Menu

Jumat, 19 Februari 2016

BIARKAN AKU JATUH CINTA, Part. 28 (TERPESONA)





Pantai berpasir pantai berbatu
Banyak terdapat dipulau bali
Tidak terasa sudah hari sabtu
Saatnya Inem datang kembali.
Selamat sore semua, Inem datang lagi nih. Part ini part terpanjang yang pernah aku bikin. Maaf, authornya rempong banget. Semoga aja masih ada yang betah membacanya. Hehehe...
Special thanks buat Mb Vina Rere Lina yang sudah ngasih aku referensi gaun. Untuk Nadia dan Ruqaiyah aku ambil yang mbak kasihkan itu, tapi untuk Jodha, maaf ya aku nyari sendiri. Hehehee... dan maaf juga kalau pendiskripsian fashion style mereka kurang pas, kalau ingin detail silakan tanya langsung dengan desainernya. Hahahahaha...
========0000=======
“Ya Tuhan...”
Madam Layla tertawa geli melihat ekspresi ketiga pemuda itu. Bagaimana tidak, tiga sosok gadis cantik muncul dihadapan mereka dengan tersenyum malu-malu. Ketiga pemuda itu terpana sampai tidak bisa berkata apapun lagi. Jodha, Nadia, dan Ruqaiyah tampil memukau dengan dandanan hasil make over tangan dingin Madam Layla.
Terlebih Jodha dan Nadia yang tidak pernah sekalipun berdandan, membuat keduanya terlihat berbeda. Jalal dan Mansingh hampir tidak mengenali mereka berdua.
“Ma-Madam, ini bener mereka?” tanya Jalal dengan tangan menunjuk Jodha dan wajahnya terlihat tidak yakin dan percaya. Madam Layla mengangguk sambil tertawa.
“Tentu saja. Memangnya siapa lagi Ganteng, yang diantarkan oleh Mama kamu selama tiga hari ini kesini.” Jalal menoleh kearah Madam Layla.
“Jadi, mereka sibuk selama tiga hari ini karena berada disini?” sekali lagi Madam Layla mengangguk.
“Ya begitulah.”
“Jadi ini kejutan yang Mama bilang itu.” Gumam Jalal, “cantik.” Lanjutnya. Tanpa sadar ketiganya menelan ludah. Speechless. Itulah yang mereka bertiga rasakan. Jodha, Nadia, dan Ruqaiyah saling senyum, dengan kompak mereka bertiga melangkah dengan gemulai bak peragawati berjalan di catwalk mendekati lelaki mereka masing-masing yang masih berdiri terpesona itu.
Jalal, Mansingh, dan Surya sedikit meringis ketika melihat mereka bertiga mulai melangkah, bagaimana tidak dengan sepatu hak setinggi 12 centimenter itu mereka bertiga melangkah dengan anggun. Padahal, seumur-umur mereka mengenal ketiga gadis itu, tidak pernah sekalipun mereka terlihat memakai sepatu setinggi itu. Bahkan Ruqaiyah yang dulunya selalu tampil menor dan gaya juga tidak pernah terlihat memakai sepatu seperti itu. Inikah kejutannya? Pikir Jalal.
Ketiga gadis itu memakai gaun dengan warna yang sama. Gaun berwarna merah menyala hanya modelnya saja yang berbeda. Entah apa yang dipikirkan oleh mamanya Jalal ketika membelikan gaun untuk mereka.
Untuk Jodha, gaun yang dipakainya adalah gaun panjang menyapu lantai tanpa lengan, dengan kerah langsung menyatu dengan leher, namun bahunya terbuka dan terdapat sedikit belahan di dadanya. Dipinggangnya diberi sabuk seperti hiasan berlian sebagai pemanis, rambutnya disanggul simple dan rapi namun elegan, ditangannya memegang sebuah tas kecil berwarna merah juga. Bahkan kuku dan lipstiknya juga berwarna senada.
Untuk Nadia, gaun yang dibelikan Bu Hamidah adalah gaun pendek selutut dengan bawahannya yang melebar, namun gaun atasnya menutup bahu sampai siku, modelnya sederhana dan simple,  ban sabuk yang menjadi satu dengan gaunnya sebagai pemanis pinggang sehingga tubuhnya terlihat lebih ramping. Cocok untuknya yang aktif dan tidak bisa diam. Kakinya yang tidak tertutup gaun terlihat jenjang, apalagi ditopang dengan sepatu hak tingginya itu. Rambutnya disanggul simple dan modern, terlihat sedikit berantakan namun malah membuatnya semakin manis, sesuai untuk gaun pendeknya. Ditangannya juga memegang sebuah tas kecil berwarna merah. Seperti halnya Jodha, kuku dan lipstiknya juga berwarna merah namun tidak terlalu terang.
Sedangkan Ruqaiyah memakai longdress ketat yang terbuat dari renda brokat membungkus tubuhnya yang ramping, dengan potongan dada rendah sekali yang diberi payet disekelilingnya. Rambutnya juga disanggul simple dan modern. Hampir senada dengan sanggul Nadia yang terlihat sedikit berantakan namun malah membuatnya semakin cantik dan manis. Kuku dan lisptiknya juga diberi warna merah. Semua sanggul mereka diberi aksesoris  yang berwarna merah juga, begitu juga dengan perhiasan lainnya.
Kini ketiganya terlihat seperti perempuan penggoda yang centil dan genit. Ya ampun, rasanya keimanan Jalal, Mansingh, dan Surya rontok saat itu juga melihat gadis mereka itu.
“Bos, bisa nggak malam ini aku nggak hadir diacara Papanya Bos?” tanya Mansingh kepada Jalal tanpa mengalihkan pandangannya dari gadis usilnya yang polos dan kini berubah seperti gadis centil. Jalal menoleh ke arah Mansingh dengan dahi berkerut.
“Kenapa Man? Bukannya kita sudah janji mau datang?”
“Iya sih Bos. Tapi kalau begini caranya, sepertinya aku tidak rela Bos membawa Bebebku dihadapan orang banyak. Aku bisa cemburu Bos. Aku ingin sendiri saja menikmati pemandangan indah ini. Aku tidak mau berbagi.” Sahut Mansingh seperti orang frustrasi. Ketiga gadis mereka hanya tertawa geli mendengar ucapan Mansingh.
“Emang kamu kira, kamu aja Man yang kayak gitu? Aku juga. Rasanya nggak rela harus menampilkan Inemku seperti ini.” Sahut Jalal, “Nem, kamu membuatku tidak sabar untuk segera memilikimu seutuhnya Sayang. Ya Tuhan, kamu menyiksaku Nem.” Sungut Jalal. Jodha tersenyum menggoda.
“Mana aku tahu Sayang, inikan kerjaan Mama. Salahkan saja kenapa Mama bikin kami seperti ini.” Jalal mengerang jengkel. Sialan, kenapa mamanya jadi begini? Apa maksudnya?
“Beb.” Kata Mansingh mengelus pipi Nadia, gadis itu tersenyum manis.
“Hm...”
“Kita nikah bareng Bos sama Jodha saja ya?” kata Mansingh tanpa basa basi, Nadia terkekeh.
“Emang kenapa Bang? Kok tumben pengen buru-buru?”
“Gimana nggak pengen buru-buru Beb, kalau kamu seperti ini. Abang nggak ikhlas Sayang, harus merelakan kecantikanmu dinikmati orang lain.” Nadia tersipu malu, “mau ya Beb?” pinta Mansingh lagi.
“Tanyakan saja sama Ayah dan Ibu, Bang. Kalau mereka mengijinkan, ayo kita menikah.” Jawab Nadia sama cueknya dengan Mansingh. Berbeda dengan Jodha yang masih malu-malu kalau diajak berbicara masalah pernikahan. Tetapi Nadia, to the point saja. Persis seperti Mansingh, tanpa basa basi.
“Oke. Nanti aku akan bicara dengan orang tuaku dulu untuk melamar kamu ya Beb.” Nadia mengangguk sambil tersenyum.
“Iya Bang.”
Sementara Surya dan Ruqaiyah tidak seperti pasangan yang lain, keduanya hanya saling bertatapan sambil tersenyum. Ruqaiyah akhirnya hanya bisa menunduk malu, tidak kuat menantang tatapan penuh cinta dari Surya yang membuat hatinya meleleh seketika itu juga.
“Kamu cantik Ruq.” Hanya itu yang terucap oleh Surya, wajah Ruqaiyah memerah mendengarnya. Ada sesuatu yang aneh rasanya menari-nari diperutnya. Ah, kata-kata itu. Meski hanya tiga kata, tapi mampu membuatnya menjadi berbunga-bunga dan bahagia.
Ehem... sampai kapan pandang-pandangan seperti ini? Memangnya kalian nggak jadi pergi kepesta itu ya?” tanya Madam Layla yang sedari tadi memperhatikan mereka berenam. Mereka semua terlihat malu mendengar pertanyaan wanita itu.
“Eh iya Madam. Maafkan kami, kami terlalu terpesona melihat hasil karya Madam. Rasanya kami nggak ikhlas harus memamerkan mereka seperti ini Madam.” Sahut Jalal. Madam Layla tertawa.
“Nggak apa-apa kalau cuma dilihat saja, bukan untuk menyentuh dan memilikinya. Seharusnya kalian bangga bisa memamerkan kecantikan mereka yang selama ini tidak pernah terlihat.” Kata Madam Layla lagi. Ketiganya hanya bisa menghembuskan nafas pasrah. Tanpa dikomando, mereka bertiga menyodorkan lengan untuk gadis mereka masing-masing.
Jodha, Nadia, dan Ruqaiyah dengan tersenyum malu menyambutnya dan merangkul lengan lelaki mereka. Ketiga pemuda itu tersenyum sumringah ketika gadis mereka sudah menempel erat. Seperti para bangsawan di eropa sana yang akan menghadiri sebuah pesta, mereka nampak siap. Ketiga gadis itu sekarang menjelma seperti sosialita high class, anggun, cantik dan berkelas. Hehehe...
Jalal, Mansingh, dan Surya membukakan pintu mobil mereka untuk para gadis tersebut. Mereka diperlakukan layaknya seorang putri, dan tentu saja para gadis tersebut semakin tersipu dibuatnya. Ketiga mobil itupun perlahan meninggalkan salon tersebut menuju kantor Papanya Jalal.
Jalal berkali-kali melirik kearah Inemnya sambil tangannya menyetir, sementara Jodha hanya tersenyum geli melihat kekasihnya seperti itu.
“Kenapa?” tanya Jodha akhirnya. Jalal tersenyum dan menggeleng.
“Enggak apa-apa Sayang. Aku hanya belum percaya kalau ini kamu. Kamu cantik sekali Sayang.” Jodha terkekeh pelan.
“Tapi aku risih, enggak terbiasa seperti ini. Ini bukan gayaku.” Jalal tertawa. Dia maklum, dan dia juga tidak terlalu suka Inemnya seperti ini. Tapi untuk malam ini tidak apa-apalah. Dispensasi untuk acara papanya. Hahahaha...
Jeep Jalal berhenti di depan kantor papanya. Jodha memperhatikan gedung tersebut, begitu besar dan tinggi. Pantas saja kekasihnya bilang kalau kekayaan papanya tidak akan habis tujuh turunan. Gedung kantornya saja begini besarnya. Berapa orang karyawannya ya?
“Ayo Sayang turun.” Ucap Jalal tiba-tiba saja sudah berada disamping Jodha dan membukakan pintu jeep untuknya. Jodha tersadar dari lamunannya, dengan tangan yang dibimbing oleh Jalal dia turun dengan anggun. Jalal menyerahkan kunci jeepnya kepada petugas parkir. Keduanya melangkah masuk ke dalam gedung dengan tangan Jodha bergayut mesra di lengan Jalal.
Pasangan Mansingh dan Surya pun sudah sampai. Sama halnya seperti yang dilakukan Jalal, kedua pemuda itu dengan sigap membukakan pintu mobil mereka untuk gadis mereka masing-masing dan menyerahkan kunci mobil mereka kepada petugas parkir. Mereka menyusul Jalal dan Jodha yang sudah masuk terlebih dahulu.
“Bang.”
“Ya Beb?” sahut Mansingh menoleh kearah Nadia tanpa menghentikan langkah mereka.
“Aku ngantuk.”
“Hah? Kok ngantuk sih Beb? Kan belum terlalu malam?” tanya Mansingh dengan heran. Bisa gawat kalau gadisnya mengantuk, terkadang dia tidak mengenal situasi dan kondisi kalau sudah tidur. Dengan cuek saja dia tidak memperdulikan orang lain. Nadia tertawa pelan.
“Aku ngantuk karena bulu mata palsuku terlalu tebal nih, rasanya berat.” Jawab Nadia mengedip-ngedipkan matanya ke arah Mansingh. Pemuda itu tersenyum geli. Gimana nggak geli kalau melihat kekasihnya begitu risih memakai dandanan seperti itu. Dia tidak terbiasa memakai bulu mata palsu, membuat matanya terasa berat. Cantik sih, tapi kasihan. Terlihat sengsara. Hahahaha...
“Sabar ya Beb, nanti sehabis acara bulu matanya bisa dicopot kok.” Hibur Mansingh. Nadia mengangguk.
“Iya Bang, semoga nggak lama ya.” Mansingh terkekeh, dia menepuk punggung tangan Nadia yang memegang lengannya.
Acara dilakukan di aula pertemuan yang khusus dibangun di dalam gedung tersebut, biasanya untuk acara-acara tahunan seperti ini, atau ada event-event tertentu dari perusahaan, dan untuk berbagai kegiatan lainnya yang berhubungan dengan pengumpulan karyawan perusahaan.
Ketiga pasangan tersebut menjadi perhatian orang-orang yang berada ditempat itu. Para karyawan dan juga undangan menatap mereka dengan penuh perhatian. Sebagian yang sudah mengenal Jalal tentu tidak heran lagi, tetapi untuk yang belum mengenal pastilah penasaran siapa mereka. Apalagi pakaian yang dipakai para gadis tersebut berwarna terang menyolok dan berwarna sama.
Jalal mendekati mamanya yang sedang ngobrol bersama ibunya Nadia, mamanya Mansingh dan juga mamanya Surya. Rupanya mereka semua saling kenal. Orang tua Nadia, orang tua Mansingh dan Surya adalah tamu undangan dari orang tuanya Jalal.
“Ma...” panggil Jalal kepada mamanya yang berdiri membelakanginya. Mamanya menoleh dan tersenyum sumringah.
“Wah, anak mama sudah datang.” Sambutnya dengan gembira, dia menoleh kearah Jodha seketika mulutnya membulat kagum, “Jodha sayang, kamu cantik banget. Nggak sia-sia Madam Layla make over kamu.” Kata Bu Hamidah merangkul Jodha, dia memperhatikan gadis itu dari kepala sampai ujung kaki. Dia berdecak kagum, calon menantunya nampak berbeda. Jodha tersenyum malu diperhatikan seperti itu.
“Iya Ma, makasih.” Sahut Jodha sambil menunduk. Jalal ikut tersenyum melihat reaksi mamanya.
“Ini ya yang Mama bilang kejutan itu?” tanya Jalal. Bu Hamidah tertawa, dia mengangguk.
“Iya Sayang. Gimana kejutannya? Kamu suka?”
“Suka sih Ma, tapi kalau dipamerkan seperti ini aku nggak suka Ma. Maunya ku kekep dikamar aja sendiri sepuasnya.”sahut Jalal sambil tertawa.
“Hush, belum boleh ngomong begitu dulu. Sabar aja.” Sentak Bu Hamidah kepada anaknya. Jodha ikut tertawa mendengarnya.
“Habisnya Mama mendandani mereka kayak perempuan penggoda gitu. Kan kami jadi tergoda Ma, kamikan laki-laki normal.” Kembali Jalal menyahut dengan tidak tahu malunya. Justru yang malu adalah Jodha. Dasar juga lelakinya itu, ngomong seperti tidak ada orang lain saja. Bu Hamidah terkekeh.
“Sekali-sekali Sayang. Mama pengen melihat reaksi kalian, bagaimana gadis kalian yang polos diubah seperti gadis centil. Pasti nampak menantangkan?” Jalal menghela nafas panjang.
“Tapi, cukup sekali ini saja ya Ma.” Pinta Jalal lagi. Mamanya mengangguk.
“Iya Sayang. Tenang saja.” Akhirnya Jalal menarik nafas lega.
Bu Hamidah memperkenalkan Jodha dengan bangga kepada para koleganya dan juga kepada orang tua Mansigh dan Surya.
“Jeng, kenalkan calon menantuku.” Kata Bu Hamidah kepada orang tua Surya. Bu Lena yang sudah mengenal Jodha beberapa hari yang lalu menyalaminya.
“Oh, jadi Jodha itu calon menantumu ya Jeng Hamidah?”
“Loh, Jeng Lena sudah mengenal Jodha ya?” tanya Bu Hamidah dengan heran.
“Iya, beberapa hari yang lalu dia datang bersama Jalal, Man, dan seorang gadis lagi, siapa ya namanya...?” Bu Lena berpikir sejenak, “ oh iya, Nadia namanya.” Bu Hamidah mengangguk.
“Baguslah kalau begitu Jeng.” Bu Hamidah berpaling kepada mamanya Mansingh, “kalau Jeng Rini sudah kenal sama calon menantu saya?” Ibu Rini, mamanya Mansingh menggeleng.
“Belum Jeng. Wah, cantik juga calon menantumu ya Jeng?” kata Bu Rini  memeluk Jodha yang nampak malu itu, “jadi pengen punya calon menantu juga nih.” Kata Bu Rini lagi setelah melepaskan pelukannya. Bu Hamidah tertawa.
“Tenang saja Jeng, sebentar lagi calon menantumu datang, dan tidak kalah cantiknya kok. Sabar saja.” Kata Bu Hamidah tersenyum misterius. Ah, mamanya Jalal memang niat banget ingin bikin kejutan, tidak cuma untuk Jalal dan sahabatnya, tetapi juga untuk orang tua mereka. Bu Rini mengerutkan keningnya.
“Oh ya?” Bu Hamidah mengangguk, “waduh, saya menjadi tidak sabar nih pengen tahu. Kok Man tidak pernah cerita ya?”  Bu Hamidah tersenyum.
“Mungkin ingin memberikan kejutan untuk orang tuanya kali Jeng?” hibur Bu Hamidah.
“Bisa juga Jeng.” Sahut Bu Rini.
Tidak lama kemudian, Mansingh dan Surya tiba dan membawa pasangannya masing-masing. Mamanya Mansingh dan Surya tidak berkedip melihat gadis yang dibawa anaknya. Bu Lena bahkan sampai pangling, hampir saja tidak mengenal Ruqaiyah yang berjalan disisi Surya. Kedua pemuda itu tersenyum melihat ekspresi mama mereka yang tertuju kepada gadis disampingnya.
“Malam Ma, kenalkan ini calon menantumu.” Kata Mansingh memperkenalkan Nadia kepada mamanya. Nadia tersipu malu. Tidak menyangka akan bertemu dengan orang tua kekasihnya.
“Benarkah? Ini calon menantu Mama?” tanya Bu Rini dengan antusias. Mansingh mengangguk.
“Iya Ma. Gimana Ma? Cantik tidak calon menantu Mama?” Mamanya mengangguk cepat.
“Cantik Man. Ya ampun Sayang, nama kamu siapa? Kok mau sih sama Man yang jelek ini?” Mansingh cemberut mendengar ucapan mamanya. Nadia, Bu Hamidah, dan Bu Rini terkekeh mendengar ucapan mamanya Mansingh.
“Kok Mama gitu sih? Bukannya mempromosikan anaknya, malah dijelek-jelekin. Ntar harganya jatuh gimana Ma? Siapa lagi yang mau dengan anakmu ini? Nanti yang rugikan Mama juga, nggak punya cucu.” sahut Mansingh dengan sewot, mamanya tertawa lagi.
“Kamu ini Man, gitu aja sewot. Ntar beneran nggak ada yang mau loh sama kamu.” Mansingh masih cemberut, “nama kamu siapa Sayang?” tanya Bu Rini kepada Nadia.
“Nadia Tante.”
“Nadia? Hm, nama yang bagus. Jangan panggil Tante dong Sayang, panggil Mama juga ya, kan mau menjadi menantu Mama.” Kata Bu Rini dengan sikap sok akrabnya itu. Bu Hamidah dan Bu Lena tertawa melihat sikap Bu Rini. Nadia tersipu.
“Iya Ma.” Sahut Nadia pelan. Bu Rini tertawa, dia menoleh ke arah Mansingh, “Man, coba panggil Papa kamu dan Daniyal. Mama mau memperkenalkan Nadia nih.” Mansingh mengangguk.
“Iya Ma.” Dia pun pergi mencari papanya dan adiknya, Daniyal.
“Kamu tahu nggak Jeng, orang tuanya Nadia siapa?” tanya Bu Hamidah kepada Bu Rini. Wanita itu menggeleng.
“Enggak Jeng. Memangnya orang tuanya ada disini ya?” Bu Hamidah mengangguk.
“Ada.”
“Mana jeng? Aku pengen kenal dengan calon besanku.” Kembali Bu Hamidah tersenyum.
“Itu.” Katanya menunjuk Bu Nunik yang sedari tadi hanya senyum-senyum saja memperhatikan mereka, Bu Rini menganga tidak percaya, mulutnya membulat, “Nadia itu anaknya Mbak Nunik, Jeng.”
“Benarkah? Ya ampun Jeng, aku nggak menyangka kalau Nadia ini anakmu. Gimana Jeng, mau tidak besanan denganku?” tanya Bu Rini dengan tidak sabar. Bu Nunik tersenyum.
“Kalau saya sih terserah anaknya saja Jeng, sebagai orang tua hanya bisa mengarahkan dan membimbing mereka saja. Apapun pilihan mereka, biarlah itu menjadi hak mereka. Kan mereka juga yang akan menjalaninya nanti.” Bu Rini mengangguk-angguk.
“Iya Jeng, benar sekali.” Bu Rini menoleh kearah Nadia yang masih diam saja. Hahaha... dihadapan calon mertua Nadia tidak berkutik. Jaga image dong. Hehehe... Bu Rini memeluk Nadia, “makasih ya Nad, sudah mau mencintai Man, anak mama.” Nadia mengangguk.
“Iya Ma.” Jodha dan ketiga yang lainnya tersenyum geli melihat  Nadia yang biasanya cerewet sekarang menjadi pendiam. Mulut Jalal sudah berkedut-kedut rasanya ingin meledek gadis itu, namun sepertinya Jodha tau apa yang dipikirkan kekasihnya itu, karenanya dia memberi kode kepada Jalal agar tidak meledek Nadia didepan umum. Akhirnya Jalal tidak jadi melaksanakan niatnya. Dia mengangguk dan tersenyum. Meski hatinya sudah tidak tahan lagi dan gatal ingin meledek Nadia. Ah, andai ini bukan pesta pasti habislah gadis bawel itu oleh Jalal.
Sementara Surya dan Ruqaiyah sudah berdiri disamping Bu Lena dan Moti yang juga datang ke undangan orang tuanya Jalal.
“Kak Ruq cantik sekali.” Puji Moti. Ruqaiyah tersipu malu.
“Makasih Dek. Kamu bisa aja.”
“Bener loh Kak, ya kan Ma?” tanya Moti kepada mamanya. Bu Lena mengangguk.
“Iya Sayang. Moti benar. Anak Mama cantik juga di dandani seperti ini. Mamanya Jalal tahu saja bagaimana cara mengeluarkan kecantikan kalian.” Puji mama Lena juga, membuat Ruqaiyah semakin tersipu. Wajahnya memerah. Surya menggenggam tangannya dan tersenyum.
“Ciee...Kakak sekarang bisa pamer nih ceritanya.” Ledek Moti. Surya tersenyum miring.
“Kamu ini Dek. Disyukuri saja Kakakmu ini sudah laku dan ada yang mau.” Sahut Surya membuat Moti tertawa cekikikan. Tentu saja Moti senang kalau kakaknya jadian dengan Ruqaiyah. Dia sudah terlanjur suka dengan gadis itu, dan menyenangkan mempunyai kakak perempuan.
Tidak lama kemudian, Mansingh datang bersama papanya dan adiknya, Daniyal. Dengan bersemangat Bu Rini memperkenalkan Nadia dan juga kedua orang tuanya.
“Pa, kenalkan ini calon menantumu.” Lelaki bertubuh agak gemuk dan berkumis tebal itu tersenyum ramah menyalami Nadia.
“Nadia Om.” Kata Nadia menyebutkan namanya. Bu Rini menyentuh tangannya.
“Hush, nggak boleh manggil Om. Kan tadi sudah memanggil Mama, masa yang satu dipanggil Mama dan yang satu dipanggil Om sih Sayang?” Nadia kembali tersipu malu, “panggil Papa juga ya, sama kayak Man dan Dani.” Akhirnya Nadia mengangguk.
“Iya Ma.”
“Kamu yakin suka sama Man, Nad?” tanya Om Bondan, papanya Mansingh. Kembali Mansingh cemberut, tidak mamanya, tidak papanya sama saja, menjelekkan anaknya sendiri. Ntar kalau jelek beneran gimana? Apa papa sama mamanya mau tanggungjawab? Adiknya, Daniyal malah tertawa cekakakan melihat kakaknya sewot.
“Emangnya kenapa Pa?” tanya Nadia dengan heran. Om Bondan tersenyum dan mengangkat bahu.
“Ya siapa tahu saja kamu khilaf dan salah lihat.” Ucap Om Bondan yang ternyata humoris itu, berbeda dengan papanya Jalal dan Surya yang agak irit bicara.
“Nggak apa-apa salah lihat Pa, paling nanti kalau bener salah lihat, akukan tinggal merem aja.” Sahut Nadia mulai berani bicara dengan orang tua Mansingh. Om Bondan terkekeh.
“Ya semoga saja kamu tidak menyesal Nad, mendapatkan anak Papa. Yah, walaupun nggak ganteng-ganteng amat, tetapi juga nggak jelek-jelek amat. Masih pantes untuk dipamerkan didepan umum.” Kata Om Bondan lagi. Membuat yang berada disitu tertawa, sedangkan Mansingh masih cemberut mendengar ledekan papanya.
“Nggak apa-apa Pa. Abang orangnya ganteng dan pengertian kok, susah dicari dizaman sekarang ini. Aku sayang sama dia kok Pa.” Hibur Nadia memegang tangan Mansingh, membuat pemuda itu akhirnya tersenyum.
“Tuh kan Pa, Nadia aja bilang aku ganteng. Masa Papa sama Mama menolak anaknya ganteng sih?”
“Soalnya Papa sama Mama bosen lihat wajah kamu tiap hari, makanya kadar kegantengan kamu dimata kami sudah luntur dan aus.” Kekeh Om Bondan. Nadia ikut tertawa mendengarnya. Dia senang calon mertuanya sehobi dengannya. Sama-sama senang ngomong. Awal yang bagus tuh. Senangnyaaa... Hehehe....
Dari depan terdengar MC membuka acara ulang tahun perusahaan. Suasana hening.  Bu Hamidah sudah duduk di kursi depan bersama suaminya, Pak Humayun. Begitu juga para tamu undangan, termasuk orang tua Mansingh, orang tua Nadia, dan juga orang tua Surya. Bahkan Bayu dan istrinya, Salima beserta Rahim juga ikut datang. Sementara Jalal dan yang lainnya juga duduk dibelakang kursi orang tua mereka, mengikuti acara tersebut satu persatu.
Acara demi acara telah dilalui, tibalah acara pemotongan tumpeng yang akan dilakukan oleh Pak Humayun, selaku pemilik perusahaan. Kedua orang tua Jalal, dan juga Jalal maju mendekati tumpeng yang ada di depan kursi para tamu, sedangkan para karyawan duduk dikursi dibelakang kursi para tamu undangan.
Pemotongan tumpeng sudah dilakukan, tumpeng pertama diberikan Pak Humayun kepada istrinya, Bu Hamidah tentunya. Dia mencium mesra istrinya setelah memberikan piring berisi potongan tumpeng pertama. Semua yang hadir bertepuk tangan, termasuk Jalal. Dia merasa terharu melihat orang tuanya yang sampai sekarang masih bersikap romantis. Padahal, ini adalah pertama kalinya Jalal menghadiri perayaan atau acara yang diselenggarakan oleh perusahaan papanya. Biasanya dia tidak pernah mau tahu dan tidak pernah datang meski sudah diajak oleh kedua orang tuanya. Tanpa sadar dia tersenyum menyaksikan moment bahagia kedua orang tuanya.
Setelah menyerahkan piring tumpeng pertama kepada istrinya, Pak Humayun menyerahkan piring berisi potongan tumpeng berikutnya kepada Jalal. Pemuda itu menerimanya dan memeluk papanya dengan bahagia, begitu juga dengan papanya. Tepuk tangan masih membahana mengisi ruangan aula tersebut.
Acara pemotongan tumpeng pun selesai dilaksanakan, sekarang giliran Pak Humayun memberikan sambutannya. Dia berdiri diatas panggung kecil yang berada dihadapan mereka semua dengan memegang microphone. Dia memuji kinerja para karyawan yang semakin hari semakin bagus, juga apresiasinya terhadap prestasi mereka dan juga loyalitas mereka terhadap perusahaan. Dalam rangka ulang tahun perusahaan ini Pak Humayun selaku pemilik perusahaan memberikan award kepada karyawan yang berprestasi.
“Penghargaan ini adalah sebagai ucapan terima kasih perusahaan kepada anda-anda semua yang telah bersama-sama saya membangun perusahaan ini sampai sebesar dan semaju sekarang. Semua tidak luput dari peran serta anda-anda semua. Untuk yang belum mendapatkan penghargaan, jangan berkecil hati, akan ada banyak kesempatan dimasa mendatang.”
“Dengan ini saya selaku pemilik perusahaan mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya, dan penghargaan setinggi-tingginya kepada seluruh keluarga perusahaan ini. Kita semua adalah keluarga dan saudara. Karena tanpa anda-anda semua, tidak akan berdiri tegak perusahaan ini sampai sekarang. Sekali lagi saya ucapkan terima kasih.” Kata Pak Humayun mengakhiri sambutannya. Tepuk tangan kembali terdengar begitu bersemangat. Semua karyawan bergembira mendengar sambutan Bos mereka.
Pak Humayun tidak langsung turun, dia masih memegang mik dan menunggu sampai suasana kembali tenang. Setelah semuanya tenang, dia kembali berbicara.
“Dalam kesempatan berbahagia ini, saya ingin memberikan pengumuman penting.” Semua terdiam mendengarkan dengan serius pengumuman yang akan diberikan oleh Pak Humayun, “pengumumannya adalah, dua minggu lagi anak saya Jalalludin Muhammad Aryadeva akan melaksanakan pernikahannya. Diharapkan semua ikut berpartisipasi.” Suasana hening, sepertinya semua terlihat terkejut mendengar ucapan bos mereka. Karena memang tidak ada terdengar kabar desas-desus dan isu-isu apapun tentang anak pimpinan mereka. Pak Humayun memanggil Jodha naik kepanggung dan juga Jalal, dan memperkenalkan calon menantunya itu.
“Inilah calon menantu saya, yang akan menikah dengan Jalal dua minggu lagi.” Jodha tersenyum malu, sedangkan Jalal tersenyum bahagia.
Terdengar suara kasak-kusuk melihat calon menantu pimpinan mereka. Banyak yang tidak menyangka memang, bahkan Sujamal sebagai sekretaris Pak Humayun saja tidak tahu kabar tersebut. Namun, dia ikut bergembira mendengar kabar itu.
“Kelak, anak saya Jalal yang akan menggantikan posisi saya sebagai pimpinan perusahaan ini.” Kata Pak Humayun terlihat bangga, “namun, sebelumnya dia akan menjalani tahap-tahap seperti halnya para karyawan yang baru masuk kerja disini. Jadi jangan mengira dia adalah anak seorang pimpinan maka dia langsung memegang tampuk kekuasaan. Tidak akan seperti itu. Karena itu, mulai hari ini saya akan mendirikan sebuah divisi khusus untuknya, dan juga kedua sahabatnya, Mansingh dan Surya. Silakan maju anak-anakku.” Kata Pak Humayun menyuruh mereka berdua naik ke panggung.
Keduanya maju bersama dan berdiri disamping kiri Pak Humayun, diiringi tepuk tangan semua yang ada diruangan itu. Sementara Jalal dan Jodha berdiri disebelah kanan papanya. Orang tua mereka nampak bangga anaknya diberi kesempatan bekerja diperusahaan papanya Jalal tanpa harus bersusah payah melamar.
“Mulai besok mereka akan memulai tugas sebagai karyawan diperusahaan ini, Jalal akan saya angkat sebagai manager dan dibantu oleh Mansingh dan Surya. Kalian bertiga adalah satu tim. Pangkat  manager adalah hanya sebagai simbol saja. Jadi jangan berkecil hati karena diberi jabatan hanya untuk membantu Jalal. Karena yang namanya satu tim harus mengutamakan kerjasama. Dan keberhasilan divisi kalian adalah tanggungjawab kalian bertiga. Bagaimana, kalian siap?” tanya Pak Humayun lagi.
“Ya Pak, kami SIAP!” jawab mereka bertiga dengan sigap. Ah, bawaan latihan di akmil masih ada rupanya. Pak Humayun tersenyum puas.
“Bagus. Itu yang saya harapkan. Jadi, jangan sia-siakan kesempatan ini.” Kata Pak Humayun mengakhiri sambutannya. Jodha, Nadia, dan Ruqaiyah tersenyum bangga melihat lelaki mereka diberi kesempatan untuk berkarier di perusahaan orang tua Jalal. Bahkan Moti juga terlihat bangga dengan kakaknya.
Menjelang jam 10 malam acara inti sudah selesai dilaksanakan. Saatnya semua yang hadir dipersilakan menikmati hidangan yang disediakan. Berbagai jenis makanan dihidangkan. Papanya Jalal termasuk orang yang royal, apalagi terhadap karyawannya sendiri. Begitu juga dengan Bu Hamidah yang mengurus masalah konsumsi, meskipun dia mempunyai pekerjaan sendiri namun untuk urusan seperti ini suaminya menyerahkan kepadanya.
“Abang Man mana ya?” kata Nadia celingukan mencari kekasihnya. Saat ini dia bersama Jodha, Ruqaiyah dan Moti berdiri. Mereka terpisah dengan kekasihnya.
“Mungkin lagi ngumpul dengan teman-temannya yang lain kali Nad.” Sahut Jodha. Nadia diam, namun matanya masih mencari-cari.
“”Iya Nad, biarkan saja. Nanti juga ketemu.” Hibur Ruqaiyah.
“Bukan gitu Ruq,...” ucapannya Nadia terhenti, wajahnya terlihat cemberut, matanya setengah melotot, dan kedua tangannya berkacak pinggang. Dia nampak emosi. Mereka bertiga menjadi heran melihat perubahan gadis itu.
“Kamu kenapa Nad?” tanya Jodha. Nadia menunjuk kesuatu arah dengan memonyongkan bibirnya. Ketiganya melihat ke arah yang ditunjukkan oleh Nadia. Terlihat Man dan Surya berbincang dengan beberapa perempuan. Yang membuat Nadia emosi adalah salah seorang dari perempuan itu terlihat genit dan memegang tangan Mansingh, meski beberapa kali Mansingh melepaskan tangan perempuan itu dengan sopan. Barulah ketiga gadis itu mengerti, kenapa Nadia begitu emosi.
“Ini tidak bisa dibiarkan. Begini saja yang nyata-nyata ada pendampingnya mereka sudah berani, apa kabar nanti kalau Abang sudah bekerja disini tanpa aku melihat.” Ucap Nadia dengan berapi-api. Wajahnya memerah. Jodha dan yang lainnya saling pandang.
“Lalu, apa yang akan kamu lakukan, Nad?” tanya Ruq. Nadia terdiam sebentar sambil berpikir, tidak lama kemudian dia tersenyum miring.
“Serahkan kepadaku. Kalian tunggu saja disini. Lihat apa yang akan aku lakukan.” Kata Nadia membuat ketiga gadis itu sedikit meringis ngeri.
“Kak Nadia mau ngapain?” tanya Moti dengan takut-takut. Ternyata bila Nadia marah, menyeramkan juga. Nadia menepuk pelan bahu Moti.
“Tenang saja Dek. Aku nggak berbuat macam-macam kok. Kalian tunggu disini, oke?” akhirnya ketiganya mengangguk pasrah. Nadia segera melangkah mendekati Mansingh dan Surya yang dikerubungi oleh beberapa orang perempuan. Dia melangkah dengan gemulai penuh pesona. Jodha, Ruqaiyah dan Moti tertawa cekikikan melihat tingkah Nadia.
“Sayang...” sapa Nadia sambil merangkul lengan Mansingh. Pemuda itu menoleh dan tersenyum kepadanya, sementara para perempuan itu menatapnya dengan sedikit sinis.
“Ada apa Beb?” tanya Mansingh dengan lembut. Nadia tersenyum semanis mungkin.
“Sayang, anakmu laper. Dia nggak mau makan kalau nggak disuapin oleh Ayahnya. Dari tadi ditunggu-tunggu kok nggak datang-datang juga. Kasihan dia lama menunggu. Ntar dia ileran loh?” kata Nadia sambil mengusap-usap perutnya. Mansingh dan Surya saling pandang mendengar perkataan Nadia yang aneh itu. Surya menyembunyikan ketawanya. Sementara para perempuan itu menatap Nadia dengan tercengang, Nadia berpaling kepada mereka yang menatapnya, “maaf ya Mbak-Mbak. Maklum saya lagi hamil muda, jadi sedikit manja dengan suami. Mungkin bawaan bayi kali ya. Biasanya suami saya selalu menyuapi saya makan, karena kalau nggak bawaannya mual mulu. Ya kan sayang.” Ucap Nadia berpaling lagi kepada Mansingh. Pemuda itu mengangguk-angguk saja. Mencerna apa maksud kekasihnya itu.
“Ayo Sayang, suapin aku makan. Permisi ya Mbak-Mbak.” Ucap Nadia sedikit menunduk ke arah mereka yang hanya mengangguk tanpa bicara seperti robot, setelah itu dia menatap Surya yang masih melihatnya dengan pandangan heran dan geli, “Bang Surya, itu istrinya nggak ditemani juga? Kasihan loh, tadi beberapa kali kebelakang, mual katanya.” Kembali Nadia melancarkan aksinya. Surya hanya mengangguk sambil tersenyum dan pamit kepada para perempuan tadi. Nadia pun menggandeng Mansingh berlalu dari tempat itu.
Ketiga temannya yang melihat hanya ternganga mendengar ucapan Nadia. Mereka tidak menyangka Nadia akan berkata seperti itu.
“Ya ampun Nad, kamu kok ngomongnya seperti itu sih?” kata Ruqaiyah sambil tertawa geli. Nadia tersenyum cuek.
“Biarin. Biar mereka tidak berani-berani mengganggu calon suami orang.” Mansingh menatapnya dengan pandangan geli. Ckckck. Ada-ada saja ulah gadis kecilnya itu.
“Kok sampai bohong seperti itu sih Beb? Dipanggil bisa aja kan?” kata Mansingh dengan lembut merangkul bahunya. Nadia cemberut.
“Bisa saja sih Bang dipanggil, tapi ntar mereka datang lagi. Aku nggak suka melihat mereka genit begitu. Lagian biar mereka tidak berani mengganggu Abang lagi.” Mansingh tersenyum miring, “kenapa Bang?”
“Kamu cemburu ya Beb?”
“Ih, siapa yang cemburu Bang. Aku cuma nggak suka melihat perempuan genit kayak gitu. Pegang-pegang. Dikira barang jualan bisa dipegang terus ditaruh lagi? Apa-apaan itu?” senyum Mansingh semakin lebar.
“Iya, kamu cemburu Beb.” Nadia menggeleng.
“Enggak ya enggak Bang. Aku nggak cemburu tau.” Bantahnya.
“Cemburu juga nggak apa-apa kok Beb. Abang senang banget kalau kamu cemburu. Artinya kan kamu cinta sama Abang.” Kata Mansingh tersenyum memainkan kedua alisnya. Nadia menjadi salah tingkah. Ketiga sahabatnya itu tertawa cekikikan melihat ekspresi Nadia.
“Ih, Abang kok gitu sih? Akukan jadi malu Bang.” Kata Nadia menyembunyikan wajahnya yang terasa panas. Mansingh tertawa dan semakin merangkul erat gadisnya itu.
Jalal datang dan mendekati Jodha. Dia menggamit lengan kekasihnya itu. Jodha menoleh.
“Sayang, ayo ikut aku.” Ajaknya.
“Kemana?” tanya Jodha dengan heran. Jalal tersenyum.
“Ada yang ingin aku tunjukkan sama kamu sayang.” Katanya memegang lengan Jodha, dia berpaling kearah teman-temannya, “maaf ya, aku tinggal dulu. Kalian nikmati saja acaranya ya.”
“Emang Bos mau kemana?” tanya Mansingh.
“Ada deh Man. RHS.” Sahut Jalal mengedipkan matanya.
“Tapi Bang Bos nggak macam-macamin Jodha kan?” tanya Nadia waspada.
“Hush, kamu ini Nad. Pikiranmu macam-macam saja. Tenang aja, saudaramu ini tidak aku apa-apain kok, sampai saatnya tiba nanti. Oke?” sahut Jalal meyakinkan Nadia. Gadis itu mengangguk.
“Baiklah kalau begitu.”
Jalal tersenyum. Dia menggandeng tangan Jodha menuju lift. Jodha sedikit tercengang melihat angka yang dipencet kekasihnya. Angka 25. Artinya mereka akan kelantai 25. Tinggi sekali. Memangnya mereka mau ngapain?
“Kita mau kemana Sayang?” tanya Jodha dengan heran. Jalal tidak segera menjawab, dia hanya tersenyum lebar.
“Sabar Sayang. Nanti juga tau kok.” Akhirnya Jodha hanya bisa menghela nafas dan terdiam.
Ting.
Pintu lift terbuka. Keduanya melangkah keluar. Ruangan 25 yang mereka masukin sangat sepi. Tentu saja. Karena semua karyawannya berkumpul diaula. Jalal terus membawa Jodha ke ujung ruangan, dimana terdapat tangga menuju ke atas. Jodha sudah terseok-seok melangkah, karena sepatu high heelsnya terasa mengganggu.
“Kenapa Sayang?” tanya Jalal ketika Jodha berhenti sebentar dan memijit lututnya. Mana gaunnya yang menyapu lantai itu dia pegang sedari tadi.
“Sebentar. Kakiku pegal.” Jalal tertawa.
“Makanya, siapa suruh pake sepatu kayak gitu. Nggak enakkan?” bibir Jodha mengerucut.
“Kan Mama yang nyuruh, aku juga nggak pengen makai kok.” Katanya membela diri. Jalal mendekat.
“Ya sudah kalau begitu. Sini aku gendong.” Kata Jalal tanpa basa-basi langsung menggendong Jodha di depan. Jodha memekik kaget.
“Sayang, jangan begini. Malu.” Jalal tersenyum miring.
“Malu sama siapa Sayang? Hm...? disini nggak ada orang lain. Hanya kita berdua saja.”
“Ta-tapi...?”
“Tapi apa Sayang?” tanya Jalal sambil melangkah menggendong Jodha menuju tangga. Kelihatannya dia enteng saja menggendong gadis itu.
“Tapi, aku kan berat Sayang. Apa kamu nggak capek nanti. Kan kasihan kamu.” Sahut Jodha dengan tersipu malu. Kedua tangannya mengalung leher Jalal. Jalal terkekeh.
“Enggak berat kok Sayang. Aku masih sanggup menggendong kamu, ditambah dengan semangat cintaku membuat beratmu tidak berarti apa-apa untukku.” Ucap Jalal yang sukses membuat wajah Jodha memerah. Dia menyembunyikan wajahnya di dada pemuda itu. Jalal tersenyum senang melihatnya.
Ternyata tangga tersebut menuju pintu yang menghubungkan rooftop. Diatas rooftop terdapat sebuah taman mungil dengan sebuah air mancur kecil yang mengeluarkan bunyi gemericik air yang menenangkan. Disekeliling rooftop tersebut diberi pagar pembatas, ada sebuah gazebo di depan air mancur tersebut. Jalal menurunkan Jodha persis di depan kolam air mancur tersebut.
Jodha ternganga melihat pemandangan tersebut. Dia tidak percaya, diatas gedung setinggi itu ada sebuah taman yang indah, semua nampak menarik dengan lampu taman yang menghiasi, ditambah langit cerah menampilkan jutaan bintang-bintang yang bertaburan.
“Bagaimana Sayang? Kamu suka?” tanya Jalal memeluknya dari belakang. Jodha mengangguk cepat.
“Iya. Aku suka. Aku nggak menyangka diatas gedung ini ada taman sebagus ini.” Jalal tersenyum.
“Tempat ini jarang ada yang tahu Sayang, bahkan karyawan disini juga tidak semuanya tahu. Papa biasanya suka nyantai ditempat ini. Katanya bosan terlalu lama diruangan. Terkadang aku sama Mama juga suka kesini dulu.” Jodha berseru kagum. Suasananya begitu menyenangkan, dia melangkah menuju gazebo, meletakkan tas mungilnya dan duduk di pinggirnya. Setelah itu dia melepaskan sepatunya yang sedari awal sangat menyiksanya. Meski dia sudah mulai terbiasa memakainya, tetapi bila digunakan untuk berdiri dalam jangka waktu lama, tetap saja rasanya pegal.
Jalal ikut duduk disamping Jodha. Setelah gadis itu melepaskan kedua sepatunya, dia segera mengambil kedua kaki Jodha dan menaruhnya dipangkuannya. Jodha terkesima melihat aksi kekasihnya itu.
“Sa-sayang, kamu mau ngapain?” Jalal tersenyum. Perlahan dia memijat kaki Jodha dengan lembut, membuat gadis itu berinisiatif untuk menarik kakinya. Namun Jalal menahannya.
“Sudah, kamu diam saja. Nikmati saja pijatanku ya. Bukankah kakimu pegal?”
“I-iya sih. Tapikan enggak harus begini Sayang. Tidak pantas.” Jawab Jodha masih berusaha untuk menarik kakinya.
“Terus yang pantas gimana?” tanya Jalal menatap serius wajah Jodha. Gadis itu terdiam. Bingung mau menjawab apa, “tuhkan kamu sendiri juga nggak tau pantasnya gimana?” kata Jalal sambil terus memijat lembut kaki Jodha. Jodha hanya bisa diam dan terus menatap bergantian wajah Jalal yang serius dengan tangan yang memijat kakinya.
Dengan sabar dan telaten, Jalal terus memijat kaki Jodha. Teknik pijatan yang dia pelajari sewaktu mereka latihan di akmil dulu, ternyata bisa berguna sekarang.
“Gimana Sayang? Sudah enakan?” tanya Jalal. Jodha memindahkan kedua kakinya dari pangkuan Jalal dan menggerak-gerakan kedua kakinya. Iya, kakinya terasa enteng. Jodha tersenyum puas kepada pemuda itu.
“Iya Sayang. Sudah tidak pegal lagi. Sudah enak. Makasih ya.” Kata Jodha dengan gembira. Jalal mengangguk dan tersenyum.
“Sama-sama Sayang.”
Jodha turun dari gazebo dan berjalan menuju pinggiran rooftop tanpa menggunakan sepatunya. Gaun panjangnya yang menyapu lantai dia biarkan saja. Dia menatap pemandangan kota Jakarta di bawah sana. Gemerlap lampu yang menghiasi kegelapan malam membuatnya betah berdiri ditempat itu. Terkadang dia memandang langit yang nampak indah dimalam hari. Namun karena gaunnya yang tanpa lengan dan bahunya terekspos bebas, udara malam itu membuatnya kedinginan. Dia memeluk tubuhnya sendiri sambil terus memandang ke bawah sana.
Tiba-tiba dia merasa bahunya yang terbuka terasa hangat. Dia menoleh kesamping, terlihat Jalal tersenyum setelah melepaskan jasnya dan memakaikannya kepada Jodha. Sedangkan dia hanya menggunakan kemeja dalamannya saja. Jodha tersenyum. Bahunya dirangkul Jalal, dan gadis itu menyandarkan kepalanya di dada kekasihnya. Keduanya berdiri menikmati malam indah saat itu.
“Tuan...” panggil Jodha lembut.
“Ya sayang?”
“Makasih ya.” Jalal tersenyum. Sebelah tangannya memeluk bahu Jodha, sedangkan sebelah tangannya dimasukkan kesaku celananya.
“Terima kasih untuk apa Sayang?”
“Untuk semuanya. Semua ini rasanya seperti mimpi saja. Aku tidak pernah mengira dalam hidupku akan seperti ini akhirnya.” Jalal tertawa pelan.
“Tidak usah berterima kasih Sayang, justru aku yang beruntung bertemu denganmu dan memilikimu. Semua ini tidak ada artinya jika kamu tidak ada disampingku saat ini. Pasti sepi dan hampa. Kamulah yang membuatnya menjadi lebih indah, karena segala yang ada pada dirimu membuat semuanya terasa menyenangkan. Karena cintamu, kebaikan hatimu, membuat duniaku lebih berwarna dan romantis.” Jodha menegakkan tubuhnya dan memandang wajah kekasihnya dengan senyuman bahagia, Jalal mengelus pipi gadisnya dengan lembut membuat Jodha memejamkan matanya sebentar, “i love you, Inem Sayang. Tetaplah selalu disampingku. Menemani dikala susah dan senangnya hidupku, dan juga sampai akhir hayat kita berdua.” ucap Jalal membuat Jodha tertawa pelan sambil menunduk.
Kemudian dia kembali memandang wajah Jalal dengan wajah sedikit memerah, “i love you too, Tuan.” Ucapnya dan kembali menunduk.
Jalal kembali terkekeh. Dia memeluk Jodha dengan perasaan bahagia. Inilah saat-saat yang dia nantikan, bisa berdua dengan kekasihnya tanpa ada yang mengganggu. Bersama-sama menikmati malam dengan taburan bintang dilangit bebas. Tanpa menyadari kalau waktu terus berjalan.
Deringan suara ponsel yang berasal dari saku Jalal, menyadarkan keduanya. Jalal merogoh sakunya dan melihat siapa yang memanggil. Namun kemudian dia mematikan ponsel tersebut. Jodha menatapnya heran.
“Kok dimatikan Sayang? Memangnya siapa yang menelpon?” tanya Jodha dengan penasaran.
“Man. Biarkan saja.” Kata Jalal memasukkan kembali ponselnya kedalam saku celananya.
“Kenapa nggak diangkat? Siapa tahu penting.”
“Penting nggak penting biar saja. Kan ada si bawel, jadi kita nikmati saja waktu kita tanpa gangguan mereka.” Kata Jalal menjawil hidung mancung Jodha. Gadis itu terkekeh sambil menggeleng.
“Yah, terserahlah.” Jalal tersenyum, “memangnya kita nggak pulang Sayang? Sudah malam ini.”
“Enggak.” Sahut Jalal enteng.
“Hah? Nggak pulang? Nanti Mama nyari loh.” Jalal terkekeh.
“Ya jelas pulang dong Sayaaaang,... emang mau nginap dimana? Digazebo itu.” Tunjuk Jalal ke arah gazebo. Jodha tersenyum malu.
“Kan tadi katanya nggak pulang.”
“Kamu ini ya, nggak bisa becanda. Nggak bisa melihat apa muka sayangmu ini serius atau tidak.”
“Iya, iya maaf.” Jalal tersenyum. Dia merangkul kembali bahu Jodha dan mengajaknya ke gazebo untuk mengambil tas dan sepatunya.
“Memangnya masih kuat memakai sepatunya Sayang?” tanya Jalal dengan was-was ketika melihat Jodha memasang kembali sepatunya yang banyak talinya itu. Jodha mengangguk.
“Iya. Tenang saja. Kakiku kan sudah tidak pegal lagi. Sudah kuat berjalan kok.” Jalal akhirnya hanya bisa pasrah saja dan berharap kaki kekasihnya akan baik-baik saja. Setelah selesai memasang sepatunya, mereka berdua kembali turun menuju aula tempat acara yang mereka tinggalkan tadi. Jas Jalal masih bertengger di atas bahu Jodha. Pemuda itu membiarkan saja, kasihan gadisnya kedinginan.
Sementara itu Mansingh dan Nadia sudah gelisah menunggu Jodha dan Jalal. Mereka berdua sudah ingin pulang. Nadia merasa capek dan mengantuk. Berkali-kali Mansingh mencoba menghubungi Jalal, namun selalu gagal.
“Gimana Bang?” Mansingh menggeleng.
“Nggak diangkat Beb, malah dimatikan.”
“Huh, dasar Bang Bos. Pacaran kok waktu nggak pas sih? Nggak tau orang kelamaan menunggu.” Gerutu Nadia.
‘Gimana kalau kita pulang duluan saja Beb. Biar saja mereka pulang belakangan, kan mereka membawa mobil sendiri.” Nadia berpikir sebentar, lalu dia akhirnya mengangguk.
“Iya deh Bang, kita pulang duluan. Pamit sama Om sama Tante saja.” Mansingh menyetujui. Mereka berdua pun pamitan dengan orang tua Jalal dan orang tua mereka.
“Hati-hati ya Sayang.” Kata Hamidah, “antar Nadia sampai kerumahnya ya Man.”
“Iya Tante, beres.” Sahut Mansingh mengacungkan jempolnya. Bu Hamidah tersenyum.
Keduanya pun melangkah keluar dari aula pertemuan tersebut. Para karyawan masih banyak yang berada ditempat itu, namun sebagian sudah pulang. Sesampainya di lobby, Nadia duduk di sofa. Mansingh menatapnya heran.
“Kenapa Beb?” tanya ketika melihat gadisnya melepas sepatunya.
“Pegal Bang.”
“Terus kamu pakai apa?” Nadia tersenyum.
“Nyeker aja Bang.” Sahutnya dengan cuek. Tangannya menenteng sepatunya, dan sebelah tangannya memegang tas mungilnya. Mansingh melongo melihat aksi cuek gadisnya itu. Orang-orang yang lalu lalang di lobby itu menatap heran kepada Nadia.
“Ya ampun Mbak, sepatu itu tempatnya di kaki, bukan ditangan.” Ejek salah seorang perempuan yang melewati mereka, dan Nadia mengenali perempuan itu. Dialah yang memegang tangan kekasihnya tadi dengan genit.
“Memangnya kenapa Mbak? Masalah buat Mbak?” tanya Nadia balik. Perempuan itu tertawa mengejek.
“Enggak masalah sih buat aku, cuma kasihan Mas gantengnya itu. Malu punya pasangan kok nyeker.” Nadia merasa panas ketika perempuan tadi mengatakan kekasihnya ‘Mas ganteng’. Dia tidak terima. Cuma dia saja yang boleh bilang kalau kekasihnya itu ganteng. Nadia sudah bersiap-siap untuk menyembur perempuan tadi, ketika Mansingh memegang tangannya.
“Sudah Beb, nggak usah dilanjutkan. Sini, aku yang akan menjadi kakimu.” Kata Mansingh berjongkok membelakangi Nadia. Gadis itu dan perempuan tadi beserta temannya tercengang melihat Mansingh, “ayo Beb, naik ke punggungku. Biar Abang yang akan menjadi kakimu sampai ke mobil.” Ucap Mansingh menoleh kebelakang.
Sebenarnya Nadia agak malu diperlakukan seperti itu, namun ketika melihat wajah iri kedua perempuan tadi, dia membuang rasa malunya. Dengan tersenyum miring, Nadia menoleh ke arah para perempuan itu.
“Maaf ya Mbak, aku duluan. Beginilah enaknya punya kekasih yang ganteng, perhatian, dan baik hati. Mbak-Mbak jangan iri ya, nggak usah pasang ekspresi mupeng gitu, ini rejekiku.” Kata Nadia mengejek mereka berdua. Mansingh sampai tersenyum geli mendengar ucapan gadisnya, “bye Mbak-Mbak.” Ucap Nadia naik kepunggung pemuda itu.
Mansingh segera berdiri dan menggendong gadisnya, Nadia mengalungkan kedua tangannya di leher Mansingh, dengan sebelah tangannya menenteng sepatunya dan sebelahnya membawa tasnya. Sebelum menjauh dia masih sempat melirik kearah perempuan tadi dan melempar senyum mengejeknya. Puas hatinya melihat mereka berdua jengkel. Nadia dilawan. Hahahaha....
“Bang,” panggil Nadia ketika mereka sudah keluar dari gedung dan menuju parkiran.
“Ya Beb?”
“Abang nggak capek nih menggendong aku? Aku berat loh Bang? Turunin aja aku disini, nggak apa-apa kok aku jalan sampai dimobil.” Mansingh menggeleng sambil tersenyum.
“Enggak berat kok Beb. Kamu tenang saja, Abang masih sanggup kok.” Nadia tersipu malu.
“Ya sudah, terserah Abang saja. Tapi jangan salahkan aku ya, kalau Abang capek.”
“Tidak akan Sayang.” Nadia tersenyum. Dia menyandarkan dagunya diatas bahu lelakinya yang berjalan pelan-pelan menuju mobil. Mansingh memang sengaja, kapan lagi dia bisa menggendong kekasihnya seperti itu.
Sesampainya di mobil, Mansingh membuka pintu depan dan menurunkan gadisnya langsung ke dalam mobil. Seakan tidak mau kaki gadis itu menyentuh tanah. Nadia semakin tersipu dibuatnya. Aahhh, lelakinya semakin manis saja.
“Kenapa Beb, senyum-senyum gitu?” tanya Mansingh ketika sudah duduk dibelakang kemudi. Nadia menggeleng sambil menunduk, “yakin?” tanya Mansingh lagi.
“Iya Bang.”
“Ya sudah, kita pulang sekarang ya.” Nadia mengangguk. Mansingh membawa mobilnya menuju rumah Nadia.
“Bang.” Mansingh menoleh sekilas.
“Ya Beb?”
“Makasih ya.” Dahi Mansingh sedikit berkerut.
“Makasih untuk apa Beb?”
“Itu tadi. Manis sekali.” Ucap Nadia dengan wajah memerah. Mansingh terkekeh.
“Nggak usah dipikir Beb, sudah seharusnya kan Abang seperti itu. Nggak mungkin Abang biarkan calon istri Abang dikata-katain orang.” Nadia tersenyum.
“Makasih ya Bang.” Mansingh tersenyum dan mengangguk.
Sementara Surya dan Ruqaiyah juga sudah pamitan pulang dengan orang tua Jalal, menyusul Mansingh dan Nadia yang sudah pulang duluan. Mereka tidak bertemu dengan Jalal dan Jodha, karena ketika mereka sudah pulang, kedua anak manusia itu baru saja turun rooftop. Bahkan orang tua Jalal juga sudah pulang, hanya beberapa petugas kebersihan saja yang masih berada ditempat itu untuk berberes.
Dengan perasaan bahagia Jalal dan Jodha pulang kerumah. Terlebih Jalal, rasanya malam ini dia tidak ingin berakhir. Dia ingin kembali menikmati moment indahnya bersama Inemnya. Namun apa daya waktu hanya sampai 24 jam saja hitungannya dalam satu hari. Dan besok akan kembali berhitung dengan waktu dan juga dia akan memulai tugasnya. Dan itu harus dia terima.
Sesampainya dirumah, kedua orang tuanya sudah tiba terlebih dahulu. Itu terlihat mobil papanya sudah nangkring di garasi. Sama halnya ketika berangkat dari salon tadi, Jalal dengan gentleman membukakan pintu jeepnya untuk Jodha, dan menuntunnya turun. Dengan bergandengan tangan Jalal mengantar gadisnya sampai ke depan pintu kamar.
“Night Sayang. Tidurlah, istirahat yang tenang malam ini ya.” Kata Jalal mengecup lembut kening Jodha. Gadis itu tersipu malu. Takut ketahuan oleh penghuni rumah lainnya.
“Iya. Makasih ya sayang. Aku masuk dulu.” Sahut Jodha membuka pintu kamarnya. Jalal mengangguk, dia masih berdiri di depan pintu kamar Jodha sampai gadis itu menutup pintu. Setelah pintu tertutup barulah dia melangkah ke kamarnya dengan perasaan tidak rela. Ckck... dengan langkah gontai dia berjalan, tangannya memainkan kunci mobilnya. Dia berjalan setengah melamun.
“Ehem... ehem...” Jalal terkejut mendengar deheman seseorang. Dengan cepat dia menoleh, ternyata mamanya berdiri dekat tangga dengan tangan bersidekap dan menatapnya dengan tajam.
“Eh, Mama. Mama ngapain disitu?” tanya Jalal dengan heran.
“Kamu kemana saja tadi Sayang?” tanya Bu Hamidah tanpa merubah ekspresinya. Dahi Jalal berkerut sedikit.
“Maksud Mama? Kan tadi datang ke acara Papa. Aku nggak kemana-mana Ma?”
“Kamu nggak bohongkan?” tanya mamanya masih tidak percaya.
“Mama kenapa sih? Suer Ma, aku nggak kemana-mana kok? Kenapa Mama jadi curiga begini?”
“Tadi habis acara kamu kemana bersama Jodha menghilang? Kamu ajak dia kemana?” akhirnya Jalal mengerti, dengan tersenyum usil dia menatap mamanya.
“Oh itu? Kami nggak kemana-mana kok Ma. Aku cuma mengajaknya ke taman atas saja.” Wajah Bu Hamidah mendekati wajah Jalal.
“Tapi kamu nggak ngapa-ngapain Jodha kan?” Jalal tersenyum usil.
“Memangnya kenapa Ma kalau aku ngapa-ngapain dia? Kan dia sudah mau jadi istriku, nggak apa-apakan?”
“ Jalal, Mama serius.” Bentak Bu Hamidah. Namun Jalal malah tertawa terbahak-bahak.
“Ih, Mama kok tumben serius gitu. Lagian namanya juga orang pacaran ya pasti pegang-pegang dikitlah, cium-cium dikitlah, peluk-peluknya yang banyak. Hehe...” mamanya melotot, Jalal nyengir, “dan...” ucapan Jalal terhenti. Mamanya menatapnya dengan penasaran.
“Dan apa?”
“Dan,... wajarlah kalau aku lebih agresif Ma. Aku kan ngajarin gadis polosku. Salahnya Mama bikin dia seperti perempuan penggoda begitu. Jangan salahkan aku nyicipin sedikit. Nyicil Ma.” Ucap Jalal dengan terkekeh. Dia senang melihat reaksi mamanya yang agak panik itu, takut terjadi apa-apa dengan calon menantunya.
“Kamu bilang apa?  Nyicipin dikit? Kamu ngapain Jodha, Sayang?” kejar Bu Hamidah dengan tidak sabar. Jalal semakin bersorak dalam hati melihat mamanya. Dia puas bisa membalas mamanya karena telah mengerjain mereka bertiga selama tiga hari yang lalu.
“Slow Ma, tenang. Becanda Ma. Kami nggak ngapa-ngapain kok. Kalau Mama tidak percaya, besok lihat CCTV yang ada di taman tuh. Ntar kelihatan kami ngapain aja.” Sahut Jalal dengan tertawa lebar. Bu Hamidah menarik nafas lega. Dia sedikit khawatir juga dengan dandanan para gadis itu, akan membuat Jalal dan sahabatnya berbuat kebablasan. Tapi ternyata kekhawatirannya tidak terbukti.
“Maafkan Mama ya Sayang. Mama hanya tidak ingin kamu berbuat yang tidak-tidak kepada Jodha sebelum kalian menikah.” Jalal merangkul bahu mamanya. Dia tersenyum.
“Mama tenang saja. Aku janji akan menjaga menantumu Ma. Dia tidak pantas mendapat perlakuan buruk. Dia gadis baik dan polos.” Mamanya tersenyum dan mengangguk.
“Terima kasih ya Sayang.”
“Iya Ma, sama-sama. Aku masuk ke kamar dulu ya.” Kata Jalal melepas pelukannya dari mamanya. Bu Hamidah mengangguk.
“Iya sudah sana, istirahat dulu. Besok kamu harus mulai belajar bekerja.” Jalal mengangguk.
“Iya Ma.” Jalal menaiki tangga meninggalkan mamanya yang masih berdiri di tangga bawah. Namun kemudian dia berhenti dan menoleh kebawah kearah mamanya, “tapi Ma,” Bu Hamidah mendongak melihat putranya, ”ngomong-ngomong, aku sudah mengambil ciuman pertama Jodha loh Ma, bibirnya manis dan bikin ketagihan. Hahahaha...” Mamanya melotot.
“Jaalaaaal...!”  desis mamanya dengan geram. Jalal tertawa terbahak-bahak sambil berlari menaiki tangga dan masuk ke kamarnya dengan cepat sebelum mamanya mengomel panjang lebar. Bu Hamidah hanya bisa menggeleng. Dia menghela nafas panjang, dan akhirnya melangkah menuju kamarnya.
Tbc


Siapa yang dulu pengen lihat Nadia cemburu? Ngacung. Hahahaha.. tuh jadinya kalau dia cemburu. Menyeramkan juga.