Pantai
berpasir pantai berbatu
Banyak
terdapat dipulau bali
Tidak
terasa sudah hari sabtu
Saatnya
Inem datang kembali.
Selamat
sore semua, Inem datang lagi nih. Part ini part terpanjang yang pernah aku
bikin. Maaf, authornya rempong banget. Semoga aja masih ada yang betah
membacanya. Hehehe...
Special thanks buat Mb Vina Rere
Lina yang sudah ngasih aku referensi gaun. Untuk Nadia dan Ruqaiyah aku ambil
yang mbak kasihkan itu, tapi untuk Jodha, maaf ya aku nyari sendiri. Hehehee...
dan maaf juga kalau pendiskripsian fashion style mereka kurang pas, kalau ingin
detail silakan tanya langsung dengan desainernya. Hahahahaha...
========0000=======
“Ya Tuhan...”
Madam Layla tertawa geli melihat ekspresi ketiga pemuda itu. Bagaimana
tidak, tiga sosok gadis cantik muncul dihadapan mereka dengan tersenyum
malu-malu. Ketiga pemuda itu terpana sampai tidak bisa berkata apapun lagi.
Jodha, Nadia, dan Ruqaiyah tampil memukau dengan dandanan hasil make over
tangan dingin Madam Layla.
Terlebih Jodha dan Nadia yang tidak pernah sekalipun berdandan, membuat
keduanya terlihat berbeda. Jalal dan Mansingh hampir tidak mengenali mereka
berdua.
“Ma-Madam, ini bener mereka?” tanya Jalal dengan tangan menunjuk Jodha
dan wajahnya terlihat tidak yakin dan percaya. Madam Layla mengangguk sambil
tertawa.
“Tentu saja. Memangnya siapa lagi Ganteng, yang diantarkan oleh Mama
kamu selama tiga hari ini kesini.” Jalal menoleh kearah Madam Layla.
“Jadi, mereka sibuk selama tiga hari ini karena berada disini?” sekali
lagi Madam Layla mengangguk.
“Ya begitulah.”
“Jadi ini kejutan yang Mama bilang itu.” Gumam Jalal, “cantik.” Lanjutnya.
Tanpa sadar ketiganya menelan ludah. Speechless. Itulah yang mereka bertiga
rasakan. Jodha, Nadia, dan Ruqaiyah saling senyum, dengan kompak mereka bertiga
melangkah dengan gemulai bak peragawati berjalan di catwalk mendekati lelaki mereka
masing-masing yang masih berdiri terpesona itu.
Jalal, Mansingh, dan Surya sedikit meringis ketika melihat mereka
bertiga mulai melangkah, bagaimana tidak dengan sepatu hak setinggi 12
centimenter itu mereka bertiga melangkah dengan anggun. Padahal, seumur-umur
mereka mengenal ketiga gadis itu, tidak pernah sekalipun mereka terlihat
memakai sepatu setinggi itu. Bahkan Ruqaiyah yang dulunya selalu tampil menor
dan gaya juga tidak pernah terlihat memakai sepatu seperti itu. Inikah kejutannya? Pikir Jalal.
Ketiga gadis itu memakai gaun dengan warna yang sama. Gaun berwarna
merah menyala hanya modelnya saja yang berbeda. Entah apa yang dipikirkan oleh mamanya Jalal
ketika membelikan gaun untuk mereka.
Untuk Jodha, gaun yang dipakainya adalah gaun panjang menyapu lantai
tanpa lengan, dengan kerah langsung menyatu dengan leher, namun bahunya
terbuka dan terdapat sedikit belahan di dadanya. Dipinggangnya diberi sabuk seperti hiasan berlian sebagai pemanis, rambutnya disanggul
simple dan rapi namun elegan, ditangannya memegang sebuah tas kecil berwarna
merah juga. Bahkan kuku dan lipstiknya juga berwarna senada.
Untuk Nadia, gaun yang dibelikan Bu Hamidah adalah gaun pendek selutut
dengan bawahannya yang melebar, namun gaun atasnya menutup bahu sampai
siku, modelnya sederhana dan
simple, ban sabuk yang menjadi satu
dengan gaunnya sebagai pemanis pinggang sehingga tubuhnya terlihat lebih ramping.
Cocok untuknya yang aktif dan tidak bisa diam. Kakinya yang tidak tertutup gaun
terlihat jenjang, apalagi ditopang dengan sepatu hak tingginya itu. Rambutnya disanggul
simple dan modern, terlihat sedikit berantakan namun malah membuatnya semakin
manis, sesuai untuk gaun pendeknya. Ditangannya juga memegang sebuah tas kecil
berwarna merah. Seperti halnya Jodha, kuku dan lipstiknya juga berwarna merah
namun tidak terlalu terang.
Sedangkan Ruqaiyah memakai longdress ketat yang terbuat dari
renda brokat membungkus
tubuhnya yang ramping, dengan potongan dada rendah sekali yang diberi
payet disekelilingnya.
Rambutnya juga disanggul simple dan modern. Hampir senada dengan sanggul Nadia
yang terlihat sedikit berantakan namun malah membuatnya semakin cantik dan
manis. Kuku dan lisptiknya juga diberi warna merah. Semua sanggul mereka
diberi aksesoris yang berwarna merah
juga, begitu juga dengan perhiasan lainnya.
Kini ketiganya terlihat seperti perempuan penggoda yang centil dan
genit. Ya ampun, rasanya keimanan Jalal, Mansingh, dan Surya rontok saat itu
juga melihat gadis mereka itu.
“Bos, bisa nggak malam ini aku nggak hadir diacara Papanya Bos?” tanya
Mansingh kepada Jalal tanpa mengalihkan pandangannya dari gadis usilnya yang
polos dan kini berubah seperti gadis centil. Jalal menoleh ke arah Mansingh
dengan dahi berkerut.
“Kenapa Man? Bukannya kita sudah janji mau datang?”
“Iya sih Bos. Tapi kalau begini caranya, sepertinya aku tidak rela Bos
membawa Bebebku dihadapan orang banyak. Aku bisa cemburu Bos. Aku ingin sendiri
saja menikmati pemandangan indah ini. Aku tidak mau berbagi.” Sahut Mansingh
seperti orang frustrasi. Ketiga gadis mereka hanya tertawa geli mendengar
ucapan Mansingh.
“Emang kamu kira, kamu aja Man yang kayak gitu? Aku juga. Rasanya nggak
rela harus menampilkan Inemku seperti ini.” Sahut Jalal, “Nem, kamu membuatku
tidak sabar untuk segera memilikimu seutuhnya Sayang. Ya Tuhan, kamu menyiksaku
Nem.” Sungut Jalal. Jodha tersenyum menggoda.
“Mana aku tahu Sayang, inikan kerjaan Mama. Salahkan saja kenapa Mama
bikin kami seperti ini.” Jalal mengerang jengkel. Sialan, kenapa mamanya jadi
begini? Apa maksudnya?
“Beb.” Kata Mansingh mengelus pipi Nadia, gadis itu tersenyum manis.
“Hm...”
“Kita nikah bareng Bos sama Jodha saja ya?” kata Mansingh tanpa basa
basi, Nadia terkekeh.
“Emang kenapa Bang? Kok tumben pengen buru-buru?”
“Gimana nggak pengen buru-buru Beb, kalau kamu seperti ini. Abang nggak ikhlas
Sayang, harus merelakan kecantikanmu dinikmati orang lain.” Nadia tersipu malu,
“mau ya Beb?” pinta Mansingh lagi.
“Tanyakan saja sama Ayah dan Ibu, Bang. Kalau mereka mengijinkan, ayo
kita menikah.” Jawab Nadia sama cueknya dengan Mansingh. Berbeda dengan Jodha
yang masih malu-malu kalau diajak berbicara masalah pernikahan. Tetapi Nadia,
to the point saja. Persis seperti Mansingh, tanpa basa basi.
“Oke. Nanti aku akan bicara dengan orang tuaku dulu untuk melamar kamu
ya Beb.” Nadia mengangguk sambil tersenyum.
“Iya Bang.”
Sementara Surya dan Ruqaiyah tidak seperti pasangan yang lain, keduanya
hanya saling bertatapan sambil tersenyum. Ruqaiyah akhirnya hanya bisa menunduk
malu, tidak kuat menantang tatapan penuh cinta dari Surya yang membuat hatinya
meleleh seketika itu juga.
“Kamu cantik Ruq.” Hanya itu yang terucap oleh Surya, wajah Ruqaiyah
memerah mendengarnya. Ada sesuatu yang aneh rasanya menari-nari diperutnya. Ah,
kata-kata itu. Meski hanya tiga kata, tapi mampu membuatnya menjadi
berbunga-bunga dan bahagia.
“Ehem... sampai
kapan pandang-pandangan seperti ini? Memangnya kalian nggak jadi pergi kepesta
itu ya?” tanya Madam Layla yang sedari tadi memperhatikan mereka berenam. Mereka
semua terlihat malu mendengar pertanyaan wanita itu.
“Eh iya Madam. Maafkan kami, kami terlalu terpesona melihat hasil karya
Madam. Rasanya kami nggak ikhlas harus memamerkan mereka seperti ini Madam.” Sahut
Jalal. Madam Layla tertawa.
“Nggak apa-apa kalau cuma dilihat saja, bukan untuk menyentuh dan
memilikinya. Seharusnya kalian bangga bisa memamerkan kecantikan mereka yang
selama ini tidak pernah terlihat.” Kata Madam Layla lagi. Ketiganya hanya bisa
menghembuskan nafas pasrah. Tanpa dikomando, mereka bertiga menyodorkan lengan
untuk gadis mereka masing-masing.
Jodha, Nadia, dan Ruqaiyah dengan tersenyum malu menyambutnya dan
merangkul lengan lelaki mereka. Ketiga pemuda itu tersenyum sumringah ketika
gadis mereka sudah menempel erat. Seperti para bangsawan di eropa sana yang
akan menghadiri sebuah pesta, mereka nampak siap. Ketiga gadis itu sekarang
menjelma seperti sosialita high class, anggun, cantik dan berkelas. Hehehe...
Jalal, Mansingh, dan Surya membukakan pintu mobil mereka untuk para
gadis tersebut. Mereka diperlakukan layaknya seorang putri, dan tentu saja para
gadis tersebut semakin tersipu dibuatnya. Ketiga mobil itupun perlahan
meninggalkan salon tersebut menuju kantor Papanya Jalal.
Jalal berkali-kali melirik kearah Inemnya sambil tangannya menyetir,
sementara Jodha hanya tersenyum geli melihat kekasihnya seperti itu.
“Kenapa?” tanya Jodha akhirnya. Jalal tersenyum dan menggeleng.
“Enggak apa-apa Sayang. Aku hanya belum percaya kalau ini kamu. Kamu
cantik sekali Sayang.” Jodha terkekeh pelan.
“Tapi aku risih, enggak terbiasa seperti ini. Ini bukan gayaku.” Jalal
tertawa. Dia maklum, dan dia juga tidak terlalu suka Inemnya seperti ini. Tapi
untuk malam ini tidak apa-apalah. Dispensasi untuk acara papanya. Hahahaha...
Jeep Jalal berhenti di depan kantor papanya. Jodha memperhatikan gedung
tersebut, begitu besar dan tinggi. Pantas saja kekasihnya bilang kalau kekayaan
papanya tidak akan habis tujuh turunan. Gedung kantornya saja begini besarnya.
Berapa orang karyawannya ya?
“Ayo Sayang turun.” Ucap Jalal tiba-tiba saja sudah berada disamping Jodha
dan membukakan pintu jeep untuknya. Jodha tersadar dari lamunannya, dengan
tangan yang dibimbing oleh Jalal dia turun dengan anggun. Jalal menyerahkan
kunci jeepnya kepada petugas parkir. Keduanya melangkah masuk ke dalam gedung
dengan tangan Jodha bergayut mesra di lengan Jalal.
Pasangan Mansingh dan Surya pun sudah sampai. Sama halnya seperti yang
dilakukan Jalal, kedua pemuda itu dengan sigap membukakan pintu mobil mereka untuk
gadis mereka masing-masing dan menyerahkan kunci mobil mereka kepada petugas
parkir. Mereka menyusul Jalal dan Jodha yang sudah masuk terlebih dahulu.
“Bang.”
“Ya Beb?” sahut Mansingh menoleh kearah Nadia tanpa menghentikan langkah
mereka.
“Aku ngantuk.”
“Hah? Kok ngantuk sih Beb? Kan belum terlalu malam?” tanya Mansingh
dengan heran. Bisa gawat kalau gadisnya mengantuk, terkadang dia tidak mengenal
situasi dan kondisi kalau sudah tidur. Dengan cuek saja dia tidak memperdulikan
orang lain. Nadia tertawa pelan.
“Aku ngantuk karena bulu mata palsuku terlalu tebal nih, rasanya berat.” Jawab Nadia mengedip-ngedipkan
matanya ke arah Mansingh. Pemuda itu tersenyum geli. Gimana nggak geli kalau
melihat kekasihnya begitu risih memakai dandanan seperti itu. Dia tidak
terbiasa memakai bulu mata palsu, membuat matanya terasa berat. Cantik
sih, tapi kasihan. Terlihat sengsara. Hahahaha...
“Sabar ya Beb, nanti sehabis acara bulu matanya bisa dicopot kok.” Hibur
Mansingh. Nadia mengangguk.
“Iya Bang, semoga nggak lama ya.” Mansingh
terkekeh, dia menepuk punggung tangan Nadia yang memegang lengannya.
Acara dilakukan di aula pertemuan yang
khusus dibangun di dalam gedung tersebut, biasanya untuk acara-acara tahunan
seperti ini, atau ada
event-event tertentu
dari perusahaan, dan untuk berbagai kegiatan lainnya yang berhubungan dengan
pengumpulan karyawan perusahaan.
Ketiga pasangan tersebut menjadi perhatian
orang-orang yang berada ditempat itu. Para karyawan dan juga undangan menatap
mereka dengan penuh perhatian. Sebagian yang sudah mengenal Jalal tentu tidak
heran lagi, tetapi untuk yang belum mengenal pastilah penasaran siapa mereka.
Apalagi pakaian yang dipakai para gadis tersebut berwarna terang menyolok dan
berwarna sama.
Jalal mendekati mamanya yang sedang
ngobrol bersama ibunya Nadia, mamanya Mansingh dan juga mamanya Surya. Rupanya
mereka semua saling kenal. Orang tua Nadia, orang tua Mansingh dan Surya adalah
tamu undangan dari orang tuanya Jalal.
“Ma...” panggil Jalal kepada mamanya yang
berdiri membelakanginya. Mamanya menoleh dan tersenyum sumringah.
“Wah, anak mama sudah datang.” Sambutnya
dengan gembira, dia menoleh kearah Jodha seketika mulutnya membulat kagum,
“Jodha sayang, kamu cantik banget. Nggak sia-sia Madam Layla make over kamu.”
Kata Bu Hamidah merangkul Jodha, dia memperhatikan gadis itu dari kepala sampai ujung kaki. Dia
berdecak kagum, calon menantunya nampak berbeda. Jodha tersenyum malu
diperhatikan seperti itu.
“Iya Ma, makasih.” Sahut Jodha sambil
menunduk. Jalal ikut tersenyum melihat reaksi mamanya.
“Ini ya yang Mama bilang kejutan itu?”
tanya Jalal. Bu Hamidah tertawa, dia mengangguk.
“Iya Sayang. Gimana kejutannya? Kamu
suka?”
“Suka sih Ma, tapi kalau dipamerkan
seperti ini aku nggak suka Ma. Maunya ku kekep dikamar aja sendiri sepuasnya.”sahut
Jalal sambil tertawa.
“Hush, belum boleh ngomong begitu dulu.
Sabar aja.” Sentak Bu Hamidah kepada anaknya. Jodha ikut tertawa mendengarnya.
“Habisnya Mama mendandani mereka kayak
perempuan penggoda gitu. Kan kami jadi tergoda Ma, kamikan laki-laki normal.” Kembali Jalal
menyahut dengan tidak tahu malunya. Justru yang malu adalah Jodha. Dasar juga
lelakinya itu, ngomong seperti tidak ada orang lain saja. Bu Hamidah terkekeh.
“Sekali-sekali Sayang. Mama pengen melihat
reaksi kalian, bagaimana gadis kalian yang polos diubah seperti gadis centil.
Pasti nampak menantangkan?” Jalal menghela nafas panjang.
“Tapi, cukup sekali ini saja ya Ma.” Pinta
Jalal lagi. Mamanya mengangguk.
“Iya Sayang. Tenang saja.” Akhirnya Jalal
menarik nafas lega.
Bu Hamidah memperkenalkan Jodha dengan
bangga kepada para koleganya dan juga kepada orang tua Mansigh dan Surya.
“Jeng, kenalkan calon menantuku.” Kata Bu
Hamidah kepada orang tua Surya. Bu Lena yang sudah mengenal Jodha beberapa hari
yang lalu menyalaminya.
“Oh, jadi Jodha itu calon menantumu ya
Jeng Hamidah?”
“Loh, Jeng Lena sudah mengenal Jodha ya?”
tanya Bu Hamidah dengan heran.
“Iya, beberapa hari yang lalu dia datang
bersama Jalal, Man, dan seorang gadis lagi, siapa ya namanya...?” Bu Lena
berpikir sejenak, “ oh iya, Nadia namanya.” Bu Hamidah mengangguk.
“Baguslah kalau begitu Jeng.” Bu Hamidah
berpaling kepada mamanya Mansingh, “kalau Jeng Rini sudah kenal sama calon
menantu saya?” Ibu Rini, mamanya Mansingh menggeleng.
“Belum Jeng. Wah, cantik juga calon menantumu
ya Jeng?” kata Bu Rini memeluk Jodha
yang nampak malu itu, “jadi pengen punya calon menantu juga nih.” Kata Bu Rini
lagi setelah melepaskan pelukannya. Bu Hamidah tertawa.
“Tenang saja Jeng, sebentar lagi calon
menantumu datang, dan tidak kalah cantiknya kok. Sabar saja.” Kata Bu
Hamidah tersenyum misterius. Ah, mamanya Jalal memang niat banget ingin bikin
kejutan, tidak cuma untuk Jalal dan sahabatnya, tetapi juga untuk orang tua
mereka. Bu Rini mengerutkan keningnya.
“Oh ya?” Bu Hamidah mengangguk, “waduh,
saya menjadi tidak sabar nih pengen tahu. Kok Man tidak pernah cerita ya?” Bu Hamidah tersenyum.
“Mungkin ingin memberikan kejutan untuk
orang tuanya kali Jeng?” hibur Bu Hamidah.
“Bisa juga Jeng.” Sahut Bu Rini.
Tidak lama kemudian, Mansingh dan Surya
tiba dan membawa pasangannya masing-masing. Mamanya Mansingh dan Surya tidak
berkedip melihat gadis yang dibawa anaknya. Bu Lena bahkan sampai pangling,
hampir saja tidak mengenal Ruqaiyah yang berjalan disisi Surya. Kedua pemuda
itu tersenyum melihat ekspresi mama mereka yang tertuju kepada gadis disampingnya.
“Malam Ma, kenalkan ini calon menantumu.”
Kata Mansingh memperkenalkan Nadia kepada mamanya. Nadia tersipu malu. Tidak
menyangka akan bertemu dengan orang tua kekasihnya.
“Benarkah? Ini calon menantu Mama?” tanya
Bu Rini dengan antusias. Mansingh mengangguk.
“Iya Ma. Gimana Ma? Cantik tidak calon
menantu Mama?” Mamanya mengangguk cepat.
“Cantik Man. Ya ampun Sayang, nama kamu
siapa? Kok mau sih sama Man yang jelek ini?” Mansingh cemberut mendengar ucapan
mamanya. Nadia, Bu Hamidah, dan Bu Rini terkekeh mendengar ucapan mamanya
Mansingh.
“Kok Mama gitu sih? Bukannya mempromosikan
anaknya, malah dijelek-jelekin. Ntar harganya jatuh
gimana Ma? Siapa lagi yang mau dengan anakmu ini? Nanti yang rugikan Mama juga, nggak punya cucu.” sahut Mansingh
dengan sewot, mamanya tertawa lagi.
“Kamu ini Man, gitu aja sewot. Ntar
beneran nggak ada yang mau loh sama kamu.” Mansingh masih cemberut, “nama kamu
siapa Sayang?” tanya Bu Rini kepada Nadia.
“Nadia Tante.”
“Nadia? Hm, nama yang bagus. Jangan
panggil Tante dong Sayang, panggil Mama juga ya, kan mau menjadi menantu Mama.”
Kata Bu Rini dengan sikap sok akrabnya itu. Bu Hamidah dan Bu Lena tertawa
melihat sikap Bu Rini. Nadia tersipu.
“Iya Ma.” Sahut Nadia pelan. Bu Rini
tertawa, dia menoleh ke arah Mansingh, “Man, coba panggil Papa kamu dan
Daniyal. Mama mau memperkenalkan Nadia nih.” Mansingh mengangguk.
“Iya Ma.” Dia pun pergi mencari papanya
dan adiknya, Daniyal.
“Kamu tahu nggak Jeng, orang tuanya Nadia
siapa?” tanya Bu Hamidah kepada Bu Rini. Wanita itu menggeleng.
“Enggak Jeng. Memangnya orang tuanya ada
disini ya?” Bu Hamidah mengangguk.
“Ada.”
“Mana jeng? Aku pengen kenal dengan calon
besanku.” Kembali Bu Hamidah tersenyum.
“Itu.” Katanya menunjuk Bu Nunik yang
sedari tadi hanya senyum-senyum saja memperhatikan mereka, Bu Rini menganga
tidak percaya, mulutnya membulat, “Nadia itu anaknya Mbak Nunik, Jeng.”
“Benarkah? Ya ampun Jeng, aku nggak
menyangka kalau Nadia ini anakmu. Gimana Jeng, mau tidak besanan denganku?”
tanya Bu Rini dengan tidak sabar. Bu Nunik tersenyum.
“Kalau saya sih terserah anaknya saja
Jeng, sebagai orang tua hanya bisa mengarahkan dan membimbing mereka saja.
Apapun pilihan mereka, biarlah itu menjadi hak mereka. Kan mereka juga yang
akan menjalaninya nanti.” Bu Rini mengangguk-angguk.
“Iya Jeng, benar sekali.” Bu Rini menoleh
kearah Nadia yang masih diam saja. Hahaha... dihadapan calon mertua Nadia tidak
berkutik. Jaga image dong. Hehehe... Bu Rini memeluk Nadia, “makasih ya Nad,
sudah mau mencintai Man, anak mama.” Nadia mengangguk.
“Iya Ma.” Jodha dan ketiga yang lainnya
tersenyum geli melihat Nadia yang
biasanya cerewet sekarang menjadi pendiam. Mulut Jalal sudah berkedut-kedut
rasanya ingin meledek gadis itu, namun sepertinya Jodha tau apa yang dipikirkan
kekasihnya itu, karenanya dia memberi kode kepada Jalal agar tidak meledek
Nadia didepan umum. Akhirnya Jalal tidak jadi melaksanakan niatnya. Dia
mengangguk dan tersenyum. Meski hatinya sudah tidak tahan lagi dan gatal ingin meledek
Nadia. Ah, andai ini
bukan pesta pasti habislah gadis bawel itu oleh Jalal.
Sementara Surya dan Ruqaiyah sudah berdiri
disamping Bu Lena dan Moti yang juga datang ke undangan orang tuanya Jalal.
“Kak Ruq cantik sekali.” Puji Moti.
Ruqaiyah tersipu malu.
“Makasih Dek. Kamu bisa aja.”
“Bener loh Kak, ya kan Ma?” tanya Moti
kepada mamanya. Bu Lena mengangguk.
“Iya Sayang. Moti benar. Anak Mama cantik
juga di dandani seperti ini. Mamanya Jalal tahu saja bagaimana cara mengeluarkan
kecantikan kalian.” Puji mama Lena juga, membuat Ruqaiyah semakin tersipu.
Wajahnya memerah. Surya menggenggam tangannya dan tersenyum.
“Ciee...Kakak sekarang bisa pamer nih
ceritanya.” Ledek Moti. Surya tersenyum miring.
“Kamu ini Dek. Disyukuri saja Kakakmu ini
sudah laku dan ada yang mau.” Sahut Surya membuat Moti tertawa cekikikan. Tentu
saja Moti senang kalau kakaknya jadian dengan Ruqaiyah. Dia sudah terlanjur
suka dengan gadis itu, dan menyenangkan mempunyai kakak perempuan.
Tidak lama kemudian, Mansingh datang
bersama papanya dan adiknya, Daniyal. Dengan bersemangat Bu Rini memperkenalkan
Nadia dan juga kedua orang tuanya.
“Pa, kenalkan ini calon menantumu.” Lelaki
bertubuh agak gemuk dan berkumis tebal itu tersenyum ramah menyalami Nadia.
“Nadia Om.” Kata Nadia menyebutkan
namanya. Bu Rini menyentuh tangannya.
“Hush, nggak boleh manggil Om. Kan tadi
sudah memanggil Mama, masa yang satu dipanggil Mama dan yang satu dipanggil Om
sih Sayang?” Nadia kembali tersipu malu, “panggil Papa juga ya, sama kayak Man
dan Dani.” Akhirnya Nadia mengangguk.
“Iya Ma.”
“Kamu yakin suka sama Man, Nad?” tanya Om
Bondan, papanya Mansingh. Kembali Mansingh cemberut, tidak mamanya, tidak
papanya sama saja, menjelekkan anaknya sendiri. Ntar kalau jelek beneran gimana? Apa papa sama
mamanya mau tanggungjawab? Adiknya, Daniyal malah tertawa cekakakan melihat kakaknya
sewot.
“Emangnya kenapa Pa?” tanya Nadia dengan
heran. Om Bondan tersenyum dan mengangkat bahu.
“Ya siapa tahu saja kamu khilaf dan
salah lihat.” Ucap Om Bondan yang ternyata humoris itu, berbeda dengan
papanya Jalal dan Surya yang agak irit bicara.
“Nggak apa-apa salah lihat Pa, paling
nanti kalau bener salah lihat, akukan tinggal merem aja.” Sahut Nadia mulai
berani bicara dengan orang tua Mansingh. Om Bondan terkekeh.
“Ya semoga saja kamu tidak menyesal Nad,
mendapatkan anak Papa. Yah, walaupun nggak ganteng-ganteng amat, tetapi juga
nggak jelek-jelek amat. Masih pantes untuk dipamerkan didepan umum.” Kata Om Bondan lagi.
Membuat yang berada disitu tertawa, sedangkan Mansingh masih cemberut mendengar
ledekan papanya.
“Nggak apa-apa Pa. Abang orangnya ganteng
dan pengertian kok, susah dicari dizaman sekarang ini. Aku sayang sama dia kok
Pa.” Hibur Nadia memegang tangan Mansingh, membuat pemuda itu akhirnya tersenyum.
“Tuh kan Pa, Nadia aja bilang aku ganteng.
Masa Papa sama Mama menolak anaknya ganteng sih?”
“Soalnya Papa sama Mama bosen lihat wajah
kamu tiap hari, makanya kadar kegantengan kamu dimata kami sudah luntur dan
aus.” Kekeh Om Bondan. Nadia ikut tertawa mendengarnya. Dia senang calon
mertuanya sehobi dengannya. Sama-sama senang ngomong. Awal yang bagus tuh. Senangnyaaa...
Hehehe....
Dari depan terdengar MC membuka acara
ulang tahun perusahaan. Suasana hening.
Bu Hamidah sudah duduk di kursi depan bersama suaminya, Pak Humayun.
Begitu juga para tamu undangan, termasuk orang tua Mansingh, orang tua Nadia,
dan juga orang tua Surya. Bahkan Bayu dan istrinya, Salima beserta Rahim juga
ikut datang. Sementara Jalal dan yang lainnya juga duduk dibelakang kursi orang
tua mereka, mengikuti acara tersebut satu persatu.
Acara demi acara telah dilalui, tibalah
acara pemotongan tumpeng yang akan dilakukan oleh Pak Humayun, selaku pemilik
perusahaan. Kedua orang tua Jalal, dan juga Jalal maju mendekati tumpeng yang
ada di depan kursi para tamu, sedangkan para karyawan duduk dikursi dibelakang
kursi para tamu undangan.
Pemotongan tumpeng sudah dilakukan,
tumpeng pertama diberikan Pak Humayun kepada istrinya, Bu Hamidah tentunya. Dia
mencium mesra istrinya setelah memberikan piring berisi potongan tumpeng
pertama. Semua yang hadir bertepuk tangan, termasuk Jalal. Dia merasa terharu
melihat orang tuanya yang sampai sekarang masih bersikap romantis. Padahal, ini
adalah pertama kalinya Jalal menghadiri perayaan atau acara yang
diselenggarakan oleh perusahaan papanya. Biasanya dia tidak pernah mau tahu dan
tidak pernah datang meski sudah diajak oleh kedua orang tuanya. Tanpa sadar dia
tersenyum menyaksikan moment bahagia kedua orang tuanya.
Setelah menyerahkan piring tumpeng pertama
kepada istrinya, Pak Humayun menyerahkan piring berisi potongan tumpeng
berikutnya kepada Jalal. Pemuda itu menerimanya dan memeluk papanya dengan
bahagia, begitu juga dengan papanya. Tepuk tangan masih membahana mengisi
ruangan aula tersebut.
Acara pemotongan tumpeng pun selesai
dilaksanakan, sekarang giliran Pak Humayun memberikan sambutannya. Dia berdiri
diatas panggung kecil yang berada dihadapan mereka semua dengan memegang microphone. Dia memuji kinerja para
karyawan yang semakin hari semakin bagus, juga apresiasinya terhadap prestasi
mereka dan juga loyalitas mereka terhadap perusahaan. Dalam rangka ulang tahun
perusahaan ini Pak Humayun selaku pemilik perusahaan memberikan award kepada karyawan yang berprestasi.
“Penghargaan ini adalah sebagai ucapan
terima kasih perusahaan kepada anda-anda semua yang telah bersama-sama saya
membangun perusahaan ini sampai sebesar dan semaju sekarang. Semua tidak luput
dari peran serta anda-anda semua. Untuk yang belum mendapatkan penghargaan,
jangan berkecil hati, akan ada banyak kesempatan dimasa mendatang.”
“Dengan ini saya selaku pemilik perusahaan
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya, dan penghargaan
setinggi-tingginya kepada seluruh keluarga perusahaan ini. Kita semua adalah
keluarga dan saudara. Karena tanpa anda-anda semua, tidak akan berdiri tegak
perusahaan ini sampai sekarang. Sekali lagi saya ucapkan terima kasih.” Kata
Pak Humayun mengakhiri sambutannya. Tepuk tangan kembali terdengar begitu
bersemangat. Semua karyawan bergembira mendengar sambutan Bos mereka.
Pak Humayun tidak langsung turun, dia
masih memegang mik dan menunggu sampai suasana kembali tenang. Setelah semuanya
tenang, dia kembali berbicara.
“Dalam kesempatan berbahagia ini, saya
ingin memberikan pengumuman penting.” Semua terdiam mendengarkan dengan serius
pengumuman yang akan diberikan oleh Pak Humayun, “pengumumannya adalah, dua minggu
lagi anak saya Jalalludin Muhammad Aryadeva akan melaksanakan pernikahannya.
Diharapkan semua ikut berpartisipasi.” Suasana hening, sepertinya semua
terlihat terkejut mendengar ucapan bos mereka. Karena memang tidak ada
terdengar kabar desas-desus dan isu-isu apapun tentang anak pimpinan mereka.
Pak Humayun memanggil Jodha naik kepanggung dan juga Jalal, dan memperkenalkan calon menantunya itu.
“Inilah calon menantu saya, yang akan menikah dengan Jalal dua minggu
lagi.” Jodha tersenyum malu, sedangkan Jalal tersenyum bahagia.
Terdengar suara kasak-kusuk melihat calon
menantu pimpinan mereka. Banyak yang tidak menyangka memang, bahkan Sujamal
sebagai sekretaris Pak Humayun saja tidak tahu kabar tersebut. Namun, dia ikut
bergembira mendengar kabar itu.
“Kelak, anak saya Jalal yang akan
menggantikan posisi saya sebagai pimpinan perusahaan ini.” Kata Pak Humayun
terlihat bangga, “namun, sebelumnya dia akan menjalani tahap-tahap seperti
halnya para karyawan yang baru masuk kerja disini. Jadi jangan mengira dia
adalah anak seorang pimpinan maka dia langsung memegang tampuk kekuasaan. Tidak
akan seperti itu. Karena itu, mulai hari ini saya akan mendirikan sebuah divisi
khusus untuknya, dan juga kedua sahabatnya, Mansingh dan Surya. Silakan maju
anak-anakku.” Kata Pak Humayun menyuruh mereka berdua naik ke panggung.
Keduanya maju bersama dan berdiri disamping kiri Pak Humayun, diiringi tepuk tangan
semua yang ada diruangan itu. Sementara
Jalal dan Jodha berdiri disebelah kanan papanya. Orang tua mereka nampak
bangga anaknya diberi kesempatan bekerja diperusahaan papanya Jalal tanpa harus
bersusah payah melamar.
“Mulai besok mereka akan memulai tugas
sebagai karyawan diperusahaan ini, Jalal akan saya angkat sebagai manager dan
dibantu oleh Mansingh dan Surya. Kalian bertiga adalah satu tim. Pangkat manager adalah hanya sebagai simbol saja. Jadi
jangan berkecil hati karena diberi jabatan hanya untuk membantu Jalal. Karena yang
namanya satu tim harus mengutamakan kerjasama. Dan keberhasilan divisi kalian
adalah tanggungjawab kalian bertiga. Bagaimana, kalian siap?” tanya Pak Humayun
lagi.
“Ya Pak, kami SIAP!” jawab mereka bertiga
dengan sigap. Ah, bawaan latihan di akmil masih ada rupanya. Pak Humayun
tersenyum puas.
“Bagus. Itu yang saya harapkan. Jadi,
jangan sia-siakan kesempatan ini.” Kata Pak Humayun mengakhiri sambutannya.
Jodha, Nadia, dan Ruqaiyah tersenyum bangga melihat lelaki mereka diberi
kesempatan untuk berkarier di perusahaan orang tua Jalal. Bahkan Moti juga
terlihat bangga dengan kakaknya.
Menjelang jam 10 malam acara inti sudah
selesai dilaksanakan. Saatnya semua yang hadir dipersilakan menikmati hidangan
yang disediakan. Berbagai jenis makanan dihidangkan. Papanya Jalal termasuk
orang yang royal, apalagi terhadap karyawannya sendiri. Begitu juga dengan Bu
Hamidah yang mengurus masalah konsumsi, meskipun dia mempunyai pekerjaan
sendiri namun untuk urusan seperti ini suaminya menyerahkan kepadanya.
“Abang Man mana ya?” kata Nadia celingukan
mencari kekasihnya. Saat ini dia bersama Jodha, Ruqaiyah dan Moti berdiri.
Mereka terpisah dengan kekasihnya.
“Mungkin lagi ngumpul dengan
teman-temannya yang lain kali Nad.” Sahut Jodha. Nadia diam, namun matanya
masih mencari-cari.
“”Iya Nad, biarkan saja. Nanti juga
ketemu.” Hibur Ruqaiyah.
“Bukan gitu Ruq,...” ucapannya Nadia
terhenti, wajahnya terlihat cemberut, matanya setengah melotot, dan kedua
tangannya berkacak pinggang. Dia nampak emosi. Mereka bertiga menjadi heran
melihat perubahan gadis itu.
“Kamu kenapa Nad?” tanya Jodha. Nadia
menunjuk kesuatu arah dengan memonyongkan bibirnya. Ketiganya melihat ke arah
yang ditunjukkan oleh Nadia. Terlihat Man dan Surya berbincang dengan beberapa
perempuan. Yang membuat Nadia emosi adalah salah seorang dari perempuan itu
terlihat genit dan memegang tangan Mansingh, meski beberapa kali Mansingh melepaskan
tangan perempuan itu dengan
sopan. Barulah ketiga gadis itu mengerti, kenapa Nadia begitu emosi.
“Ini tidak bisa dibiarkan. Begini saja
yang nyata-nyata ada pendampingnya mereka sudah berani, apa kabar nanti kalau
Abang sudah bekerja disini tanpa aku melihat.” Ucap Nadia dengan berapi-api.
Wajahnya memerah. Jodha dan yang lainnya saling pandang.
“Lalu, apa yang akan kamu lakukan, Nad?”
tanya Ruq. Nadia terdiam sebentar sambil berpikir, tidak lama kemudian dia
tersenyum miring.
“Serahkan kepadaku. Kalian tunggu saja
disini. Lihat apa yang akan aku lakukan.” Kata Nadia membuat ketiga gadis itu
sedikit meringis ngeri.
“Kak Nadia mau ngapain?” tanya Moti dengan
takut-takut. Ternyata bila Nadia marah, menyeramkan juga. Nadia menepuk pelan
bahu Moti.
“Tenang saja Dek. Aku nggak berbuat
macam-macam kok. Kalian tunggu disini, oke?” akhirnya ketiganya mengangguk pasrah.
Nadia segera melangkah mendekati Mansingh dan Surya yang dikerubungi oleh
beberapa orang perempuan. Dia melangkah dengan gemulai penuh pesona. Jodha,
Ruqaiyah dan Moti tertawa cekikikan melihat tingkah Nadia.
“Sayang...” sapa Nadia sambil merangkul
lengan Mansingh. Pemuda itu menoleh dan tersenyum kepadanya, sementara para
perempuan itu menatapnya dengan sedikit sinis.
“Ada apa Beb?” tanya Mansingh dengan lembut. Nadia tersenyum semanis
mungkin.
“Sayang, anakmu laper. Dia nggak mau makan
kalau nggak disuapin oleh Ayahnya. Dari tadi ditunggu-tunggu kok nggak
datang-datang juga. Kasihan dia lama menunggu. Ntar dia ileran loh?” kata Nadia
sambil mengusap-usap perutnya. Mansingh dan Surya saling pandang mendengar
perkataan Nadia yang aneh itu. Surya menyembunyikan ketawanya. Sementara para
perempuan itu menatap Nadia dengan tercengang, Nadia berpaling kepada mereka
yang menatapnya, “maaf ya Mbak-Mbak. Maklum saya lagi hamil muda, jadi sedikit
manja dengan suami. Mungkin bawaan bayi kali ya. Biasanya suami saya selalu
menyuapi saya makan, karena kalau nggak bawaannya mual mulu. Ya kan sayang.”
Ucap Nadia berpaling lagi kepada Mansingh. Pemuda itu mengangguk-angguk saja.
Mencerna apa maksud kekasihnya itu.
“Ayo Sayang, suapin aku makan. Permisi ya
Mbak-Mbak.” Ucap Nadia sedikit menunduk ke arah mereka yang hanya mengangguk
tanpa bicara seperti robot, setelah itu dia menatap Surya yang masih melihatnya
dengan pandangan heran dan geli, “Bang Surya, itu istrinya nggak ditemani juga?
Kasihan loh, tadi beberapa kali kebelakang, mual katanya.” Kembali Nadia
melancarkan aksinya. Surya hanya mengangguk sambil tersenyum dan pamit kepada
para perempuan tadi. Nadia pun menggandeng Mansingh berlalu dari tempat itu.
Ketiga temannya yang melihat hanya
ternganga mendengar ucapan Nadia. Mereka tidak menyangka Nadia akan berkata
seperti itu.
“Ya ampun Nad, kamu kok ngomongnya seperti
itu sih?” kata Ruqaiyah sambil tertawa geli. Nadia tersenyum cuek.
“Biarin. Biar mereka tidak berani-berani
mengganggu calon suami orang.” Mansingh menatapnya dengan pandangan geli.
Ckckck. Ada-ada saja ulah gadis kecilnya itu.
“Kok sampai bohong seperti itu sih Beb? Dipanggil bisa aja kan?” kata
Mansingh dengan lembut merangkul bahunya. Nadia cemberut.
“Bisa saja sih Bang dipanggil, tapi ntar
mereka datang lagi. Aku nggak suka melihat mereka genit begitu. Lagian biar
mereka tidak berani mengganggu Abang lagi.” Mansingh tersenyum miring, “kenapa
Bang?”
“Kamu cemburu ya Beb?”
“Ih, siapa yang cemburu Bang. Aku cuma
nggak suka melihat perempuan genit kayak gitu. Pegang-pegang. Dikira barang
jualan bisa dipegang terus ditaruh lagi? Apa-apaan itu?” senyum Mansingh semakin lebar.
“Iya, kamu cemburu Beb.” Nadia menggeleng.
“Enggak ya enggak Bang. Aku nggak cemburu
tau.” Bantahnya.
“Cemburu juga nggak apa-apa kok Beb. Abang
senang banget kalau kamu cemburu. Artinya kan kamu cinta sama Abang.” Kata
Mansingh tersenyum memainkan kedua alisnya. Nadia menjadi salah tingkah. Ketiga
sahabatnya itu tertawa cekikikan melihat ekspresi Nadia.
“Ih, Abang kok gitu sih? Akukan jadi malu Bang.” Kata Nadia menyembunyikan wajahnya yang terasa
panas. Mansingh tertawa dan semakin merangkul erat gadisnya itu.
Jalal datang dan mendekati Jodha. Dia menggamit lengan kekasihnya itu.
Jodha menoleh.
“Sayang, ayo ikut aku.” Ajaknya.
“Kemana?” tanya Jodha dengan heran. Jalal tersenyum.
“Ada yang ingin aku tunjukkan sama kamu sayang.” Katanya memegang lengan
Jodha, dia berpaling kearah teman-temannya, “maaf ya, aku tinggal dulu. Kalian
nikmati saja acaranya ya.”
“Emang Bos mau kemana?” tanya Mansingh.
“Ada deh Man. RHS.” Sahut Jalal mengedipkan matanya.
“Tapi Bang Bos nggak macam-macamin Jodha kan?” tanya Nadia
waspada.
“Hush, kamu ini Nad. Pikiranmu macam-macam saja. Tenang aja, saudaramu
ini tidak aku apa-apain kok, sampai saatnya tiba nanti. Oke?” sahut Jalal
meyakinkan Nadia. Gadis itu mengangguk.
“Baiklah kalau begitu.”
Jalal tersenyum. Dia menggandeng tangan Jodha menuju lift. Jodha sedikit
tercengang melihat angka yang dipencet kekasihnya. Angka 25. Artinya mereka
akan kelantai 25. Tinggi sekali. Memangnya mereka mau ngapain?
“Kita mau kemana Sayang?” tanya Jodha dengan heran. Jalal tidak segera
menjawab, dia hanya tersenyum lebar.
“Sabar Sayang. Nanti juga tau kok.” Akhirnya Jodha hanya bisa menghela
nafas dan terdiam.
Ting.
Pintu lift terbuka. Keduanya melangkah keluar. Ruangan 25 yang mereka
masukin sangat sepi. Tentu saja. Karena semua karyawannya berkumpul diaula.
Jalal terus membawa Jodha ke ujung ruangan, dimana terdapat tangga menuju ke
atas. Jodha sudah terseok-seok melangkah, karena sepatu high heelsnya terasa
mengganggu.
“Kenapa Sayang?” tanya Jalal ketika Jodha berhenti sebentar dan memijit
lututnya. Mana gaunnya yang menyapu lantai itu dia pegang sedari tadi.
“Sebentar. Kakiku pegal.” Jalal tertawa.
“Makanya, siapa suruh pake sepatu kayak gitu. Nggak enakkan?” bibir
Jodha mengerucut.
“Kan Mama yang nyuruh, aku juga nggak pengen makai kok.” Katanya membela
diri. Jalal mendekat.
“Ya sudah kalau begitu. Sini aku gendong.” Kata Jalal tanpa
basa-basi langsung menggendong
Jodha di depan. Jodha memekik kaget.
“Sayang, jangan begini. Malu.” Jalal tersenyum miring.
“Malu sama siapa Sayang? Hm...? disini nggak ada orang lain. Hanya kita
berdua saja.”
“Ta-tapi...?”
“Tapi apa Sayang?” tanya Jalal sambil melangkah menggendong Jodha menuju
tangga. Kelihatannya dia enteng saja menggendong gadis itu.
“Tapi, aku kan berat Sayang. Apa kamu nggak capek nanti. Kan kasihan
kamu.” Sahut Jodha dengan tersipu malu. Kedua tangannya mengalung leher Jalal.
Jalal terkekeh.
“Enggak berat kok Sayang. Aku masih sanggup menggendong kamu, ditambah
dengan semangat cintaku membuat beratmu tidak berarti apa-apa untukku.” Ucap Jalal yang sukses membuat
wajah Jodha memerah. Dia menyembunyikan wajahnya di dada pemuda itu. Jalal tersenyum
senang melihatnya.
Ternyata tangga tersebut menuju pintu yang menghubungkan rooftop. Diatas
rooftop terdapat sebuah taman mungil dengan sebuah air mancur kecil yang
mengeluarkan bunyi gemericik air yang menenangkan. Disekeliling rooftop
tersebut diberi pagar pembatas, ada sebuah gazebo di depan air mancur tersebut.
Jalal menurunkan Jodha persis di depan kolam air mancur tersebut.
Jodha ternganga melihat pemandangan tersebut. Dia tidak percaya, diatas
gedung setinggi itu ada sebuah taman yang indah, semua nampak menarik dengan
lampu taman yang menghiasi, ditambah langit cerah menampilkan jutaan bintang-bintang
yang bertaburan.
“Bagaimana Sayang? Kamu suka?” tanya Jalal memeluknya dari belakang.
Jodha mengangguk cepat.
“Iya. Aku suka. Aku nggak menyangka diatas gedung ini ada taman sebagus
ini.” Jalal tersenyum.
“Tempat ini jarang ada yang tahu Sayang, bahkan karyawan disini juga
tidak semuanya tahu. Papa biasanya suka nyantai ditempat ini. Katanya bosan
terlalu lama diruangan. Terkadang aku sama Mama juga suka kesini dulu.” Jodha
berseru kagum. Suasananya begitu menyenangkan, dia melangkah menuju gazebo,
meletakkan tas mungilnya dan duduk di pinggirnya. Setelah itu dia melepaskan
sepatunya yang sedari awal sangat menyiksanya. Meski dia sudah mulai terbiasa
memakainya, tetapi bila digunakan untuk berdiri dalam jangka waktu lama, tetap
saja rasanya pegal.
Jalal ikut duduk disamping Jodha. Setelah gadis itu melepaskan kedua
sepatunya, dia segera mengambil kedua kaki Jodha dan menaruhnya dipangkuannya.
Jodha terkesima melihat aksi kekasihnya itu.
“Sa-sayang, kamu mau ngapain?” Jalal tersenyum. Perlahan dia memijat
kaki Jodha dengan lembut, membuat gadis itu berinisiatif untuk menarik kakinya.
Namun Jalal menahannya.
“Sudah, kamu diam saja. Nikmati saja pijatanku ya. Bukankah kakimu
pegal?”
“I-iya sih. Tapikan enggak harus begini Sayang. Tidak pantas.” Jawab
Jodha masih berusaha untuk menarik kakinya.
“Terus yang pantas gimana?” tanya Jalal menatap serius wajah Jodha.
Gadis itu terdiam. Bingung mau menjawab apa, “tuhkan kamu sendiri juga nggak
tau pantasnya gimana?” kata Jalal sambil terus memijat lembut kaki Jodha. Jodha
hanya bisa diam dan terus menatap bergantian wajah Jalal yang serius dengan tangan yang memijat kakinya.
Dengan sabar dan telaten, Jalal terus memijat kaki Jodha. Teknik pijatan
yang dia pelajari sewaktu mereka latihan di akmil dulu, ternyata bisa berguna
sekarang.
“Gimana Sayang? Sudah enakan?” tanya Jalal. Jodha memindahkan kedua
kakinya dari pangkuan Jalal dan menggerak-gerakan kedua kakinya. Iya, kakinya
terasa enteng. Jodha tersenyum puas kepada pemuda itu.
“Iya Sayang. Sudah tidak pegal lagi. Sudah enak. Makasih ya.” Kata Jodha
dengan gembira. Jalal mengangguk dan tersenyum.
“Sama-sama Sayang.”
Jodha turun dari gazebo dan berjalan menuju pinggiran rooftop tanpa menggunakan
sepatunya. Gaun panjangnya yang menyapu lantai dia biarkan saja. Dia menatap pemandangan kota Jakarta
di bawah sana. Gemerlap lampu yang menghiasi kegelapan malam membuatnya betah
berdiri ditempat itu. Terkadang dia memandang langit yang nampak indah dimalam
hari. Namun karena gaunnya
yang tanpa lengan dan bahunya terekspos bebas, udara malam itu membuatnya kedinginan. Dia
memeluk tubuhnya sendiri sambil terus memandang ke bawah sana.
Tiba-tiba dia merasa bahunya yang terbuka terasa hangat. Dia menoleh
kesamping, terlihat Jalal tersenyum setelah melepaskan jasnya dan memakaikannya kepada
Jodha. Sedangkan dia hanya
menggunakan kemeja dalamannya saja. Jodha tersenyum. Bahunya dirangkul Jalal,
dan gadis itu menyandarkan kepalanya di dada kekasihnya. Keduanya berdiri
menikmati malam indah saat itu.
“Tuan...” panggil Jodha lembut.
“Ya sayang?”
“Makasih ya.” Jalal tersenyum. Sebelah
tangannya memeluk bahu Jodha, sedangkan sebelah tangannya dimasukkan kesaku
celananya.
“Terima kasih untuk apa Sayang?”
“Untuk semuanya. Semua ini rasanya seperti
mimpi saja. Aku tidak pernah mengira dalam hidupku akan seperti ini akhirnya.”
Jalal tertawa pelan.
“Tidak usah berterima kasih Sayang, justru
aku yang beruntung bertemu denganmu dan memilikimu. Semua ini tidak ada artinya
jika kamu tidak ada disampingku saat ini. Pasti sepi dan hampa. Kamulah yang
membuatnya menjadi lebih indah, karena segala yang ada pada dirimu membuat
semuanya terasa menyenangkan. Karena cintamu, kebaikan hatimu, membuat duniaku lebih
berwarna dan romantis.” Jodha menegakkan tubuhnya dan memandang wajah
kekasihnya dengan senyuman bahagia, Jalal mengelus pipi gadisnya dengan lembut membuat Jodha
memejamkan matanya sebentar, “i love you, Inem Sayang. Tetaplah selalu
disampingku. Menemani dikala susah dan senangnya hidupku, dan juga sampai akhir
hayat kita berdua.” ucap Jalal membuat Jodha tertawa pelan sambil menunduk.
Kemudian dia kembali memandang wajah Jalal
dengan wajah sedikit memerah, “i love you too, Tuan.” Ucapnya dan kembali
menunduk.
Jalal kembali terkekeh. Dia memeluk Jodha dengan perasaan bahagia. Inilah saat-saat yang dia nantikan, bisa berdua
dengan kekasihnya tanpa ada yang mengganggu. Bersama-sama menikmati malam dengan
taburan bintang dilangit bebas. Tanpa menyadari kalau waktu terus berjalan.
Deringan suara ponsel yang berasal dari saku Jalal, menyadarkan keduanya.
Jalal merogoh sakunya dan melihat siapa yang memanggil. Namun kemudian dia
mematikan ponsel tersebut. Jodha menatapnya heran.
“Kok dimatikan Sayang? Memangnya siapa yang menelpon?” tanya Jodha
dengan penasaran.
“Man. Biarkan saja.” Kata Jalal memasukkan kembali ponselnya kedalam saku
celananya.
“Kenapa nggak diangkat? Siapa tahu penting.”
“Penting nggak penting biar saja. Kan ada si bawel, jadi kita nikmati
saja waktu kita tanpa gangguan mereka.” Kata Jalal menjawil hidung mancung
Jodha. Gadis itu terkekeh sambil menggeleng.
“Yah, terserahlah.” Jalal tersenyum, “memangnya kita nggak pulang
Sayang? Sudah malam ini.”
“Enggak.” Sahut Jalal enteng.
“Hah? Nggak pulang? Nanti Mama nyari loh.” Jalal terkekeh.
“Ya jelas pulang dong Sayaaaang,... emang mau nginap dimana? Digazebo
itu.” Tunjuk Jalal ke arah gazebo. Jodha tersenyum malu.
“Kan tadi katanya nggak pulang.”
“Kamu ini ya, nggak bisa becanda. Nggak bisa melihat apa muka sayangmu
ini serius atau tidak.”
“Iya, iya maaf.” Jalal tersenyum. Dia merangkul kembali bahu Jodha dan
mengajaknya ke gazebo untuk mengambil tas dan sepatunya.
“Memangnya masih kuat memakai sepatunya Sayang?” tanya Jalal dengan
was-was ketika melihat Jodha memasang kembali sepatunya yang banyak talinya
itu. Jodha mengangguk.
“Iya. Tenang saja. Kakiku kan sudah tidak pegal lagi. Sudah kuat
berjalan kok.” Jalal akhirnya hanya bisa pasrah saja dan berharap kaki
kekasihnya akan baik-baik saja. Setelah selesai memasang sepatunya, mereka
berdua kembali turun menuju aula tempat acara yang mereka tinggalkan tadi. Jas
Jalal masih bertengger di atas bahu Jodha. Pemuda itu membiarkan saja, kasihan
gadisnya kedinginan.
Sementara itu Mansingh dan Nadia sudah gelisah menunggu Jodha dan Jalal.
Mereka berdua sudah ingin pulang. Nadia merasa capek dan mengantuk. Berkali-kali
Mansingh mencoba menghubungi Jalal, namun selalu gagal.
“Gimana Bang?” Mansingh menggeleng.
“Nggak diangkat Beb, malah dimatikan.”
“Huh, dasar Bang Bos. Pacaran kok waktu nggak pas sih? Nggak tau orang
kelamaan menunggu.” Gerutu Nadia.
‘Gimana kalau kita pulang duluan saja Beb. Biar saja mereka pulang belakangan,
kan mereka membawa mobil sendiri.” Nadia berpikir sebentar, lalu dia akhirnya
mengangguk.
“Iya deh Bang, kita pulang duluan. Pamit sama Om sama Tante saja.” Mansingh
menyetujui. Mereka berdua pun pamitan dengan orang tua Jalal dan orang tua
mereka.
“Hati-hati ya Sayang.” Kata Hamidah, “antar Nadia sampai kerumahnya ya
Man.”
“Iya Tante, beres.” Sahut Mansingh mengacungkan jempolnya. Bu Hamidah
tersenyum.
Keduanya pun melangkah keluar dari aula pertemuan tersebut. Para
karyawan masih banyak yang berada ditempat itu, namun sebagian sudah pulang.
Sesampainya di lobby, Nadia duduk di sofa. Mansingh menatapnya heran.
“Kenapa Beb?” tanya ketika melihat gadisnya melepas sepatunya.
“Pegal Bang.”
“Terus kamu pakai apa?” Nadia tersenyum.
“Nyeker aja Bang.” Sahutnya dengan cuek. Tangannya menenteng sepatunya,
dan sebelah tangannya memegang tas mungilnya. Mansingh melongo melihat aksi
cuek gadisnya itu. Orang-orang yang lalu lalang di lobby itu menatap heran
kepada Nadia.
“Ya ampun Mbak, sepatu itu tempatnya di kaki, bukan ditangan.” Ejek salah
seorang perempuan yang melewati mereka, dan Nadia mengenali perempuan itu.
Dialah yang memegang tangan kekasihnya tadi dengan genit.
“Memangnya kenapa Mbak? Masalah buat Mbak?” tanya Nadia balik. Perempuan
itu tertawa mengejek.
“Enggak masalah sih buat aku, cuma kasihan Mas gantengnya itu. Malu
punya pasangan kok nyeker.” Nadia merasa panas ketika perempuan tadi mengatakan
kekasihnya ‘Mas ganteng’. Dia tidak terima. Cuma dia saja yang boleh bilang
kalau kekasihnya itu ganteng. Nadia sudah bersiap-siap untuk menyembur
perempuan tadi, ketika Mansingh memegang tangannya.
“Sudah Beb, nggak usah dilanjutkan. Sini, aku yang akan menjadi kakimu.”
Kata Mansingh berjongkok membelakangi Nadia. Gadis itu dan perempuan tadi
beserta temannya tercengang melihat Mansingh, “ayo Beb, naik ke punggungku.
Biar Abang yang akan menjadi kakimu sampai ke mobil.” Ucap Mansingh menoleh
kebelakang.
Sebenarnya Nadia agak malu diperlakukan seperti itu, namun ketika melihat
wajah iri kedua perempuan tadi, dia membuang rasa malunya. Dengan tersenyum
miring, Nadia menoleh ke arah para perempuan itu.
“Maaf ya Mbak, aku duluan. Beginilah enaknya punya kekasih yang ganteng,
perhatian, dan baik hati. Mbak-Mbak jangan iri ya, nggak usah pasang ekspresi
mupeng gitu, ini rejekiku.” Kata Nadia mengejek mereka berdua. Mansingh sampai
tersenyum geli mendengar ucapan gadisnya, “bye Mbak-Mbak.” Ucap Nadia naik
kepunggung pemuda itu.
Mansingh segera berdiri dan menggendong gadisnya, Nadia mengalungkan
kedua tangannya di leher Mansingh, dengan sebelah tangannya menenteng sepatunya
dan sebelahnya membawa tasnya. Sebelum menjauh dia masih sempat melirik kearah
perempuan tadi dan melempar senyum mengejeknya. Puas hatinya melihat mereka berdua
jengkel. Nadia dilawan. Hahahaha....
“Bang,” panggil Nadia ketika mereka sudah keluar dari gedung dan menuju
parkiran.
“Ya Beb?”
“Abang nggak capek nih menggendong aku? Aku berat loh Bang? Turunin aja
aku disini, nggak apa-apa kok aku jalan sampai dimobil.” Mansingh menggeleng
sambil tersenyum.
“Enggak berat kok Beb. Kamu tenang saja, Abang masih sanggup kok.” Nadia
tersipu malu.
“Ya sudah, terserah Abang saja. Tapi jangan salahkan aku ya, kalau Abang
capek.”
“Tidak akan Sayang.” Nadia tersenyum. Dia menyandarkan dagunya diatas
bahu lelakinya yang berjalan pelan-pelan menuju mobil. Mansingh memang sengaja,
kapan lagi dia bisa menggendong kekasihnya seperti itu.
Sesampainya di mobil, Mansingh membuka pintu depan dan menurunkan
gadisnya langsung ke dalam mobil. Seakan tidak mau kaki gadis itu menyentuh
tanah. Nadia semakin tersipu dibuatnya. Aahhh, lelakinya semakin manis saja.
“Kenapa Beb, senyum-senyum gitu?” tanya Mansingh ketika sudah duduk dibelakang
kemudi. Nadia menggeleng sambil menunduk, “yakin?” tanya Mansingh lagi.
“Iya Bang.”
“Ya sudah, kita pulang sekarang ya.” Nadia mengangguk. Mansingh membawa
mobilnya menuju rumah Nadia.
“Bang.” Mansingh menoleh sekilas.
“Ya Beb?”
“Makasih ya.” Dahi Mansingh sedikit berkerut.
“Makasih untuk apa Beb?”
“Itu tadi. Manis sekali.” Ucap Nadia dengan wajah memerah. Mansingh
terkekeh.
“Nggak usah dipikir Beb, sudah seharusnya kan Abang seperti itu. Nggak
mungkin Abang biarkan calon istri Abang dikata-katain orang.” Nadia tersenyum.
“Makasih ya Bang.” Mansingh tersenyum dan mengangguk.
Sementara Surya dan Ruqaiyah juga sudah pamitan pulang dengan orang tua
Jalal, menyusul Mansingh dan Nadia yang sudah pulang duluan. Mereka
tidak bertemu dengan Jalal dan Jodha, karena ketika mereka sudah pulang, kedua
anak manusia itu baru saja turun rooftop. Bahkan orang tua Jalal juga sudah
pulang, hanya beberapa petugas kebersihan saja yang masih berada ditempat itu
untuk berberes.
Dengan perasaan bahagia Jalal dan Jodha
pulang kerumah. Terlebih Jalal, rasanya malam ini dia tidak ingin berakhir. Dia
ingin kembali menikmati moment indahnya bersama Inemnya. Namun apa daya waktu
hanya sampai 24 jam saja hitungannya dalam satu hari. Dan besok akan kembali
berhitung dengan waktu dan juga dia akan memulai tugasnya. Dan itu harus dia terima.
Sesampainya dirumah, kedua orang tuanya
sudah tiba terlebih dahulu. Itu terlihat mobil papanya sudah nangkring di
garasi. Sama halnya ketika berangkat dari salon tadi, Jalal dengan gentleman
membukakan pintu jeepnya untuk Jodha, dan menuntunnya turun. Dengan
bergandengan tangan Jalal mengantar gadisnya sampai ke depan pintu kamar.
“Night Sayang. Tidurlah, istirahat yang
tenang malam ini ya.” Kata Jalal mengecup lembut kening Jodha. Gadis itu
tersipu malu. Takut ketahuan oleh penghuni rumah lainnya.
“Iya. Makasih ya sayang. Aku masuk dulu.”
Sahut Jodha membuka pintu kamarnya. Jalal mengangguk, dia masih berdiri di
depan pintu kamar Jodha sampai gadis itu menutup pintu. Setelah pintu tertutup
barulah dia melangkah ke kamarnya dengan perasaan tidak rela. Ckck... dengan
langkah gontai dia berjalan, tangannya memainkan kunci mobilnya. Dia berjalan
setengah melamun.
“Ehem... ehem...” Jalal terkejut mendengar
deheman seseorang. Dengan cepat dia menoleh, ternyata mamanya berdiri dekat tangga
dengan tangan bersidekap dan menatapnya dengan tajam.
“Eh, Mama. Mama ngapain disitu?” tanya
Jalal dengan heran.
“Kamu kemana saja tadi Sayang?” tanya Bu
Hamidah tanpa merubah ekspresinya. Dahi Jalal berkerut sedikit.
“Maksud Mama? Kan tadi datang ke acara
Papa. Aku nggak kemana-mana Ma?”
“Kamu nggak bohongkan?” tanya mamanya
masih tidak percaya.
“Mama kenapa sih? Suer Ma, aku nggak
kemana-mana kok? Kenapa Mama jadi curiga begini?”
“Tadi habis acara kamu kemana bersama
Jodha menghilang? Kamu ajak dia kemana?” akhirnya Jalal mengerti, dengan
tersenyum usil dia menatap mamanya.
“Oh itu? Kami nggak kemana-mana kok Ma.
Aku cuma mengajaknya ke taman atas saja.” Wajah Bu Hamidah mendekati wajah
Jalal.
“Tapi kamu nggak ngapa-ngapain Jodha kan?”
Jalal tersenyum usil.
“Memangnya kenapa Ma kalau aku
ngapa-ngapain dia? Kan dia sudah mau jadi istriku, nggak apa-apakan?”
“ Jalal, Mama serius.” Bentak Bu Hamidah.
Namun Jalal malah tertawa terbahak-bahak.
“Ih, Mama kok tumben serius gitu. Lagian namanya
juga orang pacaran ya pasti pegang-pegang dikitlah, cium-cium dikitlah,
peluk-peluknya yang banyak. Hehe...” mamanya melotot, Jalal nyengir, “dan...”
ucapan Jalal terhenti. Mamanya menatapnya dengan penasaran.
“Dan apa?”
“Dan,... wajarlah kalau aku lebih agresif Ma. Aku kan ngajarin
gadis polosku. Salahnya Mama bikin dia seperti perempuan penggoda begitu. Jangan salahkan aku nyicipin
sedikit. Nyicil Ma.” Ucap Jalal dengan terkekeh. Dia senang melihat reaksi
mamanya yang agak panik itu, takut terjadi apa-apa dengan calon menantunya.
“Kamu bilang apa? Nyicipin dikit? Kamu ngapain Jodha, Sayang?”
kejar Bu Hamidah dengan tidak sabar. Jalal semakin bersorak dalam hati melihat
mamanya. Dia puas bisa
membalas mamanya karena telah mengerjain mereka bertiga selama tiga hari yang
lalu.
“Slow Ma, tenang. Becanda Ma. Kami nggak
ngapa-ngapain kok. Kalau Mama tidak percaya, besok lihat CCTV yang ada di taman
tuh. Ntar kelihatan kami ngapain aja.” Sahut Jalal dengan tertawa lebar. Bu
Hamidah menarik nafas lega. Dia sedikit khawatir juga dengan dandanan para
gadis itu, akan membuat Jalal dan sahabatnya berbuat kebablasan. Tapi ternyata
kekhawatirannya tidak terbukti.
“Maafkan Mama ya Sayang. Mama hanya tidak
ingin kamu berbuat yang tidak-tidak kepada Jodha sebelum kalian menikah.” Jalal
merangkul bahu mamanya. Dia tersenyum.
“Mama tenang saja. Aku janji akan menjaga
menantumu Ma. Dia tidak pantas mendapat perlakuan buruk. Dia gadis baik dan
polos.” Mamanya tersenyum dan mengangguk.
“Terima kasih ya Sayang.”
“Iya Ma, sama-sama. Aku masuk ke kamar
dulu ya.” Kata Jalal melepas pelukannya dari mamanya. Bu Hamidah mengangguk.
“Iya sudah sana, istirahat dulu. Besok
kamu harus mulai belajar bekerja.” Jalal mengangguk.
“Iya Ma.” Jalal menaiki tangga
meninggalkan mamanya yang masih berdiri di tangga bawah. Namun kemudian dia
berhenti dan menoleh kebawah kearah mamanya, “tapi Ma,” Bu Hamidah mendongak
melihat putranya, ”ngomong-ngomong, aku sudah mengambil ciuman pertama Jodha loh
Ma, bibirnya manis dan bikin ketagihan. Hahahaha...” Mamanya melotot.
“Jaalaaaal...!” desis mamanya dengan geram. Jalal tertawa
terbahak-bahak sambil berlari menaiki tangga dan masuk ke kamarnya dengan cepat
sebelum mamanya mengomel panjang lebar. Bu Hamidah hanya bisa menggeleng. Dia menghela nafas panjang, dan akhirnya melangkah
menuju kamarnya.
Tbc
Siapa yang dulu pengen lihat Nadia
cemburu? Ngacung. Hahahaha.. tuh jadinya kalau dia cemburu. Menyeramkan juga.