun dia tidak berkata-kata apa-apa lagi selain keluar dari ruangan itu dan diikuti oleh kedua temannya.
“Kok kamu bilang mereka berdua pasangan yang serasi sih Jo? Serasi darimana?” Jodha terkikik geli. Kemudian dengan mengulum senyum dia menggeleng.
“Iya serasi Zee. Sama-sama punya mulut pedas dan punya hati yang tidak pernah dipakai. Kalau mereka berdua bersatu, orang di sekitar mereka akan mendapatkan hiburan gratis debat adu mulut setiap hari. Hahahaha....” jodha Tergelak. Zeenat ikut tersenyum.
“Kamu ada-ada aja Jo.” Mereka berdua akhirnya tertawa bersama sampai akhirnya dosen mereka pun datang.
Sementara itu Jalal yang mendatangi kedua sahabatnya di kantin kampus. Keduanya heran dengan wajah Jalal yang nampak kusut. Jalal menghempaskan tas ranselnya di atas meja dengan sedikit kasar dan duduk di kursi tanpa melihat kedua sahabatnya yang menatapnya heran.
Jalal mengusap kasar wajahnya dengan kedua tangannya, kemudian menumpang kepalanya dengan kedua tangannya.
“Kenapa Bos?” tanya Mansingh heran. Jalal menghela nafas kasar, “sepertinya lagi galau ya bos?”
“Iya nih, kayak hp belum di charger. Lowbatt.” Sambung Surya. Jalal mendelik. Keduanya tertawa.
“Ada apa bos? Cerita sama kami, kami siap mendengarkan.” Ucap Mansingh yang di amini dengan anggukan Surya.
“Aku bikin dia sakit hati lagi.” Desis Jalal, terasa berat ingin mengucapkannya.
“Siapa Bos?” tanya Mansingh antusias.
“Siapa lagi?” mereka berdua saling pandang.
“Jodha?”
Jalal tidak menjawab, hanya menangkupkan wajahnya dengan kedua tangannya sendiri.
“Kenapa lagi Bos?” tanya Mansingh penasaran.
“Entahlah. Entah kenapa rasanya mulutku begitu entengnya mengucapkan kata-kata yang menyakiti hatinya. Padahal aku tidak pernah begini sebelumnya kepada orang lain.” Keluh Jalal.
Kedua sahabatnya menatap dengan prihatin. Mereka tahu bagaimana Jalal,  bagaimanapun kesalnya dia kepada orang lain apalagi dengan wanita dia tidak pernah berkata kasar. Bahkan bisa dibilang tutur katanya lah yang selalu menarik perhatian para wanita yang merupakan salah satu pesona yang sangat disukai.
“Bos sudah minta maaf?” tanya Surya. Jalal mengangguk, “dia maafkan?” lagi-lagi jalal mengangguk.
“Iya dia maafkan. Tetapi meski begitu aku melihat raut sedih di wajahnya, biasanya dia walaupun marah kepadaku tetapi wajahnya tidak seperti itu. Aku jadi merasa jahat sekali.” Mereka berdua kembali saling pandang.
“Aku tanya ya Bos, tetapi jawab dengan jujur. Siapa tahu kami bisa bantu.”
“Tanya apa?”
“Apa bos suka sama Jodha?” jalal menatap mereka berdua.
“Entahlah. Apa bisa dibilang aku suka kalau aku sering menyakiti hatinya?”
“Bisa jadi Bos. Bisa jadi bos suka menjahili dan berkata kasar dengannya untuk menutupi perasaan bos kepadanya tanpa bos sadari.” Jelas Surya. Jalal tercenung beberapa saat.
“Aku kurang tahu Sur. Hanya saja melihatnya tadi sedih, entah kenapa hatiku rasanya juga merasa sakit. Seakan aku yang merasa sakit hati padahal aku yang mengeluarkan kata-kata kasar kepadanya.” Surya terkekeh.
“Itu artinya bos sudah punya perasaan kepadanya. Hanya saja bos tidak yakin dengan perasaan bos sendiri.”
“Tapi, apa iya begitu? Apa iya aku suka dengannya yang jutek, cerewet dan bahkan berani memarahi dan menyuruh-nyuruh majikannya sendiri.” Kata Jalal setengah mengomel. Kedua sahabatnya kembali tertawa.
“Bukannya itu bagus bos? Ada yang melawan. Biasanya kan semuanya selalu menuruti keinginanmu tanpa ada yang melawan, dan sekarang hanya Jodha yang sanggup dan tanpa rasa takut melawanmu. Bukankah itu hebat? Bos menemukan lawan yang sepadan.”
“Tetapi tetap saja aku tidak terima, masa aku yang majikan dia yang nyuruh-nyuruh aku.”
“Ya sudah kalau bos tidak mau biar untukku saja. Aku pasti bahagia dapat bidadari secantik dia.” Kata Mansingh mengedipkan matanya kearah Surya. Mendengar itu Jalal menjadi emosi. Ada rasa tidak rela kalau sahabatnya itu suka dengan Inemnya.
“Tidak boleh. Kalau sampai kamu pacaran sama dia bisa jadi dia tidak konsentrasi dengan pekerjaannya.” Mansingh memicingkan matanya menatap Jalal.
“Bukannya karena bos cemburu?”
“Cemburu? Tidak mungkin. Untuk apa aku cemburu. Dia bukan siapa-siapaku.” Elak Jalal. Mansingh menepuk tangannya sekali.
“Ya sudah kalau bos nggak cemburu berarti aku bebas dong menjadikannya gebetanku. Kalau masalah kerjaan bos tenang saja aku tidak akan mengikatnya terlalu ketat. Aku bisa mengerti kok.”
Jalal semakin jengkel dengan ucapan sahabatnya itu. Ingin rasanya dia membenturkan kepala Mansingh ke tembok saking jengkelnya dia.
“Tidak boleh ya tidak boleh. Kamu cari saja orang lain, jangan sama Inem.” Mansingh terkekeh. Sedangkan Surya tersenyum geli melihat Jalal yang kalang kabut mendenar ucapan Mansingh.
“Trus, masalahnya dimana? Kalau kami saling cinta gimana? Bos nggak bisa menghalangikan?” tanya Mansingh masih saja memancing kemarahan Jalal. Mansingh merasa kesal karena Jalal terus saja menghindar dari perasaannya sendiri.
“Ya....ya...itu.....” jawab Jalal tergagap, “dia tidak cinta sama kamu.”
“Bos tahu darimana? Hayoo...? terus dia cintanya sama siapa? Sama bos gitu? Yakin?” Mansingh masih saja berusaha untuk mengetahui perasaan Jalal yang sesungguhnya. Karena dia yakin kalau sahabatnya itu sebenarnya menyukai supir pribadi mamanya itu, hanya saja dia terlalu gengsi untuk menungkapkannya. Mungkin karena biasanya dia yang dikejar oleh wanita, tetapi sekarang ada wanita yang dengan terang-terangan menolaknya. Jalal hanya mendengus kasar, dia tidak menjawab karena sulit baginya untuk mengatakannya.
“Sudahlah bos, akuilah kalau memang bos menyukai dia. Atau mungkin mencintainya. Nggak usah terlalu gengsilah, ada wanita yang lebih senang di kejar daripada mengejar. Kalau bos masih saja seperti ini jangan menyesal jika suatu saat akan ada orang yang lebih dahulu mengisi hatinya dan hati bos hanya akan dipenuhi dengan penyesalan.” Jalal masih diam beberapa saat.
“Aku harus bagaimana Man? Sedangkan aku tidak yakin dengan perasaanku sendiri.” Tanya Jalal nampak frustasi. Mansingh tersenyum dan menepuk bahu sahabatnya itu.
“Pelan-pelan saja. Kamu hanya perlu menyakinkan dia kalau kamu memang mencintai dia. Tidak usah buru-buru mengambil keputusan. Biarkan semua berjalan dengan apa adanya.” Jalal mengangguk.
“Hm,....baiklah kalau begitu. Akan aku coba Man. Makasih.” Mansingh terkekeh.
“It’s oke bos, itulah gunanya sahabat. Aku senang pada akhirnya sahabatku bisa jatuh cinta kepada seseorang.” Mansingh dan Surya tertawa melihat wajah Jalal memerah.
Waktu terus berjalan, Jalal tidak memperbolehkan kedua sahabatnya itu untuk belajar dan meminta mereka untuk menemaninya. Keduanya hanya bisa pasrah saja kalau sifat egois sahabatnya itu kembali muncul. Jalal menghubungi Jodha dan menyuruhnya menemuinya di kantin kampus dimana dia dan sahabatnya sedang menunggu. Seperti biasa Jodha tidak bisa membantah, hanya mengiyakan saja.
Jodha mengedarkan pandangannya mencari tuan mudanya yang sudah menunggunya dari tadi, dan dia segera menghampiri meja dimana tuan mudanya dan dua orang temannya sedang duduk. Dia duduk disamping Jalal dengan wajah datar seperti biasa. Tidak ada senyum.
“Ya elah Nem, kok betah banget sih wajah dibikin kaku kayak gitu?  Nggak capek?” kembali sifat jahil Jalal kumat lagi. Jodha menghela nafas, bosan.
“Capek banget malahan tuan. Tapi tuan sendiri yang membuat saya seperti ini.” Jalal cemberut.
“Kan aku sudah minta maaf Nem, masa masih diingat juga sih? Ayo dong senyum dikit.” Ucap Jalal sambil menjulurkan kedua tangannya dan dengan sepasang ibu jari dan telunjuknya mengangkat kedua sudut bibir Jodha agar naik seperti orang tersenyum. Persis seperti apa yang Jodha lakukan dulu. Mau tidak mau Jodha tersenyum juga melihat ekspresi tuan mudanya itu, “nah, gitukan cantik.” Tanpa sadar Jalal memuji Jodha di hadapan kedua sahabatnya itu.
“Ehem...ehem...” Jalal terkejut. Dia lupa kalau sahabatnya itu masih di depannya, “aduh, kalau pacaran jangan disini dong. Kasihan yang masih jones nih.” Sindir Mansingh. Alhasil dia dilempari oleh Jalal dengan kotak tisu yang berada di meja itu membuat Jodha dan Surya tertawa melihatnya, “bos nggak ngenalin kita-kita nih?” tanya Mansingh sambil cengengesan.
Iya, selama Jodha bekerja di tempat Bu Hamidah, Jodha sama sekali tidak pernah sekalipun mengenal teman-teman tuan mudanya itu. Hal itu karena memang mereka sangat jarang bahkan hampir tidak pernah main ke tempat tuan mudanya. Mungkin karena sungkan dengan Bu Hamidah dan juga lebih sering tuan mudanya yang keluar untuk menemui mereka. Jalal kembali mendengus mendengar ucapan Mansingh yang nampak tidak peduli itu.
“Hai, kenalkan aku Mansingh. Temannya tuan kamu itu.” Ucap Mansingh mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan dan di sambut oleh Jodha, “ini temanku Surya.” Mansingh juga memperkenalkan Surya kepada Jodha namun tangannya tidak lepas dari tangan Jodha. Membuat Jalal mendelik tidak suka kepadanya. Dia hanya tertawa dalam hati melihat ekspresi cemburu Jalal.
“Aku Jodha. Supir pribadi Bu Hamidah.”ucap Jodha sambil tersenyum.
“Wow, aku nggak nyangka kalau supir pribadi bu rektor bisa secantik ini.” Kata Mansingh sambil mengecup punggung tangan Jodha dengan lembut, karuan saja hal itu membuat Jalal melotot.
Rasanya Mansingh ingin sekali tertawa terpingkal-pingkal melihat ekspresi Jalal. Sengaja dia mencium tangan Jodha untuk memancing kecemburuan sahabatnya itu. sementara Jalal hatinya sudah sangat panas melihat Mansingh yang sengaja mencium tangan Jodha di hadapannya.
“Sudah...sudah.... salaman apa tuh lama banget.” Ucap Jalal tanpa sadar melepaskan tangan Mansingh dan Jodha dengan kasar. Mansingh dan Surya tertawa terbahak-bahak melihat Jalal yang cemburu, sedangkan Jodha hanya mengerutkan keningnya melihat tuan mudanya marah-marah tidak jelas.
“Tuan kenapa?” tanya Jodha ketika melihat wajah Jalal yang nampak merah. Jalal menggeleng, “tapi wajah Tuan merah begitu. Tuan sakit?” kembali Jalal menggeleng. Mansingh tertawa lagi mendengar pertanyaan Jodha membuat Jalal kembali melotot kepadanya.
“Tuanmu tidak sakit Jo, dia hanya cemb......”  belum sempat Mansingh melanjutkan ucapannya mulutnya keburu di sumpal oleh Jalal dengan gorengan yang ada dimeja kantin tersebut. Surya terkekeh melihatnya. Sementara Jodha semakin nampak tidak mengerti.
“Gimana kuenya? Enakkan?” sindir Jalal kepada Mansingh. Pemuda itu hanya cengar-cengir saja sambil meneruskan makan gorengan yang di sumpal Jalal kemulutnya, “mau lagi?” Mansingh menggeleng sambil tertawa.
“Ayo Nem kita pulang.” Ajak Jalal bangkit dari duduknya sambil menarik tangan Jodha. tanpa memperdulikan kedua sahabatnya itu. Tetapi, langkahnya berhenti ketika dia merasa Jodha tidak mengikuti langkahnya. Jalal berbalik, “kenapa?”
“Maaf Tuan, saya tidak bisa pulang bareng Tuan. Saya ada keperluan sedikit, nanti saya pulang sendiri saja.” Tolak Jodha. Jalal mengerutkan keningnya.
“Kamu mau kemana? Ini sudah sore, ngapain kelayapan nggak jelas.” Kedua sahabatnya itu menggelengkan kepala mendengar ucapan Jalal. sementara Jodha mulai merasa kesal dengan tuan mudanya itu.
“Heh Tuan, saya mau kemana itu urusan saya. Saya tidak harus laporan dulu kepada Tuan. Emang Tuan siapa? Terserah saya mau ngapain yang penting pekerjaan saya sudah saya selesaikan dengan baik. Bereskan?”  ucap Jodha dengan kesal.
“Tentu saja itu urusanku karena mama sudah menitipin kamu sama aku untuk di jaga.” balas Jalal tidak mau kalah.
Jodha memicingkan matanya menatap Jalal dengan heran. Sementara Jalal yang terlanjur mengucapkan kata-kata tadi hanya melengos membuang muka menghindari tatapan Jodha. Sementara kedua sahabatnya hanya tersenyum melihat pertengkaran keduanya.
“Apa Tuan? Aku di titipin sama Tuan untuk di jaga? Saya nggak salah dengarkan?” Jalal mendengus, “nggak kebalik ya Tuan? Bukan saya yang dititipin tetapi Tuan lah yang dititipin kepada kami. Mana ada ceritanya pembantu dititipin kepada majikannya, yang ada itu majikan yang dititipin kepada pembantunya agar dirawat dan dijaga. Lagian kalau saya dititipin kepada Tuan, apa istimewanya saya?”
“Tuh bos, apa jawabannya?” celetuk Mansingh.
“Diam kamu!” bentak Jalal dengan geram. Mansingh terdiam dengan senyum dikulum. Jalal kemudian berpaling kepada Jodha, “aku tidak memikirkan apa itu terbalik atau tidak. Pokoknya kamu harus pulang sekarang bareng aku. Ngerti?” Jodha menghela nafas.
“Tapi saya mau ketoko buku Tuan. Bukan untuk kelayapan tidak jelas.” Jelas Jodha pelan.
“Memang ke toko buku mau ngapain?” Jodha mendecak.
“Mau nyari sayur. Siapa tahu ada yang jualan sayur yang tidak ada dipasar biasa.” Ucap Jodha kembali jutek. Karuan saja Mansingh dan Surya kembali tertawa.
“Bos...bos...ya jelaslah kalau ke toko buku itu buat nyari buku. Emangnya mau nyari apalagi? Apa cinta bisa membuat otakmu bergeser ya jadi tidak bisa mikir?” sindir Mansingh kepada Jalal yang terlihat otoriter sekali. Jalal cemberut. Dia sadar dengan pertanyaannya yang tidak penting itu.
“Ya sudah, biar aku antar ke toko buku biar cepat.” Ucap Jalal dengan nada melembut. Ditariknya kembali tangan Jodha untuk mengikuti langkahnya. Jodha hanya bisa menghela nafas kembali dan pasrah, “guys, aku pulang dulu ya.” Pamit Jalal melambaikan tangannya.
“Selamat bersenang-senang ya.” Balas Mansingh dengan tertawa lebar.
Sepanjang perjalanan menuju toko buku Jodha hanya diam saja, celetukan dari tuan mudanya tidak dia tanggapi. Tetapi rupanya Jalal tidak terlalu peduli. Dia suka melihat Jodha yang selalu cemberut. Sampai dia melihat sesuatu yang menarik di depannya.
“Eh, Inem lihat deh masa iya saking cintanya sampai jandanya aja di tunggu. Berapa lama harus menunggu? Itu namanya setia apa bego ya? Kayak sudah nggak ada wanita lain aja sampai jandanya aja menarik. Ckckck....” celetuk Jalal ketika melihat gambar KUTUNGGU JANDAMU dan terdapat lukisan wanita muda pada badan belakang truk sambil menggeleng kepala. Jodha tersenyum samar sambil fokus menyetir. Sekarang dia membawakan jeep tuan mudanya dengan kecepatan sedang setelah insiden tadi pagi.
“Nem...”
“Ya Tuan.”
“Nanti habis dari toko buku kita nyari makan ya.”
“Nggak makan dirumah aja Tuan. Bi Ijah paling sudah masak tuh.” Jalal menggeleng.
“Males. Pokoknya selama mama tidak ada dirumah, aku malas makan masakan Bi Ijah. Masa tiap hari masakannya tidak jauh dari brokoli dan tomat. Kalau tomat masih mending bisa dijadiin saos yang enak. Nah...kalau brokoli di jadikan apa biar enak?” tanpa sadar Jodha tertawa sambil menggelengkan kepalanya.
“Terserah Tuan sajalah. Saya mah nurut aja.” Jalal tersenyum senang.
“Kamu mau makan apa Nem?”
“Harusnya saya yang nanya Tuan mau makan apa? Kan Tuan sendiri tau kalau saya tidak pernah menolak makanan apapun. Beda sama Tuan kan? Bisa-bisa nanti malah muntah kalau salah makan.” Sindir Jodha. Jalal terkekeh.
“Iya deh, kali ini aku kasih kebebasan buat kamu mau makan dimana? Pilih saja. Aku akan mengikuti apa yang kamu makan.” Jodha menoleh sekilas.
“Yakin nih nurut?” Jalal mengangguk.
“Iya. Hitung-hitung sebagai permintaan maafku atas kejadian pagi tadi yang sudah membuatmu sakit hati.” Ucap Jalal dengan tulus. Jodha tersenyum.
“Oke. Baiklah. Nanti aku pikirkan setelah dari toko buku ya.”
“Iya. Tapi jangan lama-lama ya ditoko bukunya.”
“Beres Tuan.”
Jodha segera mempercepat laju mobilnya menuju toko buku. Sesampainya di toko buku Jodha bergegas turun dari mobilnya dan masuk ke dalam toko buku diikuti oleh Jalal. Namun, kemudian Jodha berbalik dan menatap tuan mudanya dengan heran.
“Tuan kok ikut?”
“Kenapa memangnya kalau aku ikut?” sahut Jalal dengan enteng.
“Apa nggak sebaiknya Tuan tunggu di mobil aja sebentar, saya nggak lama kok.”
“Enak aja aku disuruh nunggu di mobil, emangnya aku supir jadi disuruh nunggu?” ucap Jalal sambil mendelik kesal. Jodha hanya menghela nafas  panjang. Salah lagi pikirnya.
“Ya sudah kalau nggak mau nunggu, ayo masuk.” Ajak Jodha akhirnya mengalah.
Mereka berdua pun segera masuk. Jodha segera mencari buku yang diinginkannya, sedangkan Jalal hanya membuntuti dari belakang saja. Persis anak kecil yang sedang mengikuti ibunya belanja. Hehehe....
“Tuan kok ngikutin saya terus sih?” bisik Jodha kepada Jalal yang asyik melihati para pengunjung sambil mengikuti Jodha. Jalal menoleh dan menatapnya.
“Lo, kan tadi aku memang mau ngikutin kamu Nem? Masa lupa?” tanya Jalal heran.
“Iya sih, tapi bukan begini juga kali caranya. Ya sementara cari buku Tuan kan bisa lihat-lihat buku apa gitu buat mengisi waktu. Berasa punya anak pake dibuntutin segala.” Keluh Jodha. Karuan saja dahinya di sentil oleh Jalal. Dia meringis sakit.
“Enak saja bilang seperti anak kamu. Ya sudah aku pergi saja.” Balas Jalal kesal.
Jodha hanya terkikik geli melihat tuan mudanya ngambek. Namun, tidak lama kemudian dia segera memilih buku yang menjadi tujuannya. Cukup lama Jodha mencari buku, sementara itu tuan mudanya entah kemana. Setelah mendapatkan buku keinginannya, Jodha melangkah ke rak buku yang memajang novel-novel. Dia berencana untuk menambah sedikit koleksi novelnya.
Jodha celingukan mencari tuan mudanya setelah dia selesai mencari bukunya, ditelusurinya gang-gang di dalam toko buku tersebut untuk mencari tuan mudanya untuk di ajak pulang. Siapa tahu malah dia yang betah di toko itu ketika ketemu bacaan yang sesuai untuknya.
Namun, langkah Jodha terhenti ketika melihat tuan mudanya sedang ngobrol dengan seseorang di dekat rak buku yang memajang buku komik. Jodha memicingkan matanya melihat dengan siapa tuan mudanya bicara. Rupanya tuan mudanya sedang ngobrol dengan beberapa orang wanita, dan Jodha ingat itu adalah orang yang pagi tadi datang menemuinya di kelas yang menyuruhnya untuk menjauhi tuan mudanya itu.
Jodha menghela nafas. Dia tidak ingin mengganggu kesenangan tuan mudanya, jadilah akhirnya dia yang menunggu tuan mudanya selesai ngobrol. Jodha hanya berdiri bersandar di rak buku sambil tangannya memeluk buku-buku yang akan dibelinya di depan dada. Matanya tidak lepas memperhatikan tuan mudanya yang sedang dikerubungi oleh para fansnya itu. Namun, yang membuat Jodha heran sepertinya tuan mudanya nampak tidak nyaman dengan kehadiran para fansnya itu. berulangkali dia celingak-celinguk mencari celah untuk lari dari mereka. Jodha hanya tersenyum simpul melihat keadaan tuan mudanya. Resiko jadi orang ganteng pikir Jodha sambil menggelengkan kepalanya.
Akhirnya Jodha tidak tega juga melihat tuan mudanya itu semakin tersiksa dengan kehadiran para fansnya. Hal itu aneh, padahal biasanya dengan senang hati dia meladeni mereka kenapa sekarang malah tidak nyaman. Ketika Jalal melihat Jodha sedang melangkah ke arahnya, tiba-tiba dia mendapat ide.
“Hai sayang.” Katanya sambil melambaikan tangan ke arah Jodha. Karuan saja orang-orang yang mengerubunginya menoleh ke arah Jodha.
Sementara Jodha yang tidak merasa di panggil sayang menoleh kebelakang, celingak-celinguk mencari siapa yang dipanggil tuan mudanya tetapi dia tidak melihat siapapun yang melihat ke arah tuan mudanya itu. “Masa tuan muda memanggil aku sayang?” gumam Jodha dengan bingung.
Jalal yang melihat kesempatan untuk melepaskan diri segera melangkah menghampiri Jodha yang masih nampak kebingungan itu. Segera di rangkulnya pinggang Jodha dan mengajaknya mendekat dengan para wanita tadi. Tentu saja Jodha kaget dan tidak menyangka tuan mudanya akan memperlakukannya seperti itu. Apalagi ketika dia melihat wanita yang bernama Rukayah itu nampak menahan amarah, namun dia masih tersenyum kepada tuan mudanya. Sedangkan ketika menoleh ke arah Jodha dia tersenyum sinis.
“Kenalkan ini pacarku.” Kata Jalal memperkenalkan Jodha. Para wanita dan terlebih Jodha nampak terkejut dan syok.
“Apa katanya? Pacar? Pacar apanya?” pikir Jodha, “ini Tuan kesambet apaan ya kok ngomongnya begitu?” Jodha masih menatap tuan mudanya dengan mulut menganga. Sementara Jalal hanya tersenyum geli melihat ekspresi Jodha.
“Tu...tu...tuan” ucapannya terhenti ketika dipotong oleh Jalal.
“Sudah selesai belanjanya sayang?” tanya Jalal dengan lembut. Membuat para fans tuan mudanya itu mendelik tidak suka ke arahnya. Jodha akhirnya hanya mendesah pasrah dengan keadaan.
“Iya, sudah selesai.” Jawab Jodha singkat dengan senyum di paksakan.
“Ya sudah, ayo kita bayar dulu. Maaf ya semua, aku mau nganter pacarku pulang dulu.” Pamit Jalal kepada mereka yang hanya terdiam melihat adegan mereka berdua.
Sepanjang perjalanan ke kasir mereka berdua hanya diam. Namun, tangan Jalal masih bertengger di pinggang Jodha. Jodha tidak habis mengerti dengan tuan mudanya yang mendadak aneh.
Setelah membayar buku, mereka berdua keluar dari toko buku tersebut masih dengan posisi semula. Jodha tidak berani melarangnya apalagi itu ditempat umum. Dia bisa meminta penjelasan nanti dengan tuan mudanya.
Setelah sampai di mobil Jalal melepaskan rangkulan tangannya dan masuk ke mobil dengan santainya. Dia menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi penumpang itu dan memejamkan matanya. Memang susah untuk bersikap biasa-biasa saja ketika dirinya sedang gugup. Dia bahkan merasa saat ini Inemnya sedang menatap dirinya menuntut penjelasan. Namun, Jalal hanya diam saja.
“Tuan...” panggil Jodha ketika sudah duduk di belakang setir.
“Jalan saja dulu Nem, penjelasannya nanti saja. Aku laper.” Ucap Jalal tanpa membuka matanya. Jodha menghela nafas dan mengangguk.
“Baiklah.”
Jodha pun segera membawa mobil itu keluar dari parkiran toko dan melaju di jalan raya mencari tempat untuk makan. Hari sudah beranjak sore. Jalal membuka matanya setelah berhasil menguasai dirinya.
“Kita makan dimana Tuan?” tanya Jodha bingung mau makan apa.
“Terserah saja. Bukannya tadi aku sudah ngasih kamu kebebasan mau makan apa.” Jawab Jalal.
“Iya sih, tapi saya bingung mau makan apa?” gumam Jodha sambil melihat-lihat deretan warung makanan di pinggir jalan. Jujur saja dia hanya tahu makanan kaki lima bukan restoran bintang lima. Seandainya makan untuk dia sendiri tentu dia tidak akan sebingung ini, tetapi ini membawa majikannya yang cerewet dalam hal makanan.
Setelah sekian lama menyusuri jalanan akhirnya Jodha memarkirkan mobilnya di depan sebuah warung makan kaki lima yang menjual bakso dan mie ayam. Jodha pasrah kalau memang tuan mudanya tidak mau turun. Habisnya dia bilang terserah, sedangkan Jodha juga seleranya terserah. Apa saja dimakan. Sedangkan tuan mudanya itu seleranya memakai filter, tidak sembarang makanan diijinkan masuk ke mulutnya. Susah bener mulut orang kaya. Pikir Jodha sambil tersenyum kecil.
“Kita makan disini Nem?” tanya Jalal sambil mengerutkan keningnya.
“Iya Tuan. Kenapa? Nggak suka ya? Maaf, saya cuma tau tempat-tempat seperti ini saja.” Jawab Jodha sambil meringis. Jalal tersenyum.
“Tidak apa-apa. Ayo turun, aku laper.” Jodha menarik nafas lega mendengar ucapan tuan mudanya. Mereka berdua pun turun dan masuk ke dalam warung tersebut. Jodha segera memesan dua porsi mie ayam dan dua gelas teh hangat. Di segera mengambil tempat duduk di depan tuan mudanya yang nampak diam.
“Kalau lapar bisa bikin dia diam seperti ini akan mudah buatku besok-besok untuk mengalahkannya.” Bisik bathin Jodha jahil ketika melihat tuan mudanya itu mengusap wajahnya dengan kedua tangannya sambil menunggu pesanan mie ayamnya.
Tidak lama kemudian, pesanan mereka pun datang. Tanpa menunggu lama Jalal makan dengan lahap. “Benar-benar lapar rupanya dia” pikir Jodha. Tanpa sadar dia hanya diam memperhatikan tuan mudanya makan, sedangkan makanannya hanya dibiarkan begitu saja.
“Mas, pesan satu porsi lagi.” Kata Jalal kepada pemilik warung tersebut ketika mie ayamnya sudah hampir habis di mangkok. Jodha melongo melihatnya. Tidak lama kemudian pesanan Jalal pun sudah datang, tanpa basa basi seperti tadi Jalal segera menghabiskan semangkok mie ayam kedua ditutup dengan segelas teh hangat.
Jalal hanya cengar-cengir melihat Jodha yang melongo melihatnya.
“Kamu kenapa Nem? Begitu terpesonanya melihat aku makan?” tanya Jalal melihat ekspresi heran Jodha.
“Siapa yang terpesona Tuan? Hanya baru tahu ternyata ada ya orang kelaparan sampai tidak bisa ngomong lagi saking laparnya dan menghabiskan dua porsi sekaligus.” Ucap Jodha sambil menggelengkan kepalanya. Jalal terkekeh.
“Nggak usah heran, namanya juga orang lapar. Kamu juga bisa aku makan kalau laparku tidak tertahankan.” Ucap Jalal sambil tergelak. Jodha mendelik mendengar ucapan tuan mudanya itu, “kenapa makananmu tidak dimakan Nem?” tegur Jalal. Jodha tersadar, dia keasyikan melihat tuan mudanya yang makan dengan lahap sampai lupa dengan makanannya sendiri. Akhirnya dia pun segera memakan mie ayam pesanannya.
Jalal meringis melihat Jodha memasukkan sesendok makan penuh sambal ke dalam mangkuknya. Terbuat dari apa perut gadis didepannya itu. Apa ususnya nggak bolong saking banyaknya memasukkan sambel?
“Mas, minta sambalnya lagi dong.” Pinta Jodha kepada pelayan. Jalal melongo.
“Satu sendok kurang pedas Nem?” tanya Jalal tidak percaya. Jodha memamerkan senyum joker kepada tuan mudanya. Jalal menggelengkan kepala melihat Jodha, “pantesan mulutmu judes banget ternyata ini toh penyebabnya.” Sindir Jalal.
“Yee...nggak ada hubungannya kali makan pedas dengan judes.” Sahut Jodha sambil menerima tempat sambal dari pelayan warung.
“Nggak sekali minjam sendalnya yang punya warung Nem?” tanya Jalal, Jodha menatap tuan mudanya. Ada kilatan jahil dimatanya.
“Untuk apa Tuan minjam sendal segala?” Jalal mesam-mesem pertanda usilnya mulai keluar.
“Untuk menabok bibir kamu biar tambah pedas dan panas kalau sambalnya kurang pedas. Hahahaha....” Jalal tergelak mendengar ucapannya sendiri tanpa memperdulikan tatapan dari pengunjung lain. Sementara Jodha hanya mengerucutkan bibirnya mendengar ucapan tidak bersalah dari tuan mudanya.
“Ya..ya...tak apa saya suka pedas, palingan juga saya sendiri yang tersiksa karena pedasnya. Lah...daripada Tuan, tidak suka pedas tetapi mulutnya pedas sekali. Entah berapa orang yang sakit hati dengan ucapan pedas Tuan.” Sindir Jodha membalik ucapan tuan mudanya. Jalal hanya cengar-cengir mendengar sindiran dari Inemnya.
“Tapi aku ngomong pedas cuma buat kamu kok Nem.” Jodha menghentikan makannya.
“Maksud Tuan?” Jalal tersenyum.
“Iya, entah kenapa aku suka ngomong pedas cuma sama kamu saja.” Jodha mencebikkan bibirnya.
“Kok bisa begitu?”
“Aku juga nggak tahu, mungkin karena wajah kamu itu mirip persis seperti orang-orang yang pantas teraniaya.” Ucap Jalal kembali tertawa. Jodha mengangguk-anggukan kepalanya.
“Iya kali Tuan, wajah dan hati saya ini memang pantas untuk dianiaya?” jawab Jodha sarkastik.
“Eh, tapi kalau jadi artis kamu itu menjad artis multitalenta kok Nem. Serba bisa gitu” puji Jalal sambil tersenyum. Jodha cuek sambil meneruskan makannya.
“Masa? Bisa apanya? Saya nggak minat jadi artis. Perasaan saya jadi tidak enak nih mendengar pujian dari Tuan.” Jalal kembali terkekeh.
“Bisa kok Nem. Sangat bisa malahan. Bisa disakiti, bisa di zholimi, bisa dianiaya dan bisa disuruh-suruh. Hahahaha...”
“Tuh kan, bener perasaan saya tadi. Mana bisa Tuan memuji saya dengan tulus.” Kata Jodha yang telah menyelesaikan makannya. Jalal tertawa mendengar ucapan Jodha. Hari ini dia senang sekali bisa menghabiskan waktu dengan Inemnya.
Jodha berdiri untuk membayar namun dicegah oleh Jalal. Gengsi lah, masa majikan dibayarin sih. Laki-laki lagi. Awalnya Jodha bersikeras untuk membayar sendiri makanannya, namun akhirnya kembali dia mengalah. Setelah membayar akhirnya mereka berdua pun pulang, di dalam perjalanan masing-masing hanya terdiam. Jalal menyalakan musiknya dari DVD membuat keduanya hanyut tenggelam dalam alunan lagu.
Sesampai dirumah, ketika akan memasuki pintu Jodha memanggil tuan mudanya untuk mengobati rasa penasarannya dengan peristiwa di toko buku tadi.
“Tuan...” Jalal menoleh dan berbalik.
“Ada apa?”
Jodha mendekat dan dengan sedikit malu dia menanyakan rasa ingin tahunya.
“Hm...saya ingin tahu apa maksud Tuan memeluk saya ketika di toko buku tadi?” Jalal mengangkat kedua alisnya kemudian terkekeh.
“Kenapa? Kamu suka?” Jalal balik nanya. Jodha menggeleng.
“Bukan itu maksudnya. Apa tujuan Tuan memeluk saya di hadapan para fans Tuan?”
“Fans?” Jodha mengangguk, “oh. Itu hanya agar mereka berhenti menggangguku saja. Tidak ada niat apapun. Kenapa? Kamu ingin jadi pacarku?” Jodha menggeleng cepat.
“Ogah! Bisa makan hati kalau pacaran sama Tuan. Lagian nggak ada rumusnya majikan pacaran sama pembantu.” Tolak Jodha membuat Jalal kembali tertawa.
“Lagian aku nggak suka melihat mereka seperti kucing kebelet kawin. Terlalu agresif dan kecentilan.” Ucap Jalal sambil menggidik. Jodha tertawa.
“Bukannya Tuan malah senang di kejar seperti itu? tak perlu susah payah mengejar kan sudah di kejar jadi tinggal pilih.”
“Sayangnya orang yang aku suka tidak mau mengejarku.”
“Oh ya?”
“Iya..”
“Kasihan. Lagian Tuan itu mau enaknya aja, nggak mau berusaha. Cinta itu harus diperjuangkan bukan ditunggu Tuan.” Jalal mengangkat bahu.
“Entahlah, aku nggak yakin.” Ucap Jalal sambil meninggalkan Jodha yang masih berdiri memandangi punggung tuan mudanya. Dia menghela nafas dan kemudian masuk kerumah.
Malam ini tidak ada kesibukan apa-apa ketika majikannya tidak ada dirumah. Sedangkan tuan mudanya tidak mau makan malam dirumah. Jadinya Jodha dan Bi Ijah hanya mengurung diri di kamar. Jodha membuka novel yang dibeli itu dan membacanya sambil tiduran sampai kantuk menyerang. Tanpa sadar dia sudah terlelap dengan tangan masih memegang novelnya dengan posisi terbaring miring.
Jodha terbangun ketika mendengar suara ketukan di pintu kamarnya. Dia mengerjapkan matanya dan bangun melihat jam di hpnya sudah menunjukkan pukul 1 pagi. Ketukan itu kembali terdengar. Dengan malas Jodha bangkit dari tidurnya dan membuka pintu. Dahinya mengernyit heran melihat tuan mudanya senyum-senyum dihadapannya.
“Ada apa sih Tuan tengah malam begini ketuk-ketuk pintu kamar?” tanya Jodha sambil mengucek matanya karena masih terasa berat.
“Nem, aku laper.” sahut Jalal sambil cengengesan.
“Laper?” Jalal mengangguk, “terus?”
“Ya minta tolong dimasakin dong. Please!” Jodha menggeleng.
“Ini sudah tengah malam Tuan. Sebaiknya Tuan beli delivery aja ya. Pizza gitu. Saya masih ngantuk.” Tolak Jodha.
“Males. Lagi pengen makan nasi. Ayolah Nem. Mau ya..ya...” bujuk Jalal. Akhirnya Jodha mengalah.
“Ya sudah, Tuan tunggu aja di meja makan saya mau cuci muka dulu.” Jalal tersenyum senang.
“Baiklah, jangan lama-lama ya.” Jodha mengangguk.
Jadilah disini, di dapur Jodha siap dengan apronnya. Membuka kulkas mencari bahan makanan apa yang bisa dimasak dengan ringkas. Sementara Jalal hanya memperhatikan Jodha sambil bersandar di meja pantry sambil bersidekap tangan di depan dada. Sebenarnya dia merasa kasihan melihat Jodha memasak untuknya malam-malam dengan terkantuk-kantuk, tapi bagaimana lagi rasa laparnya sudah tidak tertahankan lagi.
Hanya memakan waktu 15 menit nasi goreng buatan Jodha pun terhidang di meja makan. Hanya itu masakan yang bisa dibikin dengan cepat. Jalal nampak sumringah melihatnya. Sudah tidak sabar rasanya dia untuk segera menyantapnya.
“Kamu mau kemana Nem?” tanya Jalal memegang tangan Jodha ketika dia melihat Jodha ingin berbalik ke kamarnya.
“Ya kekamarlah Tuan. Emang mau dibikinkan apa lagi?” jawab Jodha setengah kesal.
“Temanin aku, please!” ucap Jalal memasang tampang memelas. Jodha mendengus keras. Namun akhirnya dia duduk disamping tuan mudanya.
Terkantuk-kantuk Jodha menemani tuan mudanya makan, terkadang kepalanya hampir menyentuh meja makan, akhirnya tanpa sadar dia meluruhkan tubuhnya dan menyandarkan tubuh dan kepalanya di meja makan tersebut. Dia tertidur dengan lelap tanpa memperdulikan tuan mudanya sedang makan.
Jalal tersenyum melihat Jodha yang sudah tertidur sambil meneruskan makannya. Terkadang di pandanginya wajah Jodha agak lama. Entahlah, hari ini terasa sangat berkesan sekali untuknya. Ada rasa yang ingin meledak di dadanya ketika memandangi wajah polos nan damai itu.
Selesai makan Jalal tidak langsung membangunkan Jodha, namun kembali menikmati pemandangan di depannya itu dengan tidak puas-puasnya. Ingin rasanya dia menyentuh wajah itu, tapi dia takut kalau-kalau gadis itu terbangun. Pasti akan sangat memalukan sekali. Akhirnya tangannya menjulur dan memegang bahu Jodha kemudian mengguncangnya pelan.
“Nem, bangun. Aku sudah selesai makan nih.” Kata Jalal dengan pelan.
“Hm...”
Jodha hanya bergumam saja dan kembali melanjutkan tidurnya. Jalal menggeleng kepala melihatnya. Akhirnya dengan inisiatif sendiri dia menggendong Jodha dengan gaya bridal style kembali ke kamar gadis itu.
Perlahan dia meletakkan Jodha di tempat tidur, membenarkan posisi kepalanya dan menyelimutinya sampai dada. Dipandanginya sekali lagi wajah Jodha yang terlelap dengan posisi jongkok. Tangannya mengusap pelan kepala gadis itu.
“Makasih ya Nem, kamu sudah seharian ini menemaniku. Apa kamu tahu, betapa hari ini aku merasa sangat senang sekali. Maafkan bila selama ini aku hanya bisa menyakitimu dengan kata-kata kasarku. Aku tidak tahu kenapa aku begitu, apa mungkin benar yang dikatakan Man kalau itu hanya sebagai bentuk pelarian dari perasanku sendiri terhadapmu. Entahlah, aku juga tidak mengerti ada apa dengan hatiku. Tetapi yang pasti, aku sayang sama kamu. Inemku.” Bisik Jalal sambil mengecup kening Jodha agak lama. setelah itu dia berdiri dan melangkah keluar dari kamar Jodha.
Setelah pintu tertutup kembali, kedua mata Jodha terbuka. Sebenarnya dia terbangun ketika tuan mudanya menggendongnya masuk ke kamar, hanya saja dia malu untuk membuka matanya. Jadinya dia hanya pura-pura tertidur. Dan yaa....dia mendengar semua ucapan tuan mudanya itu. Jodha tidak tahu bagaimana menanggapi semua ucapan tuan mudanya itu dan sampai akhirnya dia tidak bisa tidur lagi sampai pagi.


===TBC==

Tidak ada komentar:

Posting Komentar