Jodha menghempaskan
pantatnya di kursi di samping sahabatnya Zeenat. Sahabatnya itu memandangnya
dengan berbagai pertanyaan namun tidak terucap. Jodha tahu itu, namun dia masih
merasakan emosinya belum stabil jadilah dia hanya diam. Sementara jadwal
perkuliahan sebentar lagi akan dimulai.
“Jo, kamu
kenapa?” akhirnya Zeenat bertanya juga. Jodha menghela nafas panjang. Zeenat adalah sahabatnya sejak dia masuk
kuliah sampai sekarang. Jodha menggeleng.
“Nggak
apa-apa Zee.” Zeenat mengerutkan keningnya memandang Jodha.
“Tapi,
sikapmu seperti ada apa-apa Jo. Cerita aja biar lega. Jangan disimpan sendiri.”
“Aku lagi
kesal Zee.”
“Kesal?”
Jodha mengangguk, “sama siapa?”
“Siapa lagi?
Sama anaknya Bu Hamidah itu lah?” Zeenat tertawa.
“Lagi?”
kembali Jodha mengangguk.
“Yang sabar
Jo, namanya juga resiko pekerjaan menghadapi anak manja itu.” Jodha menghela
nafas panjang.
“Tapi
terkadang hatiku sakit juga Zee mendengar ucapan pahit dari mulutnya.
Sepertinya dia itu seorang wanita yang terjebak dalam tubuh pria. Cerewet dan
judesnya minta ampun.” Ucap Jodha sambil mengusap wajahnya dengan kedua telapak
tangannya.
Sontak
Zeenat tertawa mendengar ucapan Jodha.
“Kamu ini
ada-ada aja Jo. Masa cakep begitu di bilang wanita terjebak dalam tubuh pria
sih?”
“Habisnya
dongkol banget aku. Iya kadang aku bisa menerima tapi ketika sedang sensitif
aku juga bisa emosi.” Zeenat mengangguk.
“Benar juga
sih. Yang sabar aja ya Jo. Aku nggak bisa ngasih solusi apa-apa selain hanya
jadi pendengar saja.”
“Tidak
apa-apa Zee. Itu saja sudah cukup. Kalau saja aku tidak memikirkan Bu Hamidah
dan Pak Humayun yang sudah begitu baik kepadaku, sudah dari awal aku berhenti
bekerja disana.” Ucap Jodha sambil menghembuskan nafas dengan kasar.
Baru saja
Zeenat akan menyahut ucapan Jodha, dari pintu masuk tiga orang wanita yang
berjalan ke arah Jodha dan Zeenat dengan gaya angkuh. Mereka berdua pura-pura
tidak tahu saja.
“Hei, namamu
Jodha kan?” Jodha mengangguk malas.
“Iya.
Kenapa?” wanita yang menjadi pemimpin itu mendelik.
“Kenalkan,
namaku Rukayah.” Katanya sambil bersidekap.
“Terus?”
Dia
mendekatkan wajahnya ke arah wajah Jodha.
“Apa
hubunganmu dengan Jalal anaknya pemilik kampus ini?” Jodha membalas tatapan
Rukayah.
“Tidak ada
hubungan apa-apa.” Jawab Jodha kalem.
“Benarkah?” Rukayah
masih tidak percaya. Jodha mengangkat bahunya.
“Ya terserah
sih kalau tidak percaya.”
“Kalau tidak
ada hubungan apa-apa kenapa tadi kamu datang bareng dia? Dan kenapa juga tadi
dia memegang tanganmu dan juga kepalamu?” Jodha memutar bola matanya dengan
malas. Ini nih masalah yang ingin dia hindari yang berhubungan dengan tuan
mudanya itu. Karena itu dia sebenarnya tidak ingin numpang di mobilnya.
“Memangnya
tidak boleh?”
“Jelas saja
tidak boleh. Kamu itu tidak pantas untuk berdampingan dengan pangeran seperti
dia. Ngerti?” Jodha mencebikkan bibirnya. Pangeran dia bilang? Orang kayak gitu
dibilang pangeran? Dilihat dari mana tuh dia jadi pangeran? Emang pantas apa
dia jadi pangeran, sombong banget. Ckck... hello... yang katarak siapa sih? dia
atau para wanita pengagum tuan mudanya itu? bathin Jodha jadi ingin tertawa
dengan pikirannya sendiri.
“Terus yang
pantas siapa? Kamu?” wanita itu tersenyum bangga.
“Tentu saja.
Siapa lagi?” Zeenat bahkan memasang ekspresi ingin muntah mendengar ucapan
Rukayah. Sedangkan kedua teman Rukayah hanya tersenyum mendengarnya.
“Eh Nona
Rukayah yang terhormat. Dengar ya. Kalau kamu ingin mendapatkan dia, silakan.
Noh, ambil. Aku tidak perduli. Dan hubunganku dengannya hanyalah karena aku
bekerja dengan keluarga mereka. Kamu sama dia mau ngapain juga terserah. Aku tidak
ingin ikut campur. Jadi sekarang silakan keluar dari ruangan ini karena
sebentar lagi dosenku akan datang.” Ucap Jodha dengan nada tegas. Rasanya
emosinya kembali naik.
“Baik. Aku
pegang ucapan kamu. Awas kalau sampai aku melihat kamu berduaan lagi dengannya.
Kamu akan tahu akibatnya.” Ancam Rukayah. Jodha tersenyum miring.
“Aku tidak
takut. Silakan saja kamu perjuangkan cintamu. Aku kira kalian berdua pasangan
yang sangat serasi.” Kata Jodha sambil tersenyum dan Rukayah tersenyum bangga
mendengarnya.
“Tentu saja.
Hanya aku yang pantas bersanding dengannya.” Jodha mengangguk-angguk
“Ya
ya...kamu benar. Kalau begitu silakan keluar dulu ya. Aku mau belajar.” Ucap
Jodha dengan nada halus namun menyindir. Wajah Rukayah nampak merah namun dia
tidak berkata-kata apa-apa lagi selain keluar dari ruangan itu dan diikuti oleh
kedua temannya.
“Kok kamu
bilang mereka berdua pasangan yang serasi sih Jo? Serasi darimana?” Jodha
terkikik geli. Kemudian dengan mengulum senyum dia menggeleng.
“Iya serasi
Zee. Sama-sama punya mulut pedas dan punya hati yang tidak pernah dipakai.
Kalau mereka berdua bersatu, orang di sekitar mereka akan mendapatkan hiburan
gratis debat adu mulut setiap hari. Hahahaha....” jodha Tergelak. Zeenat ikut
tersenyum.
“Kamu
ada-ada aja Jo.” Mereka berdua akhirnya tertawa bersama sampai akhirnya dosen
mereka pun datang.
Sementara
itu Jalal yang mendatangi kedua sahabatnya di kantin kampus. Keduanya heran
dengan wajah Jalal yang nampak kusut. Jalal menghempaskan tas ranselnya di atas
meja dengan sedikit kasar dan duduk di kursi tanpa melihat kedua sahabatnya
yang menatapnya heran.
Jalal
mengusap kasar wajahnya dengan kedua tangannya, kemudian menumpang kepalanya
dengan kedua tangannya.
“Kenapa
Bos?” tanya Mansingh heran. Jalal menghela nafas kasar, “sepertinya lagi galau ya
bos?”
“Iya nih,
kayak hp belum di charger. Lowbatt.” Sambung Surya. Jalal mendelik. Keduanya
tertawa.
“Ada apa
bos? Cerita sama kami, kami siap mendengarkan.” Ucap Mansingh yang di amini
dengan anggukan Surya.
“Aku bikin
dia sakit hati lagi.” Desis Jalal, terasa berat ingin mengucapkannya.
“Siapa Bos?”
tanya Mansingh antusias.
“Siapa
lagi?” mereka berdua saling pandang.
“Jodha?”
Jalal tidak
menjawab, hanya menangkupkan wajahnya dengan kedua tangannya sendiri.
“Kenapa lagi
Bos?” tanya Mansingh penasaran.
“Entahlah.
Entah kenapa rasanya mulutku begitu entengnya mengucapkan kata-kata yang
menyakiti hatinya. Padahal aku tidak pernah begini sebelumnya kepada orang
lain.” Keluh Jalal.
Kedua
sahabatnya menatap dengan prihatin. Mereka tahu bagaimana Jalal, bagaimanapun kesalnya dia kepada orang lain
apalagi dengan wanita dia tidak pernah berkata kasar. Bahkan bisa dibilang
tutur katanya lah yang selalu menarik perhatian para wanita yang merupakan
salah satu pesona yang sangat disukai.
“Bos sudah
minta maaf?” tanya Surya. Jalal mengangguk, “dia maafkan?” lagi-lagi jalal
mengangguk.
“Iya dia
maafkan. Tetapi meski begitu aku melihat raut sedih di wajahnya, biasanya dia
walaupun marah kepadaku tetapi wajahnya tidak seperti itu. Aku jadi merasa
jahat sekali.” Mereka berdua kembali saling pandang.
“Aku tanya
ya Bos, tetapi jawab dengan jujur. Siapa tahu kami bisa bantu.”
“Tanya apa?”
“Apa bos
suka sama Jodha?” jalal menatap mereka berdua.
“Entahlah.
Apa bisa dibilang aku suka kalau aku sering menyakiti hatinya?”
“Bisa jadi
Bos. Bisa jadi bos suka menjahili dan berkata kasar dengannya untuk menutupi
perasaan bos kepadanya tanpa bos sadari.” Jelas Surya. Jalal tercenung beberapa
saat.
“Aku kurang
tahu Sur. Hanya saja melihatnya tadi sedih, entah kenapa hatiku rasanya juga
merasa sakit. Seakan aku yang merasa sakit hati padahal aku yang mengeluarkan
kata-kata kasar kepadanya.” Surya terkekeh.
“Itu artinya
bos sudah punya perasaan kepadanya. Hanya saja bos tidak yakin dengan perasaan
bos sendiri.”
“Tapi, apa
iya begitu? Apa iya aku suka dengannya yang jutek, cerewet dan bahkan berani
memarahi dan menyuruh-nyuruh majikannya sendiri.” Kata Jalal setengah mengomel.
Kedua sahabatnya kembali tertawa.
“Bukannya
itu bagus bos? Ada yang melawan. Biasanya kan semuanya selalu menuruti
keinginanmu tanpa ada yang melawan, dan sekarang hanya Jodha yang sanggup dan
tanpa rasa takut melawanmu. Bukankah itu hebat? Bos menemukan lawan yang
sepadan.”
“Tetapi tetap
saja aku tidak terima, masa aku yang majikan dia yang nyuruh-nyuruh aku.”
“Ya sudah
kalau bos tidak mau biar untukku saja. Aku pasti bahagia dapat bidadari
secantik dia.” Kata Mansingh mengedipkan matanya kearah Surya. Mendengar itu
Jalal menjadi emosi. Ada rasa tidak rela kalau sahabatnya itu suka dengan
Inemnya.
“Tidak
boleh. Kalau sampai kamu pacaran sama dia bisa jadi dia tidak konsentrasi
dengan pekerjaannya.” Mansingh memicingkan matanya menatap Jalal.
“Bukannya
karena bos cemburu?”
“Cemburu?
Tidak mungkin. Untuk apa aku cemburu. Dia bukan siapa-siapaku.” Elak Jalal.
Mansingh menepuk tangannya sekali.
“Ya sudah
kalau bos nggak cemburu berarti aku bebas dong menjadikannya gebetanku. Kalau
masalah kerjaan bos tenang saja aku tidak akan mengikatnya terlalu ketat. Aku
bisa mengerti kok.”
Jalal
semakin jengkel dengan ucapan sahabatnya itu. Ingin rasanya dia membenturkan
kepala Mansingh ke tembok saking jengkelnya dia.
“Tidak boleh
ya tidak boleh. Kamu cari saja orang lain, jangan sama Inem.” Mansingh
terkekeh. Sedangkan Surya tersenyum geli melihat Jalal yang kalang kabut
mendenar ucapan Mansingh.
“Trus, masalahnya
dimana? Kalau kami saling cinta gimana? Bos nggak bisa menghalangikan?” tanya
Mansingh masih saja memancing kemarahan Jalal. Mansingh merasa kesal karena
Jalal terus saja menghindar dari perasaannya sendiri.
“Ya....ya...itu.....”
jawab Jalal tergagap, “dia tidak cinta sama kamu.”
“Bos tahu
darimana? Hayoo...? terus dia cintanya sama siapa? Sama bos gitu? Yakin?” Mansingh
masih saja berusaha untuk mengetahui perasaan Jalal yang sesungguhnya. Karena
dia yakin kalau sahabatnya itu sebenarnya menyukai supir pribadi mamanya itu,
hanya saja dia terlalu gengsi untuk menungkapkannya. Mungkin karena biasanya
dia yang dikejar oleh wanita, tetapi sekarang ada wanita yang dengan
terang-terangan menolaknya. Jalal hanya mendengus kasar, dia tidak menjawab
karena sulit baginya untuk mengatakannya.
“Sudahlah
bos, akuilah kalau memang bos menyukai dia. Atau mungkin mencintainya. Nggak
usah terlalu gengsilah, ada wanita yang lebih senang di kejar daripada
mengejar. Kalau bos masih saja seperti ini jangan menyesal jika suatu saat akan
ada orang yang lebih dahulu mengisi hatinya dan hati bos hanya akan dipenuhi
dengan penyesalan.” Jalal masih diam beberapa saat.
“Aku harus
bagaimana Man? Sedangkan aku tidak yakin dengan perasaanku sendiri.” Tanya
Jalal nampak frustasi. Mansingh tersenyum dan menepuk bahu sahabatnya itu.
“Pelan-pelan
saja. Kamu hanya perlu menyakinkan dia kalau kamu memang mencintai dia. Tidak
usah buru-buru mengambil keputusan. Biarkan semua berjalan dengan apa adanya.”
Jalal mengangguk.
“Hm,....baiklah
kalau begitu. Akan aku coba Man. Makasih.” Mansingh terkekeh.
“It’s oke
bos, itulah gunanya sahabat. Aku senang pada akhirnya sahabatku bisa jatuh
cinta kepada seseorang.” Mansingh dan Surya tertawa melihat wajah Jalal
memerah.
Waktu terus
berjalan, Jalal tidak memperbolehkan kedua sahabatnya itu untuk belajar dan
meminta mereka untuk menemaninya. Keduanya hanya bisa pasrah saja kalau sifat
egois sahabatnya itu kembali muncul. Jalal menghubungi Jodha dan menyuruhnya
menemuinya di kantin kampus dimana dia dan sahabatnya sedang menunggu. Seperti
biasa Jodha tidak bisa membantah, hanya mengiyakan saja.
Jodha
mengedarkan pandangannya mencari tuan mudanya yang sudah menunggunya dari tadi,
dan dia segera menghampiri meja dimana tuan mudanya dan dua orang temannya sedang
duduk. Dia duduk disamping Jalal dengan wajah datar seperti biasa. Tidak ada
senyum.
“Ya elah
Nem, kok betah banget sih wajah dibikin kaku kayak gitu? Nggak capek?” kembali sifat jahil Jalal kumat
lagi. Jodha menghela nafas, bosan.
“Capek
banget malahan tuan. Tapi tuan sendiri yang membuat saya seperti ini.” Jalal
cemberut.
“Kan aku
sudah minta maaf Nem, masa masih diingat juga sih? Ayo dong senyum dikit.” Ucap
Jalal sambil menjulurkan kedua tangannya dan dengan sepasang ibu jari dan
telunjuknya mengangkat kedua sudut bibir Jodha agar naik seperti orang
tersenyum. Persis seperti apa yang Jodha lakukan dulu. Mau tidak mau Jodha
tersenyum juga melihat ekspresi tuan mudanya itu, “nah, gitukan cantik.” Tanpa
sadar Jalal memuji Jodha di hadapan kedua sahabatnya itu.
“Ehem...ehem...”
Jalal terkejut. Dia lupa kalau sahabatnya itu masih di depannya, “aduh, kalau
pacaran jangan disini dong. Kasihan yang masih jones nih.” Sindir Mansingh.
Alhasil dia dilempari oleh Jalal dengan kotak tisu yang berada di meja itu membuat
Jodha dan Surya tertawa melihatnya, “bos nggak ngenalin kita-kita nih?” tanya
Mansingh sambil cengengesan.
Iya, selama
Jodha bekerja di tempat Bu Hamidah, Jodha sama sekali tidak pernah sekalipun
mengenal teman-teman tuan mudanya itu. Hal itu karena memang mereka sangat
jarang bahkan hampir tidak pernah main ke tempat tuan mudanya. Mungkin karena
sungkan dengan Bu Hamidah dan juga lebih sering tuan mudanya yang keluar untuk
menemui mereka. Jalal kembali mendengus mendengar ucapan Mansingh yang nampak
tidak peduli itu.
“Hai,
kenalkan aku Mansingh. Temannya tuan kamu itu.” Ucap Mansingh mengulurkan
tangannya untuk berjabat tangan dan di sambut oleh Jodha, “ini temanku Surya.”
Mansingh juga memperkenalkan Surya kepada Jodha namun tangannya tidak lepas dari
tangan Jodha. Membuat Jalal mendelik tidak suka kepadanya. Dia hanya tertawa
dalam hati melihat ekspresi cemburu Jalal.
“Aku Jodha.
Supir pribadi Bu Hamidah.”ucap Jodha sambil tersenyum.
“Wow, aku
nggak nyangka kalau supir pribadi bu rektor bisa secantik ini.” Kata Mansingh
sambil mengecup punggung tangan Jodha dengan lembut, karuan saja hal itu
membuat Jalal melotot.
Rasanya
Mansingh ingin sekali tertawa terpingkal-pingkal melihat ekspresi Jalal.
Sengaja dia mencium tangan Jodha untuk memancing kecemburuan sahabatnya itu.
sementara Jalal hatinya sudah sangat panas melihat Mansingh yang sengaja mencium
tangan Jodha di hadapannya.
“Sudah...sudah....
salaman apa tuh lama banget.” Ucap Jalal tanpa sadar melepaskan tangan Mansingh
dan Jodha dengan kasar. Mansingh dan Surya tertawa terbahak-bahak melihat Jalal
yang cemburu, sedangkan Jodha hanya mengerutkan keningnya melihat tuan mudanya
marah-marah tidak jelas.
“Tuan
kenapa?” tanya Jodha ketika melihat wajah Jalal yang nampak merah. Jalal
menggeleng, “tapi wajah Tuan merah begitu. Tuan sakit?” kembali Jalal
menggeleng. Mansingh tertawa lagi mendengar pertanyaan Jodha membuat Jalal
kembali melotot kepadanya.
“Tuanmu
tidak sakit Jo, dia hanya cemb......”
belum sempat Mansingh melanjutkan ucapannya mulutnya keburu di sumpal
oleh Jalal dengan gorengan yang ada dimeja kantin tersebut. Surya terkekeh
melihatnya. Sementara Jodha semakin nampak tidak mengerti.
“Gimana
kuenya? Enakkan?” sindir Jalal kepada Mansingh. Pemuda itu hanya cengar-cengir
saja sambil meneruskan makan gorengan yang di sumpal Jalal kemulutnya, “mau
lagi?” Mansingh menggeleng sambil tertawa.
“Ayo Nem
kita pulang.” Ajak Jalal bangkit dari duduknya sambil menarik tangan Jodha.
tanpa memperdulikan kedua sahabatnya itu. Tetapi, langkahnya berhenti ketika
dia merasa Jodha tidak mengikuti langkahnya. Jalal berbalik, “kenapa?”
“Maaf Tuan,
saya tidak bisa pulang bareng Tuan. Saya ada keperluan sedikit, nanti saya
pulang sendiri saja.” Tolak Jodha. Jalal mengerutkan keningnya.
“Kamu mau
kemana? Ini sudah sore, ngapain kelayapan nggak jelas.” Kedua sahabatnya itu
menggelengkan kepala mendengar ucapan Jalal. sementara Jodha mulai merasa kesal
dengan tuan mudanya itu.
“Heh Tuan, saya
mau kemana itu urusan saya. Saya tidak harus laporan dulu kepada Tuan. Emang
Tuan siapa? Terserah saya mau ngapain yang penting pekerjaan saya sudah saya
selesaikan dengan baik. Bereskan?” ucap
Jodha dengan kesal.
“Tentu saja
itu urusanku karena mama sudah menitipin kamu sama aku untuk di jaga.” balas
Jalal tidak mau kalah.
Jodha
memicingkan matanya menatap Jalal dengan heran. Sementara Jalal yang terlanjur
mengucapkan kata-kata tadi hanya melengos membuang muka menghindari tatapan
Jodha. Sementara kedua sahabatnya hanya tersenyum melihat pertengkaran
keduanya.
“Apa Tuan?
Aku di titipin sama Tuan untuk di jaga? Saya nggak salah dengarkan?” Jalal
mendengus, “nggak kebalik ya Tuan? Bukan saya yang dititipin tetapi Tuan lah
yang dititipin kepada kami. Mana ada ceritanya pembantu dititipin kepada
majikannya, yang ada itu majikan yang dititipin kepada pembantunya agar dirawat
dan dijaga. Lagian kalau saya dititipin kepada Tuan, apa istimewanya saya?”
“Tuh bos,
apa jawabannya?” celetuk Mansingh.
“Diam kamu!”
bentak Jalal dengan geram. Mansingh terdiam dengan senyum dikulum. Jalal kemudian
berpaling kepada Jodha, “aku tidak memikirkan apa itu terbalik atau tidak.
Pokoknya kamu harus pulang sekarang bareng aku. Ngerti?” Jodha menghela nafas.
“Tapi saya
mau ketoko buku Tuan. Bukan untuk kelayapan tidak jelas.” Jelas Jodha pelan.
“Memang ke
toko buku mau ngapain?” Jodha mendecak.
“Mau nyari
sayur. Siapa tahu ada yang jualan sayur yang tidak ada dipasar biasa.” Ucap
Jodha kembali jutek. Karuan saja Mansingh dan Surya kembali tertawa.
“Bos...bos...ya
jelaslah kalau ke toko buku itu buat nyari buku. Emangnya mau nyari apalagi?
Apa cinta bisa membuat otakmu bergeser ya jadi tidak bisa mikir?” sindir
Mansingh kepada Jalal yang terlihat otoriter sekali. Jalal cemberut. Dia sadar
dengan pertanyaannya yang tidak penting itu.
“Ya sudah,
biar aku antar ke toko buku biar cepat.” Ucap Jalal dengan nada melembut.
Ditariknya kembali tangan Jodha untuk mengikuti langkahnya. Jodha hanya bisa
menghela nafas kembali dan pasrah, “guys, aku pulang dulu ya.” Pamit Jalal
melambaikan tangannya.
“Selamat bersenang-senang
ya.” Balas Mansingh dengan tertawa lebar.
Sepanjang
perjalanan menuju toko buku Jodha hanya diam saja, celetukan dari tuan mudanya
tidak dia tanggapi. Tetapi rupanya Jalal tidak terlalu peduli. Dia suka melihat
Jodha yang selalu cemberut. Sampai dia melihat sesuatu yang menarik di
depannya.
“Eh, Inem
lihat deh masa iya saking cintanya sampai jandanya aja di tunggu. Berapa lama
harus menunggu? Itu namanya setia apa bego ya? Kayak sudah nggak ada wanita
lain aja sampai jandanya aja menarik. Ckckck....” celetuk Jalal ketika melihat gambar
KUTUNGGU JANDAMU dan terdapat lukisan wanita muda pada badan belakang truk
sambil menggeleng kepala. Jodha tersenyum samar sambil fokus menyetir. Sekarang
dia membawakan jeep tuan mudanya dengan kecepatan sedang setelah insiden tadi
pagi.
“Nem...”
“Ya Tuan.”
“Nanti habis
dari toko buku kita nyari makan ya.”
“Nggak makan
dirumah aja Tuan. Bi Ijah paling sudah masak tuh.” Jalal menggeleng.
“Males.
Pokoknya selama mama tidak ada dirumah, aku malas makan masakan Bi Ijah. Masa
tiap hari masakannya tidak jauh dari brokoli dan tomat. Kalau tomat masih
mending bisa dijadiin saos yang enak. Nah...kalau brokoli di jadikan apa biar
enak?” tanpa sadar Jodha tertawa sambil menggelengkan kepalanya.
“Terserah
Tuan sajalah. Saya mah nurut aja.” Jalal tersenyum senang.
“Kamu mau
makan apa Nem?”
“Harusnya
saya yang nanya Tuan mau makan apa? Kan Tuan sendiri tau kalau saya tidak
pernah menolak makanan apapun. Beda sama Tuan kan? Bisa-bisa nanti malah muntah
kalau salah makan.” Sindir Jodha. Jalal terkekeh.
“Iya deh,
kali ini aku kasih kebebasan buat kamu mau makan dimana? Pilih saja. Aku akan
mengikuti apa yang kamu makan.” Jodha menoleh sekilas.
“Yakin nih
nurut?” Jalal mengangguk.
“Iya.
Hitung-hitung sebagai permintaan maafku atas kejadian pagi tadi yang sudah
membuatmu sakit hati.” Ucap Jalal dengan tulus. Jodha tersenyum.
“Oke.
Baiklah. Nanti aku pikirkan setelah dari toko buku ya.”
“Iya. Tapi
jangan lama-lama ya ditoko bukunya.”
“Beres
Tuan.”
Jodha segera
mempercepat laju mobilnya menuju toko buku. Sesampainya di toko buku Jodha
bergegas turun dari mobilnya dan masuk ke dalam toko buku diikuti oleh Jalal.
Namun, kemudian Jodha berbalik dan menatap tuan mudanya dengan heran.
“Tuan kok
ikut?”
“Kenapa
memangnya kalau aku ikut?” sahut Jalal dengan enteng.
“Apa nggak
sebaiknya Tuan tunggu di mobil aja sebentar, saya nggak lama kok.”
“Enak aja
aku disuruh nunggu di mobil, emangnya aku supir jadi disuruh nunggu?” ucap
Jalal sambil mendelik kesal. Jodha hanya menghela nafas panjang. Salah lagi pikirnya.
“Ya sudah
kalau nggak mau nunggu, ayo masuk.” Ajak Jodha akhirnya mengalah.
Mereka
berdua pun segera masuk. Jodha segera mencari buku yang diinginkannya,
sedangkan Jalal hanya membuntuti dari belakang saja. Persis anak kecil yang sedang
mengikuti ibunya belanja. Hehehe....
“Tuan kok
ngikutin saya terus sih?” bisik Jodha kepada Jalal yang asyik melihati para
pengunjung sambil mengikuti Jodha. Jalal menoleh dan menatapnya.
“Lo, kan
tadi aku memang mau ngikutin kamu Nem? Masa lupa?” tanya Jalal heran.
“Iya sih,
tapi bukan begini juga kali caranya. Ya sementara cari buku Tuan kan bisa
lihat-lihat buku apa gitu buat mengisi waktu. Berasa punya anak pake dibuntutin
segala.” Keluh Jodha. Karuan saja dahinya di sentil oleh Jalal. Dia meringis
sakit.
“Enak saja
bilang seperti anak kamu. Ya sudah aku pergi saja.” Balas Jalal kesal.
Jodha hanya
terkikik geli melihat tuan mudanya ngambek. Namun, tidak lama kemudian dia
segera memilih buku yang menjadi tujuannya. Cukup lama Jodha mencari buku, sementara
itu tuan mudanya entah kemana. Setelah mendapatkan buku keinginannya, Jodha
melangkah ke rak buku yang memajang novel-novel. Dia berencana untuk menambah
sedikit koleksi novelnya.
Jodha
celingukan mencari tuan mudanya setelah dia selesai mencari bukunya,
ditelusurinya gang-gang di dalam toko buku tersebut untuk mencari tuan mudanya
untuk di ajak pulang. Siapa tahu malah dia yang betah di toko itu ketika ketemu
bacaan yang sesuai untuknya.
Namun,
langkah Jodha terhenti ketika melihat tuan mudanya sedang ngobrol dengan
seseorang di dekat rak buku yang memajang buku komik. Jodha memicingkan matanya
melihat dengan siapa tuan mudanya bicara. Rupanya tuan mudanya sedang ngobrol
dengan beberapa orang wanita, dan Jodha ingat itu adalah orang yang pagi tadi datang
menemuinya di kelas yang menyuruhnya untuk menjauhi tuan mudanya itu.
Jodha
menghela nafas. Dia tidak ingin mengganggu kesenangan tuan mudanya, jadilah
akhirnya dia yang menunggu tuan mudanya selesai ngobrol. Jodha hanya berdiri
bersandar di rak buku sambil tangannya memeluk buku-buku yang akan dibelinya di
depan dada. Matanya tidak lepas memperhatikan tuan mudanya yang sedang
dikerubungi oleh para fansnya itu. Namun, yang membuat Jodha heran sepertinya
tuan mudanya nampak tidak nyaman dengan kehadiran para fansnya itu.
berulangkali dia celingak-celinguk mencari celah untuk lari dari mereka. Jodha
hanya tersenyum simpul melihat keadaan tuan mudanya. Resiko jadi orang ganteng
pikir Jodha sambil menggelengkan kepalanya.
Akhirnya
Jodha tidak tega juga melihat tuan mudanya itu semakin tersiksa dengan
kehadiran para fansnya. Hal itu aneh, padahal biasanya dengan senang hati dia
meladeni mereka kenapa sekarang malah tidak nyaman. Ketika Jalal melihat Jodha
sedang melangkah ke arahnya, tiba-tiba dia mendapat ide.
“Hai
sayang.” Katanya sambil melambaikan tangan ke arah Jodha. Karuan saja
orang-orang yang mengerubunginya menoleh ke arah Jodha.
Sementara
Jodha yang tidak merasa di panggil sayang menoleh kebelakang, celingak-celinguk
mencari siapa yang dipanggil tuan mudanya tetapi dia tidak melihat siapapun
yang melihat ke arah tuan mudanya itu. “Masa tuan muda memanggil aku sayang?”
gumam Jodha dengan bingung.
Jalal yang
melihat kesempatan untuk melepaskan diri segera melangkah menghampiri Jodha
yang masih nampak kebingungan itu. Segera di rangkulnya pinggang Jodha dan
mengajaknya mendekat dengan para wanita tadi. Tentu saja Jodha kaget dan tidak
menyangka tuan mudanya akan memperlakukannya seperti itu. Apalagi ketika dia
melihat wanita yang bernama Rukayah itu nampak menahan amarah, namun dia masih
tersenyum kepada tuan mudanya. Sedangkan ketika menoleh ke arah Jodha dia
tersenyum sinis.
“Kenalkan
ini pacarku.” Kata Jalal memperkenalkan Jodha. Para wanita dan terlebih Jodha
nampak terkejut dan syok.
“Apa
katanya? Pacar? Pacar apanya?” pikir Jodha, “ini Tuan kesambet apaan ya kok
ngomongnya begitu?” Jodha masih menatap tuan mudanya dengan mulut menganga.
Sementara Jalal hanya tersenyum geli melihat ekspresi Jodha.
“Tu...tu...tuan”
ucapannya terhenti ketika dipotong oleh Jalal.
“Sudah
selesai belanjanya sayang?” tanya Jalal dengan lembut. Membuat para fans tuan
mudanya itu mendelik tidak suka ke arahnya. Jodha akhirnya hanya mendesah
pasrah dengan keadaan.
“Iya, sudah
selesai.” Jawab Jodha singkat dengan senyum di paksakan.
“Ya sudah,
ayo kita bayar dulu. Maaf ya semua, aku mau nganter pacarku pulang dulu.” Pamit
Jalal kepada mereka yang hanya terdiam melihat adegan mereka berdua.
Sepanjang
perjalanan ke kasir mereka berdua hanya diam. Namun, tangan Jalal masih
bertengger di pinggang Jodha. Jodha tidak habis mengerti dengan tuan mudanya
yang mendadak aneh.
Setelah
membayar buku, mereka berdua keluar dari toko buku tersebut masih dengan posisi
semula. Jodha tidak berani melarangnya apalagi itu ditempat umum. Dia bisa
meminta penjelasan nanti dengan tuan mudanya.
Setelah
sampai di mobil Jalal melepaskan rangkulan tangannya dan masuk ke mobil dengan
santainya. Dia menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi penumpang itu dan memejamkan
matanya. Memang susah untuk bersikap biasa-biasa saja ketika dirinya sedang
gugup. Dia bahkan merasa saat ini Inemnya sedang menatap dirinya menuntut
penjelasan. Namun, Jalal hanya diam saja.
“Tuan...”
panggil Jodha ketika sudah duduk di belakang setir.
“Jalan saja
dulu Nem, penjelasannya nanti saja. Aku laper.” Ucap Jalal tanpa membuka
matanya. Jodha menghela nafas dan mengangguk.
“Baiklah.”
Jodha pun
segera membawa mobil itu keluar dari parkiran toko dan melaju di jalan raya
mencari tempat untuk makan. Hari sudah beranjak sore. Jalal membuka matanya
setelah berhasil menguasai dirinya.
“Kita makan
dimana Tuan?” tanya Jodha bingung mau makan apa.
“Terserah
saja. Bukannya tadi aku sudah ngasih kamu kebebasan mau makan apa.” Jawab Jalal.
“Iya sih,
tapi saya bingung mau makan apa?” gumam Jodha sambil melihat-lihat deretan
warung makanan di pinggir jalan. Jujur saja dia hanya tahu makanan kaki lima
bukan restoran bintang lima. Seandainya makan untuk dia sendiri tentu dia tidak
akan sebingung ini, tetapi ini membawa majikannya yang cerewet dalam hal
makanan.
Setelah sekian
lama menyusuri jalanan akhirnya Jodha memarkirkan mobilnya di depan sebuah warung
makan kaki lima yang menjual bakso dan mie ayam. Jodha pasrah kalau memang tuan
mudanya tidak mau turun. Habisnya dia bilang terserah, sedangkan Jodha juga
seleranya terserah. Apa saja dimakan. Sedangkan tuan mudanya itu seleranya
memakai filter, tidak sembarang
makanan diijinkan masuk ke mulutnya. Susah bener mulut orang kaya. Pikir Jodha
sambil tersenyum kecil.
“Kita makan
disini Nem?” tanya Jalal sambil mengerutkan keningnya.
“Iya Tuan.
Kenapa? Nggak suka ya? Maaf, saya cuma tau tempat-tempat seperti ini saja.”
Jawab Jodha sambil meringis. Jalal tersenyum.
“Tidak
apa-apa. Ayo turun, aku laper.” Jodha menarik nafas lega mendengar ucapan tuan
mudanya. Mereka berdua pun turun dan masuk ke dalam warung tersebut. Jodha
segera memesan dua porsi mie ayam dan dua gelas teh hangat. Di segera mengambil
tempat duduk di depan tuan mudanya yang nampak diam.
“Kalau lapar
bisa bikin dia diam seperti ini akan mudah buatku besok-besok untuk
mengalahkannya.” Bisik bathin Jodha jahil ketika melihat tuan mudanya itu
mengusap wajahnya dengan kedua tangannya sambil menunggu pesanan mie ayamnya.
Tidak lama
kemudian, pesanan mereka pun datang. Tanpa menunggu lama Jalal makan dengan
lahap. “Benar-benar lapar rupanya dia” pikir Jodha. Tanpa sadar dia hanya diam
memperhatikan tuan mudanya makan, sedangkan makanannya hanya dibiarkan begitu
saja.
“Mas, pesan
satu porsi lagi.” Kata Jalal kepada pemilik warung tersebut ketika mie ayamnya
sudah hampir habis di mangkok. Jodha melongo melihatnya. Tidak lama kemudian
pesanan Jalal pun sudah datang, tanpa basa basi seperti tadi Jalal segera
menghabiskan semangkok mie ayam kedua ditutup dengan segelas teh hangat.
Jalal hanya
cengar-cengir melihat Jodha yang melongo melihatnya.
“Kamu kenapa
Nem? Begitu terpesonanya melihat aku makan?” tanya Jalal melihat ekspresi heran
Jodha.
“Siapa yang
terpesona Tuan? Hanya baru tahu ternyata ada ya orang kelaparan sampai tidak
bisa ngomong lagi saking laparnya dan menghabiskan dua porsi sekaligus.” Ucap
Jodha sambil menggelengkan kepalanya. Jalal terkekeh.
“Nggak usah
heran, namanya juga orang lapar. Kamu juga bisa aku makan kalau laparku tidak tertahankan.”
Ucap Jalal sambil tergelak. Jodha mendelik mendengar ucapan tuan mudanya itu,
“kenapa makananmu tidak dimakan Nem?” tegur Jalal. Jodha tersadar, dia
keasyikan melihat tuan mudanya yang makan dengan lahap sampai lupa dengan
makanannya sendiri. Akhirnya dia pun segera memakan mie ayam pesanannya.
Jalal
meringis melihat Jodha memasukkan sesendok makan penuh sambal ke dalam
mangkuknya. Terbuat dari apa perut gadis didepannya itu. Apa ususnya nggak
bolong saking banyaknya memasukkan sambel?
“Mas, minta
sambalnya lagi dong.” Pinta Jodha kepada pelayan. Jalal melongo.
“Satu sendok
kurang pedas Nem?” tanya Jalal tidak percaya. Jodha memamerkan senyum joker
kepada tuan mudanya. Jalal menggelengkan kepala melihat Jodha, “pantesan
mulutmu judes banget ternyata ini toh penyebabnya.” Sindir Jalal.
“Yee...nggak
ada hubungannya kali makan pedas dengan judes.” Sahut Jodha sambil menerima
tempat sambal dari pelayan warung.
“Nggak
sekali minjam sendalnya yang punya warung Nem?” tanya Jalal, Jodha menatap tuan
mudanya. Ada kilatan jahil dimatanya.
“Untuk apa
Tuan minjam sendal segala?” Jalal mesam-mesem pertanda usilnya mulai keluar.
“Untuk
menabok bibir kamu biar tambah pedas dan panas kalau sambalnya kurang pedas.
Hahahaha....” Jalal tergelak mendengar ucapannya sendiri tanpa memperdulikan
tatapan dari pengunjung lain. Sementara Jodha hanya mengerucutkan bibirnya
mendengar ucapan tidak bersalah dari tuan mudanya.
“Ya..ya...tak
apa saya suka pedas, palingan juga saya sendiri yang tersiksa karena pedasnya.
Lah...daripada Tuan, tidak suka pedas tetapi mulutnya pedas sekali. Entah
berapa orang yang sakit hati dengan ucapan pedas Tuan.” Sindir Jodha membalik
ucapan tuan mudanya. Jalal hanya cengar-cengir mendengar sindiran dari Inemnya.
“Tapi aku
ngomong pedas cuma buat kamu kok Nem.” Jodha menghentikan makannya.
“Maksud
Tuan?” Jalal tersenyum.
“Iya, entah
kenapa aku suka ngomong pedas cuma sama kamu saja.” Jodha mencebikkan bibirnya.
“Kok bisa
begitu?”
“Aku juga
nggak tahu, mungkin karena wajah kamu itu mirip persis seperti orang-orang yang
pantas teraniaya.” Ucap Jalal kembali tertawa. Jodha mengangguk-anggukan
kepalanya.
“Iya kali
Tuan, wajah dan hati saya ini memang pantas untuk dianiaya?” jawab Jodha
sarkastik.
“Eh, tapi
kalau jadi artis kamu itu menjad artis multitalenta kok Nem. Serba bisa gitu”
puji Jalal sambil tersenyum. Jodha cuek sambil meneruskan makannya.
“Masa? Bisa
apanya? Saya nggak minat jadi artis. Perasaan saya jadi tidak enak nih mendengar
pujian dari Tuan.” Jalal kembali terkekeh.
“Bisa kok
Nem. Sangat bisa malahan. Bisa disakiti, bisa di zholimi, bisa dianiaya dan
bisa disuruh-suruh. Hahahaha...”
“Tuh kan,
bener perasaan saya tadi. Mana bisa Tuan memuji saya dengan tulus.” Kata Jodha
yang telah menyelesaikan makannya. Jalal tertawa mendengar ucapan Jodha. Hari
ini dia senang sekali bisa menghabiskan waktu dengan Inemnya.
Jodha
berdiri untuk membayar namun dicegah oleh Jalal. Gengsi lah, masa majikan
dibayarin sih. Laki-laki lagi. Awalnya Jodha bersikeras untuk membayar sendiri
makanannya, namun akhirnya kembali dia mengalah. Setelah membayar akhirnya
mereka berdua pun pulang, di dalam perjalanan masing-masing hanya terdiam.
Jalal menyalakan musiknya dari DVD membuat keduanya hanyut tenggelam dalam
alunan lagu.
Sesampai
dirumah, ketika akan memasuki pintu Jodha memanggil tuan mudanya untuk
mengobati rasa penasarannya dengan peristiwa di toko buku tadi.
“Tuan...”
Jalal menoleh dan berbalik.
“Ada apa?”
Jodha
mendekat dan dengan sedikit malu dia menanyakan rasa ingin tahunya.
“Hm...saya
ingin tahu apa maksud Tuan memeluk saya ketika di toko buku tadi?” Jalal
mengangkat kedua alisnya kemudian terkekeh.
“Kenapa?
Kamu suka?” Jalal balik nanya. Jodha menggeleng.
“Bukan itu
maksudnya. Apa tujuan Tuan memeluk saya di hadapan para fans Tuan?”
“Fans?” Jodha
mengangguk, “oh. Itu hanya agar mereka berhenti menggangguku saja. Tidak ada
niat apapun. Kenapa? Kamu ingin jadi pacarku?” Jodha menggeleng cepat.
“Ogah! Bisa
makan hati kalau pacaran sama Tuan. Lagian nggak ada rumusnya majikan pacaran
sama pembantu.” Tolak Jodha membuat Jalal kembali tertawa.
“Lagian aku
nggak suka melihat mereka seperti kucing kebelet kawin. Terlalu agresif dan
kecentilan.” Ucap Jalal sambil menggidik. Jodha tertawa.
“Bukannya
Tuan malah senang di kejar seperti itu? tak perlu susah payah mengejar kan
sudah di kejar jadi tinggal pilih.”
“Sayangnya
orang yang aku suka tidak mau mengejarku.”
“Oh ya?”
“Iya..”
“Kasihan.
Lagian Tuan itu mau enaknya aja, nggak mau berusaha. Cinta itu harus
diperjuangkan bukan ditunggu Tuan.” Jalal mengangkat bahu.
“Entahlah,
aku nggak yakin.” Ucap Jalal sambil meninggalkan Jodha yang masih berdiri
memandangi punggung tuan mudanya. Dia menghela nafas dan kemudian masuk
kerumah.
Malam ini
tidak ada kesibukan apa-apa ketika majikannya tidak ada dirumah. Sedangkan tuan
mudanya tidak mau makan malam dirumah. Jadinya Jodha dan Bi Ijah hanya
mengurung diri di kamar. Jodha membuka novel yang dibeli itu dan membacanya
sambil tiduran sampai kantuk menyerang. Tanpa sadar dia sudah terlelap dengan
tangan masih memegang novelnya dengan posisi terbaring miring.
Jodha
terbangun ketika mendengar suara ketukan di pintu kamarnya. Dia mengerjapkan
matanya dan bangun melihat jam di hpnya sudah menunjukkan pukul 1 pagi. Ketukan
itu kembali terdengar. Dengan malas Jodha bangkit dari tidurnya dan membuka
pintu. Dahinya mengernyit heran melihat tuan mudanya senyum-senyum
dihadapannya.
“Ada apa sih
Tuan tengah malam begini ketuk-ketuk pintu kamar?” tanya Jodha sambil mengucek
matanya karena masih terasa berat.
“Nem, aku
laper.” sahut Jalal sambil cengengesan.
“Laper?”
Jalal mengangguk, “terus?”
“Ya minta
tolong dimasakin dong. Please!” Jodha
menggeleng.
“Ini sudah
tengah malam Tuan. Sebaiknya Tuan beli delivery
aja ya. Pizza gitu. Saya masih ngantuk.” Tolak Jodha.
“Males. Lagi
pengen makan nasi. Ayolah Nem. Mau ya..ya...” bujuk Jalal. Akhirnya Jodha
mengalah.
“Ya sudah,
Tuan tunggu aja di meja makan saya mau cuci muka dulu.” Jalal tersenyum senang.
“Baiklah,
jangan lama-lama ya.” Jodha mengangguk.
Jadilah
disini, di dapur Jodha siap dengan apronnya. Membuka kulkas mencari bahan
makanan apa yang bisa dimasak dengan ringkas. Sementara Jalal hanya
memperhatikan Jodha sambil bersandar di meja pantry sambil bersidekap tangan di depan dada. Sebenarnya dia
merasa kasihan melihat Jodha memasak untuknya malam-malam dengan
terkantuk-kantuk, tapi bagaimana lagi rasa laparnya sudah tidak tertahankan
lagi.
Hanya
memakan waktu 15 menit nasi goreng buatan Jodha pun terhidang di meja makan.
Hanya itu masakan yang bisa dibikin dengan cepat. Jalal nampak sumringah
melihatnya. Sudah tidak sabar rasanya dia untuk segera menyantapnya.
“Kamu mau
kemana Nem?” tanya Jalal memegang tangan Jodha ketika dia melihat Jodha ingin
berbalik ke kamarnya.
“Ya
kekamarlah Tuan. Emang mau dibikinkan apa lagi?” jawab Jodha setengah kesal.
“Temanin
aku, please!” ucap Jalal memasang
tampang memelas. Jodha mendengus keras. Namun akhirnya dia duduk disamping tuan
mudanya.
Terkantuk-kantuk
Jodha menemani tuan mudanya makan, terkadang kepalanya hampir menyentuh meja
makan, akhirnya tanpa sadar dia meluruhkan tubuhnya dan menyandarkan tubuh dan
kepalanya di meja makan tersebut. Dia tertidur dengan lelap tanpa memperdulikan
tuan mudanya sedang makan.
Jalal
tersenyum melihat Jodha yang sudah tertidur sambil meneruskan makannya.
Terkadang di pandanginya wajah Jodha agak lama. Entahlah, hari ini terasa
sangat berkesan sekali untuknya. Ada rasa yang ingin meledak di dadanya ketika
memandangi wajah polos nan damai itu.
Selesai
makan Jalal tidak langsung membangunkan Jodha, namun kembali menikmati
pemandangan di depannya itu dengan tidak puas-puasnya. Ingin rasanya dia
menyentuh wajah itu, tapi dia takut kalau-kalau gadis itu terbangun. Pasti akan
sangat memalukan sekali. Akhirnya tangannya menjulur dan memegang bahu Jodha
kemudian mengguncangnya pelan.
“Nem,
bangun. Aku sudah selesai makan nih.” Kata Jalal dengan pelan.
“Hm...”
Jodha hanya
bergumam saja dan kembali melanjutkan tidurnya. Jalal menggeleng kepala
melihatnya. Akhirnya dengan inisiatif sendiri dia menggendong Jodha dengan gaya
bridal style kembali ke kamar gadis
itu.
Perlahan dia
meletakkan Jodha di tempat tidur, membenarkan posisi kepalanya dan menyelimutinya
sampai dada. Dipandanginya sekali lagi wajah Jodha yang terlelap dengan posisi
jongkok. Tangannya mengusap pelan kepala gadis itu.
“Makasih ya
Nem, kamu sudah seharian ini menemaniku. Apa kamu tahu, betapa hari ini aku
merasa sangat senang sekali. Maafkan bila selama ini aku hanya bisa menyakitimu
dengan kata-kata kasarku. Aku tidak tahu kenapa aku begitu, apa mungkin benar
yang dikatakan Man kalau itu hanya sebagai bentuk pelarian dari perasanku
sendiri terhadapmu. Entahlah, aku juga tidak mengerti ada apa dengan hatiku.
Tetapi yang pasti, aku sayang sama kamu. Inemku.” Bisik Jalal sambil mengecup
kening Jodha agak lama. setelah itu dia berdiri dan melangkah keluar dari kamar
Jodha.
Setelah
pintu tertutup kembali, kedua mata Jodha terbuka. Sebenarnya dia terbangun
ketika tuan mudanya menggendongnya masuk ke kamar, hanya saja dia malu untuk
membuka matanya. Jadinya dia hanya pura-pura tertidur. Dan yaa....dia mendengar
semua ucapan tuan mudanya itu. Jodha tidak tahu bagaimana menanggapi semua
ucapan tuan mudanya itu dan sampai akhirnya dia tidak bisa tidur lagi sampai
pagi.
===TBC==
Tidak ada komentar:
Posting Komentar